Вы находитесь на странице: 1из 31

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


JAKARTA

REFERAT
HIRSCHSPRUNG DISEASE

Pembimbing :
dr. Gapong Suko W,Sp.B

Penyusun :
Farella Kartika Huzna
112015233

DEPARTEMEN ILMU BEDAH UMUM


RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA LEMPUYANGWANGI
YOGYAKARTA
PERIODE 27 JUNI 2016 3 SEPTEMBER 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME, berkat karuniaNya penyusun dapat menyelesaikan pembuatan referat yang berjudul Hirschsprung
disease yang merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
Pendidikan Profesi Dokter Departemen Bedah Umum Rumah Sakit Umum Bethesda
Lempuyangwangi Periode 27 Juni 3 September 2016.
Dalam menyelesaikan referat ini penyusun mengucapkan rasa terima kasih
kepada dr. Gapong Suko W, Sp.B sebagai dokter pembimbing. Penyusun menyadari
bahwa dalam penyusunan referat ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh
dari kesempurnaan, sehingga penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun
guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup mata, khususnya
yang berhubungan dengan referat ini.
Tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di
Departemen Bedah Umum Rumah Sakit Umum Bethesda Lempuyangwangi atas ilmu
dan bimbingannya selama ini. Semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman
pada khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu
kedokteran pada umumnya. Amin.

Yogyakarta, 8 Juli 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................1


Kata Pengantar ................................................................................................................2
Daftar Isi .........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG ...............................................................................................4
1.2 TUJUAN ...................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................5
2.1 ANATOMI FISIOLOGI ............................................................................................5
2.2 DEFINISI...................................................................................................................10
2.3 SEJARAH .................................................................................................................11
2.4 EPIDEMIOLOGI ......................................................................................................12
2.5 ETIOLOGI ................................................................................................................12
2.6 GEJALA KLINIK .....................................................................................................14
2.6 DIAGNOSIS .............................................................................................................16
BAB III KESIMPULAN .................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................30

BAB I
3

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh


kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal,
melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan
perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas
pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat
mengenai seluruh usus sampai pilorus (Wyllie, 2000; Mansjoer,2000). Penyakit ini
pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson
dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini
disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.
Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan
berat lahir 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat
mengeluarkan tinja (Wyllie, 2000; Mansjoer, 2000). Trias klasik gambaran klinis pada
neonatus adalah pengeluaran mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama,
muntah hijau, dan perut membuncit keseluruhan (Pieter, 2005).
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin
mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien
seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan septikimia yang
dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya
sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani dengan sempurna.
Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan rontgen dengan enema barium, pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan
patologi anatomi.
Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah dan
tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasikomplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan. Tindakan bedah pada penyakit ini
terdiri dari tindakan bedah sementara yang bertujuan untuk dekompresi abdomen dengan
cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal di bagian distal
dan tindakan bedah definitif yang dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel,
Swenson, Soave, dan Rehbein.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk memberikan gambaran definisi,
klasifikasi, etiologi, epidemilogi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, diagnosis,
serta penatalaksaan hirschsprung disease.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian
proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan
oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian
posterior (Yamada,1999; Shafik,2000). (Gambar 1)
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu
masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal
dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Spinkter ani
eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan (Shafik,2000) . (Gambar 2 )

Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal

2.
eksternal laki-laki

Gambar
Spinkter
ani

Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis


(a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina) yang
6

merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior


adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum
bagian distal dan daerah anus (Yamada,2000; Shafik,2000). (Gambar 3.)

Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil,
kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik
(syaraf parasimpatis) (Yamada,2000; Shafik,2000; Wexner dkk,2000; Neto
dkk,2000). (Gambar 4)

Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :


1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle
: terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus
tersebut. (Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990). (Gambar 5)

II.3. Fungsi Saluran Anal


Pubo-rectal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas
penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan
menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat
gerakan peristaltik tersebut
( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan
kontraksi spinkter eksterna
dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and
sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta
dapat mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang lain (Yamada,1999;
Shafik,2000; Wexner,2000).
Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.
Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru dan
tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun
dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:
Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal
ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta
refleks gastrokolik.
Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,
yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna
secara involunter.
Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.
Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan
kontraksi spinkter itu sendiri.
Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara
volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding
perut, hingga defekasi dapat terjadi (Fonkalsrud,1997).

2.2. Hirschsprung Disease


2.2.1. Definisi
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai
dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan
pasase usus fungsional.
Atau Suatu penyakit yang ditandai konstipasi sejak bulan-bulan pertama kehidupan
bayi yang disebabkan oleh adanya kelainan di usus besar (colon) , Hal ini terjadi karena tinja
tertahan pada usus besar yang kurang/ tidak mengandung ganglion saraf otot. Akibatnya
bagian tersebut menjadi melar. Kekurangan atau ketiadaan ganglion tersebut menyebabkan
usus tidak dapat optimal mendorong isinya keluar melalui anus. Akibatnya, kotoran akan
menumpuk dan menyumbat usus bagian bawah sehingga bayi tak bisa buang air besar.

10

2.2.2. Sejarah
Ruysch (1691) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang aganglionik
pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa megakolon. Namun baru 2 abad
kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini,
yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal
Swedia ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang
menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu
adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini, sehingga
pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi. Namun kedua jenis
pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah
menemukan adanya kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion
parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu pendapatnya
tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade kemudian, Robertson dan Kernohan
(1938) mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh
gangguan peristaltik usus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
Zuelser dan wilson(1948) mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit
tidak ditemukan ganglion parsimpatis.sejak saat itu penyakit ini lebih dikenal dengan istilah
aganglionosis kongenital. Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan bawaan sejak lahir, jadi
tak bisa dicegah.Umumnya, kelainan ini biasanya terjadi pada anak lahir normal atau cukup
bulan dan diketahui di bawah usia setahun. Menurut data di Amerika, kelainan hirschsprung
banyak dialami anak laki-laki dibanding anak perempuan, dengan perbandingan 3,8 : 1.
Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas tentang defek ganglion
pada kolon distal sebagai akibat penyakit Hirschsprung, hingga Swenson dalam laporannya
menerangkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak
terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Swenson melakukan operasi pengangkatan segmen
yang aganglionik dengan hasil yang memuaskan. Laporan Swenson ini merupakan laporan
pertama yang secara meyakinkan menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek
ganglion dengan gejala klinis yang terjadi (Irwan, 2003).
Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan merupakan
akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh karena lesi
primer sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan
simpatektomi. Keterangan inilah yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan
segmen aganglionik dengan preservasi spinkter ani .
Okamoto dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi
akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke distal
11

mengikuti serabut-serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rektum
(Irwan, 2003).
2.2.3. Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung.
Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke
RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta .
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini
(ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan
bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka
yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya
saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks
vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).
2.2.3. Etiologi
Biasanya, karena bayi tumbuh dalam kandungan, kumpulan sel saraf (ganglia) mulai
terbentuk antara lapisan otot di bagian usus besar yang panjang. Proses ini dimulai pada
bagian atas dan berakhir di usus besar bagian bawah (dubur). Pada anak-anak dengan
penyakit Hirschsprung, proses ini tidak selesai dan tidak ada ganglion di sepanjang seluruh
panjang dengan dua titik. Kadang-kadang sel-sel yang hilang dari hanya beberapa centimeter
dari usus besar.
Mengapa hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti. Hal ini dapat dikaitkan dengan
beberapa gen mutations. Ini juga dikaitkan dengan beberapa kelenjar endokrin neoplasia,
sebuah sindrom yang menyebabkan noncancerous Tumors di lendir membranes dan adrenal
glands (terletak di atas ginjal) dan kanker dari thyroid gland (terletak di bagian bawah leher).
Hirschsprung's tidak disebabkan oleh sesuatu yang tidak ibu selama kehamilan. Dalam
beberapa kasus, penyakit ini mungkin warisan, bahkan jika orang tua tidak memiliki
penyakit. Hirschsprung juga 10 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dengan Down
syndrome
1. Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus myenteric
(Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk Hirschsprungs disease.
Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini disebabkan oleh karena kegagalan
12

migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5
sampai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun
gagal unutk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka
mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen
didalam lingkungan mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu
migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik,
immunologis, vascular, atau mekanisme lainnya
2. Mutasi pada RET proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah
ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprungs disease segmen panjang dan familial.
Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan
dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk
Hirschsprungs disease adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi
pada kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan
sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan
pada penyakit non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene (EDN3) baru-baru ini
telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah
mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting untuk perklembangan normal dari
sistem saraf enterik. Mutasi pada proto-oncogene RET adalah diwariskan dengan pola
dominan autosom dengan 50 sampai 70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus
familial dan pada hanya 15 sampai 20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan
dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis.
3. Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-sel
neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari antigen major
histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada segmen aganglionik
dari usus pasien dengan Hirschsprungs disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan
ganglionik normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada perkembangan
penyakit ini.
4. Matriks protein ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerkan
dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV yang
tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan dalam
13

lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan
memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprungs disease.
2.2.4. Patofisiologi
Motilitas usus diatur oleh sistem saraf otonom dan sistem saraf enterik. Sistem saraf
enterik ini merupakan sistem saraf tersendiri pada saluran cerna yang terletak di seluruh
dinding saluran cerna. Terdapat 2 pleksus utama pada sistem saraf enterik yakni pleksus
submukosa (meissner) yang terletak pada lapisan submukosa dan pleksus mienterikus
(auerbach) yang terletak di antara otot longitudinal dan sirkuler organ pencernaan termasuk
colon. Sistem persarafan inilah yang kemudian akan mengatur berbagai fungsi usus termasuk
sekresi, absorbsi, dan kecepatan motilitas usus.
Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi
peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding rektum dan
memicul refleks defekasi. Refleks defekasi ini disebabkan oleh relaksasi muskulus sfingter
ani internus dan kontraksi rektum dan sigmoid yang lebih kuat. Bila muskulus sfingter ani
eksternus yang berada di bawah kontrol kesadaran juga berelaksasi, maka terjadilah defekasi.
Pada penyakit Hirschsprung, pleksus mienterikus dan submukosa tidak terdapat pada
dinding kolon yang mengalami aganglionosis, atau dengan kata lain terjadi malformasi dari
kompleks dan sistem saraf enterik usus. Malformasi ini memungkinkan terjadinya defek pada
fungsi saraf parasimpatis (kolinergik), sementara fungsi saraf simpatis (adrenergik) menjadi
lebih dominan. Akibatnya terjadi gangguan pengaturan fungsi motilitas usus termasuk refleks
defekasi yang dimediasi oleh parasimpatis. Abnormalitas fungsional yang paling khas adalah
kegagalan refleks muskulus sfingter ani internus untuk berelaksasi setelah terjadi peregangan
rektum. Peregangan rektum yang sementara ini menyebabkan tekanan intralumen pada
spinkter ani internal menurun dan sering diikuti oleh kontraksi dari spinkter ani eksternal.
Usus normal menerima persarafan intrinsik dari sistem persarafan parasimpatis
(kholinergis) dan simpatis (adrenergis). Serabut saraf kolinergik menyebabkan perangsangan
pada kolon (kontrasi) dan menginhibisi sphincter ani, sedangkan serabut-serabut adrenergik
menginhibisi kolon (relaksasi) dan mengeksitasi sphincter.
Sebagi tambahan, terdapat suatu sistem saraf intrinsik enterik yang luas didadalm
dinding usus sendiri yang tersusun atas berbagai macam serabut inhibisi non-adrenergic noncholinergic (NANC) yang berfungsi dalam pengaturan sekresi intestinal, motilitas,
pertahanan mukosa, dan respon imun. Sel-sel ganglion mengkoordinasikan aktivitas

