Вы находитесь на странице: 1из 13

Difteri Pada Anak

Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana

Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui pada anak, sistem imun yang terbentuk belum sempurna maka
dari itu setiap anak diwajibkan imunisasi agar tidak rentan terhadap penyakit. Salah satu
penyakit yang harus dicegah yaitu adalah difteri karena sangat berbahaya dan dapat
menangancam jiwa. Anak dengan riwayat imunisasi tidak lengkap sangat rentan terhadap
penyakit tersebut, karena itu agar penyakit difteri tidak menjadi lebih berat harus di diagnosis
sedini mungkin dan diberikan terapi yang cepat dan tepat.
Pembahasan
1. Anamnesis
Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pasien akan lebih baik melakukan anamnesis
terlebih dahulu. Seperti kasus pada umumnya begitu pula difteri yaitu pada kasus difteri yang
perlu ditanyakan adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, lingkungan sosial dan berikut pertanyaan yang
dapat diajukan untuk dapat mengetahui diagnosis.
Agar mendapatkan informasi yang jelas maka kita harus bertanya sesuai keluhan utama
dan keluhan penyerta lain agar mendapatkan informasi yang lebih akurat untuk menegakan
diagnosis. Pada kasus didapatkan keluhan utama berupa seorang anak laki-laki berusia 3
tahun dibawa ibunya ke IGD dengan keluhan utama berupa sesak napas. Dispnea atau rasa
sesak (breathlessness) adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi
intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman didada yang dapat membaik
sendiri atau bahkan dapat berlanjut dimana pasien membutuhkan napas yang serius. 1
Pertanyaan yang diberikan berkenaan dengan sesak nafas, seperti sejak kapan, apakah ada
nyeri dada dan sebagainya.
Keluhan penyerta atau sebelum mengalami sesak napas yaitu batuk-pilek sejak 1 minggu
yang lalu, selain itu dua hari lalu anak mengalami demam disertai nyeri pada menelan, pasien
juga diketahui tidak mau makan.

Batuk adalah refleks napas yang terjadi karena adanya rangsangan reseptor iritan yang
terdapat di seluruh saluran napas.1 Pada anamnesis ditanyakan permulaan, lama batuk
bagaimana, apakah ada dahak atau tidak, apakah karena paparan lingkungan, adakah alergi
adakah disertai pilek. Batuk yang berdahak biasanya menunjukan bahwa ada kelainan di
saluran napas bagian bawah.
Selain batuk, anak tersebut diketahui mengalami demam. Demam merupakan suatu gejala
dimana terjadi keabnormalan pada suhu tubuh yaitu meningkatnya suhu tubuh yang dapat
disebabkan berbagai macam gangguan seperti infeksi, reaksi vaksinasi, dan umumnya terjadi
akibat gangguan pada hipotalamus.2 Pada pasien dapat ditanyakan sejak kapan, bersamaan
atau terjadi setelah batuk, onsetnya kapan saja, apakah berkurang pada keadaan tertentu dan
sebagainya. Nyeri menelan dapat disebabkan karena adanya infeksi sehingga terjadi
peradangan pada saluran tenggorokan sehingga anak merasakan tidak nyaman saat menelan
dan anak menjadi malas makan dikarenakan sakit bila menelan makanan.
Setelah keluhan yang menyertai riwayat penyakit, pada anak-anak penting untuk
ditanyakan bagaimana riwayat imunisasinya apakah sudah lengkap atau belum agar
mempermudah menegakan diagnosis. Pada kasus pasien dinyatakan oleh ibunya bahwa
riwayat imunisasi tidak lengkap. Selain menanyakan riwayat imunisasi, tanyakan juga
riwayat pemakaian obat, riwayat penyakit keluarga, bagaimana lingkungan sosial, dan
sebagainya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien difteri adalah pemeriksaan tanda-tanda
vital yang meliputi tekanan darah, frekuensi napas, suhu, dan nadi serta mengamati keadaan
umum juga melakukan pemeriksaan faring dan rongga mulut, serta toraks paru berupa
inspeksi, palpasi, dan auskultasi.3,4
Pemeriksaan Faring dan Rongga Mulut
Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut dilakukan inspeksi pada bagian
luar bibir dengan memperhatikan warna, kelembapan dan apakah ada kelainan seperti
benjolan, ulkus, fissura dan sebagainya. Setelah itu, dilihat ke dalam rongga mulut dengan
menekan bagian tengah lidah dengan memakai spatula lidah supaya rongga mulut jelas
terlihat. Dilihat pada mukosa oral seperti warna, ulkus, bercak-bercak putih dan juga nodul.
2

