Вы находитесь на странице: 1из 16

JOURNAL READING

ORAL COMPLICATIONS OF HIV DISEASE


Jair C. Leao, Camila M. B. Ribeiro, Alessandra A. T. Carvalho, Cristina Frezzini, Stephen Porter

Sumber: CLINICS 2009

Kelompok 3:
Theodorus Kevin

22010110200153

Anandini Nindya L.U

22010111200028

Fenny Halim

22010111200068

Winda Citra G

22010111200143

Pembimbing: drg. Etis Duhita

BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP
SEMARANG
2011

KOMPLIKASI RONGGA MULUT DARI PENYAKIT HIV


Jair C. Leao, Camila M. B. Ribeiro, Alessandra A. T. Carvalho, Cristina Frezzini, Stephen Porter

Lesi rongga mulut merupakan tanda-tanda awal infeksi HIV yang juga dapat
memprediksi perkembangan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Pemahaman
yang baik mengenai manifestasi rongga mulut pada orang dewasa dan anak-anak penderita
AIDS memiliki implikasi untuk semua pelayanan kesehatan. Pengetahuan mengenai
perubahan-perubahan tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi pasien yang terinfeksi HIV
secara dini. Ulasan ini membahas masalah epidemiologi, aspek-aspek yang relevan dengan
infeksi HIV yang berhubungan dengan masalah di rongga mulut pada orang dewasa dan
anak-anak, serta kecenderungan saat ini dalam terapi antiretroviral (ARV) dan hubungannya
dengan manifestasi orofacial yang terkait AIDS.
EPIDEMIOLOGI DAN KECENDERUNGAN INFEKSI HIV SAAT INI
Infeksi HIV secara signifikan masih menjadi masalah kesehatan. Sejak deskripsi awal
oleh Barre-Sonoussi dan Gallo mengenai Human Immunodeficiency Virus tipe I (HIV-1) pada
tahun 1983 dan Clavel et al. pertama kali menjelaskan HIV-2 pada tahun 1986, kedua virus
tersebut telah diakui selama hampir 20 tahun sebagai penyebab utama dari AIDS.
Pada akhir tahun 2005, diperkirakan terdapat 40,3 juta orang yang terinfeksi HIV di
dunia, sebagian besar dari mereka tinggal di negara berpenghasilan rendah. Namun, pada
tahun 2007, kemajuan metodologi dalam memperkirakan epidemi HIV menyebabkan
semakin luasnya jangkauan data dari berbagai negara, menghasilkan perubahan substansial
untuk perkiraan jumlah orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia, bagaimanapun,
interpretasi kualitatif dari keparahan dan implikasi dari pandemi mengalami sedikit
perubahan.
Jumlah orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia pada tahun 2007 diperkirakan
33,2 juta [30,6-36,1 juta], terdapat penurunan 16% dibandingkan dengan perkiraan yang
dipublikasikan pada tahun 2006 (39,5 juta [34,7-47,1 juta]). Dari jumlah ini, hanya 1,6 juta
orang tinggal di negara berpenghasilan tinggi, sedangkan lebih dari 95% orang yang
terinfeksi HIV tinggal di negara berkembang. Di negara maju, jumlah kasus baru anak yang
terinfeksi HIV telah menurun secara dramatis. Namun, di negara berkembang, diperkirakan
terdapat 3,5 juta anak berusia di bawah 15 tahun yang terinfeksi. Di negara-negara

berkembang pada tahun 2007, diperkirakan 330.000 anak berusia kurang dari 15 tahun
meninggal karena AIDS, dan anak-anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal akibat AIDS
daripada penyebab lain.
Prevalensi dan kejadian HIV/AIDS sangat bervariasi dari tiap benua, negara dan
wilayah. Beberapa negara di sub-Sahara Afrika melaporkan tingkat infeksi 30%, terutama di
daerah perkotaan, namun di negara lain, prevalensi HIV masih tetap rendah. Tingkat
prevalensi nasional yang rendah dapat menyesatkan, di mana epidemi serius yang awalnya
terjadi di lokasi tertentu atau di antara kelompok penduduk tertentu sering tersamarkan dan
mengancam ke populasi yang lebih luas. Infeksi HIV yang menyebabkan AIDS telah menjadi
penyebab utama angka kesakitan dan kematian pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda di
seluruh dunia. AIDS telah menjadi penyebab keenam kematian di Amerika Serikat pada
penduduk usia 15-24 tahun sejak tahun 1991. Dalam beberapa tahun terakhir, angka infeksi
AIDS telah meningkat dengan cepat di antara remaja dan dewasa muda. Setengah dari semua
infeksi HIV baru di Amerika Serikat terjadi pada orang di bawah 25 tahun dan ribuan remaja
terinfeksi HIV baru setiap tahun. Pada tahun 2007 saja, sebanyak 420.000 bayi dan anak-anak
terinfeksi HIV di negara berkembang, lebih dari 1.150 setiap hari. Diperkirakan 330.000 anak
meninggal karena HIV dan AIDS selama tahun 2007, di mana telah tercatat jumlah kematian
lebih dari 4 juta anak sebelumnya.
Seseorang dapat terinfeksi HIV dengan beberapa cara, dan sejumlah rute transmisi di
antaranya telah diketahui secara pasti. Infeksi HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual
tanpa pelindung dengan pasangan yang terinfeksi. Virus HIV dapat ditularkan melalui seks
oral tanpa pelindung, baik dari fellatio dan cunnilingus, meskipun tingkat risiko penularan
penyakit dari mulut ke mulut sulit untuk ditetapkan sebagaimana cara ini sering dilakukan
bersama dengan hubungan seksual insertif. Rute transmisi lainnya antara lain injeksi atau
transfusi darah yang terkontaminasi atau produk darah (infeksi melalui inseminasi buatan,
cangkok kulit, dan transplantasi organ juga memungkinkan), berbagi peralatan injeksi yang
tidak steril yang sebelumnya digunakan oleh orang yang terinfeksi, dan transmisi
fetomaternal (selama kehamilan, saat lahir, dan saat menyusui).
Penularan infeksi HIV pada petugas pelayanan kesehatan atau petugas laboratorium
dapat terjadi, namun cara ini jarang terjadi. Penularan HIV dari pasien yang terinfeksi ke
petugas pelayanan kesehatan telah didokumentasikan setelah kontak parenteral atau membran
mukosa dengan darah. Namun, risiko ini kurang dari 1%, terbatas untuk pajanan dengan
darah, dan dapat lebih diminimalkan melalui ketersediaan terapi ARV yang lebih efektif.
Masih ada sedikit bukti bahwa HIV ditularkan melalui cairan. Namun air liur tampaknya

