Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas karsinoma yang
berasal dari epitel nasofaring. Gejala utamanya adalah pada hidung dan
telinga (Munir, 2010). Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa
Rosenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak
(Munir, 2010; Butler, et al., 2011).

Gambar 1. Fossa Rosenmuller, tempat predileksi KNF


(Sumber: Butler, et al., 2011, Applied Radiological Anatomy)

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel


yang melapisi nasofaring. Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai
tumor Kanton. Nasofaring terletak di antara basis kranial dan palatum
mole, menghubungkan rongga hidung dan orofaring menyerupai sebuah
kubus yang tidak beraturan (Desen dan Japaries, 2011). Nasofaring terletak
di belakang cavitas nasi, di atas palatum mole dan berhubungan dengan
cavitas nasi melalui choanaes nasal. Dihubungkan dengan kavum timpani
melalui tuba auditiva (eustachian), yang membuat seimbang tekanan udara
pada kedua sisi membran timpani (Chung dan Chung, 2013).

Gambar 2. Nasofaring
(Sumber: Ellis, H., 2006, Clinical Anatomy)

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan


leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (Roezin dan Adham, 2007,
dalam Soepardi, dkk., 2010).

Gambar 3. Karsinoma Nasofaring (tanda panah)


(Sumber : Bull, Color Atlas of ENT Diagnosis, 2003)

Gambar 4. Karsinoma nasofaring


(Sumber: google.com)

Sel kanker nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat


keganasan tinggi. Para ahli RRC menganjurkan penggunaan serentak
klasifikasi histologik yang ditetapkan WHO tahun 1991 dan klasifikasi
Standar diagnosis terapi kanker nasofaring dari China. Perbandingan
klasifikasi dari karsinoma nasofaring dapat dilihat pada tabel berikut ini
(Desen dan Japaries, 2011):
Standar diagnosis dan terapi
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi baik
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi

Klasifikasi WHO
Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
Karsinoma nonkeratinisasi

sedang
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi buruk
Karsinoma sel inti vesikular
Karsinoma tak berdiferensiasi

berdiferensiasi
Karsinoma tak berdiferensiasi

B. Epidemiologi
Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya
menyerang usia 30 60 tahun, menduduki 75 90%. Proporsi pria dan

wanita 2-3,8 : 1 (Desen dan Japaries, 2011). Ras Mongoloid merupakan


faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup
tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura dan Indonesia (Roezin dan Adham, 2007, dalam
Soepardi, dkk., 2010). Dari ketiga ras besar di dunia, sebagian ras
Mongoloid merupakan kelompok insiden tinggi kanker nasofaring, di
antaranya mencakup orang China di kawasan Selatan China dan di wilayah
Asia Tenggara, orang Thailand, orang Singapura, dan orang Eskimo di
Amerika Utara, dengan insiden tertinggi pada orang China (Desen dan
Japaries, 2011).
Kanker nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika,
maupun Oseania. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5
10/100.000 penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai negara
Asia Tenggara dan China (Desen dan Japaries, 2011).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
ditemukan pada daerah kepala dan leher di Indonesia. Angka kejadian
kanker

nasofaring

(KNF)

di

Indonesia

cukup

tinggi,

yaitu

4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk. KNF menduduki urutan keempat dari


seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara, dan kulit (Munir,
2010). Di Indonesia frekuensi pasien karsinoma nasofaring hampir merata
di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung ratarata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus
setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi (Roezin dan
Adham, 2007, dalam Soepardi, dkk., 2010).
Karsinoma nasofaring lebih banyak dijumpai pada pria daripada
wanita dengan perbandingan 2-3 pria berbanding 1 wanita, dan banyak
dijumpai pada usia produktif, yaitu 40 60 tahun (Erfinawati, dkk., 2014).
C. Etiologi
Terjadinya

kanker

nasofaring

mungkin

multifaktorial,

proses

karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin


terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah:

