Вы находитесь на странице: 1из 22

CEDERA PLEKSUS BRAKHIALIS

A. PENDAHULUAN
Pleksus brakialis adalah sekelompok saraf yang berasal dari sumsum tulang belakang di
leher dan perjalanan bawah lengan. Saraf ini mengontrol otot-otot bahu, siku, pergelangan
tangan dan tangan, serta memberikan sensasi di lengan. Beberapa cedera pleksus brakialis
yang kecil dan benar-benar akan sembuh dalam beberapa minggu. cedera lain cukup parah
dan bisa menyebabkan beberapa cacat tetap di lengan.*3
Gejala yang mungkin termasuk yaitu lengan lemas atau lumpuh; kurangnya kontrol otot
pada lengan, tangan, atau pergelangan tangan; dan kurangnya sensasi pada lengan atau
tangan. Cedera pleksus brakialis dapat terjadi sebagai akibat dari trauma bahu, tumor, atau
peradangan. Terdapat sindrom langka yang disebut Parsonage Turner Syndrome, atau plexitis
brakialis, yang menyebabkan peradangan pada pleksus brakialis tanpa cedera bahu yang
jelas. Sindrom ini dapat dimulai dengan nyeri bahu parah atau lengan diikuti oleh kelemahan
dan mati rasa. Pada bayi, cedera pleksus brakialis mungkin terjadi selama lahir jika bahu bayi
ditarik selama perjalanan di jalan lahir. *4
Cedera pleksus brakialis biasanya berhubungan dengan trauma multisistem. Cedera ini
dapat berkisar dari kelumpuhan yang sembuh spontan untuk avulsi saraf akar dengan tidak
kembali fungsi. traksi ke atas dengan rotasi internal dan penculikan lengan sebagian besar
hasil pada lesi akar saraf serviks yang lebih rendah. Ini umumnya diakui bahwa avulsi
terbatas dari bawah akar biasanya memiliki prognosis yang lebih baik. Sementara mayoritas
dari brakialis cedera pleksus berhubungan dengan traksi cedera, ada laporan cedera pleksus
brakialis yang dihasilkan dari kompresi langsung atau hematoma. (*1)
Cedera pleksus brakialis cedera merupakan salah satu cedera yang paling dahsyat dari
sudut pandang pasien. Secara efektif melumpuhkan satu fungsi dan jarang pada dua tungkai
atas, hal tersebut menyebabkan kerugian yang signifikan dari fungsi dan kemampuan untuk
melakukan tugas-tugas sehari-hari sehingga berpengaruh ketika bekerja. Sehingga hal ini
berpotensi menyebabkan pengangguran, kesulitan ekonomi, depresi dan dalam kasus yang
jarang bahkan dorongan bunuh diri. Pasien khas adalah laki-laki muda yang telah mengalami
kecelakaan saat mengendarai kendaraan roda dua, yaitu di mana dia telah terlempar dari
kendaraan dan menderita traksi antara leher dan bahu merusak pleksus dengan berbagai
derajat. (*2)
Data mengenai insiden trauma pleksus brachialis sulit diketahui dengan pasti, Goldie dan
Coates melaporkan 450-500 kasus cedera supraklavikular tertutup terjadi setiap tahun di
1

Inggris. Pada laporan yang lain, Narakas membuat suatu pedoman "seven seventies " dengan
mengacu pada pengalaman menangani 1068 pasien selama 18 tahun yang salah satunya berisi
70% kecelakaan pengendara sepeda motor dengan trauma multipel akan berimplikasi 70%
diantara berupa cedera supraklavikuler, 70% cedera supraklavikuler merupakan avulsi saraf
yang melibatkan C7, C8, T1. [1]
Enam puluh satu kasus kelumpuhan pleksus brachialis akibat persalinan tercatat dalam
30.451 persalinan hidup di rumah sakit hibah Kaiser, San Francisco, antara Januari 1972
hingga Desember 1982 dengan insiden 2.0/1,000 kelahiran. Tiga puluh delapan pasien
dievaluasi dalam kurun waktu 1 tahun hingga 11,5 tahun. Penyebab trauma jalan lahir terkait
cedera pleksus brachialis adalah kelumpuhan wajah, fraktur klavikula, ekimosis tangan, dan
cephalohematoma. [2]
Selain itu pada data lainnya dalam populasi Amerika ditemukan bahwa cedera pleksus
brachialis teridentifikasi sebanyak 113 (0.1%) dari 103,434 anak dengan trauma yang masuk
rumah sakit antara bulan April 1985 hingga Maret 2002. Enam puluh satu persen diantaranya
merupakan anak laki-laki. Kebanyakan penyebab cedera adalah kecelakaan motor dengan
membawa penumpang dibelakangnya (36 kasus [32%]) atau kecelakaan pada pejalan kaki
(19 kasus [17%]). Trauma kepala didiagnosis pada 47% anak dan 27% diantaranya
mengalami konkusi, perdarahan intrakranial 21%, dan fraktur tulang kepala 14%. Trauma
vaskuler ekstremitas atas terjadi pada 16% pasien. Cedera muskuloskeletal yang terbanyak
antara lain fraktur humerus (16%), tulang iga (16%), klavikula (13%), dan skapula (11%).
Fraktur spinal terjadi pada 12% pasien, dan cedera medulla spinalis terjadi 4%. The Injury
Severity Score berkisar antara 1 sampai 75, dengan skor rata-rata 10 dan 6 pasien meninggal
karena adanya cedera yang berkepanjangan selama periode trauma. [3]
Data epidemiologi cedera pleksus brachialis pada populasi multitrauma tercatat sebanyak
54 dari 4538 (1.2%) pasien yang terdapat pada berbagai fasilitas trauma regional. Pasien
didominasi laki-laki usia muda. Penyebab tersering berupa kecelakaan motor namun hanya
0.67%

dari kecelakaan ini yang kemudian menyebabkan keadaan cedera pleksus.

