Вы находитесь на странице: 1из 15

Implementasi Menagemen Berbasis Sekolah (MBS) Dalam Proses Pmebelajaran

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah Menagemen Berbasis Sekolah
yang dibina oleh Bapak Dr. Istamar S, M. Pd dan Bapak Dr.Ibrohim,M.Si

Disusun Oleh:
Ida Purwami (150341806167)

The Learning University

PENDIDIKAN BIOLOGI PROGRAM MAGISTER


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Februari 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah melim-pahkan segala
rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Implementasi MBS Dalam Proses Pembelajaran.
Penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu dalam
penyelesaian makalah ini, baik yang berupa sumbangan pikiran, bimbingan, ide dan motivasi
yang sangat berarti, terutama ditujukan kepada:
1. Bapak Dr. Istamar S, M. Pd, sebagai dosen pembina matakuliah Menagemen Berbasis
Sekolah.
2. Dr.Ibrohim, M.Si, sebagai dosen pembina matakuliah Menagemen Berbasis Sekolah.
3. Rekan-rekan mahasiswa biologi yang telah memberikan bantuan, semangat dan motivasi.
Segala bantuan yang diberikan kepada penulis semoga menjadi amal ibadah dan diridhoi
Allah SWT.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih terdapat kekurangan yang luput dari
koreksi, sekalipun telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan makalah ini.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Terakhir penulis menyampaikan harapan semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.
Malang, Februari 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Repuplik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999 sebagai

landasan

pelimpahan wewenang yang

pelaksanaan

otonomi daerah memiliki makna

luas, nyata, dan bertanggungjawab

adanya

kepada daerah dalam

pemanfaatan sumber daya nasional, secara otomatis membawa nuansa baru dalam sistem
pengelolaan pendidikan. Selanjutnya dikuatkan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003
Pada bagian ketiga, pasal 56 UUSP mengisyaratkan bahwa, (1) Masyarakat berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah,(2)
Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan
mutu,dukungan, dan pengawasan pendidikan di tingkat
Sistem Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu sistem yang menunutut agar
sekolah dapat secara mandiri menggali, mengalokasikan,

menentukan prioritas,

mengendalikan dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada


masyarakat maupun pemerintah. (Mulyasa, 2003)
Pembelajaran berbasis kompetensi menekankan pembelajaran ke arah penciptaan dan
peningkatan serangkaian kemampuan dan potensi siswa agar bisa mengantisipasi tantangan
aneka kehidupannya. Sehingga orientasi pembelajaran yang selama ini lebih ditekankan pada
aspek pengetahuan dan target materi yang cenderung verbalistis berubah menjadi lebih
ditekankan pada aspek kompetensi dan target keterampilan (Mulyasa, E. 2003)..
Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran
merupakan suatu proses sistematis yang dilakukan secara
meningkatkan kualitas proses blajar mengajar dan

terus menerus dalam

faktor-faktor yang berkaitan dengan

pembelajaran, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat tercapai.


Lain halnya dengan sekolah negeri, sekolah swasta yang memang didesain sejak awal
berdirinya dengan sistem MBS, memiliki manajemen yang lebih bebas dengan ditandai
keunggulan komparatif yakni kewiraswastaan dan nonbirokrasi. Sifat kewiraswastaan ini juga
akan mewarnai manajemen sekolah, yakni inovatif dan luwes sedangkan non birokrasi
mempengaruhi munculnya sekolah-sekolah swasta dengan mengesampingkan syarat-syarat
hukum dan teknis dalam pendirian sekolah (Rahardja, 2002).

