Вы находитесь на странице: 1из 4

Batu Bara untuk Pesawat Tempur

Angkatan Udara Amerika Serikat segera meninggalkan bahan bakar minyak.


Cascade County -- Pesawat pengebom siluman berbahan-bakar batu bara? Jangan
bayangkan seorang co-pilot mengeruk batu bara dengan sekop ke mesin tungku seperti
kereta api zaman koboi. Ini sungguhan. Pekan lalu, Angkatan Udara Amerika Serikat
(USAF) merilis rencana ambisius untuk menyingkirkan minyak bumi, yang selama ini
menjadi sumber bahan bakar mesin-mesin perang mereka, dan menggantinya dengan
batu bara.
Sebagai rencana awal, USAF akan membangun fasilitas domestik konversi batu bara
menjadi bahan bakar sintetis di Pangkalan Udara Malmstrom, Montana. Fasilitas itu
diharapkan menjadi pusat konversi batu bara terbesar di negara tersebut.
Tujuan kebijakan ini adalah mengamankan kepentingan nasional Amerika, dengan
mengurangi ketergantungan pada impor minyak dari negara lain. Pada 2006, USAF
menghabiskan 3,2 miliar galon atau 12 miliar liter bahan bakar minyak. Jumlah itu
mencapai 79 persen dari seluruh kebutuhan bahan bakar minyak militer Amerika Serikat.
Hanya, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar Angkatan Udara, pemerintah harus
merogoh kocek sekitar US$ 7,8 miliar.
Jumlah tersebut terus membengkak seiring dengan tren naiknya harga minyak dunia.
Repotnya, produksi minyak Amerika Serikat hanya sanggup memenuhi 35 persen
kebutuhan dalam negerinya. Sisanya, sebanyak 65 persen diimpor dari negara lain, dan
20 persen di antaranya beli dari Arab Saudi.
Ini sangat kontras apabila mengingat kenyataan bahwa Amerika kaya akan batu bara.
Negeri Abang Sam berada di urutan pertama negara dengan cadangan batu bara terbesar
di dunia, sekitar 246 miliar ton. Sebagai perbandingan, Indonesia--yang merupakan
eksportir batu bara terbesar di dunia--diperkirakan hanya memiliki sekitar 5 miliar ton
cadangan batu bara. "Kita masih akan membakar bahan bakar fosil untuk jangka waktu
yang lama dan kenyataannya, tanah kita memiliki lebih banyak batu bara dibanding
minyak bumi," kata Deputi Menteri Muda Angkatan Udara William Anderson. "Tidak
sulit dinalarkan, bukan? Wajar kalau kita seharusnya memilih batu bara."
Anderson menyatakan Angkatan Udara tidak akan membiayai, membangun, atau
mengoperasikan sendiri fasilitas konversi energi itu. Mereka justru berharap ada investor
dalam negeri yang mau berinvestasi membangun fasilitas tersebut. "Angkatan Udara
hanya akan menyediakan lahan seluas 700 hektare di wilayah pangkalan untuk
membangun fasilitas tersebut," katanya.
Hal lain yang disediakan Angkatan Udara adalah ribuan jet tempur dan peralatan perang
lainnya. "Yang tidak kalah penting, kami akan menyediakan diri sebagai konsumen,"

