Вы находитесь на странице: 1из 40

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Proses Belajar dan Mengajar


2.1.1 Konsep Belajar
Banyak definisi para ahlitentang belajar, diantaranyaadalah sebagai
berikut:
1. Skinner (dalam Barlow, 1985), mengartikan belajar sebagai suatu proses
adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
2. Hilgard & Bower dalam bukunya Theories of Learning(1975)
mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku
seseorang

terhadap

suatu

situasi

tertentu

yang

disebabkan

oleh

pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan


tingkahlaku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon
pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang(misalnya
kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya).
3. M. Sobri Sutikno dalam bukunya Menuju Pendidikan Bermutu (2004),
mengartikan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya
senbiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Kaki seseorang patah karena
terkena benda yang berat yang terjatuh di atas loteng, ini tidak bisa disebut
hasil dari belajar. Jadi, perubahan yang bagaimana yang dapat disebut
belajar? Perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan yang terjadi
secara sadar (disengaja) dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih
baik dari sebelumnya.
4. C.T.Morgan dalam Introduction to Psychologi (1962) merumuskan belajar
sebagai suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah laku sebagai
akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu.
5. Thursan Hakim dalam bukunya Belajar Secara Efektif(2002), mengartikan
belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan

10

11

perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan


kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap,
kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan kemampuan lainnya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar pada
hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah
melakukan aktivitas tertentu. Walaupun kenyataannya tidak semua perubahan
termasuk kategori belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya.
Dalam belajar yang terpenting adalah proses bukan hasil yang diperoleh.
Artinya, belajar harus diperoleh dengan usaha sendiri, adapun orang lain itu hanya
sebagai perantara atau penunjang dalam kegiatan belajar agar belajar itu dapat
berhasil dengan baik. Ketika seorang anak mendapatkan hasil tes yang bagus tidak
dapat dikatakan sebagai belajar apabila hasil tesnya itu didapatkan dengan cara
yang tidak benar, misalnya hasil menyontek.
2.1.2

Belajar Konsep dan Belajar Proses


Berkaitan dengan proses belajar, perlu dibedakan antarabelajar konsep

dan belajar proses. Belajar konsep lebih menekankan hasil belajar berupa
pemahaman faktual dan prinsipal terhadap bahan atau isi pelajaran yang bersifat
kognitif. Sedangkan belajar proses atau keterampilan proses lebih ditekankan pada
masalah bagaimana bahan pelajaran dipelajari dan diorganisir secara tepat.
Apabila persoalan belajar keterampilan proses itu dikaitkan dengan CBSA
(Cara Belajar Siswa Aktif), maka tampak beberapa kesamaan konseptual, baik
belajar proses maupun keterampilan proses, keduanya mempunyai ciriciri:
1. Menekankan pentingnya makna belajar untuk mencapai hasil belajar yang
memadai;
2. Menekankan pentingya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran;
3. Menekankan bahwa belajar adalah proses timbal balik yang dapat dicapai
oleh anak didik;
4. Menekakan hasil belajar secara tuntas dan utuh.
Belajar keterampilan proses seperti halnya siswa belajar aktif, bukan
merupakan gagasan yang bersifat kaku. Belajar keterampilan proses tidak dapat
dipertentangkan dengan belajar konsep, sehingga keduanya merupakan dua jenis
yang terpisah. Keduanya merupakan garis kontinum, yang satu menekankan
perolehan atau hasil, pemahaman faktual dan prinsipil, sedangkan belajar
keterampilan proses tidak mungkin terjadi bila tidak ada materi atau bahan

12

pelajaran yang dipelajari. Sebaliknya, belajar konsep tidak mungkin tanpa


keterampilan proses pada siswa. Yang dapat dikemukakan adalah terdapat watak
belajar yang mempunyai kadar keaktifan tinggi dan kadar keaktifan rendah. Oleh
karena itu cara belajar siswa aktif tidak selamanya berorientasi keterampilan,
tetapi juga dapat mengarah pada sejumlah penguasaan konsep, teori, prinsip dan
fakta pada saat proses belajar berlangsung.
2.1.3 Konsep Mengajar
Mengajar merupakan suatu proses yang kompleks. Tidak hanya sekedar
menyampaikan informasi dari guru kepada siswa. Banyak kegiatan maupun
tindakan harus dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar yang lebih baik
pada seluruh siswa. Oleh karena itu, rumusan pengertian mengajar tidak
sederhana. Dalam arti, membutuhkan rumusan yang dapat meliputi seluruh
kegiatan dan tindakan dalam perbuatan mengajar itu sendiri (Muhamad Ali,
1992).
Bohar Suharto (1997) mendefinisikan mengajar merupakan suatu aktivitas
mengorganisasi atau mengatur (mengelola) lingkungan sehingga tercipta suasana
yang sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan peserta didik sehingga
terjadi proses belajar yang menyenangkan. Sementara Oemar Hamalik (1992)
mendefinisikan mengajar sebagai proses menyampaikan pengetahuan dan
kecakapan kepada siswa. Dalam pengertian yang lain, juga dijelaskan bahwa
mengajar adalah suatu aktivitas profesional yang memerlukan keterampilan
tingkat tinggi dan menyangkut pengambilan keputusan (Davies, 1971).
Hasibun (2000) menyebutkan bahwa konsep mengajar dalam proses
perkembangannya masih dianggap sebagai suatu kegiatan penyampaian atau
penyerahan pengetahuan. Pandangan semacam ini masih umum digunakan di
kalangan pengajar. Hasil penelitian dan pendapat para ahli sekarang ini lebih
menyempurnakan konsep tradisional di atas.
Mengajar menurut pengertian mutakhir merupakan suatu perbuatan yang
kompleks. Perbuatan mengajar yang kompleks dapat diterjemahkan sebagai
penggunaan secara integratif sejumlah komponen yang terkandung dalam
perbuatan mengajar itu untuk menyampaikan pesan pengajaran.
Atau dengan gaya bahasa lain, mengajar adalah penciptaan sistem
lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini

13

terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yakni tujuan


instruksional yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, guru dan siswa yang
memainkan peran serta ada dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang
dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia.
Kedudukan guru dalam pengertian ini sudah tidak dapat lagi dipandang
sebagai penguasa tunggal dalam kelas atau sekolah, tetapi dianggap sebagai
manager of learning (pengelola belajar) yang perlu senantiasa siap membimbing
dan membantu para siswa dalam menempuh perjalanan menuju kedewasaan
mereka sendiri yang utuh dan menyeluruh.
2.2 Metode Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi, agar siswa
dapat belajar secara efektif dan efisien, serta mengena pada tujuan yang
diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu ialah harus menguasai
teknik-teknik penyajian, atau biasanya disebut metode mengajar.
Dalam kenyataan, cara atau metode mengajar atau teknik penyajian yang
digunakan guru untuk menyampaikan informasi atau massage lisan kepada siswa
berbeda dengan cara yang ditempuh untuk memantapkan siswa dalam menguasai
pengetahuan, keterampilan serta sikap. Metode yang digunakan untuk memotivasi
siswa agar mampu menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan masalah
yang dihadapi ataupun untuk menjawab suatu pertanyaan akan berbeda dengan
metode yang digunakan untuk tujuan agar siswa mampu berpikir dan
mengemukakan pendapatnya sendiri di dalam menghadapi segala persoalan.
Metode pemecahan masalah (Problem Solving) digunakan dalam
pembelajaran yang membutuhkan jawaban atau pemecahan masalah. Sebagai
metode mengajar, metode pemecahan masalah sangat baik bagi pembinaan sikap
ilmiah pada siswa. Dengan metode ini, para siswa belajar memecahkan suatu
masalah menurut prosedur kerja ilmiah.
2.2.1

Pengertian Metode Problem Solving


Metode pemecahan masalah menurut Sudirman, dkk. (1991: 146) adalah

cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak
pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan atau
jawabannya oleh siswa.

14

Metode pemecahan masalah ini sering dinamakan atau disebut juga dengan
eksperimen method, reflective thinking method, atau scientific method (Sudirman,
dkk., 1991: 146).
Dengan demikian, metode pemecahan masalah adalah sebuah metode
pembelajaran yang berupaya membahas permasalahan untuk mencari pemecahan
atau jawabannya. Sebagaimana metode mengajar, metode pemecahan masalah
sangat baik bagi pembinaan sikap ilmiah pada para siswa. Dengan metode ini,
siswa belajar memecahkan suatu masalah menurut prosedur kerja metode ilmiah.
1.1.2

Langkah-langkah Metode Problem Solving


Secara ringkas proses problem solving (pemecahan masalah) meliputi

langkah-langkah (1) mengumpulkan informasi dan sumber daya untuk dievaluasi


serta memperoleh gambaran yang jelas tentang situasi dan memastikan
pemahaman yang benar atasnya; (2) brainstorm dan merencanakan proses solusi.
Brainstorming adalah melihat situasi beserta perubahannya, serta memperkirakan
konsekuensi dari perubahan tersebut; (3) mengimplementasikan solusi. Setelah
serangkaian langkah diidentifikasi, perlu dilihat hasil dari tiap langkah untuk
memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil sejauh ini menghasilkan hasil
yang diinginkan; (4) memeriksa hasil. Setelah solusi dicapai, perlu diperiksa
kembali untuk memastikan bahwa hasil yang dicapai sudah sesuai dengan tujuan
yang ditetapkan (Haris, 1998).
Menurut ESC (Engineering Subject Centre, 2009), ada beberapa hal yang
harus diperhatikan di dalam pembelajaran problem solving, yakni (a) siswa
diberitahu prosedur umum problem solving, (b) berikan multi-step problem
(masalah yang menuntut beberapa langkah penyelesaian), dan (c) secara periodik
prosedur umum perlu ditinjau kembali. Langkah-langkah pembelajarannya adalah
pertama, mengevaluasi informasi dan sumber daya yang dimiliki. Langkah ini
bertujuan untuk mendapatkan deskripsi yang tepat tentang situasi dan
memahaminya; kedua, brainstorming dan rencana solusi. Pada langkah ini, ajukan
pertanyaan tentang tujuan yang hendak dicapai; ketiga, penerapan solusi. Jika
solusi sudah ditemukan, buat langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan;

