Вы находитесь на странице: 1из 6

Hipersensitifitas TIpe 1: Reaksi Anafilaktik atau Reaksi Alergi

Artikel ini sudah dibaca 90817 kali!


Reaksi hipersensitifitas menurut Robert Coombs dan Philip HH Gell dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

Tipe 1: Reaksi IgE atau reaksi anafilaktik

Tipe 2: Reaksi sitotoksik

Tipe 3: Reaksi kompleks antigen-antibodi

Tipe 4: Reaksi hipersensitifitas tertunda/terlambat atau reaksi selular 1,2


Hipersensitifitas Tipe 1: Reaksi IgE atau Anafilaktik Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul
segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit
setelah terjadi kombinassi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada individu yang
telah tersensitisasi terhadap antigen. 3 Reaksi ini seringkali disebut sebagai alergi dan antigen
yang berperan disebut sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan
respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma dan
dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi.

4,5

Reaksi

ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga, merupakan
kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan kepekaan, bukan
penurunan ketahanan terhadap toksin. Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan
untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap
bermacam alergen yang terhirup atau tertelan. 3Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih
tinggi dan produksi IL-4 yang lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang
kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9,
IL-13 dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA. Hipersensitifitas tipe I
memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang ditandai dengan vasodilatasi,
kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot polos atau sekresi glandular. Perubahan
tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit.
Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat
yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat
bertahan dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil,
basofil, monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan yang seringkali bermanifestasi
sebagai kerusakan epitel mukosa. Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase

sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan
untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan. Fase
aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel
mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan menimbulkan reaksi
alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu
terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel
mast/basofil dengan aktivitas farmakologik. 1. Fase Sensitisasi Hampir 50% populasi
membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan
selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan fase
sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis setelah terpapat alergen dari udara.
Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari
limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki
kadar IL-4 yang senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts). Jika
pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau suntikan
sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi.
IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam
darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE.
Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE
terikat alergen spesifik. 2. Fase Aktivasi Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen
menunjukan derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat
menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang
diujikan. Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan
ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel
basofil juga berperan. Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil
mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen spesifiknya.
Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang
mekanisme bisa berupa:
1.

hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE

2.

hubungan silang dengan antibodi anti IgE

3.

hubungan silang dengan antibodi-antireseptor

Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya.
Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti
kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi
suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang
terinduksi suhu dingin. Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor
diawali dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti
masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi tersebut.
Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP
dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP
menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis. 3. Fase
Efektor Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang
dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang
dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.

Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I 1 Sel mast banyak mengandung mediator primer atau
preformed antara lain histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat

memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan PG. Secara
umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme aksinya adalah sebagai berikut:

Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien C 4 D4 E4,


protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2.

Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PAF

Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor kemotaktik eosinofil dan
netrofil.
a. Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik) Reaksi tipe I dapat mencapai
puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat
metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca ++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam
fase ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakan granulgranul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi.
Peningkatan cAMPakan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu
degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis atau
matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilatoksis, c3a dan c5a.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul.
Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam
jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukan berbagai efek. Manifestasi yang dapat
muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah bintul dan kemerahan kulit di samping
pengaru lain seperti perangsangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan, dapat
terjadi sesak yang disebabkan oleh kontaksi otot-otot polos dan kelenjar saluran pernafasan.
Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada membran
mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal
tersebut karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan
histamin oleh sel mastosit tersebut. Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara
cepat saat mastosit teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id
anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis)
untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan
basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan adalah sel limfosit. Meski dilepaskan secara
cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya akan lebih penting

dalam reaksi tahap lambat. b. Mediator Jenis Kedua Mediator kategori ini terikat erat dengan
proteoglikan yang terlepas apabila ada kenaikan kadar NaCl. Mediator ini mencakup heparin,
kemotripsin, tripsin dan IF-A (inflammatory factor of anaphylaxis). IFA-A memiliki potensi
kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan berperan dalam reaksi tahap lambat.
Pelepasan yang perlahan membuat mediator ini memiliki pengaruh lebih lama di jaringan. Dalam
reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat juga keterlibatan
sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator yang dilepaskan akan berperan
daam vaodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan
eosinofil b. Mediator Jenis Ketiga
Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang bersumber dari
fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat ini menjadi substrat enzim siklooksigenase dan
lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin dan tromboxan yang
menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah.1,2Sedangkan aktivasi
lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leuktrien C,D, dan E seringkali disebut sebagai
SRS-A (slow reactive substance of anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin.
LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan produksi mukus.
Leuktrien B4 mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan eosinofil dan mempercepat
ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut. Di antara sel-sel yang direkrut pada
saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan
kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan
enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic protein yang bersifat toksik
terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga menghasilkan leukotrien C4 dan PAF
yang secara langsung mengaktifkan sel mast untuk melepaskan mediator. Oleh karena itu,
perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon inflamasi tanpa tambahan
eksposure antigen pemicu. 3 Daftar Pustaka1

Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi

Dasar. 9thed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2010.p.383-9 2


Hipersensitivitas. 2nded. Jakarta: Sagung Seto; 2010.p. 31-84. 3

Subowo. Imunologi Klinik:


Kumar, Abbas, Fausto,

Aster. Robbns and Cotran: Disease of The Immune System. 8thed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.4
Molecular

Immunology.

6th

ed.

Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. Cellular and


Philadelphia:

Saunders

Elsevier;

2010.

P.

423-

5. 5

Widowati R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Pengetahuan Dasar Imunologi. 5thed.

Jakarta: Penerbit FKUI;2009. P. 45-6.

Вам также может понравиться