memainkan peran penting dalam perlindungan individu dari infeksi HIV. Air liur orang yang
tidak terinfeksi HIV mengandung inhibitor endogen non imun terhadap HIV seperti musin,
defensin, thrombospondin, dan berbagai protein saliva, khususnya inhibitor protease leukosit
sekretorik. Ada pula hasil penelitian yang membuktikan bahwa air liur yang hipotonik
memberikan sebuah efek penghambatan yang signifikan pada sel yang berkaitan dengan
replikasi HIV.
Risiko penularan HIV dari pasien ke petugas kesehatan gigi masih sangat rendah atau
sangat kecil. Penularan HIV dari seorang petugas kesehatan gigi yang terinfeksi juga jarang,
meskipun mungkin saja terjadi. Namun demikian, petugas pelayanan kesehatan gigi berisiko
terkena infeksi nosokomial HIV dan virus yang ditularkan lewat darah lainnya (Blood-Borne
Viruses/BBVs) dan tiap individu harus menyadari serta mengikuti pedoman nasional yang
tersedia tentang pajanan okupasional dengan BBVs.
Seperti infeksi virus lainnya, perjalanan infeksi HIV pada individu tergantung pada
faktor host dan virus, namun faktor-faktor predisposisi dalam perkembangan sindrom AIDS
sebagian besar tidak diketahui. Perjalanan klinis AIDS dijelaskan dalam kalimat berikut yang
mengacu pada infeksi HIV dalam ketiadaan terapi antiretroviral yang sangat aktif (Highly
Active Antiretroviral Therapy/HAART). Beberapa faktor, termasuk variabel imunologi dan
virologi, telah dilaporkan dapat memprediksi perkembangan penyakit. Sindrom akut infeksi
primer virus HIV (yang didefinisikan sebagai periode waktu dari infeksi awal HIV hingga
pengembangan

respon antibodi)

menunjukkan

gejala

yang

sering

mirip

dengan

mononukleosis. Gejala ini muncul beberapa hari sampai beberapa minggu setelah terpajan
virus HIV. Namun tanda dan gejala klinis mungkin tidak terjadi pada semua pasien. Setelah
infeksi akut, biasanya terbentuk keseimbangan antara replikasi virus dan respon imun host
sehingga banyak individu yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan manifestasi klinis
infeksi HIV selama bertahun-tahun. Bahkan tanpa adanya ARV, periode laten klinis dapat
berlangsung 8-10 tahun atau lebih. Namun istilah "periode laten" mungkin akan membuat
salah persepsi, mengingat tingginya tingkat pergantian virus dan penghancuran sel T CD4+
tanpa henti yang terjadi tiap harinya. Pada akhir periode laten, sejumlah gejala atau penyakit
mungkin tidak memenuhi definisi AIDS. Gejala ini termasuk rendahnya sistem imun,
dermatologis, hematologi, neurologis, dan orofacial.
Manifestasi pada rongga mulut adalah salah satu indikator paling awal dan paling
penting dari infeksi HIV. Saat ini, terdapat tiga kelompok manifestasi AIDS pada rongga
mulut yang didefinisikan berdasarkan intensitas dan fitur. Kelompok 1 terdiri dari tujuh lesi
kardinal (kandidosis oral, hairy leukoplakia, sarkoma Kaposi, eritema linier gingiva,

necrotizing gingivitis ulseratif, nekrosis periodontitis ulseratif, dan limfoma non-Hodgkin)