Sebaliknya, 4.2% korban kecelakaan roda dua dan 4.8% korban kecelakaan snow mobile
menderita cedera pleksus. Cedera pada supraklavikula terjadi pada 62% pasien dan 38%
pasien memiliki cedera infraklavikula. Cedera supraklavikula nampaknya lebih berat
dibandingkan cedera infraklavikula, dikarenakan adanya resiko neuropraksi pada 50% kasus.
[4]

B. ANATOMI dan HISTOLOGI

Pleksus brachialis merupakan sebuah pleksus saraf somatik yang dibentuk oleh
intercommunications antara rami ventral (root) pada bagian bawah 4 saraf servikal (C5C8) dan saraf thorakalis pertama (T1). Pleksus ini tergambar pada gambar di bawah,
bertanggung jawab untuk inervasi motorik pada seluruh otot dari ekstremitas atas, dengan
pengecualian pada otot trapezius dan levator scapula.

Gambar 1. Skema Pleksus Brachialis

Gambar 2. Hubungan pleksus brachialis. Bagian-bagian pleksus brachialis dibagi


menjadi akar, batang, pemisah, kord, dan cabang.

Gambar 3. Diagram menunjukkan hubungan pleksus brachialis dengan sternum,


scapula, dan humerus.

Pleksus brachialis menyuplai semua inervasi kutaneus pada ekstremitas atas, kecuali
pada daerah axilla (dimana daerah axilla disuplai oleh saraf supraclavicular) dan pada area
dorsal scapula, dimana area tersebut disuplai oleh cabang kutaneus dari rami dorsal.
Pleksus brachialis berkomunikasi dengan batang simpatik

HISTOLOGI
Sistem saraf tepi tersusun atas akson-akson yang keluar menuju organ efektor dan
diorganisasikan menjadi saraf. Akson SST pada umumnya termielininasi sehingga terlihat
berwarna putih. [7], [8]

Gambar diambil dari kepustakaan no. [7], [8]

Organisasi akson-akson saraf tepi menjadi berkas saraf melalui jaringan pengikat. Sarafsaraf tepi terdiri atas serabut-serabut saraf (akson) yang saling berkumpul bersama, dan
4

disatukan melalui jaringan penyambung sehingga menghasilkan kumpulan serabut saraf,


disebut dengan fasikulus. Dalam satu fesikel pada umumnya mengandung persarafan baik
sensorik maupun motorik. Beberapa fasikulus membentuk bundel berkas serat saraf. Bundel
berkas serat saraf ini diikat oleh Epineurium, yakni suatu jaringan ikat yang padat, tidak
beraturan, tersusun mayoritas oleh kolagen dan sel-sel fibroblas. Epineurium menyelimuti
beberapa fasikulus yang bersatu membentuk saraf. Di epineurium pula bisa ditemukan
pembuluh darah. Ketebalan epineurium bervariasi, paling tebal di daerah dura yang dekat
dengan SSP, makin tipis hingga percabangan saraf-saraf ke arah distal. [7], [8]

Gambar diambil dari kepustakaan no. [7], [8]


Perineurium adalah selaput pembungkus satu fasikulus yang tersusun atas jaringan ikat
padat kolagen yang tersususn secara konsentris, serta sel-sel fibroblas. Di bagian dalam
perineurium terdapat pula lapisan sel-sel epiteloid yang direkatkan melaui zonula okluideris
serta dikelilingi oleh lamina basal yang menjadikan suatu barrier (sawar) materi bagi
fasikulus. [7], [8]
Endoneurium adalah lapisan terdalam yang mengelilingi satu akson. Lapisan ini tersusun
atas jaringan ikat longgar (berupa serat retikuler yang dihasilkan oleh sel Schwann yang
bertanggung jawab untuk akson tersebut), sedikit fibroblas, dan serat kolagen. Di daerah
distal akson, endoneurium hampir tidak ada lagi, hanya menyisakan sedikit serat retikuler
yang menyertai basal lamina sel Schwann. [7], [8]

Gambar diambil dari kepustakaan no. [7], [8]


C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Pada kebanyakan kasus di seluruh dunia, penyebab utama tetap kecelakaan kendaraan.
Biasanya pada roda dua. Berikut daftar etiologi umum trauma pleksus brachialis:
- Kecelakaan kendaraan (mayoritas kendaraan roda dua) berperan pada >90% kasus.
- Kecelakaan industrial:
o Pada ketinggian, berat pada saat jatuh berada di pundak.
o Terseret masuk ke dalam mesin beserta dengan lengan
- Kesalahan pada saat merengangkan leher
- Penyerangan dengan senjata tajam
- Cedera peluru
- Cedera iatrogenic, baik yang disengaja seperti dalam operasi tumor yang melibatkan
akar saraf atau secara tidak sengaja pada saat melakukan operasi di segitiga posterior
leher.
Saraf-saraf yang mencakup pleksus brakhial berjalan dibawah kulit leher dan aksilla,
sehingga rentan terhadap trauma. Ketika leher dan tangan terkena pada saat trauma (misalnya
pada kecelakaan mobil, motor, dan saat jatuh) maka saraf-saraf tersebut tertarik dan robek
satu sama lain. Jika kekuatan dorongan sangat hebat maka saraf dapat tertarik keluar dari
tempat asalnya yaitu medulla spinalis. [1]
Selain itu penyebab cedera pleksus brachialis juga dibedakan berdasarkan mekanisme
trauma, antara lain: [9]
Cedera akibat traksi /traumatic traction injuries merupakan penyebab yang terbanyak
cedera pleksus brakhialis yang disebabkan oleh dislokasi pundak atau tangan ke arah
bawah karena adanya tarikan yang kuat, seringkali disertai fleksi lateral leher pada arah
yang berlawanan. Hal ini biasanya terjadi kecelakaan kendaraan bermotor khususnya
motor.

Gambar diambil dari kepustakaan no.10

Trauma penetrasi pada pundak atau leher- luka trauma akibat tusukan pisau, laserasi kaca,
atau luka tembak pada regio supra-atau infraklavikula menyebabkan kontusio atau

robeknya pleksus brachialis. Karena letak pembuluh darah subklavia dan jugular
eksternal yang lebih proksimal maka dapat pula terkait dengan cedera pembuluh darah.

