Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Osteoarthritis (OA, dikenal juga sebagai arthritis degeneratif, penyakit
degeneratif sendi) merupakan penyakit sendi degeneratif yang mengenai sendi-sendi
penumpu berat badan dengan gambaran patologis yang berupa kerusakan kartilago
sendi, dimana terjadi proses degradasi interaktif sendi yang kompleks, terdiri dari
proses perbaikan pada kartilago, tulang dan sinovium diikuti komponen sekunder
proses inflamasi.1
2.2 Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang paling banyak ditemukan di dunia,
termasuk di Indonesia.Bahkan sejak tahun 2001 hingga 2010 dicanangkan sebagai
dekade penyakit tulang dan sendi di seluruh dunia.Penyakit ini menempati urutan
kedua setelah penyakit kardiovaskuler sebagai penyebab ketidakmampuan fisik. Di
Inggris dan Wales, sekitar 1,3 hingga 1,75 juta orang mengalami gejala OA. Di
Amerika, 1 dari 7 penduduk menderita OA.1,2
Di Australia pada tahun 2002, diperkirakan biaya nasional untuk OA sebesar
1% dari GNP, yaitu mencapai $Aus 2.700/orang/tahun.Di Indonesia sendiri,
prevalensi total OA sebanyak 34,3 juta orang pada tahun 2002 dan mencapai 36,5 juta
orang pada tahun 2007. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia
menderita cacat karena osteoarthritis. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan terjadinya osteoarthritis pada obesitas dan sendi penahan beban
tubuh.Dari sekian banyak sendi yang dapat terserang OA, lutut merupakan sendi yang
paling sering dijumpai terserang OA.Data Arthritis Research Campaign menunjukkan
bahwa lebih dari 550 ribu orang di Inggris menderita OA lutut yang parah dan lebih
dari 80 ribu operasi replacement sendi lutut dilakukan di Inggris pada tahun 2000
dengan biaya 405 juta Poundsterling.2
2.3 Patofisiologi Osteoartritis
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di dalam tubuh
manusia.Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang yang memungkinkan
terjadinya gesekan.Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang
rawan.Namun karena berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang
rawan dan berkurangnya cairan pada sendi.Tulang rawan sendiri berfungsi untuk
2
meredam getar antar tulang. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang
berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan tersebut
elastis dan air (70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas dan pemberi nutrisi.1
Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan kolagen pada
rawan sendi.Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal mensintesis matriks yang
berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks
ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan dan
sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada
diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang
rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik.1
Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama
setelah terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman.
Sinoviosit yang mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases
(MMPs) dan berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan
merusak matriks rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang
subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan
menghasilkan enzim proteolitik.1
Agrekanase merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan di dalam
matriks rawan sendi yang disebut agrekan. Ada dua tipe agrekanase yaitu agrekanase
1 (ADAMTs-4) dan agrekanase 2 (ADAMTs-11).MMPs diproduksi oleh kondrosit,
kemudian diaktifkan melalui kaskade yang melibatkan proteinase serin (aktivator
plasminogen, plamsinogen, plasmin), radikal bebas dan beberapa MMPs tipe
membran.Kaskade enzimatik ini dikontrol oleh berbagai inhibitor, termasuk TIMPs
dan inhibitor aktifator plasminogen. Enzim lain yang turut berperan merusak kolagen
tipe II dan proteoglikan adalah katepsin, yang bekerja pada pH rendah, termasuk
proteinase aspartat (katepsin D) dan proteinase sistein (katepsin B, H, K, L dan S)
yang disimpam di dalam lisosom kondrosit. Hialuronidase tidak terdapat di dalam
rawan sendi, tetapi glikosidase lain turut berperan merusak proteoglikan.1
Berbagai sitokin turut berperan merangsang kondrosit dalam menghasilkan
enzim perusak rawan sendi. Sitokin-sitokin pro-inflamasi akan melekat pada reseptor
di permukaan kondrosit dan sinoviosit dan menyebabkan transkripsi gene MMP
sehingga produksi enzim tersebut meningkat. Sitokin yang terpenting adalah IL-1,
selain sebagai sitokin pengatur (IL-6, IL-8, LIFI) dan sitokin inhibitor (IL-4, IL-10,
IL-13 dan IFN-).Sitokin inhibitor ini bersama IL-Ira dapat menghambat sekresi
berbagai MMPs dan meningkatkan sekresi TIMPs.Selain itu, IL-4 dan IL-13 juga
3
dapat melawan efek metabolik IL-1. IL-1 juga berperan menurunkan sintesis kolagen
tipe II dan IX
penderita beristirahat.
Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Kekakuan pada sendi yang terserang terjadi setelah imobilisasi yang cukup lama
(gel phenomenon), bahkan sering disebutkan kaku muncul pada pagi hari setelah
3.
4.
5.
sakit.
Perubahan bentuk sendi
Sendi yang mengalami osteoarthritis biasanya mengalami perubahan berupa
6.
SEKUNDER
Setempat
Trauma
Tangan
akut
- karpal-metakarpal I
Gangguan setempat:
Kaki:
Penyakit Leg-Calve-Perthes
- haluks valgus
- haluks rigidus
Slipped epiphysis
Faktor mekanik
- talonavikulare
Coxae
- eksentrik (superior)
Sindroma hipermobilitas
Metabolik
Okronosis (alkaptonuria)
Vertebra
Hemokromatosis
- sendi apofiseal
Penyakit Wilson
- sendi intervertebral
Penyakit Gaucher
- spondilosis (osteofit)
Endokrin
- ligamentum (hiperostosis,
Akromegali
Hiperparatiroidisme
skeletal hyperostosis=DISH)
Diabetes melitus
Tempat lainnya:
Obesitas
- glenohumeral
Hipotiroidisme
- akromioklavikular
- tibiotalar
- sakroiliaka
Artropati hidroksiapatit
- temporomandibular
Menyeluruh:
Setempat:
Fraktur
diatas (Kellgren-Moore)
Nekrosis avaskular
Secara garis besar, terdapat dua pembagian faktor risiko OA lutut yaitu faktor
predisposisi dan faktor biomekanis.
1 Faktor Predisposisi
b Faktor Demografi
1 Umur
Dari semua faktor risiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Proses penuaan dianggap sebagai penyebab
peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi,
kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang
semuanya mendukung terjadinya OA. Studi Framingham menunjukkan
bahwa 27% orang berusia 63 70 tahun memiliki bukti radiografik
menderita OA lutut, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun
2
atau lebih.1
Jenis kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih
tinggi
rawan sendi.
Merokok dapat
meningkatkan
tekanan
oksidan
yang
displasia asetabulum.1
Pekerjaan
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang
banyak menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut (petani, kuli,
dll).1
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari),
berjalan jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat
(10 kg 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek
7
yang berat (10 kg 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik
e
Derajat osteoartritis lutut dinilai menjadi lima derajat oleh Kellgrendan Lawrence, yaitu :3
-
Meredakan nyeri
Mengoptimalkan fungsi sendi
4
5
hidup
Menghambat progresivitas penyakit
Mencegah terjadinya komplikasi
7.
Farmakologis:
1. Sistemik
a Analgetik
Non narkotik: parasetamol
Opioid (kodein, tramadol)
b Anti inflamasi nonsteroid (NSAIDs)
Oral
Injeksi
Suppositoria
c DMOADs (disease modifying OA drugs)
Diantara nutraceutical yang saat ini tersedia di Indonesia adalah
Glucosamine sulfate dan Chondroitine sulfate.
2. Topikal
a Krim rubefacients dan capsaicin.
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada
b
diklofenak.
3. Injeksi intraartikular/intra lesi
Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra artikular yakni penanganan
simtomatik dengan steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan untuk
modifikasi perjalanan penyakit. Beberapa preparat injeksi intraartikular,
diantaranya :
a Steroid ( triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone )
Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri
dan inflamasi yang kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak
dapat mentolerir NSAIDs atau ada komorbiditas yang merupakan kontra
indikasi terhadap pemberian NSAIDs.
Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan
b
Partial replacement/unicompartemental
High tibial osteotomy : orang muda
Patella & condyle resurfacing
Minimally constrained total replacement : stabilitas sendi dilakukan
e
f
g
10
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
OA adalah penyakit degenerasi kartilago artikuler yang berlangsung secara
perlahan dan ditandai dengan nyeri sendi, kekakuan dan keterbatasan gerak yang
berkembang secara progresif.
Berdasarkan etiologinya, OA diklasifikasikan menjadi dua yaitu OA primer dan
OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan
lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin,
trauma, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta
imobilisasi yang terlalu lama, faktor mekanik, penyakit deposit kalsium, penyakit tulang
dan sendi lainnya, serta neuropatik endemik. Beberapa faktor risiko yang diketahui
berhubungan dengan penyakit OA, diantaranya : faktor risiko umum yang penting seperti
kegemukan, faktor genetik dan jenis kelamin, serta beberapa faktor risiko lain seperti usia
lebih dari 40 tahun, suku bangsa, cedera sendi, pekerjaan, olahraga, kelainan
pertumbuhan, kepadatan tulang, dan lain-lain.
