Вы находитесь на странице: 1из 67

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Jerawat merupakan penyakit kulit yang sering dialami oleh remaja sebagai
tanda awal terjadinya pubertas.(1) Hal ini dapat dilihat dari tingginya prevalensi
kasus jerawat terhadap remaja yaitu 47-90%. (2) Gejala klinis pada jerawat seperti
komedo, papul, pustul dan scar pada daerah wajah, leher, lengan atas, dada dan
punggung dapat mempengaruhi penampilan dan memberikan efek psikologis yang
buruk bagi penderitanya.(3,4)
Jerawat terjadi akibat adanya produksi sebum, penyumbatan saluran pilosebase
serta kolonisasi bakteri di saluran pilosebase.Adapun mikroorganisme yang
berperan penting dalam patogenesis jerawat adalah Propionibacterium acnes.
(5,6)

P.acnes merupakan flora normal yang terdapat pada saluran pilosebase.

Peningkatan konsentrasi bakteri ini pada saluran pilosebase dapat memicu


terjadinya jerawat karena bakteri tersebut berperan pada proses kemotaktik
inflamasi serta pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi sebum menjadi
massa padat yang menyebabkan terjadinya penyumbatan pada saluran pilosebase.
(7,8)

Pengobatan terhadap jerawat biasanya dilakukan dengan menggunakan produk


kosmetik yang mengandung antibiotik.(9) Akan tetapi, hal tersebut kurang efektif
karena antibiotik memiliki beberapa efek samping antara lain iritasi dan resistensi
antibiotik karena penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Salah satu
penelitian mengenai kejadian resistensi antibiotik terhadap P.acnes telah
dilakukan di Columbia menggunakan P.acnes yang diisolasi dari 100 penderita
jerawat kemudian dilakukan pengukuran zona hambat yang disebabkan oleh

antibiotik yang sering digunakan untuk pengobatan jerawat. Berdasarkan


penelitian tersebut diketahui bahwa P.acnes resistensi terhadap eritromisin (35%),
klindamisin (15%), doksisiklin (9%) dan tetrasiklin (8%).(10) Hal ini mendorong
beralihnya penggunaan sediaan yang berasal dari alam karena mempunyai nilai
yang lebih ekonomis dan efek samping lebih kecil dibandingkan dengan obat-obat
sintesis apabila digunakan dengan formulasi yang tepat.(3)
Jahe merah (Zingiber officinale Rosc. var. rubrum) merupakan salah satu
rempah - rempah dalam suku Zingiberaceae yang telah diteliti dan diketahui
memiliki aktivitas antibakteri karena pada rimpangnya mengandung senyawa
yang memiliki aktivitas tersebut yaitu senyawa dari golongan flavonoid, fenol,
terpenoid dan minyak atsiri.(10,11)Ekstrak metanol Z. officinale Rosc. bersifat
antibakteri terhadap Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia
coli dan Pseudomonas Aeruginosa pada konsentrasi 100 g/ml, 250 g/ml dan
500 g/ml dengan zona hambat sebesar 16 - 28 mm. Selain itu, minyak atsiri
rimpang Z. officinale Rosc. dapat menghambat pertumbuhan bakteri P.acnes pada
konsentrasi 0,25% dengan zona hambat 5-10 mm. (12) Sedangkan ekstrak etanol
rimpang Z. officinale Rosc. juga memiliki aktivitas untuk menghambat
pertumbuhan bakteri S. Epidermidis pada konsentrasi 0,5% dengan zona hambat
sebesar 13 mm dan P. acnes pada konsentrasi 0,045% dengan zona hambat
sebesar 9 mm.(13) Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat bahwa ekstrak
etanol Z. officinale Rosc. lebih efektif dalam menghambat P. acnes jika
dibandingkan dengan minyak atsiri Z. officinale Rosc.

Ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. pada penelitian sebelumnya


diformulasikan dalam bentuk sediaan gel. Akan tetapi, hasil pengujian stabilitas
terhadap sediaan gel menunjukkan penurunan efektivitas setelah penyimpanan
selama 29 hari.(13) Oleh karena itu diperlukan formulasi yang baru untuk
mengatasi masalah tersebut. Salah satu sistem penghantaran obat (Drug Delivery
System) yang dapat digunakan untuk mengatasi ketidakstabilan adalah
mikroemulsi.(14)Mikroemulsi adalah suatu sistem dispersi minyak dengan air yang
distabilkan oleh lapisan antarmuka dari molekul surfaktan.(15)Mikroemulsi
merupakan suatu sistem dispersi yang dikembangkan dari sediaan emulsi. Akan
tetapi, jika dibandingkan dengan emulsi biasa mikroemulsi lebih stabil secara
termodinamik, transparan, isotropik, mempunyai daya larut yang tinggi serta
mempunyai kemampuan penetrasi yang baik.(16)Selain itu, mikroemulsi lebih cepat
menembus lapisan-lapisan kulit manusia karena terdapat bagian yang lipofilik
serta memiliki ukuran partikel yang sangat kecil.(7)
Mikroemulsi yang akan dibuat pada penelitian ini adalah mikroemulsi dengan
tipe air di dalam minyak (a/m). Tipe ini dipilih karena dapat meningkatkan efek
kelembaban pada kulit dan sulit dicuci dengan air sehingga memiliki waktu
kontak yang lama dengan kulit.(17) Mikroemulsi tipe air di dalam minyak dapat
dibentuk menggunakan surfaktan span 60. Span 60 (Sorbitan monostearat)
merupakan agen pengemulsi yang memiliki nilai HLB rendah ( HLB = 4,7)
sehingga memiliki karakter hidrofobik yang lebih besar daripada hidrofiliknya
atau memiliki kelarutan yang lebih rendah di dalam air sehingga dapat digunakan
sebagai penstabil emulsi air dalam minyak yang baik. Selain itu, span 60 memiliki

daya sebar yang sangat baik pada kulit.(18) Span 60 juga telah digunakan pada
formulasi cold cream ekstrak kulit Garcinia mangostana L. dan diketahui
menghasilkan sediaan cold cream dengan stabilitas fisik yang baik.(19) Selain itu,
span 60 juga pernah digunakan dalam formulasi sunscreen cream nano propolis
dan menghasilkan sediaan yang stabil.(20)
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian mengenai efektivitas
antibakteri mikroemulsi ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. terhadap P.
acnes dengan menggunakan variasi konsentrasi span 60 untuk mendapatkan
sediaan mikroemulsi yang stabil baik secara fisika maupun kimia serta memiliki
efek sebagai antijerawat.
I.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah dari penelitian ini yaitu :
1. Berapa konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak etanol rimpang Z.
officinale Rosc. terhadap P. acnes ?
2. Berapa konsentrasi optimum span 60 yang digunakan untuk dapat membuat
sediaan mikroemulsi ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. yang stabil
secara fisik dan kimia ?
3. Bagaimana perbandingan efektivitas sediaan mikroemulsi ekstrak etanol
rimpang Z. officinale Rosc. terhadap P. acnes jika dibandingkan dengan
kontrol negatif (mikroemulsi tanpa ekstrak) dan kontrol positif (ekstrak etanol
rimpang Z. officinale Rosc.) ?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak etanol rimpang Z.


officinale Rosc. terhadap P. acnes.
2. Menentukan konsentrasi optimum span 60 yang digunakan untuk dapat
membuat sediaan mikroemulsi ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. yang
stabil secara fisik dan kimia
3. Menentukan efektivitas sediaan mikroemulsi ekstrak etanol rimpang Z.
officinale Rosc. terhadap P. acnes jika dibandingkan dengan kontrol negatif
(mikroemulsi tanpa ekstrak ) dan kontrol positif (ekstrak etanol rimpang Z.
officinale Rosc.).
I.4 Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1. Bagi peneliti sebagai sarana penerapan dan pengembangan ilmu untuk
memperoleh suatu sediaan antibakteri dari bahan alam yang stabil guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat terhadap masalah infeksi bakteri P.
acnes.
2. Bagi masyarakat sebagai informasi mengenai manfaat mikroemulsi rimpang Z.
officinale Rosc. sebagai antijerawat.
3. Bagi institusi pendidikan untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
dibidang aktivitas senyawa antibakteri dari senyawa alam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tanaman Z. officinale Rosc.


II.1.1 Morfologi
Tanaman Z. officinale Rosc. merupakan herba yang berbatang semu dengan ciri
fisik yaitu batang jahe berbentuk bulat, berwarna hijau kemerahan dan agak keras
karena diselubungi oleh pelepah daun. Tinggi tanaman mencapai 34,18-62,28 cm.
Daun tersusun berselang-seling secara teratur dan memiliki warna yang lebih
hijau (gelap) dibandingkan dengan jenis jahe lainnya. Permukaan daun bagian
atas berwarna hijau muda dibandingkan dengan bagian bawahnya. Luas daun
32,55-51,18 cm2 dengan panjang 24,30-24,79 cm dan lebar 2,79-31,18 cm.
Rimpang jahe berwarna merah hingga jingga muda. Ukuran rimpang Z. officinale
Rosc lebih kecil dibandingkan dengan jenis jahe lainnya, yaitu panjang rimpang
12,33-12,60 cm, tinggi 5,86-7,03 cm, dan berat rata-rata 0,29-1,17 kg. Akar
berserat agak kasar dengan panjang 17,03-24,06 cm dan diameter akar 5,36-5,46
mm.(21) Bentuk rimpang Z. officinale Rosc. dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Rimpang Z. officinale Rosc. (Dokumentasi Pribadi)


II.1.2 Sistematika
Menurut Tjitrosoepomo, sistematika dari Z. officinale Rosc. adalah sebagai
berikut(22) :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Monocotyledonae

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Genus

: Zingiber

Spesies

: Zingiber officinale Rosc. var. rubrum

II.1.3 Kandungan
Senyawa identitas dari Z. officinale Rosc. adalah shogaol.(23) Adapun struktur
kimia shogaol dapat dilihat pada gambar 2. Sedangkan metabolit sekunder yang
merupakan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
berasal dari golongan fenolik, flavanoid, terpenoida dan minyak atsiri yang
terdapat pada ekstrak jahe.(11)

Gambar 2. Struktur Kimia Shogaol(23)


Gingerol merupakan senyawa golongan fenolik yang terdapat pada Z.
officinale Rosc. dan diketahui bersifat antibakteri.(24) Adapun struktur gingerol
dapat dilihat pada gambar 3. Selain kandungan metabolit sekunder dan minyak
atsiri, Z. officinale Rosc. juga memiliki nutrisi yang terdiri dari karbohidrat, lipid,
protein, mineral (fosfor dan potassium), serta vitamin B2 dan vitamin C.(25)

Gambar 3. Struktur Kimia Gingerol(24)