1. Kerentanan genetik
Kerentanan terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial.
Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen)
dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan
adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring. Penelitian genetika
molekular dan biologi molekular mutakhir menemukan, kanker
nasofaring menunjukkan frekuensi tinggi kehilangan heterozigositas
kromosom terutama pada 1p, 3p, 9p, 9q, 11q, 13q, 14q, 16q, dan 16p
(Desen dan Japaries, 2011).
2. Virus Epstein-Barr (EB)
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaing
didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi. Virus ini bukan satusatunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis
kelamin,

genetik,

pekerjaan,

lingkungan,

kebiasaan

hidup,

kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman, atau parasit (Roezin dan


Adham, 2007, dalam Soepardi, dkk., 2010).
Virus EB memiliki kaitan erat dengan kanker nasofaring, alasannya
adalah (Desen dan Japaries, 2011):
a. Di dalam serum pasien kanker nasofaring ditemukan antibodi
terkait virus EB, dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer
geometriknya lebih tinggi dibandingkan orang normal dan
penderita kanker jenis lain, dan titernya berkaitan positif dengan
tumor.
b. Di dalam sel kanker nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus
EB seperti DNA virus dan EBNA.
c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel
mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut
tumbuh lebih cepat.
d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat kasinogen tertentu
dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan
mukosa nasofaring.

3. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,
asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau
bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas
(Roezin dan Adham, 2007, dalam Soepardi, dkk., 2010).
D. Manifestasi Klinis
Menurut Roezin dan Adham (2007), gejala karsinoma nasofaring
dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu:
1. Gejala nasofaring
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau
perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada
sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih
terdapat di bawah mukosa (creeping tumor). Menurut Herawati dan
Rukmini (2003), karsinoma nasofaring menimbulkan gejala hidung
berupa pilek dari satu atau kedua lubang hidung yang terus menerus.
Lendir dapat bercampur darah atau nanah yang berbau. Epistaksis
dapat sedikit atau banyak dan berulang.
Sekitar 70% pasien mengalami epistaksis. Sewaktu menghisap dengan
kuat sekret dari rongga hidung atau nasofaring, bagian dorsal palatum
mole bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah
di permukaan tumor robek dan menimbulkan epistaksis (Desen dan
Japaries, 2011).
Hidung tersumbat sering hanya sebelah dan secara progresif
bertambah hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung
posterior, insiden sekitar 48% (Desen dan Japaries, 2011).
2. Gejala telinga
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller).
Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai
rasa nyeri di telinga (otalgia).
Tinitus dan pendengaran menurun disebabkan oleh tumor di resesus
faringeus dan dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba
eustachius menyebabkan tekanan negatif di dalam kavum timpani,

hingga terjadi otitis media transudatif. Menurunnya kemampuan


pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh
di dalam telinga.
3. Gejala mata dan saraf
Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V,
sehingga tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih
dahulu ke dokter mata. Menurut Desen dan Japaries (2011), gangguan
saraf tersebut bermanifestasi ptosis, paralisis otot mata, neuralgia
trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi meningen (sindroma
fisura sfenoidal). Jika mengenai nervus VI, dapat terjadi diplopia dan
strabismus. Jika mengenai nervus V, terjadi neuralgia trigeminal
dengan gejala nyeri kepala hebat pada daerah muka, sekitar mata,
hidung, rahang atas, rahang bawah, dan lidah (Herawati dan Rukmini,
2003).
Proses karsinoma lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering
disebut dengan sindrom Jackson. Sindrom Jackson adalah gangguan
nervus X, XI dan XII yang menyebabkan paralisis homolateral faring,
palatum mole, lidah dan otot-otot leher (sternomastoid, trapezius)
(Maqbool, 2013). Paresis palatum mole, faring dan laring dengan
gejala regurgitasi makanan-minuman ke kavum nasi, rinolalia aperta
(sengau), dan suara parau. Jika mengenai nervus XII terjadi deviasi
lidah ke samping atau gangguan menelan (Herawati dan Rukmini,
2003). Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom
unilateral dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan
bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk.
4. Metastasis atau gejala leher
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat
keluhan lain. Sekitar 40% pasien datang dengan gejala pertama

10

pembesaran kelenjar limfe leher, pada waktu diagnosis ditegakkan,


sekitar 60-80% sudah terdapat metastasis kelenjar leher. Lokasi tipikal
metastasisnya adalah kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup
otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri (Desen dan
Japaries, 2011).

