Вы находитесь на странице: 1из 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Osteoartritis (OA) adalah bentuk dari arthritis yang berhubungan dengan degenerasi
tulang dan kartilago yang paling sering terjadi pada usia lanjut.Osteoartritis juga disebut
sebagai penyakit sendi degeneratif, artritis degeneratif, osteoartrosis, atau artritis
hipertrofik. Osteoaartritis merupakan salah satu masalah kedokteran yang paling sering
terjadi dan menimbulkan gejala pada orangorang usia lanjut maupun setengah baya.
Terjadi pada orang dari segala etnis, lebih sering mengenai wanita, dan merupakan
penyebab tersering disabilitas jangka panjang pada pasien yang berusia lebih dari 65
tahun. Sepertiga orang dengan usia lebih dari 45 tahun mengeluhkan gejala persendian
yang bervariasi mulai dari kekakuan sendi tertentu dan rasa nyeri intermiten yang
berhubungan dengan aktivitas, sampai kelumpuhan anggota gerak dan nyeri hebat yang
menetap, biasanya dirasakan akibat deformitas dan ketidakstabilan sendi.
Degenerasi sendi yang menyebabkan sindrom klinis osteoartritis muncul paling
sering pada sendi tangan, kaki, panggul, dan spine, meskipun dapat terjadi pada sendi
synovial mana pun. Prevalensi kerusakan sendi synovial ini meningkat seiring dengan
bertambahnya usia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Osteoarthritis (OA, dikenal juga sebagai arthritis degeneratif, penyakit
degeneratif sendi) merupakan penyakit sendi degeneratif yang mengenai sendi-sendi
penumpu berat badan dengan gambaran patologis yang berupa kerusakan kartilago
sendi, dimana terjadi proses degradasi interaktif sendi yang kompleks, terdiri dari
proses perbaikan pada kartilago, tulang dan sinovium diikuti komponen sekunder
proses inflamasi.1
2.2 Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang paling banyak ditemukan di dunia,
termasuk di Indonesia.Bahkan sejak tahun 2001 hingga 2010 dicanangkan sebagai
dekade penyakit tulang dan sendi di seluruh dunia.Penyakit ini menempati urutan
kedua setelah penyakit kardiovaskuler sebagai penyebab ketidakmampuan fisik. Di
Inggris dan Wales, sekitar 1,3 hingga 1,75 juta orang mengalami gejala OA. Di
Amerika, 1 dari 7 penduduk menderita OA.1,2
Di Australia pada tahun 2002, diperkirakan biaya nasional untuk OA sebesar
1% dari GNP, yaitu mencapai $Aus 2.700/orang/tahun.Di Indonesia sendiri,
prevalensi total OA sebanyak 34,3 juta orang pada tahun 2002 dan mencapai 36,5 juta
orang pada tahun 2007. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia
menderita cacat karena osteoarthritis. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan terjadinya osteoarthritis pada obesitas dan sendi penahan beban
tubuh.Dari sekian banyak sendi yang dapat terserang OA, lutut merupakan sendi yang
paling sering dijumpai terserang OA.Data Arthritis Research Campaign menunjukkan
bahwa lebih dari 550 ribu orang di Inggris menderita OA lutut yang parah dan lebih
dari 80 ribu operasi replacement sendi lutut dilakukan di Inggris pada tahun 2000
dengan biaya 405 juta Poundsterling.2
2.3 Patofisiologi Osteoartritis
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di dalam tubuh
manusia.Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang yang memungkinkan
terjadinya gesekan.Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang
rawan.Namun karena berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang
rawan dan berkurangnya cairan pada sendi.Tulang rawan sendiri berfungsi untuk
2

