Вы находитесь на странице: 1из 2

KEJADIAN ASAL YANG SUCI

Manusia diciptakan Allah dalam fitrah atau kesucian, yaitu dengan adanya
ikatan perjanjian (ahd, covenan) antara Allah dan manusia sebelum manusia itu lahir
ke bumi. Perjanjian primordial itu berbentuk kesediaan manusia untuk mengakui
dan menerima Allah sebagai Pangeran atau Tuan baginya yang harus dihormati
dengan penuh ketaatan dan sikap berserah diri yang sempurna (islam). Karena setiap
jiwa manusia menerima perjanjian persaksian ini, maka setiap orang dilahirkan
dengan pembawaan alami untuk menemukan kembali Tuhan dengan hasrat berbakti
dan berserah diri kepada-Nya (berislam).
Sementara itu, kata-kata fitrah (fithrah) bermakna kejadian asal yang suci atau
kesucian asal. Dari kata-kata ini kemudian muncul istilah Idul Fitri, yang
mengandung makna kembali kepada kesucian, maka Hari Raya Idul Fitri (d alFithr) adalah puncak pengalaman hidup sosial keagamaan. Dapat dikatakan bahwa
seluruh kegiatan manusia selama satu tahun diarahkan untuk dapat merayakan hari
besar itu dengan sebaik-baiknya. Mereka bekerja dan banyak yang menabung untuk
kelak mereka nikmati pada saat tibanya Idul Fitri. (Maka di zaman kolonial Belanda,
atas dasar realisme sosial-kultural pemerintahan penjajah, permulaan perhitungan
kegiatan dalam setahun, seperti masa sekolah, ialah bulan Syawal, dan berakhir bulan
Syaban atau Ruwah).
Hari raya yang juga disebut lebaran itu sebanding dengan Thanks Giving Day di
Amerika Serikat, saat negeri itu bersuka ria dengan bersyukur kepada Tuhan bersama
seluruh keluarga. Gerak mudik rakyat Indonesia juga mirip sekali dengan yang terjadi
pada orang-orang Amerika menjelang Thanks Giving Day.
Sebagai hari raya keagamaan, Idul Fitri pertama-tama mengandung makna
keruhanian. Tetapi karena dimensi sosialnya sedemikian besarnya, khususnya dimensi
keluarganya, maka Idul Fitri juga memiliki makna sosial yang amat besar. Jika dilihat
dari segi bagaimana orang bekerja dan menabung untuk berlebaran, Idul Fitri juga
mempunyai makna ekonomis yang besar sekali bagi umat Islam. Salah satu indikasi
tentang hal itu ialah bagaimana daerah-daerah tertentu memperoleh limpahan
ekonomi dan keuangan dari para pemudik lebaran, sehingga pemerintah daerah
bersangkutan merasa perlu menyambut dan mengelu-elukan kedatangan warganya
yang bekerja di kota-kota.
Semua itu boleh-boleh saja selama masih dalam batas-batas kewajaran. Sama
halnya dengan tradisi membeli pakaian baru, makanan yang lebih dari biasanya, dan
sebagainya, itu juga tidak menjadi soal selama masih berada dalam batas-batas
keagamaan yang wajar. Bahkan, hal-hal seperti itu memang dianjurkan dalam
kerangka bahagia dan ingat kembali kepada Tuhan. Nabi sendiri yang memberikan
contoh, Nabi menganjurkan semua orang pada hari itu agar keluar rumah dan pergi ke
tempat salat di lapanganyang kemudian ditiru oleh Muhammadiyahtermasuk
para wanita yang pada hari itu berhalangan salat. Pengertian keluar rumah itu bukan
hanya berarti ikut salat, tetapi ikut bergembira.
Bahwa kemudian suasana itu diterjemahkan dalam bentuk pakaian baru dan
sebagainya, wajar saja sebagai pertanda bersyukur kepada Allah swt. Karena itulah, di
ujung bulan Ramadan juga diwajibkan untuk melakukan zakat fitrah, agar para fakir
miskin juga dapat merasakan kebahagiaan ini. Jangan sampai pada waktu Idul Fitri
ada kalangan yang tak bisa makan. Hal ini sendiri ditegaskan dalam al-Quran bahwa
kaum beriman adalah kaum yang mendermakan hartanya, tidak berlebihan, dan juga
tidak kikir. Yang bagus itu yang tengah-tengah, tidak berlebihan dan juga tidak kikir.
Kalau terlalu kikir bisa menyiksa diri sendiri dan menyiksa orang lain. Sebaliknya,

kalau boros dan menyia-nyiakan harta, mempunyai efek kepada diri sendiri dan
kepada orang lain.
Ada satu ungkapan dalam bahasa Arab yang artinya, Siapa yang tahu diri juga
tahu Tuhan. Dalam pengertian tahu diri itu, misalnya, hidup realistis, tidak mengadaada, dan juga tidak boros. Maka dari itu, boros itu dilarang oleh Tuhan. Banyak
indikasi dalam al-Quran bahwa kita tidak boleh boros. Apalagi mubazir, yang artinya
pemborosan tanpa makna, wasting money, menyia-nyiakan harta, yang dikutuk dalam
al-Quran sebagai temannya setan. Pengertian-pengertian ini semua kalau
dikumpulkan akan menuju pada suatu makna, yakni manusia yang asli, manusia yang
tahu diri, realistis, dan jujur pada diri sendiri. Kalau sekian kemampuannya, ya,
sekianlah. Tidak usah mengada-ada. Bahasa gampangnya, kembali kepada
kesederhanaan. Bagaimana cara mengembalikan pengertian ini kepada umat Islam, ini
jelas memerlukan kampanye, dan diwujudkan ke dalam program-program dakwah. Ini
berarti masalah koordinasi antara para dai untuk menjadikan masalah ini sebagai tema
dakwah.

Вам также может понравиться