Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
REFERAT
HIRSCHSPRUNG DISEASE
Pembimbing :
dr. Gapong Suko W,Sp.B
Penyusun :
Farella Kartika Huzna
112015233
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME, berkat karuniaNya penyusun dapat menyelesaikan pembuatan referat yang berjudul Hirschsprung
disease yang merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
Pendidikan Profesi Dokter Departemen Bedah Umum Rumah Sakit Umum Bethesda
Lempuyangwangi Periode 27 Juni 3 September 2016.
Dalam menyelesaikan referat ini penyusun mengucapkan rasa terima kasih
kepada dr. Gapong Suko W, Sp.B sebagai dokter pembimbing. Penyusun menyadari
bahwa dalam penyusunan referat ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh
dari kesempurnaan, sehingga penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun
guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup mata, khususnya
yang berhubungan dengan referat ini.
Tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di
Departemen Bedah Umum Rumah Sakit Umum Bethesda Lempuyangwangi atas ilmu
dan bimbingannya selama ini. Semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman
pada khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu
kedokteran pada umumnya. Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
3
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
2.
eksternal laki-laki
Gambar
Spinkter
ani
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil,
kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik
(syaraf parasimpatis) (Yamada,2000; Shafik,2000; Wexner dkk,2000; Neto
dkk,2000). (Gambar 4)
10
2.2.2. Sejarah
Ruysch (1691) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang aganglionik
pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa megakolon. Namun baru 2 abad
kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini,
yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal
Swedia ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang
menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu
adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini, sehingga
pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi. Namun kedua jenis
pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah
menemukan adanya kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion
parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu pendapatnya
tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade kemudian, Robertson dan Kernohan
(1938) mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh
gangguan peristaltik usus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
Zuelser dan wilson(1948) mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit
tidak ditemukan ganglion parsimpatis.sejak saat itu penyakit ini lebih dikenal dengan istilah
aganglionosis kongenital. Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan bawaan sejak lahir, jadi
tak bisa dicegah.Umumnya, kelainan ini biasanya terjadi pada anak lahir normal atau cukup
bulan dan diketahui di bawah usia setahun. Menurut data di Amerika, kelainan hirschsprung
banyak dialami anak laki-laki dibanding anak perempuan, dengan perbandingan 3,8 : 1.
Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas tentang defek ganglion
pada kolon distal sebagai akibat penyakit Hirschsprung, hingga Swenson dalam laporannya
menerangkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak
terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Swenson melakukan operasi pengangkatan segmen
yang aganglionik dengan hasil yang memuaskan. Laporan Swenson ini merupakan laporan
pertama yang secara meyakinkan menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek
ganglion dengan gejala klinis yang terjadi (Irwan, 2003).
Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan merupakan
akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh karena lesi
primer sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan
simpatektomi. Keterangan inilah yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan
segmen aganglionik dengan preservasi spinkter ani .
Okamoto dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi
akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke distal
11
mengikuti serabut-serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rektum
(Irwan, 2003).
2.2.3. Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung.
Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke
RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta .
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini
(ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan
bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka
yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya
saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks
vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).
2.2.3. Etiologi
Biasanya, karena bayi tumbuh dalam kandungan, kumpulan sel saraf (ganglia) mulai
terbentuk antara lapisan otot di bagian usus besar yang panjang. Proses ini dimulai pada
bagian atas dan berakhir di usus besar bagian bawah (dubur). Pada anak-anak dengan
penyakit Hirschsprung, proses ini tidak selesai dan tidak ada ganglion di sepanjang seluruh
panjang dengan dua titik. Kadang-kadang sel-sel yang hilang dari hanya beberapa centimeter
dari usus besar.
Mengapa hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti. Hal ini dapat dikaitkan dengan
beberapa gen mutations. Ini juga dikaitkan dengan beberapa kelenjar endokrin neoplasia,
sebuah sindrom yang menyebabkan noncancerous Tumors di lendir membranes dan adrenal
glands (terletak di atas ginjal) dan kanker dari thyroid gland (terletak di bagian bawah leher).