15

keempat, memeriksa hasil. Langkah ini untuk mengevaluasi langkah-langkah


yang telah direncanakan. Jika pemeriksaan dilakukan sebelum selesai dan
ditemukan kesalahan, dapat digunakan untuk memperbaiki langkah solusi
(Engineering Subject Centre, 2009).
Menurut Maloy, dkk. (2010) ada lima langkah penting dalam pembelajaran
problem solving. (1) Apakah jenis pertanyaannya? Hal ini bertujuan untuk
menghubungkan pertanyaan dengan pendekatan yang telah diketahui, (2) Apa
tujuan pertanyaan? atau apa yang dicari dari pertanyaan?, (3) Apa yang sudah
diketahui?, (4) apa rencana saya untuk memecahkan masalah?, dan (5) bagaimana
saya tahu bahwa saya telah memecahkan masalah tersebut?
Menurut Singh dan Haileselassie (2010), problem solving yang efektif
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) dengan analisis konseptual
masalah, (2) perencanaan solusi masalah, (3) penerapan dan evaluasi rencana
solusi masalah, dan (4) refleksi proses problem solving.
Berdasarkan kajian di atas, model penerapan problem solving untuk
menyelesaikan soal-soal pada pelajaran fisika adalah:
1. Membaca soal dengan teliti untuk memahami situasi masalah (Haris, 1998;
2.
3.
4.
5.

ESC 2009).
Menemukan apa yang dicari atau ditanyakan (Maloy dkk, 2001).
Menyatakan apa yang sudah diketahui (Maloy dkk, 2010).
Menganalisis masalah secara konseptual (Singh dan Haileselassie, 2010).
Merencanakan proses solusi masalah (Haris,1998; ESC 2009; Singh dan

Haileselassie, 2010; Maloy, dkk., 2010),


6. Penerapan solusi masalah (ESC, 2009; Singh dan Haileselassie, 2010).
7. Memeriksa hasil (Haris, 1998; ESC, 2009; Singh dan Haileselassie, 2010).
Keterampilan memecahkan masalah akan sangat baik jika dilatih dengan
pendekatan kelompok daripada secara mandiri. Dalam kelompok, siswa dapat
saling memberikan sumbang saran untuk memahami dan menerapkan modelmodel problem solving yang sedang dipelajari. Diharapkan, dengan belajar
kelompok siswa akan belajar lebih cepat daripada jika belajar mandiri. Namun
demikian, guru tetap memantau dan mengarahkan proses belajar di dalam
kelompok, agar tiap individu di dalam kelompok bisa aktif dan tidak saling
mengandalkan kemampuan individu tertentu. Dalam pendekatan ini guru

16

berfungsi sebagai fasilitator dan dinamisator belajar, sementara bahan ajar bisa
diberikan sebelumnya dan diperkaya sendiri oleh siswa dari sumber lain.
Metode Problem Solving menekankan pada penemuan dan pemecahan
masalah secara berkelanjutan. Kelebihan metode Problem Solving mendorong
siswa untuk berpikir secara ilmiah, praktis, intuitif dan bekerja atas dasar inisiatif
sendiri,

menumbuhkan

sikap

objektif,

jujur

dan

terbuka.

Sedangkan

kelemahannya memerlukan waktu yang cukup lama, tidak semua materi pelajaran
mengandung masalah memerlukan perencanaan yang teratur dan matang, dan
tidak efektif jika terdapat beberapa siswa yang pasif.
2.3 Model

Pembelajaran

CORE

(Connecting,

Organizing,

Reflecting,

Extending)
Model pembelajaran CORE adalah sebuah model pembelajaran yang
mengharapkan siswa untu dapat mengoneksikan pengetahuannya sendiri dengan
cara

menghubungkan

dan

mengorgaisasikan

pengetahuan

baru

dengan

pengetahuan lama kemudian memikirkan kembali konsep yang sedang dipelajari


serta diharapkan siswa dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses
belajar berlangsung.
Menurut Kumalasari (2009), model pembelajaran CORE perlu diajarkan
kepada siswa pada pembelajaran fisika karena maknanya mencakup empat hal
yaitu:
1. Anda berbuat dan anda berpengalaman.
2. Anda merefleksikan terhadap pengalaman anda, misalnya apa yang anda
pelajari?, apa yang anda pikirkan?.
3. Anda mengonseptualisasikan pandangan baru dan menggunakannya untuk
suatu konsep yang lebih dari pertanyaan.
4. Dan anda uji coba revisi anda dan mencari umpan balik.
Tujuan utama adalah untuk mengajar dan melatih siswa self-reflection
sebagai suatu komponen penting strategitindakannyadalam pendidikan, pekerjaan
dan seterusnya (Jacob, 2005).
2.3.1

Pengertian Model Pembelajaran CORE

17

Model COREmerupakan model pembelajaran dengan metode diskusi,


yang di dalamnya terkandung unsur mengemukakan pendapat, tanya jawab antara
siswa, atau sanggahan. CORE singkatan dari Connecting, Organizing,
Reflecting,danExtending, yang mana sintaknya adalah (C) koneksi informasi
lama-baru dan antar konsep, (O) organisasi ide untuk memahami materi, (R)
memikirkan

kembali,

mendalami

dan

menggali,(E)

mengembangkan,

memperluas, menggunakan dan menemukan. Harmsen (Priatna, 2009: 21)


menyimpulkan elemen-elemen tersebut digunakan untuk menghubungkan
informasi lama dan informasi baru, mengorganisasikan sejumlah materi yang
berfariasi, merefleksikan,segala sesuatu yang siswa pelajari dan mengembangkan
lingkunganbelajar.
a. Connecting (C)
Merupakankegiatan mengoneksikan informasi lama dan informasi baru
dan antar konsep. Pada tahap ini siswa diajak untuk menghubungkan pengetahuan
baru yang akan dipelajari dengan pengetahuan lama yang telah dimilikinya,
dengan cara siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan, yang kemudian siswa diminta
untuk menulis hal-hal yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Hal ini dilakukan untuk membangun ide-ide siswa untuk membangun materi yang
akan disampaikan. Diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Agar dapat
berperan dalam suatu diskusi, siswa harus mengingat informasi dan menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya untuk menghubungkan dan menyusun ide-idenya.
Calfee et al (Jacob dkk, 2005: 13) berpendapat bahwa siswa belajar melalui
diskusi dan belajar yang baik memiliki pertalian (coherence). Disamping itu, Ketz
dan Nurula (2001) menyatakan bahwa dengan connecting, bagaimana sebuah
konsep/ide dihubungkan dengan ide lain dalam sebuah diskusi kelas.
Connecting sangat erat hubungannya dengan pengertian belajar itu sendiri.
Belajar merupakan

proses

aktif

mengonstruksi

dan

merupakan

proses

mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau yang dipelajarinya dengan


pengertian yang sudah dimiliki (Umaedi, 1991: 52), sementara itu Novak
(Zuzana, 2003: 34) mengatakan bahwa dalam belajar seseorang mengonstruksikan
pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi

18

sebelumnya. Jika suatu informasi dipelajari sampai dengan tingkat pemahaman,


informasi itu harus dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada yang
dimiliki siswa. Oleh karena itu, dalam belajar informasi baru atau materi pelajaran
yang sedang dipelajari harus dihubungkan dengan pengetahuan yang telah ada.
b. Organizing (O)
Merupakan kegiatan mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materi.
Pada tahap ini siswa diharapkan mampu mengorganisasikan pengetahuannya
untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan guru. Tahap ini disertai oleh diskusi
antara guru dan siswa serta siswa dan siswa lain dalam satu kelompok. Dalam
tahap ini guru hanya bersifat sebagai fasilitator jika siswa membutuhkannya.
Sebagai partisipan, siswa berusaha untuk mengerti dan berkontribusi dalam
diskusi, mereka diperkuat dengan menghubungkan dan mengorganisasikan apa
yang mereka ketahui (Jacob, 2005:13). Dalam hal ini, Katz & Nurula (Priatna,
2009:21) menyatakan bagaimana seseorang mengorganisasikan ide-ide mereka
dan apakah organisasi tersebut membantu siswa memahami konsep.
c. Reflecting (R)
Merupakan kegiatan memikirkan kembali, mendalami dan menggali
informasi yang sudah didapat. Pada tahap ini siswa memikirkan kembali apa yang
didapat dan dipelajarinya pada pelajaran yang telah diberikan. Proses ini dilalui
dengan membuat rangkuman mengenai pertanyaan yang telah dikerjakan dan
dibahas. Sagala (2006:11) mengemukakan bahwa refleksi adalah cara berpikir
kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dalam hal belajar dimasa
lalu. Siswa mengedepankan apa yang harus dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan
sebelumnya. Siswa mengekspresikan apa yang telah dipelajarinya dalam bentuk
penyimpulan. Dengan proses ini dapat dilihat kemampuan siswa menjelaskan
informasi yang telah mereka dapat, akan terlihat bahwa tidak setiap siswa
memiliki pemahaman yang sama.
Diskusi yang baik dapat meningkatkan kemampuan berpikir reflektif
siswa, guru melatih sebelum dan sesudah diskusi dan mengadopsi peranan yang
membolehkan mereka untuk menggantungkan penalaran logis siswa sebagai