Keberhasilan pendidikan dengan sistem MBS ini dapat diukur dari

indikator-

indikator yang meliputi: input, proses, output dan outcome. (Engkoswara, 1988: 54).
Pertama, input yaitu diantaranya adalah kualitas guru haruslah profesional dalam
pengembangan ide kreativ itasnya sehingga dapat menunjang mutu pembelajaran. Kedua,
proses pembelajaran, pada umumnya pembelajaran ditekankan pada proses pengajaran oleh
guru (teacher teaching) dibandingkan dengan proses pembelajaran oleh murid (student
learning). Hal ini menyebabkan proses belajar menjadi statis dan beku. Oleh karena itu untuk
memperbaiki mutu pendidikan, upaya pemberdayaan pembelajaran yang difokuskan siswa
belajar menjadi sangat penting. Pemberdayaan yang dimaksud tidak akan meninggalkan
fungsi dan peran guru, sehingga keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran sangat
dibutuhkan. (Rahardja, 200). Ketiga, output, diantaranya adalah masyarakat dan dunia usaha.
Hal ini pula yang menjadi tolok ukur peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena
sekolah yang baik merupakan suatu kebanggaan baik bagi pengelola (yayasan) ataupun bagi
masyarakat sekitar (Mulyasa, 2003). Adapun untuk dunia usaha itu juga merupakan suatu
bukti ada tidaknya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah tersebut, semakin baik dunia
usaha yang dimiliki lulusan sekolah tersebut maka semakin baik juga pula mutu sekolah
tersebut.

Keempat , outcome meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya.

Untuk itu dari uraian diatas penulis mengakaji makalah dengan judul Menegemen Berbasis
Sekolahdalam proses pembelajaran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Manajemen Berbasis Sekolah ?
2. Apakah Faktor pendukung proses Menagemen Berbasis Sekolah ?
3. Bagaimana Implementasi Menagemen Berbasis Sekolah dalam Proses Pembelejaran?
1.3 Tujuan
1. Dapat Mengetahui Apa itu Manajemen Berbasis Sekolah.
2. Dapat Mengetahui Apa Faktor pendukung proses Menagemen Berbasis Sekolah.
3. Dapat Mengetahui Bagaimana Implementasi Menagemen Berbasis Sekolah dalam
Proses Pembelejaran.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Implementasi
Implementasi berarti pelaksanaan atau penerapan (Kamus BesarBahasa Indonesia, 2002:
427). Kata implementasi bermuara pada pengertian suatu aktifitas yaitu adanya reaksi atau
tindakan mekanisme suatu sistem, implementasi bukan suatu aktifitas tetapi suatu kegiatan
yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan norma tertentu untuk
mencapai tujuan kegiatan.
B. Pengertian Implementasi Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen,
berbasis, sekolah. Manajemen berasal dari bahasa Inggris "to manage" yang berarti
mengurus, mengatur, melaksanakan dan mengelola. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
mendefinisikan manajemen sebagai proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan
kata sekolah didefinisikan menjadi dua arti: (a) Bangunan atau lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat untuk menerima dan memberi pelajaran. (b) Waktu atau pertemuan
ketika murid-murid diberi pelajaran (Mulyasa, E. 2003).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau dalam terminologi bahasa Inggris lazim
disebut School Based Management dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal
untuk mengelola penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan
sekolah sebagai unit utama peningkatan kualitas pendidikan (Abu,I & Duhou, 2002: 16).
MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi daerah di bidang
pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungannya yang mengembalikan pengelolaan
manajemen sekolah kepada pihak-Pihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan riel di
sekolah. Desentralisasi persekolahan adalah sebuah proses yang komplek dan dapat
membawa perubahan-perubahan penting tentang cara sistem persekolahan untuk menciptakan
kebijakan, mendapatkan sumberdaya, meng eluarkan dana, melatih guru, menyusun
kurikulum, dan mengelola sekolah-sekolah setempat. Terkait dengan desentralisasi, MBS
dikembangkan untuk membangun sekolah yang berkualitas. Konsep desentralisasi model
MBS mengacu kepada sekolah swa-manajemen (self-managing school), bukan pada
penyelenggaraan

sekolah mandiri (self-governing school).

