Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Arsitektur Bali 3
Arsitektur Bali 3
dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam
seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan
seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya
Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses
akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan
adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak
kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan
dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ),
hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan
( palemahan), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab
kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan
harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali
juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu.
Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan
datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt
dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh
hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di
masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karmaphala disebutkan tentang
sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil
yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk
atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Di Bali jugaberlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Caturwarna
berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata
warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Caturwarna
berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan
atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang
dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam
dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu
Arsitektur Bali 3
pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Caturwarna itu
ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian
dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian
dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan
keamanan negara.
Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian,
dan lain- lain).
Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
Sistem Catur Warna ini mempengaruhi pola hidup masyarakat setempat, dimana
mliputi pemikiran masyarakat, kebiasaan masyarakat, adat istiadat dan norma
msyarakat yg berlaku pada daerah setempat.
ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
Arsitektur Tradisional Bali telah ada sejak zaman dahulu yang turun menurun di
warisakan sebagai landasan dalam membanguan sebuah hunian yang berfilosofi
tinggi. Aturan aturan atau tata cara itu di atur dalam lontar Asta Kosala kosali.
Arsitektur Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi agama
Hindu, merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional
Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang
mencerminkan kebudayaan.
Arsitektur Bali 3
lokapala,konsep dewata nawa sanga ), konsep ini juga harus menjadi panutan dalam
membangun diberbagai tataran arsitektur termasuk keseimbangan dalam berbagai
fungsi bangunan. konsep dewata nawa sanga ialah aplikasi dari pura-pura utama
yang berada di delapan penjuru arah dibali yang yang dibangun menyeimbangkan
pulau bali, pura-pura utama itu untuk memuja manifestasi tuhan yang berada di
delapan penjuru mata angin dan di tengah.Aplikasi konsep ini menjadi pusat yang
berwujud natah (halaman tengah) dari sini menentukan nilai zona bangunan yang
ada disekitarnya dan juga pemberian nama bangunan disekitarnya seperti Bale
Daje,Bale Dauh,Bale Delod,Bale Dangin,
2.
merupakan dua kutub berkawan dimana hulu bernilai utama dan teben bernilai
nista/ kotor. Sedangkan purusa(jantan) pradana(betina) merupakan embryo suatu
kehidupan
3.
Konsep Tri Buana - Tri Angga, Susunan tri angga fisik manusia dan struktur
tri buana fisik alam semesta melandasi susunan atas bagian kaki, badan, kepala
yang masing-masing bernilai nista, madya dan utama.
4.
sumber daya alam, pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat, khususnya
insan-insan ahli pembangunan tradisional setempat.
Konsep ini jika di dasarkan secara vertical, maka nilai Utama berada pada posisi
teratas/scaral, Madya pada posisi tengah, dan posisi terakhir Nista pada posisi
terendah /kotor.
Utama
Madya
Nista
Arsitektur Bali 3
Selain memeberikan nilai secara vertical, Tri Angga juga memiliki tata nilai
Hulu Teben. Komsep Hulu Teben ini kemudian mempunyai beberapa orientasi
orientasi antara lain:
Di dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut
aturan tradisional Bali ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu:
1.
atau Utara pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti:
sawah, ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
2.
Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya
Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang
Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur
Arsitektur Bali 3
kemodernan
masyarakat,
pertambahan
penghuni
dan
makin
Arsitektur Bali 3
Wantilan berasal dari katawanti yang berarti ulang atau tumpang. Wantilan
merupakan bangunan terbuka ke segala arah yang memiliki atap bertumpang.
Sehingga wantilan berarti bangunan umum terbuka yang berfungsi sebagai tempat
pertemuan dipura, desa, pasar atau bale banjar yang beratap tumpang. Wantilan
biasanya diletakkan di Jaba Pura, Catusphata Puri atau di tengah desa.
Eksistensi wantilan menjadi bagian yang penting dalam sebuah pura terutama
pura banjar untuk skala banjar, pura kahyangan tiga untuk skala desa serta pura
kahyangan jagat untuk skala jagat. Pentingnya wantilan tersebut disebabkan karena
fungsi wantilan untuk tempat upacara tabuh rah yang merupakan bagian dari prosesi
ritual pura.
Dilihat dari arti kata, wantilan terkait dengan kata wanti atau mawanti-wanti
yang mempunyai arti "terus-menerus". Kata wanti atau mawanti-wanti dalam hal
ini bermakna adanya pengulangan. Pengulangan disini berupa pengulangan atap
yang bertingkat dan juga pengulangan saka/kolom berdasarkan modul tertentu.
