Вы находитесь на странице: 1из 10

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA

PERANAN HUKUM LAUT INDONESIA


DALAM MENCIPTAKAN KESEJAHTERAAN BANGSA INDONESIA

1.

LATAR BELAKANG.
Sejak dahulu kala Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.

Dengan luasnya lautan yang dimiliki banyak potensi kekayaan laut yang dapat kita
manfaatkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Dilihat dari pendekatan sismennas yang
digunakan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Laut Indonensia memiliki kekayaan
sumber daya berlimpah.
Di satu sisi Indonesia memposisikan diri sebagai negara kepulauan dengan kekayaan
lautnya yang melimpah, tetapi di sisi lain Indonesia juga memposisikan diri secara kultural
sebagai bangsa agraris. Namun pengelolaan dan regulasi yang mengatur penggunaan dan
perlindungan kekayaan laut tersebut dinilai masih kurang memberi keuntungan bagi negara.
Sehingga perlu upaya-upaya dari berbagai pihak untuk bekerjasama dalam pemanfaatan
kekayaan laut secara optimal dan terarah.
2.

PEMBAHASAN
A.

Kondisi saat ini


Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas, sekitar

2/3 wilayah negara ini berupa lautan. Dengan cakupan wilayah laut yang begitu
luasnya, maka Indonesia pun diakui secara internasional sebagai Negara Maritim yang
ditetapkan dalam UNCLOS 1982 yang memberikan kewenangan dan memperluas
wilayah laut Indonesia dengan segala ketetapan yang mengikutinya. Selain itu juga
terjadi perluasan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE serta landas kontinen
serta Indonesia juga masih memiliki hak atas pengelolaan natural reseources di laut
bebas dan di dasar samudera. Kesemuanya ini menjadikan Indonesia sebagai negara
yang sangat kaya.

Semenjak diratifikasinya United Nation Convention on the Law of The Sea


melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982, Indonesia belum memiliki kebijakan yang
secara spesifik mengatur laut. Padahal, dua pertiga wilayahnya berupa perairan laut dan
karenanya menjadi Negara Kepulauan. Sumberdaya alam laut yang terkandung
didalamnya demikian besar, mencakup sumberdaya alam yang dapat diperbarui
(renewable resources) maupun tidak (non renewable resources). Selain itu juga
mengandung sumber energi alternatif dan jasa kelautan. Dengan demikian kebijakan
kelautan nasional yang mampu mengintegrasikan pembangunan ekonomi semua sektor
secara berkelanjutan mutlak diperlukan agar dapat mengatur pemanfaatan potensi
kelautan yang demikian besar untuk mensejahterakan rakyat.1
Demikian strategisnya laut, karena itu laut adalah wilayah kedaulatan penting yang
diincar, diperebutkan, dan dipertahankan oleh banyak bangsa dan negara sejak dulu
kala sampai saat ini. Menguasai laut, terutama selat, dari zaman dulu berarti menguasai
"jalan air" sebagai jalur perdagangan yang berarti mengendalikan perekonomian dan
sekaligus pertahanan dan keamanan suatu bangsa dan negara. Jadi, jangan heran, kalau
kini banyak sengketa bilateral dan internasional karena teritorial laut, seperti klaim atas
Ambalat dan Laut Cina Selatan.
Bangsa yang jaya di masa lampau adalah bangsa yang menguasai lautan dengan
teknologi pelayaran, astronomi, pembangunan kapal, dan armada perangnya.
Setelah lebih dari tiga dasawarsa membangun secara terencana, ekonomi di
bidang kelautan (ekonomi kelautan) masih diposisikan sebagai sektor pinggiran
(peripheral sector) serta tidak menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan
nasional. Jika melihat kontribusi setiap sektor terhadap PDB nasional yang
pertumbuhannya relatif lambat, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi
kelautan masih memprihatinkan.
Dengan terbatasnya sumberdaya daratan maka pengembangan aktivitas ekonomi
berbasiskan pesisir dan laut (kelautan) menjadi sangat penting bagi masa depan bangsa
Indonesia. Pembangunan ekonomi dalam bidang kelautan belum menjadi mainstream
pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun demikian bidang kelautan yang terdiri dari
1 Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012, Kebijakan Ekonomi Kelautan
dengan Model Ekonomi Biru, Jakarta.