ujarnya. "Ingat, kami adalah Angkatan Udara Amerika Serikat. Kami akan menjadi
konsumen produk bahan bakar terbesar."
Lelang proyek akan dilakukan pada Mei mendatang, dan konstruksinya diharapkan
selesai empat tahun setelah Departemen Pertahanan memutuskan pemenang proyek.
Angkatan Udara berharap separuh armada perangnya sudah menggunakan bahan bakar
sintetis berbasis batu bara pada 2016. "Pada saat itu, kami akan membutuhkan 400 juta
bahan bakar," kata Anderson.
Dengan kebutuhan sebesar ini, Anderson yakin permintaan dari sektor swasta, seperti
maskapai penerbangan komersial atau perusahaan jasa transportasi laut dan darat, juga
ikut meningkat. "Karena kami memiliki ribuan pesawat yang haus bahan bakar, kami
akan mampu menciptakan pasar dan permintaan yang besar serta akan mendorong
permintaan serupa dari sektor swasta," katanya.
Yang sudah pasti girang atas rencana itu adalah produsen bahan bakar batu bara. Selama
ini, mereka kesulitan mengembangkan pasar bagi produk bahan bakar cair berbasis batu
bara karena kekhawatiran parlemen akan dampak lingkungannya. Tekanan dampak
perubahan iklim sempat membuat rencana membangun beberapa pembangkit listrik
tenaga batu bara di Amerika Serikat kandas.
Rencana USAF ini akan membuat batu bara beroleh kekuatan politik dan ekonomi yang
baru. "Inilah konsumen yang sudah lama kami tunggu," kata John Baardson, pemilik
Baard Energy, perusahaan batu bara yang berbasis di Vancouver. "Angkatan Udara
Amerika Serikat akan menjadi agen perubahan bagi seluruh industri batu bara di Amerika
Serikat dan dunia."
Menurut Baardson, kebutuhan Angkatan Udara begitu besar, sehingga tidak akan cukup
hanya disuplai oleh satu fasilitas. Untuk memenuhi kebutuhan itu, dibutuhkan beberapa
pabrik yang menyuplai bahan bakar cair batu bara. "Untuk sekadar memenuhi kebutuhan
mereka, industri batu bara Amerika Serikat harus bersatu," katanya.
Pabrik produsen bahan bakar batu bara cair di Pangkalan Udara Malmstrom direncanakan
akan memproduksi 25 ribu barel bahan bakar batu bara sintetis. Tapi hanya 15 persen
yang direncanakan digunakan untuk bahan bakar pesawat. Sisanya dipakai sebagai bahan
bakar kapal, truk, kereta, dan nafta, material yang banyak digunakan oleh industri kimia.
"Artinya, dibutuhkan minimal tujuh pabrik yang memproduksi bahan bakar batu bara
sintetis untuk memenuhi kebutuhan mereka pada 2016," ujar Baardson.
Di Wall Street, para analis masih skeptis terhadap rencana tersebut, meskipun mengakui
rencana itu sangat layak dari sisi bisnis. Biaya produksi bahan bakar batu bara cair adalah
sekitar US$ 35 per barel. Bahkan, bila produsen mengambil keuntungan dua kali lipat
dengan menjualnya seharga US$ 70, harganya masih di bawah harga minyak dunia yang
saat ini mencapai US$ 110. "Apa ini teknologi yang layak? Sebenarnya iya," kata analis
energi, Gordon Howald. "Tapi orang ingin melihat dulu proyek ini berjalan."

Maklum saja, Amerika belum memiliki pabrik yang memproduksi bahan bakar batu bara
cair. Di seluruh dunia, hanya ada dua pabrik yang semuanya berada di Afrika Selatan.
Tahun ini, Cina akan mendirikan satu pabrik lagi. "Kalau pabriknya sudah berjalan dan
tidak ada keberatan dari parlemen, baru investor akan masuk," kata Howald.
Keberatan dari Capitol Hill memang tampaknya akan jadi batu sandungan, yang
mengkhawatirkan dampak lingkungan karena kemungkinan besar bahan bakar berbasis
batu bara menimbulkan lebih banyak emisi daripada bahan bakar minyak. "Kami tidak
menginginkan energi jenis baru yang justru membuat masalah efek gas rumah kaca
semakin parah," kata Ketua Komisi Penilai Kongres Henry Waxman.
Waxman sudah mengirim surat keberatan kepada Menteri Pertahanan Robert Gates, yang
menyatakan emisi gas rumah kaca dari bahan bakar batu bara cair harus diperhatikan.
Kongres Amerika Serikat kemungkinan besar akan mengeluarkan aturan bahwa
penggunaan bahan bakar sintetis berbasis batu bara untuk militer baru akan diizinkan bila
ada bukti bahan bakar tersebut mengeluarkan emisi yang setara atau lebih rendah
daripada bahan bakar minyak. "Angkatan Udara mengeluarkan rencana ini dengan alasan
keamanan nasional," kata Waxman. "Padahal perubahan iklim juga masalah keamanan
nasional."
Meski demikian, Anderson tetap optimistis. Dia menyatakan Angkatan Udara akan
menjamin bahan bakar ini mendukung program Green Fuel yang dicanangkan
Pemerintah Amerika Serikat. "Untuk mengurangi emisi, tinggal dilakukan penambahan
bahan campuran sintetis tertentu dan mengurangi takaran batu bara yang digunakan,"
katanya. "Tenang saja." AMAL IHSAN | LIVESCIENCE |
DEFENSEINDUSTRYDAILY | INTERNATIONALHERALDTRIBUNE
'Hijau' Produknya, 'Hitam' Prosesnya
Batu bara sesungguhnya dapat dikonversi menjadi bahan bakar cair seperti bensin atau
solar. Prosesnya disebut likuifaksi. Salah satu caranya, yang paling sederhana dan
terkenal, disebut proses Fischer-Tropsch (FT) yang sudah digunakan sejak perang dunia
ke-II oleh Nazi, Jerman.
FT adalah proses sintesis tidak langsung yang melibatkan batu bara menjadi hidrokarbon
cair. Pertama, batu bara melalui proses gasifikasi untuk menghasilkan gas sintesis
(syngas)--campuran seimbang antara hidrogen dan karbon monoksida. Syngas lalu
dikondensasikan menggunakan katalis FT untuk menghasilkan hidrokarbon ringan yang
selanjutnya diproses menjadi bensin dan solar. Syngas juga dapat dikonversi menjadi
metanol, yang dapat juga digunakan sebagai zat tambahan bahan bakar.
Ada beberapa cara memproses batu bara menjadi bahan bakar. Salah satunya adalah
proses Bergius yang merupakan proses sintesis langsung likuifaksi menggunakan
hidrogenasi lewat pemakaian temperatur tinggi dan gas sintesis bertekanan tinggi yang
diproduksi dalam gasifikasi. Pabrik bahan bakar di Afrika Selatan menggunakan proses
ini.

