Вы находитесь на странице: 1из 7

BERSALAMAN SETELAH SHALAT

Pada dasarnya bersalaman setelah shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu masyru); tidak
akan kita temukan tentang hal itu dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma, baik dalam
bentuk kata perintah wajib atau mustahab (sunah). Sedangkan, wajib dan sunah adalah
perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia yang
menyangka baik sebuah perbuatan.
Di sisi lain, bersalaman adalah perbuatan yang secara mutlak (umum) memang
dianjurkan dilakukan sesama muslim, dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan
peristiwa tertentu. Kita dapat melakukannya ketika pagi, siang, sore, dan malam, ketika
berdiri, duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musafir, bertemu
dan berpisah, di majelis dan di luar majelis, atau kapan pun, termasuk juga setelah shalat,
sebab hal itu termasuk lingkup kemutlakannya.
Namun, masalah mulai timbul ketika bersalaman setelah shalat telah menjelma menjadi
adat dan tradisi baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya, mereka
merasa ada sesuatu yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka baru tentram dihati
ketika bersalaman itu mereka lakukan kembali. Seakan bersalaman adalah ibadah yang
terkait dengan shalat itu sendiri.
Ini benar-benar telah terjadi di sebagian fenomena masyarakat Islam. Manakala ada
manusia yang tidak mengikuti tradisi ini serta merta orang tersebut dituduh dengan
berbagai tuduhan yang jelek. Pada titik ini, bersalaman setelah shalat telah menjadi wujud
baru dalam ritual Islam yang tidak ada dasarnya. Oleh karena itu, masalah ini sangat
bersifat kasuistis dan kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak disalahkan
secara mutlak pula. Sebab, memang ada orang yang bersalaman setelah shalat telah
menjadi tradisi baginya, setelah dia mengucapkan salam langsung sibuk memutar badan
kanan kiri dan belakang untuk bersalaman, dan itu dilakukan lagi pada kesempatan shalat
lainnya, sehingga ada jamaah merasa terganggu. Ada pula yang bersalaman karena
memang dia baru berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, yang baru ada kesempatan
bersalaman setelah shalat. Ada juga yang bersalaman setelah shalat karena dia diajak
untuk bersalaman, dia bukan inisiatornya, dan itu pun bukan kebiasaannya, yang jika dia
tolak akan melukai hati saudaranya. Nah, semua ini tentu tidak bisa dinilai secara sama.
Dalil-Dalil Umum Bersalaman

Dari Bara bin Azib Radhialllahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda:
Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni
mereka berdua sebelum mereka berpisah. (HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No.
2727, Ibnu Majah No. 3703, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai
kitabnya, Al Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami No. 5777, dan lainnya)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, katanya:
Kami bertanya: Ya Rasulullah! Apakah kami mesti membungkuk satu sama lain?
Beliau menjawab; Tidak. Kami bertanya: Apakah saling berpelukan? Beliau
menjawab: Tidak, tetapi hendaknya saling bersalaman. (HR. Ibnu Majah No. 3702,
Abu Yaala No. 4287. Hadits ini dihasankan Syakh Al Albani dalam Shahih wa
Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3702)
Dari Anas pula:
Adalah sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling
bersalaman, jika mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan. (HR. Ath
Thabarani, Al Mujam Al Awsath, No. 97. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami mengatakan:
rijalnya(para perawinya) rijal hadits shahih. Lihat Majma Az Zawaid, 8/36)

Dari Kaab bin Malik Radhiallahu Anhu, katanya


.
Saya masuk ke masjid,

ketika

bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

datanglah menghampiri saya Thalhah bin Ubaidillah tergesa-gesa sampai dia menjabat
tangan saya dan mengucapkan selamat kepada saya. (HR. Bukhari No. 4156, Abu Daud
No. 2773, Ahmad No. 15789).
Berkata Qatadah Radhiallahu Anhu:
: : .
Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: Ya. (HR. Bukhari No. 5908)

Dan masih banyak lainnya.

Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru-nya bersalaman bagi sesama
muslim yakni pria dengan pria, atau wanita dengan wanita. Dan, hal ini mutlak kapan
saja. Para ulama yang menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah shalat
berdalil dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak membatasi
hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil aam (umum) dan muthlaq (tidak terikat) adalah
menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada dalil khash (spesifik) dan
muqayyad(mengikat) yang mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini
dalil-dalil bersifat aam di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan
saja, karena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.

Sedangkan bagi pihak yang memakruhkan bahkan membidahkannya, mereka menilai


bahwa yang terjadi adalah bersalaman setelah shalat menjadi kebiasaan tersendiri di
masyarakat yang mereka sandarkan kepada agama dan ibadah, dan fakta inilah yang
sesungguhnya terjadi,

oleh karena itu dibutuhkan dalil secara khusus untuk

mengukuhkannya, jika tidak ada, maka itu tertolak (baca: bidah).


Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, masalah ini tidak bisa digebyah uyah
begitu saja karena sifatnya yang sangat personal dan kasuistis. Oleh karena itu, mesti
dilihat menurut rincian sebagai berikut:
-Jika melakukannya karena si pelaku menganggap bersalaman adalah bagian dari shalat,
maka tidak syak lagi, ini adalah bidah dhalalah, karena dia telah memasukkan dalam
ritual peribadatan yang bukan bagian darinya, walau pun ini hanya dilakukan sekali.
- Jika melakukannya tidak dianggap bagian dari shalat, tapi dilakukan berulang-ulang dan
menjadi adat tersendiri sehingga dipandang memiliki keutamaan tersendiri pula, yang jika
ditinggalkan mereka merasa bersalah, maka ini pun bisa berpotensi menjadi bidah dalam
ibadah. Sebaiknya ditinggalkan, sebab jika amaliah yang benar-benar sunah saja nabi
tidak terus menerus melakukan karena khawatir dianggap wajib, apalagi perbuatan yang
masih debatable para ulama. Sungguh, keluar dari khilafiah adalah lebih baik.

- Jika melakukannya dalam kondisi

dia baru berjumpa dengan saudaranya, maka itu

tidak mengapa, bahkan bagus walau pun berasal dari inisiatifnya sendiri, dan termasuk
aplikasi hadits Bara bin Azib:

Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka

bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah


-Jika melakukannya bukan inisiatifnya, tetapi dia dalam keadaan berjamaah shalat
bersama kaum yang biasa melakukannya dan mereka mengajaknya bersalaman, lalu dia
sulit menghindar dan dapat melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka
tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim,
menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia
menjalankan

mudharat

demi

menghindari

mudharat

yang

lebih

besar

dan

berkepanjangan. Sikap ini merupakan ibrah dari sikap elegan Imam Ahmad bin Hambal
Radhiallahu Anhu yang membidahkan qunut subuh tetapi beliau tetap ikut berqunut jika
imam melakukannya, demi menjaga kesatuan hati, kesamaan kata, dan menghilangkan
permusuhan.

Fatabiruu ..!

Dan, rincian inilah yang menjadi pegangan kami dalam memandang permasalah ini.
Wallahu Alam
Pandangan Para Ulama
Berikut ini adalah pandangan para imam ahlus sunnah yang patut kita jadikan bahan
pemikiran. Semua kami paparkan sebagai amanah dan kejujuran ilmiah, bahwa memang
perselisihan para ulama dalam hal ini memang wujud (ada). Terlepas dari setuju atau
tidaknya kita terhadap pandangan salah satu dari mereka, yang jelas, pandangan mereka
tidak lepas dari menyunnahkan, membolehkan dan memakruhkan bahkan membidahkan,
dengan alasan masing-masing yang telah kami sebutkan di atas.
Kami akan membagi dua kelompok, yakni ulama yang menyetujui (baik mengataan
sunah atau mubah) dan ulama yang

menolak (baik yang memakruhkan atau

membidahkan).
Para Ulama Yang Menyetujui
Mereka adalah sederatan imam kaum muslimin yang nama besar mereka menjadi
jaminan kualitas pandangan dan keilmuannya.
1. Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafii Rahimahullah
Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:

Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan jika yang shalat di belakangnya
adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama
mereka, dan setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam

agar

manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat. (Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr.
Beirut - Libanon)