yang sangat terkait dengan infeksi HIV. Kelompok kedua meliputi ulkus atipikal, penyakit
kelenjar ludah, infeksi virus seperti sitomegalovirus (CMV), virus herpes simpleks (HSV),
papillomavirus (HPV) dan virus herpes zoster (HZV). Kelompok 3 adalah lesi yang jarang
dibandingkan pada kelompok 1 dan 2, seperti osteomyelitis difus dan karsinoma sel
skuamosa. Adanya lesi rongga mulut dapat berdampak secara signifikan pada kesehatan dan
berhubungan dengan kualitas hidup. Kesehatan mulut sangat terkait dengan kesehatan fisik
dan mental, dan ada peningkatan yang signifikan dalam kebutuhan kesehatan mulut pada
orang dengan infeksi HIV, terutama pada anak-anak, dan pada orang dewasa terutama dalam
kaitannya dengan penyakit periodontal. Dengan demikian, langkah-langkah kesehatan fisik
dan mental pasien HIV harus menggabungkan indikator fungsi oral dan kesejahteraan. Data
yang diperoleh pada Coutler et al. penelitian telah menunjukkan bahwa kenaikan satu titik
dalam kesehatan mulut dikaitkan dengan peningkatan 0,05 (p <0,000) dalam kesehatan
mental dan peningkatan 0,02 dalam kesehatan fisik (p=0,031).
KEMAJUAN DALAM PENGOBATAN PENYAKIT HIV
Pengobatan penyakit HIV telah mengalami kemajuan yang signifikan. Kemajuan ini
memberikan kontribusi terhadap penurunan kematian terkait AIDS sehingga jumlah individu
yang hidup dengan HIV semakin meningkat di seluruh dunia. Pengobatan HIV terutama
diarahkan untuk menghambat replikasi HIV secara spesifik dan pencegahan serta tatalaksana
infeksi oportunistik dan keganasan, sehingga tujuan akhir dari terapi ARV adalah untuk
memperpanjang kehidupan pasien dengan tetap menjaga kualitas hidup baik dalam bidang
kesehatan maupun bidang kehidupan yang lain.
Obat antiretroviral saat ini terdiri dari empat golongan: nukleosida analog reverse
transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside analog reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI), protease inhibitor (PI), dan entry inhibitor. Obat HIV golongan entry inhibitor
memblok virus HIV sehingga tidak dapat masuk ke sel host dan baru tersedia secara klinis
akhir-akhir ini; obat ini menghambat proses perlekatan, co-reseptor, dan penyatuan. Biasanya
obat ini disediakan untuk mengobati pasien dengan infeksi HIV-1 yang memiliki riwayat
terapi sebelumnya.
Terapi kombinasi yang menggunakan tiga jenis obat atau lebih (biasanya dua NRTI dan
PI atau NNRTI) mengurangi jumlah virus HIV dalam darah hingga ambang terbawah untuk
dapat terdeteksi. Terapi kombinasi tersebut, yang sering disebut sebagai terapi antiretroviral

(ART) atau terapi antiretroviral yang sangat aktif (HAART), telah meningkatkan prognosis
bagi orang yang terinfeksi HIV. Namun, seperti hampir semua antimikroba, telah terjadi
resistensi NRTI, NNRTI, dan PI secara in vivo dan transmisi strain HIV yang resisten
terhadap terapi antiretroviral. Selain itu, obat antiretroviral yang bervariasi dapat memperluas
spektrum efek samping di bagian mulut dan wajah, seperti eritema multiforme,
hiperpigmentasi, borok, keilitis, sindrom lipodistrofi, dan sebagainya. Hubungan antara efek
samping tersebut terhadap obat yang digunakan tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1 Efek samping oral dan sistemik dari obat antiretrovirus
Efek samping Oral
Eritema
multiforme

Golongan Obat
NRTIs

Nama Obat
Zidovudine (ZVD)
Abacavir (ABC)
Didanosine (DDI)
Zalcitabine
NNRTIs
Efavirenz
Delaviridine
Nevirapine
Saquinavir
Hiperpigmentasi
NRTIs
Zidovudine (ZVD)
Lipodistrofi
NRTIs
Stavudine
PIs
Saquinavir
Ritonavir
Xerostomia
NRTIs
Lamivudine (3TC)
Didanosine
PIs
Saquinavir
Indinavir
Nelfinavir
Ritonavir
Parotid lipomatosis
PIs
Indinavir
Ritonavir
Saquinavir
Nelfinavir
Amprenavir
Cheilitis
PI
Indinavir
Perioral
PIs
Ritonavir
paresthesia
Amprenavir
Gangguan
PIs
Indinabir
pengecap
Ritonavir
Edema wajah
PIs
Ritonavir
Ulkus
NRTIs
Abacavir
Zalcitabine
Nevirapine
Pembesaran bibir
EIs
Enfuvirtide
NRTI = nucleoside analog reverse transcriptase inhibitors; NNRTI = non-nucleoside analog
reverse transcriptase inhibitors; PIs = protease inhibitors; EI = entry inhibitors

Sindrom lipodistrofi yang terkait HIV dianggap sebagai salah satu efek samping dari
ART yang paling relevan secara klinis. Sindrom ini ditandai dengan hilangnya jaringan lemak
secara menyeluruh. Regio nasolabial dan temporal adalah bagian yang paling sering terlibat,
meskipun lemak orbital juga dapat hilang apabila terjadi kehilangan lemak yang parah.
Hilangnya lemak pada tungkai menyebabkan penonjolan vena subkutan sedangkan hilangnya
lemak pada wajah dan pantat mengakibatkan lekukan dan kerutan pada kulit. ART yang
efektif jarang tersedia untuk orang terinfeksi HIV di negara berkembang, khususnya di