Z. officinale Rosc. memiliki kandungan senyawa kimia yang lebih tinggi dari jahe
lainnya sehingga lebih sering digunakan sebagai bahan baku obat. Adapun
kandungan minyak atsiri Z. officinale Rosc berkisar antara 2,58 sampai 2,72%
dari bobot kering. Selain itu, kandungan oleoresin Z. officinale Rosc. dapat
mencapai 3% dari bobot kering.(21)
II.1.4 Efek Farmakologi
Secara empiris Z. officinale Rosc. biasanya digunakan masyarakat sebagai
obat masuk angin dan gangguan pencernaaan. Tumbuhan Z. officinale Rosc. juga
memiliki efek sebagai analgesik, antipiretik, antiinflamasi, obat diare, dan dapat
meningkatkan daya tahan tubuh. Kandungan senyawa aktif non volatil fenol
seperti gingerol, shogaol, dan gingeron yang cukup tinggi dan berperan sebagai
antioksidan alami bahkan melebihi vitamin E.(26) Selain itu, Z. officinale Rosc juga
memiliki efek sebagai antibakteri terhadap bakteri S. pyogenes, S. aureus, E. coli,
P. Aeruginosa(27) dan P. acnes.(13)

II.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan.(28)
II.2.1 Penggolongan simplisia
II.2.1.1 Simplisia Nabati

Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian
tanaman, atau gabungan antara ketiganya.(29)
II.2.1.2 Simplisia Hewani
Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna
yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni.(29)
II.2.1.3 Simplisia Pelikan
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau
mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum
berupa bahan kimia murni.(29)
II.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Simplisia
II.2.2.1 Bahan baku simplisia
Simplisia bisa diperoleh dari tanaman liar atau tanaman yang dibudidayakan.
Jika simplisia diambil dari tanaman yang dibudidayakan maka keseragaman umur,
masa panen dan galur tanaman dapat dipantau. Sementara jika diambil dari
tanaman liar maka banyak kendala dan variabilitas yang tidak bisa dikendalikan.
(29)

II.2.2.2 Proses Pembuatan Simplisia


Tahapan proses pembuatan simplisia dimulai dari pengumpulan bahan baku,
sortasi basah, pencucian, pengubahan bentuk, pengeringan, sortasi kering serta
pengepakan dan penyimpanan.(29)
II.3 Ekstraksi

10

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut


sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstrak
adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani mengggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.(28)
II.3.1 Cara Dingin
II.3.1.1 Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.(28)
II.3.1.2 Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(Exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penemapungan ekstrak), terus menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang umumnya 1-5 kali bahan.(28)

II.3.2 Cara Panas


II.3.2.1 Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.(28)
II.3.2.2 Soklet

11

Soklet adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, di mana pelarut akan
terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan
merendam sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet setelah pelarut
mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi, demikian berulangulang.(28)
II.3.2.3 Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan
pada temperatur 40-50oC.(28)
II.3.2.4 Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC)
selama waktu tertentu (15-20 menit).(28)
II.3.2.5 Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30menit) dan temperatur
sampai titik didih air.(28)

II.4 Kulit
Kulit merupakan lapisan yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi
utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar.
Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti
pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi, pengaturan suhu
tubuh, produksi sebum dan keringat, pembentukan pigmen melanin untuk

12

melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa,
serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar.(30) Struktur kulit dapat
dilihat pada gambar 4.

Stratum Korneum

Lapisan
Kulit Baru

Subkutan
Kelenjar Keringat
Otot

Folikel
Rambut

KelenjarSebasea

Sel Lemak

Gambar 4. Struktur Kulit(31)


II.4.1 Lapisan Epidermis
II.4.1.1 Stratum Korneum
Stratum korneum (lapisan tanduk) merupakan lapisan kulit yang terluar dan
terdiri atas sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan keratin.(3)

II.4.1.2 Stratum Lusidum


Stratum lusidum merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan
protoplasma yang telah menjadi protein.(3)
II.4.1.3 Stratum Granulosum
Stratum granulosum (lapisan keratohialin) yaitu dua atau tiga lapis sel-sel
gepeng dengan sitoplasma butir kasar dan berinti di antaranya.(3)

13

II.4.1.4 Stratum Spinosum


Stratum spinosum (stratum malphigi) terdiri atas beberapa lapis sel yang
berbentuk poligonal dengan besar yang berbeda akibat adanya proses mitosis.(3)
II.4.1.5 Stratum Basale
Stratum basale terbentuk oleh sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang
tersusun vertikal dan berbaris seperti pagar (palisade).(3)
II.4.2 Lapisan Dermis
Lapisan dermis berada di bawah lapisan epidermis dan lebih tebal daripada
lapisan epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan
elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar lapisan dermis
dibagi menjadi dua bagian yaitu pars papilare dan pars retikulare.(3)
II.4.2.1 Pars Papilare
Pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis yang berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah.(3)
II.4.2.2 Pars Retikulare
Pars retikulare yaitu bagian yang menonjol ke arah subkutan yang berisi
serabut-serabut penunjang misalnya: serabut kolagen, elastin, dan retikulin.(3)
II.4.3 Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis adalah lapisan yang terdapat di bawah dermis yang terdiri
atas jaringan ikat longgar berisi sel lemak. Lapisan sel-sel lemak disebut
panikulus adiposa yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini
terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening.(3)
II.5 Jerawat

14

Jerawat (acne vulgaris) merupakan penyakit kulit peradangan kronik folikel


yang umumnya terjadi pada masa remaja dengan gambaran klinis berupa komedo,
papul, pustul dan nodus pada daerah muka, bahu, leher, dada, punggung bagian
atas dan lengan bagian atas. Jerawat terjadi karena pori-pori kulit terbuka dan
tersumbat dengan minyak, sel-sel kulit mati, infeksi bakteri, faktor makanan,
kosmetik, dan bahan kimia lain. Bakteri yang berperan dalam jerawat adalah P.
acnes dan S. epidermidis. Bakteri ini harus dihambat pertumbuhannya untuk
mengurangi terjadinya peradangan (inflamasi).(3)
II.5.1 Jenis Jerawat
II.5.1.1 Ringan
Jenis jerawat yang termasuk dalam skala ringan adalah whitehead (komedo
tertutup) dan blackhead (komedo terbuka). Whitehead (komedo tertutup)
merupakan kelainan berupa bintil kecil dengan lubang kecil atau tanpa lubang
karena sebum yang biasanya disertai bakteri menumpuk di folikel kulit dan tidak
bisa keluar. Sedangkan blackhead (komedo terbuka) merupakan perkembangan
lebih lanjut dari komedo tertutup, terjadi ketika folikel terbuka di permukaan kulit
sehingga sebum, yang mengandung pigmen kulit melanin, teroksidasi dan
berubah menjadi coklat/hitam. Blackhead dapat berlangsung lama karena proses
pengeringan komedo di permukaan kulit berlangsung lambat.(3)
II.5.1.2 Sedang
Jenis jerawat yang termasuk dalam skala sedang adalah papul, pustul dan
nodule. Papul terjadi ketika dinding folikel rambut mengalami kerusakan atau
pecah sehingga sel darah putih keluar dan terjadi inflamasi di lapisan dalam kulit.

15

Papul berbentuk benjolan-benjolan lunak kemerahaan di kulit tanpa memiliki


kepala. Sedangkan pustule terjadi beberapa hari kemudian ketika sel darah putih
keluar ke permukaan kulit. Pustul berbentuk benjolan merah dengan titik putih
atau kuning di tengahnya yang mengandung sel darah putih. Bila folikel pecah di
dasarnya maka terjadi benjolan radang yang besar dan terasa sakit bila disentuh.
Hal ini disebut dengan nodul. Nodul biasanya terjadi akibat rangsang peradangan
oleh fragmen rambut yang berlangsung lama.(3)
II.5.1.3 Berat
Jenis jerawat yang termasuk dalam skala berat meliputi abses dan sinus.
Beberapa papul atau pustul dapat mengalami pengelompokan dengan membentuk
abses yang berwarna kemerahan, nyeri dan cenderung mengeluarkan bahan
berupa campuran darah, nanah dan sebum. Pada proses penyembuhan kelainan
ini meninggalkan jaring parut yang luas.(3)
II.6 Bakteri P. acnes
Bakteri P. acnes termasuk bakteri gram positif berbentuk batang, tidak
berspora, bersifat anaerob yang ditemukan pada kulit. P. acnes adalah organisme
utama yang menyebabkan terjadinya jerawat. (32) Dinding sel P.acnes terdiri dari
antigen karbohidrat yang dapat menstimulasi antibodi. Bentuk bakteri P. acnes
dapat dilihat pada gambar 5. Sistematika bakteri P. acnes adalah sebagai
berikut(33):
Divisi

: Bacteria

Sub Divisi

: Actinobacteria

Kelas

: Actinobacteridae

16

Ordo

: Actinomycetales

Famili

: Propionibacteriaceae

Genus

: Propionibacterium

Spesies

: Propionibacterium acnes
Antibodi antipropionibacterium menambah respon inflamasi melalui

pengaktifan komplemen P.acnes juga menyebabkan inflamasi dengan cara


bantuan respon hipersensitifitas tipe lambat dan dengan memproduksi enzim
lipase, protease, hialuronidase, dan faktor kemotaktik. Faktor kemotatik yang
disekresikan oleh P.acnes, menyebabkan P.acnes tidak membutuhkan komplemen
untuk aktivasi dan kemungkinan dapat keluar dari folikel dan menyebabkan
penarikan leukosit. Dinding sel P.acnes juga mengandung GroEL (heat shock
protein) yang dapat menyebabkan produksi sitokin dan kemudian merangsang
respon host. Sitokin diproduksi melalui ikatan dengan toll-like receptor 2 pada
monosit dan PMN di sekitar folikel sebasea. Setelah berikatan dengan toll-like
receptor 2, akan dilepaskan sitokin proinflamatori seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan
TNF-.(3436)

Gambar 5. Bakteri P. acnes(33)


II.7 Antibakteri

17

Kekuatan antibakteri merupakan ukuran aktivitas zat aktif yang terkandung dalam
antibakteri untuk menghambat atau membunuh bakteri tertentu. Efektivitas daya
hambat atau daya bunuh antibakteri sangat tergantung pada jumlah dan kekuatan
zat aktifnya.Berdasarkan perbedaan keefektifan terhadap bakteri Gram positif dan
Gram negatif, antibakteri dibagi menjadi spektrum aktivitas sempit dan aktivitas
luas. Antibakteri yang berspektrum aktivitas sempit hanya efektif untuk bakteri
Gram positif atau Gram negatif (seperti penisilin dan gentamisin), sedangkan
antibakteri berspektrum luas efektif untuk bakteri Gram positif dan Gram negatif
(seperti tetrasiklin dan kloramfenikol).(37)Mekanisme antibakteri dibedakan
menjadi lima, yaitu antibakteri dengan mekanisme penghambatan sintesis dinding
sel, perusakan membran plasma, penghambatan sintesis protein, penghambatan
sintesis asam nukleat dan penghambatan sintesis metabolit esensial.(38)

II.8 Metode Uji Aktivitas Antibakteri


II.8.1 Cara Difusi
Sebagai pencadang dapat digunakan cakram kertas, silinder gelas, porselen,
logam dan pencetak lubang (punch hole).
II.8.1.1 Cara Tuang
Media agar yang telah diinokulasikan dengan suspensi bakteri uji dituangkan
ke dalam cawan petri, dan dibiarkan memadat. Ke dalam cakram yang digunakan
di teteskan zat antibakteri, kemudian diinkubasikan pada suhu 37C selama 18-24