meredam getar antar tulang. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang
berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan tersebut
elastis dan air (70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas dan pemberi nutrisi.1
Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan kolagen pada
rawan sendi.Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal mensintesis matriks yang
berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks
ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan dan
sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada
diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang
rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik.1
Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama
setelah terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman.
Sinoviosit yang mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases
(MMPs) dan berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan
merusak matriks rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang
subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan
menghasilkan enzim proteolitik.1
Agrekanase merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan di dalam
matriks rawan sendi yang disebut agrekan. Ada dua tipe agrekanase yaitu agrekanase
1 (ADAMTs-4) dan agrekanase 2 (ADAMTs-11).MMPs diproduksi oleh kondrosit,
kemudian diaktifkan melalui kaskade yang melibatkan proteinase serin (aktivator
plasminogen, plamsinogen, plasmin), radikal bebas dan beberapa MMPs tipe
membran.Kaskade enzimatik ini dikontrol oleh berbagai inhibitor, termasuk TIMPs
dan inhibitor aktifator plasminogen. Enzim lain yang turut berperan merusak kolagen
tipe II dan proteoglikan adalah katepsin, yang bekerja pada pH rendah, termasuk
proteinase aspartat (katepsin D) dan proteinase sistein (katepsin B, H, K, L dan S)
yang disimpam di dalam lisosom kondrosit. Hialuronidase tidak terdapat di dalam
rawan sendi, tetapi glikosidase lain turut berperan merusak proteoglikan.1
Berbagai sitokin turut berperan merangsang kondrosit dalam menghasilkan
enzim perusak rawan sendi. Sitokin-sitokin pro-inflamasi akan melekat pada reseptor
di permukaan kondrosit dan sinoviosit dan menyebabkan transkripsi gene MMP
sehingga produksi enzim tersebut meningkat. Sitokin yang terpenting adalah IL-1,
selain sebagai sitokin pengatur (IL-6, IL-8, LIFI) dan sitokin inhibitor (IL-4, IL-10,
IL-13 dan IFN-).Sitokin inhibitor ini bersama IL-Ira dapat menghambat sekresi
berbagai MMPs dan meningkatkan sekresi TIMPs.Selain itu, IL-4 dan IL-13 juga
3

dapat melawan efek metabolik IL-1. IL-1 juga berperan menurunkan sintesis kolagen
tipe II dan IX

dan meningkatkan sintesis kolagen tipe I dan III, sehingga

menghasilkan matriks rawan sendi yang berkualitas buruk.1


2.4 Manifestasi Klinis3
1.
Nyeri sendi
Terutama bila sendi bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila
2.

penderita beristirahat.
Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Kekakuan pada sendi yang terserang terjadi setelah imobilisasi yang cukup lama
(gel phenomenon), bahkan sering disebutkan kaku muncul pada pagi hari setelah

3.

bangun tidur (morning stiffness).


Hambatan pergerakan sendi
Hambatan pergerakan sendi ini bersifat progresif lambat, bertambah berat secara

4.

perlahan sejalan dengan bertambahnya nyeri pada sendi.


Krepitasi
Rasa gemeretak (seringkali sampai terdengar) yang terjadi pada sendi yang

5.

sakit.
Perubahan bentuk sendi
Sendi yang mengalami osteoarthritis biasanya mengalami perubahan berupa

6.

perubahan bentuk dan penyempitan pada celah sendi.


Perubahan gaya berjalan
Hal yang paling meresahkan pasien adalah perubahan gaya berjalan, hampir
semua pasien osteoarthritis pada pergelangan kaki, lutut dan panggul mengalami
perubahan gaya berjalan (pincang).

2.5 Klasifikasi Osteoartritis


OA dapat terjadi secara primer (idiopatik) maupun sekunder, seperti yang
tercantum di bawah ini:4
IDIOPATIK

SEKUNDER

Setempat

Trauma

Tangan

akut

- nodus Heberden dan Bouchard (nodal)

kronik (okupasional, port)

- artritis erosif interfalang

Kongenital atau developmental:

- karpal-metakarpal I

Gangguan setempat:

Kaki:

Penyakit Leg-Calve-Perthes

- haluks valgus

Dislokasi koksa kongenital

- haluks rigidus

Slipped epiphysis

- jari kontraktur (hammer/cock-up toes)

Faktor mekanik

- talonavikulare

Panjang tungkai tidak sama

Coxae

Deformitas valgus / varus

- eksentrik (superior)

Sindroma hipermobilitas

- konsentrik (aksial, medial)

Metabolik

- difus (koksa senilis)

Okronosis (alkaptonuria)