Gambar diambil dari kepustakaan no.10

Kelemahan yang terkait dengan kelahiran-cedera pada pleksus brachialis yang terjadi
akibat dengan kelahiran. Hal ini umumnya terkait dengan berat bayi besar dan distosia
bahu, bayi lahir normal dengan presentasi bokong, ataupun pada persalinan dengan
partus.

Gambar diambil dari kepustakaan no.10

Penyebab yang jarang antara lain trauma tumpul pada bahu, lesi kompresi, radiasi, dan
neoplasma.

D. DIAGNOSIS
a.
ANAMNESIS
Seseorang dengan cedera bahu berat, khususnya pada kecelakaan bermotor. Mekanisme
cedera harus dipertimbangkan, karena dapat terjadi pada multiple trauma.
Pasien dapat memberikan gejala-gejala berupa : [10]
Nyeri, khususnya leher dan bahu. nyeri saraf umumnya disebabkan adanya ruptur.

Parestesia dan distesia


Kelemahan atau rasa berat pada ekstremitas
Menurunnya nadi, disebabkan cedera pembuluh darah yang menyertainya.

Pada cedera saraf perifer perlu menentukan grading yang bertujuan untuk
memprediksi luaran fungsional dan rencana terapi. Penentuan grading dilakukan dengan
menilai mekanisme trauma yang umumnya berupa kompresi, traksi, laserasi, dan/ atau
iskemik. Seddon membagi grading menjadi tiga berdasarkan luasnya cedera pada tiga
komponen dasar saraf perifer (conducting axon, sel schwann yang meliputinya, dan
matriks jaringan yang berada disekitarnya disebut sebagai highway) yang menentukan
regenerasi aksonal yaitu : [11]

Neuropraksia
Neuropraksia, merupakan derajat yang paling ringan pada cedera saraf, dicirikanoleh

blok total atau penurunan konduksi akson pada segmen saraf yang dilaluinya. Kontinuitas
aksonal masih ada sehingga tidak terjadi degenerasi Wallerian. Konduksi saraf sampai
pada area distal dan proksimal dari lesi, namun tidak ada pada daerah lesi. Neuropraksi
dapat terjadi akibat kompresi mekanik langsung yang menyebabkan demielinisasi pada
saraf. Cedera neuropraksia umumnya bersifat sementara dan penyembuhan total dapat
terjadi dalam hitungan hari sampai minggu.
Pada umumnya neuropraksia disebabkan oleh adanya penekanan pada myeline sheet
yang relative ringan dan singkat dimana akan terjadi kompresi akut di sekitar saraf.
Kondisi neuropraksia ini akan mengalami demyelinasi pada saraf itu sendiri tanpa adanya
degenerasi pada saraf. Hal tersebut masih memungkinkan terjadinya konduksi pada saraf.

Gambar diambil dari kepustakaan no.11

Aksonotmesis
Aksonotmesis umumnya ditemukan pada cedera yang hebat, sehingga memberikan
gambaran yang lebih buruk dan dicirikan oleh hambatan akson dengan perlindungan pada
highway jaringan berhubungan disekitarnya, yang dapat membantu regenerasi aksonal.
Degenerasi wallerian distal akson terjadi dalam periode beberapa hari setelah stimulasi
elektrik langsung pada saraf distal yang terpotong tidak menunjukkann kemajuan dalam
konduksi saraf dan respon otot. Penyembuhan dapat terjadi melalui regenerasi aksonal
disebabkan perlindungan highway jaringan konektif, terdiri atas sel-sel schwann dan

lamina basalnya, dan komponen seluler dan molekuler matriks ekstraseluler. Pada
aksonotmesis umumnya penyembuhan terjadi dalam periode bulan sampai tahun. [11]
Adapun pada axonotmesis didapatkan gangguan axon, tetapi selubung myelin masih
utuh. Tanda gejala penekanan saraf tepi pada kondisi ini disertai dengan gangguan
motorik. Dimana gangguan ini sama halnya dengan jenis cedera neuropraksia. Akan tetapi,
pada kondisi ini ditemukan adanya gangguan sensorik dengan prognosis baik dalam 3
bulan. [11]

Gambar diambil dari kepustakaan no.11

Neurotmesis
Neurotmesis merupakan derajat yang paling berat yang dicirikan adanya kerusakan
akson, mielin, dan jaringan konektif highway dari komponen saraf, sehingga tidak dapat
terjadi regenerasi. Pada cedera ini kontinuitas eksternal saraf terlindungi namun terjadi
fibrosis intraneural menghambat regenerasi aksonal. Tindakan operasi perlu dilakukan
untuk menghilangkan blok yang terbentuk akibat adanya jaringan skar dan menyambung
kembali jaringan saraf. Laserasi yang menyebabkan hilangnya fungsi saraf perifer harus
dipertimbangkan sebagai neurotmesis sampai ditemukan kausa lain. [11]
Perubahan awal yang menyertai serangan ini adalah pembengkakan pada bagian
interstitial saraf. Sehingga menimbulkan hambatan konduksi karena menghilangnya
myelin saraf pada area yang mengalami kerusakan. Yang pertama terkena adalah serabut
saraf yang mempunyai daya hantar rangsang cepat. Beberapa serabut akan mengalami
degenerasi, sedangkan mungkin yang lain tetap baik atau mengalami reversible. Dari
patogenesis yang berlangsung seperti tersebut di atas, maka akan memberikan dampak
terhadap saraf baik sensorik, motorik maupun otonom. Seperti dampaknya terhadap
terjadinya kelemahan pada otot-otot sebagai salah satu akibat langsung maupun tidak
langsung. Karena adanya hambatan konduksi saraf, maka area yang memperoleh innervasi
akan mengalami perubahan misalnya pada otot antara lain: berkurangnya sarkomersarkomer di beberapa bagian dari ujung-ujung serabut otot. Ikatan antara actin dan
filament-filamen myosin akan meningkatkan viskositas dan resisten untuk memanjang. [11]

Gambar diambil dari kepustakaan no.11

b. PEMERIKSAAN FISIS
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan ptosis, enoftalmus, , anhidrosis, and miosis atau
Horner syndrome menunjukkan adanya lesi pleksus letak rendah komplit, karena ganglion
simpatik T1 berada pada ujung proksimal pleksus brakhialis. [1]