tujuh sektor ekonomi, yakni (i) perhubungan laut, (ii) industri maritim, (iii) perikanan,
(iv) wisata bahari, (v) energi dan sumberdaya mineral, (vi) bangunan kelautan serta
(vii) jasa kelautan, memiliki kontribusi sebesar 22,42% terhadap produk domestik bruto
(PDB) nasional pada tahun 2005. Nilai kontribusi ekonomi yang cukup signifikan
tersebut diikuti dengan daya serap yang tinggi terhadap lapangan kerja seharusnya
mampu mensejahterakan rakyat dan segenap komponen bangsa di tanah air. Namun
karena komitmen pembangunan kelautan nasional yang masih terbatas mengakibatkan
potensi yang dimiliki oleh bidang kelautan (fungsi dan sumberdaya) masih belum
dikembangkan secara optimal.2
Selain itu, banyak nelayan asing yang mencuri ikan di wilayah perairan kita, tiap
tahunnya jutaan ton ikan di perairan kita dicuri oleh nelayan asing yang rata-rata
peralatan tangkapan ikan mereka jauh lebih canggih dibandingkan para nelayan
tradisional kita. Kerugian yang diderita negara kita mencapai Rp 18 trilyun-Rp36
trilyun tiap tahunnya. Hal ini memang kurang bisa dicegah oleh TNI AL sebagai
lembaga yang berwenang dalam mengamankan wilayah laut Indonesia, karena seperti
kita ketahui keadaan alut sista (alat utama sistem senjata) seperti kapal perang yang
dimiliki TNI AL jauh dari mencukupi. Untuk mengamankan seluruh wilayah perairan
Indonesia yang mencapai 5,8 km2, TNI AL setidaknya harus memiliki 500 unit kapal
perang berbagai jenis. Memang jika kita menengok kembali sejarah, di zaman Presiden
Soekarno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah
Amerika Serikat, Uni Soviet,dan Iran. Akan tetapi semuanya hanya bersifat sementara
karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena bantuan Uni Soviet
dalam rangka permainan geopolitik.
Demikian juga Pelanggaran kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan oleh
kapal nelayan China yang dilindung kapal penjaga keamanan China, merupakan
persoalan yang perlu dianggap serius oleh seluruh komponen bangsa di negeri ini.
Upaya intervensi yang dilakukan oleh kapal laut keamanan China terhadap kapal patroli
Indonesia yang menangkap kapal nelayan China, adalah hal yang tidak dapat
dibernarkan secara hukum.

2 Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012, Kebijakan Ekonomi Kelautan


dengan Model Ekonomi Biru, Jakarta.

Intervensi kapal patroli keamanan Tiongkok yang berusaha melindungi kapal


nelayannya dari tangkapan kapal patroli Indonesia, sebenarnya tidak terlepas dari upaya
negeri tersebut untuk kembali menegaskan klaimnya atas Laut China Selatan. Selain
kembali memanaskan situasi hubungan antarnegara yang juga memiliki batas di
wilayah laut tersebut, klaim ini juga kembali membuka peluang atas munculnya konflik
antarnegara. Memanasnya kembali kisruh Laut China Selatan telah dimulai kembali
sejak 2015, dimana pada saat itu China menentukan kembali peta perbatasan lautnya
yang meluas sampai pada beberapa titik wilayah baru. Dalam titik baru tersebut,
terdapat titik yang meliputi wilayah di kepulauan Natuna. Tindakan pemerintah
Tiongkok itu juga sebelumnya telah memunculkan reaksi keras dari negara-negara lain,
seperti Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Penyebarluasan wilayah
baru ini terjadi karena Tiongkok berpatokan pada klaim atas Kepulauan Spratly, yang
sebenarnya masih dalam status sengketa dengan Filipina serta Vietnam. Klaim sepihak
Tiongkok atas Pulau Spratly merugikan banyak negara yang memiliki batas di Laut
China Selatan, ini juga yang kemudian memunculkan reaksi keras Amerika Serikat
dengan mengerahkan kapal perang ke kawasan sengketa pada Oktober 2015. Amerika
mempunyai kepentingan atas teritori Laut China Selatan karena memiliki pangkalan
militer di Filipina, sehingga klaim sepihak China akan dapat merugikan AS dalam
memobilisasi armada perangnya.3
Masuknya kapal-kapal Tiongkok ke wilayah perairan Indonesia dan adanya
perlindungan dari kapal patroli mereka, telah menunjukkan adanya upaya untuk
menentang hukum laut internasional, khususnya terkait dengan Zona Ekonomi
Eksklusif milik Indonesia. Atas dasar kondisi itu memang sudah sewajarnya pemerintah
Indonesia kemudian memberikan teguran yang keras kepada pemerintah Tiongkok.
Sensitivitas persoalan Laut China Selatan kini dengan kata lain tidak lagi menyangkut
persoalan Tiongkok dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Brunei
Darussalam, dan Malaysia.
Keikutsertaan Indonesia secara aktif dalam mengatasi persoalan di Laut China
Selatan seharusnya juga tidak lagi hanya sebatas sebagai penengah, namun juga aktif
menjadi aktor yang mencegah negeri tirai bambu untuk memperluas wilayah
kekuasaannya secara sewenang-wenang. Untuk mengatasi persoalan itu maka upaya
3 http://www.pikiran-rakyat.com/opini/2016/03/31/pelanggaran-di-laut-chinaselatan-365474