Vertebra

Hemokromatosis

- sendi apofiseal

Penyakit Wilson

- sendi intervertebral

Penyakit Gaucher

- spondilosis (osteofit)

Endokrin

- ligamentum (hiperostosis,

Akromegali

penyakit Forestier, diffuse idiopathic

Hiperparatiroidisme

skeletal hyperostosis=DISH)

Diabetes melitus

Tempat lainnya:

Obesitas

- glenohumeral

Hipotiroidisme

- akromioklavikular

Penyakit Deposit Kalsium

- tibiotalar

Deposit kalsium pirofosfat dihidrat

- sakroiliaka

Artropati hidroksiapatit

- temporomandibular

Penyakit Tulang dan Sendi lainnya

Menyeluruh:

Setempat:

Meliputi 3 atau lebih daerah yang tersebut

Fraktur

diatas (Kellgren-Moore)

Nekrosis avaskular

Tabel 2.1 Osteoartritis Idiopatik dan Sekunder


2.6 Faktor Risiko Osteoartritis Lutut (Genu)

Secara garis besar, terdapat dua pembagian faktor risiko OA lutut yaitu faktor
predisposisi dan faktor biomekanis.
1 Faktor Predisposisi
b Faktor Demografi
1 Umur
Dari semua faktor risiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Proses penuaan dianggap sebagai penyebab
peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi,
kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang
semuanya mendukung terjadinya OA. Studi Framingham menunjukkan
bahwa 27% orang berusia 63 70 tahun memiliki bukti radiografik
menderita OA lutut, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun
2

atau lebih.1
Jenis kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih

tinggi

dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun


prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan lakilaki.Hal ini dikaitkan dengan pengurangan hormon estrogen yang
3

signifikan pada wanita.1


Ras / Etnis
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak
berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika
Amerika memiliki risiko
dibandingkan ras

menderita OA lutut 2 kali lebih besar

Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki risiko

menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan Kaukasia.1


Faktor Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya mutasi
dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang
rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya

kecenderungan familial pada osteoartritis.1


Faktor Gaya Hidup
1 Kebiasaan Merokok
Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel tulang

rawan sendi.
Merokok dapat

meningkatkan

tekanan

oksidan

yang

mempengaruhi hilangnya tulang rawan.

Merokok dapat meningkatkan kandungan karbonmonoksida dalam


darah, menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat

menghambat pembentukan tulang rawan.1


Konsumsi Vitamin D
Orang yang tidak biasa mengkonsumsi makanan yang mengandung

vitamin D memiliki peningkatan risiko 3 kali lipat menderita OA lutut.1


Faktor Metabolik
1 Obesitas
Berat badan yang berlebih ternyata dapat meningkatkan tekanan
mekanik pada sendi penahan beban tubuh, dan lebih sering
2

menyebabkan osteoartritis lutut.1


Osteoporosis
Hubungan antara OA lutut dan osteoporosis mendukung teori bahwa
gerakan mekanis yang abnormal tulang akan mempercepat kerusakan

tulang rawan sendi.1


Penyakit Lain
OA lutut terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus, hipertensi dan

hiperurikemi, dengan catatan pasien tidak mengalami obesitas.1


Histerktomi
Hal ini diduga berkaitan dengan pengurangan produksi hormon

estrogen setelah dilakukan pengangkatan rahim. 1


Manisektomi
Menisektomi merupakan operasi yang dilakukan di daerah lutut dan
telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting bagi OA lutut. Hal ini

berkaitan dengan hilangnya jaringan meniscus.1


Faktor Biomekanis
a Riwayat Trauma Lutut
Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan
b

meniskus merupakan faktor risiko timbulnya OA lutut.1


Kelainan Anatomis
Faktor risiko timbulnya OA lutut antara lain kelainan lokal pada sendi lutut
seperti genu varum, genu valgus, Legg Calve Perthes disease dan

displasia asetabulum.1
Pekerjaan
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang
banyak menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut (petani, kuli,

dll).1
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari),
berjalan jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat
(10 kg 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek
7

yang berat (10 kg 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik
e

turun tangga setiap hari merupakan faktor risiko OA lutut. 1


Kebiasaan Olahraga
Atlit olah raga benturan keras dan membebani lutut seperti sepak bola, lari
maraton dan kung fu memiliki risiko meningkat untuk menderita OA lutut.1