Gambar 5. Metastasis KNF ke Kelenjar Limfe Leher


(Sumber : Bull, Color Atlas of ENT Diagnosis, 2003)

Karena 95% lebih sel kanker nasofaring berdiferensiasi buruk, dengan


derajat keganasan tinggi, waktu diagnosis ditegakkan, 4,2% kasus
sudah menderita metastasis jauh. Lokasi metastasis paling sering ke
tulang, paru, hati. Metastasis tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga
dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis tulang adalah nyeri
kontinu dan nyeri tekan setempat, lokasinya tetap, tidak berubah-ubah
dan secara bertahap bertambah hebat (Desen dan Japaries, 2011).

11

Gambar 6. Gejala Karsinoma Nasofaring


(Sumber : Bull, Color Atlas of ENT Diagnosis, 2003)

Pada karsinoma nasofaring perlu diketahui adanya gejala dini dan


gejala lanjut. Gejala dini dijumpai tumor masih dalam batas-batas
nasofaring, jadi berupa gejala setempat yang disebabkan oleh tumor primer
(gejala hidung dan gejala telinga). Gejala lanjut didapat saat tumor telah
tumbuh melewati batas nasofaring, baik berupa metastasis ataupun infiltrasi
dari tumor. Adanya tumor ganas nasofaring jika dijumpai TRIAS (Herawati
dan Rukmini, 2003):
1. Tumor colli (pembesaran kelenjar leher), gejala telinga, gejala hidung
2. Tumor colli, gejala intrakranial (saraf dan mata), gejala hidung atau
telinga
3. Gejala intrakranial, gejala hidung, gejala telinga.
E. Diagnosis
Efektivitas terapi kanker nasofaring terletak pada diagnosis dini, terapi
dini. Karena beberapa alasan menyebabkan diagnosis dini kanker nasofaring
sulit dicapai, antara lain (Desen dan Japaries, 2011):
1. Lokasi tumbuhnya tersembunyi
2. Pada stadium dini tanpa gejala spesifik
3. Sebagian pasien stadium lanjut pun tidak menunjukkan gejala telinga
hidung
4. Kelalaian dokter penerima konsultasi pertama.
Maka untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut
(Desen dan Japaries, 2011):
1. Tingkatkan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien
Pasien dengan epistaksis, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan
kausa tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga
nasofaringnya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan rantai vena transversalis koli apakah terdapat
pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat
sesuai prosedur rutin satu per satu, tapi pada kecurigaan paralisis otot

12

mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa


berulang kali barulah ditemukan hasil positif.
4. Pemeriksaan serologi virus EB
Parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring
adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Bagi yang termasuk salah
satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi kanker
nasofaring:
a. Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
b. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua
di antara tiga indikator tersebut positif
c. Dari tiga indikator pemeriksaan di atas, salah satu menunjukkan
titer yang tinggi kontinu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut, harus diperiksa teliti
dengan nasofaringoskop elektrik, bila perlu dilakukan biopsi.
5. Diagnosis pencitraan
a. Pemeriksaan CT
Makna klinis aplikasinya adalah:
1) Membantu diagnosis
2) Memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat
3) Secara tepat menetapkan zona target terapi, merancang
medan radiasi
4) Memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan
pemeriksaan tindak lanjut
b. Pemeriksaan MRI
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal,
sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas
memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga
dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang.
c. Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis
ke tulang, lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa atau CT,
umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen. Setelah
dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai akumulasi
radioaktivitas; sebagian kecil tampak sebagai area defek
radioaktivitas. Bone scan sangat sensitif untuk metastasis tulang,