Diagnosis OA sudah bisa ditegakkan secara klinis dengan memakai kriteria OA
yang dibuat oleh Subcommittee American College of Rheumatology (ACR). Kriteria OA
lutut secara klinis, laboratorium, dan radiologis adalah adanya nyeri lutut, osteofit, dan
salah satu dari tanda berikut, yaitu usia lebih dari 50 tahun, kaku sendi kurang dari 30
menit atau adanya krepitus.
Pengelolaan penderita dengan OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan,
mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas
hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi OA :
non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet/penurunan berat badan), farmakologis
(analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan pembedahan.
Edukasi sangat penting bagi semua pasien OA.Dua hal yang menjadi tujuan
edukasi adalah bagaimana mengatasi nyeri dan disabilitas.Pemberian edukasi pada
penderita sangat penting karena dengan edukasi diharapkan pengetahuan penderita
mengenai penyakit OA menjadi meningkat dan pengobatan menjadi lebih mudah serta
dapat diajak bersama-sama untuk mencegah kerusakan organ sendi lebih lanjut.
12
Terapi fisik bertujuan untuk melatih penderita agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih penderita untuk melindungi sendi yang sakit.Pada penderita OA,
dianjurkan untuk berolah raga tapi olah raga yang memperberat sendi sebaiknya dihindari
seperti lari atau joging. Hal ini dikarenakan dapat menambah inflamasi, meningkatkan
tekanan intraartikular bila ada efusi sendi dan bahkan bisa menyebabkan robekan kapsul
sendi.Untuk mencegah risiko terjadinya kecacatan pada sendi, sebaiknya dilakukan olah
raga peregangan otot seperti m.Quadrisep femoris, dengan peregangan otot diharapkan
dapat membantu dalam peningkatan fungsi sendi secara keseluruhan dan mengurangi
nyeri.
Diet bertujuan untuk menurunkan berat badan pada penderita OA yang gemuk.Hal
ini sebaiknya menjadi program utama pengobatan OA.Penurunan berat badan seringkali
dapat mengurangi keluhan dan peradangan.Selain itu, obesitas juga dapat meningkatkan
risiko progresifitas dari OA.
Terapi farmakologis pada penderita OA biasanya bersifat simptomatis.Pada
tahap awal dapat dicoba analgetik sederhana, seperti asetaminofen atau salisilat.Bila tidak
ada perbaikan, dapat diberikan obat anti inflamasi non steroid. Untuk mengurangi
keluhan nyeri pada penderita OA diberikan pengobatan langsung dengan obat anti
inflamasi non steroid seperti Na-diklofenak dengan dosis 350 mg tanpa menggunakan
obat lini pertama.
Terapi pembedahan.Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis dan
rehabilitasi tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi
apabila terjadi deformitas yang menimbulkan gangguan mobilisasi sendi yang
mengganggu aktifitas sehari-hari.
13
DAFTAR PUSTAKA
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik
yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan tetapi
penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis
reumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat
progesifitasnya. Pada umumnya selain gejala artikular, AR dapat pula menunjukkan
gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non
artikular lainnya.
Artritis Reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi
(sinovium) yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah.
Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab
radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat
terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan
pengurangan kemampuan bergerak.
Artritis adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan
kemerahan pada sendi. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai
artritis reumatoid yang merupakan penyakit autoimun.14
Manifestasi tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi yang umumnya
menetap dan progresif. Mula-mula yang terserang adalah sendi kecil tangan dan kaki.
Seringkali keadaan ini mengakibatkan deformitas sendi dan gangguan fungsi disertai rasa
nyeri.16
2.2. Epidemiologi
15
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan
tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3
sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1.7 Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita
dalam usia subur.
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita.
Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang
lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan
600.000 pria.
2.3. Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa
faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini
terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama
kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki
resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.8
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada
wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan
hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun
demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan
perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa
faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.8
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor
infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi
secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.
Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari
16
jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu
komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan
terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah
bakteri, mikoplasma atau virus.8,10
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60
sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress.
Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien AR,
mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.10
2.4. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai
peristiwa imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh
antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A,
sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada
membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+
bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC
tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan
bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi
reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+
akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan
menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan
berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2,
CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gammainterferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4),
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator
lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan
merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi
oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
17
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan
kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan
komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik
yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel
polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis
membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah
peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral
(collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.8,10
Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang
terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen
antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi
sendi akan berlangsung terus.10 Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR
kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid
adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 %
pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi
sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun
juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya
pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam
patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada
18
daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya
banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.7
2.5. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan
oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan
demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun
biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial
dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada
osteoar tritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang
dari 1 jam.