2. Imam Izzuddin (Al Izz) bin Abdussalam Asy Syafii Rahimahullah (w. 660H)
Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ashar sebagai bidah yang
boleh (bidah mubahah). Berikut perkataannya:
Bidah-bidah mubahah (bidah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman
setelah subuh dan ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat
berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,

melebarkan pakaian kebesaran

ulama, dan melebarkan lengan baju. (Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)
3. Imam An Nawawi Asy Syafii Rahimahullah (w. 676H)
Beliau juga berpendapat mirip dengan Imam Ibnu Abdissalam di atas. Namun, beliau
menambahkan dengan beberapa rincian. Berikut perkataannya:
Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ashar, maka Asy
Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan
bahwa itu termasuk bidah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang
dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan,
pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat)
dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh sebagaimana yang
telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang sebelumnya belum
bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut
ijma, sesuai hadits-hadits shahih tentang itu. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab,
3/325. 1423H-2003M. Dar Aalim Al Kitab)

Para Ulama Yang Menolak


Mereka juga merupakan imam agama yang menjadi kecintaan dan rujukan umat ini. Di
antaranya:
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah (w. 728H)
Berikut ini dari kitab Majmu Fatawa-nya:
Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan?
Beliau menjawab: Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan
itu adalah bidah. Wallahu Alam (Majmu Fatawa, 23/339).
Imam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang menolak pembagian bidah menjadi bidah
hasanah dan bidah sayyiah, apalagi pembagian bidah menjadi lima; bidah yang wajib,
sunah, mubah, makruh, dan haram. Baginya semua bidah adalah dhalalah(sesat). Maka,
maksud bidahnya salaman berjamaah dalam fatwanya di atas adalah bidah yang sesat.

2.Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah(w. 1420H)
Beliau ditanya tentang sebagian manusia yang setelah shalat menjulurkan tangan untuk
bersalaman ke kanan dan ke kirinya, beliau menjawab:

Bersalaman setelah salamnya imam tidaklah memiliki dasar, justru jika usai salam
hendaknya mengucapkan ..(lalu beliau memaparkan cukup panjang

berbagai dzikir

setelah shalat yang dianjurkan syara ).


Lalu beliau melanjutkan:
Ada pun mengangkat kedua tangan setelah salam tidaklah memiliki dasar, baik bagi
imam dan makmum, tidak mengangkat tangan ketika doa, dan tidak bersalaman (berjabat
tangan) setelah salam, tetapi hendaknya dia berdzikir dengan dzikir sesuai syara..
(Majmu Fatawa wal Maqalat, 29/309-310. Ar Riasah Al Aamah Lil Buhuts Al
ilmiyah wal ifta)
3. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al Ashimi An Najdi Al
Hambali Rahimahullah (w. 1392H)
Beliau berkata:

Berjabat tangan setelah salam shalat tidaklah memiliki dasar, tidak dalam nash, tidak
pada perbuatan syaari(Rasulullah) dan sahabatnya, dan seandainya itu disyariatkan
niscaya hal itu akan dijaga dan begitu berhasrat untuk mengambilnya, tetapi orang-orang
terdahulu lebih layak untuk melakukannya. Syaikh berkata: bidah menurut kesepakatan
kaum muslimin, ada pun jika dilakukan kadang-kadang saja. Karena memang berjumpa
setelah shalat, bukan karena shalatnya itu sendiri maka itu bagus, bersalaman ketika
berjumpa maka itu memilki dampak yang baik. (Hasyiah Ar Raudh Al Maraba, Juz.
2. Mawqi Ruh Al Islam)
Dan masih banyak ulama lainnya.
http://www.islamedia.web.id/2011/07/bersalaman-berjabat-tangan-setelah.html
Menurut saya pribadi, bersalaman setelah sholat aslakan niatnya tidak untuk sebagai
lanjutan ataupun rangkaian setelah sholat tidak mengapa, dan juga apabila di terpaksa
bersalaman ketika diajak bersalaman oleh jamaah lain itupun tidak mengapa, karena
menghormati orang yang mengajak bersalaman

Вам также может понравиться