Вы находитесь на странице: 1из 16

IDENTIFIKASI NILAI-NILAI ATB DAN AMK PADA

WANTILAN BUMI PERKEMAHAN MARGARANA,


TABANAN
Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah
kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan
segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan
satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta KosalaKosali, Asta Patali dan lainnya. Perkembangan arsitektur tradisional Bali secara
turun temurun ini membentuk suatu sejarah arsitektur tradisional Bali. Suatu sejarah
arsitektur dipengaruhi oleh adat/istiadat kebudayaan yang berkembang pada daerah
setempat. Adat/istiadat kebudayaan suatu daerah berasal dari kebiasaankebiasaan/perilaku hingga norma-norma masyarakat yang berlaku pada daerah
setempat sesuai dengan perkembangan teknologi pada zaman itu. Kebiasaankebiasaan, perilaku, dan norma masyarakat inilah yang nantinya akan membentuk
suatu pola arsitektur tradisional yang berkembang pada daerah setempat.
Seiring perkembangan zaman, kebiasaan dan perilaku masyarakat mengalami
perubahan akibat adanya pengaruh-pengaruh budaya dari daerah lain maupun
akibat timbulnya permasalahan-permasalahan serta penemuan alternatif baru dalam
proses perkembangan teknologi yang pesat ini. Begitu pula dengan arsitektur
tradisional daerah setempat akan mengalami perubahan sesuai dengan adat/istiadat
kebudayaan masyarakat yang berubah secara perlahan dan membentuk suatu
kebudayaan baru yang disebut Arsitektur Masa Kini.
Arsitektur masa kini sendiri mencerminkan teknologi di era modern, dimana
teknologi pada zaman ini telah berkembang pesat dan membawa berbagai dampak
pada pola kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, pada arsitektur masa kini ini
bangunan-bangunan perumahan khususnya di daerah Bali yang dulunya memiliki
unsur-unsur bentuk, pola gaya, karakter, filosofi, dan sebagainya menjadi
memprihatinkan akibat perkembangan arsitektur yang masuk dari luar daerah.
Perkembangan dan perubahan yang menyangkut selera arsitektur tersebut
mempengaruhi suasana lingkungan hidup serta mengubah perilaku masyarakat
sekitarnya.

Arsitektur Bali 3

Berbagai permasalahan yang timbul contohnya perbedaan sistem organisasi


social (kasta) menjadi salah satu unsur pembentuk pola arsitektur yang ada pada
lingkungan masyarakat setempat. Di Bali, pemikiran masyarakat akan perbedaan
strata sosial ini menciptakan keanekaragaman pola arsitektur tradisional yang
berkembang di suatu desa. Sehingga arsitektur tradisional Bali di tiap desa memiliki
perbedaan yang mempengaruhi pola hidup masyarakatnya. Hal ini dikarenakan
arsitektur tradisional Bali bersifat flexible atau dapat disesuaikan dengan kondisi
masyarakat setempat.
SEJARAH KEBUDAYAAN BALI SECARA UMUM
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang
ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan.
Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan
riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat
pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah
ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan
masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi
menjadi :
1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
3. Masa bercocok tanam
4. Masa perundagian
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber
pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa
bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan
kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan
kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi
pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi
dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina,

Arsitektur Bali 3

dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam
seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan
seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya
Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses
akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan
adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak
kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan
dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ),
hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan
( palemahan), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab
kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan
harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali
juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu.
Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan
datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt
dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh
hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di
masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karmaphala disebutkan tentang
sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil
yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk
atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Di Bali jugaberlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Caturwarna
berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata
warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Caturwarna
berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan
atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang
dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam
dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu

Arsitektur Bali 3

pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Caturwarna itu
ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian
dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian
dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan
keamanan negara.
Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian,
dan lain- lain).
Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
Sistem Catur Warna ini mempengaruhi pola hidup masyarakat setempat, dimana
mliputi pemikiran masyarakat, kebiasaan masyarakat, adat istiadat dan norma
msyarakat yg berlaku pada daerah setempat.
ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
Arsitektur Tradisional Bali telah ada sejak zaman dahulu yang turun menurun di
warisakan sebagai landasan dalam membanguan sebuah hunian yang berfilosofi
tinggi. Aturan aturan atau tata cara itu di atur dalam lontar Asta Kosala kosali.
Arsitektur Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi agama
Hindu, merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional
Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang
mencerminkan kebudayaan.