13

namun tidak spesifik. Maka dalam menilai lesi tunggal


akumulasi radioaktivitas harus memperhatikan riwayat penyakit,
menyingkirkan

rudapaksa

operasi,

fraktur,

deformitas

degeneratif tulang, pengaruh radioterapi, kemoterapi, dll.


d. PET (positron emission tomography)
Memberikan informasi gambaran biologis, membantu penentuan
area target biologis kanker nasofaring, meningkatkan akurasi
radioterapi, sehingga efektivitas meningkat dan rudapaksa
radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
6. Diagnosis histologi
Pada pasien kanker nasofaring, sedapat mungkin diperoleh
jaringan dari lesi primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik.
Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis histologi yang jelas.
Hanya jika lesi primer tidak dapat memberikan diagnosis patologik
pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher (Desen dan
Japaries, 2011).
F. Stadium
Menurut Roezin dan Adham (2007), untuk penentuan stadium
karsinoma nasofaring dipakai sistem TNM menurut UICC (2002), yaitu:
T = Tumor primer
Stadium
T0
T1
T2
T2a

Tidak tampak tumor


Tumor terbatas di nasofaring
Tumor meluas ke jaringan lunak
Perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa

T2b
T3
T4

perluasan ke parafaring
Disertai perluasan ke parafaring
Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal
Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa intratemporal, hipofaring,
orbita atau ruang mastikor

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional


Stadium
Nx
N0
N1

Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai


Tidak ada pembesaran
Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran

14

terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa


N2

supraklavikula
Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa

N3

supraklavikula
Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih

N3a
N3b

besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula


Ukuran lebih dari 6 cm
Di dalam fossa supraklavikula

M = Metastasis jauh
Stadium
Mx
M0
M1

Metastasis jauh tidak dapat dinilai


Tidak ada metastasis jauh
Terdapat metastasis jauh

Penggolongan stadium klinis karsinoma nasofaring berdasarkan TNM


dapat dilihat pada tabel berikut ini (Roezin dan Adham, 2010, dalam
Soepardi, dkk., 2010):
Stadium
Stadium 0
Stadium I
Stadium IIA
Stadium IIB
Stadium III
Stadium Iva
Stadium Ivb
Stadium Ivc

T
T0
T1
T2a
T1
T2a
T2b
T1
T2a, T2b
T3
T4
Semua T
Semua T

N
N0
N0
N0
N1
N1
N0, N1
N2
N2
N2
N0, N1, N2
N3
Semua N

M
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1

G. Tatalaksana
Terapi terhadap kanker nasofaring berprinsip pada individualisasi dan
tingkat keparahan. Pasien stadium I atau II dengan radioterapi eksternal
ditambah brakiterapi kavum nasofaring, pasien stadium III atau IV dengan
kombinasi radioterapi dan kemoterapi, pasien dengan metastasis jauh harus
bertumpu pada kemoterapi dan radioterapi paliatif (Desen dan Japaries,
2011). Beberapa terapi untuk karsinoma nasofaring, yaitu:

15

1. Radioterapi
Radioterapi merupakan metode terapi paling utama. tapi untuk
sebagian kecil pasien stadium agak lanjut, kombinasi kemoterapi
dapat meningkatkan efektivitas terapi. Sumber radiasi menggunakan
radiasi Co-60, radiasi energi tinggi atau radiasi X energi tinggi
dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrumm
dibantu brakiterapu intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi
stereotaktik (Desen dan Japaries, 20110. Pengobatan tambahan yang
diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan,
sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan
(tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik
sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti
(Roezin dan Adham, 2007, dalam Soepardi, dkk., 2010).
Lingkup radiasi mencakup lesi primer nasofaring, area sekitar yang
mungkin terinfiltrasi, area drainase limfatik nasofaring. Dosis radiasi:
dosis iradiasi nasofaring 66-70 Gy/33-35 kali/6,5-7 minggu; bagi
pasien dengan kelenjar limfe leher positif diberikan dosis kuratif 60
70/30-35 kali/6-7 minggu; pasien dengan kelenjar limfe leher negatif
diberi dosis preventif 50-56 Gy/25-28 kali/5-5,5 minggu.
Reaksi radiasi berupa reaksi sistemik atau lokal akibat radiasi yang
bersifat temporer dan reversibel. Manifestasi sistemik berupa
insomnia,

