Вы находитесь на странице: 1из 3

Berkelana Ke Negeri Sarang

Bukannya gimana-gimana, Gara-gara twit Akhmad Sahal, saya jadi kepo


siapa sesebenarnya Hafidz Ary
Bukannya gimana-gimana, tapi yang orang bicarakan tentang citra negatif
pesantren itu tll menggeneralisir. Harus dispesifikasikan lagi. Itu pesantren
di daerah mana, kyainya siapa, kyainya punya anak putri enggak, anaknya
itu masih jomblo enggak, ada peluang jadi mantu enggak, dan sebagainya,
dan sebagainya.
Sudah-sudah, intinya pesantren itu sehat-menyehatkan.
saya merasa mungkin info yang Bapak temukan itu perlu dispesifikasikan
lagi. Itu pesantren di daerah mana, kyainya siapa, kyainya punya anak putri
enggak, anaknya itu masih jomblo enggak, ada peluang jadi mantu
enggak, dan sebagainya, dan sebagainya.
Bayangkan saja, untuk satu perbedaan saja mereka mengadakan bahtsul
masail; forum di mana dua orang yang berbeda pendapat terhadap satu
masalah agama saling berdiskusi dengan sumber-sumber primer.
Misalnya, apakah khilafah itu wajib atau tidak, maka dalam forum bahtsul
masail, pendukung maupun penolak akan memberikan argumen, klaim
yang berdasarkan sumber primer. Ini kan menyusahkan? Pesantren kok
macak demokratis. Pesantren itu ya harusnya monolitik. Pokoknya nurut
kyai. Titik!

Di pondok pesantren, sepengalaman saya nyantri di Denanyar, Jombang,


nggak hanya diajari ilmu alat (Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah hingga
Ushul Fiqh), melainkan juga etika, kedisiplinan, ketrampilan, hingga
barakah. Nalar Kak Ary mungkin akan bengep-ndak-nyandak menyaksikan
seorang santri kerjaannya bukan ngaji kayak yang lain-lain tetapi
memasak, menimba air, mencuci piring, membersihkan WC, tetapi ketika
pulang puluhan tahun berikutnya ia menjelma tokoh panutan masyarakat.
Paling malu saat ketemu kawan lama. Entah adik atau kakak kelas.
mereka sekarang pandai bercakap, terlebih saat diajak ngomong soal
agama.
biasanya saya hanya jadi pendengar setia, sambil mbatin "Uasu!! perasaan
mangane podo2 sego, kog aku gak ngalim koyo ngnu ya "

Kangen Ramadlan atau Cuma Pelarian??


Ramadlan tahun ini rasanya banyak berbeda. Saya sedikit menyesalkan
kenapa puasanya begitu terasa cepat. Tiba-tiba adzan masjid.

Acara di televisi, khususnya acara televisi di Indonesia, kebanyakan tak


lebih dari kamuflase kapitalisme dengan meletakkan pemirsa sebagai
korbannya.
Kita itu sudah dijadikan korban bahkan sejak dalam kandungan. Ibu-ibu
terpaksa takut untuk tidak menambahi ASI dengan susu-susu yang katanya
sehat-menyahatkan itu. teman saya bahkan pandai baca kitab kuning
meski sejak kecil tidak pernah minum SGX
Kita koar-koar dengan lagak heroik mengatakan rindu bulan Ramadan.
Padahal bisa saja itu cuma naluriah sesaat yang kita rasakan setelah
melalui 11 bulan dengan rutinitas yang membosankan.
Sebab cuma di bulan Ramadan kita bisa merasakan hangatnya buka
bersama. Cuma di bulan Ramadan, buat kalian yang pengangguran, bisa
tidur sepanjang waktu tanpa harus mendengar ibumu menggerutu. Pada
titik itu, bulan Ramadan tidak lebih dari sekadar pelarian. Tidak pernah
lebih dari itu.
Tak percaya?

Saya tidak tahu sejak kapan, dalam beberapa tahun terakhir dua jenis
manusia ini selalu muncul tiap menjelang Ramadan: manusia yang
memaksakan ibadah puasanya dihormati, dan manusia yang juga minta
dihormati meski tidak berpuasa.
Coba perhatikan dan bandingkan shaf tarawih saat awal Ramadan dan saat memasuki
pertengahan menjelang akhir puasa. Persis sekali seperti kelakuan mantan ketika
bosan lalu meninggalkan. Mengenasken!
Ya pada akhirnya, saya tidak berusaha memprovokasi kalian untuk tidak berpuasa. Tapi
kalau sehabis lebaran yang bekas koruptor masih korupsi lagi, yang sempat berhenti

menggosip masih suka ngerasani orang lagi ya saya tidak tahu, sih Toh itu
urusan masing-masing
Marhaban ya Ramadan! Selamat menikmati iklan sirup Marjan

Вам также может понравиться