Arsitektur Bali 3

Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar yang


mempengaruhi nilai tata ruangnya, antara lain :
1.

Konsep Keseimbangan (keseimbangan unsur semesta, konsep catur

lokapala,konsep dewata nawa sanga ), konsep ini juga harus menjadi panutan dalam
membangun diberbagai tataran arsitektur termasuk keseimbangan dalam berbagai
fungsi bangunan. konsep dewata nawa sanga ialah aplikasi dari pura-pura utama
yang berada di delapan penjuru arah dibali yang yang dibangun menyeimbangkan
pulau bali, pura-pura utama itu untuk memuja manifestasi tuhan yang berada di
delapan penjuru mata angin dan di tengah.Aplikasi konsep ini menjadi pusat yang
berwujud natah (halaman tengah) dari sini menentukan nilai zona bangunan yang
ada disekitarnya dan juga pemberian nama bangunan disekitarnya seperti Bale
Daje,Bale Dauh,Bale Delod,Bale Dangin,
2.

Konsep Rwe Bhineda (hulu - teben, purusa - pradana) Hulu Teben

merupakan dua kutub berkawan dimana hulu bernilai utama dan teben bernilai
nista/ kotor. Sedangkan purusa(jantan) pradana(betina) merupakan embryo suatu
kehidupan
3.

Konsep Tri Buana - Tri Angga, Susunan tri angga fisik manusia dan struktur

tri buana fisik alam semesta melandasi susunan atas bagian kaki, badan, kepala
yang masing-masing bernilai nista, madya dan utama.
4.

Konsep keharmonisan dengan lingkungan, ini menyangkut pemanfaatan

sumber daya alam, pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat, khususnya
insan-insan ahli pembangunan tradisional setempat.
Konsep ini jika di dasarkan secara vertical, maka nilai Utama berada pada posisi
teratas/scaral, Madya pada posisi tengah, dan posisi terakhir Nista pada posisi
terendah /kotor.
Utama

Madya
Nista
Arsitektur Bali 3

Selain memeberikan nilai secara vertical, Tri Angga juga memiliki tata nilai
Hulu Teben. Komsep Hulu Teben ini kemudian mempunyai beberapa orientasi
orientasi antara lain:

Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-Kauh.

Orientasi dengan konsep sumbu bumi, Kaja - Kelod

Orientasi dengan konsep Akasa Pertiwi, Atas Bawah

Di dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut
aturan tradisional Bali ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu:
1.

Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur

atau Utara pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti:
sawah, ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
2.

Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya

jalan lurus langsung bertemu dengan pekarangan rumah.


3.

Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah

keluarga lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.


4.

Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang

lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.


5.

Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah

jalan umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.


6.

Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur

Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan


umum, ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.
Akan tetapi Di Bali saat ini ditemukan berbagai corak arsitektur, mulai dari
Arsitektur tradisional bali kuno, tradisional bali yang di kembangkan, arsitektur
masa kini yang berstyle Bali bahkan arsitektur yang sama sekali tidak memiliki

Arsitektur Bali 3

nuansa bali. Mengetahui aspek-aspek arsitektur tadisional bali di butuhkan


pengetahuan yang mendalam terutama aspek filosofi, religius dan sosial budaya.
Dengan demikian Arsitektur Tradisioanal Bali kan berakhir secara perlahan lahan.
Di era kemajuan ilmu pengetahuan seperti saat ini, sangat sulit menerima dan
memahami hal-hal yang bersifat dogmatis dan mistis. Masalahnya sekarang
pemikiran rasional telah mengabaikan rasa, rasa hanya dapat dirasakan secara
individu dan bersifat subyektif, sedang rasio dapat membutikan kebenarannya
secara ilmiah. Ketidakpahaman tersebut berdampak terhadap menurunnya
keyakinan akan nilai-nilai dan makna yang ada dibalik perwujudan fisik
arsitekturnya. Akhirnya pola spasial hunian tradisional banyak ditinggalkan
penghuninya berpaling ke pola spasial hunian non tradisional.
Disamping

kemodernan

masyarakat,

pertambahan

penghuni

dan

makin

sempit/mahalnya lahan sebagai faktor pengubah pola spasial hunian tradisional.