Warna palatum durum juga diobservasi. Pemeriksaan diteruskan dengan melihat keadaan
dinding belakang faring serta kelenjar limfe, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, gusi
dan gigi geligi pasien.3
Untuk melihat keadaan faring dengan lebih jelas, pasien diminta mengucapkan huruf A.
Keadaan faring dinilai dengan warna; apakah dinding faring hiperemis, apakah simetris,
apakah terdapat luka, eksudat, pembengkakan, ulserasi atau oedema tonsil. Palpasi rongga
mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.3
Gambar 1

(sumber: http://www.klinikmedis.info/2016/05/waspadai-difteri-bakteri.html)
Pemeriksaan Toraks Paru
Inspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian tubuh yang
diperiksa melalui pengamatan. Lihat pada kulit toraks apakah terdapat benjolan, pelebaran
kapiler (spider nevi), perubahan warna kulit dan sebagainya. Selain itu lihat bentuk toraks
bentuk simetris atau asimetris, perhatikan deformitas yang tampak apabila terlihat adanya
deformitas, seperti pectus excavatum (Funnel chest), pectus carinatum (pigeon chest), barrel
chest, kyphoscoliosis, dan sebagainya. Amati dinding toraks pada saat pasien melakukan
inspirasi serta ekspirasi apakah toraks simetris atau asimetris antara kanan dan kiri.4
Palpasi adalah suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Perabaan dilakukan pada
permukaan toraks, dan sela iga pasien diminta untuk melaporkan apakah pada perabaan
terasa nyeri atau tidak.4
Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu
untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri kanan) dengan tujuan menghasilkan

suara. Perkusi normal pada paru akan terdengar suara sonor pada kedua lapangan paru,
kecuali daerah jantung. Bila pada perkusi terdengar pekak (dullness) pada salah satu bagian
paru, maka hal ini dapat disebabkan adanya cairan atau jaringan solid yang mengganti
jaringan paru, misalnya pada pneumonia lobaris dimana alveoli penuh dengan cairan dan sel
darah, dapat pula efusi pleura hemotoraks dan lain-lain. Bila suara perkusi terdengar
hipersonor, dapat trsengar pada keadaan dimana paru-paru dipenuhi lebih banyak udara,
seperti pada asma.4
Auskultasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara
yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop
bertujuan untuk mendengarkan adanya bising abnormal pada paru seperti wheezing, ronchi,
crackles, stridor, friction rub, dan lain-lain.4
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil yaitu keadaan utama sakit berat, compos mentis,
agitasi. Pada auskultasi dinyatakan stridor positif. Pemeriksaan faring dan rongga mulut
ditemukan adanya selaput dikedua tonsil dan apabila selaput diangkat tonsil berdarah.
3. Diagnosis
Seperti yang telah kita ketahui diagnosis terbagi menjadi diagnosis kerja (working
diagnosis) dan diangnosis banding (differential diagnosis). Diagnosis kerja pada kasus ini
yaitu difteri. Sedangkan diagnosis bandingnya berupa abses peritonsil, abses retrofaringeal.
Diagnosis Kerja
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae.5,6,7 Penyakit tersebut mudah menular dan terutama sering
menyerang traktus respiratorius bagian atas dengan terbentuknya tanda khas yaitu
terbentuknya eksudat yang membentuk membrane pada jaringan yang terinfeksi

atau

pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbullkan gejala umum dan
lokal. Infeksi ini biasanya disebarkan melalui percikan ludah dari orang-orang yang terinfeksi
atau karier-karier yang sehat. Diagnosis dapat ditegakan dengan ditemukannnya
Corynebacterium diphtheria pada preparat atau biakan langsung.

