Вы находитесь на странице: 1из 10

Tuesday, August 2, 2011

ASUHAN KEPERAWATAN FLU BURUNG


I. DEFINISI DAN ETIOLOGI
Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian influenza) adalah suatu
penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh
unggas. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1.
Flu Burung merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat membunuh seluruh
ternak unggas di areal usaha peternakan. Flu Burung merupakan penyakit yang
berbahaya karena dapat menyebar dengan cepat ke areal peternakan lain dan di
seluruh tanah air. Flu Burung berbahaya karena banyak jenis Flu Burung dapat
menyebabkan manusia sakit dan meninggal. (FAO, Buku Petunjuk bagi Paramedik
Veteriner).
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili
Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift),
dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari
Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai
identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya
terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada
binatang H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu
burung adalah dari subtipe A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air
sampai 4 hari pada suhu 220 C dan lebih dari 30 hari pada 00 C. Virus akan mati
pada pemanasan 600 C selama 30 menit atau 560 C selama 3 jam dan dengan
detergent, desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine.
II. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia pada bulan Januari 2004 di laporkan adanya kasus kematian ayam
ternak yang luar biasa (terutama di Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Kalimantan Barat dan Jawa Barat). Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh
karena virus new castle, namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian
disebabkan oleh virus flu burung (Avian influenza (AI)). Jumlah unggas yang mati
akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di Indonesia sangat besar yaitu
3.842.275 ekor (4,77%) dan yang paling tinggi jumlah kematiannya adalah propinsi
Jawa Barat (1.541.427 ekor). Berdasarkan data KEMENKES RI, jumlah kasus Flu
Burung di Indonesia sejak tahun 2005 sampai dengan Juni 2010 adalah 166 kasus
dengan 137 kematian.
III. PATOFISIOLOGI
Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili Orthomyxoviridae.
Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode
sekitar 11 jenis protein. Virus influenza mempunyai selubung/simpai yang terdiri
dari kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang
digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada
saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes yaitu yang mengandung hemaglutinin
(HA) dan yang mengandung neuraminidase (NA), yang terletak dibagian terluar dari

virion. Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari (i) protein
nukleokapsid (NP) (ii). Hemaglutinin (HA), (iii). Neuraminidase (NA), dan protein
matriks (MP).
Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus
influenza A, B, dan C. Virus Influenza A sangat penting dalam bidang kesehatan
karena sangat patogen baik bagi manusia, dan binatang, yang menyebabkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi, di seluruh dunia. Virus influenza A ini dapat
menyebabkan pandemi karena mudahnya mereka bermutasi, baik berupa antigenic
drift ataupun antigenic shift sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih
patotegen. Di dalam virus influenza tipe A dapat terjadi perubahan besar pada
komposisi antigeniknya yang disebut antigenic shift atau terjadi perubahan kecil
komposisi antigenik yang disebut antigenic drift. Perubahan perubahan inilah
yang bisa menyebabkan epidemi atau bahkan pandemi. ). Virus influenza B adalah
jenis virus yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C, jarang
ditemukan walaupun dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan binatang. Jenis
virus influenza B dan C jarang sekali atau tidak menyebabkan wabah pandemis.
Terdapat 15 jenis subtipe HA dan 9 jenis subtipe NA. Dari berbagai penelitan
seroprevalensi secara epidemiologis menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus
influenza A telah menyebabkan wabah pandemi antara lain H7N7 (1977), H3N2
(1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan H2N2 (1889). Infeksi virus
H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes
virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan
menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam
inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya,
virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat
menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap
spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat
bereplikasi di dalam sel nasofaring dan di dalam sel gastrointestinal .Virus H5N1
juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien
(WHO,2005). Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan
apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan
replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan
dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel
hospesnya.
-2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia
karena perbedaan reseptor spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya
1 asam amino saja konfigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor2,6-galactose (SA -2,3- Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada
pada manusia. Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA -2,3galactose (SA Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada
manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu
burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat
pada jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung Nacethylneuraminic acid pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi virus
H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus dapat