Sedangkan Depdiknas

merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang
lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang

melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua,
dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional (Mulyasa, 2003).
C. Faktor Pendukung Implementasi Berbasis Sekolah
Menurut

Nurkholis

(2003:264), ada

enam

faktor

pendukung

keberhasilan

implementasi MBS. Keenamnya mencakup: political will, finansial, sumber daya manusia,
budaya sekolah, kepemimpinan, dan keorganisasian. Keberhasilan implementasi MBS di
Indonesia tidak terlepas dari dasar hukum implementasi MBS yang tertuang dalam berbagai
kebijakan pemerintah. Walaupun boleh dikatakan penerapan MBS lebih dahulu terjadi
dibandingkan dengan dasar

hukum pelaksanaannya, namun dukungan yang nyata dari

pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan menjadi dasar bagi sekolah untuk
lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku. Salah satu contoh dukungan pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya
panduan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Aspek finansial atau
keuangan merupakan faktor penting bagi sekolah dalam mengimplementasikan MBS. Kalau
mencemati perjalanan implementasi MBS di Indonesia, perhatian pemerintah dari aspek
finansial dalam mendukung implementasi MBS di Indonesia baru dirasakan secara langsung
melalui pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Tetapi, cukupkah keuangan
BOS tersebut bagi implementasi MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah?
Tentu saja tidak cukup, karena BOS hanya bantuan minimal bagi sekolah. Oleh karena itu,
dukungan finansial dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk percepatan peningkatan
pendidikan di sekolah melalui MBS.
Mulai Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2007 ini, implementasi MBS mendapatkan
dukungan dari lembaga-lembaga donor internasional dan negara-negara tetangga, di
antaranya adalah Unesco, New Zealand Aid, Asian Development Bank, USAID, dan
AusAID. Yang paling menyedihkan adalah banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang
setiap tahunnya memberikan laporan keuntungan yang sangat besar, tetapi kontribusinya
terhadap pendidikan masih sangat rendah. Di

samping itu, walaupun UUD 1945 yang

diamandemen mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan


anggaran pendidikan sebesar 20%, namun dalam prakteknya masih sangat sulit diterapkan.
Jika dukungan pemerintah melalui alokasi anggaran pendidikan 20% dipenuhi, sebagian
dana pendidikan tersebut dapat digunakan untuk mendukung kesuksesan implementasi MBS.

Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung
keberhasilan implementasi MBS. Ketersedian sumber daya manusia

yang mendukung

implementasi MBS belum cukup. Mengapa demikian? Karena MBS merupakan hal yang
baru dan hanya

sebagian orang yang mempunyai keahlian

dan keterampilan dalam

mendukung implementasi MBS. Oleh karena itu, dukungan untuk on the job training, atau
in service training dalam kerangka peningkatan pengetahuan dan kemampuan tentang MBS
perlu dilakukan.
Faktor budaya sekolah rata-rata belum bisa mendukung kesuksesan implementasi
MBS. Perubahan dari budaya sekolah yang telah lama terbentuk

dengan manajemen

pendidikan yang sent ralistik menuju manajemen pendidikan yang sentralistik masih sulit
dilaksanakan. Budaya yang hanya melaksanakan apa yang ditetapkan pusat masih melekat
pada sebagian besar sekolah. Masih banyak warga sekolah yang tidak perduli terhadap
kemajuan sekolahnya. Oleh karena itu, perlu dibangun budaya sekolah yang mendukung
implementasi MBS, seperti budaya untuk maju, bekerja keras, inovatif, dan sebagainya untuk
mencapai peningkatan mutu sekolah.
Kepemimpinan dan organisasi yang efektif merupakan faktor penting lainnya untuk
keberhasilan implementasi MBS. Kepemimpinan yang efektif tercapai apabila kepala sekolah
memiliki kemampuan profesional di bidangnya, memiliki bakat atau sifat, serta memahami
kondisi lingkungan sekolah dalam menerapkan kepemimpinannya. Kepala sekolah yang
efektif adalah kepala sekolah yang mampu berperan sebagai educator, manajer, administrator,
supervisor, leader, innovator dan motivator. Di samping itu, sekolah sebagai organisasi harus
diubah dan dikembangkan. Perubahan dan pengembangan organisasi sekolah harus diawali
dari perubahan individu dan lingkungan kerja secara bertahap, sehingga perubahan sekolah
akan berjalan baik apabila perubahan organisasi itu berdampak pada perbaikan kehidupan
para guru dan stafnya.
D. Implementasi Menagemen Berbasis Sekolah Dalam Proses Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran tenaga pendidik merupakan faktor penting dalam
implementasi Menagemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Menurut Undang-undang RI nomor 20 TAHUN 2003, Tenaga Pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya,
serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai

hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian


dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada

perguruan tinggi.

Mengingat peran yang diembannya, pendidik berkewajiaban menciptakan suasana


pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. Ia mempunyai
komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, memberi teladan dan
menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang
diberikan kepadanya.
Sebagai seorang profesional, pendidik memiliki ciri-ciri seperti yang dikembangkan
oleh Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (1991).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Memiliki fungsi dan signifikansi sosial.


Memiliki keahlian dan keterampilan tingkat tertentu.
Memperoleh keahlian dan keterampilan melalui metode ilmiah.
Memiliki disiplin ilmu.
Memiliki latar pendidikan perguruan tinggi.
Memiliki etika profesi yang dikontrol organisasi profesi.
Bebas memutuskan sendiri dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan

pekerjaannya.
8. Mempunyai nilai sosial di masyarakat.
9. Berhak mendapatkan imbalan yang layak.
Dalam mencapai usaha optimal tujuan pendidikan, peran guru dan kinerjanya
merupakan hal yang sangat penting. Secara ideal seorang pendidik diharapkan memiliki
nilai-nilai kinerja positif seperti: prestasi kerja, rasa tanggung jawab, ketaatan, kejujuran,
kerjasama, prakarsa, dan kepemimpinan. Hal-hal tersebut merupakan indikator kinerja
seorang pendidik, selain latar belakang akademik dan keterampilan khusus yang dimilikinya.
Untuk itu, segala upaya untuk memacu kinerja pendidik agar menjadi profesional akan sangat
dipengaruhi oleh keterlaksanaan MBS, misalnya dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan
sarana dan prasarana pendidikan yang memperlancar tugas guru, perancangan proses belajar
mengajar yang memacu metode kerja guru semakin kreatif, meningkatkan kemampuan
akademik guru melalui program in job training sehingga mamacu kemampuan sumber daya
manusia kependidikan, serta meningkatkan motivasi dan gairah kerja guru sehingga
bermanfaat dalam proses pembelajaran dan meningkatkan mutu pendidikan.
Pada dasarnya upaya memberdayakan kinerja tenaga pendidik dalam konteks MBS
adalah melalui koodinasi dan komunikasi. Koordinasi yang dilakukan kepala sekolah dengan
para guru dan masyarakat dapat secara

vertikal, horisontal, fungsional dan diagonal.

Koordinasi dapat juga dilakukan secara internal dan eksternal, dan secara terus menerus

sebagai langkah konsolidasi dalam memperkuat kelembagaan

untuk mencapai tujuan.

Contohnya, mengadakan pertemuan informal dengan para pejabat, mengadakan rapat baik
rapat koordinasi antara kepala sekolah dengan guru, dengan komite sekolah, maupun dengan
orangtua siswa.
Ada tiga kegiatan penting yang diperlukan pendidik untuk meningkatkan kualitas
sehingga dapat meningkatkan pangkatnya sampai pada jenjang

kepangkatan tertinggi.

Pertama, memperbanyak tukar pikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman
mengembangkan

materi pembelajaran dan berinteraksi

dengan peserta didik. Tukar

informasi ini bisa dilakukan melalui KKG dan kegiatan ilmiah dengan topik bersifat aplikatif.
Kedua , melakukan penelitian misalnya melalui Penelitian Tindakan (Action Research) dan
sosialisasi

hasil

penelitian

dalam

pertemuan

ilmiah.