14

muskular usus dengan menyeimbangkan sinyal-sinyal yang diterima dari serabut-serabut


adrenergik dan kolinergik, dan dari serabut inhibisi intrinsik (enterik) NANC.
Pada Hirschsprungs disease, sel-sel ini tidak ditemukan sehingga koordinasi kontraksi
dan relaksasi pada usus tidak terjadi. Kholinergik yang berlebihan mungkin bertanggung
jawab pada spastisitas dari segmen aganglionik. Asetilkholin yang berlebihan akan
menyebabkan produksi berlebihan dari acetylcholinesterase, yang dapat dideteksi secara
histokimiawi dan digunakan dalam penegakkan diagnosis Hirschsprungs disease.
Kemungkinan yang lebih penting dari kelainan adrenergik ataupun kolinergik dalam
menyebabkan spasme usus adalah ketiadaan dari serabut saraf inhibisi NANC dari sistem
saraf enterik dan transmitter neuropeptidanya. Peptida Vasoaktif intestinal (VIP) adalah
relaksan utama pada sphincter ani internus; VIP-mengandung serabut-serabut saraf yang
tidak ada pada usus aganglionik pasien dengan Hirschsprungs disease.
Nitric oxide (NO) adalah suatu neurotransmitter yang kuat lainnya dalam saraf
penghambat NANC, memediasi relaksasi pada usus. Sintesis NO snormalnya terdapat pada
plexus enterik dalam usus. Sintase NO dan oleh karenanya aktivitas NO tidak terdapat pada
usus aganglionik pasien dengan Hirschsprungs disease. Kurangnya NO- dan serabut saraf
yang mengandung VIP pada usus aganglionik pasien dengan Hirschsprungs disease mungkin
merupakan faktor utama dalam patofisiologi penyakit ini.
2.2.5. Klasifikasi
Pada pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit ini, sel ganglion Auerbach dan
Meissner tidak ditemukan serabut saraf menebal danserabut otot hipertofik. Aganglionosis ini
mulai dari anus ke arah oral.

Berdasarkan panjang segmen yang terkena , Penyakit Hirschsprung dapat di


klasifikasikan dalam 2 katagori, sbb :
1. Penyakit Hirschsprung segmen pendek / HD klasik (75%).
Segmen aganglionosis muali dari anus sampai sigmoid.Merupakan 70% dari kasus
penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan.
2.
Penyakit Hirschsprung segmen panjang/ Long segment HD (20%)
Daerah agonglionosis dapat melebihi sigmoid malahan dapat mengenai seluruh kolon
taua sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan
3. Total colonic aganglionosis (3-12%)

15

Beberapa lainnya terjadinya jarang, yaitu:


1.Total intestinal aganglionosis
2.Ultra-short-segment HD (melibatkan rektum distal dibawah lantai pelvis dan anus).
2.2.6. Diagnosis
Gejala Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala
klinis mulai terlihat :
(I). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson
(1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono
mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir.
Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun
paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis
enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.
(II). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis
dan gizi buruk (failure to thrive), nafsu makan menurun. Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita
biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
defekasi. Gejala penyerta yang sering timbul yaitu berat badan yang sulit naik, anemia,
hipoalbuminemia, dan diare akibat enterocolitis. Gejala akibat kompresi pada ureter yang
mungkin timbul yaitu retensi urin dengan pembesaran buli-buli, ureter dan hidronephrosis.
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak
rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema,
pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk konfirmasi diagnosis penyakit
Hirschsprung apabila didapatkan zona transisi dari kolon yang menyempit. Colon in loop

16

sebaiknya menggunakan double contrast karena mampu menampilkan mukosa kolon secara
lebih rinci. Dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3.
Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Pemeriksaan dengan barium
enema, berguna untuk mengetahui daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang
tidak teratur disegmen yang menyempit, enterokolitis disegmen yang melebar,
terdapat retensi barium setelah 24-48 jam sehingga diketahui panjang daerah yang
terkena.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung,
maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium
dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di
daerah rektum dan sigmoid.