4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan
sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada
radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering
dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang
timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari
deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan
ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada
19
Tangan
Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang
dijumpai, keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir selalu
dijumpai pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP,
heperekstensi PIP dan fleksi DIP serta boutonniere akibat fleksi PIP dan hiperekstensi
DIP dapat terjadi akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan interoseus merupakan
deformitas patognomonik yang banyak dijumpai pada AR
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri atau
disfungsi persendian akibat penekana nervus medianus yang terperangkap dalam rongga
karpalis yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome.
Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula mengalami
penekanan dengan mekanisme yang sama.
AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis akibat pembentukan nodul
reumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat menghambat gerakan tendon dalam
sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan terjadinya erosi tendon dan
mengakibatkan terjadinya ruptur tendon yang terlibat.
20
Panggul
Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat
AR umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi
panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau
gangguan ringan pada kegiatan tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun
demikian, jika destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan
berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.
Lutut
21
Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan.
Herniasi kapsul sendi kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.
sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan
sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada
awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular.
Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
2.8. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam diagnosis dari rheumatoid arthritis adalah suatu
pertemuan antara dokter dan pasien. Dokter meninjau sejarah gejala, meneliti radang
sendi dan kelainan bentuk, kulit untuk rheumatoid nodules, dan bagian tubuh untuk
radang. Tes darah tertentu dan X-ray sering berlaku. Diagnosis akan berdasarkan pola
gejala, yang mendistribusikan radang sendi, dan temuan dari darah dan x-ray. Beberapa
kunjungan mungkin diperlukan sebelum dokter dapat menentukan diagnosis. Distribusi
radang sendi adalah hal penting bagi dokter dalam membuat diagnosis. Dalam rheumatoid
arthritis, sendi kecil tangan, pergelangan tangan, kaki, dan lutut yang biasanya meradang
dalam distribusi simetris (mempengaruhi kedua sisi tubuh). Bila hanya satu atau dua
sendi yang radang, diagnosis rheumatoid arthritis akan semakin sulit. Dokter mungkin
akan melakukan tes lainnya yang akan kita diskusi pada gambarberikutnya.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah
segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya
dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini
23
agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam
suatu jangka waktu yang cukup lama.
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan
dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap
berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan
0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30
mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi
akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian.
Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang.
Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter.
Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila
respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.
24
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500
mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah
remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka
panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat
khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek
sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300
mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam
kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular,
dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul
dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu
selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2
minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu
sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering
ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4
bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20
mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis
reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi
berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang
sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat
bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai
25
6. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan
yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada
pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip
replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
27
28
BAB III
Kesimpulan
1. Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun yang proses
patologi utamanya terjadi di cairan sinovial.
2. Penderita Artritis Reumatoid seringkali datang dengan keluhan artritis yang nyata dan
tanda-tanda keradangan sistemik. Baisanya gejala timbul perlahan-lahan seperti lelah,
demam, hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
3. Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian,
namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang
menetap. Selain itu karena penyakit ini bersifat kronis dan sering kambuh, maka penderita
akan mengalami penurunan produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang
timbul menyebabkan gangguan aktivitas fisik, psikologis, dan kualitas hidup menderita.
4. Meskipun prognose untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan tetapi
kesembuhan penyakit sukar tercapai.
5. Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau sedapat
mungkin berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi
adalah meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan
mencegah dan/atau memeperbaiki deformaitas.
29
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Ed.III, hal. 536-539. Jakarta: Media
Aeculapius.
30
Daud. R. dan Adnan H.M., 1996, Artritis Reumatoid Dalam: Noer S. (Editor) Buku Ajar
Penyakit Dalam Jilid I, ed. III. Hal. 62-70. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Howard L. Weiner, Lawrence P. Levitt, 2001, s Saku Neurologi, Edisi V, hal. 232, Jakarta:
EGC.
Michael A. Carter, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 2,
Edisi IV, hal.
Nasution, Artritis Reumatoid, 1996, Aspek III Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S
(Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, ed., hal 29-36. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Peter E. L., 2000,Arthritis Rheumatoid, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, ed
XIII, vol.4, hal 1840-1847, Jakarta:EGC.
Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit
bag 2. Ed. II. Hal 410-441. Jakarta: EGC.
Randall King, MD., 2003, Rheumatoid Arthritis, http://www.emedicine.com
31
32