Ketiga,

membiasakan

diri

mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukan melalui media cetak agar dapat diakses
secara luas (Fattah, 2004).
Manajemen siswa berbasis sekolah adalah pengaturan siswa yang meliputi kegiatan
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan siswa
di sekolah dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis
sekolah. Tujuan manajemen siswa adalah mengatur kegiatan siswa agar menunjang proses
belajar mengajar di sekolah dalam pencapaian tujuan sekolah dan tujuan pendidikan yang
optimal. Fungsi manajemen siswa adalah sebagai wahana untuk mengembangkan siswa
secara optimal, baik secara individu maupun sosial, sesuai dengan potensi dan/atau
kebutuhan khusus. Menurut Dirjen Dikdas (2013), ruang lingkup kegiatan manajemen siswa
berbasis sekolah meliputi penerimaan siswa baru, pengenalan atau masa orientasi siswa baru,
penempatan siswa, pelayanan minat dan bakat, pembinaan disiplin, penelusuran alumni,
layanan khusus siswa, dan penatalaksanaan siswa.
Berikut ini adalah rincian dari kegiatan manajemen siswa berbasis sekolah menurut
Dirjen Dikdas (2013).
1. Penerimaan siswa baru dilakukan dengan memperhatikan daya tampung dan besarnya
kelas. Kebijakan sekolah untuk menetapkan jumlah siswa yang diterima mengacu pada
peraturan yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Minimal (SPM). Contohnya adalah
SPM untuk jenjang pendidikan dasar yang memiliki ketentuan bahwa rasio siswa per
kelas sebesar 1:32.
2. Kegiatan-kegiatan masa orientasi siswa baru dilaksanakan dengan suasana yang
menyenangkan sehingga siswa mendapat kesan pertama bahwa sekolah itu tidak
menakutkan, atau dengan kegiatan yang mengarah pada dreaming school.

3. Penempatan siswa didasarkan pada asumsi bahwa siswa memiliki kesamaan sekaligus
perbedaan antara satu dengan lainnya, atau dengan kata lain setiap siswa memiliki
keunikan. Penempatan dalam hal ini bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada
siswa dengan latar belakang keunikannya, melalui pelayanan kelompok, pelayanan
individual, atau pelayanan klasikal.
4. Pelayanan dan pembinaan minat bakat siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler. Siswa
diberi keleluasaan untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler yang diprogramkan di sekolah
sesuai dengan bakat dan minatnya. Jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler yang bisa
dilaksanakan antara lain pramuka, olahraga, kesenian, bela diri, dll sesuai dengan potensi
sumber daya yang dimiliki sekolah. Dalam pelayanan kegiatan ekstrakurikuler, sekolah
perlu memiliki dokumen program pembinaan ekstrakurikuler. Pentingnya kegiatan
ekstrakurikuler juga didukung oleh Mulyasa (2007) yang menyatakan bahwa kepala
sekolah harus memiliki kemampuan membimbing siswa dalam hal kegiatan
intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, termasuk mendorong partisipasi siswa dalam
berbagai perlombaan kesenian, olahraga, dan perlombaan mata pelajaran.
5. Pembinaan disiplin mengharuskan pihak sekolah untuk mengenalkan tentang hak dan
kewajiban siswa sejak masa orientasi siswa baru. Kegiatan perumusan tata tertib sekolah,
tata tertib kelas, peraturan akademik, dan kode etik sekolah dilaksanakan secara
partisipatif antara sekolah, orang tua siswa atau pengurus komite sekolah, dan
melibatkan siswa atau perwakilan dari siswa.
6. Penelusuran alumni bertujuan untuk membina siswa agar cinta almamater dan
memberikan pengarahan kepada siswa ketika akan melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
7. Layanan khusus di sekolah adalah penataan semua sumber daya dalam rangka
penyelenggaraan layanan secara khusus guna mencapai tujuan lembaga/sekolah secara
lebih optimal. Jenis-jenis layanan khusus yang dapat diselenggarakan sekolah meliputi
bimbingan konseling, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), gemar membaca di
perpustakaan, pelayanan penggunaan laboratorium, pembinaan jiwa enterpreneurship
melalui koperasi sekolah dan/atau kafetaria sekolah, penyediaan transportasi sekolah,
pembiasan 7K (keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan, kekeluargaan, kesehatan
dan kerindangan), dan pelayanan pelajaran tambahan bagi siswa yang memerlukan
pelayanan tambahan atau pengayaan.
8. Penatalaksanaan siswa terdiri atas buku induk, buku klaper, buku daftar hadir, buku
agenda kelas, buku nilai, daftar keadaan siswa, laporan kenaikan kelas/kelulusan, dan
daftar calon peserta ujian akhir.