Pemeriksaan patologi anatomi (biopsi rektum)


Biopsi rektum merupakan pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis penyakit
Hirschsprung dan diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan ini. Akan tetapi
17

terdapat dua kesulitan

berkaitan dengan teknik pemeriksaan ini. Pertama, pengambilan

jumlah submukosa yang adekuat untuk menilai sel ganglion, kedua yaitu menentukan lokasi
yang tepat untuk pengambilan sampel biopsi.
Terdapat dua pewarnaan yang digunakan, pertama pewarnaan dengan hematoksilineosin, digunakan pada sampel yang baik agar dapat membantu diagnosis, akan tetapi, pada
spesimen yang kurang baik, digunakan pewarnaan dengan asetilkolinesterase. Pewarnaan
asetilkolinesterase sangat berguna pada pemeriksaan dengan sampel yang mempunyai
submukosa yang terbatas dan sampel yang tidak mempunyai sel ganglion.
Pada pemeriksaan didapatkan hipertrofi dari serabut saraf ekstrinsik pada lamina
propria dan mukosa otot, tetapi tidak selalu, dapat juga diidentifikasi kolon yang tidak
berganglion.
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion
pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan
akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,
suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan
pengecatan

konvensional

dengan

haematoxylin

eosin.

Disamping

memakai

asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein


S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja
pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman,
sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya
perdarahan.
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi
seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara
tekhnis, metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan
inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett
tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk
mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus
Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi sebab tidak memerlukan
anastesi dan akurasi pemeriksaan mencapai 100% (Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi
hisap dilakukan pada 3 tempat : 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi
hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa
ada hasil negatif palsu dan komplikasi.
Pemeriksaan Manometri Anorektal

18

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari


fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam
prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis
dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser
yang sensitif terhadap tekananseperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat
seperti poligraph atau komputer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi Penyakit Hirschsprung adalah:
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus nik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi
Sfingter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi
spontan.
Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan riwayat atipikal baik
untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional, manometri anorektal dapat
membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung gagal untuk
menunjukkan reflex relaksasi pada spinkter ani interna dalam menanggapi inflasi balon
dubur.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien yang dicurigai
dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini biasanya akan kehilangan
atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks anorektal yang dimaksudkan adalah
kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah dilakukan inflasi balon di bagian rektum.
Bagaimanapun, terdapat banyak perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik
ini.
2.2.8. Diagnosis Banding
1. Atresia ileum : mekonium sedikit, kering, berbutir-butir, warna hijau muda.
2. Sumbatan mekonium : pada roentgen abdomen tampak usus melebar disertai
klasifikasi
3. Atresia rektal
4. Enterokolitis nekrotikan neonatal : pasien letargis. Mekonium bercampur darah,
tanda enterokolitis muncul lebih cepat dibandingkan penyakit hirschsprung
5. Peritonitis intra-uterin
6. Sepsis neonatarum ; gagal evakuasi mekonium dalam 24-48 jam pertama , pasien
menolak minum, distensi abdomen, kolon kiri, terlihat kecil sedangkan ampula
rektum melebar
7. Obstipasi psikogenik : pada pasien usia >2 tahun, feses seperti tanah liat dekat
sfingter anal.
2.2.9. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter.
19