wilayah Afrika. Di beberapa negara yang tidak memiliki terapi HIV secara spesifik,
tatalaksana penyakit HIV terutama diarahkan untuk mencegah infeksi oportunistik, dan
bahkan cara ini sering tidak tersedia. Dengan tidak adanya terapi HIV yang spesifik,
penggunaan sumber pelayanan kesehatan semakin meningkat, tetapi manfaat dari segi
kelangsungan hidup individu masih kecil. Sumber daya yang tersedia untuk mengobati pasien
sangat bervariasi antara negara-negara kaya dan miskin. Sebagai contoh flukonazol baru saja
tersedia secara luas di Afrika Selatan, dan agen antiseptik topikal (contohnya gentian violet
yang digunakan di Uganda untuk mengobati infeksi zoster trigeminal) ketersediaannya masih
terbatas. Ekstrak dari tanaman tradisional yang digunakan sebagai obat di Afrika Timur
(misalnya, Entada abyssinica, Terminalia spinosa, Harrisonia abyssinica, Ximenia caffra,
Azadirachta indica, dan Zahna Africana) memiliki sifat antijamur secara in vitro dan telah
dianjurkan sebagai alternatif terapi sebagai pengganti antijamur yang lebih mahal. Demikian
juga, preparat 0,5% lawsone metil eter yang memiliki aktivitas antijamur secara in vitro
serupa dengan klorheksidin glukonat dan krim clotrimazole 1,0% telah disarankan untuk
pengobatan infeksi kandida di negara berkembang.
ART sangat efektif dalam menekan proses replikasi virus. Namun, peningkatan jumlah
virus yang resisten tetap terjadi, terutama karena ketidakpatuhan penggunaan dan toksisitas
obat. Hal ini terjadi selama periode turunnya HAART ketika jumlah virus HIV mungkin
menjadi tinggi atau meningkat sehingga terjadi penularan HIV yang resisten terhadap
individu yang rentan. Kecenderungan tersebut dalam penggunaan obat antiretroviral
memiliki relevansi dengan praktik gigi umum. Orang dengan infeksi HIV dapat memiliki
keluhan orofacial akibat penggunaan obat antiretroviral. Sebaliknya, orang yang terinfeksi
HIV dan memakai obat antiretroviral cenderung memiliki gambaran orofacial dengan
penyakit HIV yang tidak diobati atau mungkin dapat terjadi manifestasi oral terkait dengan
penggunaan ART.
UPDATE MANIFESTASI AIDS PADA RONGGA MULUT
Sejak HAART ditemukan, penelitian klinis dan epidemiologi telah menunjukkan
penurunan yang cukup besar dalam mortalitas dan morbiditas pasien HIV-positif, yang dapat
dikaitkan dengan penurunan viral load HIV dan pemulihan fungsi kekebalan tubuh. Sampai
batas tertentu, pasien terlindung dari beberapa lesi mulut, yaitu, kandidosis, penyakit kelenjar
ludah, sarkoma, sarkoma Kaposi, dan oral hairy leukoplakia. Prevalensi dari semua lesi
rongga mulut menurun lebih dari 30% sejak ditemukan HAART. Sebagai contoh, dalam studi

yang dilakukan oleh Tukutuku dkk, prevalensi Necrotizing Ulcerative Ginggivitis (NUG)
dan Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP) sebelum digunakan HAART adalah 17%,
dan 16% dari semua lesi termasuk infeksi bakteri, sementara saat ini jumlahnya 10% untuk
NUG dan 5% untuk NUP. Namun, prevalensi dari beberapa lesi rongga mulut tetap
meningkat, seperti penyakit kelenjar ludah HIV, atau tetap sama, seperti kandidosis oral,
ulkus aphtous, dan Sarkoma Kaposi.
Manifestasi oral AIDS pada orang dewasa (Tabel 2) dan anak-anak (Tabel 3) telah
diklasifikasikan oleh EC-Clearinghouse sebelum munculnya ART. Meskipun klasifikasi ECClearinghouse dikembangkan lebih dari satu dekade lalu, haya sedikit infeksi baru yang
ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV yang mungkin mencerminkan ketersediaan
HAART di negara maju.
Frekuensi dan kejadian dari lesi rongga mulut terkait infeksi HIV bervariasi tergantung
letak geografi. Pasien yang tidak menerima ART kemungkinan masih memiliki fitur lisan
umum penyakit HIV: kandidosis (kandidosis akut biasanya pseudomembran), hairy
leukoplakia, sarkoma Kaposi, dan penyakit periodontal. Tuberkulosis lebih mungkin terjadi
pada orang yang tinggal di negara berkembang atau bermigrasi dari negara tersebut,
sementara penyakit periodontal dan lesi rongga mulut lainnya karena penggunaan obat
antiretroviral tampaknya paling sering dilaporkan pada individu-individu di negara maju.
INFEKSI JAMUR
Kandidosis Oral
Candida albicans adalah ragi dominan yang berkolonisasi di rongga mulut baik pada
subyek sehat maupun yang terinfeksi HIV di negara maju dan berkembang. Namun,
kandidosis pseudomembranosa oral merupakan infeksi jamur yang paling sering ditemukan
pada penyakit HIV, infeksi ini dikaitkan dengan progresivitas HIV menjadi AIDS dan juga
digunakan

sebagai

penanda

klinis

untuk

menentukan

beratnya

infeksi

(pseudomembranosa kandidosis biasanya diikuti dengan kandidosis eritematosa).

HIV

Tabel 2 Klasifikasi manifestasi oral pada pasien dewasa dengan HIV


Kelompok 1
Lesi berhubungan kuat dengan infeksi HIV
Candidosis
Erythematous
Pseudomembranous

Kelompok 2
Lesi yang sering dihubungkan dengan infeksi
HIV
Infeksi bakteri
Mycobacterium avium-intracellulare
Mycobacterium tuberculosis

Hairy leukoplakia
Sarkoma Kaposi

Melanotic hyperpigmentation
Necrotizing (ulcerative) stomatitis

Limfona non Hodgkin

Penyakit kelenjar ludah


Mulut kering (menurunnya aliran air liur)
Pembengkakan kelanjar ludah mayor
unilateral/bilateral
Thrombocytopenic purpura

Penyakit periodontal
Linear gingival erythema
Necrotizing gingivitis
Necrotizing periodontitis

Ulceration NOS
Infeksi virus
Herpes simplex
virus
Human
papillomavirus
lesions
Condyloma
acuminatum
Focal epithelial
Hiperplasia
Verruca vulgaris
Varicella zoster
virus
Herpes zoster
Varicella