2.7 Kriteria Diagnosis Osteoartritis Lutut (Genu)


Kriteria diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi American
College of Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini :3
Tabel 2.Kriteria Klasifikasi Osteoartritis Lutut

Derajat osteoartritis lutut dinilai menjadi lima derajat oleh Kellgrendan Lawrence, yaitu :3
-

Derajat 0 : tidak ada gambaran osteoartritis.


Derajat 1 : osteoartritis meragukan dengan gambaran sendi normal, tetapi
terdapat osteofit minimal.
Derajat 2 : osteoartritis minimal dengan osteofit pada 2 tempat, tidak terdapat
sklerosis dan kista subkondral, serta celah sendi baik.
Derajat 3 : osteoartritis moderat dengan osteofit moderat, deformitas ujung
tulang, dan celah sendi sempit.
Derajat 4 : osteoartritis berat dengan osteofit besar, deformitas ujung tulang,
celah sendi hilang, serta adanyasklerosis dan kista subkondral.

2.8 Penatalaksanaan Osteoarthritis


Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah:1
1
2

Meredakan nyeri
Mengoptimalkan fungsi sendi

Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas

4
5

hidup
Menghambat progresivitas penyakit
Mencegah terjadinya komplikasi

Pilar terapi pada pasien dengan osteoarthritis yaitu:


Nonfarmakologis:
1
2
3
4
5
6

7.

Modifikasi pola hidup


Edukasi
Istirahat teratur yang bertujuan mengurangi penggunaan beban pada sendi
Modifikasi aktivitas
Menurunkan berat badan
Rehabilitasi medik/ fisioterapi
a. Latihan statis dan memperkuat otot-otot
b. Fisioterapi, yang berguna untuk mengurangi nyeri, menguatkan otot,
dan menambah luas pergerakan sendi
Penggunaan alat bantu.

Farmakologis:
1. Sistemik
a Analgetik
Non narkotik: parasetamol
Opioid (kodein, tramadol)
b Anti inflamasi nonsteroid (NSAIDs)
Oral
Injeksi
Suppositoria
c DMOADs (disease modifying OA drugs)
Diantara nutraceutical yang saat ini tersedia di Indonesia adalah
Glucosamine sulfate dan Chondroitine sulfate.
2. Topikal
a Krim rubefacients dan capsaicin.
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada
b

umumnya bersifat counter irritant.


Krim NSAIDs
Beberapa yang dapat digunakan adalah gel piroxicam, dan sodium

diklofenak.
3. Injeksi intraartikular/intra lesi
Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra artikular yakni penanganan
simtomatik dengan steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan untuk
modifikasi perjalanan penyakit. Beberapa preparat injeksi intraartikular,
diantaranya :
a Steroid ( triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone )

Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri
dan inflamasi yang kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak
dapat mentolerir NSAIDs atau ada komorbiditas yang merupakan kontra
indikasi terhadap pemberian NSAIDs.
Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan
b

untuk sendi-sendi kecil biasanya digunakan dosis 10 mg.


Hyaluronan: high molecular weight dan low molecular weight
Diberikan berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan interval satu minggu
masing-masing 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan. Sediaan di Indonesia

diantaranya adalah Hyalgan dan Osflex.


4. Pembedahan
Sebelum diputuskan untuk terapi pembedahan, harus dipertimbangkan terlebih
dahulu risiko dan keuntungannya. Pertimbangan dilakukan tindakan operatif bila
:
a
b

Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi


Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penganan medikamentosa dan
rehabilitatif

Ada 2 tipe terapi pembedahan :Realignment osteotomi dan replacement joint.


Macam-macam operasi sendi lutut untuk osteoarthritis :
a
b
c
d

Partial replacement/unicompartemental
High tibial osteotomy : orang muda
Patella & condyle resurfacing
Minimally constrained total replacement : stabilitas sendi dilakukan

e
f
g

sebagian oleh ligament asli dan sebagian oleh sendi buatan.