Sedangkan tujuan utama dari setiap operasi definitif adalah menyelesaikan secara tuntas
penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik fungsi spinkter ani
dan kontinen.
1. Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan
ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca
operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat
kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal,
peritonitis, sepsis dan kematian (Irwan, 2003).
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis
sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat
prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga fistula perianal (Irwan, 2003).
3. Ruptur kolon
4. Enterokolitis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis
sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat
prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga fistula perianal (Irwan, 2003).
5. Gangguan fungsi spinkter
Sedangkan fungsi spinkter ani pasca bedah yang merupakan pokok bahasan utama dari
penelitian ini dapat dikatakan sebagai parameter utama keberhasilan operasi tarik terobos,
disamping komplikasi utama yang disebutkan diatas. Namun hingga saat ini, belum ada suatu
parameter atau skala yang diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling
atau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai
fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit
20

adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita,
keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca
operasi sangatlah menentukan. Hal ini dapat dimengerti jikalau kita mencermati perbedaan
prosedur operasi yang dipergunakan. Jika memakai prosedur Swenson asli (I), maka kita
melakukan reseksi rektum 2 cm diatas anal verge, yang tentunya tidak sama struktur
anatominya antara neonati dan anak yang sudah agak besar. Pada anak yang sudah agak
besar, pemotongan 2 cm dari anal verge dapat mencederai spinkter ani interna sehingga
inkontinensia dapat terjadi. Oleh sebab itu Swenson menganjurkan pemotongan rektum pada
level yang berbeda: 2 cm di anterior dan 0,5-1 cm di posterior (Swenson II).
Disamping itu penyebab lain kecipirit pada prosedur Swenson disebabkan oleh stenosis
sirkuler yang terjadi. Pemotongan rektum yang terlalu tinggi memang dapat menyelamatkan
fungsi spinkter ani, namun menyebabkan obstipasi berulang. Hal ini terlihat pada prosedur
Rehbein dimana reseksi dan anastomose kolorektal dilakukan intraabdominal, memberikan
hasil kontinensia yang sangat memuaskan namun tinggi angka obstipasi sehingga kurang
disukai ahli bedah. Sedangkan prosedur Duhamel modifikasi merupakan prosedur yang
paling logis dalam mengatasi masalah inkontinensia dan obstipasi. Pemotongan rektum 2 cm
dari anal verge pada lingkaran posterior tidak akan mencederai spinkter ani interna,
sedangkan mengatasi sisa kolon aganglionik yang terlalu panjang adalah dengan membelah
septum sepanjang mungkin. Hal ini dapat menerangkan mengapa dengan prosedur Duhamel
modifikasi, diperoleh angka stenosis, kecipirit dan obstipasi kronik yang rendah. Namun
kecipirit tidaklah sama dengan inkontinensia. Kartono mengusulkan pembagian inkontinensia
atas: kecipirit, kontinensia kurang, inkontinensia dan obstipasi berulang. Kriteria tersebut
bersifat subjektif dan bersifat non skala sehingga sulit dipergunakan dalam menilai
keberhasilan operasi tarik terobos. Sedangkan Hekkinenmengusulkan 7 parameter objektif
untuk menilai fungsi anorektal dengan masing-masing memiliki skor. (Tabel 1) Dikatakan
normal apabila skor 14, kontinensia baik apabila skor 10 13, kontinensia sedang jika skor
antara 59, sedangkan inkontinensia apabila skor sama dengan atau kecil dari 4.

21

22

2.2.10. Penatalaksanaan
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
1. Untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi,
2. Sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan,
dan
3. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan elektrolit,
menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik, seperti sepsis. Maka
dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian
antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.
Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar dan
cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi
colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi prosedur untuk
mengurangi resiko terjadinya enterocolitis. Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti
memicu pola pergerakan usus yang normal pada pasien post-operatif.
1. Preoperatif
A. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi buruk disebabkan
buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan yang disebabkan oleh obstuksi
gastrointestinal. Sebagian besar memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral.
Meskipun demikian bayi dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy
danpat diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama dilatasi
rectal preoperative dan irigasi rectal.
B. Terapi farmakologik
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan untuk
mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya.
Untuk mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi rectum dan kolon melalui
serangkaian pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rectal dalam 24-48 jam sebelum
pembedahan. Antibiotik oral dan intravena diberikan dalam beberapa jam sebelum
pembedahan
.
2. Operatif
Tergantung pada jenis segmen yang terkena.
23