diplomasi melalui komunikasi dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk


dengan negara peng-klaim yaitu Tiongkok, mutlak segera dihidupkan kembali. Upaya
ini merupakan cara awal yang dapat ditempuh untuk menghindari adanya gesekan yang
lebih parah di wilayah perairan.
Dasar hukum laut Indonesia menggunakan Asas Archipelago, yang berarti
Indonesia menjadi negara kepulauan atau Archipelagic State. Dalam sidangnya
tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah mengumumkan Perairan Negara Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya merupakan bagian
dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Lalu-lintas di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan
sekadar tidak bertentangan dengan dan/atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan
negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar
menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada
pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Bahkan dalam
perkembangannya, Indonesia sebagai negara kepulauan dapat menarik garis pangkal
lurus kepulauan sampai sejauh 100 mil laut, yang menghubungkan titik-titik paling luar
dari pulau paling luar dan batu-batu karang. Adapun definisi yang diberikan terhadap
negara kepulauan ialah sebagai negara-negara yang terdiri seluruhnya dari satu atau
lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan bahwa yang dimaksud kepulauan ialah
sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling berhubungan (interconnecting waters)
dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian erat, sehingga
membentuk satu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis dan politis atau secara historis
memang dipandang sebagai demikian.4 Suatu perkembangan baru yang penting dalam
konvensi Hukum Laut 1982 adalah diakuinya rezim hukum zona ekonomi eksklusif
(ZEE) sebagai suatu rezim hukum laut internasional yang baru. Sebagai suatu rezim
hukum laut internasional yang baru, zona ekonomi eksklusif merupakan rezim hukum
sui generis, dalam arti suatu rezim hukum yang dibentuk dan ditumbuhkan sebagai
konsep tata pengaturan hukum yang asli (original). 5 Kemudian yang tertulis dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan
4 Chairul Anwar, 1989, Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Jakarta:
Djambatan. Hal 77

zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu, 1)Perairan Pedalaman (Internal waters),
2)Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional, 3)Laut Teritorial (Teritorial waters), 4) Zona tambahan
( Contingous waters), 5) Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone), 6)Landas
Kontinen (Continental shelf), 7) Laut lepas (High seas), 8)Kawasan dasar laut
internasional (International sea-bed area).
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan lautsesuai dengan status
hukum dari kedelapan zonasi pengaturantersebut. Negara-negara yang berbatasan
dengan