Semua sekolah memerlukan kepala sekolah yang dapat menerapkan perannya sebagai
pemimpin dalam pembelajaran dan mampu memastikan kualitas pembelajaran. Oleh karena
itu, kepala sekolah perlu meluangkan waktu untuk mengobservasi langsung proses
pembelajaran di dalam kelas, di samping juga menyeimbangkan kebutuhan lain seperti
keamanan siswa dan hubungan dengan orang tua siswa. Kepala sekolah juga perlu
melindungi dan mengamankan jam belajar dengan cara mengurangi kebisingan di sekolah,
misalnya dengan membatasi penggunaan pengeras suara untuk pengumuman-pengumuman
yang kurang penting dan mengatur jadwal pembersihan atau pemeliharaan bangunan sekolah
agar tidak mengganggu kegiatan belajar (Stronge, dkk. 2013).
Pidarta (1988) menjelaskan bahwa kepala sekolah perlu memberdayakan penggunaan
laboratorium, misalnya menyediakan waktu khusus yang terjadwal untuk pelajaran-pelajaran
dalam laboratorium. Kepala sekolah juga perlu memperbanyak sumber belajar di lingkungan
sekolah, termasuk bahan-bahan cetakan. Hal ini membutuhkan kreativitas kepala sekolah
dalam melakukan pendekatan kepada pihak-pihak yang mungkin dapat membantu jika
sekolah tidak memiliki dana untuk membelinya, misalnya kerja sama dengan lembaga lain,
toko buku, penerbit, dan warga masyarakat dalam usaha pengadaan buku. Kepala sekolah
bisa juga membuat suatu kebijakan agar siswa yang telah lulus wajib menyumbangkan satu
atau beberapa buku pelajaran.
Dirjen Dikdas (2013) menjelaskan bahwa lingkungan kelas sangat berperan dalam
menciptakan suasana yang mendorong siswa untuk belajar. Penataan lingkungan kelas bisa
berupa pengaturan meja-kursi/bangku siswa, penataan sumber dan alat bantu belajar,
penataan pajangan hasil karya siswa, dan penyediaan sudut baca.
1. Pengaturan meja-kursi/bangku
Penataan meja-kursi siswa paling sedikit memenuhi 4 hal, yaitu: a) mobilitas, artinya
memudahkan siswa untuk bergerak dari satu pojok ke pojok lain, b) aksesibilitas, artinya
memudahkan siswa mengakses sumber dan alat bantu belajar, c) interaksi, artinya
memudahkan siswa untuk berinteraksi dengan sesama teman dan gurunya, dan d) variasi
kegiatan, artinya memudahkan siswa melakukan berbagai kegiatan yang beragam,
misalnya berdiskusi, melakukan percobaan, dan presentasi. Pengaturan mejakursi/bangku siswa dalam bentuk kelompok atau berbentuk huruf U dapat memenuhi
beberapa hal di atas.
2. Penataan sumber dan alat bantu belajar