Klasifikasi

Penyakit difteri terbagi menurut tempat jaringan yang terkena infeksi. Pembagian
berdasarkan berat ringannya penyakit menurut Beach dkk. (1950) yaitu berupa infeksi ringan,
infeksi sedang, dan infeksi berat.5
Pada infeksi ringan pseudomembran yang terbentuk sebatas pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan. Pada infeksi sedang pseudomembran meluas sampai ke dinding
posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan
konservatif. Sedangkan pada infeksi berat akan disertai dengan tersumbatnya jalan napas
yang berat, dan hanya bisa diatasi dengan trakestomi. Dapat juga terjadi gejala komplikasi
miokarditis, paralisis, atau pun nefritis dapat menyertainya.
Gejala Klinis
Masa inkubasi pada difteri yaitu 2 sampai 7 hari. Kemudian timbulah gejala berupa gejala
klinis maupun lokal serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. 5 Gejala umum
berupa demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala, anoreksia sehingga anak
akan terlihat sangat lemah. Gejala seperti ini biasanya disertai gejala khas untuk setiap bagian
yang terkena seperti pilek, nyeri menelan, sesak nafas dengan serak dan stridor.
Sedangkan gejala akibat sitotoksin bergantung pada jaringan yang terkena seperti
miokarditis, paralisis jaringan saraf yaitu terjadi kerusakan myelin dan edema pada akson,
serta nefritis pada ginjal. Beratnya penyakit tergantung pada imunitas pasien terhadap toksin
difteri, virulensi dan toksigenitas bakteri, lokasi penyakit, usia karena semakin muda usia
anak maka akan semakin berat gejala yang dapat timbul, serta ada atau tidaknya penyakit lain
yang menyertai.5
Difteri hidung mempunyai gejala yang paling ringan serta jarang. Mula-mula hanya
tampak pilek, tetapi kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari
pseudomembran. Penyebaran dapat pula mencapai faring dan laring. Pengobatan yang
diberikan sama seperti difteri pada umumnya.5
Difteri faring dan tonsil (difteri fausial) adalah difteri yang paling sering dijumpai. Gejala
termasuk ringan yaitu berupa radang pada selaput ledir dan tidak membentuk
pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif.
Apabila sistem imun pasien baik maka dapat sembuh sendiri. Pada gejala yang lebih berat
dengan demam yang tidak terlalu tinggi dapat ditemukan pseudomembran yang berawal dari
bercak putih kemudian meluas hingga nasofaring ataupun laring. Ditemukan nafas berbau
5

dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull
neck).5
Difteri laring dan trakea merupakan kasus tersering sebagai penjalaran dari difteri faring
dan tonsil daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan
stridor inspirasi jelas bila berat dapat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi
suprasternal serta epigastrium. Terdapat pembesaran kelenjar regional (bull neck). Pada
pemeriksaan, laring akan tampak kemerahan, sembab, secret dan permukaan akan banyak
diselubungi oleh pseudomembran. Apabila anak dengan sesak nafas hebat dan payah
bernapas maka segera lakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.5
Difteri kutaneus merupakan keadaan yang lebih jarang sekali didapat. Tan Eng Tie
(1965) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteri. Dapat
timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilicus.5

Diagnosis Banding
Abses Peritonsil
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya
sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak
yang lebih tua dan dewasa muda.5
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat
anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus

influenzae.

Sedangkan

organisme

anaerob

yang

berperan

adalah

Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.


Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme
aerobik dan anaerobik.8

Abses Retrofaringeal

Abses retrofaring yang paling sering terjadi pada anak-anak yang berusia lebih muda,
seringkali merupakan sekuel infeksi saluran pernapasan atas dengan supurasi kelenjar getah
bening retrofaring yang membentuk abses. Penyakit ini dapa pula disebabkan oleh trauma
tembus. Abses ini bermanifestasi sebagai nyeri tenggorokan akut disertai demam tinggi, kaku
leher, dan kadang kadang gangguan pernapasan.9
Pembengkakan lebih nyata pada satu sisi, menimbulkan pembengkakan leher ipsilateral
yang nyeri tekan disertai limfadenitis servikal yang nyeri tekan. Pada pemeriksaan, sering
ditemui dinding faring membengkak dan eritematosa. Pencitraan diagnostik dapat berupa
rontgen jaringan lunak leher lateral atau CT scan leher yang dapat membedakan selulitis
dengan abses. Organisme piogenik sering kali menjadi penyebab dan pengobatannya adalah
insisi bedah intraoral atau ekstraoral serta drainase dengan proteksi jalan napas untuk
mencegah aspirasi bahan purulen. Terapi antibiotik intravena harus diberikan setelah drainase
bedah.9

4. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis yang telah ditegakan dapat dipastikan dengan pemeriksaan penunjang. Pada
difteri sebaikanya ditegakan sedini mungkin berdasarkan manifestasi klinis yang khas karena
apabila terlambat dapat mengakibatkan penyakit berlanjut, berat dan fatal. 7 Pemeriksaan yang
dilakukan dapat berupa pemeriksaan darah, pemeriksaan laboratorium kemudian melakukan
Schick test.
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin, kadar leukosit dapat
meningkat atau norma, kadang terjadi anemia karena hemolisis sel darah merah. Penurunan
jumlah eritrosit, dan kadar alumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan.
Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan langsung spesimen denngan menggunakan
pewarnaan methylene blue, pewarnaan gram, dan imunoflouresens. Tetapi pemeriksaan
tersebut tidak memberikan hasil yang pasti, karena apabila ditemukan hasil negatif diagnosis
tidak dapat disingkirkan. Sehingga pemeriksaan laboratrium akan dilanjutkan dengan
pemeriksaan kultur agar dapat memastikan diagnosis.7
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu dan media yang selektif, yaitu media selektif
Loeffler, media Tellurite, dan agar tindale maka akan tumbuh koloni Corynebacterium
diphtheriae yag berwarna hitam yang dikelilingi oleh warna abu-abu kecokelatan. Kultur ini
dapat membedakan 3 tipe koloni yang menunjukan isolasi dari tiap tipe toksigenik.
Pemeriksaan kultur dan sensitifitas dilakukan pada saat sebelum dan sesudah pengobatan
untuk meyainkan tidak terjadinya resistensi antibiotik.7
7

Schick test dilakukan untuk menentukan ada atau tidak adanya antibodi terhadap toksin
difteri (antitoksin). Uji ini berguna untuk kasus difteri ringan dan kasus yang mengalami
kontak dengan difteri sehingga dapat diobati secara sempurna. Tetapi uji ini tidak dianjurka
untuk mediagnosa difteri secara dini, karena membutuhkan waktu untuk membaca hasilnya.7
Pada Pemeriksaan penunjang usap tenggorok ditemukan bakteri batang gram positif.
5. Etiologi
Difteri disebabkan Corynebacterium diphtheriae yang mempunyai diameter sebesar 0,5-1
m dan pajang beberapa micrometer. Bakteri ini mempunyai gambaran seperti gada pada satu
ujungnya, didalam batangnya tersebar granula tidak teratur dan memberikan gambaran
manik-manik.10

Gambar 2. Corynebacterium diphtheriae10


Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri gram positif yang bersifat polimorf,
aerob, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta merupakan anggota flora normal kulit
dan membrane mukosa manusia tetapi juga suatu organisme yang menghasilkan eksotoksin
kuat yang dapat menginfeksi manusia.10 Bakteri tersebut dapat mati dala pemanasan 600C
selama 10 menit, tahan bertahan beberapa minggi dalam es, air, susu yang mongering.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu seperti medium Loeffler, medium tellurite,
medium fermen glukosa, dan tindale agar. Pada medium Loeffler basail akan tumbuh dengan
cepat membentuk koloni-koloni kecil, granular dan berwarna hitam dan dikelilingi warna
abu-abu cokelat. Ada tiga biotipe Corynebacterium diphtheria yaitu gravis, mitis, dan
intermediate.7,10
Gravis mempunyai koloni besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisis eritrosit. Mitis mempunyai koloni kecil, halus, berwarna hitam,
konveks dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit. Kemudian intermediate mempunya
kolini kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit. Ketiganya akan membentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung
tellurite.7