Keberadaan arsitektur tanpa Undagi dan/atau Arsitek telah memunculkan degradasi
sistem nilai spasial hunian menjadi disharmonis, akhirnya hubungan antara manusia
(bhuana alit) selaku isi tidak harmonis lagi dengan huniannya (bhuana agung)
selaku wadahnya. Perlu adanya perkawinan atau juga bisa disebut dengan Hybrid.
KAJIAN OBJEK
Nama Objek: Wantilan Bumi Perkemahan Margarana
Lokasi : Desa Margarana, Kecamatan Margarana, Tabanan, Bali

Arsitektur Bali 3

Wantilan berasal dari katawanti yang berarti ulang atau tumpang. Wantilan
merupakan bangunan terbuka ke segala arah yang memiliki atap bertumpang.
Sehingga wantilan berarti bangunan umum terbuka yang berfungsi sebagai tempat
pertemuan dipura, desa, pasar atau bale banjar yang beratap tumpang. Wantilan
biasanya diletakkan di Jaba Pura, Catusphata Puri atau di tengah desa.
Eksistensi wantilan menjadi bagian yang penting dalam sebuah pura terutama
pura banjar untuk skala banjar, pura kahyangan tiga untuk skala desa serta pura
kahyangan jagat untuk skala jagat. Pentingnya wantilan tersebut disebabkan karena
fungsi wantilan untuk tempat upacara tabuh rah yang merupakan bagian dari prosesi
ritual pura.
Dilihat dari arti kata, wantilan terkait dengan kata wanti atau mawanti-wanti
yang mempunyai arti "terus-menerus". Kata wanti atau mawanti-wanti dalam hal
ini bermakna adanya pengulangan. Pengulangan disini berupa pengulangan atap
yang bertingkat dan juga pengulangan saka/kolom berdasarkan modul tertentu.
(Gelebet: 1985) Bangunan wantilan merupakan perkembangan dari ruang-ruang
luas, yang bersifat sementara seperti lapangan diteduhi pohon, atau lapangan atau
halaman yang diteduhi atap sementara yang disebut tetaring. Rangka bambu
disangga tiang potongan cabang pohon bercagak sebagai penyangga yang ditancap
di tanah. Penutup atap dari anyaman daun kelapa atau biasa disebut klangsah,
kelabang, dan lain-lain, ruangnya tanpa dinding dapat diperluas ke arah luar,
sehingga daya tampung tidak terbatas. Bangunan wantilan dibangun dengan
konstruksi utama empat tiang utama, 12 tiang sejajar sekeliling sisi atau lebih. Atap
wantilan umumnya bertingkat disebut metumpang. Bangunan terbuka pada
keempat sisinya, lantai datar atau berterap rendah di tengah.
Wantilan merupakan bangunan terbuka ke segala arah. Hal ini mencerminkan
bahwa bangunan ini sama sekali tidak dipersiapkan untuk kegiatan yang bersifat
pribadi. Wantilan mempunyai pengertian sebagai bangunan besar terbuka, atapnya
biasanya dibuat bertingkat, berguna sebagai tempat pertemuan untuk menampung
berbagai aktivitas umum yang tergolong ke dalam kegiatan tri warga (dharma,
artha, khama) spiritual, sosial ekonomi, budaya, biasanya digunakan warga
untuk rapat atau hanya sekedar sabungan ayam, ataupun sebagai tempat balihbalihan pada wantilan yang terdapat panggung.