Gambar menunjukkan pasien dengan ptosis dan miosis pada mata kanan. [1]
Edema pada bahu dapat luas. Menurunnya atau hilangnya nadi menunjukkan adanya
cedera pembuluh darah. Fraktur klavikula seringkali dapat diraba. Inspeksi dan palapasi
dengan cermat pada tulang aksial dapat menunjukkan adanya cedera yang menyertai.
Pemeriksaan pada setiap saraf servikal perlu dilakukan untuk melihat fungsi motorik dan
sensorik segera setelah kondisi pasien memungkinkan. [1]
Sebagai bahan pertimbangan pada keadaan tertentu diperlukan pemeriksaan
neurologis. Pemeriksaan sensoris berupa deep pressure sensation mungkin merupakan
penanda utama pada kontinuitas saraf dengan pasien gejala tidak ada fungsi motor atau
sensasi lain. Pemeriksaan ini berupa cubitan pada dasar kuku dan menarik jari pasien ke sisi
luar. Jika terdapat sensasi terbakar menunjukkan adanya kontinuitas pada saraf yang
diperiksa. Namun jika tidak ada, maka pemeriksaan ini tidak berguna untuk menentukan
keadaan neuropraksia karena dapat bertahan lebih dari 6 bulan. [1]
Lokasi tes deep pressure spinal nerve
Ibu jari
C6

Nerve
Median nerve

Affected cord
Lateral cord
10

Jari tengah
Kelingking

C7
Median nerve
C8
Ulnar nerve
Tabel diambil dari kepustakaan no. [1]

Lateral cord
Medial cord

Pemeriksaan sensasi dan gerakan pergelangan tangan dan jari untuk menilai sarafsaraf median, ulnar, radial dapat membantu mengetahui letak lesi pleksus brachialis.
Pemeriksaan motorik berguna karena terdapat variasi tertentu pada saraf-saraf spinal diantara
medulla dan merupakan pola inervasi abnormal yang terbanyak. Variasi ini menjadi tantangan
tersendiri dalam mengidentifikasi level yang terkena/terlibat. C4 dapat berperan pada
percabangan dari pleksus lebih dari 60%. Jika C4 memiliki peran signifikan pada pleksus,
maka pleksus dinamakan prefiks/ prefixed. Ketika pemeriksaan motorik dilakukan, patut
diingat bahwa kebanyakan otot manusia berperan pada multipel level servikal. [1]
Saraf servikal
C5
C6

Tes fungsi motorik


Abduksi, ekstensi, dan rotasi ekternal bahu, beberapa fleksi siku
Fleksi siku, pronasi dan supinasi telapak tangan, beberapa ekstensi

C7

pergelangan tangan
Hilangnya fungsi ekstremitas secara difus tanpa paralisis sempurna
kelompok otot tertentu, ekstensi siku, yang secara konsisten mempersarafi

C8
T1

otot latisimus dorsi


Ektensor dan fleksor jari tangan, fleksor pergelangan tangan, intrinsik
tangan
Intrinsik tangan
Gambar diambil dari kepustakaan no. [1]

c. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran radiologi
terdiri atas mielografi standar, computed tomographic (ct)
myelography, dan magnetic resonance (mr) imaging. Gambaran radiologi memiliki peranan
penting untuk membedakan cedera preganglionik dari lesi postganglion yang akan
menentukan manajemen pasien. [12]
Standard Myelography dan CT Myelography
Standard myelography telah lama digunakan untuk menilai derajat cedera pleksus
brachialis. Saat ini, standard myelography hampir selalu dilakukan bersamaan dengan CT
myelography. Standard myelography merupakan modalitas yang sederhana dan ekonomis
11

dan tersedia pada kebanyakan rumah sakit. Evaluasi saraf intradural menggunakan standard
myelography lebih sensitif dibandingkan dengan ct myelography untuk mendeteksi avulsi
serat saraf pada C8 dan T1. Akar saraf seringkali sulit untuk dievaluasi menggunakan CT
myelography yang berasal dari bahu. Standard myelography berguna untuk melihat saraf
ventral dan dorsal yang tidak dapat dievaluasi secara terpisah. CT myelography merupakan
modalitas yang paling terpercaya untuk mendeteksi cedera avulsi. CT myelography
memungkinkan penilaian terpisah pada akar saraf ventral dan dorsal dan deteksi defek saraf
intradural. Modalitas ini memiliki akurasi diagnostik yang lebih baik dibandingkan dengan
standard myelography dan MR imaging, khususnya pada level C5 dan C6, walaupun artifak
tulang dari bahu kadang memberi gangguan pada level C8 dan T1. Perkembangan terbaru
pada multi detector row CT memungkinkan perolehan gambaran yang resolusi spasial
longitudinal yang lebih baik dan besar. [12]
Pada pasien dengan paralisis pleksus brachialis yang diakibatkan trauma, penting
untuk membedakan antara avulsi saraf traumatik (umumnya pada pseudomeningokel) atau
lesi pleksus brachialis pada bagian yang lebih distal. Pseudomeningokel dapat terlihat pada
MRI. Sayangnya pseudomeningokel dapat terjadi tanpa avulsi serat saraf, dan avulsi serat
saraf dapat berlangsung tanpa pseudomeningokel. Pada pasien dengan keadaan tersebut
biasanya terjadi pembengkakan pada pleksus brachialis sehingga sulit dideteksi adanya
robekan. Pasien dengan peningkatan pleksopati setelah terjadi fraktur klavikula, MRI dapat
berguna untuk mengevaluasi kompresi yang mungkin terjadi pada pleksus brachialis karena
terbentuknya kallus. [13]

Conventional MR Imaging
Temuan pada MRI konvensional dapat memberikan informasi anatomi dan fisiologi
tambahan pada cedera. Peningkatan intradural nerve roots dan root stumps menunjukkan
adanya gangguan fungsional dari akar saraf meskipun secara morfologi ada kontinuitas. [12]
Rekomendasi terhadap pemeriksaan radiologi yang optimal pada cedera pleksus
brachialis berupa pemeriksaan CT myelography sebagai modalitas pemeriksaan awal, dengan
menambahkan standard myelography dan MRI kontras. Namun perlu diketahui bahwa
pemeriksaan

radiologik

tunggal

tidak

dapat

diandalkan

karena

keunggulan

dan

keterbatasannya masing-masing alat. CT myelography merupakan pilihan pertama untuk