Kelompok 3
Lesi yang terlihat pada infeksi HIV
Infeksi Bakteri
Actinomyces israelii
Escherichia coli
Klebsiella pneumonia
Cat-scratch disease
Reaksi obat
Ulcerative
erythema multiforme
lichenoid
toxic epidermolysis
Epithelioid (bacillary) angiomatosis

Infeksi jamur selain kandida


Cryptococcus neoformans
Geotrichum candidum
Histoplasma capsulatum
Mucoraceae (mucormycosis, zygomycosis)
Aspergillus flavus
Gangguan neurologis
Facial palsy
Trigeminal neuralgia
Infeksi virus
Cytomegalovirus
Molluscum contagiosum

Tabel 3 Klasifikasi manifestasi oral pada pasien anak dengan HIV


Kelompok 1
Lesi yang sering dihubungkan dengan infeksi
HIV pada anak
Candidosis
Erythematous
Pseudomembranous
Angular cheilitis
Herpes simplex virus infection
Linear gingival erythema
Pembesaran parotis

Ulkus aphtous recurrent


Minor
Major
Herpetiformis

Kelompok 2
Lesi yang kurang sering dihubungkan dengan
infeksi HIV pada anak
Seborrhoeic dermatitis

Kelompok 3
Lesi yang berhubungan kuat dengan infeksi
HIV tapi jarang terjadi pada anak
Neoplasma
Sarkoma Kaposi
Limfoma Non-Hodgkin

Infeksi bakteri pada jaringan rongga mulut


Necrotizing (ulcerative) stomatitis
Penyakit Periodontal
Necrotizing (ulcerative) gingivitis
Necrotizing (ulcerative) periodontitis
Infeksi Viral
Cytomegalovirus
Human papilloma virus
Molluscum contagiosum
Varicellazoster virus
Herpes zoster
Varicella
Xerostomia

Oral hairy leukoplakia


Ulkus terkait tuberkulosis

Infeksi kandida ditemukan pada orang dewasa, dengan prevalensi bervariasi 1,5-56%,
dengan tingkat prevalensi yang lebih tinggi di negara berkembang. Variabilitas yang luas
dalam prevalensi kandidosis oral mungkin disebabkan oleh berbagai faktor termasuk
karakteristik sosio-demografi dan klinis dari kelompok studi serta metode diagnostik yang
digunakan. Kandidosis Pseudomembraneous (PC) adalah presentasi klinis yang paling umum
dari semua infeksi candida (berkisar 55,8-69,7%), diikuti oleh kandidosis eritematosa (EC)
(25,7-50%), keilitis angular (13,7-27,1%), dan kandidosis hiperplastik (0-1,7%).
Antara anak-anak di negara maju dan berkembang, tingkat kandidosis oral bervariasi antara
22,5-83,3%. Infeksi PC tampaknya menjadi bentuk paling umum pada anak-anak diikuti oleh
EC, dan kemudian keilitis angular. Namun, EC kadang-kadang dilaporkan lebih menonjol
daripada PC.
Peningkatan sistem kekebalan tubuh pasien yang menerima HAART mungkin
menjelaskan penurunan prevalensi infeksi oportunistik ini dalam kelompok orang yang
terinfeksi HIV. Frekuensi kandidiosis oral biasanya berkolerasi dengan jatuhnya jumlah
limfosit T CD4+ dan meningkatnya jumlah virus HIV.
Faktor predisposisi lain infeksi kandidosis oral pada pasien HIV yaitu usia dibawah 35
tahun, pemakai narkoba dengan suntikan, merokok lebih dari 20 batang sehari. Sebaliknya,
beberapa penelitian terbaru mengungkapkan tidak adanya fitur spesifik yang dapat
mempengaruhi pasien untuk menderita kandidosis oral.
INFEKSI VIRUS
Oral Hairy Leukoplakia
Oral hairy leukoplakia (OHL) merupakan manifestasi klinis dari infeksi Epstein-Barr
virus (EBV) yang secara eksklusif ditemukan pada hampir semua pasien HIV yang tidak
ditindak lanjuti, biasanya terjadi pada bagian pinggir lidah penderita infeksi HIV dan
kelompok individu penderita immunocompromise. Penelitian terbaru pada infeksi HIV
menyatakan bahwa prevalensi terjadinya OHL pada dewasa bervariasi dari 0,42%-38% pada
negara maju dan negara berkembang. Peningkatan prevalensi OHL mungkin berkaitan
dengan paparan EBV yang tinggi, jumlah CD4+ yang rendah dan jumlah virus HIV yang
tinggi.
Karena OHL asimptomatik dan tidak berpotensi menjadi ganas, maka jarang
dibutuhkan pengobatan. Namun demikian, asiklovir dan valasiklovir akhir-akhir ini
digunakan untuk pengobatan OHL; sayangya resistensi terhadap asiklovir dapat mencegah
resolusi klinis OHL. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, sebagian besar tapi tidak semua,