18

jam. Daerah bening yang terdapat di sekeliling cakram kertas atau silinder
menunjukkan hambatan pertumbuhan bakteri, diamati dan diukur.(39)
II.8.1.2 Cara Sebar
Media agar dituangkan ke dalam cawan petri kemudian dibiarkan memadat,
lalu suspensi bakteri uji disebarkan. Media dilubangi dengan alat pencetak lubang
(punch hole), ke dalamnya diteteskan zat antibakteri, didiamkan, diinkubasikan
pada suhu 37C selama 18-24 jam. Zona hambat diukur yaitu daerah bening
disekitar lubang dengan menggunakan jangka sorong.(39)
II.8.2 Cara Turbidimetri
Pada cara ini digunakan media cair, yaitu dilakukan penuangan media ke
dalam tabung reaksi, ditambahkan suspensi bakteri, kemudian dilakukan
pemipetan larutan uji, dan inkubasi. Selanjutnya dilakukan pengukuran
kekeruhan, kekeruhan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri diukur dengan
menggunakan instrumen yang cocok, misalnya nephelometer setelah itu dilakukan
penghitungan potensi antimikroba.(39)
II.8.3 Cara Dilusi
Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimum) dan
KBM (kadar bunuh minimum) dari obat antimikroba. Prinsip dari metode dilusi
yaitu menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah
tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing tabung diuji dengan
obat yang telah diencerkan secara serial. Seri tabung diinkubasi pada suhu 37 OC
selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi
terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai

19

tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat.
Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak
adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap bakteri uji.
(38)

II.9 Sterilisasi
Steril merupakan keadaan suatu zat yang bebas dari mikroba hidup, baik yang
menimbulkan penyakit maupun tidak menimbulkan penyakit, sedangkan
sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat ruang atau benda menjadi steril.
Sterilisasi panas dibagi menjadi dua macam yaitu sterilisasi dengan pemanasan
secara kering dan pemanasan secara basah. Sterilisasi dengan pemanasan secara
kering menggunakan oven dan pemijaran. Sedangkan sterilisasi dengan
pemanasan secara basah menggunakan autoklaf.(40)
II.10 Mikroemulsi
Mikroemulsi merupakan sediaan yang stabil secara termodinamik, transparan,
dispersi dari minyak dan air distabilkan oleh lapisan antarmuka dari molekul
surfaktan. Surfaktan yang digunakan dapat merupakan surfaktan murni, campuran
atau kombinasi dengan zat tambahan lain. Sistem homogen ini bisa disiapkan
dengan bermacam-macam konsentrasi surfaktan dan rasio minyak dan air
(20-80%).(41)
Mikroemulsi memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan emulsi
biasa yaitu mikroemulsi lebih stabil secara termodinamik, transparan dan
memiliki viskositas rendah. Akan tetapi dalam formulasinya membutuhkan
surfaktan dalam jumlah besar.(41) Hal ini dilakukan untuk membentuk tegangan
antarmuka yang sangat rendah sehingga mikroemulsi yang terbentuk stabil. Selain

20

itu, biasanya pembuatan mikroemulsi juga menggunakan kosurfaktan untuk


membantu menurunkan tegangan antarmuka. Adapun kosurfaktan yang sering
digunakan adalah alkohol rantai panjang dan menengah.(42)
Sistem dispersi yang dibentuk oleh mikroemulsi terdiri dari 3 tipe yaitu tipe
minyak dalam air (m/a), tipe air dalam minyak (a/m) dan tipe bicontinuous. Tipe
sistem dispersi mikroemulsi tersebut terbentuk tergantung komposisi dari
komponen mikroemulsi itu sendiri. Mikroemulsi tipe m/a akan terbentuk jika
fraksi minyak didispersikan ke dalam fraksi air. Sebaliknya, mikroemulsi tipe a/m
akan terbentuk jika fraksi air didispersikan ke dalam fraksi minyak. Sedangkan
mikroemulsi tipe bicontinuous akan terbentuk jika volume fraksi minyak sama
banyak dengan volume fraksi air dimana struktur bicontinous kedua fraksi (air
dan minyak) memanjang dan surfaktan akan membentuk sebuah antarmuka dari
lekukan yang mendekati nol(41). Tipe sistem dispersi mikroemulsi dapat dilihat
pada gambar 6.

Gambar 6. Tipe Sistem Dispersi Mikroemulsi(42)


II.11 Surfaktan
Surfaktan atau zat aktif permukaan adalah suatu zat yang dapat menurunkan
tegangan antarmuka.(43) Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian berbeda yaitu
bagian polar pada kepala dan non polar pada ekor. Dalam farmasetik, surfaktan
digunakan khususnya sebagai emulgator, solubilizer, dan agen pembasah. (44)

21

Berdasarkan ionisasinya dalam larutan air surfaktan dibagi menjadi empat tipe
yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik.(45)
II.11.1 Surfaktan Anionik
Surfaktan ini membawa muatan negatif pada bagian hidrofilik. Golongan utama
yang terkandung di dalam surfaktan anionik adalah ion karboksilat, sulfat, dan
sulfonat. Secara luas, surfaktan ini banyak digunakan karena harganya yang
murah. Namun, surfaktan ini dapat menyebabkan iritasi dan toksik sehingga
hanya digunakan untuk sediaan luar. Surfaktan ini hanya menghasilkan emulsi
a/m. Contoh surfaktan ionik yaitu: Garam Na, K, atau ammonium dari asam
lemak rantai panjang seperti sodium stearat, sodium lauril sulfat, triethanolamine,
sodium dioctylsulphosuccinate dan sebagainya.(45)
II.11.2 Surfaktan Kationik
Surfaktan ini mengandung muatan positif pada bagian hidrofilik. Gugus
terpenting pada surfaktan ini terdiri atas senyawa quartenary ammonium.
Surfaktan ini memiliki sifat toksik sehingga cenderung digunakan untuk formula
krim antiseptik. Surfaktan kationik tidak dapat bercampur dengan surfaktan
anionik serta tidak stabil di pH tinggi. Contoh

surfaktan kationik yaitu:

Cetrimide, cetrimonium bromida, benzalkonium klorida, dan cetylpyridinium


klorida.(45)
II.11.3 Surfaktan Amfoterik
Surfaktan amfoterik memiliki dua sifat pada bagian hidrofiliknya, tergantung
pHsistem. Surfaktan ini bersifat kationik jika pH rendah dan bersifat anionik jika
pHtinggi. Contoh surfaktan amfoterik yaitu: Lecithin.(45)

22

II.11.4 Surfaktan Nonionik


Surfaktan nonionik tidak memiliki muatan pada bagian hidrofiliknya.
Surfaktan nonionik mempunyai kemampuan melarutkan senyawa yang kurang
larut dan memiliki toksisitas rendah. Contoh surfaktan nonionik yaitu: Glikol dan
gliserol ester, sorbitan ester, polisorbat, PEG dan poloxalkol.(45)
II.12 Analisis bahan
II.12.1 Span 60
Span merupakan pengemulsi yang memiliki karakter hidrofobik yang lebih besar
daripada hidrofiliknya. Span 60 (Sorbitan monostearat) adalah emulsifier yang
berbentuk padatan pada suhu ruang karena rantai hidrokarbon jenuhnya yang
relatif panjang dan titik leburnya 54OC. Emulsifier tersebut memiliki nilai HLB
(Hydrophilic-Lipophilic Balance) rendah (HLB = 4,7), dan penyebarannya di kulit
sangat baik.(46) Selain itu, span 60 termasuk jenis pengemulsi air di dalam minyak.
Bila dibandingkan dengan golongan span lainnya, span 60 memberikan emulsi
a/m yang paling stabil terhadap koalesensi.(18) Struktur kimia span 60 dapat dilihat
pada gambar 7.

Gambar 7. Struktur Kimia Span 60(18)


II.12.2 VCO
Virgin coconut oil (VCO) berasal dari buah kelapa segar yang baru dipetik dan
bukan berasal dari kopra seperti minyak kelapa biasa. Proses pembuatan minyak
kelapa murni dilakukan pada suhu relatif rendah dan tidak ditambahkan pelarut
kimia. Karena dibuat tanpa pemanasan, maka zat - zat bermanfaat dalam daging

23

buah kelapa seperti vitamin E dan enzim - enzim lain tetap terdapat di dalamnya.
VCO memiliki nilai bilangan asam, Free Fatty Acid (FFA), bilangan tidak
tersaponofikasi dan bilangan peroksida lebih rendah dari minyak kelapa biasa.(47,48)
VCO mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam
lemak jenuh yang terdapat dalam VCO, yaitu asam laurat (50,50%), asam miristat
(16,18%), asam kaprat (8,60%), asam palmitat (7,50%), asam kaprilat (6,10%),
asam stearat (1,50%) dan asam kaproat (0,20 %). Asam lemak tidak jenuh yang
terdapat dalam VCO yaitu asam oleat (6,50%), asam linoleat (2,70 %) dan asam
palmitoleat (0,20 %). Asam lemak dapat meningkatkan penetrasi berbagai macam
obat seperti asam oleat dan

asam laurat dapat meningkatkan penetrasi

piroksikam. Asam oleat juga berperan dalam meningkatkan penetrasi asam


salisilat dan fluorourasil. Asam lemak tinggi yang terdapat dalam VCO juga
berperan dalam meningkatkan penetrasi piroksikam.(47,48)
II.12.3 Aquadest
Aquadest adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi. Dibuat
dari air yang memenuhi persyaratan air minum. Tidak mengandung zat tambahan
lain. Air ini digunakan untuk pembuatan sediaan-sediaan dan untuk uji penetapan
pelarutan beberapa tablet.(49)
II.12.4 Dimethylol-5,5-dimethylhydantoin
Dimethylol-5,5-dimethylhydantoin (DMDH hydantoin) adalah pengawet yang
digunakan dalam produk kosmetik berbentuk serbuk putih kristal. DMDM
hydantoin mempunyai titik lebur 175 178OC (dekomposisi), sedikit larut di
dalam air dan stabil di bawah kondisi normal. Konsentrasi maksimum

24

penggunaan DMDM hydantoin pada kosmetik menurut BPOM adalah 0,6%. (50)
Struktur kimia DMDM Hydantoin dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Struktur Kimia DMDM Hydantoin(50)

II.12.5 Butylated Hydroxyl Toluene


Butylated Hydroxyl Toluene (BHT) berupa kristal putih atau kuning pucat
dengan bau fenol yang lemah. Kelarutan BHT yaitu praktis tidak larut dalam air,
gliserin, propilen glikol, larutan alkali hidroksida dan asam mineral encer tetapi
agak mudah larut dalam aseton, etanol, benzena. BHT lebih mudah larut dalam
lemak daripada BHA. Dalam formula sediaan farmasi, BHT digunakan sebagai
antioksidan.(51) Struktur kimia BHT dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Struktur Kimia BHT(51)


Pemajanan BHT terhadap cahaya, kelembapan dan panas akan menyebabkan
perubahan warna dan hilangnya aktivitas antioksidan BHT. BHT inkompatibel
dengan agen oksidator kuat seperti peroksida dan permanganat. Garam besi dapat
menyebabkan perubahan warna dan hilangnya aktivitas antioksidan BHT.(51)
II.12.6 Etanol
Etanol mempunyai sifat dapat bercampur dengan kloroform, eter, gliserin dan air.
Dalam formula, etanol digunakan sebagai pelarut, kosurfaktan, atau anti mikroba.