Cinstrained joint : fixed hinges : dipakai bila ada tulang hilang dan severe
instability.
Total knee replacement, apabila didapatkan nyeri, deformitas, instability
akibat dari rheumatoid atau osteoarthritis.

10

Gambar 2.1 Piramida Penatalaksanaan Osteoartritis

11

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
OA adalah penyakit degenerasi kartilago artikuler yang berlangsung secara
perlahan dan ditandai dengan nyeri sendi, kekakuan dan keterbatasan gerak yang
berkembang secara progresif.
Berdasarkan etiologinya, OA diklasifikasikan menjadi dua yaitu OA primer dan
OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan
lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin,
trauma, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta
imobilisasi yang terlalu lama, faktor mekanik, penyakit deposit kalsium, penyakit tulang
dan sendi lainnya, serta neuropatik endemik. Beberapa faktor risiko yang diketahui
berhubungan dengan penyakit OA, diantaranya : faktor risiko umum yang penting seperti
kegemukan, faktor genetik dan jenis kelamin, serta beberapa faktor risiko lain seperti usia
lebih dari 40 tahun, suku bangsa, cedera sendi, pekerjaan, olahraga, kelainan
pertumbuhan, kepadatan tulang, dan lain-lain.
Diagnosis OA sudah bisa ditegakkan secara klinis dengan memakai kriteria OA
yang dibuat oleh Subcommittee American College of Rheumatology (ACR). Kriteria OA
lutut secara klinis, laboratorium, dan radiologis adalah adanya nyeri lutut, osteofit, dan
salah satu dari tanda berikut, yaitu usia lebih dari 50 tahun, kaku sendi kurang dari 30
menit atau adanya krepitus.
Pengelolaan penderita dengan OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan,
mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas
hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi OA :
non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet/penurunan berat badan), farmakologis
(analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan pembedahan.
Edukasi sangat penting bagi semua pasien OA.Dua hal yang menjadi tujuan
edukasi adalah bagaimana mengatasi nyeri dan disabilitas.Pemberian edukasi pada
penderita sangat penting karena dengan edukasi diharapkan pengetahuan penderita
mengenai penyakit OA menjadi meningkat dan pengobatan menjadi lebih mudah serta
dapat diajak bersama-sama untuk mencegah kerusakan organ sendi lebih lanjut.
12

Terapi fisik bertujuan untuk melatih penderita agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih penderita untuk melindungi sendi yang sakit.Pada penderita OA,
dianjurkan untuk berolah raga tapi olah raga yang memperberat sendi sebaiknya dihindari
seperti lari atau joging. Hal ini dikarenakan dapat menambah inflamasi, meningkatkan
tekanan intraartikular bila ada efusi sendi dan bahkan bisa menyebabkan robekan kapsul
sendi.Untuk mencegah risiko terjadinya kecacatan pada sendi, sebaiknya dilakukan olah
raga peregangan otot seperti m.Quadrisep femoris, dengan peregangan otot diharapkan
dapat membantu dalam peningkatan fungsi sendi secara keseluruhan dan mengurangi
nyeri.
Diet bertujuan untuk menurunkan berat badan pada penderita OA yang gemuk.Hal
ini sebaiknya menjadi program utama pengobatan OA.Penurunan berat badan seringkali
dapat mengurangi keluhan dan peradangan.Selain itu, obesitas juga dapat meningkatkan
risiko progresifitas dari OA.
Terapi farmakologis pada penderita OA biasanya bersifat simptomatis.Pada
tahap awal dapat dicoba analgetik sederhana, seperti asetaminofen atau salisilat.Bila tidak
ada perbaikan, dapat diberikan obat anti inflamasi non steroid. Untuk mengurangi
keluhan nyeri pada penderita OA diberikan pengobatan langsung dengan obat anti
inflamasi non steroid seperti Na-diklofenak dengan dosis 350 mg tanpa menggunakan
obat lini pertama.
Terapi pembedahan.Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis dan
rehabilitasi tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi
apabila terjadi deformitas yang menimbulkan gangguan mobilisasi sendi yang
mengganggu aktifitas sehari-hari.