(Gelebet: 1985) Bangunan wantilan merupakan perkembangan dari ruang-ruang
luas, yang bersifat sementara seperti lapangan diteduhi pohon, atau lapangan atau
halaman yang diteduhi atap sementara yang disebut tetaring. Rangka bambu
disangga tiang potongan cabang pohon bercagak sebagai penyangga yang ditancap
di tanah. Penutup atap dari anyaman daun kelapa atau biasa disebut klangsah,
kelabang, dan lain-lain, ruangnya tanpa dinding dapat diperluas ke arah luar,
sehingga daya tampung tidak terbatas. Bangunan wantilan dibangun dengan
konstruksi utama empat tiang utama, 12 tiang sejajar sekeliling sisi atau lebih. Atap
wantilan umumnya bertingkat disebut metumpang. Bangunan terbuka pada
keempat sisinya, lantai datar atau berterap rendah di tengah.
Wantilan merupakan bangunan terbuka ke segala arah. Hal ini mencerminkan
bahwa bangunan ini sama sekali tidak dipersiapkan untuk kegiatan yang bersifat
pribadi. Wantilan mempunyai pengertian sebagai bangunan besar terbuka, atapnya
biasanya dibuat bertingkat, berguna sebagai tempat pertemuan untuk menampung
berbagai aktivitas umum yang tergolong ke dalam kegiatan tri warga (dharma,
artha, khama) spiritual, sosial ekonomi, budaya, biasanya digunakan warga
untuk rapat atau hanya sekedar sabungan ayam, ataupun sebagai tempat balihbalihan pada wantilan yang terdapat panggung.
Arsitektur Bali 3
Arsitektur Bali 3
b) Elemen samping
Elemen samping yang
terdapat pada Wantilan
ini antara lain sesaka,
dinding yang terdapat
pada belakang wantilan,
candi bentar bersama
dinding
dan
Arsitektur Bali 3
10
c) Elemen Atas
Elemen atas pada Wantilan ini terdiri dari konstruksi atap dan penutup atap.
Untuk bahan konstruksi atap, pada konstruksi atap anda pertama rangka
terbuat dari beton bertulang yang dipadukan dengan kayu pada bagian usuk,
gording, dan apit-apitnya, yang ditutup dengan bedeg (anyaman bambu).
Kemudian, pada anda kedua, konstruksi atap sudah sepenuhnya
menggunakan kayu. Pada baong capung nya menggunakan dinding bata
yang diberi lubang ventilasi yang terbuat dari kayu. Untuk bahan penutup
atapnya terbuat dari genteng kodok berwarna oranye.
Arsitektur Bali 3
11
d) Ragam hias
Ragam hias yang digunakan pada wantilan ini terdapat pada sendi, bagian
atas dari sesaka, ujung dari konstruksi atap beton serta pada candi bentar
dan paduraksanya.
Arsitektur Bali 3
12
e) Konstruksi Atap
Wantilan ini berbentuk persegi panjang jika dilihat dari denahnya.
Luas wantilan ini adalah 917,44 m2 dengan panjang 37,6 m dan lebar 24,4
m. . Wantilan ini memiliki atap bertumpang dua seperti yang terlihat pada
foto dan memiliki 26 saka dengan 20 saka jajar dan 6 saka utama. Ukuran
saka jajar tentunya lebih kecil dibandingkan dengan saka utamanya yaitu
60x60 cm dan saka utamanya yaitu 80x80 cm. Wantilan ini memiliki atap
meanda dua. Disebut beratap meanda bukan metumpang dikarenakan atap
bagian atas berdiri di atas saka utama. Ketinggian wantilan ini dari atas
permukaan tanah di sektiarnya yaitu 120 cm dan terdapat panggung yang
berfungsi untuk pementasan sendratari setinggi 80 cm dari level lantai di
bawahnya. Untuk pondasinya sendiri, umumnya menggunakan pondasi
jongkok asu. Kemudian, karena bentuknya yang persegi panjang, atap
wantilan ini tidak berpuncak pada satu titik. Sehingga, konstruksi atap yang
digunakan bukan merupakan konstruksi payung, melainkan menggunakan
kuda-kuda rangka gantung.
Arsitektur Bali 3
13
Arsitektur Bali 3
14
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa wantilan di bumi
perkemahan Margarana merupakan perkembangan dari arsitektur tradisional Bali
ke arah modern dengan sebuah penerapan konsep Hybrid di mana arsitektur
tradisional Bali tidak ditinggalkan sama sekali melainkan dikawinkan dengan
arsitektur Modern. Kedua hal tersebut dapat dibagi menjadi seperti berikut:
A) Nilai-nilai ATB pada wantilan bumi perkemahan Margarana
Adapun nilai-nilai ATB yang masih digunakan pada bangunan ini
antara lain:
1. Masih diterapkannya konsep Tri Angga yang ditunjukan dengan adanya
bebaturan, kolom, dan atap.
2. Proporsi dan skala bangunan dapat dikatakan humanis.
3. Penggunaan konstruksi atap payung yang merupakan ciri khas dari atap
wantilan
4. Fungsi dan bentuk wantilan yang masih sejalan dengan makna kata
wantilan dan fungsi wantilan itu sendiri pada awalnya.
5. Masih ditemukannya ornamen-ornamen yang menjadi ciri khas dari
arsitektur tradisional Bali seperti paduraksa, sendi, dan ornamenornamen lainnya.
Arsitektur Bali 3
15
Arsitektur Bali 3
16