25

Dalam formula transdermal, etanol digunakan sebagai agen peningkat penetrasi


obat. Pada suasana asam, etanol akan bereaksi kuat dengan oksidator. Campuran
dengan basa akan memberikan warna lebih gelap karena terbentuknya aldehida.(51)
II.13 Landasan Teori
Jerawat merupakan penyakit kulit peradangan kronik folikel yang umumnya
terjadi pada masa remaja dengan gambaran klinis berupa komedo, papul, pustul
dan nodul pada daerah muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan lengan
bagian atas. Jerawat terjadi karena pori-pori kulit terbuka dan tersumbat dengan
minyak, sel-sel kulit mati, infeksi bakteri, faktor makanan, kosmetik, dan bahan
kimia lain. Bakteri utama yang menyebabkan jerawat adalah P. acnes.
Bakteri P. acnes merupakan flora normal yang terdapat pada kelenjar
pilosebase. Peningkatan konsentrasi bakteri ini pada kelenjar pilosebase memicu
terjadinya jerawat.(7)Bakteri ini berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta
pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi sebum menjadi massa padat, yang
menyebabkan terjadinya penyumbatan pada saluran kelenjar pilosebasea. (8) Terapi
untuk menangani jerawat dapat dilakukan dengan antibiotik, akan tetapi hal ini
dapat menimbulkan masalah seperti resistensi sehingga menyebabkan kegagalan
dalam terapi tersebut.(10) Oleh karena itu diperlukan alternatif lain untuk mengatasi
masalah jerawat yaitu dengan menggunakan bahan alam.
Salah satu bahan alam yang dapat digunakan sebagai antibakteri adalah Z.
officinale Rosc. Kandungan senyawa metabolit sekunder golongan fenolik,
terpenoid, flavonoid dan minyak atsiri pada Z. officinale Rosc. diketahui bersifat
antibakteri terhadap P.acnes. Ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc.pada

26

konsentrasi 0,045% dapat memberikan zona hambat sebesar 9 mm terhadap


P.acnes.(13) Sedangkan minyak atsiri rimpang Z. officinale Rosc. membutuhkan
konsentrasi yang lebih besar yaitu 0,25% untuk membentuk zona hambat sebesar
5-10

mm

P.acnes.(12)

terhadap

Penelitian

sebelumnya

telah

mencoba

memformulasikan ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. dalam bentuk


sediaan gel akan tetapi hasilnya menunjukan ketidakstabilan yaitu terjadi
penurunan efektivitas dan penurunan daya sebar setelah disimpan selama 29 hari.
(13)

Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dibuat sediaan mikroemulsi yang

diharapkan mampu mengatasi masalah ketidakstabilan tersebut. Hal ini


disebabkan oleh beberapa keuntungan mikroemulsi yaitu bersifat stabil, jernih,
transparan, memiliki viskositas yang rendah serta mempunyai tingkat solubilitas
yang tinggi. Selain itu, ukuran partikel mikroemulsi yang kecil dapat
meningkatkan penetrasi obat melalui stratum korneum.(7) Pembuatan mikroemulsi
dilakukan dengan berbagai konsentrasi span 60 yang bertujuan untuk
mendapatkan mikroemulsi tipe air dalam minyak (a/m) yang stabil baik secara
fisika maupun kimia.
II.14 Kerangka Konsep Penelitian
Sediaan mikroemulsi yang
stabil dan mampu menghambat
pertumbuhan P.acnes

Variasi konsentrasi
ekstrak dan span 60

1.
2.
3.
4.
5.

Aktivitas ekstrak
Organoleptis mikroemulsi
PH mikroemulsi
Bobot jenis mikroemulsi
Ukuran globul mikroemulsi
6. Efektivitas sediaan mikroemulsi

27

Gambar 10. Kerangka Konsep Penelitian

II.15 Hipotesis
Mikroemulsi ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. dengan menggunakan
span 60 dapat menghasilkan mikroemulsi yang stabil secara fisika maupun kimia
serta memiliki efektivitas terhadap P. acnes.
BAB III
METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
eksperimental.
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain autoclave, laminar air
flow (LAF) cabinet, lemari pendingin, oven (Memmert), vacuum rotary
evaporator (Rotavapor II BUCHI), water bath (Memmert), soxhlet, timbangan
analitik (Precisa), magnetic stirrer, desikator, blender, mikroskop, jangka sorong,
jarumose,

krusibel porselen, pembakar bunsen, pinset,

prevorator,

tip dan

mikropipet, alat gelas (Iwaki Pyrex).


III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain rimpang Z. officinale
Rosc., span 60, VCO, BHT, DMDM Hydantoin, akuades, etanol 96% teknis,
media blood agar, asam asetat (CH3COOH) glasial (Merck), asam klorida (HCl)

28

pekat (Merck), asam sulfat (H2SO4 ) pekat (Merck), besi (III) klorida (FeCl 3) 5%
(Merck), kloroform (CH3Cl) (Merck), larutan standar Mc. Farland no. 0,5,
magnesium (Mg) (Merck), natrium klorida (NaCl) 0,9%, pereaksi mayer, pereaksi
dragendorf, spiritus dan bahan habis pakai. Bakteri yang digunakan adalah kultur
murni bakteri P. acnes.

III.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Agustus 2015 di Laboratorium
Teknologi dan Biologi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura,
Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpuradan
Poltekkes Pontianak.
III.3 Populasi dan Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian rimpang dari
tanamanZ. officinale Rosc. yang memiliki aktivitas antibakteri. Rimpang Z.
officinale Rosc.diperoleh di Jl. 28 Oktober Pontianak.
III.4 Variabel Penelitian
III.4.1 Variabel Bebas
Variasi konsentrasi ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. dan variasi
konsentrasi span 60 pada formula mikroemulsi.
III.4.2 Variabel Tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah ukuran zona hambat terhadap
bakteri P. acnes serta stabilitas sediaan mikroemulsi.

30

III.5 Definisi Operasional


Tabel 1. Definisi Operasional
No
.
1.

Variabel
Variasi
konsentrasi
ekstrak

2.

Variasi
konsentrasi
surfaktan

3.

Zona
Hambat

4.

Organoleptis

5.

PH

6.

Bobot Jenis

Definisi
Operasional
Konsentrasi
ekstrak etanol
rimpang
Z.
officinale
Rosc. dalam
uji antibakteri
Konsentrasi
span 60 untuk
membuat
sediaan
mikroemulsi
Zona jernih
yang
tidak
tampak
adanya
pertumbuhan
koloni
P.acnes
Penampakan
sediaan

Alat Ukur
Instrumen
pengukur

Hasil Ukur
(Kategori)
Persen (%)

Skala
Rasio

Timbangan Miligram (mg)

Rasio

Jangka
sorong

Rasio

Milimeter
(mm)

1.Tidak ada
pemisahan
2.Ada
pemisahan

PH
yang PH meter
didapat
setelah
formula
dibuat
Perbandingan Piknomete
bobot sediaan r
terhadap air
dengan
voume sama
yang
ditimbang di
udara
pada

31

Nomin
a

Rasio

Gram/mililiter
(g/mL)

Rasio

7.

Ukuran
Globul

suhu
yang
sama
Diameter
PSA
globul rata
rata formula
optimum

Nanometer
(nm)

Rasio

III.6 Jalannya Penelitian


III.6.1 Pengumpulan Sampel
Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang Z. officinale
Rosc. yang dibudidayakan di Jl. 28 Oktober dan dipanen pada rentang umur 9-11
bulan. Metode pengambilan bahan dilakukan secara non-random, yaitu sampel
diambil dengan kualitas yang baik.
III.6.2 Determinasi Tanaman
Tanaman yang digunakan pada penelitian ini dideterminasi di Herbarium
Bogoriense Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
III.6.3 Pengolahan Sampel
Pembuatan simplisia rimpang Z. officinale Rosc. dilakukan dengan cara
rimpang Z. officinale Rosc. yang masih segar dibersihkan dari kotoran yang
melekat kemudian dicuci dengan air bersih, ditiriskan dan ditimbang berat
basahnya. Rimpang Z. officinale Rosc. dirajang, selanjutnya dikeringkan secara
tidak langsung dibawah sinar matahari yaitu dengan ditutup kain hitam hingga
simplisia kering. Kemudian ditimbang berat keringnya. Setelah itu dilakukan
sortasi kering dengan cara memisahkan simplisia yang rusak. Selanjutnya
simplisia dibuat serbuk menggunakan blender dan ditimbang beratnya. Simplisia

32

disimpan dalam wadah yang kedap dan terhindar dari sinar matahari secara
langsung. Simplisia serbuk rimpang kering akan digunakan untuk membuat
ekstrak(52).
III.6.4 Ekstraksi Simplisia
Serbuk simplisia rimpang Z. officinale Rosc. diekstraksi dengan pelarut etanol
96% secara sokletasi pada suhu 70C. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan
vacuum rotary evaporator dan dijaga pada suhu 40C. Ekstrak kemudian
diuapkan diatas water bath pada suhu60C(49).

III.6.5 Pemeriksaan karakteristik ekstrak


Pemeriksaan karakteristik ekstrak, meliputi penetapan susut pengeringan, dan
penetapan kadar sari yang larut dalam air.
III.6.5.1 Penetapan Susut Pengeringan
Ekstrak ditimbang seksama dalam krusibel porselen yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Zat diratakan
dalam krusibel dengan cara digoyangkan, hingga merupakan lapisan setebal lebih
kurang 5 mm sampai 10 mm, dimasukkan ke dalam oven, dibuka tutupnya
kemudian dikeringkan pada suhu 105C hingga bobot tetap. Sebelum setiap
pengeringan dibiarkan krusibel dalam keadaan tertutup mendingin di dalam
desikator hingga suhu kamar, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang
ditentukan atau hingga bobot tetap(49). Penetapan susut pengeringan dilakukan
triplo. Rumus penetapan susut pengeringan dapat dilihat pada persamaan 1 :

33

% Susut Pengeringan =

(Berat awal ekstrak Berat akhir ekstrak )


x 100 %
Berat awal ekstrak

................(1)

III.6.5.2 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air


Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24
jam dalam 100 mL air-kloroform (9:1) dalam labu bersumbat sambil sesekali
dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian
disaring. Sejumlah 20 mL filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan
penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan
pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam
air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara(49). Rumus penetapan
susut pengeringan dapat dilihat pada persamaan 2 :

Berat akhir
% Kadar sari larut air = Berat awal ekstrak x

........................................(2)

100%

III.6.6 Skrining Fitokimia


III.6.6.1 Uji Tabung
III.6.6.1.1Pemeriksaan Alkaloid
Ekstrak dilarutkan dengan etanol, kemudian diekstraksi dengan larutan
kloroform beramonia di dalam tabung reaksi, dikocok lalu disaring. Selanjutnya
kedalam filtrat ditambahkan 0,5-1 mL asam sulfat 2 N dan dikocok sampai
terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (atas) dipipet dan dimasukkan ke dalam tiga
buah tabung reaksi. Kedalam tabung reaksi pertama ditambahkan dua tetes

34

pereaksi Mayer, ke dalam tabung reaksi kedua ditambahkan dua tetes pereaksi
Dragendorf dan ke dalam tabung ketiga ditambahkan dua tetes pereaksi Wagner.
Adanya senyawa alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada
tabung reaksi pertama dan timbulnya endapan berwarna coklat kemerahan pada
tabung reaksi kedua dan ketiga(53). Pemeriksaan alkaloid dilakukan triplo.
III.6.6.1.2 Pemeriksaan Fenol
Ekstrak dilarutkan dengan etanol, kemudian dimasukkan sedikit ke dalam
tabung reaksi, lalu ditambahkan beberapa tetes pereaksi FeCl3 1%. Jika warna
larutan berubah menjadi warna hijau, biru atau ungu menunjukkan adanya
senyawa fenol(54). Pemeriksaan fenol dilakukan triplo.
III.6.6.1.3 Pemeriksaan Flavonoid
Ekstrak dilarutkan dengan etanol, kemudian dimasukkan sedikit ke dalam
tabung reaksi, lalu ditambahkanpita Mg. Setelah ituditambahkan HCl pekat. Jika
terjadi perubahan warna larutan menjadi warna kuning, orange dan hijau
menandakan adanya flavonoid(54). Pemeriksaan flavonoid dilakukan triplo.
III.6.6.1.4 Pemeriksaan Glikosida
Ekstrak dilarutkan dengan etanol, lalu ditambahkan dengan 5 ml asam asetat
anhidrat P dan asam sulfat P ditambahkan 10 tetes. Terjadi warna biru atau hijau
menunjukkan adanya glikosida (reaksi Lieberman-Burchard)(55).
III.6.6.1.5 Pemeriksaan Saponin
Ekstrak dilarutkan dengan etanol, kemudian ditambahkan dengan air, dikocok
vertikal selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi 110 cm yang stabil selama
tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya saponin(55).

