Вы находитесь на странице: 1из 7

Penatalaksanaan

Tujuan terapi hipertiroidisme adalah mengurangi sekresi kelenjar tiroid. Sasaran terapi dengan
menekan produksi hormon tiroid atau merusak jaringan kelenjar (dengan yodium radioaktif atau
pengangkatan kelenjar).
Adapun penatalaksanaan terapi hipertiroidisme meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi
farmakologi. Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan:
1. Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000 kalori per
hari baik dari makanan maupun dari suplemen.
2. Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan) per hari untuk
mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur.
3. Olah raga secara teratur.
4. Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme.
Penatalaksanaan hipertiroidisme secara farmakologi menggunakan kelompok: obat antitiroid,
penghambat transport iodida (-adrenergik-antagonis), dan bahan yang mengandung iodida yang
menekan fungsi kelenjar tiroid.
Adapun obat-obat yang temasuk obat antitiroid adalah Propiltiourasil, Methimazole, Karbimazol,
dan Tiamazol. Obat anti tiroid bekerja dengan menghambat sintesis hormon tiroid dan
menghambat konversi T4 menjadi T3
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah. Idealnya, terapi yang
diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan
suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan
dekompensasi multi organ. Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mengatasi faktor pencetusnya yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif untuk mencegah

kekambuhan. Krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan
pengawasan terus-menerus.

Penatalaksanaan: menghambat sintesis hormon tiroid


Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) digunakan untuk
menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi
perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI
merupakan agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya
menghambat inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat
hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi
kedua obat tersebut. PTU diindikasikan untun hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit
Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan risiko
terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan hati
serius telah ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya
meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali pada pasien
yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk wanita dengan kehamilan trimester
pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati,
termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan tanda kerusakan hati,
terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan
bertahap terapi PTU dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan
suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran
terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi pada
pasien agar menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan, kelemahan, nyeri
perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya mata maupun kulit pasien.

Penatalaksanaan: menghambat sekresi hormon tiroid

Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat dihambat dengan sejumlah
besar dosis iodium yang menurunkan uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan
jenuh kalium iodida dapat digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan setelah
sekitar satu jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang
digunakan secara tunggal akan membantu meningkatkan cadangan hormon tiroid dan dapat
semakin meningkatkan status tirotoksik. Bahan kontras yang teiodinasi untuk keperluan
radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat diberikan untuk keperluan iodium dan untuk menghambat
konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer. Kalium iodida dapat menurunkan aliran darah ke
kelenjar tiroid dan hanya digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis. Pasien yang intoleran
terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid.
Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena
penggunaan iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon tiroid
melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan dialisis
peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain yang digunakan untuk menghilangkan
hormon yang berlebih di sirkulasi darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan
pada pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini awal. Preparat intravena natrium
iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan per 8-12 jam) telah ditarik dari pasaran.

Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid


Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon tiroid. Propranolol
menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi T4 menjadi T3. Obat ini
menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala.
Namun, propranolol menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada
dosis yang besar. Pemberian secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan
terhadap irama jantung pasien.
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang berhasil digunakan pada
krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif, seperti propranolol maupun esmolol, tidak
dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma.

Untuk kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan
dengan reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar
propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan pada dalam keadaan kolaps
kardiovaskular atau syok.

Penatalaksanaan: penanganan suportif


Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi dehidrasi dan hipotensi.
Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan peningkatan transit usus dan takipnu akan
membawa pada kehilangan cairan yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat
menjadi 3-5 L per hari. Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien
lanjut usia dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat
digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat. Berikan pulan cairan
intravena yang mengandung glukosa untuk mendukung kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama
vitamin B1, dapat ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia diatasi
melalui aksi sentral dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk hal tersebut karena
aspirin dapat menggantikan hormon tiroid untuk terikat pada reseptornya dan malah
meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk
menyerap panas secara perifer. Oksigen yang dihumidifikasi dingin disarankan untuk pasien ini.
Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan angka harapan
hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati kemungkinan insufisiensi relatif
akibat percepatan produksi dan degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung. Namun,
pasien mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh
insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptakeiodium dan titer antibodi
yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman vaskuler. Sebagai tambahan,
deksametason dan hidrokortison dapat memiliki efek menghambat konversi T4 menjadi T3.
Dengan demikian, dosis glukokortikoid, seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin
diberikan.

Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi jantung juga dapat muncul
pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa penyakit jantung sebelumnya. Pemberian
digitalis diperlukan untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium.
Obat-obat anti-koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan jika
tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih besar daripada dosis
yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar digoksin untuk mencegah keracunan.
Seiring membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan. Gagal jantung
kongestif muncul sebagai akibat gangguan kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan
pengawasan dengan kateter Swan-Ganz.
Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid. Hilangnya tonus vagal selama
tirotoksikosis dapat memicu iskemia miokardial transien dan pengawasan jangka panjang
elektrokardiogram (EKG) dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial
tersebut. Blokade saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan
efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan memperbaiki
ketidakseimbangan simpatovagal.

Penatalaksanaan: efek samping


Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi mudah berdarah,
kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas, peningkatan kadar transaminase
hingga tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis
eksfoliatif, vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum. Meskipun
termasuk rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat ini harus
tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves selama kehamilan. Risiko
kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak,
terutama selama enam bulan pertama terapi.
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada penggunaan obat anti-tiroid dan
merupakan etiologi atas infeksi yang didapat dari komunitas dan mengancam jiwa pasien yang
menggunakan obat-obat ini. Manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam (92%) dan

sakit tenggorokan (85%). Diagnosis klinis awal biasanya adalah faringitis akut (46%), tonsilitis
akut (38%), pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur darah positif
untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Capnocytophaga
species. Kematian disebabkan oleh infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal organ
yang multipel. Basil Gram negatif, seperti Klebsiella pneumoniae dan P. aeruginosa, merupakan
patogen yang paling sering ditemui pada isolat klinis. Antibiotik spektrum luas dengan aktifitas
anti-pseudomonas harus diberikan pada pasien dengan agranulositosis yang disebabkan oleh obat
anti-tiroid yang menampilkan manifestasi klinis infeksi yang berat.

Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain hipoparatiroidisme,
kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal atau terapi RAI,
gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir,
gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot
proksimal. Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang jarang terjadi.
Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami henti jantung satu jam
setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang
mengejutkan adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat
hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan
normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan untuk menegakkan
diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan.
Penting pula untuk menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid
yang atipik.

Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian keseluruhan akibat krisis
tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat laporan penelitian yang menyebutkan

hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid.
Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.

Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat setelah diagnosis
ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade hormon
tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi
akibat: 1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan
ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang
rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi
sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa
penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah
menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI
dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang
lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua.
Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada
pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCuneAlbright)

Вам также может понравиться