19

kebutuhan selama diskusi. Hal ini dapat mempengaruhi secara signifikan


kemampuan siswa dengan merefleksikan pada interaksi dan pada subtansi
berpikirnya (OFlahavan & Stein dalam Jacob, 2005:14).
d. Extending (E)
Extend secara bahasa berarti makelonger and larger yakni membuat
panjang dan luas. Diskusi dapat membantu memperluas pengetahuan. Perluasan
pengetahuan yang dimaksud tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi dan
kemampuan siswa. Guthrie (Jacob, 2005:13) menyatakan bahwa pengetahuan
deklaratif dan prosedural siswa diperluas dengan cepat sehingga mereka dapat
meneliti jawaban atas pertanyaan yang mereka miliki; pengetahuan metakognitif
meningkat sehingga mereka melakukan strategi berdiskusiuntuk memperoleh
informasi sesama temannya dan guru, serta mencoba untuk menjelaskan
temuannya kepada teman-temannya.
Ada empat kemungkinan yang dibahas dalam model CORE yang
diusulkan oleh Calfee, at al (dalam Jacob, 2005) yaitu:
1. Pertama, diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Pengetahuan berguna
adalah kontekstual dihubungkan dengan apa yang telah siswa ketahui.
Diskusi yang baik digambarkan pada domain dan pengetahuan umum
sebelum siswa ketahui dan memperbolehkan kepada mereka berbagi
pengetahuan yang mereka ketahui tentang pola wacana mereka untuk
mengambil bagian secara efektif dalam diskusi. Siswa harus mengingat
informasi menggunakan kemampuan metakognisinya untuk menghubungkan
dan menyusun ide-idenya. Siswa yang belajar dengan berdiskusi dengan
baikakan memiliki pertalian (co
2. Kedua, diskusi membantu mengorganisasikan pengetahuan. Kontruksi
pengetahuan bukan bahan sederhana dari fakta-fakta khusus yang terkumpul
atau lengkap mengembangkan informasi baru. Hal ini juga meliputi
pengorganisasian informasi lama ke dalam bentuk-bentuk baru. Sebagai
partisipan berusaha keras untuk mengerti dan berkontribusi terhadap diskusi,
mereka

dikuatkan

untuk

menghubungkan

pengetahuan yang mereka ketahui.

dan

mengorganisasikan

20

3. Ketiga, diskusi yang baik dapat meningkatkan berfikir reflektif, diskusi


memberikan banyak kesempatan bagi siswa untuk belajar tentang kesadaran
metakognitif dan kualitas berfikir serta untuk belajar keterampilan dengan
meregulasi berpikir dan bertindak mereka. Seperti semua bentuk wacana,
diskusi membutuhkan partisipan untuk berpikir eksternal. Mempresentasikan,
mengorganisasikan, mengklarifikasikan, mempertahankan dorongan ide-ide
kognitif siswa ke dalam keterbukaan (into the open). Reaksi dari pola diskusi
menentukan umpan balik, apakah jawaban mereka meyakinkan dan bertalian
serta logis. Jadi berfikir reflektif yaitu mengkaji proses berfikir mereka
sendiri tentang proses yang telah mereka lakukan.
4. Keempat, diskusi membantu mereka memperluas pengetahuan. Seperti karya
siswa dalam proses jangka panjang, wacana mereka dapat berperan balik
secara natural ke dalam domain baru. Gutric (dalam Jacob, 2005)
mengobservasi bahwa wacana siswa dalam suatu topik diperluas dengan
cepat sehingga mereka meneliti jawaban atas pertanyaan yang mereka miliki,
pengetahuan metakognitif meningkat sehingga stategi untuk berdiskusi untuk
memperoleh informasi bersama teman-temannya dan guru serta mencoba
untuk menjelaskan temuannya kepada teman-teman sekelasnya.
2.3.2

Karakteristik Model Pembelajaran CORE


Model pembelajaranCORE lebih menekankan kemampuan berpikir siswa

untuk

menghubungkan,

mengorganisasikan,

mendalami,

mengelola

dan

mengembangkan informasi yang didapat. Dalam model ini aktivitas berpikir


sangat ditekankan kepada siswa. Siswa ditekankan untuk berpikir kritis terhadap
informasi yang didapatnya. Kegiatan mengoneksikan konsep lama-baru siswa
dilatih untuk mengingat informasi lama dan menggunakan informasi/konsep lama
tersebut

untuk

mengorganisasikan

digunakan
ide-ide,

dalam
dapat

informasi/konsep
melatih

kemampuan

baru.

Kegiatan

siswa

untuk

mengorganisasikan dan mengelola informasi yang telah dimilikinya. Kegiatan


refleksimerupakan kegiatan memperdalam dan
memperkuat konsep yang telah dimilikinya.

menggali informasi untuk

21

Extending, dengan kegiatan ini siswa dilatih untuk mengembangkan,


memperluas informasi yang sudah didapatnya dan menggunakan informasi serta
dapat menemukan konsep dan informasi baru yang bermanfaat.
2.3.3

Keunggulan dan Kelemahan Model CORE


a. Keunggulan
1. Siswa aktif dalam belajar.
2. Melatih daya ingat siswa tentang suatu konsep/informasi.
3. Melatih daya pikir kritis siswa terhadap suatu masalah.
4. Memberikan pengalaman belajar kepada siswa, karena siswa
banyak berperan aktif dalam pembelajaran sehingga pembelajaran
menjadi bermakna.
b. Kelemahan
1. Membutuhkan persiapan matang dari guru untuk menggunakan
model ini.
2. Menuntut siswa untuk terus berpikir kritis.
3. Memerlukan banyak waktu.
4. Tidak semua materi pelajaran dapat menggunakan model CORE.

2.3.4

Sintaks Model Pembelajaran CORE


a. Penyampaian konsep lama yang akan dihubungkan dengan konsep baru
oleh guru kepada siswa. Proses ini ditandai dengan pertanyaan yang
berhubungan dengan pengetahuan sebelumnya. Connecting (C).
b. Pembagian kelompok secara heterogen (campuran antara yang pandai,
sedang dan kurang). Terdiri dari 5-6 orang.
c. Mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materiyang dilakukan
oleh siswa dengan bimbingan guru. Pada tahap ini setiap siswa
diberikan LKS, kemudian siswa diperbolehkan untuk bertanya kepada
guru apabila ada hal-hal yang kurang dipahami. Pada tahap ini guru
sifatnya hanya membimbing. Organizing (O).
d. Memikirkan kembali, mendalami, dan menggali informasi yang sudah
didapat dan dilaksanakan dalam kegiatan belajar kelompok siswa. Pada

22

tahap ini siswa mengulang apa yang telah didapat pada pengetahuan
sebelumnya, kemudian siswa diminta menulis pemahaman awal yang
telah didapat sebelumnya pada lembar yang sudah disediakan. Lembar
pemahaman awal tersebut digunakan untuk membantu siswa untuk
mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru. Reflecting (R).
e. Pengembangan, memperluas, menggunakan dan menemukan, memulai
tugas indifidu yang dikerjakan secara berkelompok oleh siswa. Pada
tahap ini siswa diminta untuk mengerjakan LKS berdasarkan
pemahaman awal yang telah dibuatnya. Sementara guru berkeliling
untuk memantau pekerjaan siswa dan memberi bantuan seperlunya.
Setelah itu salah satu dari siswa dari setiap kelompok diminta untuk
menampilkan pekerjaannya didepan kelas. Extending (E).
2.3.5

Teori Belajar yang Mendukung


Pada prinsipnya teori belajar pada model CORE adalah membantu

siswaagar dapat mengkonstruksikan kemampuan sendiri. Guru dipandang sebagai


motivator, moderator dan fasilitator bagi siswa dalam rangka mengkonstruksi
pengetahuan siswa. Ada beberapa teori belajar yang mendukug pembelajaran
model CORE yaitu teori kontruktivisme, teori vygotski, teori piaget dan teori
penemuan dari Bruner.
a. Teori Kontruktivisme
Salah satu filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah
sebuah kontruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld dalam Kumalasari,
2011). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi
kognitifkenyataan

melalui

kegiatanseseorang,Agarkonstruksikognitiftersebutdapatterjadidiperlukankema
mpuanuntuk:(a)Mengingatdan

mengungkapkankembalipengalaman;

(b)Membandingkan,mengambil
keputusan(justifikasi)mengenaipersamaandanperbedaaan;(c)Lebih menyukai
pengalaman yang satu daripada yang lain.
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme adalah pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri, baik secara individu maupun sosial, pengetahuan

23

tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa,kecuali dengan keaktifansiswa


sendiri untuk penalaran, siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga
selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap,
sesuaidengankonsep

ilmiah,

dan

yang

terakhiradalahgurusekadar

membantumeyediakan sarana dansituasiagar proseskonstruksisiswa berjalan


mulus.Pada

kelaskonstruktivisme,para

siswa

diberdayakanoleh

pengetahuannyayang berada dalamdiri mereka.Mereka berbagi strategi dan


penyelesaian,debat antara satudengan lainnya, berfikirsecara kritistentang
cara terbaikuntuk menyelesaikan masalah.
b. TeoriVygotsky
Beberapa

teori

belajar

terkait

dengankonstruktivismeadalahteoriperubahankonsep,belajarbermaknadanteori
skema.Penelitiannya, Vygotsky membedakan dua macam konsep, yaitu
konsep spontan yang siswaperoleh darikehidupan sehari-hari dan konsep
ilmiah yang siswa peroleh dari pelajaran di sekolah, kedua konsep tersebut
saling berhubungan satu sama lain. Teori perubahan konsep sangat membantu
karena mendorong guru agar menciptakan suasana dan keadaan yang
memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada siswa sehingga
pemahaman mereka lebih sesuai dengan para ilmuwan. Konstruktivisme dan
teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat
membentuk pengertian yang berbeda dengan pengertian ilmuwan, namun
pengertian yang berbeda bukanlah akhir segalanya, justru menjadi awal untuk
perkembangan yang lebih baik.
c. Teori Ausubel
Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna.
Belajar bermakna menurtu Ausubel merupakan suatu proses mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang. Dalam proses belajar ini siswa mengkonstruksi apa yang
ia pelajari sendiri. Teori ini sangat dekat dengan konstruktivisme yang
menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Inti dari