35

III.6.6.1.6 Pemeriksaan Steroida dan Terpenoid


Ekstrak dilarutkan dengan n-heksan, kemudian dimasukkan sedikit ke dalam
tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 1 mL pereaksi Lieberman-Burchard
(CH3COOH glasial dan larutan H2SO4 pekat). Jika warna larutan berubah menjadi
biru atau ungu, menandakan adanya kelompok senyawa steroid, jika warna larutan
berubah menjadi merah menunjukkan adanya kelompok senyawa terpenoid (56).
Pemeriksaan steroida dan terpenoida dilakukan triplo.
III.6.6.1.7 Pemeriksaan Tanin
Ekstrak dilarutkan dengan etanol, kemudian dimasukkan sedikit ke dalam
tabung reaksi, lalu ditambahkan beberapa tetes FeCl3 5%. Bila terbentuk warna
biru tua menunjukkan adanya tanin(54). Pemeriksaan tanin dilakukan triplo.
III.6.6.2 Kromatografi Lapis Tipis
III.6.6.2.1 Pemeriksaan Alkaloid
Dibuat fase gerak yang terdiri dari n-heksan:etil asetat (7:3) setelah itu
dimasukkan ke dalam chamber dan dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT
ditotolkan ekstrak yang telah dilarutkan dengan etanol, kemudian dimasukkan ke
dalam chamber, dielusi sampai tanda batas, diambil dan dibiarkan hingga kering.
Lalu dilihat dibawah sinar UV 254 nm dan UV 365 nm. Dilakukan deteksi dengan
menggunakan penyemprot Dragendorf akan menghasilkan warna coklat jingga
berlatar kuning(57).
III.6.6.2.2 Pemeriksaan Flavonoid
Dibuat fase gerak yang terdiri dari etil asetat:metanol (8:2) setelah itu
dimasukkan ke dalam chamber, dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT ditotolkan

36

ekstrak yang telah dilarutkan dengan etanol, kemudian dimasukkan ke dalam


chamber, dielusi sampai tanda batas, diambil dan dibiarkan sampai kering. Lalu
dilihat dibawah sinar UV 254 nm dan UV 365 nm Dilakukan deteksi dengan
menggunakan penyemprot AlCl3 akan menghasilkan warna hijau-kuning(57).
III.6.6.2.3 Pemeriksaan Terpenoid
Dibuat fase gerak yang terdiri dari toluen:etil asetat (93:7) dimasukkan ke
dalam chamber dan dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT ditotolkan ekstrak
yang telah dilarutkan dengan etanol, kemudian dimasukkan pada chamber, dielusi
sampai tanda, diambil dan dibiarkan sampai kering. Deteksi dilakukan dengan
menggunakan penyemprot Lieberman-Burchard, selanjutnya dipanaskan selama 5
menit pada suhu 105OC. Adanya terpenoid ditunjukkan dengan terbentuknya
warna biru-violet atau merah-violet(57).
III.6.6.2.4 Pemeriksaan Fenol
Dibuat fase gerak yang terdiri dari etil asetat:metanol (9:1) dimasukkan ke
dalam chamber dan dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT ditotolkan ekstrak
yang telah dilarutkan dengan etanol kemudian dimasukkan pada chamber, dielusi
sampai tanda, diambil dan dibiarkan sampai kering. Lalu dilihat dibawah sinar UV
254 nm dan UV 365 nm. Dideteksi dengan penampak bercak Ferri klorida akan
menunjukkan warna biru(57).
III.6.7 Sterilisasi Alat dan Bahan
Sterilisasi alat-alat gelas dilakukan dengan cara membungkusnya dengan koran
atau kertas sampul kemudian dimasukkan kedalam oven pada suhu 160-180oC
selama 2 jam. Sedangkan alat - alat yang terbuat dari karet disterilkan dengan cara

37

direndam dalam alkohol 70% . Selain itu, sterilisasi jarum ose dilakukan dengan
membakar jarum ose menggunakan api bunsen sampai merah. Sterilisasi media,
NaCl dilakukan dengan cara membungkusnya dengan alumunium foil atau kertas
sampul dan dibungkus dengan plastik tahan panas. Dimasukkan ke dalam autoklaf
dan diatur pada suhu 121oC dengan tekanan 15 psi (per square inchi) selama 15
menit. Pengerjaan uji mikrobiologi dilakukan secara aseptis di dalam lemari
aseptis yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70%, lalu disinari
dengan lampu UV yang dinyalakan 15 menit sebelum digunakan(39).
III.6.8 Pembuatan Media untuk Bakteri Uji
III.6.8.1 Pembuatan Blood Agar
Serbuk nutrient agar sebanyak 28 gram dilarutkan dalam 1 L aquades hingga
terlarut sempurna.Dipanaskan dan diaduk hingga larut sempurna. Media
diautoklaf pada suhu 121C dengan tekanan 15 psi selama 15-20 menit, kemudian
didinginkan hingga mencapai suhu 40-50oC. Selanjutnya ditambahkan dengan
darah manusia steril yang telah didefibrinasi sebanyak 5-10%.Lalu media
ditempatkan pada petri yang telah disterilisasi menggunakan oven. Media yang
telah dingin kemudian digunakan untuk penanaman bakteri dengan metode
sebar(58).
III.6.8.2 Pembuatan Agar Miring
Sebanyak 3 mL media blood agar steril dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
didiamkan pada temperatur kamar sampai sediaan membeku pada posisi miring
membentuk sudut 45oC. Kultur kemudian disimpan dalam lemari pendingin pada
suhu 5oC.
38

III.6.9 Penyiapan Inokulum


III.6.9.1 Peremajaan Bakteri P. acnes
Satu biakan bakteri P. acnes dari media diambil dengan jarum ose steril lalu
diinokulasikan pada permukaan agar miring, kemudian diinkubasi pada suhu 37C
selama 24 jam(58).
III.6.9.2 Pembuatan Suspensi Bakteri P. acnes
Pembuatan suspensi bakteri dilakukan secara aseptis dengan cara koloni
bakteri uji pada media peremajaan yang berumur 24 jam diambil dengan
menggunakan jarum Ose dan disuspensikan ke dalam tabung berisi 3 mL larutan
NaCl steril 0,9% lalu diinkubasi pada suhu 352C. Kekeruhan yang diperoleh
kemudian disetarakan dengan Standar Mc. Farland 0,5 yaitu setara dengan jumlah
pertumbuhan 1,5x108 CFU/ml(58).
III.6.9.3 Inokulasi Bakteri P. acnes
Suspensi diinokulasikan pada media dengan metode sebar.Kapas ulas steril
dicelupkan dalam suspensi bakteri P. acnes, kemudian diputar beberapa kali dan
ditekan ke dinding tabung untuk menghilangkan inokulum berlebihan pada kapas.
Permukaan media blood agar diinokulasi dengan bakteri P.acnes. Media yang
telah diinokulasikan kemudian dibiarkan selama 15 menit kemudian ditaruh kertas
cakram yang berisi sampel(59).
III.6.9.4 PembuatanLarutan NaCl 0,9 %
Serbuk NaCl ditimbang sebanyak 9 gram lalu dilarutkan dalam aquadest sedikit
demi sedikit dalam labu ukur 1000 mL sampai larut sempurna. Lalu ditambahkan

39

aquadest sampai garis tanda. Disterilkan di autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit
III.6.10 Persiapan Uji Aktivitas Antibakteri
III.6.10.1 Pembuatan Cakram Kertas
Cakram kertas dibuat secara aseptis dari kertas saring yang dibentuk menjadi
cakram yang mempunyai diameter 6 mm dengan menggunakan prevorator.
Kemudian disterilisasikan menggunakan autoklaf.
III.6.10.2 Pembuatan Larutan Seri Konsentrasi Ekstrak Etanol Rimpang Z.
officinale Rosc.
Seri konsentrasi dibuat berdasarkan acuan nilai KHM dari penelitian
sebelumnya yaitu 0,045%(13). Pada penelitian ini dibuat 3 seri konsentrasi yang
dapat dilihat pada tabel 2. Pembuatan larutan ekstrak rimpang Z. officinale Rosc.
terdiri dari pembuatan larutan stok 1% b/v dan pembuatan variasi konsentrasi.
Tabel 2. Seri Konsentrasi Ekstrak Etanol Rimpang Z. officinale Rosc.
Konsentrasi
Ekstrak (%b/v)
0,0225
0,045
0,09

Volume larutan diambil


dari larutan stok (mL)
0,1125
0,225
0,45

DMSO 10%(mL)
ad 5,0
ad 5,0
ad 5,0

Pembuatan larutan stok 1% b/v (10000 ppm) ekstrak etanol rimpang Z.


officinale Rosc. dibuat dengan melarutkan 100 mg ekstrak dalam 1 mL DMSO
lalu ditambahkan dengan aquabidest hingga 10 mL. Setelah itu diencerkan untuk
membuat variasi konsentrasi 0,0225, 0,045 dan 0,09%. Pembuatan seri
konsentrasi 0,0225% dilakukan dengan cara dipipet 0,1125mL larutan stok,
kemudian dicukupkan volumenya sampai 5 mL dengan DMSO 10%. Pembuatan