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa basil dapat membentuk pseudomembran
dan eksotoksin. Pseudomemberan yang dibentuk oleh bakteri ini sulit diangkat, mudah
berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena. Terdiri dari
fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan basil. Sedangkan eksotoksin yang dihasilkan sangat
ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan
gambaran perubahan yang khas pada otot jatung, ginjal, dan jaringan saraf.5
6. Patogenesis
Organisme ini ditularkan melalui droplet atau kontak dengan manusia yang rentan,
bakteri kemudian tumbuh pada membran mukosa atau pada kulit yang mengalami abrasi, dan
jenis toksigent mulai memproduksi toksin.7
Toksin difteri diarbsorbsi ke dalam membrane mukosa dan menyebakan destruksi epitel
dan respon inflamasi superficial. Epitel yang mengalami nekrotik mendjadi terbenam didalam
firbrin dan sel darah merah dan putih yang bereduksi sehingga terbentuk pseudomembran
keabu-abuan biasanya menutupi tonsil, faring ataupun laring. Setiap usaha untuk mengangkat
pseudomembran, menyingkap dan merobek kapiler sehingga akan terjadi pendarahan.
Kelenjar regional di leher membesar dan mungkin terdapat edema nyata diseluruh leher.
Bakteri terus memproduksi toksin secara aktif di dalam membrane. Hingga toksin diserap dan
menghasilkan kerusakan toksik, terutama degenerasi parenkimatosa, infiltrasi lemak, dan
nekrosis pada otot jantung, hati, ginjal dan adrenal, kadang-kadang dsertai pendarahan nyata.
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf sehingga efek yang ditimbulkan berupa
paralisis palatum mole, otot-otot mata, atau ekstremitas.7,10
7. Epidemiologi
Penyakit difteri tersebar diseluruh dunia terutama pada negara berkembang dimana masih
banyak terdapat tempat-tempat pemukiman dengan hygiene dan sanitasi yang buruk serta
kurangnya fasilitas kesehatan.5,7
Faktor resiko tinggi yang dapat terinfeksi difteri adalah tidak mendapat imunisasi atau
riwayat imunisasi tidak lengkap, orang dengan immunocompromised seperti sosial ekonomi
yang rendah pada populasi anak jalanan, pemakaian obat imunosupresif, penderita HIV,
diabetes mellitus, pecandu alcohol dan narkotika. Orang yang tinggal di tempat-tempat padat
penduduk, serta tempat penampungan, serta melakukan perjalan ke tempat dimana
sebelumnya merupakan daerah endemic difteri.7
Sebelum program imunisasi berkembang, difteri merupakan penyakit pada masa anakanak. Golongan umur yang sering terkena yaitu antara 2 sampai 10 tahun, sedangkan pada
bayi diawah 6 bulan jarang ditemukan karena bayi masih mendapat imunisasi pasif dari

ibunya dan pada dewasa yang berumur diatas 15 tahun karena sudah mendapatkan imunisasi
pada masa kecilnya.7
Setelah diadakannya program imunisasi angka penyakit difteri menurun, tetapi meningkat
pada dewasa dikarenakan adanya infeksi sekunder yang disebabkan tidak lengkapnya
imunisasi yang dilakukan serta mningkat pula pada keadaan immunocompromised pada
pecandu alcohol dan narkoba. Penyakit difteri juga lebih sering terkena pada wanita
dibandingkan dengan laki-kali karena sistem imun yang lebih rendah.7
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atau terapi yang dilakukan dapat berupa terapi farmakologi terbagi
menjadi dua yaitu terapi umum dan terapi spesifik.
Terapi Umum
Terapi umum yang dilakukan terdiri dari perawatan yang baik, tirah baring, isolasi
penderita dan pengawasan seketat mungkin agar tidak terjadi komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan EKG setiap minggu.5
Terapi Spesifik
Terapi spesifik bertujuan untuk membunuh bakteri penyebab, serta menetralisasi toksin
yang dihasilkan dari bakteri. Terapi spesifik terdiri dari Anti Difteri Serum (ADS),
antibiotika, kortikosteroid.5,7
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut
dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata Bila ternyata pasien peka terhadap serum
tersebut harus dilakukan desentisisasi (besredka), dengan cara :

0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara SC

0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara SC

0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi secara SC

0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara SC


10

0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara IM

0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara IM

0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara IV

Antibiotic. Diberikan penisilin prokain 50.000 U/kg bb/ hari sampai 3 hari bebas demam.
Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kg bb/hari dibagi 4
dosis.
Kortikosteroid dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2 mg/kgbb/hati selama 3 minggu yang kemudian
dihentikan secara bertahap.
Pada penderita difteri harus dirawat 3 sampai 4 minggu. Apabila terdapat sumbatan jalan
napas maka dipertimbangkan tindakan trakeostomi agar dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Perawatan pasca-trakeostomi penting seperti melakukan penghisapan lendir secara teliti dan
hati-hati, sebab dilakukan secara tidak teliti dan hati-hati dapat menybabkan kematian. Intubasi
juga dapat dilakukan apabila mengalami sumbatan napas. Apabila trjadi komplikasi paralisis
atau paresis otot, dapat diberikan sriknin mg da vitamin B1 100 mg selama 10 hari berturutturut.
9. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan berupa isolasi penderita, serta pencarian dan
pengobatan pada carier difteria, dan imunisasi.5 Pederita difteria harus diisolasi dan baru
dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukan tidak terdapat lagi
Corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut. Pencarian dan pengobatan pada carier
difteria dialkukan dengan Schick test yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita carrier
atau pernah mendapat imunisasi), maka harus dilakukan hapusan tenggorok. Bila ditemukan
Corynebactrium diphtheria penderita perlu diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
Cara yang paling baik untuk melakukan pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi
aktif secara lengkap pada anak-anak. Pada difteri belum tersedia adanya antigen tunggal
sehingga masih diberikan bersamaan dengan vaksin tetanus dan pertusis disebut diphtheria
tetanus acellular pertusus vaccine (DTaP) untuk anak-anak pada dewasa yaitu tetanus
diphtheria vaccine (TD).5,7