penelitian yang relevan telah mengamati bahwa frekuensi OHL menurun dengan HAART, hal
ini mendukung pendapat perlunya dilakukan intervensi aktif dalam OHL.
Oral Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi (KS) adalah penyakit ganas, sistemik multifokal yang berasal dari
endotelium vaskular dan memiliki perjalanan klinis yang variabel. Sarkoma Kaposi
disebabkan oleh Human Herpes Virus 8 (HHV-8), yang ditularkan secara seksual atau melalui
darah dan saliva. Tempat predileksinya adalah kulit, selaput lendir, sistem limfatik dan bagian
viscera khususnya paru-paru dan saluran pencernaan. Pada pasien dengan HIV, Sarkoma
Kaposi biasanya muncul ketika jumlah sel T CD4+ kurang dari 200.
Prevalensi Oral Sarkoma Kaposi di rongga mulut bervariasi dari 0%-12% di Afrika
dan 0%-38% di AS dan Eropa. Namun, terdapat perbedaan frekuensi terjadinya oral dan non
oral Sarkoma Kaposi pada penyakit HIV antara negara maju dan negara berkembang. Di
negara maju, insiden terkait HIV-KS mulai menurun dari 25,6 kasus per 1000 orang per tahun
(95% Confidence Interval (CI), 21,8-29,9) pada 1990-an awal menjadi 7,5 kasus per 1000
orang per tahun ( 95% CI, 3,4-16,7) pada tahun 1996 dan 1997 sebelum HAART tersedia;
tren ini menjadi lebih jelas setelahnya. Sebaliknya, prevalensi Sarkoma Kaposi meningkat
drastis selama periode waktu yang sama di Afrika. Sejak munculnya AIDS, Sarkoma Kaposi
menjadi lebih sering terjadi pada pria maupun wanita, dan rasio antara pria dan wanita telah
berubah dari 19:1 menjadi 17:1, khususnya di Afrika Timur. Baru-baru ini, tingginya
prevalensi oral Sarkoma Kaposi ditunjukan oleh penelitian yang menyatakan bahwa 18,6%
kelompok pasien terinfeksi HIV di Zimbabwe dan dari 6 sampai 14% pasien dari kelompok
lain di daerah yang sama menderita Sarkoma Kaposi.
Sarkoma Kaposi bermanifestasi sebagai makula merah keunguan, papula atau nodul
yang dapat menjadi ulkus dan menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Langit-langit rongga
mulut dan ginggiva merupakan tempat yang paling sering terkena. Pada penyakit HIV, rongga
mulut adalah tempat yang paling sering terkena dan merupakan predileksi utama pada 20%
kasus Sarkoma Kaposi, sementara pada 70% pasien dapat melibatkan kulit dan organ dalam.
Saat ini, tidak ada vaksin pencegahan atau antivirus untuk Sarkoma Kaposi terkait
dengan AIDS. Pengobatan diarahkan langsung untuk mengeliminasi atau setidaknya
mengurangi lesi yang secara kosmetik kurang dapat diterima, mengurangi rasa sakit atau
edema atau limfadenopati, dan menghilangkan gejala yang disebabkan oleh organ dalam
yang terkena. Terapi lokal mungkin efektif untuk penyakit yang terbatas pada bagian tertentu,
tetapi terapi sistemik diperlukan untuk Sarkoma Kaposi yang telah menyebar secara
menyeluruh. ART berguna dalam pengelolaan HIV terkait Sarkoma Kaposi karena

mengurangi jumlah virus HIV dan meningkatkan jumlah sel T CD4+, serta secara tidak
langsung memberikan kontribusi pada patogenesis Sarkoma Kaposi. Dahulu digunakan
pendekatan untuk Sarkoma Kaposi oral berupa radiasi lokal, terapi laser, eksisi bedah dan
terapi sitotoksik dengan alkaloid vinca (vinblastine,vincristine dan vinorelbine) dan
bleomycin. Namun hanya lima jenis obat yang disetujui oleh FDA untuk pengobatan Sarkoma
Kaposi: alitretinoin gel untuk terapi topikal dan liposomal daunorubisin dan oloxorubucin,
paclitaxel, dan interferon-alpha untuk terapi sistemik.
Human Papillomavirus (HPV)
Pelaporan peningkatan prevalensi kondiloma oral sejak penggunaan HAART secara
luas menunjukkan bahwa obat atau kombinasi obat yang digunakan untuk pengobatan HIV
dapat menjadi faktor resiko untuk infeksi HPV oral. Infeksi HPV meningkat secara signifikan
dalam beberapa tahun terakhir karena frekuensi infeksi HPV telah meningkat dalam
kelompok penelitian setelah pengenalan HAART dan secara khusus virus ini merupakan
etiologi yang bermakna dalam perkembangan oral skuamus sel karsinoma (OSCC).
Infeksi HIV pada individu lebih cenderung membawa HPV pada mulut dibandingkan
individu yang imunokompeten (25.3 vs 7.6%). Mereka juga lebih mungkin terinfeksi oleh
lebih dari satu genotip HPV (5,8 vs 1,5%) dan membawa genotip yang beresiko tinggi,
seperti HPV-16. Kutil pada rongga mulutjarang terjadi pada individu imunokompeten, tetapi
kelainan mukosa rongga mulut seperti papiloma lebih mungkin timbul pada mereka yang
terinfeksi HPV yang disertai penyakit HIV. Infeksi HPV oral tampaknya berhubungan dengan
jenis kelamin laki-laki, seropositif HSV-2 dan usia tua pada individu HIV-seronegatif. Dalam
populasi yang terinfeksi HIV, faktor resiko untuk HPV oral termasuk jenis kelamin pria dan
HSV-2 serostatus, namun yang paling berpengaruh adalah kontak oral-genital.
Etiologi dari tingginya prevalensi infeksi HPV oral pada individu yang terinfeksi HIV
masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa individu yang terinfeksi HIV melakukan praktek
seksual yang berisiko tinggi untuk memperoleh paparan infeksi HPV oral. Sebagai alternatif,
tingginya tingkat deteksi HPV dapat disebabkan oleh meningkatnya replikasi HPV dan/atau
meningkatnya persistensi HPV (dibandingkan dengan penambahan HPV). Jika persistensi
HPV oral menyebabkan penyakit HPV, seperti halnya pada saluran genitalia, peningkatan
persistensi HPV juga dapat menjelaskan peningkatan prevalensi kutil oral pada individu
penderita HIV positif yang diobati dengan HAART. Hal ini juga memungkinkan bahwa
individu yang menggunakan HAART telah mengalami imunosupresi cukup lama untuk
melampaui beberapa ambang batas kritis untuk mengembangkan penyakit terkait HPV yang
tidak dapat diterapi.