pusing,

fatig,

mual,

muntah,

dispepsia,

kelainan

pengecapan, dll. Reaksi lokal terutama berupa reaksi akut kulit,


mukosa rongga mulut dan kelenjar parotis, derajat reaksi berkaitan
dengan metode fraksionasi radiasi, lokasi dan luas permukaan iradiasi.
Rudapaksa radiasi adalah rudapaksa permanen ireversibel pada
jaringan organ akibat paparan radiasi. Misalnya, rudapaksa radiasi
kelenjar parotis, otitis media radiasi, artritis mandibular radiasi,
osteomielitis mandibular radiasi, karies radiasi, hipofungsi hipofiseal
radiasi, rudapaksa nervus oftalmikus radiasi, rudapaksa medula

16

spinalis radiasi, atrofi kulit dan fibrosis muskular daerah leher akibat
radiasi (Desen dan Japaries, 2011).
2. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvan dan
kemoterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai
adalah: PF (DDP + 5FU), karboplatin + 5FU, paklitaksel + DDP,
paklitaksel + DDP (cisplatin) + 5FU (5-fluorouracil) dan DDP +
gemsitabin, dll.
a. DDP

: 80-100 mg/m2 iv drip hari pertama (mulai sehari

sebelum kemoterapi, lakukan hidrasi 3 hari)


5FU : 800 1000 mg/m2/d iv drip, hari ke 1 5 lakukan infus
kontinu intravena
Ulangi setiap 21 hari.
b. Karboplatin : 300 mg/m2 atau AUC = 6 iv drip, hari pertama
5FU
: 800-1000 mg/m2/d, iv drip, har ke 1-5 infus
intravena kontinu
Ulangi setiap 21 hari.
3. Terapi bedah
Dalam kondisi berikut ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi
(Desen dan Japaries, 2011):
a. Residif lokal nasofaring

pasca

radioterapi,

lesi

relatif

terlokalisasi
b. Tiga bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer
nasofaring
c. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar
limfe leher
d. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti
karsinoma skuamosa grade I, II, adenokarsinoma.
e. Komplikasi radiasi (misal, parasinusitis radiasi, ulkus radiasi).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau
timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologi, serta tidak ditemukan adanya metastasis jauh
(Roezin dan Adham, 2007, dalam Soepardi, dkk., 2010).
4. Terapi rehabilitatif

17

a. Terapi psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa
penyakitnya berpeluang untuk disembuhkan, upayakan agar
pasien secepatnya pulith dari situasi emosi depresi (Desen dan
Japaries, 2011).
b. Rehabilitasi fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterapi dan terapi lain, pasien
biasanya merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih,
daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi,
berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan
ketahanan meningkat secara bertahap (Desen dan Japaries,
2011).
H. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggi di daerah
dengan risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan
risiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang
salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang
timbul dari bahan-bahan yang berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan
hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai
hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA-anti EA secara massal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini (Roezin dan Adham, 2007, dalam Soepardi,
dkk., 2010).
I. Prognosis
Prognosis

dari

karsinoma

nasofaring

buruk,

dengan

angka

kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 30%. Hal ini berkaitan erat dengan
diagnosis yang terlambat. Diagnosis dini dari gejala dan tanda awal yang
muncul dibutuhkan untuk prognosis yang baik (Bull, 2003). Prognosis pada
stadium dini baik, penderita dapat hidup lebih dari 5 tahun, tetapi pada
stadium lanjut kurang dari 3 tahun (Herawati dan Rukmini, 2003).

18

Karsinoma nasofaring mempunyai risiko terjadinya rekurensi, dan


follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang
dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun.
Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi
(Roezin dan Adham, 2007, dalam Soepardi, dkk., 2010).