24

kedua teori ini mengandaikan bahwa dalam pembelajaran itu siswa aktif.
d. Teori Piaget
Menurut teori skema, pengetahuan disimpan dalam suatu paket
informasi atau skema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema
adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu
hal, menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Teori ini
mirip dengan konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan
akomodasi. Perbedaannya adalah teori skema tidak menjelaskan proses
pengetahuan, tetapi lebih bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan
tersusun. Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema adalah
merupakan proses belajar.
2.4 Model Pembelajaran Learning Cycle 7E
2.4.1

Perkembangan Model Pembelajaran Learning Cycle


Learning Cycle dikembangkan lebih dari 30 tahun yang lalu. Model

pembelajaran siklus belajar (Learning Cycle) awalnya dikembangkan oleh Robert


Karpsul. Model siklus belajar bertujuan membantu mengembangkan berpikir
siswa dari berpikir konkrit ke berpikir abstrak (atau dari konkrit ke formal).
Model pembelajaran Learning Cycle merupakan model pembelajaran yang
berpusat pada siswa, siswa menemukan sendiri pengetahuannya. Learning Cycle
merupakan rangkaian tahap kegiatan (fase) yang diorganisasikan sedemikianrupa
sehingga siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan cara berperan aktif.
Model ini berdasarkan pada teori Piaget dan melibatkan pengajaran dengan
pendekatan konstruktivisme. Untuk pertama kalinya model pembelajaran ini
diajukan oleh Robert Karpsul awal tahun 1960-an, sebagai guided discovery di
program sains sekolah dasar yaitu Science Curriculum Improvement Study (SCIS).
Karpsul menggunakan istilah exploration, invention dan discovery. Istilah-istilah
tersebut kemudian dimodivikasi menjadi fase exploration, term introduction
(pengenalan konsep) dan concept application (aplikasi konsep) (Bybee at.al,
Eksplorasi:
Pengenalan
Aplikasi Konsep:
2006:3).
Konsep:
Contoh lain
Tanya jawab
Diskusi
Demonstrasi
Tes awal
Konsep baru
kembali
Tanya jwab
kegiatan
Penjelasan
Tes awal
Pemantapan
Demonstrasi
Penyimpulan
Percobaan

25

Gambar 2.1
Tiga Tahap Siklus Belajar
(Sumber: )
Siklus belajar bermunculan dalam kurikulum sains dengan fase yang
berkisar dari 3E ke 5E sampai 7E. Pada tahun 1989, siklus belajar 5E
pembelajaran yang dibangun oleh Biological Sciences Curriculum Study (BSCS)
terdiri atas lima fase yaitu engagement, exploration, explanation, elaboration dan
evaluation. Semenjak tahun 1980-an BSCS telah menggunakan model 5E sebagai
inovasi sentral di sekolah dasar, menengah, dan program biologi dan program
sains terintegrasi (Bybee dalam Fajaroh at.al, 2008). Tahapan lima fase tersebut
digambarkan dalam bentuk siklus sebagai berikut:

Gambar 2.2
Learning Cycle 5E
Eisenkraft(2003) mengembangkan siklusbelajar menjadi tujuh tahapan.
Perubahan yang terjadi pada tahapan siklus belajar 5E menjadi 7E terjadi
pada fase Engage menjadi 2 tahapan yaitu Elicit dan Engage, sedangkan pada
tahapan Elaborate dan Evaluate menjadi 3 tahapan yaitu menjadi Elaborate,

26

Evaluate dan Extend. Perubahan tahapan siklus belajar dari 5E menjadi 7E


ditunjukkan pada Gambar 2.3.1.3

The proposed 7E Learning cycle and instructional model

Elicit
Engage
Engage
Explore

Explore

Explain

Explain

Elaborate
Elaborate
Evaluate
Evaluate

Gambar 2.3

extend

Perubahan Learning Cycle 5E menjadi Learning Cycle 7E

2.4.2

Tahapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E


Menurut

Eisenkraft

(2003)

tahapan-tahapan

model

pembelajaran

Learning Cycle 7E dapat dijelaskan sebagai berikut:


a. Elicit
Pada fase ini, guru berusaha menimbulkan atau mendatangkan pengetahuan
awal siswa. Pada fase ini guru dapat mengetahui sampai dimana pengetahuan
awal siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pengetahuan awal siswa agar timbul
respon dari pemikiran siswa serta menimbulkan rasa penasaran tentang

27

jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru. Fase ini


dimulai dengan pertanyaan mendasar yang berhubungan dengan pelajaran
yang akan dipelajari dengan mengambil contoh yang mudah yang diketahui
siswa seperti kejadian dalam kehidupan sehari-hari.
b. Engage
Fase ini digunakan untuk memfokuskan perhatian siswa, merangsang
kemampuan berfikir siswa serta membangkitkan minat dan motivasi terhadap
konsep yang akan diajarkan. Fase ini dapat dilakukan dengan demonstrasi,
diskusi, membaca, atau aktivitas lain yang digunakan untuk membuka
pengetahuan siswa dan mengembangkan rasa keigintahuan siswa.
c. Explore
Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan dengan pengalaman langsung
yang berhubungan dengan konsep yang akan dipelajari. Siswa diberi
kesempatan

untuk

bekerja

dalam

kelompok-kelompok

kecil

tanpa

pengajaranlangsung dari guru. Pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk
mengamati data, merekam data, mengisolasi variabel, merancang dan
merencanakan

eksperimen,

membuat

grafik,

menafsirkan

hasil,

mengembangkan hipotesis serta mengatur temuan mereka. Guru menyusun


pertanyaan, memberi masukan, dan menilai pemahaman.
d. Explain
Pada fase ini siswa diperkenalkan pada konsep, hukum dan teori baru. Siswa
menyimpulkan dan mengemukakan hasil dari temuannya pada fase explore.
Guru mengenalkan siswa pada beberapa kosa kata ilmiah, dan memberikan
pertanyaan untuk merangsang siswa agar menggunakan istilah ilmiah untuk
menjelaskan hasil eksplorasi.
e. Elaborate
Fase yang bertujuan untuk membawa siswa menerapkan simbol-simbol,
definisi-definisi,konsep-konsep,dan

keterampilan-keterampilan

pada

permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan contoh dari pelajaran


yang dipelajari.
f. Evaluate

28

Fase evaluasi model pembelajaran Learning Cycle 7E

terdiri dari evaluasi

formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif tidak boleh dibatasi pada
siklus-siklus tertentu saja, sebaiknya guru selalu menilai semua kegiatan
siswa.
g. Extend
Pada tahap ini bertujuan untuk berfikir, mencari menemukan dan menjelaskan
contoh penerapan konsep yang telah dipelajari bahkan kegiatan ini dapat
merangsang siswa untuk mencari hubungan konsep yang mereka pelajari
dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari.
Ketujuh tahapan di atas adalah hal-hal yang harus dilakukan guru dan
siswa untuk menerapkan siklus belajar 7E pada pembelajaran di kelas. Guru dan
siswa mempunyai peran masing-masing dalam setiap kegiatan pembelajaran yang
dilakukan dengan menggunakan tahapan dari siklus belajar. Arah pembelajaran
serta aktivitas guru dan siswa yang dianjurkan dalam setiap tahap dalam siklus
belajar 7E dapat dijabarkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.3.2Arah Pembelajaran Siklus Belajar 7E
Fase 7E
Elicit

Arah Pembelajaran

Memfokuskan

Memfokuskan siswa

Kegiatan Siswa

Memfokuskan diri

perhatian siswa

terhadap materi yang

terhadap apa yang

Menyelidiki

akan dipelajari

disampaikan oleh

Mengajukan

guru

pengetahuan yang

Kegiatan Guru

Mengingat kembali

telah dimiliki

pertanyaan kepada

siswa

siswa dengan

apa yang telah

Menstimulus

pertanyaan seperti

dipelajari

berfikir

apa yang kamu

Mengajukan

fikirkan? atau apa

pendapat jawaban

yang kamu ketahui?