laut,

termasukIndonesia

memiliki

kedaulatan

penuh

atas

wilayah

perairanpedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untukzona


tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen,negara memiliki hak-hak
eksklusif, misalnya hak memanfaatkansumberdaya alam yang ada di zona tersebut.
Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara
manapun,sedangkan kawasandasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagianwarisan
umat manusia. Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982) melahirkan
beberapa pokok pengaturan (rezim) hukum laut, yaitu perairan pedalaman, perairan
kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas
kontinen, laut lepas, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Wilayah
laut pedalaman adalah wilayah laut di sisi daratan dari garis pangkal. Garis pangkal ini
ialah garis yang digunakan sebagai pangkal pengukuran lebar wilayah laut teritorial. 6
Kemudian alur laut Indonesia Alur Laut Kepulauan Indonesia yang telah ditetapkan
melalui PP No. 37 tersebut, terdiri dari tiga alur yaitu ALKI I, ALKI II, dan ALKI III.
ALKI I yaitu alur kepulauan yang dapat dipergunakann untuk melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera
Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat
Sunda. ALKI II, yaitu alur laut kepulauan yang dipergunakan untuk melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia
atau sebaliknya, melintasi Selat makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok.7
5 Lazarus, 2005. Pokok-pokok Hukum Laut Internasional. Semarang: Pusat Studi
Hukum Laut. Hal 49
6 Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
7 Manuputy, et al., 2008. Hukum Internasional. Depok: Rech-ta hal 96-97

B.Kondisi yang diharapkan


Ketahanan ekonomi yang merupakan salah satu aspek dalam ketahanan nasional
yang merupakan suatu kondisi dinamis kehidupan perekonomian bangsa yang berisi
keuletan dan ketangguhan, kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala
tantangan dan dinamika perekonomian baik yang datang dari dalam maupun luar
negara Indonesia, dan secara langsung maupun tidak langsung menjamin kelangsungan
dan penigkatan perekonomian bangsa dan negara republik Indonesia yang telah diatur
berdasarkan UUD 1945.
Wujud ketahanan nasional dalam ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan
perekonomian bangsa yang mampu memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan
dinamis, menciptakan kemandirian ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi, dan
mewujudkan perekonomian rakyat yang secara adil dan merata serta menciptakan citacita bangsa indonesia dalam mewujudkan kesejateraan bagi seluruh rakyat indonesia.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi harus diarahkan kepada mantapnya
ketahanan ekonomi melalui suatu iklim usaha yang sehat serta pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, tersedianya barang dan jasa, terpeliharanya fungsi
lingkungan hidup serta menigkatnya daya saing dalam lingkup perekonomian global.
Ketahanan nasional dalam bidang ekonomi hakikatnya merupakan suatu kondisi
kehidupan perekonomian bangsa berlandaskan UUD 1945 dan dasar filosofi Pancasila,
yang menekankan kesejahteraan bersama, dan mampu memelihara stabilitas ekonomi
yang sehat dan dinamis serta menciptakan kemandirian perekonomian nasional dengan
daya saing yang tinggi.
Potensi bidang kelautan cukup besar meliputi sektor perikanan, pelayaran,
pariwisata bahari, perkapalan, jasa pelabuhan serta sumberdaya mineral bawah laut.
Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi kelautan akan tetapi
diperlukan keterpaduan kebijakan publik di bidang kelautan. Karena sektor kelautan
menjadi potensi yang sangat strategis untuk didorong sebagai mainstream
pembangunan perekonomian nasional.
Kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian
rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi
sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya,
sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir

justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan
masyarakat darat lainnya. Dengan upaya peningkatan SDM masyarakat pesisir
(nelayan) maka perekonomian akan meningkat, sehingga ketahanan ekonomi akan
semakin baik.
Melihat semakin besarnya peran ekonomi kelautan (marine economy) dalam
pembangunan nasional maka diperlukan adanya agenda kebijakan bidang kelautan
dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan bercirikan nusantara yang
sejalan dengan amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2007 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005- 2025, yakni misi mewujudkan Indonesia
sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan makmur yang berbasis
kepentingan nasional sebagaimana tersirat dalam misi ketujuh undang-undang tersebut.
Misi tersebut setidaknya memiliki 3 (tiga) agenda ke depan yang harus segera
dilakukan: Pertama, membuat payung hukum Kebijakan Kelautan Nasional (National
Ocean Policy) untuk arah pembangunan nasional sektor kelautan; Kedua, menyiapkan
roadmap penggunaan dan pemanfaatan (sumberdaya kelautan) yang didedikasikan
untuk kepentingan nasional dan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dalam
Kebijakan Ekonomi Kelautan Nasional (National Ocean Economic Policy); dan ketiga,
adalah Tata Kelola kelautan yang baik (Ocean Governance) sebagai panduan atau code
of conduct dalam pengelolaan kelautan secara holistik.
Jika Indonesia berhasil memanfaatkan kekayaan laut yang dimilikinya dengan
optimal dan terarah, maka keadaan ekonomi indoesia akan semakin baik, sehingga
ketahanan ekonomi nasional akan terwujud.
Dengan membuat payung hukum Kebijakan Kelautan Nasional ini, diharapkan
pembangunan kelautan dapat bergerak secara sinergis dan terarah serta menyeluruh,
sehingga tidak mustahil dengan pemanfaatan kekayan laut yang optimal akan
menumbuhkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan guna meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia menuju Indonesia yang adil, makmur, dan mandiri.
Dibutuhkan kesinergisan dari banyak pihak (institusi) yang memiliki kewajiban
dan tanggung jawab dalam pengembangan kelautan. Baik secara langsung maupun
tidak langsung, agar manajemen pengelolaan laut ini dapat berhasil dengan optimal.