40

konsentrasi lainnya dilakukan dengan prosedur yang sama. Hasil perhitungan


dapat dilihat pada lampiran 1.
III.6.11 Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Z. officinale Rosc.
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak etanol rimpang Z.
officinale Rosc. dengan konsentrasi 0,0225, 0,045 , 0,09% dan 1 kontrol negatif
(DMSO 10 %) dengan metode difusi agar.Kertas cakram diletakkan pada
permukaan media blood agar yang telah diinokulasikan bakteri P. acnes. Larutan
ekstrak dengan konsentrasi 0,0225 % sebanyak 20 L dipipet ke kertas cakram.
Petri dibiarkan pada suhu ruang selama 1 jam sebelum diinkubasi pada suhu 37 0C
selama 24 jam. Aktivitas antibakteri ditentukan dengan mengukur diameter zona
hambat dengan menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 5 kali
pengulangan.
III.6.12 Pembuatan Formulasi Mikroemulsi
Formula sediaan mikroemulsi ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. terdiri
dari span 60, VCO, BHT, DMDM hydantoin dan aquadest. Komposisi dari
formulasi tersebut ditunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3. Formula Mikroemulsi Ekstrak Etanol Rimpang Z. officinale Rosc.
Komposisi
Ekstrak (%)
Span 60 (%)
Aquadest (%)
BHT (%)
DMDM Hydantoin (%)
VCO (mL)

F1
0,045
0,25
5
0,1
0,6
ad 10

F2
0,045
0,5
5
0,1
0,6
ad 10

F3
0,045
0,75
5
0,1
0,6
ad 10

F4
0,045
1
5
0,1
0,6
ad 10

Fungsi
Zat aktif
Surfaktan
Fase air
Antioksidan
Pengawet
Fase minyak

Fase minyak yang terdiri dari Span 60, BHT dan VCO dicampurkan dan
dipanaskan pada suhu 40oC. Fase air yang terdiri dari aquadest, DMDM hydantoin
41

dan ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. dicampurkan dan dipanaskan pada
suhu 40oC. Fase air dan fase minyak kemudian dicampurkan dan diaduk pada 500
rpm dengan magnetic stirrer selama 90 menit hingga terbentuk mikroemulsi (14).
Setelah mikroemulsi yang jernih terbentuk dilakukan sonikasi selama 24 menit(60).
III.6.13 Uji Stabilitas
Sediaan mikroemulsi yang sudah jadi kemudian dilakukan rangkaian uji
stabilitas seperti uji organoleptis meliputi warna, aroma, dan kekeruhan, uji PH,
penetapan bobot jenis, dan pengukuran ukuran globul mikroemulsi. Pengujian
stabilitas hanya dilakukan pada formula yang menghasilkan sediaan mikroemulsi
yang baik yaitu yang ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase dan
jernih.Pengujian dilakukan selama 28 haripada suhu ruangan yaitu 27oC.Pengujian
dilakukan pada hari ke 0, 1, 3, 7, 11, 21, dan 28 untuk melihat kestabilan dari
formulasi.
III.6.13.1 Uji Organoleptis
Pemeriksaan terhadap organoleptik yang dilakukan meliputiwarna, aroma dan
kekeruhan yang diamati secara visual pada suhu ruangan.
III.6.13.2 Pengukuran PH
Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter soil tester.
Sebelumnya pH meter dikalibrasi dahulu dengan dapar pH 4 dan dapar pH 7.
Setelah pengkalibrasian, sediaan diteteskan pada PH meter. Kemudian dilihat
perbahan skala pada pH meter. Angka yang tertera pada skala pH meter
merupakan nilai pH dari sediaan.
III.6.13.3 Penetapan Bobot Jenis

42

Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer pada suhu 25C. Pada suhu
ruangan, piknometer yang bersih dan kering ditimbang (A g). Kemudian diisi
dengan air sampai penuh dan ditimbang (A1 g). Air dikeluarkan dari piknometer
dan piknometer dibersihkan. Sediaan mikroemulsi diisikan dengan piknometer
sampai penuh dan ditimbang (A2 g). Bobot jenis sediaan diukur dengan
perhitungan pada persamaan 3:

A 2A
Bobot jenis = A 1A x bobot jenis air

..........................................(3)

Keterangan : A = Bobot piknometer bersih dan kering


(g/mL)
A1 = Bobot piknometer berisi air
A2 = Bobot piknometer berisi mikroemulsi
III.6.13.4 Pengukuran Ukuran Globul Mikroemulsi Menggunakan Particles
Size Analysis (PSA)
Pengukuran ukuran globul mikroemulsi dilakukan menggunakan PSA di sekolah
Farmasi ITB Bandung.
III.6.13.5Uji Efektivitas Antibakteri Formulasi Mikroemulsi
Setelah mendapatkan formulasi mikroemulsi yang stabil, dilakukan pengujian
efektivitas antibakteri terhadap P. acnes. Pengukuran efektivitas antibakteri juga
dilakukan terhadap kontrol negatif yaitu mikroemulsi dengan formula yang paling
baik tetapi tanpa ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc.Uji efektivitas
antibakteri mikroemulsi ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc.dilakukan
dengan cara difusi. Kertas cakram diletakkan pada permukaan media blood agar
yang telah diinokulasikan bakteri P. acnes. Mikroemulsi tersebut dipipet sebanyak
20 l dan diletakkan di atas kertas cakram. Petri dibiarkan pada suhu ruang

43

selama 1 jam sebelum diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Aktivitas
antibakteri ditentukan dengan mengukur diameter zona hambat dengan
menggunakan

jangka

sorong.

Pengujian

dilakukan

sebanyak

kali

pengulangan.III.7 Analisis Data


Data yang didapat berupa data kuantitatif. Data kuantitatif yang diperoleh
adalah diameter zona hambatekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc., diameter
zona hambat kontrol negatif (mikroemulsi tanpa ekstrak etanol rimpang Z.
officinale Rosc.), dandiameter zona hambat mikroemulsi ekstrak etanol rimpang
Z. officinale Rosc. Analisis data dilakukan dengan menggunakan programSPSS.
III.8 Skema Penelitian

Simplisia
Pengumpulan dan determinasi
tanaman
Skrining Fitokimia :
Simplisia)
Penetapan susut pengeringan, danPengolahan
kadar sariSampel(Pembuatan
yang larut dalam
air
Uji tabung dan kromatografi lapis
Ekstraksi Simplisia Rimpang Z. officinale Rosc.

Pembuatan media untuk bakteri uji dan penyi


Persiapan uji aktivitas antibakteri

Uji aktivitas
ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. dengan metode d
Sterilisasiantibakteri
alat dan
bahan

Penetapan kadar hambat minimum (KHM)ekstrak etanol rimpang Z. officinale Ro

Formulasi mikroemulsi

Uji stabilitas mikroemulsi

Uji aktivitas antibakterimikroemulsi dan kontrol negatif denganmetode difusi


44

Analisis data menggunakan programSPSS

Gambar 11. Skema Penelitian


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Idetifikasi Sampel (Determinasi)
Rimpang Z. officinale Rosc. yang digunakan sebagai sampel dalam
penelitian ini di determinasi di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat
Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Determinasi di
lakukan untuk memastikan tanaman yang digunakan adalah tanaman yang
dimaksud. Hal ini berkaitan dengan kandungan senyawa metabolit sekunder
yang ada pada tanaman, apabila tanaman yang digunakan berbeda maka
metabolit sekunder yang terkandung dalam tanaman juga akan berbeda
sehingga hasil yang di peroleh akan terpengaruh. Hasil determinasi
menyatakan bahwa tanaman yang digunakan merupakan tanaman dengan
nama latin Z. officinale Roscoe var rubrum Adapun hasil determinasi tanaman
dapat dilihat pada lampiran 2.
IV.2 Pengolahan Sampel
Bahan baku rimpang Z. officinale Rosc. yang digunakan diperoleh dari
kebun milik pribadi di daerah Jl. Kebangkitan (Jl. 28 Oktober) Kecamatan

45

Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Rimpang Z. officinale Rosc. yang


digunakan dipanen pada rentang umur 9-11 bulan. Pemanenan yang demikian
dilakukan karena komposisi kimia jahe dipengaruhi oleh waktu panen, kondisi
geografis tempat tumbuh dan keadaan rimpang.(61)
Rimpang Z. officinale Rosc. yang telah dipanen kemudian disortasi basah
untuk memisahkan antara bagian rimpang Z. officinale Rosc. yang akan
digunakan dari bagian yang tidak diinginkan seperti tanah, akar dan bagian
tanaman yang rusak, sehingga didapat bagian yang bersih. Setelah itu
dilakukan pencucian rimpang Z. officinale Rosc. dengan cara mengalirinya
dengan air yang mengalir. Hal ini bertujuan agar kotoran yang terdapat pada
rimpang Z. officinale Rosc. tidak melekat kembali.(29)halaman 9 - 14 Bagian
rimpang Z. officinale Rosc. memiliki sela-sela pada tiap bagiannya yang sulit
untuk dibersihkan menggunakan air sehingga perlu menggunakan sikat kecil
untuk menghilangkan kotoran yang menempel.Kemudian sampel ditiriskan
dan ditimbang beratnya sebesar 9,9 kg.
Rimpang Z. officinale Rosc. yang telah bersih kemudian dibuang kulitnya dan
dipotong - potong menjadi bagian yang lebih kecil dengan cara perajangan
kasar. Perajangan ini bertujuan untuk memperluas permukaan sampel
sehingga lebih mudah untuk dikeringkan. Berat rimpang setelah perajangan
adalah 8,7 kg. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk menurunkan kadar air
sehingga tidak mudah ditumbuhi jamur dan bakteri, menghilangkan aktivitas
enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif dan
memudahkan dalam penyimpanan.(29) Pengeringan sampel yang telah dirajang
dilakukan dengan cara penjemuran secara tidak langsung dengan cara

47

penutupan sampel menggunakan kain hitam, hal ini juga bertujuan untuk
menjamin pemanasan secara merata. Pengeringan dilakukan selama 14 hari.
Ciri sampel telah kering yaitu sampel mudah dipatahkan ketika diremas
dengan tangan. Sampel yang telah menjadi simplisia kering selanjutnya
disortasi untuk memisahkan simplisia dari pengotor yang didapat dari proses
pengeringan. Simplisia kemudian ditimbang dan diketahui beratnya sebesar
710 gram.
Simplisia kering diblender agar diperoleh simplisia yang lebih halus
dengan luas permukaan yang lebih besar sehingga memudahkan dalam
penyarian simplisia karena akan memperluas bidang kontak antara simplisia
dengan pelarut yang memungkinkan senyawa yang tersari akan lebih banyak.
(62)

halaman 10 - 11 Simplisia yang diperoleh disimpan dalam wadah kedap dan

kering dan terhindar dari sinar matahari langsung untuk menghindari rusaknya
simplisia. Berat simplisia yang telah halus adalah 662,91 gram. Dokumentasi
pengolahan sampel dapat dilihat pada lampiran 3.
IV.3 Ekstraksi Simplisia Rimpang Z. officinale Rosc.
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Metode ekstraksi yang digunakan adalah sokletasi. Sokletasi merupakan
metode ekstraksi dengan cara panas dan ekstraksi secara kontinu
menggunakan alat soklet.(28)Metode sokletasi digunakan karena lebih efektif
dalam menyari zat antibakteri dalam Z. officinale Rosc. jika dibandingkan
dengan metode maserasi.(63)
Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 96%. Pelarut etanol
96% digunakan karena senyawa metabolit aktif yang berefek sebagai