12

evaluasi kecurigaan terdapat cedera preganglion karena merupakan modalitas radiologik yang
paling terpercaya untuk mendeteksi cedera avulsi. Jika CT myelography tidak dapat
dilakukan, maka MR myelography harus dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan terhadap
MRI konvensional untuk mengevaluasi nerve roots. [12]

E. PENATALAKSAAN
a. PEMBEDAHAN
Trauma saraf perifer dapat dibagi menjadi trauma terbuka dan trauma tertutup. Repair
secepat mungkin pada trauma laserasi akut harus dilakukan dengan tujuan end-to-end
suture repair primer jika memungkinkan. Jika ujung saraf compang-camping , ataupun
trauma merupakan transmisi dari tenaga tumpul, operasi harus ditunda setelah interval 2
sampai 3 minggu agar memungkinkan terjadinya formasi jaringan ikat. Penundaan ini
bertujuan agar terbentuk batas antara jaringan saraf proksimal dan distal yang sehat
dengan segmen jaringan skar. Reseksi bedah pada jaringan fibrosa segmen proksimal dan
distal kembali pada struktur fascicular normal pada setiap ujungnya dilaksanakan
bersamaan dengan repair interposisi graft saraf ataupun tanpa repair interposisi dan
bergantung pada panjang celah. [11]

trauma terbuka
saraf tidak terputus
perawatan medis
dan follow up ketat
dengan
pemeriksaan klinis
serial, pemeriksaan
elektrodiagnosis,
dan radiologi

saraf terputus
reseksi
tajam

repair
end-toend

reseksi
tumpul

tunda
repair

reseksi skar intraneural


dan lakukan repair
(graft)
Pedoman penanganan trauma saraf perifer terbuka. [11]

13

trauma tertutup

pemeriksaan klinis , pemeriksaan


elektrodiagnostik (EMG/NCV/SSEP),
pemeriksaan radiologik (MRI/MRN)
Neuropraksia
penanganan medis
penyembuha
n sempurna
dalam
hitungan
minggu
respon konduksi
saraf positif sekitar
lesi
lesi aksonometrik :
penyembuhan
dalam hitungan
minggu- bulan
bergantung pada
multipel faktor

aksonotmesis
penanganan medis
penyembuhan
dalam hitungan
minggu- tahun
yang bergantung
pada multipel
faktor
respon konduksi
saraf negatif
sekitar lesi
lesi neurometrik :
reseksi skar
intraneural dan
lakukan repair
(graft)

aksonotmesis vs
neurotmesis vs
avulsi serat safar
spinal
eksplorasi
dengan
monitoring
elektrofisiologi
intraoperatif
avulsi serat
saraf spinal
yang
dikonfirmasi
dengan
hilangnya
prosedurSSEP
neurotisas
i
14

Pedoman penanganan trauma saraf perifer tertutup. (emg: elektromiografi, mri:


magnetic resonance imaging, mrn: magnetic resonance neurography, ncv, ssep:
somatosensory evoked potential). [11]

Trend terbaru pada cedera pleksus brachialis berupa repair secepat mungkin. Pasien
pasien dapat diobservasi selama 8 sampai 10 minggu untuk penyembuhan spontan. Setelah
empat minggu harus dilakukan pemeriksaan electromyography dan CT Myelography/ MR
myelography. Pasien dengan cedera avulsi dapat segera dioperasi. Pasien lainnya harus
diobservasi dalam 6-8 minggu terhadap penyembuhan spontan. Jika tidak terjadi
penyembuhan spontan, operasi tidak boleh ditunda karena keterlambatannya akan semakin
menyulitkan penyembuhan. Jika terbukti terjadi regenerasi namun tidak secara menyeluruh
(proksimal hingga distal) maka perlu dilakukan eksplorasi dan rekonstruksi pada segmen
yang tidak tercakup. [14]
Repair pleksus brachialis dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain : [14]
NERVE GRAFTS
Repair saraf secara langsung tanpa graft saraf hanya mungkin dilakukan pada cedera
tajam dengan posisi melintang, namun keadaan ini jarang dijumpai. graft saraf merupakan
teknik yang paling banyak dilakukan pada repair pleksus brachialis. tension free nerve graft
lebih baik dibandingkan dengan repair under tension. graft kutaneus yang tipis (misalnya
saraf sural) dipersiapkan karena lebih mudah tervaskularisasi. jika graft saraf terlalu tebal,
pusat graft saraf tidak dapat tervaskularisasi, dan graft akan gagal. kebanyakan ahli bedah
setuju bahwa graft saraf yang pendek lebih baik dibandingkan dengan graft saraf yang
panjang (misalnya berukuran lebih dari 7 cm). Graft harus 20% lebih panjang dari defek
saraf. Graft saraf yang tervaskularisasi sesuai untuk jaringan skar dan untuk memperbaiki
defek ukuran besar pada saraf. Komplikasi vaskuler dapat menyebabkan hilangnya graft
secara keseluruhan, untuk menjembatani defek yang panjang (30 cm atau lebih), seperti pada
transfer kontralateral, graft saraf tervaskularisasi terbukti lebih baik. Pada avulsi pleksus
brachialis yang lebih besar pada C8 dan T1, saraf ulnar tervaskularisasi telah digunakan
untuk transfer saraf C7 kontralateral ke saraf median. Pengambilan graft saraf sural secara
endoskopik telah dilakukan untuk menghindari kelemahan pada teknik terbuka. teknik ini
memberikan kepuasan yang lebih baik, angka kecacatan yang lebih kecil, dan tidak
menggangu estetika. [14]
NERVE ALLOGRAFTS