Hirschsprung's tidak disebabkan oleh sesuatu yang tidak ibu selama kehamilan. Dalam
beberapa kasus, penyakit ini mungkin warisan, bahkan jika orang tua tidak memiliki
penyakit. Hirschsprung juga 10 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dengan Down
syndrome
1. Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus myenteric
(Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk Hirschsprungs disease.
Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini disebabkan oleh karena kegagalan
12
migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5
sampai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun
gagal unutk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka
mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen
didalam lingkungan mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu
migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik,
immunologis, vascular, atau mekanisme lainnya
2. Mutasi pada RET proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah
ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprungs disease segmen panjang dan familial.
Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan
dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk
Hirschsprungs disease adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi
pada kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan
sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan
pada penyakit non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene (EDN3) baru-baru ini
telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah
mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting untuk perklembangan normal dari
sistem saraf enterik. Mutasi pada proto-oncogene RET adalah diwariskan dengan pola
dominan autosom dengan 50 sampai 70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus
familial dan pada hanya 15 sampai 20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan
dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis.
3. Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-sel
neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari antigen major
histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada segmen aganglionik
dari usus pasien dengan Hirschsprungs disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan
ganglionik normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada perkembangan
penyakit ini.
4. Matriks protein ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerkan
dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV yang
tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan dalam
13
lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan
memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprungs disease.
2.2.4. Patofisiologi
Motilitas usus diatur oleh sistem saraf otonom dan sistem saraf enterik. Sistem saraf
enterik ini merupakan sistem saraf tersendiri pada saluran cerna yang terletak di seluruh
dinding saluran cerna. Terdapat 2 pleksus utama pada sistem saraf enterik yakni pleksus
submukosa (meissner) yang terletak pada lapisan submukosa dan pleksus mienterikus
(auerbach) yang terletak di antara otot longitudinal dan sirkuler organ pencernaan termasuk
colon. Sistem persarafan inilah yang kemudian akan mengatur berbagai fungsi usus termasuk
sekresi, absorbsi, dan kecepatan motilitas usus.
Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi
peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding rektum dan
memicul refleks defekasi. Refleks defekasi ini disebabkan oleh relaksasi muskulus sfingter
ani internus dan kontraksi rektum dan sigmoid yang lebih kuat. Bila muskulus sfingter ani
eksternus yang berada di bawah kontrol kesadaran juga berelaksasi, maka terjadilah defekasi.
Pada penyakit Hirschsprung, pleksus mienterikus dan submukosa tidak terdapat pada
dinding kolon yang mengalami aganglionosis, atau dengan kata lain terjadi malformasi dari
kompleks dan sistem saraf enterik usus. Malformasi ini memungkinkan terjadinya defek pada
fungsi saraf parasimpatis (kolinergik), sementara fungsi saraf simpatis (adrenergik) menjadi
lebih dominan. Akibatnya terjadi gangguan pengaturan fungsi motilitas usus termasuk refleks
defekasi yang dimediasi oleh parasimpatis. Abnormalitas fungsional yang paling khas adalah
kegagalan refleks muskulus sfingter ani internus untuk berelaksasi setelah terjadi peregangan
rektum. Peregangan rektum yang sementara ini menyebabkan tekanan intralumen pada
spinkter ani internal menurun dan sering diikuti oleh kontraksi dari spinkter ani eksternal.
Usus normal menerima persarafan intrinsik dari sistem persarafan parasimpatis
(kholinergis) dan simpatis (adrenergis). Serabut saraf kolinergik menyebabkan perangsangan
pada kolon (kontrasi) dan menginhibisi sphincter ani, sedangkan serabut-serabut adrenergik
menginhibisi kolon (relaksasi) dan mengeksitasi sphincter.