berdasarkan

yang sesuai dengan

pengetahuan

permasalahan

sebelumnya atau

Menampung semua

pengalamannya

jawaban siswa

dalam kehidupan

29

Engage

Demonstrasi/me

Menyajikan

nyajikan

demonstrasi atau

ketika sedang

fenomena

bercerita tentang

menjelaskan atau

Bertukar

fenomena alam yang

mendemonstrasikan

informasi dan

sering terjadi dalam

sebuah fenomena

pengalaman

kehidupan sehari-hari

Menganalisis apa

Mencari dan berbagi

Memberikan

informasi yang

pertanyaan untuk

mendukung konsep

merangsang motivasi

yang akan dipelajari

dan keingintahuan
Explore

sehari-hari
Memperhatikan guru

siswa
Membimbing siswa

Memberikan

pendapat/jawaban
Melakukan presentase

yang telah

dalam menyiapkan

dengan cara

dieksplorasi

laporan (data dan

menjelaskan data

Diskusi

kesimpulan)

yang diperoleh dari

Aktifitas

eksperimen

hasil eksperimen

keterampilan

Mendengarkan

berpikir

untuk menjelaskan

penjelasan kelompok

a. Membandingka

laporan eksperimen

lain

n,

dengan kata-kata

mengklarifikasi

mereka sendiri

pertanyaan terhadap

Memfasilitasi siswa

penjelasan kelompok

b. Memecahkan

untuk melakukan

masalah
c. Mengonstruksi
model

Fase 7E

Menganjurkan siswa

Mengajukan

Mendengarkan dan

presentasi laporan

memahami

eksperimen

penjelasan/klasifikasi

Mengarahkan siswa

yang disampaikan

pada data dan petunjuk


oleh guru (jika ada)
Arah Pembelajaran Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa

yang diperolehdari
pengalaman

Meyimpulkan hasil
eksperimen

30

sebelumnya atau dari

berdasarkan data

eksperimen untuk

yang telah didapat

mendapatkan

dan petunjuk

kesimpulan

(penjelasan) dari

Memberikan

guru
Diskusi dalam

pertanyaan arahan

kelompok untuk

kepada siswa

menjawab

mengenai eksperimen

permasalahan yang

yang dilakukan ketika

disajikan dalam

diperlukan Memberi
waktu yang cukup

kepada siswa untuk

LKS
Membuat
kesimpulan awal

menyelesaikan

berdasarkan data

eksperimen

yang diperoleh dari


hasil eksperimen

Explain

Menganalisis apa

Membimbing siswa

Melakukan presentase

yang telah

dalam menyiapkan

dengan cara

dieksplorasi

laporan (data dan

menjelaskan data

Diskusi

kesimpulan)

yang diperoleh dari

Aktivitas

eksperimen

hasil eksperimen

keterampilan

berfikir:
Bandingkan

Menganjurkan siswa

Mendengarkan

untuk menjelaskan

penjelasan kelompok

laporan eksperimen

lain

mengklarifikasi,

dengan kata-kata

analisis kesalahan

mereka sendiri

pertanyaan terhadap

Memfasilitasi siswa

penjelasan kelompok

untuk melakukan

lain

presentasi laporan

Mengajukan

Mendengarkan dan

eksperimen

memahami

Mengarahkan siswa

penjelasan/klarifikasi

31

pada data dan petunjuk

yang disampaikan

telah diperoleh dari

oleh guru (jika ada)

pengalaman

Menyimpulkan hasil

sebelumnya atau dari

eksperimen

hasil eksperimen untuk

berdasarkan data yang

mendapatkan

telah didapat dan

kesimpulan.

petunjuk (penjelasan)

Fase 7E

Arah Pembelajaran

Kegiatan Guru

Kegiatan Siswa

Elaborate

Menerapkan apa

Menggunakan istilah

yang telah

menggunakan istilah

umum dan

dijelaskan pada fase

umum

pengetahuan yang

Memberikan soal atau

baru

Explain

Mengajak siswa untuk

Mengaplikasi

permasalahan dan

pengetahuan yang

mengarahkan siswa

informasi sebelumnya

telah didapatkan

untuk menyelesaikan

yang didapat untuk

Menganjurkan siswa

Menggunakan

bertanya,

untuk menggunakan

mengemukakan

konsep yang telah

pendapat dan

mereka dapatkan

membuat keputusan

Menerapkan
pengetahuan yang
baru untuk
menyelesaikan soal-

Extend

Memecahkan

Memperlihatkan

soal
Melihat hubungan

masalah

hubungan antara

antara konsep yang

Membuat keputusan

konsep yang dipelajari

dipelajari dengan

Aktivitas

dengan konsep yang

konsep yang lain

dalamberfikir:

lain

Membandingkan,

Memberikan

Membuat hubungan
antara konsep yang

32

mengklarifikasik

pertanyaan untuk

telah dipelajari

an menggunakan

membantu siswa

dengan kehidupan

konsep yang

melihat hubungan

sehari-hari sebagai

telah dipejari

antara konsep yang

gambaran aplikasi

sebelumnya

dipelajari dengan

konsep yang nyata

konsep/topik yang lain

Menggunakan

Mengajukan

pengetahuan dari

pertanyaan tambahan

hasil eksperimen

yang sesuai dan

untuk bertanya dan

berhubungan dengan

menjawab pertanyaan

kehidupan sehari-hari

dari guru, terkait

sebagai aplikasi konsep

dengan konsep yang

dari materi yang

telah dipelajari

dipelajari

Berfikir, mencari,
menemukan dan
menjelaskan contoh
penerapan konsep
yang telah dipelajari

Fase 7E

Arah Pembelajaran

Kegiatan Guru

Evaluate

Kegiatan Siswa

Memberikan penguatan

Mengerjakan kuis

penilaian internal

terhadap konsep yang

Menjawab pertanyaan

dan eksternal

telah dipelajari

lisan yang diajukan

Melakukan penilaian

oleh guru (baik

pengetahuan,

kinerja melalui

berupa pendapat

keterampilan, dan

observasi selama

maupun fakta)

sikap yang

proses pembelajaran

Melakukan

terhadap aspek

terbangun

Memberikan kuis

Mempunyai
kemampuan dan

Melakukan tes

keterampilan untuk

Penilaian

menjelaskan konsep

33

penampilan

yang telah dipelajari

Menghasilkan
sebuah karya
(Lorsbach, Eisenkraft, dalam Alamsyah, 2009)

2.4.3

Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E


Model Learning Cycle 7E memiliki beberapa kelebihan antara lain:

a. Merangsang siswa untuk mengingat kembali materi pelajaran yang telah


mereka dapatkan sebelumnya.
b. Memberikan motivasi kepada siswa untuk menjadi lebih aktif dan
menambah rasa keingintahuan.
c. Melatih siswa belajar menemukan konsep melalui kegiatan eksperimen.
d. Melatih siswa untuk menyampaikan secara lisan konsep yang telah mereka
pelajari.
e. Memberikan

kesempatan

kepada

siswa

untuk

berpikir, mencari,

menemukan dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah


dipelajari.
f. Guru dansiswa menjalankan tahapan-tahapan pembelajaran yang saling
mengisi satusamalainnya.
g. Gurudapatmenerapkan model ini dengan metode yang berbeda-beda.
(Lorsbach, Huang, dalam Alamsyah, 2009).
h. Menuntut kesungguhan dan kreativitas siswa dalam merancang dan
melaksanakan proses pembelajaran.
Sementara itu kelemahan model ini yang merupakan model siklus belajar
adalah:
a. Efektivitas guru rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkahlangkah pembelajaran.
b. Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun
rencana dan melaksanakan pembelajaran (Fajaroh, 2009).
2.5 Berpikir Kritis

34

Berpikir

kritis

adalah

sebuah

upaya

pendalaman

kesadaran

membandingkan dari beberapa masalah yang sedang dan akan terjadi sehingga
menghasilkan sebuah kesimpulan dan gagasan yang dapat memecahkan masalah
tersebut.
Setiap manusia memiliki pemikiran yang berbeda. Namun jika setiap
orang memiliki kemampuan berpikir kritis, maka ia akan dapat memecahkan
masalah dengan cara sederhana. Walaupun masalah tersebut sangat rumit, tentu ia
akan mampu memecahkan masalah tersebut.
Kemampuan berpikir merupakan suatu bagian penting dalam persoalan di
dalam kehidupan. Berpikir kritis juga merupakan suatu proses belajar dan hal ini
bukanlah persoalan keturunan dari orang tua. Hal ini merupakan sebuah proses
dalam menghadapi sebuah persoalan dalam kehidupan dan sebaiknya sudah
diajarkan sejak dini kepada seorang anak.
2.5.1

Pengertian Berpikir Kritis Menurut Beberapa Ahli


Secara teori arti berpikir kritis telah dikemukakan oleh beberapa ahli

diantaranya adalah:
a. Menurut Beyer (Filsaime, 2008: 56) berpikir kritis adalah sebuah cara
berpikir disiplin yang digunakan seseorang untuk mengevaluasi faliditas
sesuatu (pernyataan-pernyataan, ide-ide, argumen dan penelitian).
b. Menurut Screven dan Paul (Filsaime, 2008: 56) memandang berpikir kritis
sebagai sebuah proses disiplin cerdas konseptualisasi, penerapan, analisis,
sintesis dan evaluasi evaluasi aktif dan berketerampilan yang dikumpulkan
atau dihasilkan dari observasi, pengamalan, refleksi, penalaran atau
komunikasi sebagai penuntun menuju kepercayaan dan aksi.
c. Rudinow dan Barry (Filsaime, 2008: 57) berpendapat berpikir kritis adalah
sebuah proses yang menekankan sebuah basis kepercayaan-kepercayaan yang
logis dan rasional dan memberikan serangkaian standar dan prosedur untuk
menganalisis, menguji dan mengevaluasi.
d. Menurut Halper (Rud et. al, 2003: 128) mendefinisikan critical thingking as
...the use of cognitive skills or strategies that increase the probability of
desirable outcome.