13

DAFTAR PUSTAKA

Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. In: Sudoyo


AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Indonesia; 2006. p. 1195-201.


2 Reginster J.Y. The Prevalence and Burden of Osteoarthritis. Rheumatology, 2002;
41 (suppl 1) : 3 6.
3 Wibowo Dhidik Tri, Kurniawan Yusuf, Latifah Tati, Gunadi Rachmat. Perancangan
dan Implementasi Sistem Bantu Diagnosis Penyakit Osteoartritis dan Reumatoid
Artritis Melalui Deteksi Penyempitan Celah Sendi pada Citra X-Ray Tangan dan
4

Lutut. Dalam Temu Ilmiah Reumatologi. Jakarta, 2003 : 168 172.


Anonim. [2004] Criteria for classification of idiopathic osteoarthtritis (OA) of the
knee. American College of Rheumatology [serial on the internet]. 2010 [cited 2015
Mei 28]; Available from:
http://www.rheumatology.org/publications/classification/oaknee.asp? aud=mem

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik
yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan tetapi
penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis
reumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat
progesifitasnya. Pada umumnya selain gejala artikular, AR dapat pula menunjukkan
gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non
artikular lainnya.
Artritis Reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi
(sinovium) yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah.
Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab
radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat
terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan
pengurangan kemampuan bergerak.
Artritis adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan
kemerahan pada sendi. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai
artritis reumatoid yang merupakan penyakit autoimun.14
Manifestasi tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi yang umumnya
menetap dan progresif. Mula-mula yang terserang adalah sendi kecil tangan dan kaki.
Seringkali keadaan ini mengakibatkan deformitas sendi dan gangguan fungsi disertai rasa
nyeri.16
2.2. Epidemiologi

15

Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan
tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3
sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1.7 Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita
dalam usia subur.
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita.
Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang
lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan
600.000 pria.

2.3. Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa
faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini
terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama
kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki
resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.8
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada
wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan
hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun
demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan
perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa
faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.8
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor
infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi
secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.
Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari
16

jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu
komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan
terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah
bakteri, mikoplasma atau virus.8,10
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60
sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress.
Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien AR,
mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.10
2.4. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai
peristiwa imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh
antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A,
sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada
membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+
bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC
tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan
bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi
reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+
akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan
menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan
berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2,
CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gammainterferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4),
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator
lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan
merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi
oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
17

Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan
kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan
komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik
yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel
polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis
membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah
peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral
(collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.8,10
Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang
terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen
antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi
sendi akan berlangsung terus.10 Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR
kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid
adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 %
pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi
sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun
juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya
pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam
patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada
18

daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya
banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.7
2.5. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan
oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan
demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun
biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial
dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada
osteoar tritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang
dari 1 jam.
4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan
sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada
radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering
dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang
timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari
deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan
ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada
19

tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk


suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain
di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah
dapat rusak.

Tangan
Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang
dijumpai, keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir selalu
dijumpai pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP,
heperekstensi PIP dan fleksi DIP serta boutonniere akibat fleksi PIP dan hiperekstensi
DIP dapat terjadi akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan interoseus merupakan
deformitas patognomonik yang banyak dijumpai pada AR
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri atau
disfungsi persendian akibat penekana nervus medianus yang terperangkap dalam rongga
karpalis yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome.
Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula mengalami
penekanan dengan mekanisme yang sama.
AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis akibat pembentukan nodul
reumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat menghambat gerakan tendon dalam
sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan terjadinya erosi tendon dan
mengakibatkan terjadinya ruptur tendon yang terlibat.

20

Panggul
Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat
AR umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi
panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau
gangguan ringan pada kegiatan tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun
demikian, jika destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan
berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.

Lutut

21

Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan.
Herniasi kapsul sendi kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.