Sebagi tambahan, terdapat suatu sistem saraf intrinsik enterik yang luas didadalm
dinding usus sendiri yang tersusun atas berbagai macam serabut inhibisi non-adrenergic noncholinergic (NANC) yang berfungsi dalam pengaturan sekresi intestinal, motilitas,
pertahanan mukosa, dan respon imun. Sel-sel ganglion mengkoordinasikan aktivitas
14
15
16
sebaiknya menggunakan double contrast karena mampu menampilkan mukosa kolon secara
lebih rinci. Dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3.
Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Pemeriksaan dengan barium
enema, berguna untuk mengetahui daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang
tidak teratur disegmen yang menyempit, enterokolitis disegmen yang melebar,
terdapat retensi barium setelah 24-48 jam sehingga diketahui panjang daerah yang
terkena.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung,
maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium
dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di
daerah rektum dan sigmoid.
jumlah submukosa yang adekuat untuk menilai sel ganglion, kedua yaitu menentukan lokasi
yang tepat untuk pengambilan sampel biopsi.
Terdapat dua pewarnaan yang digunakan, pertama pewarnaan dengan hematoksilineosin, digunakan pada sampel yang baik agar dapat membantu diagnosis, akan tetapi, pada
spesimen yang kurang baik, digunakan pewarnaan dengan asetilkolinesterase. Pewarnaan
asetilkolinesterase sangat berguna pada pemeriksaan dengan sampel yang mempunyai
submukosa yang terbatas dan sampel yang tidak mempunyai sel ganglion.
Pada pemeriksaan didapatkan hipertrofi dari serabut saraf ekstrinsik pada lamina
propria dan mukosa otot, tetapi tidak selalu, dapat juga diidentifikasi kolon yang tidak
berganglion.
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion
pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan
akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,
suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan
pengecatan
konvensional
dengan
haematoxylin
eosin.
Disamping
memakai
18
Sedangkan tujuan utama dari setiap operasi definitif adalah menyelesaikan secara tuntas
penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik fungsi spinkter ani
dan kontinen.
1. Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan
ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca
operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat
kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal,
peritonitis, sepsis dan kematian (Irwan, 2003).
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis
sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat
prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga fistula perianal (Irwan, 2003).
3. Ruptur kolon
4. Enterokolitis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis
sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat
prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga fistula perianal (Irwan, 2003).
5. Gangguan fungsi spinkter
Sedangkan fungsi spinkter ani pasca bedah yang merupakan pokok bahasan utama dari
penelitian ini dapat dikatakan sebagai parameter utama keberhasilan operasi tarik terobos,
disamping komplikasi utama yang disebutkan diatas. Namun hingga saat ini, belum ada suatu
parameter atau skala yang diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling
atau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai
fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit
20
adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita,
keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca
operasi sangatlah menentukan. Hal ini dapat dimengerti jikalau kita mencermati perbedaan
prosedur operasi yang dipergunakan. Jika memakai prosedur Swenson asli (I), maka kita
melakukan reseksi rektum 2 cm diatas anal verge, yang tentunya tidak sama struktur
anatominya antara neonati dan anak yang sudah agak besar. Pada anak yang sudah agak
besar, pemotongan 2 cm dari anal verge dapat mencederai spinkter ani interna sehingga
inkontinensia dapat terjadi. Oleh sebab itu Swenson menganjurkan pemotongan rektum pada
level yang berbeda: 2 cm di anterior dan 0,5-1 cm di posterior (Swenson II).