35

e. Sedangkan menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah sebuah proses yang
dalam mengungkapkan tujuan yang dilengkapi alasan yang tegas tentang
suatu kepercayaan dan kegiatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan pengertian- pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa
keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan yang melibatkan proses
kognitif dan mengajak siswa untuk berpikir reflektif terhadap permasalahan.
Berpikir kritis merupakan bagian dari pola berpikir kompleks/ tingkat
tinggi yang bersifat konvergen. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir
untuk menganalisis argumen dan memunculkan gagasan terhadap tiap-tiap makna
dan interpretasi, untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis,
memahami asumsi dan bias yang mendasari tiap-tiap posisi, serta memberikan
model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan.( Ennis dalam
Liliasari, 2009). Facione (dalam Liliasari, 2009) menyatakan bahwa inti berpikir
kritis adalah deskripsi yang rinci dari sejumlah karakteristik yang berhubungan,
yang meliputi analisis, inferensi, eksplanasi, evaluasi, pengaturan diri, dan
interpretasi.
Analisis adalah mengidentifikasi hubungan hal-hal yang diharapkan
dengan bukti yang nyata, misalnya pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi,
bukti, pengalaman, informasi dan pendapat. Inferensi yaitu mengidentifikasi dan
memastikan unsur-unsur yang diperlukan untuk merumuskan hipotesis yang
bermakna, misalnya memerlukan pertimbangan informasi yang relevan, dan
mendeduksi akibat paparan data, pernyataan, prinsip, bukti, pendapat yang
dipercaya, konsep, deskripsi atau penimbangan (judgement). Eksplanasi
memungkinkan menyatakan penalaran seseorang yang koheren dengan dasar
pertimbangan pembuktian, konseptual, metodologis, kriteria dan kontekstual.
Evaluasi merupakan asesmen kredibilitas suatu pernyataan atau representasi lain
yang berhubungan dengan persesi, pengalaman, situasi, penimbangan, keyakinan,
atau pendapat seseorang. Pengaturan diri adalah kesadaran dalam pengendalian
kegiatan kognitif seseorang, yang menghasilkan deduksi, terutama dalam
menerapkan keterampilan menganalisis dan mengevaluasi untuk memberikan
pertimbangan

secara

mempertanyakan,

memastikan,

memvalidasi

atau

36

mengoreksi penalaran orang lain. Interpretasi merupakan hasil pemikiran


berdasarkan pandangan tertentu sebagai titik tolaknya.
Secara umum ada berbagai makna berpikir kritis, di antaranya: (1) berpikir
reflektif dan beralasan yang berfokus penentuan apa yang dipercaya atau
dilakukan (Ennis dalam Liliasari, 2009); (2) mengandung unsur-unsur
mengestimasi,

mengevaluasi,

mempertimbangkan,

mengklasifikasikan,

berhipotesis, menganalisis, bernalar (Fisher dalam Liliasari, 2009); (3) melibatkan


semua interpretasi (menghasilkan makna), dan translasi (perlindungan makna)
yang bertanggung jawab (Lipman dalam Liliasari, 2009). Jadi inti dari berpikir
kritis meliputi: (a) mengidentifikasi unsur-unsur yang merupakan alasan dari
kasus, khususnya hubungan sebab-akibat; (b) mengidentifikasi dan mengevaluasi
asumsi; (c) menjelaskan dan menginterpretasikan pernyataan dan ide; (d)
menimbang keterterimaan, khususnya kredibilitas klaim; (e) mengevaluasi
berbagai jenis argumen; (f) menganalisis, mengevaluasi dan membuat
kesimpulan; (g) menarik kesimpulan; (h) menghasilkan argumen (McGregor
dalam Liliasari, 2009).
Berdasarkan kurikulum berpikir kritis yang dikembangkan oleh Ennis
(dalam Liliasari, 2009) ada 2 kelompok berpikir kritis, yaitu disposisi berpikir
kritis dan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis dapat dijabarkan
berdasarkan tingkat kesulitannya menjadi 5 indikator berpikir, yaitu: (1)
penjelasan sederhana; (2) keterampilan dasar; (3) kesimpulan; (4) penjelasan
lanjut; dan (5) strategi dan taktik. Setiap tahap berpikir tersebut dijabarkan lebih
lanjut dalam indikator-indikator berpikir yang lebih spesifik.
2.5.2

Pengembangan Berpikir Kritis Di Kelas


Ada

kemampuan

dasar

berpikir

kritis

yang

mula-mula

diperkenalkankepada siswa, yaitu: (1) memahami argumen dan keyakinan orang


lain; (2) secarakritis mengevaluasi argumen dan keyakinan tersebut; (3)
mengembangkan danmempertahankan argumen dan keyakinan seseorang yang
didukung baik.(Bassham dalam Liliasari, 2009). Apabila siswa telah terbiasa
mempertanyakansegala sesuatu, seperti halnya berhipotesis untuk membentuk
kemampuanberrgumentasi, maka pengembangan keterampilan berpikir kritis juga

37

akan sangatmudah dikembangkan dari tahap yang rendah ke tahap yang paling
tinggi.
Sesungguhnya keterampilan berpikir kritis merupakan efek iringan
daripembelajaran

sains

melalui

pendekatan

inkuiri.

Namun

sejauh

manaberkembangnya keterampilan berpikir kritis dapat pula diases melalui


tesbermuatan

materi

sains.

Soal

tes

seperti

ini

dikembangkan

melaluipengintegrasian antara indikator berpikir kritis dan konsep-konsep


sertaketerampilan proses sains. Sebagai akibatnya pencapaian siswa dapat
diukurmelalui ketiga dimensi tersebut. Berdasarkan beberapa penelitian yang
telahdilakukan, ternyata bahwa pemahaman konsep sains dapat ditingkatkan
melaluipengembangan keterampilan berpikir siswa. (Liliasari, et al, 2007).
Berpikir

kritis

tahapanketerampilan

sangat

berpikir

tepat
kritis

dikembangkan
bersesuaian

di

kelas

dengan

karena

keterampilan-

keterampilan prosesIPA, yakni ada 5 tahapan keterampilan berpikir kritis:


1. Keterampilan Menganalisis
Keterampilan

menganalisis

merupakan

keterampilan

berpikir

yang

tujuanpokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara


menguraikanatau merinici globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang
lebih kecil danterperinci. Pertanyaan analisis menghendaki agar siswa
mengidentifikasilangkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir
hingga sampaipada saat kesimpulan (Harjasujana dalam Jahro, 2010). Katakata operasionalyang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis,
diantaranya:

menguraikan,

membuat

diagram,

mengidentifikasi,

menggambarkan, menghubungkan dan memerinci.


2. Keterampilan Mensintesis
Keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang berlawanan dengan
keterampilan menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan
menggabungkan bagian-bagian menjadi suatu bentukan atau susunan yang
baru. Pertanyaan sintesis menuntut siswa untuk menyatu padukan semua
informasi yang diperoleh sehingga dapat menciptakan ide-ide baru.

38

Pernyataan sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol


(Harjasujana dalam Jahro, 2010).
3. Keterampilan Mengenal dan Memacahkan Masalah
Keterampilan ini menuntut siswa untuk memahami dengan kritis dan
menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola
sebuah konsep. Keterampilan ini bertujuan agar siswa mampu memahami dan
menerapkan konsep-konsep ke dalam suatu permasalahan atau ruang lingkup
baru (Walker dalam Jahro, 2010).
4. Keterampilan Menyimpulkan
Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan
pengertian dan pengetahuan yang dimilikinya sehingga dapat beranjak
mencapai pengertian atau pengetuahuan yang baru (Salam dalam Jahro,
2010). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini
menuntut siswa untuk mampu menguaraikan dan memahami berbagai aspek
secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah
simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara,
yaitu deduksi dan induksi. Jadi, kesipmpulan merupakan sebuah proses
berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk
menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru.
5. Keterampilan Menilai
Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai
sesuatu

dengan

berbagai

kriteria

yang

ada.

Keterampilan

menilai

menghendaki siswa agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur


dengan menggunakan standar tertentu (Harjasujana dalam Jahro, 2010).
Cara meningkatkan kemampuan berpikir kritis menurut hasil penelitian
yang diadakan oleh Ian Wright dan C.L. Bar (1987), L.M. Sartorelli (1989) dan R.
Swartz (dalam Hassoubah, 2004) adalah sebagai berikut :
a. Membaca dengan kritis
Ada beberapa langkah yang harus dikuasai untuk membaca dengan kritis,
yaitu sebagai berikut:

39

1. Amati dan baca sekilas sebuah teks sebelum anda membacanya secara
keseluruhan.
2. Hubungkan teks dengan konteksnya, yaitu dengan meletakkan pada
konteks sejarah atau budaya yang betul.
3. Buat pertanyaan tentang kandungan teks saat anda membaca.
4. Refleksikan kandungan teks yang berhubungan dengan pendapat anda dan
pendirian anda sendiri.
5. Buat ringkasan kandungan teks dengan menggunakan kata-kata anda
sendiri.
6. Evaluasi teks dari segi logika, kredibilitas, dan reliabilitasnya.
7. Bandingkan teks yang anda baca dengan teks lain dalam hal persamaan
dan perbedaan.
b. Meningkatkan daya analisis
Dalam diskusi kelompok, carilah cara penyelesaian/solusi yang baik untuk
suatu permasalahan, kemudian diskusikan akibat terburuk yang mungik
terjadi. Dalam menjalankan diskusi, anda dapat mengarahkan pembicaraan
untuk mendapatkan beberapa tindakan preventif.
c. Mengembangkan kemampuan observasi/mengamati
Untuk meningkatkan kemampuan mengamati, seseorang harus:
1. Peka/tanggap terhadap lingkungan.
2. Melatih diri sendiri untuk mengoptimalkan pemakaian indera.
3. Bisa langsung mengungkapkan secara verbal komentar yang ada di dalam
pikiran.
d. Meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi. Ajukan
pertanyaan yang bermutu. Pertanyaan yang bermutu tidak mempunyai
jawaban khusus, artinya tidak ada jawaban yang benar atau salah atau tidak
hanya ada satu jawaban yang benar.
e. Metakognisi
Metakognisi berarti memahami cara berpikir sendiri. Metakognisi dapat
berupa:
1. Merencanakan cara berpikir.