Kaki dan Pergelangan Kaki


Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan
gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan
struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan disfungsi dan
rasa nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan keterlibatan ekstremitas atas.
Peradangan pada sendi talonavikularis akan menyebabkan spasme otot yang berdekatan
sehingga menimbulkan deformitas berupa pronasio dan eversio kaki yang khas pada AR.
Walaupun jarang, nervue tibialis posterior dapat pula mengalami penekanan akibat
sinovitis pada rongga tarsalis (tarsal tunnel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia
pada telapak kaki.
2.6. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau
obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD)
yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar
dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan
mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong bila
terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboraturium
terdapat:
1. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru,
22

sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan
sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada
awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular.
Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
2.8. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam diagnosis dari rheumatoid arthritis adalah suatu
pertemuan antara dokter dan pasien. Dokter meninjau sejarah gejala, meneliti radang
sendi dan kelainan bentuk, kulit untuk rheumatoid nodules, dan bagian tubuh untuk
radang. Tes darah tertentu dan X-ray sering berlaku. Diagnosis akan berdasarkan pola
gejala, yang mendistribusikan radang sendi, dan temuan dari darah dan x-ray. Beberapa
kunjungan mungkin diperlukan sebelum dokter dapat menentukan diagnosis. Distribusi
radang sendi adalah hal penting bagi dokter dalam membuat diagnosis. Dalam rheumatoid
arthritis, sendi kecil tangan, pergelangan tangan, kaki, dan lutut yang biasanya meradang
dalam distribusi simetris (mempengaruhi kedua sisi tubuh). Bila hanya satu atau dua
sendi yang radang, diagnosis rheumatoid arthritis akan semakin sulit. Dokter mungkin
akan melakukan tes lainnya yang akan kita diskusi pada gambarberikutnya.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah
segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya
dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini
23

agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam
suatu jangka waktu yang cukup lama.
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan
dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap
berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan
0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30
mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi
akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian.
Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang.
Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter.
Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila
respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.

Jenis-jenis yang digunakan adalah:


a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya
lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari
hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa
penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia
hemolitik.

24

b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500
mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah
remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka
panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat
khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek
sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300
mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam
kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular,
dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul
dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu
selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2
minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu
sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering
ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4
bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20
mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis
reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi
berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang
sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat
bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai
25

bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan


kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi
harus disingkirkan terlebih dahulu.3
4. Riwayat Penyakit alamiah
Riwayat penyakit alamiah AR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan
mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode
AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain sebagian besar
pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh
beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan
menderita AR yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang
menetap pada setiap eksaserbasi.12
Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang digunakan saat
ini, sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan dapat
mempertahankannya dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun waktu
tersebut, umumnya pasien akan mulai merasakan bahwa remisi mulai sukar
dipertahankan dengan pengobatan yang biasa digunakan selama itu. Hal ini mungkin
disebabkan karena pasien sukar mempertahankan ketaatannya untuk terus berobat dalam
jangka waktu yang lama, timbulnya efek samping jangka panjang kortikosteroid. Khasiat
DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena timbulnya penyakit lain
yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini masih merupakan persoalan
yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini belum berhasil dijumpai obat yang bersifat
sebagai disease controlling antirheumatic therapy (DC-ART).9
5. Rehabilitasi pasien AR
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR
dengan cara:1
Mengurangi rasa nyeri
Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
26

Mencegah terjadinya deformitas


Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi
yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan,
pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis
dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian
yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.
Bagian lain tubuh, selain sendi, yang dipengaruhi oleh rheumatoid radang dirawat secara
individual. Sjogren's syndrome (seperti yang dijelaskan di atas, melihat gejala) dapat
membantu dengan air mata buatan dan kelembaban kamar di rumah atau kantor anda.
Obat tetes mata, cortisporine ophthalmic drops (Restasis), juga tersedia untuk membantu
mata kering pada orang-orang yang terpengaruh. Tetap check-up mata dan antibiotik awal
untuk pengobatan infeksi mata adalah penting. Radang otot (tendinitis), bursae (radang
kandung lendir), dan rheumatoid nodules dapat disuntik dengan cortisone. Peradangan
lapisan dari jantung dan/atau paru-paru atau mungkin memerlukan obat oral cortisone
dosis tinggi.

6. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan
yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada
pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip
replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.