Arsitektur Bali 3

(Gelebet: 1985) Kelompok organisasi yang memerlukan ruangan luas seperti


banjar atau pemaksaan melengkapinya dengan bangunan jaba sisi pura, halaman
banjar atau pekarangan desa dengan bangunan wantilan. Luas wantilan sekitar 200
m2 tergantung pada luas yang diperlukan dari aktifitas yang menguunakannya,
wantilan sebagai tempat musyawarah atau rapat anggota dengan duduk di lantai
atau bale-bale yang ditempatkan. Dalam perkembangannya wantilan juga
dilengkapi dengan kursi sebagai tempat duduk untuk musyawarah atau fungsi lain.
Sejalan dengan perkembangan sosial, wantilan juga difungsuikan sebagai
tempat pertunjukan, tempat olahraga, tempat pendidikan dan berbagai fungsi dalam
hubungan kepariwisataan.
Letak wantilan dalam suatu pekarangan adalah ditengah agak ke tepi dengan
ruang luar sekitanya merupakan perluasan dari keterbukaannya pada empat sisi.
Dalam fungsi tertentu, wantilan juga dilegkapi ruang pentas dan ruang lainnya.
(Gelebet: 1985) Atap Wantilan pada umumnya metumpang atau meanda.
Keperluan ruang yang luas dengan bentang yang lebar menyebabkan konstruksi
atap yang tinggi dengan bidang-bidang yang lebar. Ruangan pada wantilan
memiliki daya tampung yang banyak sehingga Wantilan juga memerlukan sirkulasi
udara yang baik. Maka, dibentuklah atap Wantilan yang sedemikian rupa
(metumpang atau meanda). Udara dingin mengalir ke bawah dan udara panas
mengalir ke atas, sehingga dibuat celah antara atap bagian bawah dan atap bagian
atas sebagai tempat sirkulasi udara. Untuk ragam hias dan bahan-bahan penyusun
yang digunakan tidak ada aturan yang maengikat, disesuaikan dengan keadaan
lingkungan sekitar wantilan serta kaidah estetikanya.
a) Elemen Dasar
Elemen dasar pada Wantilan ini terdiri dari bebaturan dan lantai. Untuk
bebaturan difinishing dengan batu andesit berwarna hitam dengan tekstur
sedikit kasar. Kemudian, pada lantainya menggunakan bahan keramik
berukuran 40x40 cm berwarna krem dan bertekstur halus. Begitu pula
dengan pencapaian tangganya yang menggunakan keramik dengan jenis
yang sama. Pada Wantilan ini juga terdapat panggung untuk pementasan
yang mana bahan penyusun elemen dasarnya juga menggunakan keramik
berukuran 40x40 cm berwarna krem dan bertekstur halus.

Arsitektur Bali 3

b) Elemen samping
Elemen samping yang
terdapat pada Wantilan
ini antara lain sesaka,
dinding yang terdapat
pada belakang wantilan,
candi bentar bersama
dinding

dan

paduraksanya, serta dinding yang terdapat di belakang candi bentar. Untuk


bahan-bahan penyusun sesaka digunakan beton bertulang dengan sendi
yang terbuat dari bahan batu alam tepatnya batu andesit berwarna hitam
seperti yang digunakan pada bebaturan. Dinding yang terdapat di belakang
wantilan terbuat dari batu bata yang di plester kemudian di finishing dengan
cat dinding berwarna peach. Kemudian, pada candi bentar dan
paduraksanya difinishing dengan bahan batu andesit berwarna hitam juga
seperti bahan pada bebaturan dan sendi sehingga menonjolkan kepaduan.
Untuk dinding yang terdapat di belakang candi bentarnya menggunakan

Arsitektur Bali 3

10

finishing batu marmer yang dipadukan dengan batu andesit pada


pinggirannya.

c) Elemen Atas
Elemen atas pada Wantilan ini terdiri dari konstruksi atap dan penutup atap.
Untuk bahan konstruksi atap, pada konstruksi atap anda pertama rangka
terbuat dari beton bertulang yang dipadukan dengan kayu pada bagian usuk,
gording, dan apit-apitnya, yang ditutup dengan bedeg (anyaman bambu).
Kemudian, pada anda kedua, konstruksi atap sudah sepenuhnya
menggunakan kayu. Pada baong capung nya menggunakan dinding bata
yang diberi lubang ventilasi yang terbuat dari kayu. Untuk bahan penutup
atapnya terbuat dari genteng kodok berwarna oranye.