membuat varian-varian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke
manusia .
Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal
dari kotoran unggas yang sakit. Penularan juga bisa terjadi melalui air minum dan
pasokan makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu
burung. Di peternakan unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui
peralatan, kandang, pakaian ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu
burung (H5N1) juga pekerja peternakan itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di
peternakan, secara berurutan dari yang kurang berisiko sampai yang paling berisiko
adalah melalui pergerakan unggas yang terinfeksi ,kontak langsung selama
perjalanan unggas ke tempat pemotongan ,lingkungan sekitar (tetangga) dalam
radius 1 km, kereta/lori yang ,digunakan untuk mengangkut makanan, minuman
unggas dan lain-lain ,kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat .
Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia
kontak dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan
atau benda-benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung
virus H5N1. Orang yang berisiko tinggi tertular flu burung adalah pekerja di
peternakan ayam ,pemotong ayam ,orang yang kontak dengan unggas hidup yang
sakit atau terinfeksi flu burung orang yang menyentuh produk unggas yang
terinfeksi flu burung ,populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian
unggas akibat flu burung. Pada dasarnya sampai saat ini, H5N1 tidak mudah untuk
menginfeksi manusia dan apabila seseorang terinfeksi, akan sulit virus itu menulari
orang lain. Pada kenyataannya, penularan manusia ke manusia, terbatas, tidak
efisien dan tidak berkelanjutan. (Radji, 2006)
Penyakit dimulai dari infeksi virus pada sel epitel saluran napas. Virus ini kemudian
bereplikasi sangat cepat hingga menyebabkan lisis sel epitel & terjadi deskuamasi
lapisan epitel saluran napas.Pada tahap infeksi awal, respons imun innate akan
menghambat replikasi virus. Apabila kemudian terjadi re-eksposure, respons imun
adaptif yang bersifat antigen spesific mengembangkan memori imunologis yang
akan memberikan respons yang lebih cepat. Replikasi virus akan merangsang
pembentukan proinflammatory cytokine termasuk IL-1, IL-6 dan TNF-Alfa yang
kemudian masuk ke sirkulasi sistemik & pada gilirannya menyebabkan gejala
sistemik seperti demam, malaise, myalgia dll. Pada umumnya influenza merupakan
penyakit yang self limiting & virus terbatas pada saluran napas. Pada keadaan
tertentu seperti kondisi sistem imun yang menurun virus dapat lolos masuk sirkulasi
darah & ke organ tubuh lain. Bila strain/subtipe virus baru yang menginfeksi maka
situasi akan berbeda.Imunitas terhadap virus subtipe baru yang sama sekali belum
terbentuk dapat menyebabkan keadaan klinis yang lebih berat. Sistem imunitas
belum memiliki immunological memory terhadap virus baru. Apalagi bila virus
subtipe baru ini memiliki tingkat virulensi atau patogenisitas yang sangat tinggi
seperti virus H5N1. Tipe virus yang berbeda akan menyebabkan respons imun &
gejala klinis yang mungkin berbeda. Diketahui bahwa pada infeksi oleh virus
influenza A H5N1 terjadi pembentukan sitokin yang berlebihan (cytokine storm)
untuk menekan replikasi virus, tetapi justru hal ini yang menyebabkan kerusakan
jaringan paru yang luas & berat. Terjadi pneumonia virus berupa pneumonitis

intertitial. Proses berlanjut dengan terjadinya eksudasi & edema intraalveolar,


mobilisasi sel sel radang dan juga eritrosit dari kapiler sekitar, pembentukan
membran hyalin dan juga fibroblast. Sel radang akan memproduksi banyak sel
mediator peradangan. Secara klinis keadaan ini dikenal dengan ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome). Difusi oksigen terganggu, terjadi hipoksia/anoksia
yang dapat merusak organ lain. Proses ini biasanya terjadi secara cepat & penderita
dapat meninggal dalam waktu singkat karena proses yang ireversibel.
(Emedicine,2009)