A. Tindakan Bedah Definitif


Transanal endorectal pull-through procedure
Pengambilan mukosa dubur yang aganglion bersama dengan reseksi usus yang lebih
rendah, diikuti dengan anastomosis dari bagian segmen ganglion proksimal ke anus. Ada tiga
buah teknik yang digunakan oleh dokter bedah anak yakini prosedur Swenson, Duhamel,
Soave. Teknik Duhamel dan Soave memberikan hasil yang lebih baik dan dapat digunakan
pada aganglionik total. Teknik lain yang sering digunakan dengan transanal pull through.
Pada kasus aganglionik total, ileum digunakan sebagai anastomosis.
(i). Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik
terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada
dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani.
Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah
meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering
dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan.
Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan
melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian
anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior. Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra
abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik
dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum
diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik,
selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian
kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal
pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior,
selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik
terobos tadi.

24

Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah


anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik/ abdomen. Selanjutnya dilakukan
reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.
(ii).Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi
pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal
yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan
dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.

Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi


stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang
ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur
Duhamel, diantaranya :
1. Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan
endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;
2. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan
anastomose side to side yang panjang;
3. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang
terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
4. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps
sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca
bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem
dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi
hemostasis.

25

(iii).Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk
tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitive Penyakit Hirschsprung.

Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang
aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam
lumen rektum yang telah dikupas tersebut.
(iv).Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose
end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas
anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal.
Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis
(v). Myomectomy anorectal
Untuk anak dengan penyakit Hirschsprung dengan segmen yang sangat pendek,
membuang sedikit bagian midline posterior rektal merupakan alternatif operasi lainnya.
Prosedur ini membuang 1 cm dinding rektal ekstramukosal yang bermula sekitar proksimal
garis dentate. Mukosa dan submukosa dipertahankan dan ditutup.

26

3. Post operatif
Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal pull-through),
pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan long
segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian baru
dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson.
Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa
kolostomi sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan
anastomosis. Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan
pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke empat pada pasien
yang sering muntah pada pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi selama periode
ini dan memerlukan perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.

27

2.2.11. Prognosis
a.

Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat bergantung pada

early diagnosis (diagnosis awal) dan pendekatan operasi. Operasi definitif biasanya cukup
berhasil dalam mengembalikan fungsi colon yang normal. Mortalitas penyakit ini lebih tinggi
terutama pada pasien yang telah disertai komplikasi seperti enterocolitis.
b.

Kelangsungan Organ
Colon yang mengalami aganglionik tidak dapat lagi berfungsi dengan baik, sehingga

operasi definitif pull-through merupakan satu-satunya cara yang paling baik hingga saat ini
untuk memperoleh fungsi organ usus yang normal. Operasi ini sebaiknya tidak ditunda
kecuali atas indikasi tertentu. Hal ini untuk menghindari komplikasi yang dapat terjadi.

28

BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Hirschsprung adalah penyakit kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada
usus besar karena otot-otot dalam usus bergerak dengan tidak semestinya. Hal ini biasanya
terjadi pada anak-anak. Penyakit Hirschsprung terjadi sebelum bayi tersebut lahir. Sel-sel
saraf pada usus berhenti berkembang sebelum mencapai akhir dari saluran pencernaan. Pada
orang yang menderita penyakit Hirschsprung, otot-otot usus yang sehat dapat mendorong
feses sampai ke bagian yang tidak memiliki sel-sel saraf. Pada titik ini, feses berhenti
bergerak dan menyebabkan akumulasi feses di belakangnya. Apabila penyakit Hirschsprung
tidak dirawat, feses dapat mengisi usus besar. Hal ini dapat menyebabkan masalah yang
serius seperti infeksi, pecahnya kolon, dan bahkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA
1

Budi Irawan , Bab 1 dan Bab 2 dalam; Pengamatan fungsi anorektal pada penderita
penyakit Hirschprung pasca operasi pull- through .Bagian ilmu bedah fakultas kedokteran
Universitas Sumatera Utara 2003. Halaman 1,3,4,5,6,7,8,9,10,11 dan 15.

Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility Society
(AMS) and the International Foundation For Functional Gastrointestinal Disorders
(IFFGD)

Hye Jin Kim, MD, Ah Young Kim,MD, Choong Wok Lee, MD, Chang Sik Yu, MD,Jung
Sun Kim, MD, Pyo Nyun Kim,MD, Moon Cayu Lee, MD and Hyun Kwon Ha, MD
.Hirschprung Disease and Hypoaganglionosis In Adults. May 2008.

Kumar Abbas, and Fausto Mitchell, Chapter 15, Developmental Anomalies dalam Robin
Pathologic Basis of Disease 8th Edition 2005. Halaman 601.

Puri and M.Hollwarth dalam ; Pediatric Surgery. Springer-Verby Berlin 2006. Halaman
275.

Frank H. Netter, MD ;Atlas of Netter 4 th Edition 2006. Plate 312, Plate 369, plate 371,
dan plate 386

Holly L Neville, MD; Chief Editor: Carmen Cuffari, MD. Penyakit Hirschprung
Pediatric, updated on Jul 13, 2010.. Diundah www.emedicine.com
29

Pediatric Surgical Problem, Chapter 18.Colon and Rectal Surgery.Marwin L.Corman.


Edisi ke 5. Lippincott Williams and Wilkins 2005. Halaman 559 dan 560.

Pediatric Radiology , Chapter 52 ,Pediatric Abdomen and PelvisFundamentals of


Diagnostic Radiology dalam 3rd Edition ditulis oleh William E. Brant MD, FACR dan
Clyde A. Helms MD. Halaman 1293.

10 Ciro Yoshida, Jr, MD ; Hirschprung Disease Imaging, dalam Medscape Referrence, Drug.
Disease and Procedure updated on May 25,2011. Diundah dari www.emedicine.
medscape.com
11 Teresa Berrocal, MD, Manuel Lamas, MD, Julia Gutierrez, MD, Isabel Torres, MD,
Consuelo Prieto, MD, and Maria Luisa del Hoyo, MD. Congenital anomalies of the small
intestine, colon, and rectum. Diundah dari Radiographics.rsna.org. September 1999.
12 Alberto Pena dan Marc A Levitt, Surgical Therapy of Hirschprung Disease dalam
Constipation Etiology, Evaluation and Management. Ditulis oleh; Steven Wexner dan
Graeme S. Duthie. Springer- Verlag London Limited 2006. Pediatric Surgical Problem
Chapter 18 dalam Colon and Rectal Surgery ditulis oleh Marwin L.Corman. Edisi ke 5.
Lippincott Williams and Wilkins 2005.
13 Penatalaksanaan

Pasien

dengan

penyakit

Hirschprung,

diundah

di

www.infokedokteran.com.
14 Vera Loening-Baucke ,MD and Ken Kimura,MD, Failur to Pass meconium: Diagnosing
Neonatal Intestinal Obstruction 1999, diundah dari website www.American Family
Physician.com
15 Megacolon

Kongenital/Hirschprung

Disease

2010

diundah

dari

website

www.infokedokteran UGM.com.
16 Alpha Fardah A, IG.M Reza Gunadi Ranuin Sulajanto Marto Sudarno, Penyakit
Hirschprung , 2011 diundah dari www.pediatric.com.
17 Jon A. Vanderhoof And Rosemary J. Young, Chapter 130, Hirschprung Disease dalam
Current Pedaitric Therapy 18th Edition. Saundey 2006.

30

Вам также может понравиться