Вам также может понравиться

  • Dehidrasi PDF
    Dehidrasi PDF
    Документ4 страницы
    Dehidrasi PDF
    Riska Harfiany
    Оценок пока нет
  • Krisis Hipertensi
    Krisis Hipertensi
    Документ21 страница
    Krisis Hipertensi
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Nefropati IgA Idiopatik
    Nefropati IgA Idiopatik
    Документ2 страницы
    Nefropati IgA Idiopatik
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • 23 - 224Praktis-Strategi Terapi Cairan Pada Dehidrasi
    23 - 224Praktis-Strategi Terapi Cairan Pada Dehidrasi
    Документ21 страница
    23 - 224Praktis-Strategi Terapi Cairan Pada Dehidrasi
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Referat - Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
    Referat - Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
    Документ45 страниц
    Referat - Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Makalah Etika Dan Hukum Kelompok DK 4
    Makalah Etika Dan Hukum Kelompok DK 4
    Документ54 страницы
    Makalah Etika Dan Hukum Kelompok DK 4
    Ade Cahyo Islami
    Оценок пока нет
  • Ilmu Farmasi Kedokteran.2
    Ilmu Farmasi Kedokteran.2
    Документ28 страниц
    Ilmu Farmasi Kedokteran.2
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • OTOT PENGUNYAH
    OTOT PENGUNYAH
    Документ16 страниц
    OTOT PENGUNYAH
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Anatomi Sistem Pencernaan Comp
    Anatomi Sistem Pencernaan Comp
    Документ177 страниц
    Anatomi Sistem Pencernaan Comp
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Anatomi Dan Histologi Kulit
    Anatomi Dan Histologi Kulit
    Документ17 страниц
    Anatomi Dan Histologi Kulit
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Uveitis
    Uveitis
    Документ43 страницы
    Uveitis
    Rimbawani
    Оценок пока нет
  • Journal Reading
    Journal Reading
    Документ22 страницы
    Journal Reading
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Laporan Pemicu 1
    Laporan Pemicu 1
    Документ3 страницы
    Laporan Pemicu 1
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Sindrom Cushing
    Sindrom Cushing
    Документ3 страницы
    Sindrom Cushing
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Anatomi Dan Histologi Kulit
    Anatomi Dan Histologi Kulit
    Документ2 страницы
    Anatomi Dan Histologi Kulit
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Alur Riset
    Alur Riset
    Документ42 страницы
    Alur Riset
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • BAB II (Referat)
    BAB II (Referat)
    Документ19 страниц
    BAB II (Referat)
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Journal Reading
    Journal Reading
    Документ17 страниц
    Journal Reading
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Tourniquet Test
    Tourniquet Test
    Документ8 страниц
    Tourniquet Test
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Lapkas
    Lapkas
    Документ18 страниц
    Lapkas
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Bronchiectasis
    Bronchiectasis
    Документ16 страниц
    Bronchiectasis
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Anatomi Dan Histologi Kulit
    Anatomi Dan Histologi Kulit
    Документ2 страницы
    Anatomi Dan Histologi Kulit
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Lapkas
    Lapkas
    Документ18 страниц
    Lapkas
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Lapkas
    Lapkas
    Документ18 страниц
    Lapkas
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Referat Terapi Hipotermi
    Referat Terapi Hipotermi
    Документ17 страниц
    Referat Terapi Hipotermi
    Vidia Asriyanti
    100% (1)
  • Gas Gangren
    Gas Gangren
    Документ14 страниц
    Gas Gangren
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • ANESTESI UMUM
    ANESTESI UMUM
    Документ14 страниц
    ANESTESI UMUM
    Ancills Octaviani
    100% (2)
  • 09e00801 PDF
    09e00801 PDF
    Документ109 страниц
    09e00801 PDF
    Vidia Asriyanti
    Оценок пока нет
  • Referat Urolithiasis
    Referat Urolithiasis
    Документ9 страниц
    Referat Urolithiasis
    Dixtrysan P
    Оценок пока нет