PENYAKIT GINGIVAL DAN PERIODONTAL


Gingivitis dan Periodontitis
Penyakit gingival dan periodontal sering dijumpai pada infeksi HIV, terutama pada
individu yang tinggal atau yang bermigrasi dari negara berkembang. Penyakit gingival dan
periodontal yang dikaitkan dengan HIV yaitu linier gingiva eritema, NUG, NUP, dan
stomatitis nekrotik.
Namun, penyakit periodontal dan gingival yang paling umum pada orang yang
terinfeksi HIV adalah plaq yang berhubungan dengan gingivitis dan periodontitis kronik,
seperti pada orang yang tidak terinfeksi HIV. Penyakit periodontal kronik lebih umum dan
lebih agresif pada pasien HIV.
Kemungkinan kejadian penyakit periodontal pada HIV spesifik telah diamati pada
beberapa kelompok pasien HIV, dan didapatkan bahwa infeksi HIV saja tidak menjadi faktor
predisposisi gigi pasien terbentuk pocket, kehilangan perekatan, atau perdarahan. Prevalensi
dari infeksi HIV yang berhubungan dengan penyakit gingival dan periodontal (tidak termasuk
infeksi oportunistik dan keganasan) bervariasi dari 0 sampai 47% pada dewasa dan dari 0
sampai 20% pada anak-anak, NUG dan NUP lebih sedikit dilaporkan, dari 2,2 sampai 5%.
Meskipun imunosupresi yang diinduksi oleh HIV telah dilaporkan sebagai penyebab yang
paling mungkin dari penyakit gingival dan periodontal, pasien HIV sering mempunyai faktorfaktor risiko lain, seperti merokok,dan oral hygiene yang jelek, dan factor-faktor ini sendiri
dapat menjelaskan peningkatan kejadian dari penyakit.
PENYAKIT KELENJAR LUDAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIV
Pembesaran Kelenjar Ludah
Penyakit kelenjar ludah yang berhubungan dengan HIV bercirikan pembengkakan
kelenjar ludah pada satu atau kedua kelenjar parotis dengan atau tanpa xerostomia. Pada
beberapa pasien, pembesaran kelenjar ludah mungkin menjadi manifestasi klinis pertama dari
infeksi HIV. Kondisi inflamasi atau infeksi adalah hal kedua paling umum dari kelainan
kelenjar ludah dari penyakit HIV, diikuti dengan lesi neoplastik.
Pembesaran kelenjar ludah muncul pada sekitar 3 hingga 10% pasien dewasa yang
terinfeksi HIV, dengan frekuensi yang lebih tinggi pada anak-anak, dan itu mungkin menjadi
manifestasi klinis pertama dari HIV. Pembengkakan yang muncul sebagai konsekuensi dari
berbagai etiologi, termasuk reaktivasi atau kondisi inflamasi, infeksi, dan keganasan.

Biasanya, kelenjar parotis ikut terkena, dan pembengkakan terjadi bilateral, kadangkadang kistik, dan berhubungan dengan limfadenopati umum, limfositosis CD8+ yang
menetap dan infiltrasi limfositik dari penyebaran visceral CD8+. Gejala yang kompleks ini
disebut diffuse infiltrative (CD8) lymphocytosis syndrome (DILS).
Pada kasus lain, pembengkakan dapat disebabkan karena hipertrofi parotis benigna
atau lesi limfoepitelial kistik jinak. Kista ini mungkin berasal dari HIV yang berhubungan
dengan limfoproliferasi reaktif dari epitel kelenjar yang terperangkap di kelenjar getah bening
intraparotis normal yang tersisa dari perkembangan embriologis atau dari obstruksi duktus
akibat proliferasi kelenjar limfe yang mengarah ke dilatasi duktus.
Kondisi infeksi atau inflamasi adalah hal yang paling umum kedua dari kelainan
kelenjar ludah pada penyakit HIV, diikuti dengan lesi neoplastik. Memang, pasien HIV punya
insidensi yang tinggi untuk terkena NHL salivary dan neoplasma ganas sekunder (contoh
sarcoma Kaposi) terhitung 10% dari neoplasma ganas kelenjar ludah di penyakit HIV.
Xerostomia adalah gejala umum pada pasien HIV, dan punya banyak penyebab
potensial. Contohnya, xerostomia bisa menyertai pembesaran kelenjar ludah di DILS, dan
juga dilaporkan muncul dengan HAART khususnya beberapa NRTIs dan PIs. Agent
antiretroviral seperti lamivudine, didanosine dan protease inhibitor dapat menyebabkan
penurunan keluaran air liur. Selain itu, penggunaan jangka panjang dari obat non HIV,
seperti obat-obatan antidepresan, dapat menyebabkan mulut kering.
Terapi dari pembesaran kelenjar ludah pada penyakit HIV tetap non spesifik.
Sementara frekuensi dari penyakit kelenjar ludah yang berkaitan dengan HIV dapat
meningkat dengan HAART, kadang-kadang hal tersebut dapat terselesaikan dengan HAART.
Parotidektomi superficial dianjurkan untuk mengurangi pembengkakan parotis yang
berhubungan dengan HIV, tapi penerapannya terbatas karena morbiditasnya. Aspirasi dari lesi
kistik dapat menjadi keuntungan sementara, dan injeksi tetrasiklin dan doksisiklin punya
keberhasilan minimal karena keberadaan kista multipel. Pembesaran parotis jinak pada HIV
dapat diterapi dengan radiasi eksternal (24 Gy dalam 1,5 Gy fraksi harian), dengan perbaikan
signifikan di bidang kosmetik dan hasil jangka panjang.
Xerostomia
Dalam praktek gigi umum, banyak pasien mengeluhkan xerostomia, kebanyakan
sekunder karena terapi obat (umumnya antidepresan dan ansiolitik) tapi terkadang merupakan
tanda dari Sindrom Sjogren. Namun, jika pasien diketahui terkena HIV, xerostomia sering
dihubungkan dengan penyakit kelenjar ludah atau sebagai efek samping dari ART. Semua
pasien dengan xerostomia tanpa memperhatikan serostatus HIV nya harus diberi nasehat