15

Allograft saraf bekerja sebagai kerangka temporer sampai terjadi regenerasi akson.
Jaringan allograft secara keseluruhan menggantikan bahan dasar. Imunosupresan fk 506 yang
baru, dikenal dengan takrolimus, memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan
imunosupresan lainnya. Imunosupresan ini memiliki kemampuan neurogeneratif dan
neuroprotektif. [14]
FIBRIN GLUE IN NERVE REPAIR
Dahulu graft saraf dijahit dengan menggunakan jahitan mikro sintetik, yang dapat
menstimulasi reaksi fibrosis dan inflamasi pada area sambungan yang dapat menghambat
regenerasi serat saraf. Naraka, pada tahun 1988 menggunakan lem fibrin pada repair saraf.
Sejak saat itu menjadi trend dikalangan ahli bedah saraf perifer. Studi terbaru
membandingkan lem fibrin dengan jahitan mikro pada repair saraf median tikus dan
menghasilkan repair saraf dengan fibrin sealant menghasilkan respon inflamasi dan fibrosis
yang lebih kecil, regenerasi aksonal yang lebih baik, dan kesejajaran serat yang lebih baik
dibandingkan dengan terknik jahitan mikro. Selain itu teknik fibrin sealant juga cepat dan
mudah digunakan. [14]
NERVE CONDUITS
Meskipun transplantasi graft saraf autologous merupakan plihan utama penanganan
pasien dengan celah saraf perifer, namun kelemahan utama teknik ini adalah terbatasnya saraf
donor yang tersedia. Masalah inilah yang menjadi alasan munculnya metode nerve guidance
channels. Saluran saraf ini membantu mengarahkan tunas aksonal dari puntung proksimal
sampai ke puntung saraf distal. Cara ini juga menyediakan saluran untuk difusi faktor-faktor
neurotropik dan neutotopik dan meminimalisasi infiltrasi jaringan ikat. Pipa saluran dibuat
dari bahan dasar biologi misalnya kolagen yang telah menunjukkan keberhasilan pada jarak
celah kurang dari 3 cm. [14]
NERVE TRANSFERS
Neurotisasi (atau transfer saraf) dilakukan pada repair cedera pleksus brachialis yang
berat, dimana akar saraf spinal proksimal robek dari medulla spinalis. Saraf proksimal yang
sehat kemudian disambungkan ke distal untuk menginervasi saraf yang tidak menerima
innervasi melalui akson yang didonorkan. Konsep ini adalah dengan mengorbankan fungsi
dari otot donor yang kurang berguna untuk menghidupkan kembali fungsi saraf dan otot
resipien melalui re-innervasi. Penggunaan transfer saraf merupakan kemajuan utama dalam
rekonstruksi pleksus brachialis dengan menggunakan berbagai saraf donor yang berbeda
untuk mengembalikan fungsi yang diinginkan. Idealnya transfer saraf harus dilakukan 6
bulan sebelum 6 bulan post trauma. Tersedia berbagai variasi saraf donor untuk neurotisasi.
Beberapa sumber neurotisasi yang biasa digunakan antara lain saraf aksesoris spinal, saraf
16

frenikus, saraf pektoralis medial, dan saraf interkostal. Metode terbaru, menggunakan
faskikel saraf fungsional ulnar dan median (oberlin transfer) pada pasien dengan C8 dan T1
intak sehingga memungkinkan pengembalian fleksi siku yang sempurna. Neurotisasi
mengorbankan saraf donor, yang nantinya paling tidak mengembalikan fungsi saraf resipien
atau fungsi otot secara parsial. Rami motorik harus diidentifikasi sebelum dihubungkan ke
resipien motor, hal ini disebabkan secara teori men-transfer donor motor yang murni ke saraf
resipien motor tidak pernah memberikan hasil yang terbaik pada neurotisasi motor. Metode
untuk mengidentifikasinya antara lain dengan stimulasi elektrik, arah serat saraf dan
pewarnaan histokimia. Saraf yang umumnya digunakan adalah saraf interkostal yang
mengandung sekitar 1300 serat mielin, dan saraf aksesoris spinal dengan 1700 serat. Saraf
muskulokutaneus yang ideal untuk neurotisasi motor adalah memiliki 60% serat fiber yang
akan memerlukan dua serat aksesoris spinal atau lima sarat asesoris spinal. Neurotisasi pada
lokasi resipien di area perifer pleksus misalnya saraf muskulokutaneus, saraf supraskapular,
dan saraf aksilla lebih efektif dibandingkan resipien pada dareah sentral seperti medulla
posterior atau bagian bawah/posterior cord or the lower trunk. Hal ini disebabkan serat donor
akan berpencar melalui cabang-cabang saraf lain sehingga menyebabkan neurotisasi tidak
maksimal dan juga menyebabkan kontraksi simultan pada otot-otot antagonis. Rekonstruksi
saraf merupakan modalitas yang lebih dipilih pada penanganan otot paliatif atau tendon
transfer pada cedera pleksus brachialis dewasa. Transfer saraf atau neurotisasi memiliki tiga
kategori utama yaitu extraplexal neurotization, intraplexal neurotization, dan end-to-side
neurorraphy. Jahitan langsung/direk tanpa tekanan pada neurotisasi lebih baik dibandingkan
jahitan indirek pada graft saraf khususnya pada saraf donor yang lemah seperti saraf
interkostal dan saraf asesoris spinal distal. Neurotisasi bertujuan untuk meng-inervasi
kembali saraf resipien sedekat mungkin dengan otot target. Pasien juga perlu dipersiapkan pre
operasi untuk melakukan latihan induksi sebelum neurotisasi dilakukan. Sebagai contoh,
setelah transfer saraf interkostal dan frenikus, pasien harus dilatih untuk berlari, berjalan, atau
mendaki untuk mencapai pernapasan dalam. Seiring proses penyembuhan, latihan yang
frekuen pada otot yang di re-inervasi akan memungkinkan adanya impuls saraf internal. [14]
Re- implantasi serat spinal yang avulsi ke dalam medulla spinalis
Carlstedt, berdasar pada penelitian binatang, membedah 10 pasien dengan lesi pleksus
brachialis dan berhasil mengembalikan fungsi otot lengan proksimal melalui re-plantasi saraf.
Re-plantasi saraf secara langsung kadangkala tidak dapat dilakukan. Alternatif lainnya adalah
dengan menghubungkan saraf target dengan graft saraf yang di implantasi ke dalam medulla
spinalis. [14]
17