Disamping itu penyebab lain kecipirit pada prosedur Swenson disebabkan oleh stenosis
sirkuler yang terjadi. Pemotongan rektum yang terlalu tinggi memang dapat menyelamatkan
fungsi spinkter ani, namun menyebabkan obstipasi berulang. Hal ini terlihat pada prosedur
Rehbein dimana reseksi dan anastomose kolorektal dilakukan intraabdominal, memberikan
hasil kontinensia yang sangat memuaskan namun tinggi angka obstipasi sehingga kurang
disukai ahli bedah. Sedangkan prosedur Duhamel modifikasi merupakan prosedur yang
paling logis dalam mengatasi masalah inkontinensia dan obstipasi. Pemotongan rektum 2 cm
dari anal verge pada lingkaran posterior tidak akan mencederai spinkter ani interna,
sedangkan mengatasi sisa kolon aganglionik yang terlalu panjang adalah dengan membelah
septum sepanjang mungkin. Hal ini dapat menerangkan mengapa dengan prosedur Duhamel
modifikasi, diperoleh angka stenosis, kecipirit dan obstipasi kronik yang rendah. Namun
kecipirit tidaklah sama dengan inkontinensia. Kartono mengusulkan pembagian inkontinensia
atas: kecipirit, kontinensia kurang, inkontinensia dan obstipasi berulang. Kriteria tersebut
bersifat subjektif dan bersifat non skala sehingga sulit dipergunakan dalam menilai
keberhasilan operasi tarik terobos. Sedangkan Hekkinenmengusulkan 7 parameter objektif
untuk menilai fungsi anorektal dengan masing-masing memiliki skor. (Tabel 1) Dikatakan
normal apabila skor 14, kontinensia baik apabila skor 10 13, kontinensia sedang jika skor
antara 59, sedangkan inkontinensia apabila skor sama dengan atau kecil dari 4.
21
22
2.2.10. Penatalaksanaan
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
1. Untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi,
2. Sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan,
dan
3. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan elektrolit,
menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik, seperti sepsis. Maka
dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian
antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.
Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar dan
cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi
colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi prosedur untuk
mengurangi resiko terjadinya enterocolitis. Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti
memicu pola pergerakan usus yang normal pada pasien post-operatif.
1. Preoperatif
A. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi buruk disebabkan
buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan yang disebabkan oleh obstuksi
gastrointestinal. Sebagian besar memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral.
Meskipun demikian bayi dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy
danpat diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama dilatasi
rectal preoperative dan irigasi rectal.
B. Terapi farmakologik
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan untuk
mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya.
Untuk mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi rectum dan kolon melalui
serangkaian pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rectal dalam 24-48 jam sebelum
pembedahan. Antibiotik oral dan intravena diberikan dalam beberapa jam sebelum
pembedahan
.
2. Operatif
Tergantung pada jenis segmen yang terkena.
23
24
25
(iii).Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk
tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitive Penyakit Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang
aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam
lumen rektum yang telah dikupas tersebut.
(iv).Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose
end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas
anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal.
Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis
(v). Myomectomy anorectal
Untuk anak dengan penyakit Hirschsprung dengan segmen yang sangat pendek,
membuang sedikit bagian midline posterior rektal merupakan alternatif operasi lainnya.
Prosedur ini membuang 1 cm dinding rektal ekstramukosal yang bermula sekitar proksimal
garis dentate. Mukosa dan submukosa dipertahankan dan ditutup.
26
3. Post operatif
Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal pull-through),
pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan long
segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian baru
dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson.
Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa
kolostomi sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan
anastomosis. Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan
pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke empat pada pasien
yang sering muntah pada pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi selama periode
ini dan memerlukan perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.
27
2.2.11. Prognosis
a.
Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat bergantung pada
early diagnosis (diagnosis awal) dan pendekatan operasi. Operasi definitif biasanya cukup
berhasil dalam mengembalikan fungsi colon yang normal. Mortalitas penyakit ini lebih tinggi
terutama pada pasien yang telah disertai komplikasi seperti enterocolitis.
b.
Kelangsungan Organ
Colon yang mengalami aganglionik tidak dapat lagi berfungsi dengan baik, sehingga
operasi definitif pull-through merupakan satu-satunya cara yang paling baik hingga saat ini
untuk memperoleh fungsi organ usus yang normal. Operasi ini sebaiknya tidak ditunda
kecuali atas indikasi tertentu. Hal ini untuk menghindari komplikasi yang dapat terjadi.