40

2. Menyadari dan mengawasi cara berpikir.


3. Menamai proses berpikir yang khusus.
4. Menjelaskan tahap-tahap berpikir untuk setiap proses khusus yang
dilalui.
5. Mengevaluasi tahap berpikir untuk menuju efesiensi
Berpikir kritis meliputi aktivitas-aktivitas sebagai berikut:
1. Memperhatikan detil secara menyeluruh.
2. Identifikasi kecenderungan dan pola, seperti memetakan informasi,
identifikasi kesamaan dan ketidaksamaan, dan lain-lain.
3. Mengulangi pengamatan untuk memastikan tidak ada yang terlewatkan.
4. Melihat informasi yang didapat dari berbagai sudut pandang.
5. Memilih solusi-solusi yang lebih disukai secara obyektif.
6. Mempertimbangkan dampak dan konsekuensi jangka panjang dari solusi
yang dipilih
Bagi siswa, berpikir kritis dapat berarti:
1. Mencari dimana keberadaan bukti terbaik bagi subyek yang didiskusikan.
2. Mengevaluasi kekuatan bukti untuk mendukung argumen-argumen yang
berbeda.
3. Menyimpulkan berdasarkan bukti-bukti yang telah ditentukan.
4. Membangun penalaran yang dapat mengarahkan pendengar ke simpulan yang
telah ditetapkan berdasarkan pada bukti-bukti yang mendukungnya.
5. Memilih contoh yang terbaik untuk lebih dapat menjelaskan makna dari
argumen yang akan disampaikan.
6. Dan menyediakan bukti-bukti untuk mengilustrasikan argumen tersebut.
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial
untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan
lainnya. Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak
1942.
Kriteria berpikir kritis hasil modifikasi dari Ennis (Rochaminah, 2008),
yaitu:

41

1.

Merumuskan masalah yaitu kemampuan siswa memformulasikan bentuk


pertanyaan yang memberi arah untuk memperoleh jawaban.

2.

Melakukan deduksi yaitu kemampuan mendeduksi secara logis, melakukan


interpretasi terhadap pertanyaan dengan menghubung-hubungkan informasi
baru dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.

3.

Melakukan induksi yaitu kemampuan melakukan investigasi/pengumpulan


data, membuat generalisasi dari data, membuat tabel dan grafik.

4.

Melakukan evaluasi yaitu kemampuan siswa untuk mengevaluasi hasil


pengamatannya berdasarkan fakta dan berdasar prinsip atau pedoman, dan
memberikan alternatif penyelesaian masalah.

5.

Menarik kesimpulan yaitu kemampuan siswa untuk menarik kesimpulan dari


hasil pengamatanya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

2.5.3

Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis


Untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswabukan hanyamelihat

pada hasilnya, tetapi pada proses yang dilakukan. Untuk menilai kemampuan
berpikir kritis siswa, didasarkan pada keterampilan yang di lakukan dan ilmu
pengetahuan yang dikuasai. Oleh karena itu perlu dibuat instrumen mengenai dua
hal yang terfokus tersebut.
Berdasarkan dua hal tersebut, untuk menyusun instrumen yang terfokus
adalah dengan dua cara, yaitu sebagai berikut
1. Taksonomi Bloom
Cara pertama adalah taksonomi Bloom, artinya lebih terfokus pada ingatan,
pemahaman, penerapan, analisis, penilaian sintetis, dan evaluasi yang tepat.
Yang

keseluruhannya

itu

beretujuan

untuk

menyatukan

seluruh

perkembangan kemampuan siswa dalam berpikir dan menguasai ilmu


pengetahuan. Dalam taksonomi belajar, menurut Bloom, keterampilan
mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada
tahap ini siswa dituntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif
lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep.
2. Pendekatan pemecahan masalah

42

Cara ini lebih terfokus pada tujuan, sikap dalam menghadapi masalah, kata
kunci permasalahan, informasi, sudut pandang, konsep, asumsi, alternatif
pemecahan masalah, interpretasi, implikasi.
Ingatan setiap orang tentunya berbeda-beda. Namun ingatan disini bukan
difokuskan pada hapalan, tetapi dengan mengerti pembahasan materi yang ada.
Tidak harus sama persis dengan apa yang tertulis, teapi megerti apa yang dibahas
tesebut. Sehingga siswa dengan bahasa sendiri mampu memaparkan sesuai
dengan ingatannya dari apa yang diuraikan dalam pembahasannya.
Pemahaman berkaitan juga dengan ingatan. Ketika kita sudah memahami
secara teori, dengan mudah kita akan mengingat apa yang perlu kita pecahkan
dalam sebuah permasalahan. Saling sambung-menyambung, ingatan dan
pemahaman sudah dilalui, dan setelah itu menerapkan apa yang sudah dipahami
dan diingat.
Dan setiap masalah perlu adanya analisis dari pemahaman tersebut. Bila
siswa mampu memahami sebuah teori, tentu siswa akan memberikan pertanyaanpertanyaan dalam teori tersebut, dan siswa pula dapat menjawab.
Hal terakhir adalah mensintetis dan mengevaluasi dari pertanyaan dan
kemampuan berpikir siswa. Evaluasi siswa terhadap kemampuan sendiri yang
akan dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan yang siswa miliki, dapat diambil
kesimpulan sejauh mana kemampuan berpikir siswa dapat diberikan penilaian.
Fokus kedua adalah membahas masalah awal, yaitu permasalahan. Siswa
harus melihat masalah apa yang dipaparkan. Akan lebih baik siswa menjabarkan
satu persatu, mana yang masuk dalam permasalahan dan mana yang tidak.
Pemilihan dalam permasalahan sudah dapat menilai analisis siswa dalam berpikir.
Setelah didapat permasalahannya, selanjutnya bagaimana menyikapi
masalah. Apa yang harus dilakukan siswa terhadap permasalahan itu. Apa
penyebab dari masalah itu. Dalam pemecahan masalah siswa harus belajar dari
sudut pandang siswa sendiri.
Setelah mendapatkan tahapan-tahapan itu, siswa perlu menyusun konsep
yang perlu disisipkan asumsi yang dapat membantu pemecahan masalah dan perlu
dicari tau apakah asumsi itu benar adanya. Perlu adanya alternatif dalam

43

pemecahan masalah agar pikiran siswa terbuka tidak hanya bertahan pada satu
pemecahan masalah dengan satu pemikiran saja.
Setelah siswa mendapat pemecahan masalah, perlu adanya interpretasi
hasil dari pemecahan masalah yang siswa lakukan, dan jangan mengesampingkan
implikasi dari pemecahan tersebut. Setiap keputusan yang diambil tentunya dapat
menghasilkan resiko walaupun siswa dalam tahapan pemecahan masalah. Tidak
hanya berpatokan pada suatu uraian saja, tetapi siswa juga harus menyiapkan
beberapa uraian lain yang dapat mendukung pemecahan masalah siswa tersebut.
2.6 Metode Problem Solving dan Model Pembelajaran CORE serta
Kemampuan Berpikir Kritis
Metode Problem Solving (pemecahan masalah) menurut Sudirman, dkk.
(1991: 146) adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah
sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha
mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa.
Dalam kenyataan, cara atau metode mengajar atau teknik penyajian yang
digunakan guru untuk menyampaikan informasi atau massage lisan kepada siswa
berbeda dengan cara yang ditempuh untuk memantapkan siswa dalam menguasai
pengetahuan, keterampilan serta sikap. Metode yang digunakan untuk memotivasi
siswa agar mampu menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan masalah
yang dihadapi ataupun untuk menjawab suatu pertanyaan akan berbeda dengan
metode yang digunakan untuk tujuan agar siswa mampu berpikir dan
mengemukakan pendapatnya sendiri di dalam menghadapi segala persoalan.
Metode pemecahan masalah ini sering dinamakan atau disebut juga dengan
eksperimen method, reflective thinking method, atau scientific method (Sudirman,
dkk., 1991: 146).
Keterampilan memecahkan masalah akan sangat baik jika dilatih dengan
pendekatan kelompok daripada secara mandiri. Dalam kelompok, siswa dapat
saling memberikan sumbang saran untuk memahami dan menerapkan modelmodel problem solving yang sedang dipelajari. Diharapkan, dengan belajar
kelompok siswa akan belajar lebih cepat daripada jika belajar mandiri. Namun
demikian, guru tetap memantau dan mengarahkan proses belajar di dalam

44

kelompok, agar tiap individu di dalam kelompok bisa aktif dan tidak saling
mengandalkan kemampuan individu tertentu. Dalam pendekatan ini guru
berfungsi sebagai fasilitator dan dinamisator belajar, sementara bahan ajar bisa
diberikan sebelumnya dan diperkaya sendiri oleh siswa dari sumber lain.
Model

pembelajaran

CORE

(Connecting,

Organizing,

Reflecting,

Extending) merupakan model pembelajaran dengan metode diskusi, yang di


dalamnya terkandung unsur mengemukakan pendapat, tanya jawab antar siswa,
atau sanggahan. merupakan model pembelajaran yang menekankan pada
kemampuan

berpikir

siswa

untuk

menghubungkan,

mengorganisasikan,

mendalami, mengelola, dan mendalami informasi yang didapat. Dalam model ini
aktivitas berpikir sangat ditekankan kepada siswa. Siswa dituntut untuk dapat
berpikir kritis terhadap informasi yang didapatnya.Kegiatan mengoneksikan
konsep lama-baru siswa dilatih untuk mengingatinformasi lama dan menggunakan
informasi/konsep lama tersebut untuk digunakandalam informasi/konsep baru.
Kegiatan mengorganisasikan ide-ide, dapat melatih kemampuan siswa untuk
mengorganisasikan, mengelola informasi yang telah dimilikinya. Kegiatan
refleksi,

merupakan

kegiatan

memperdalam,

menggali

informasi

untuk

memperkuat konsep yang telah dimilikinya.