11

DTaP atau yang dikenal sebagai DTP diberikan dengan dosis 0,5 ml subkutan dalam atau
intramuscular. Pada masa anak-anak diberikan pada usum 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 1516 bulan serta pada umur 5 tahun. Selanjutnya tiap 5 tahun sampai umur 15 tahun hanya
diberikan vaksin TD atau bila ada kontak dengan difteri.5,7
10. Komplikasi
Komplikasi pada penderita difteri dipengaruhi oleh keadaan virulensi dari basil difteri,
luas merman yang terbentuk, jumlah toksin yang diproduksi, waktu antara mulai timbulnya
penyakit sampai pemerian antitoksin. Komplikasi yaitu kegagalan pernafasan, miokarditis,
neuritis, pneumonia bakterialis sekunder, aritmia, enselopati anoksik, sepsis.5,7
11. Prognosis
Menurut Nelson 3 sampai 5 % kematian pada penderita difteria bergantung kepada umur
penderita karena semakin muda umur anak prognosis semakin buruk. Perjalanan penyakit
karena makin lanjut dan semakin berat maka prognosis semakin buruk. Letak daripada lesi
difteri juga berpengaruh terhadap prognosis. Dilihat juga keadaan umum penderita, apabila
anak kurang gizi maka prognosis akan buruk. Selain itu pengobatan juga mempengaruhi
prognosis karena semakin lambat pemberian antitoksin prognosis akan semakin buruk.5
Kesimpulan
Kasus yang akan dibahas yaitu seorang anak lai-laki berusia 3 tahun di awa ibunya ke
IGD RS karena sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahului batuk-pilek sejak 1
minggu yang lalu. Dua hari yang lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien
juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi ternyata tidak lengkap. Dari hasil diskusi hipotesis
adalah ana laki-laki tersebut menderita difteri.
Setelah pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien menderita difteri karena
seperti yang kita ketahui apabila seseorang terkena infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae maka akan timbul gejala umum berupa demam yang tidak terlalu tinggi, lesu,
pucat, nyeri kepala, anoreksia sehingga anak akan terlihat sangat lemah. Gejala seperti ini
biasanya disertai gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek, nyeri menelan,
sesak nafas dengan serak dan stridor. Pada kasus pasien dinyatakan mempunyai keluhan
batuk pilek, demam, nyeri menelan seperti gambaran klinis pada difteri.
Pada pemeriksaan ronga mlut ditemukannya pseudomembran pada kedua tonsil dimana
apabila lapisan tersebut diangkat maka akan terjadi pendarahan. Kemudian pada pemeriksaan
penunjang berupa usap tenggorok ditemukan bakteri batang gram positif dan seperti yang
12

telah dijelaskan diatas bahwa Coryneacterium diphtheriae merupakan bakteri batang gram
positif. Sehingga hipotesis dibenarkan bahwa anak laki-laki tersebut menderita difteri faring
dan tonsil (difteri fausial).
Daftar Pustaka
1. Amin Z. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III: manifestasi klinik dan pendekatan pada
pasien dengan kelainan sistem pernapasa. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Interna Publishing;
2009.h.2189-192.
2. Muscari ME. Lippincotts review series : pediatric nursing. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005.h.184.
3. Ward PT, Jeremy. At a glance sistem respirasi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2006.h.47.
4. Santoso M, Kartadinata H, Yuliani IW, Widjaja WH, Nah YK, Rumawas MA. Buku
panduan keterampilan klinis (skilss lab). Jilid 4. Jakarta: Penerbit Biro Publikasi Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana; 2011.h. 52-6.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
kuliah ilmu kesehatan anak 2. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Unversitas Indonesia; 2007.h.550-6.
6. Hull D, Johnston DI. Essential pediatrics. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedkteran
EGC; 2008.h.99.
7. Acang N. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III: difteri. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Interna Publishing; 2009.h.2955-64.
8. Price, Sylvia, dkk. Buku patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit volume 2.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
9. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta :
Penerbit Media Aesculapius FKUI ; 2006.h.476-80.
10. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke 25. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008.h.184-8.