Cara hidrogenasi lainnya adalah proses Schroeder, mengambil nama penemunya Wilburn
C. Schroeder. Proses ini menggunakan batu bara yang sudah menjadi bubuk dan
dikeringkan lalu dicampur dengan katalis molibdenum dan mengalami proses
hidrogenasi. Proses ini menghasilkan produk minyak mentah sintetis yang disebut nafta,
yang menjadi bahan pembuatan bensin dan solar.
Cairan hidrokarbon dari batu bara juga bisa diproduksi lewat karbonisasi temperatur
rendah atau low temperature carbonization (LTC) yang kadang disebut juga proses
Karrick. Batu bara dimasak dengan temperatur 450-700 derajat Celsius menjadi
campuran metalurgi, bukan 800-1.000 derajat Celsius seperti proses sebelumnya.
Temperatur rendah ini memaksimalkan produksi tar batu bara lebih banyak hidrokarbon
ringannya dibanding tar normal batu bara. Tar batu bara itu lantas diolah menjadi bahan
bakar.
Semua metode produksi ini melepas karbon dioksida atau CO2 dalam proses
konversinya, lebih hebat ketimbang ekstraksi dan proses pengilangan minyak mentah
menjadi bahan bakar. Artinya, walaupun produk bahan bakar yang dihasilkan lebih
"hijau" dan ramah lingkungan--sesuai dengan standar emisi bahan bakar Euro 3--justru
prosesnya lebih "hitam" dan melepas lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer.
Beberapa pihak mencoba memasukkan proses sequestration dalam metode ini, yaitu
sebelum dibuang, CO2 didilusikan dengan nitrogen dan gas lain. Tapi proses ini
menambah biaya produksi.
Indonesia sendiri sudah lama mengenal teknologi memproses bahan bakar cair dari batu
bara. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak 1994 sudah bekerja sama dengan
New Energy and Industrial Technology Development Organization untuk melakukan
penelitian dasar dan penelitian terapan mengenai teknologi tersebut. Keduanya telah
menyiapkan rencana untuk membangun proyek percontohan instalasi komersial
pencairan batu bara di Berau, Kalimantan Timur.
Pemerintah, dalam strategi pengelolaan energi nasional 2005-2025, juga mentargetkan
pembangunan tiga pabrik pencairan batu bara berkapasitas produksi 6.000 ton per hari
untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan BBM. Ketiga pabrik tersebut diharapkan akan
dapat mengurangi 10 persen kebutuhan BBM untuk transportasi. AMAL IHSAN |
FUTURECOAL

Вам также может понравиться