b. REHABILITASI MEDIK
Pada awal trauma, lengan mungkin diistirahatkan beberapa hari atau minggu sebelum
memulai latihan. Pada fase subakut, terapi secara bertahap berkembang dari gerak pasif
menjadi aktif yang dapat ditoleransi. [10]
1. Imobilisasi
Imobilisasi merupakan terapi yang efektif untuk mengurangi nyeri akut. Pada trauma
plexus brachialis dilakukan positioning, yakni lengan diletakkan dalam sikap abduksi, elevasi
di atas bahu dengan tangan eksorotasi untuk membebaskan saraf spinal dari peregangan dan
mengembalikan fungsi saraf kembali. [15]
2. Ultrasound Diathermy (USD)
Diatermi berdasarkan konversi energy suara frekuensi tinggi (high frequency acoustic
vibration). Penetrasinya dalam (3-5 cm), menggambarkan daya > 2 W/cm2, gelombang suara
hanya memiliki daya penetrasi bila digunakan bersama gel, aquasonic dapat mencapai sekitar
73%. Penggunaan USD ini efektifuntuk terapi nyeri akibat neuropati perifer, neuroma dan
herpes zoster. Konraindikasi USD : pemberian pada mata, daerah otak, medulla spinalis post
laminektomi, kehamilan, pacemaker jantung, daerah perikardiak, lokasi post radioterapi,
daerah epifise yang sedang tumbuh, post operasi ganti sendi dengan bahan methyl
methacrylate/polyethylene, daerah neoplasma. Kontraindikasi lainnya pada terapi panas
adalah peradangan akut, perdarahan, hipostesi, anestesi, daerah keganasan, gangguan
komunikasi dan tromboflebitis akut. [15]
3. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
TENS merupakan jenis stimulasi listrik dengan frekuensi rendah/tinggi intensitas
rendah/tinggi dan merupakan elektroanalgesia yang paling sering digunakan untuk mengatasi
nyeri. TENS berfrekuensi rendah 2-3 Hz sedangkan yang tinggi berfrekuensi 50-100 Hz dan
seringkali lebih efektif. Intensitas yang digunakan untuk berfrekuensi rendah lebih 30 mA
dan yang berfrekuensi tinggi 10-30 mA. TENS diindikasikan terutama untuk nyeri fokal,
sindrom nyeri kronik antara lain radikulopati, terutama perifer. [15]
4. Electrical Muscle Stimulation (EMS)
Alat yang digunakan untuk menstimulasi otot-otot dan mencegah atrofi otot. Manfaat dari
EMS : 1). Relaksasi otot yang mengalami ketegangan/kejang. 2. Pencegahan atrofi otot
karena tidak digunakan/kelumpuhan.3. meningkatkan sirkulasi darah local.4. stimulasi pasca
operasi otot betis untuk mencegah thrombosis vana.6. mempertahankan atau meningkatkan
jangkauan gerak.
Stimulasi otot listrik pada dasarnya dilakukan dengan merangsang beberapa bagian tubuh.
Untuk tujuan ini, sebuah perangkat elektronik yang menggunakan elektroda kecil yang secara
18

langsung ditempatkan pada daerah tubuh yang perlu dirangsang. Sebuah aliran listrik yang
rendah dialirkan melalui kabel untuk memberikan rangsangan listrik agar dapat menstimulasi
otot yang mengalami kelemahan. Alat ini dapat mengatur tegangan listrik yang ditimbulkan
untuk disesuaikan dengan lokasi otot yang dirangsang. Tegangan listrik yang rendah biasanya
digunakan pada kelompok otot yang lebih kecil, yang tidak dapat dirangsang dengan cara
lain. Menggunakan EMS sangat dianjurkan pada kasus-kasus cedera, dan gangguan
pergerakan yang disebabkan oleh kerusakan saraf pusat.
5. Terapi latihan (Physioterapy)
Program rehabilitasi dapat dilakukan dengan terapis fisik dan atau terapi okupasi.
Tujuannya adalah untuk mencegah atropi, mempertahankan ROM, meningkatkan kekuatan
dan fleksibilitas, menangani nyeri, mengembalikan fungsi struktur yang diinervasi oleh saraf
yang rusak untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa latihan yang dapat
digunakan: [16]
a. Latihan Range Of Motion (ROM)
ROM terdiri dari aktif, pasif atau kombinasi keduanya. Latihan yang dapat dilakukan 1.
Kepalkan tangan kemudian lepaskan semampunya,2. Tekuk pergelangan tangan sehingga
telapak tangan bergerak ke arah lengan bawah, tahan selama 3-5 detik kemudian luruskan, 3.
Ekstensi pergelangan tangan semampunya kemudian luruskan, 4. Fleksi siku semampunya
kemudian luruskan, 5. Berdiri tegak, tangan di samping badan, angkat ke depan dan ke atas,
tahan kemudian lepaskan. [16]
b. Latihan penguatan
Penguatan dilakukan dengan mengulangi latihan ROM tetapi dengan menggunakan
tahanan. Tahanan bisa dalam bentuk tension bands atau barbell. Tahanan ditingkatkan sampai
dapat menyelesaikan tiga set dengan mudah, sambil mempertahankan bentuk yang baik.
Gerakan tidak terlalu cepat tetapi terkontrol dan hindari bantuan dari bagian tubuh lainnya
seperti bersandarke samping sambil mengangkut lengan di atas kepala. [16]
6. Terapi okupasi
Terapi okupasi terkonsentrasi pada mempertahankan ROM di bahu, orthosis yang tepat
untuk mendukung fungsi tangan, siku dan lengan, dan menangani control edema dan deficit
sensorik, dengan pengujian dan terapi. Terapi okupasi mungkin menangani masalah-masalah
yang berkaitan dengan kemampuan pasien untuk menulis, mengetik, dan menemukan cara
alternative untuk berkomunikasi. Selain itu, terapi okupasi menyediakan bentuk pelatihan
ulang untuk aktivitas hidup sehari-hari, termasuk penggunaan teknik 1 lengan, peralatan
adaptif, dan latihan penguatan. [16], [17]
7. Ortohosis
Pada umumnya penderita dengan trauma plexus brachialis akan menggunakan lengan
kontralateral untuk beraktivitas. Pada beberapa kasus, penderita memerlukan kedua tangan
19