13

Вам также может понравиться

  • Makalah Blok 21 B
    Makalah Blok 21 B
    Документ12 страниц
    Makalah Blok 21 B
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Bedah B21 Kel 2 PDF
    Bedah B21 Kel 2 PDF
    Документ17 страниц
    Bedah B21 Kel 2 PDF
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Bedah B21 Kel 2 PDF
    Bedah B21 Kel 2 PDF
    Документ17 страниц
    Bedah B21 Kel 2 PDF
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Makalah VSD Blok 19
    Makalah VSD Blok 19
    Документ17 страниц
    Makalah VSD Blok 19
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Bedah B21 Kel 2 PDF
    Bedah B21 Kel 2 PDF
    Документ17 страниц
    Bedah B21 Kel 2 PDF
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Blok 22
    Blok 22
    Документ20 страниц
    Blok 22
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Bedah B21 Kel 2 PDF
    Bedah B21 Kel 2 PDF
    Документ17 страниц
    Bedah B21 Kel 2 PDF
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • CHF Blok 19
    CHF Blok 19
    Документ26 страниц
    CHF Blok 19
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Novena St. Mikhael
    Novena St. Mikhael
    Документ5 страниц
    Novena St. Mikhael
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Novena St. Mikhael
    Novena St. Mikhael
    Документ5 страниц
    Novena St. Mikhael
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Infeksi Saluran Kemih Skenario 3
    Infeksi Saluran Kemih Skenario 3
    Документ35 страниц
    Infeksi Saluran Kemih Skenario 3
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Документ17 страниц
    Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Документ17 страниц
    Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Документ17 страниц
    Syok Hipovolemik Ec Gastroenteritis Akut
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • HIPERTENSI PULMONAL PENYAKIT JARANG PROGRESIF
    HIPERTENSI PULMONAL PENYAKIT JARANG PROGRESIF
    Документ30 страниц
    HIPERTENSI PULMONAL PENYAKIT JARANG PROGRESIF
    teru kira
    Оценок пока нет
  • Diabetes Militus
    Diabetes Militus
    Документ7 страниц
    Diabetes Militus
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Makalah VSD Blok 19
    Makalah VSD Blok 19
    Документ17 страниц
    Makalah VSD Blok 19
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Presen 15
    Presen 15
    Документ15 страниц
    Presen 15
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Artikel Psoriasis
    Artikel Psoriasis
    Документ14 страниц
    Artikel Psoriasis
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Gagal Jantung Kronis
    Gagal Jantung Kronis
    Документ20 страниц
    Gagal Jantung Kronis
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • PBL 27
    PBL 27
    Документ21 страница
    PBL 27
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Tinea Cruris
    Tinea Cruris
    Документ17 страниц
    Tinea Cruris
    Alvan Aresto Djari
    Оценок пока нет
  • Peran Zat Makronutrien Bagi Tubuh Manusia
    Peran Zat Makronutrien Bagi Tubuh Manusia
    Документ9 страниц
    Peran Zat Makronutrien Bagi Tubuh Manusia
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Abstrak DM
    Abstrak DM
    Документ2 страницы
    Abstrak DM
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Diabetes Militus
    Diabetes Militus
    Документ7 страниц
    Diabetes Militus
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Abstrak DM
    Abstrak DM
    Документ2 страницы
    Abstrak DM
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Artikel Epidermolysis Bullosa
    Artikel Epidermolysis Bullosa
    Документ28 страниц
    Artikel Epidermolysis Bullosa
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • Pilihan Terapi Untuk Hematuri Print
    Pilihan Terapi Untuk Hematuri Print
    Документ23 страницы
    Pilihan Terapi Untuk Hematuri Print
    Avelia Felix
    Оценок пока нет
  • LEPROSI PENYAKIT KUSTA
    LEPROSI PENYAKIT KUSTA
    Документ30 страниц
    LEPROSI PENYAKIT KUSTA
    Krisztian Nopriadi Takwan
    Оценок пока нет
  • Nama Penyakit
    Nama Penyakit
    Документ1 страница
    Nama Penyakit
    Avelia Felix
    Оценок пока нет