48

antibakteri seperti polifenol, tanin, flavonoid dan terpenoid yang terkandung


didalam rimpang Z. officinale Rosc. mudah larut di dalam etanol 96%. Hal ini
dibuktikan oleh kemampuan ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. yang
lebih baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri pathogen termasuk S.
Aureus dan E.coli jika dibandingkan dengan ekstrak air.(64) Selain itu, ekstraksi
rimpang Z. officinale Rosc. dengan pelarut orgnik polar menghasilkan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan pelarut organik non polar.(65)(halaman 713)
Sebanyak 20 gram serbuk simplisia Z. officinale Rosc. dimasukkan ke
dalam kertas saring yang telah dijahit, kemudian dimasukkan ke dalam alat
soklet. Pelarut etanol 96% sebanyak 150 mL dimasukkan ke dalam labu
sokletasi dan dilakukan sokletasi pada suhu 70oC. Selama proses ekstraksi
berlangsung akan terjadi peningkatan energi kinetik akibat panas yang
dihasilkan oleh jaket pemanas sehingga membuat partikel partikel yang
terdapat pada simplisia Z. officinale Rosc. akan bertumbukan dan membuat
proses ekstraksi semakin cepat. Selain itu metode sokletasi juga lebih efisien
dalam jumlah pelarut penyari yang digunakan serta selama proses
penyariannnya selalu menggunakan pelarut yang baru karena pelarut yang
telah menyari simplisia akan kembali ke dalam labu sokletasi kemudian akan
terpisah dari hasil ekstraksi akibat penguapan dan uap pelarut tersebut akan
terkondensasi menjadi tetesan pelarut baru yang kembali menyari simplisia
(satu siklus). Proses ini terus berlangsung hingga proses penyarian selesai
yang ditandai dengan warna pelarut yang bening.(28)

49

Hasil sokletasi dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 40 oC


dengan kecepatan 50 rpm (rotasi per menit) dengan tujuan untuk
menghilangkan pelarut sehingga didapat ekstrak kental rimpang Z.
officinaleRosc. Proses evaporasi dilakukan hingga ekstrak cukup kental dan
masih mampu untuk dituang. Ekstrak hasil evaporasi tersebut dipekatkan
kembali di atas waterbath untuk menghilangkan sisa pelarut yang terdapat di
dalam ekstrak. Dokumentasi proses ekstraksi dapat dilihat pada lampiran
4.Hasil sokletasi dapat dilihat dalam tabel 4.Persen rendemen digunakan untuk
mengetahui tingkat efisiensi pelarut dan metode yang digunakan dalam proses
ekstraksi. Semakin tinggi nilai persen rendemen maka semakin efisien pelarut
ekstraksi yang digunakan sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi
penelitian penelitian selanjutnya. Hasil perhitungan rendemen dapat dilihat
pada lampiran 5.
Tabel 4. Hasil Sokletasi Simplisia Rimpang Z. officinale Rosc.
Berat awal
simplisia
(g)
490

Pelarut
etanol 96%
(mL)
3675

Berat ekstrak
yang
diperoleh (g)
52,63

Rendemen
(%b/b)

Warna ekstrak
kental

10,74

Kuning Kecoklatan

IV.4 Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak


IV.4.1 Penetapan Susut Pengeringan
Susut pengeringan bertujuan untuk menetapkan batasan maksimal tentang
besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Dalam hal khusus
(jika bahan tidak mengandung minyak menguap / atsiri dan sisa pelarut
organik menguap) identik dengan kadar air,yaitu kandungan air karena berada
di atmosfer/ lingkungan udara terbuka.(28)halaman 13 Hasil pengujian susut
pengeringan juga dapat digunakan untuk menentukan golongan ekstrak

50

apakah ekstrak yang didapat termasuk ekstrak kering, ekstrak kental


atauekstrak cair. Hasil pemeriksan didapat persentase susut pengeringan
ekstrak sebesar9,8335% termasuk dalam rentang ekstrak kental yaitu 5-30%.
(66)

halaman 564 Perhitungan susut pengeringan dapat dilihat pada lampiran6.


IV.4.2 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air
Penetapan kadar sari yang terlarut di dalam air bertujuan untuk
memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa yang terdapat dalam
ekstrak yang dapat terlarut dalam air. Hasil pemeriksaan didapat persentase
kadar sari yang terlarut di dalam air sebesar 38,33%. Perhitungan kadar sari
yang terlarut dalam air dapat dilihat pada lampiran 7.
IV.5 Skrining Fitokimia
Hasil skrining fitokimia dengan uji tabung terhadap ekstrak etanol rimpang Z.
officinale Rosc. dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Rimpang Z.
officinale Rosc.
No
.

Metabolit
Sekunder

Reagen

Alkaloid

Mayer

Pengamatan

Dragendorf

Sebelum

Sesudah

Kuning
kecoklatan
Kuning
kecoklatan

Tidak ada
endapan putih
Tidak ada
endapan coklat
kemerahan
Tidak ada
endapan coklat
kemerahan
Warna hijau
kehitaman
Warna orange
gelap
Tidak
terbentuk
warna biru
atau hijau

Wagner

Kuning
kecoklatan
Kuning
kecoklatan
Kuning
kecoklatan
Kuning
kecoklatan

Fenol

FeCl3

Flavonoid

Mg, HCl pekat

Glikosida

LiebermanBurchard

51

Hasi
l
-

+
+
-

Saponin

Air

Steroid dan
terpeenoid

LiebermanBurchard

Tanin

FeCl3 5%

Kuning
kecoklatan
Kuning
kecoklatan

Tidak berbuih

Terbentuk
cincin merah
(terpenoid)
Warna biru tua

Kuning
+
kecoklatan
Keterangan: (+) : mengandung senyawa yang diuji;
() : tidak mengandung senyawa yang diuji.
Hasil uji tabung menunjukkan bahwa di dalam ekstrak etanol rimpang Z.
officinale Rosc. terdapat senyawa fenol, flavonoid, terpenoid dan tanin.Senyawa
yang berhasil terekstraksi tersebut bersifat cenderung ke arah polar, hal ini
disebabkan oleh pelarut etanol yang digunakan saat ekstraksi bersifat polar
sehingga lebih banyak menarik senyawa yang bersifat polar dari pada yang non
polar. Hasil skrining dapat dilihat pada lampiran 8.
IV.5.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang memiliki paling sedikit satu atom
nitrogen. Adanya gugus nitrogen pada alkaloid menyebabkan alkaloid bersifat
basa sehingga sering diisolasi dalam bentuk garamnya. Ekstraksi senyawa
alkaloid dilakukan dengan menggunakan kloroform beramonia karena senyawa
alkaloid larut dalam pelarut organik seperti kloroform selain itu ditambahkan
amonia untuk memberikan sifat basa pada kloroform sehingga alkaloid lebih
mudah larut dalam kloroform bersuasana basa. Ekstraksi dengan kloroform
beramonia juga bertujuan untuk menarik senyawa alkaloid saja sehingga sampel
tidak mengandung protein yang dapat menimbulkan hasil false positive. Setelah
dikocok, campuran disaring dan ditambahkan asam sulfat 2Nyang berfungsi untuk
mengasamkan suasana kloroform sehingga terjadi pembentukan garam alkaloid
yang kemudian akan larut dibagian asam.

52

Hasil pemeriksaan alkaloid pada ekstraketanol rimpang Z. officinale Rosc.


menunjukkan hasil negatif karena tidak terbentuk endapan putih setelah
ditambahkan pereaksi Mayer, serta endapan coklat kemerahan pada pereaksi
Dragendorf dan Wagner.Endapan dapat terbentuk karenaadanya pembentukan
kompleks antara ion logam pada pereaksi dengan nitrogen pada cincin
heterosiklik pada alkaloid.
Reagen Mayer merupakan campuran merkurium (II) klorida ditambah kalium
iodida akan bereaksi membentuk endapan merah merkurium (II) iodida. Jika
kalium iodida yang ditambahkan berlebih maka akan terbentuk kalium
tetraiodomerkurat(II).Ion kalium pada senyawa tersebut akan membentuk ikatan
dengan atom nitrogen pada senyawa alkaloid sehingga membentuk kompleks
kalium-alkaloid yang mengendap.(67)
Hasil positif mengandung senyawa alkaloid apabila terbentukendapan coklat
kemerahan ketika ditambahkan reagen dragendorf.Reagen dragendorf merupakan
campuran bismuth nitrat dan kalium iodida yang membentuk bismuth(III) iodida
Endapan terbentuk karena adanya pembentukan kompleks antara ion logam dari
pereaksi yang digunakan dengan senyawa alkaloid.
Hasil positif alkaloid pada uji wagner ditandai dengan terbentuknya endapan
coklat kemerahan. Diperkirakan endapan tersebut adalah kalium-alkaloid. Pada
pembuatan pereaksi wagner, iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodida
menghasilkan ion I3-yang berwarna coklat. Pada uji wagner, ion logam K + akan
membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk
kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
IV.5.2 Fenol
Hasil pemeriksaan senyawa fenol pada penelitian ini menunjukkan hasil yang
positif dengan menggunakan larutan pereaksi FeCl3 1%. Hal itu terlihat dari

53

terjadinya perubahan warna menjadi warna hijau kehitaman. Senyawa fenol akan
membentuk komplek dengan besi, sehingga menimbulkan perubahan warna dari
ungu sampai hijau.
Identifikasi ekstrak juga dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis
tipis (KLT). Fase gerak yang digunakan adalah campuran dari toluen : etil asetat
(50 : 50) sedangkan fase diam yang digunakan adalah plat silica gel F254. Hasil

identifikasi menunjukkan hasil positif karena setelah dideteksi dengan penampak


bercak FeCl3 5%, menunjukkan warna biru kehitaman. Hasil identifikasi dapat
diihat pada gambar 10.
(A)

(B)

Gambar 10. Pola kromatogram (A) dan setelah dideteksi


54

dengan FeCl3 5% (B)


IV.5.3 Flavonoid
Hasil pemeriksaan senyawa golongan flavonoid pada penelitian ini menunjukkan
hasil yang positif. Hal itu ditandai dengan terbentuknya warna orangesetelah
ekstrak ditambahkan dengan HCl pekat dan logam Magnesium (Mg). Warna
orange ini terbentuk karena adanya reduksi flavonoid oleh

Mg

serta

terbentuknya garam flavilium. Fungsi penambahan HCl adalah untuk melarutkan


Mg sehingga dapat mereduksi senyawa flavonoid.(68)
Identifikasi ekstrak juga dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis
(KLT). Fase gerak yang digunakan adalah campuran dari toluen : etil asetat (50 :
50) sedangkan fase diam yang digunakan adalah plat silica gel F254. Hasil
identifikasi menunjukkan hasil positif karena setelah dideteksi dengan penampak
bercak AlCl3 menunjukkan warna kuning.Hasil identifikasi dapat diihat pada
gambar 11.