Institusi tersebut di antaranya DKP, Departemen Perhubungan khususnya Dirjen


Perhubungan Laut, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Departemen
Tenaga Kerja, Departemen Kehutanan, Departemen Pariwisata dan Budaya,
Departemen Perdagangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Ditjen Bea
Cukai, Pelindo, TNI AL, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaaan, dan sebagainya.
2.

PENUTUP

A.

Simpulan
Laut kita mengandung banyak sumber daya yang beragam baik yang dapat

diperbaharui seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan
plasma nutfah lainnya atau pun sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti
minyak dan gas bumi, barang tambang, mineral, serta energi kelautan seperti
gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang sedang giat
dikembangkan saat ini.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pemanfaatan laut sebagai potensi
bangsa yang dahsyat itu terabaikan di antaranya yaitu lemahnya hukum yang
melindungi Laut Indonesia, lemahnya pengamanan, pengawasan, dan koordinasi dari
negara. Sebenarnya Indonesia memiliki Maritime Surveillance System (sistem
pengamatan maritim) pada sebuah institusi militer yang domainnya memang laut,
namun masih belum maksimal.
Negara kita perlu mempunyai payung hukum kelautan yang kuat dan jelas serta
bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik dan kebijakan-kebijakan dasar tentang
pengelolaan sumber daya kelautan. Sehingga setiap Kebijakan mengenai berbagai
terobosan untuk mendayagunakan sumber daya kelautan secara optimal dan lestari
sebagai keunggulan kompetitif bangsa dapat berjalan secara maksimal dikarenakan
meliki dasar hukum yang kuat.
Sehingga sangat penting bagi bangsa indonesia untuk memperkuat payung
hukum kelautan negara indonesia sehingga potensi kelautan yang sangat strategis dapat
didorong sebagai mainstream dalam menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia.
B.

Saran

Kepastian hukum dan perundang-undangan di bidang kelautan perlu disusun dan


ditetapkan sebagai jaminan yang akan memberi kepastian hukum dan akan menjadi
rambu-rambu dalam pengelolaan pembangunan kelautan. Dukungan legislatif terhadap
eksekutif dalam menyusun undang-undang yang terkait dengan bidang kelautan sangat
penting untuk meningkatkan kapasitas pembangunan kelautan nasional. Oleh karena
itu, sudah saatnya sekarang ini diperlukan perubahan visi pembangunan nasional dari
visi daratan (kontinental) menjadi visi Indonesia sebagai negara kepulauan. Perubahan
visi ini harus disertai oleh kesiapan SDM kita dalam mengelola pembangunan kelautan
tersebut secara berkelanjutan. Sehingga dengan adanya Hukum dan perundang
undangan mengenai kelautan maka diharapkan peran ekonomi kelautan dapat terus
dikembangkan untuk meningkatkan kemakmuran bangsa dan diperlukan sebuah
pergeseran paradigma pembangunan yang lebih memahami jatidiri bangsa Indonesia
sebagai bangsa bahari dan negara kepulauan terbesar didunia serta memadukan
kekuatan ekonomi berbasis darat dan laut sebagai sebagai sinergi kekuatan ekonomi
nasional.

Вам также может понравиться