Extending, dengan kegiatan ini siswa dilatih untuk mengembangkan,
memperluasinformasi yang sudah didapatnya dan menggunakan informasi dan
dapat menemukankonsep dan informasi baru yang bermanfaat.
Banyak model dan metode pembelajaran yang dapat dipergunakan atau
diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar. Meskipun begitu, dasar pertimbangan
penggunaan suatu model dan metode dalam pembelajaran diserahkan kepada
guru, karena guru yang tahu karakteristik mata pelajaran dan pokok bahasan yang
diajarkan. Adapun model-model pembelajaran, yaitu sebagai berikut :
1. Rumpun pembelajaran sosial. Model ini berdasarkan pada konsep tiap orang
mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi situasi, objek ataupun orang.
Cara tersebut dilatarbelakangi oleh sikap, perasaan dan sistem nilai tersebut
dikembangkan melalui peragaan dan diskusi.

45

2. Pembelajaran pemrosesan informasi. Model pembelajaran ini didasarkan pada


tiga anggapan dasar (asumsi), yaitu; (1) berfikir dapat diajarkan, (2) berfikir
menggunakan transaksi, (3) proses berfikir berkembang secara bertahap dari
yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi atau kompleks.
3. Pembelajaran pribadi. Model pembelajaran ini berdasarkan pada konsep para
siswa seringkali menghadapi masalah yang tidak dapat mereka pecahkan
sendiri. Pembelajaran ini membantu siswa memecahkan masalahnya sendiri.
4. Rumpun pembelajaran behavioral model pembelajaran ini didasari psikologi
behavioral, yang banyak mewarnai pengembangan program-program
pelatihan. Pengembangan program pelatihan diarahkan pada melatih individu
menguasai ketepatan dan koordinasi yang tinggi. Sumbangan yang utama
dalam model pembelajaran ini adalah analisis tugas dan pendefinisian.
Model dan metode pembelajaran yang baik memiliki beberapa
karakteristik, yaitu: memiliki prosedur ilmiah, hasil belajar yang spesifik,
kejelasan lingkungan belajar, kriteria hasil belajar dan proses pembelajaran yang
jelas. Suatu model pembelajaran dapat memberikan suatu manfaat diantaranya
yaitu; pertama, memberikan pedoman bagi guru dan siswa bagaimana proses
mencapai tujuan pembelajaran. Kedua, membantu dalam mengembangkan
kurikulum bagi kelas dan mata pelajaran lain. Ketiga, membantu dalam memilih
media dan sumber. Keempat, membantu meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Sesuai dengan pemaparan di atas, penerapan metode Problem Solving pada
model

pembelajaran

CORE

sangat

baik

diterapkankan

pembelajaran, terutama pada mata pelajaran fisika.

dalam

proses

Pada penerapan metode

Problem Solving pada model pembelajaran CORE, siswa dilatih untuk dapat
berpikir reflektif (reflective thinking), menganalisis dan memecahkan masalahnya
sendiri serta melatih siswa untuk dapat berpikir berkembang secara bertahap dari
yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi atau kompleks atau dengan kata lain
siswa dapat berpikir kritis melalui tahapan-tahapan dalam proses pembelajaran.
Sintaks desain metode Problem Solving pada model pembelajaran CORE
antara lain:

46

1. Penyampaian konsep lama yang akandihubungkan dengan konsep baru oleh


guru kepada siswa. Proses ini ditandai dengan pertanyaan yang berhubungan
dengan pengetahuan sebelumnya. Connecting (C).
2. Pembagian kelompok secara heterogen (campuran antara yang pandai, sedang
dan kurang). Terdiri dari 5-6 orang.
3. Mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materiyang dilakukan oleh
siswa dengan bimbingan guru. Pada tahap ini setiap siswa diberikan LKS,
kemudian siswa diperbolehkan untuk bertanya kepada guru apabila ada halhal yang kurang dipahami. Pada tahap ini guru sifatnya hanya membimbing.
Organizing (O).
4. Memikirkan kembali, mendalami, dan menggali informasi yang sudah
didapat dan dilaksanakan dalam kegiatan diskusi kelompok siswa. Pada tahap
ini siswa mengulang apa yang telah didapat pada pengetahuan sebelumnya,
kemudian siswa diminta menulis pemahaman awal yang telah didapat
sebelumnya pada lembar yang sudah disediakan. Lembar pemahaman awal
tersebut digunakan untuk membantu siswa untuk mengerjakan soal-soal pada
LKS yang diberikan oleh guru. Reflecting (R).
5. Pengembangan, memperluas, menggunakan dan menemukan, memulai tugas
indifidu yang dikerjakan secara berkelompok oleh siswa. Pada tahap ini siswa
diminta untuk mengerjakan LKS berdasarkan pemahaman awal yang telah
dibuatnya. Sementara guru berkeliling untuk memantau pekerjaan siswa dan
memberi bantuan seperlunya. Untuk menyelesaikan soal-soal pada LKSsiswa
perlu melakukan serangkaian kegiatan diantaranya: (1) siswa membaca soal
dengan teliti untuk memahami situasi masalah(2) siswa menemukan apa yang
dicari atau ditanyakan(3) siswa menyatakan apa yang sudah diketahui(4)
siswa menganalisis masalah secara konseptual (5) siswa merencanakan proses
solusi masalah(6) siswa menerapkan solusi masalah dan (7) siswa memeriksa
kembali hasil yang telah di dapat.
6.

Setelah siswa selesai mengerjakan LKS yang diberikan oleh guru, salah satu
siswa dari setiap kelompok diminta untuk menampilkan hasil pekerjaannya
didepankelas. Extending (E).

47

2.7 Metode Problem Solving dan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E


serta Kemampuan berpikir kritis
Model pembelajaran Learning Cycle 7E merupakan rangkaian tahap-tahap
kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga

siswa dapat

menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran


dengan jalan berperanan aktif. Learning Cycle merupakan model pembelajaran
yang dikembangkan oleh Karplus dan Their sesuai dengan pandangan Piaget.
Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan
cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara
mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan
konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki
untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda.
Implementasi teori Piaget dalam model learning cycle oleh Karplus pada
awalnya dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi
konsep. Pada tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan
panca indra yang dimilikinya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan
lingkungan

seperti

melalui

kegiatan

praktikum,

menganalisis

artikel,

mendiskusikan fenomena alam, atau prilaku social, dan lain-lain. Dari kegiatan ini
diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive
disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang
sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh tahap berikutnya.
Pada tahap pengenalan konsep (concept introduction) diharapkan terjadi proses
menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan
konsep-konsep

yang

baru

dipelajari

melalui

kegiatan-kegiatan

yang

menumbuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada
tahap ini siswa mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep
baru yang sedang dipelajarinya. Kemudian pada tahap terakhir, yaitu tahap
aplikasi konsep (concept

aplication), siswa diajak menerapkan pemahaman

konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pada metode problem solving

48

(menyatakan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan


lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan
motivasi belajar, karena siswa mengetahui penerapan yang nyata dari konsep yang
mereka pelajari. Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan
organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam learning cycle
(Abraham et al, 1986 dalam Fajaroh, 2008).
Sintaks penerapan metode Problem Solving pada model pembelajaran
CORE sebagai berikut:
1. Elicit; pada fase ini siswa berusaha untuk memfokuskan diri terhadap apa
yang disampaikan oleh guru dan mengingat kembali apa yang pernah
dipelajarinya

dan

mengajukan

pendapat

atau

jawaban

berdasarkan

pengetahuan sebelumnya atau pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.


2. Engage; pada fase ini siswa memperhatikan guru ketika sedang menjelaskan
tentang materi yang sedang dipelajari, guru memberi pertanyaan untuk
merangsang motivasi dan keingintahuan siswa.
3. Explore; pada fase ini siswa di bagi dalam kelompok oleh guru dan di berikan
LKS untuk di kerjakan dalam kelompok. Pada tahap ini juga siswa
melakukan experimen untuk menyelesaikan masalah atau soal-soal yang
diberikan oleh guru dalam bentuk LKS. Penyelesaian masalah yang disajikan
guru dilakukan sesuai dengan langkah-langkah pada metode pemecahan
masalah (Problem Solving). Selanjutnya siswa membuat kesimpulan dari data
atau hasil experimen yang telah dilakukan.
4. Explain; pada tahap ini perwakilan dari setiap kelompok melaporkan dan
mempresentasikan hasil eksperimennya, dan menyimpulkan hasil dari
eksperimen yang telah dilakukan dan berdasarkan petunjuk atau penjelasan
dari guru.
5. Elaborate; pada fase ini kegiatan yang dilakukan oleh siswa, diantaranya
siswa menggunakan informasi atau pengetahuan yang telah didapat pada
tahap

sebelumnya

untuk

bertanya,

mengemukakan

menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru.

pendapat

serta

49

6. Extend; pada tahap ini siswa berfikir, mencari dan menemukan dan
menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah dipelajari.
7. Evaluate; pada fase ini siswa megerjakan kuis yang diberikan oleh guru,
menjawab pertanyaan lisan dari guru (baik berupa pendapat maupun fakta),
serta, mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk menjelaskan konsep
yang telah di pelajari.
2.8 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjau pustaka di atas, maka hipotesis penelitian adalah:
1. Ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara siswa yang diajar
melalui penerapan metode Problem Solving pada model pembelajaran CORE
dengan siswa yang diajar melalui penerapan metode Problem Solving pada
model pembelajaran Learning Cycle 7E.
2. Tidak ada perdedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara siswa yang di
ajar melalui penerapan metode Problem Solving pada model Pembelajaran
CORE dengan siswa yang diajar melalui penerapan metode Problem Solving
pada model pembelajaran Learning Cycle 7E.

Вам также может понравиться