Arsitektur Bali 3

11

d) Ragam hias
Ragam hias yang digunakan pada wantilan ini terdapat pada sendi, bagian
atas dari sesaka, ujung dari konstruksi atap beton serta pada candi bentar
dan paduraksanya.

Arsitektur Bali 3

12

e) Konstruksi Atap
Wantilan ini berbentuk persegi panjang jika dilihat dari denahnya.
Luas wantilan ini adalah 917,44 m2 dengan panjang 37,6 m dan lebar 24,4
m. . Wantilan ini memiliki atap bertumpang dua seperti yang terlihat pada
foto dan memiliki 26 saka dengan 20 saka jajar dan 6 saka utama. Ukuran
saka jajar tentunya lebih kecil dibandingkan dengan saka utamanya yaitu
60x60 cm dan saka utamanya yaitu 80x80 cm. Wantilan ini memiliki atap
meanda dua. Disebut beratap meanda bukan metumpang dikarenakan atap
bagian atas berdiri di atas saka utama. Ketinggian wantilan ini dari atas
permukaan tanah di sektiarnya yaitu 120 cm dan terdapat panggung yang
berfungsi untuk pementasan sendratari setinggi 80 cm dari level lantai di
bawahnya. Untuk pondasinya sendiri, umumnya menggunakan pondasi
jongkok asu. Kemudian, karena bentuknya yang persegi panjang, atap
wantilan ini tidak berpuncak pada satu titik. Sehingga, konstruksi atap yang
digunakan bukan merupakan konstruksi payung, melainkan menggunakan
kuda-kuda rangka gantung.

Arsitektur Bali 3

13

Arsitektur Bali 3

14

KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa wantilan di bumi
perkemahan Margarana merupakan perkembangan dari arsitektur tradisional Bali
ke arah modern dengan sebuah penerapan konsep Hybrid di mana arsitektur
tradisional Bali tidak ditinggalkan sama sekali melainkan dikawinkan dengan
arsitektur Modern. Kedua hal tersebut dapat dibagi menjadi seperti berikut:
A) Nilai-nilai ATB pada wantilan bumi perkemahan Margarana
Adapun nilai-nilai ATB yang masih digunakan pada bangunan ini
antara lain:
1. Masih diterapkannya konsep Tri Angga yang ditunjukan dengan adanya
bebaturan, kolom, dan atap.
2. Proporsi dan skala bangunan dapat dikatakan humanis.
3. Penggunaan konstruksi atap payung yang merupakan ciri khas dari atap
wantilan
4. Fungsi dan bentuk wantilan yang masih sejalan dengan makna kata
wantilan dan fungsi wantilan itu sendiri pada awalnya.
5. Masih ditemukannya ornamen-ornamen yang menjadi ciri khas dari
arsitektur tradisional Bali seperti paduraksa, sendi, dan ornamenornamen lainnya.

Arsitektur Bali 3

15

B) Nilai-nilai AMK pada wantilan bumi perkemahan Margarana


Nilai arsitektur masa kini yang sangat terlihat jelas pada bangunan
wantilan ini adalah dari segi bahan yang digunakannnya. Jika pada mulanya
wantilan dibangun dengan menggunakan bahan yang dominan kayu, baik
dari kolom, balok, maupun baong capung nya, pada wantilan bumi
perkemahan Margarana ini bahan kayu tersebut digantikan dengan beton
bertulang yang menjadi salah satu ciri dari arsitektur masa kini. Selain itu,
finishing keramik dan cat dinding juga merupakan salah satu penerapan
bahan dari arsitektur masa kini.

Walaupun demikian, pengawinan atau Hybrid yang dilakukan di wantilan bumi


perkemahan Margarana ini tergolong berhasil karena tidak banyak mengurangi
makna-makna yang digunakan pada arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur
masa kini itu sendiri.

Arsitektur Bali 3

16

Вам также может понравиться