Penataan sumber dan alat bantu belajar hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga
sumber belajar mudah diakses oleh siswa maupun guru, misalnya penempatan alat bantu
belajar di tengah ruangan memungkinkan semua siswa memiliki jarak yang relatif sama
dalam mengaksesnya daripada alat tersebut ditempatkan di salah satu pojok ruangan.
3. Penataan pajangan hasil karya siswa
Penataan pajangan hasil karya siswa selain perlu memenuhi aspek estetika
(keindahan) juga perlu diatur sedemikian rupa sesuai kondisi siswa sehingga berada
dalam jangkauan pandang/sentuh siswa agar mereka benar-benar memperoleh manfaat
dari pemajangan hasil karya tersebut. Karya siswa sebagai perolehan belajar yang baik
dapat dipajang di dalam ruang kelas. Pajangan ini dapat dilihat langsung oleh semua
siswa. Bentuknya bisa karya dua atau tiga dimensi. Pajangan mencerminkan upaya yang
dilakukan

guru

dalam

merencanakan

dan

melaksanakan

pembelajaran

serta

menggambarkan penguasaan siswa terhadap kompetensi yang diharapkan. Pajangan


diganti secara reguler setiap 1-2 minggu sekali atau setiap selesai satu tema. Pajangan
dapat menjadi alat pemantau efektivitas proses pembelajaran. Dari sisi siswa, pajangan
berfungsi sebagai MASUK
a. Motivasi siswa agar senantiasa berkarya
b. Alat bantu belajar
c. Sumber belajar bagi siswa
d. Umpan balik/penghargaan kepada siswa yang berhasil membuat karya
e. Kompetitif
4. Peningkatan minat baca siswa
Salah satu tujuan program MBS adalah untuk meningkatkan minat siswa dalam
membaca atau menciptakan budaya baca. Beberapa hal yang perlu dilakukan di sekolah
untuk mencapai tujuan ini adalah sebagai berikut.
a. Perpustakaan sekolah dikelola untuk menciptakan suasana yang mendorong siswa
untuk membaca.
b. Sudut baca dibuat di ruang kelas supaya buku mudah dijangkau.
c. Jumlah buku ditambah, baik dari sumbangan siswa dan masyarakat, maupun dibeli
dengan dana BOS.
Jam membaca diterapkan di kelas atau sekaligus di seluruh sekolah supaya siswa dibiasakan
untuk membaca

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai bentuk reformasi pendidikan menuntut
adanya dukungan dan aspirasi dari pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan
lainnya. Reformasi pendidikan muncul karena adanya ketidakpuasan dalam penyelenggaraan
pendidikan dan hasil yang dicapai.Kajian tentang implementasi manajemen berbasis sekolah
memberikan gambaran keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam bidang
pendidikan. Pendidik merupakan faktor pendukung dalam proses pembelajaran sehingga
dapat meningkatkan mutu pendidikan.
B. Saran
Penulis menyadari dalam makalah ini masih terdapat kekurangan yang luput dari
koreksi, sekalipun telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan makalah ini.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Terakhir penulis menyampaikan harapan semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Abu, Ibtisan & Duhou. (2002). School-Based Management. Paris: United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization.
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. (2003). Implemntasi Manajemen Berbasis
Sekolah di Jawa Barat. Bandung: CV. Parahyangan Lestari.

Fattah, N. (2004). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan


Sekolah. Bandung: Pustaka
Gumelar, A. & Dahyat, Tjep. (2002). Kapita Selekta MBS: Pengelolaan Pendidikan
yang Profesional Berwawasan Masa Depan, Relevan dan Lebih Bermutu. Bandung: CV
Gatar Karya Prima.
Mulyasa, E. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, Dan
Implementasi. Bandung. Remaja Rosdakarta.
Nurkolis. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi.
Jakarta: PT Grasindo.
Permadi, D. (2001). Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Kepala
Sekolah: Strategi Baru Dalam Rangka Peningkatan Sekolah Yang Bermutu. Bandung: PT
Sarana Panca Karya Nusa.

Вам также может понравиться