27

2.9. Artritis Reumatoid Juvenilis


Anak-anak dapat terkena AR seperti orang dewasa. Di Amerika Serikat 13,9/ 100.000.
Terdapat tiga subtipe AR juvenilis bila dipandang dari awitan gejalanya.
Awitan sistemik (penyakit still) mengenai sekitar 20% dari semua kasus. Anak laki-laki
dan perempuan terserang dalam jumlah yang sebanding. Bentuk ini dapat terjadi pada
setiap usia. Sesuai dengan namanya penyakit ini melibatkan berbagai sistem organ,
namun disamping itu juga mengakibatklan poliartritis klinik. Subtipe ini memiliki
prognosis terburuk dari antara ketiga tipe dan dapat menyebabkan keterlambatan dalam
pertumbuhan.
Awitan poliartikular bertanggung jawab atas sekitar 40% dari semua kasus. Anak
perempuan diserang dengan rasio 2:1 bila dibandingkan dengan anak laki-laki, dan
bentuk ini juga dapat terjadi pada semua umur. Lima atau lebih sendi terserang pada saat
yang bersamaan tetapi biasanya hanya mengkibatkan kelainan ekstra artikular yang tidak
berat. Bentuk ini memiliki prognosis yang lebih baik daripada awitan sistemik, tetapi
dapat juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.
Awitan pausiartikular bertanggung jawab atas kira-kira 40 dari semua kasus. Anak
perempuan yang diserang dengan rasio 6:1 bila dibandingkan dengan laki-laki. Bentuk ini
biasanya terjadi sebelum usia 6 tahun. Tidak lebih dari 4 sendi akan diserang, dan
biasanya tidak ada atau jarang terjadi kelainan ekstra-artikular. Bentuk ini memiliki
prognosis yang paling baik dari ketiga bentuk.
Penatalaksanaan artritis reumatoid juvenilis serupa dengan penatalaksanaan penyakit ini
pada orang dewasa, tetapi ada beberapa perbedaan penting. Beberapa obat yang dipakai
untuk orang dewasa tidak boleh diberikan pada anak-anak. Kortikosteroid sistemik dapat
menyebabkan keterlambatan pertumbuhan, osteoporosis dan katarik. Beberapa obat
imunosupresif dapat menekan fungsi sumsum tulang, sterilitas, dan keganasan pada anakanak.

28

BAB III
Kesimpulan
1. Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun yang proses
patologi utamanya terjadi di cairan sinovial.
2. Penderita Artritis Reumatoid seringkali datang dengan keluhan artritis yang nyata dan
tanda-tanda keradangan sistemik. Baisanya gejala timbul perlahan-lahan seperti lelah,
demam, hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
3. Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian,
namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang
menetap. Selain itu karena penyakit ini bersifat kronis dan sering kambuh, maka penderita
akan mengalami penurunan produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang
timbul menyebabkan gangguan aktivitas fisik, psikologis, dan kualitas hidup menderita.
4. Meskipun prognose untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan tetapi
kesembuhan penyakit sukar tercapai.
5. Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau sedapat
mungkin berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi
adalah meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan
mencegah dan/atau memeperbaiki deformaitas.

29

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Ed.III, hal. 536-539. Jakarta: Media
Aeculapius.

30

Daud. R. dan Adnan H.M., 1996, Artritis Reumatoid Dalam: Noer S. (Editor) Buku Ajar
Penyakit Dalam Jilid I, ed. III. Hal. 62-70. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Howard L. Weiner, Lawrence P. Levitt, 2001, s Saku Neurologi, Edisi V, hal. 232, Jakarta:
EGC.
Michael A. Carter, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 2,
Edisi IV, hal.
Nasution, Artritis Reumatoid, 1996, Aspek III Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S
(Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, ed., hal 29-36. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Peter E. L., 2000,Arthritis Rheumatoid, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, ed
XIII, vol.4, hal 1840-1847, Jakarta:EGC.
Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit
bag 2. Ed. II. Hal 410-441. Jakarta: EGC.
Randall King, MD., 2003, Rheumatoid Arthritis, http://www.emedicine.com

31

32

Вам также может понравиться