28
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Hirschsprung adalah penyakit kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada
usus besar karena otot-otot dalam usus bergerak dengan tidak semestinya. Hal ini biasanya
terjadi pada anak-anak. Penyakit Hirschsprung terjadi sebelum bayi tersebut lahir. Sel-sel
saraf pada usus berhenti berkembang sebelum mencapai akhir dari saluran pencernaan. Pada
orang yang menderita penyakit Hirschsprung, otot-otot usus yang sehat dapat mendorong
feses sampai ke bagian yang tidak memiliki sel-sel saraf. Pada titik ini, feses berhenti
bergerak dan menyebabkan akumulasi feses di belakangnya. Apabila penyakit Hirschsprung
tidak dirawat, feses dapat mengisi usus besar. Hal ini dapat menyebabkan masalah yang
serius seperti infeksi, pecahnya kolon, dan bahkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
1
Budi Irawan , Bab 1 dan Bab 2 dalam; Pengamatan fungsi anorektal pada penderita
penyakit Hirschprung pasca operasi pull- through .Bagian ilmu bedah fakultas kedokteran
Universitas Sumatera Utara 2003. Halaman 1,3,4,5,6,7,8,9,10,11 dan 15.
Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility Society
(AMS) and the International Foundation For Functional Gastrointestinal Disorders
(IFFGD)
Hye Jin Kim, MD, Ah Young Kim,MD, Choong Wok Lee, MD, Chang Sik Yu, MD,Jung
Sun Kim, MD, Pyo Nyun Kim,MD, Moon Cayu Lee, MD and Hyun Kwon Ha, MD
.Hirschprung Disease and Hypoaganglionosis In Adults. May 2008.
Kumar Abbas, and Fausto Mitchell, Chapter 15, Developmental Anomalies dalam Robin
Pathologic Basis of Disease 8th Edition 2005. Halaman 601.
Puri and M.Hollwarth dalam ; Pediatric Surgery. Springer-Verby Berlin 2006. Halaman
275.
Frank H. Netter, MD ;Atlas of Netter 4 th Edition 2006. Plate 312, Plate 369, plate 371,
dan plate 386
Holly L Neville, MD; Chief Editor: Carmen Cuffari, MD. Penyakit Hirschprung
Pediatric, updated on Jul 13, 2010.. Diundah www.emedicine.com
29
10 Ciro Yoshida, Jr, MD ; Hirschprung Disease Imaging, dalam Medscape Referrence, Drug.
Disease and Procedure updated on May 25,2011. Diundah dari www.emedicine.
medscape.com
11 Teresa Berrocal, MD, Manuel Lamas, MD, Julia Gutierrez, MD, Isabel Torres, MD,
Consuelo Prieto, MD, and Maria Luisa del Hoyo, MD. Congenital anomalies of the small
intestine, colon, and rectum. Diundah dari Radiographics.rsna.org. September 1999.
12 Alberto Pena dan Marc A Levitt, Surgical Therapy of Hirschprung Disease dalam
Constipation Etiology, Evaluation and Management. Ditulis oleh; Steven Wexner dan
Graeme S. Duthie. Springer- Verlag London Limited 2006. Pediatric Surgical Problem
Chapter 18 dalam Colon and Rectal Surgery ditulis oleh Marwin L.Corman. Edisi ke 5.
Lippincott Williams and Wilkins 2005.
13 Penatalaksanaan
Pasien
dengan
penyakit
Hirschprung,
diundah
di
www.infokedokteran.com.
14 Vera Loening-Baucke ,MD and Ken Kimura,MD, Failur to Pass meconium: Diagnosing
Neonatal Intestinal Obstruction 1999, diundah dari website www.American Family
Physician.com
15 Megacolon
Kongenital/Hirschprung
Disease
2010
diundah
dari
website
www.infokedokteran UGM.com.
16 Alpha Fardah A, IG.M Reza Gunadi Ranuin Sulajanto Marto Sudarno, Penyakit
Hirschprung , 2011 diundah dari www.pediatric.com.
17 Jon A. Vanderhoof And Rosemary J. Young, Chapter 130, Hirschprung Disease dalam
Current Pedaitric Therapy 18th Edition. Saundey 2006.
30