berkaitan dengan peningkatan risiko karies (umumnya karies akar dan servikal) dan inflamasi
gingiva.
TUMOR NEOPLASTIK
Limfoma Non Hodgkin
LNH adalah tumor kedua yang paling umum berkaitan dengan HIV. Sementara
dengan Sarkoma Kaposi, frekuensi dari tumor ini menurun setelah diperkenalkannya ART;
namun demikian, tumor ini masih sangat umum pada pasien HIV di negara berkembang.
Variasi LNH dapat muncul di mulut pasien HIV, faktanya, tipe jarang yang disebut
limfoma plasmablastik hampir selalu muncul di dalam mulut. Manifestasi oral dari LNH,
termasuk massa jaringan lunak dengan atau tanpa ulserasi dan nekrosis jaringan, biasanya
melibatkan mukosa gingival, palatal, dan alveolar. Terapi optimal untuk LNH terkait HIV
tetap tidak jelas. Namun demikian, manajemen primernya memerlukan terapi sistemik
dengan kemoterapi dosis tinggi intensif dan transplantasi stem sel autolog; terapi lanjut ini
menghasilkan remisi komplet pada pasien terpilih dengan penyakit kemosensitif rekuren.
PERTIMBANGAN PERAWATAN GIGI UNTUK PASIEN ANAK DENGAN HIV
Manifestasi oral infeksi HIV pada anak-anak secara umum mirip pada orang dewasa,
tapi ada beberapa perbedaan berkaitan dengan karies dan mungkin waktu erupsi gigi. Infeksi
HIV pada anak-anak mungkin lebih rentan untuk terjadinya karies gigi, mempengaruhi baik
gigi sulung maupun gigi permanen, daripada orang yang sehat. Namun demikian, karies pada
anak terinfeksi HIV sangat mirip dengan anak yang sakit kronis lain pada rentang usia yang
sama.
Anak dengan infeksi HIV dapat menunjukkan pola kerusakan yang berbeda daripada
anak yang sehat, kemungkinan berhubungan dengan xerostomia akibat HIV. Bagian yang
mengalami peningkatan kejadian karies pada anak HIV dapat disebabkan karena karbohidrat
yang tinggi dan asupan gula yang diperlukan untuk mencegah atau mengobati kegagalan
tumbuh dan menelan dari obat berbasis sukrosa (umumnya antiobiotik dan antifungal, tapi
dapat juga antiretroviral seperti zidovudine).
Di negara berkembang, kemiskinan dan kurangnya suplementasi fluor dapat juga
berkontribusi terhadap peningkatan resiko dari karies gigi pada anak terinfeksi HIV. Baik
erupsi yang tertunda maupun lebih cepat pada gigi permanen telah diamati pada beberapa
anak terinfeksi HIV. Erupsi yang lebih cepat dapat dihubungkan dengan penyakit dental dan
periodontal sebelumnya atau yang terjadi bersama-sama, tapi penyebab pasti dari erupsi yang

tertunda dari gigi tidak diketahui; keadaan gizi umum yang jelek pada beberapa anak-anak,
terutama jika ada malnutrisi, dapat menjadi kofaktor yang penting.
KESIMPULAN
Pemahaman tentang imunopatogenesis dari infeksi HIV menjadi prasyarat utama
untuk peningkatan secara rasional dari strategi terapi serta pengembangan imunoterapi dan
vaksin profilaksis. Pemahaman yang lebih baik dari manifestasi oral dari HIV/AIDS pada
dewasa maupun anak-anak mempunyai implikasi untuk seluruh pekerja perawatan kesehatan
gigi di dunia. Kita harus menganggap bahwa hampir tidak mungkin untuk mengenali jika
pasien memiliki, atau cenderung memiliki, infeksi HIV, dan pengetahuan ini harus tercermin
dari pemeliharaan dan pembaharuan berkelanjutan dari kebijakan kontrol infeksi di praktek
klinis. Untuk alasan itu, sangat penting menggabungkan perawatan kesehatan oral yang hatihati dan berkelanjutan sebagai bagian dari terapi orang-orang dengan HIV/AIDS.
Pencegahan, diagnosis, terapi, dan kontrol dari manifestasi oral ini harus menjadi bagian dari
tujuan setiap pakar kesehatan gigi; pakar-pakar ini selanjutnya juga harus diberitahu tentang
hubungan antara penanda imunologis dan penampakan dari lesi oral. Faktor kunci dari respon
epidemik HIV/AIDS mencakup dukungan dari World Universal Public Health System,
ketentuan dari akses universal HAART, dan pengadaan proyek pengurangan kejahatan yang
secara politik dan finansial perlu dukungan dari pemerintah federal.

Вам также может понравиться