IV. KLASIFIKASI
Penderita Konfirm H5N1 dapat dibagi dalam 4 kategori sesuai beratnya penyakit
(MOPH Thailand, 2005)
Derajat I : Penderita tanpa Pneumonia
Derajat II : Penderita dengan Pneumonia Derajat Sedang dan tanpa Gagal Nafas
Derajat III : Penderita dengan Pneumonia Berat dan dengan Gagal Nafas
Derajat IV : Pasien dengan Pneumonia Berat dan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) atau dengan Multiple Organ Failure (MOF)
V. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala
A. Gejala pada unggas.
- Jengger berwarna biru
- Borok dikaki
- Kematian mendadak
B. Gejala pada manusia.
- Demam (suhu badan diatas 38o C)
- Batuk dan nyeri tenggorokan
- Radang saluran pernapasan atas
- Pneumonia
- Infeksi mata
- Nyeri otot
manifestasi klinis avian influenza pada manusia terutama terjadi di system
respiratorik mulai dari yang ringan sampai yang berat. Manifestasi klinis avian
influenza secara umum sam dengan gejala ILI (influenza like illness), yaitu batuk,
pilek, dan demam. Gejala lain berupa sefalgia, nyeri tenggorokan, mialgia, dan
malaise.
Adapun keluhan gastrointestinal berupa diare dan keluhan lain berupa
konjungtivitis. Spektrum klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, flu
ringan hingga berat, pneumonia, dan banyak yang berakhir dengan ARDS (acute
respiratory distress syndrome). kelainan laboratorium hematologi yang hampir
selalu dijumpai adalah lekopenia, limfopenia dan trombositopenia. Kelainan foto
thoraks bisa berupa infiltrate bilateral luas infiltrate difus, multilokal atau tersebar
(Pathcy) atau terdapat kolaps lobar.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas dianjurkan untuk
sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah
rutin (Hb, Leukosit, Trombosit, Hitung Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi
nasofaringeal.
Diagnosis flu burung dibuktikan dengan :
Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1.
Uji Serologi :
1. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen
konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut ( diambil <7 hari setelah awitan
gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80.
2. Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil
pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi
lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5
positif.
3. Uji penapisan
Rapid test untuk mendeteksi Influensa A.
ELISA untuk mendeteksi H5N1.
2. Pemeriksaan Hematologi
Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya
ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni.
3. Pemeriksaan Kimia darah
Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis Gas
Darah. Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT,
peningkatan ureum dan kreatinin, peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah
dapat normal atau abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan
penyakit dan komplikasi yang ditemukan.
4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka flu
burung. Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah
pneumonia. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk
kasus dengan gejala klinik flu burung tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah
diagnostik dini.
5. Pemeriksaan Post Mortem
Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung tertegakkan, dianjurkan
untuk mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (necropsi),
specimen dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.
VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah istirahat, peningkataan daya tahan

tubuh, pengobatan antiviral, pengobatan antibiotic, perawatan respirasi, anti


inflamasi, imunomodulators.
Untuk penatalaksanaan umum dapat dilakukan pelayanan di fasilitas kesehatan non
rujukan dan di rumah sakit rujukan flu burung.
1. Untuk pelayanan di fasilitas kesehatan non rujukan flu burung diantaranya adalah
:
Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak,
sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan flu burung.
Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai
skoring di bawah ini, sementara pada puskesmas yang tidak terpencil pasien
langsung dirujuk ke RS rujukan. Kriteria pemberian oseltamivir dengan sistem
skoring, dimodifikasi dari hasil pertemuan workshop Case Management &
pengembangan laboratorium regional Avian Influenza, Bandung 20 23 April 2006
Skor
Gejala 1 2
Demam < 380C > 380C
RR N > N
Ronki Tidak ada Ada
Leukopenia Tidak ada Ada
Kontak Tidak ada Ada
Jumlah
Skor :
6 7 = evaluasi ketat, apabila meningkat (>7) diberikan oseltamivir
> 7 = diberi oseltamivir.
Batasan Frekuensi Napas :
< 2bl = > 60x/menit
2bl - <12 bl = > 50x/menit
>1 th - <5 th = > 40x/menit
5 th - 12 th = > 30x/menit
>13 = > 20x/menit
Pada fasilitas yang tidak ada pemeriksaan leukosit maka pasien dianggap sebagai
leukopeni (skor = 2)
2. Pelayanan di Rumah Sakit Rujukan
Pasien Suspek H5N1, probabel, dan konfirmasi dirawat di ruang isolasi.
Petugas triase memakai APD, kemudian segera mengirim pasien ke ruang
pemeriksaan.
Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan tetap mengunakan APD dan melakukan
kewaspadaan standar.
Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik.
Setelah pemeriksaan awal, pemeriksaan rutin (hematologi dan kimia) diulang

setiap hari sedangkan HI diulang pada hari kelima dan pada waktu pasien pulang.
Pemeriksaan PCR dilakukan pada hari pertama, kedua, dan ketiga perawatan.
Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari pertama dan diulang setiap lima hari.
Penatalaksanaan di ruang rawat inap
Klinis
1. Perhatikan :
- Keadaan umum
- Kesadaran
- Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu).
- Bila fasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxymetry.
2. Terapi suportif : terapi oksigen, terapi cairan, dll.
Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni pada
48 jam pertama. Adapun pilihan obat :
1. Penghambat M2 : a. Amantadin (symadine), b. Rimantidin (flu madine). Dengan
dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari.
2. Penghambatan neuramidase (WHO) : a. Zanamivir (relenza), b. Oseltamivir (tami
flu). Dengan dosis 2x75 mg selama 1 minggu.
Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai
berikut :
Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg 5 hari, simptomatik
dan antibiotik jika ada indikasi.
Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg selama 5 hari,
antibiotic spectrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika
perlu seperti pada kasus pneumonia berat, ARDS. Respiratory care di ICU sesuai
indikasi.
Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi, digunakan Oseltamivir dengan
dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu).
VIII. PENCEGAHAN
Pengendalian adalah aspek yang sangat penting dalam pencegahan transmisi
walaupun belum ada bukti sahih adanya penularan dari manusia ke manusia yang
berkelanjutan. Pencegahan transmisi dilakukan dengan melakukan perawatan
isolasi dan perawatan pengendalian infeksi secara ketat menggunakan alat
perlindungan personal dan metode kewaspadaan isolasi yang baik. Selain
kewaspadaan standar (cuci tangan, sarung tangan, penggunaan bahan
dekontaminan/desinfektan) perlu dilakukan pula kewaspadaan berdasar transmisi
sesuai cara penularan (kontak, droplet & airborne). Penanganan limbah juga bagian
yang sangat penting untuk pencegahan penularan. Adapun pencegahannya baik
pada hewan ataupun pada manuasia :
a. Pada Unggas

1. Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung


2. Vaksinasi pada unggas yang sehat
b. Pada Manusia :
1. Kelompok berisiko tinggi ( pekerja peternakan dan pedagang)
a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.
b. Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinsfeksi flu burung.
c. Menggunakan alat pelindung diri. (contoh : masker dan pakaian kerja).
d. Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja.
e. Membersihkan kotoran unggas setiap hari.
2. Masyarakat umum
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi & istirahat cukup.
b. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu :
- Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya)
- Memasak daging ayam sampai dengan suhu 800C selama 1 menit dan pada telur
sampai dengan suhu 640C selama 4,5 menit.
IX. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin dan penanggung
jawab.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Data yang mungkin ditemukan demam (suhu> 37oC), sesak napas, sakit
tenggorokan, batuk, pilek, diare
3. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah ada riwayat sakit paru-paru atau tidak.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
5. Riwayat perjalanan
Dalam waktu 7 hari sebelumnya apakah melakukan kunjungan ke daerah atau
bertempat tinggal di wilayah yang terjangkit flu burung, mengkonsumsi unggas
sakit, kontak dengan unggas / orang yang positif flu burung.
6. Kondisi lingkungan rumah
Dekat dengan pemeliharaan unggas dan memelihara unggas.
7. Pola fungsi keperawatan
Aktivitas istirahat: lelah, tidak bertenaga.
Sirkulasi: sirkulasi O2 < 95%, sianosis, Eliminasi: diare, bising usus hiperaktif,
karakteristik feces encer, defekasi > 3x/hari.
Nyeri atau ketidaknyamanan: nyeri otot, sakit pada mata, konjungtivitis.
Respirasi: sesak napas, ronchi, penggunaan otot bantu napas, takipnea, RR >
20x/menit, batuk berdahak.
Kulit: tidak terjadi infeksi pada sistem integument.
Psikososial: gelisah, cemas.

X. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
ditandai dengan dispnea, saat diaskultasi terdengar ronci, klien mengeluh batuk
berdahak.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan peningkatan
suhu tubuh 37,50C, akral teraba panas, takipnea.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
takipnea, kilen tampak menggunakan otot bantu pernafasan ,RR> 20 x /menit.
4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler
alveolar ditandai dengan dispnea, pemeriksaaan AGD abnormal, saturasi oksigen
<95%. 5. Diare berhubungan dengan proses infeksi ditandai dengan bising usus
hiperaktif, karakteristik feces encer, defekasi > 3kali perhari.
6. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan klien
mengeluh nyeri otot(myalgia), takipnea.
7. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan iritasi virus ditandai dengan
konjungtivitis, klien mengeluh sakit mata.
8. Resiko cedera berhubungan dengan fungsi regulatori terganggu
9. Kelelahan berhubungan dengan stadium penyakit ditandai dengan klien tampak
lelah, klien tampak tidak bertenaga.
10. Ansietas berhubungan dengan terpapar lingkungan ditandai dengan pasien
tampak gelisah dan tampak cemas
11. PK infeksi

DAFTAR PUSTAKA
Emedicine.2009. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2004014manajemen-klinis-kasus-flu-burung/#ixzz1RzrYHgri. I diakses pada 13 Juli 2011
Ester, Monica. 2011. NANDA internasional Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Depkes, Litbang. 2008. Flu Burung.
www.litbang.depkes.go.id/maskes/072005/flu_burung.pdf diakses : 13 juli 2011

Radji ,Maksum . 2006. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.2, Agustus 2006, 55
65. Jakarta: UI
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V.Jakarta :
Interna Publishing
WWW.CDC.COM (diakses pada tanggal : 13 juli 2011)

Вам также может понравиться