untuk melakukan aktivitas yang lebih kompleks. Untuk itu orthosis di desain sesuai
kebutuhan, terutama untuk mensuport bahu dan siku. Beberapa orthosis digerakkan
menggunakan system mioelektrik, sehingga penderita mampu melakukan gerakan pada
pergelangan tangan dan pinch pada jari-jarinya. [16], [17]
Orthosis ini dapat membantu penderita pasca trauma untuk melakukan aktivitas seharihari seperti makan dan minum dari gelas atau botol, menyisir rambut, menggosok gigi,
menulis, menggambar, membuka dan menutup pintu, membawa barang-barang. [16], [17]
a. Paska operasi nerve repair dan graft
Setelah pembedahan, immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi rahbilitasi
dilakukan setelah 4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota
gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada minggu
ketiga sampai ada perbaikan motorik. [10], [17]
Pasien secara tertulis diobservasi dan apabila terdapat tanda-tanda perbaikan motorik,
latihan aktif segera dimulai. Latihan biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang
mengalami reinervasi bila mempunyai control yang lebih baik. [16]
b. Pasca operasi free muscle transfer
Setelah transfer otot, ekstremitas atas dimobilisasi dengan bahu abduksi 300, fleksi 600
dan rotasi internal, siku fleksi 1000. Pergelangan tangan posisi netral, jari-jari dalam posisi
fleksi atau ekstensi tergantung jenois rekonstruksinya. [10]
Pemberian elektrostimulasi pada transfer otot, dan saraf yang di repair dilakukan pada
target otot yang paralisa seperti otot gracilis, triceps brachii, supraspinatus dan infraspinatus.
Elektrostimulasi intensitas rendah diberikan mulai pada minggu ketiga paska operasi dan
tetap dilanjutkan sampai EMG menunjukkan adanya reinervasi. Enam minggu paska operasi
selama menjaga rengangan berlebihan dari jahitan otot dan tendo, dilakukan ekstensi
pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Siku metacarpal juga digerakkan
pasif untuk mencegah deformitas claw hand. [17]
c. Setelah reinervasi
Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3-8 bulan paska
operasi, EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot menggerakkan siku dan jari
dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya secara efektif. [10], [17]
Reduksi otot diindikasikan saat pasien menunjukkan kontraksi aktif minimal yang tampak
pada otot dan grup otot. Tujuan reduksi otot untuk pasien adalah mengaktifkan kembali
control volunteer otot. Ketika pasien bekerja dengan otot yang lemah, intensitas aktivitas
motor unit dan frekuensi kontaksi otot akan meningkat. Waktu sesi terapi seharusnya pendek
dan dihentikan saat terjadi kelelahan dengan ditandai penurunan kemampuan pasien
mencapai tingkat yang diinginkan. [10], [17]

20

Pemanasan, ultrasound diatermi, TENS, interferensial stiumulasi, elektrostimulasi dapat


dipergunakan sesuai indikasi. Dilakukan juga penguatan otot-otot leher dan koreksi imbaans
otot-otot ekstremitas atas. [10], [17]

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.

Foster, M., Traumatic Brachial Plexus Injuries. 2011, emedicine. p. 1-4.


Brachial Plexus Birth Palsy: A 10-Year Report on the Incidence and Prognosis.
Journal of Pediatrics Orthopaedics, 1984. 4(6).
Dorsi, M., W. Hsu, and A. Belzberg, Epidemiology of brachial plexus injury in the
pediatric multitrauma population in the United States. Journal of Neurosurgery, 2010.
5.
Rajiv, M., Epidemiology of Brachial Plexus Injuries in a Multitrauma Population.
Neurosurgery, 1997. 40(6): p. 1182-89.
Snell, R., Ekstremitas superior, in Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, J.
Oswari, Editor. 1998, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. p. 132-253.

21

6.
7.
8.
9.
10.
11.

12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Moore, K. and A. Agur, Essential Clinical Anatomy ed. 3. 2007, Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins.
Junqueira, L. and J. Carneiro, Basic Histology Text and Atlas, ed. 11. 2005, New York:
McGraw-Hill Medical.
Gartner, L. and J. Hiatt, Color Text Book of Histology, ed. 3. 2007, Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Wood, M. and P. Murray, Current Concepts in the Surgical Management of Brachial
Plexus Injuries. 2006, www. DCMSonline.org. p. 31-4.
Foster, M., Brachial Plexus Injury Traumatic. 2009, emedicine.
Grant, G., R. Goodkin, and M. Kliot, Evaluation and treatment of traumatic
peripheral nerve injuries, in Neurosurgical Operative Atlas Spine and Peripheral
Nerves, B. Brandenburg, Editor. 2007, Thieme Medical Publisher: New York. p. 88894.
Yoshikawa, T., et al., Brachial Plexus Injury: Clinical Manifestations, Conventional
Imaging Findings, and the Latest Imaging Techniques. Radiographics, 2006. 26: p.
133-44.
Van, H., et al. MRI of the brachial plexus. Volume, 84-90
Bhandari, P., et al., Current trends in the management of brachial plexus injuries.
Indian Journal of Neurotrauma, 2008. 5(1): p. 21-5.
Aulina, S. and A. Pratiwi, Rehabilitasi pada nyeri dalam nyeri neuropatik 2001:
Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI.
Weiss, L. and J. Silver, Brachial Plexopathies in Easy EMG. 2004, Eidenburgh:
Butterworth Heinemann.
Kaye, V., Traumatic Brachial Plexopath. 2008.
Murad, G., S. Yamada, and R. Lonser, Brigde Bypass Coaptation for Upper Trunk
Cervical Nerve Root Avulsion, in Neurosurgical Operative Atlas Spine and Peripheral
Nerves, B. Brandenburg, Editor. 2007, Thieme Medical Publisher: New York. p. 396401.

22

Вам также может понравиться