(A)

(B)

55

Gambar 11. Pola kromatogram (A) dan setelah dideteksi


dengan AlCl3 (B)
IV.5.4 Glikosida
Hasil pemeriksaan senyawa memberikan hasil yang negatif karena tidak
menghasilkan warna biru atau hijau setelah ditambahkan pereaksi Lieberman
Burchard.
IV.5.5 Saponin
Hasil pengujian saponin menunjukkan hasil negatif, hal ini dapat dilihat dari tidak
terbentuknya buih konstan yang dapat bertahan selama 15 menit saat sampel
dikocok dengan air. Buih menunjukkan adanya glikosida yang terhidrolisis akibat
adanya air.
IV.5.6 Steroid dan terpenoid
Hasil pengujian menunjukkan hasil positif terpenoid pada ekstrak, hal ini ditandai
dengan terbentuknya cincin merah pada sampel saat ditambah dengan asam sulfat
dan anhidrida asetat. Sebelum dilakukan pengujian, ekstrak terlebih dahulu
dilarutkan dengan pelarut non polar seperti n-heksan karena senyawa terpenoid
dan steroid bersifat non polar.
Identifikasi ekstrak juga dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis
(KLT). Fase gerak yang digunakan adalah campuran dari toluen : etil asetat (93 :
7) sedangkan fase diam yang digunakan adalah plat silika gel F254. Hasil
identifikasi menunjukkan hasil positif karena setelah dideteksi dengan penampak
bercak Lieberman Burchard dan dipanaskan selama 5 menit pada suhu 105OC
menunjukkan warna ungu. Hasil identifikasi dapat diihat pada gambar 12.

56

(A)

(B)

Gambar 12. Pola kromatogram (A) dan setelah dideteksi


dengan Lieberman Burchard (B)
IV.5.7 Tanin
Hasil pengujian menunjukkan hasil postif tanin, hal ini ditandai dengan terjadi
perubahan warna ekstrak dari merah kecoklatan menjadi biru tua setelah
ditambahkan FeCl3 15%. Terjadinya pembentukan warna biru tua ini karena
terbentuknya senyawa kompleks antara logam Fe dan tanin. Senyawa kompleks
terbentuk karena adanya ikatan kovalen koordinasi antara ion atau atom logam
dengan atom nonlogam.(69)
IV.6 Sterilisasi Alat dan Bahan
Sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat alat dan bahan menjadi steril.
Sterilisasi dilakukan untuk meminimalisir dan/atau menghilangkan kontaminan

57

kontaminan dari mikroba yang tidak diinginkan dalam pengujian.Sterilisasi dapat


dilakukan dengan cara kimia maupun fisika.
Sterilisasi fisika yang digunakan adalah dengan cara pemanasan langsung, uap
air(autoklaf), uap panas(oven), maupun dengan radiasi UV.Sterilisasi dengan
pemijaran atau pemanasan langsung dilakukan untuk mensterilkan jarum ose dan
pinset. Prinsip sterilisasi ini yaitu dengan memijarkan alat-alat tersebut di atas api
bunsen hingga berwarna merah.Sterilisasi mengunakan autoklaf dilakukan untuk
mensterilkan media pertumbuhan bakteri. Sterilisasi dengan autoklaf dilakukan
untuk bahan bahan yang dapat ditembus uap air dan tidak rusak bila
dipanaskandengan suhu yang berkisar antara 110oC dan 121oC pada tekanan 15
Psi(per square inchi).(70)Halaman 125 178 Mikroorganisme yang berada dalam
autoklaf bersuhu tinggi dengan tekanan uap air jenuh akan mati karena mengalami
degradasi asam nukleat dan denaturasi protein. Sterilisasi dengan menggunakan
oven dilakukan untuk mensterilkan bahan-bahan yang tidak rusak, menyala dan
menguap pada suhu antara 160-180oC seperti alat alat gelas. Mekanisme
sterilisasi dengan oven adalah dengan melisis mikroba mengunakan panas udara
kering.(71)halaman 131-132
Sterilisasi secara kimia dilakukan pada bahan yang terbuat dari karet. Sterilisasi
secara kimia ini dilakukan dengan menggunakan alkohol 70%. Alkohol
merupakan zat yang paling efektif untuk sterilisasi, karena alkohol dapat
mendenaturasi protein dengan cara dehidrasi dan melarutkan lemak yang ada pada
membran sel bakteri sehingga mengakibatkan kematian pada bakteri.(72)Halaman
62,63
IV.7 Pembuatan Media untuk Bakteri Uji

58

Media Blood Agar(agar darah)merupakan media differensial, yaitu berfungsi


untuk membedakan bakteri berdasarkan kemampuan bakteri dalam melisikan selsel darah merah. Bakteri P.acnes dapat memproduksi eksotoksin yang disebut
hemolisin yang dapat menghancurkan sel darah merah dan hemoglobin.
Eksotoksin ini yang akan membantu proses diferensiasi pada media agar darah
sehingga dapat dipastikan bahwa bakteri uji yang digunakan murni bakteri
P.acnes. Bakteri P.acnes dapat tumbuh baik pada media agar darah dan dapat
dikenali dengan membentuk hemolisis tipe (gamma). Hemolisis tipe (gamma)
pada media agar darah digambarkan tidak terbentuk perubahan warna disekitar
koloni bakteri yang artinya tidak terjadi hemolisis pada media. (71)Halaman 131132.
IV.8 Penyiapan Inokulum
Sebelum dilakukan pengujian bakteri P.acnes dibuat dalam bentuk suspensi
dengan tujuan untuk mendapatkan jumlah bakteri yang sesuai untuk pengujian.
Bakteri P. acnes yang telah diremajakan menggunakan media agar miring diambil
dengan jarum ose steril dan dilarutkan dalam 5 mL larutan NaCl 0,9%. Larutan ini
bersifat isotonis sehingga dapat mempertahankan kondisi bakteri. Kekeruhan
suspensi bakteri dibandingkan dengan menggunakan larutan standar Mc Farland
0,5 yang setara dengan 1x108 CFU/mL. Penggunaan larutan Mc Farland 0,5 akan
menghasilkan jumlah bakteri 1x108 pada media perbenihan.Jumlah bakteri
tersebut merupakan jumlah bakteri yang ideal untuk metode difusi agar karena
apabila jumlah bakteri terlalu sedikit maka pertumbuhan bakteri tidak ideal,
sedangkan bila jumlah bakteri terlalu banyak akan menyebabkan terganggunya
besar diameter zona hambat(citasi 56 : skripsi wati)
IV.9 Uji Aktivitas Antibakteri

59

Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol rimpang Z. officinale Rosc. dilakukan


dengan metode difusi agar. Metode difusi agar merupakan metode yang sederhana
dan efektif untuk menentukan aktivitas antibakteri. Prinsip dari metode ini adalah
penjenuhan senyawa antibakteri ke dalam cakram kertas. Cakram kertas yang
mengandung senyawa antibakteri diletakkan pada media pembenihan agar padat
yang telah mengandung bakteri uji, kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu
tertentu. Setelah itu diamati adanya daerah jernih di sekitar cakram kertas yang
menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri yang dikenal dengan zona
hambat.(cittasi : 23 skripsi wati)Zona hambat dapat dihasilkan karena adanya
difusi antibakteri yang terdapat pada cakram kertas kepada bakteri yang terdapat
pada media. Inokulasi bakteri pada media dengan metode swab akan
menghasilkan pertumbuhan bakteri pada permukaan media dan penanaman
cakram pada permukaan media akan meningkatkan interaksi antara bakteri dengan
antibakteri. (citasi 55: skripsi wati)
Kontrol negatif yang digunakan adalah pelarut dalam pembuatan variasi
konsentrasi yaitu dimetil sulfoksida (DMSO) 10%. Berdasarkan hasil penelitian
DMSO 10% sebagai kontrol negatif tidak memiliki aktivitas sebagai antibakteri
yang teramati melalui tidak ada zona hambat, hal ini dikarenakan DMSO 10%
tidak memiliki cukup molekul hidroksil yang dapat membantu proses penetrasi ke
jaringan.

Berdasarkan analisis statistik, kontrol negatif memiliki perbedaan

bermakna terhadap ekstrak etanol rimpang Z.officinale Rosc. Selain itu dapat
dilihat konsentrasi hambat minimal (KHM) ekstrak etanol rimpang Z.officinale
Rosc. afalah 0,045% dengan diameter zona hambat........... yang termasuk dalam
rentang ..............................Hasil pengujian antibakteri dapat dilihat pada tabel 6.

60

Tabel 6. Hasil pengujian antibakteri ekstrak etanol rimpang Z.officinale Rosc


terhadap P.acnes
Konsentrasi
Zona Hambat (mm)
Ulangan
I
Ulangan II Ulangan III
(%)
0,0225
0,045
0,09
DMSO 10

Rata - Rata

Keterangan : X :
Y:
Berdasarkan tabel 6 dapat terlihat bahwa ekstrak etanol rimpang Z.officinale
Rosc memiliki aktivitas antibakteri terhadap P.acnes yang dapat dilihat
berdasarkan adanya zona hambat yang terbentuk. Zona hambat yang paling besar
ditunjukkan pada konsentrasi 0,045% yaitu >>>>>>>>>>. Selain itu dari hasil
pengujian tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi tidak diikuti
dengan peningkatan zona hambat terhadap P.acnes. karena blalalalalalaalal.
Sehingga dapat ditentukan konsentrasi hambat minimum ekstrak etanol rimpang
Z.officinale Rosc. adalah pada konsentrasi 0,045% dengan diameter zona hambat
<<<>>>> mm
Tabel 7. Ketentuan Daya Antibakteri(David dan Stout, 1971) skripsi wati
No.
1.
2.
3.
4.

Zona Hambat
> 20 mm
10-20 mm
5-10 mm
< 5 mm

Ketentuan
Sangat Kuat
Kuat
Sedang
Lemah

Berdasarkan tabel 7, diketahui daya antibakteri ekstrak etanol rimpang


Z.officinale Rosc. terhadap bakteri P.acnes pada konsentrasi 0,025% adalah
<<<<>>>, konsentrasi 0,045% adalah <<<>>> dan konsentrasi 0,09% adalah

61

<<<<>>>>. Hasil pengujian ekstrak etanol rimpang Z.officinale Rosc dapat


dilihat pada gambar 13.

Gambar 13. Hasil pengujian antibakteri ekstrak etanol rimpang Z.officinale Rosc.
IV.10 Pembuatan Formulasi Mikroemulasi
Mikroemulsi yang dibuat adalah mikroemulsi dengan tipe a/m yaitu air sebagai
fase dalamnya dan minyak sebagai fase luar. Sebelum dilakukan pembuatan
mikroemulsi, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan terhadap suhu, kecepatan
pengadukan dan lama pengadukan. Setelah ditemukan suatu kondisi yang tepat
maka dilakukan optimasi terhadap konsentrasi surfaktan yang dibutuhkan untuk
dapat membentuk suatu mikroemulsi yang stabil.
Suhu yang digunakan saat uji pendahuluan divariasikan yaitu pada suhu 0 OC
hingga 40OC. Pembuatan mikroemulsi pada suhu 0OC atau tanpa pemanasan
hingga suhu kurang dari 40OC menghasilkan suatu mikroemulsi yang keruh. Pada
suhu 40OC dihasilkan suatu sediaan mikroemulsi yang jernih sehingga digunakan
suhu 40OC sebagai suhu yang digunakan untuk membuat sediaan mikroemulsi.
Kecepatan pengadukan yang sesuai juga diperlukan dalam pembuatan
mikroemulsi. Kecepatan pengadukan divariasikan antara 200-500 rpm. Pada
pengadukan dengan kecepatan 200rpm mikroemulsi tidak terbentuk dan keruh.
Setelah itu kecepatan pengadukan ditingkatkan hingga mencapai 500 rpm. Pada
kecepatan 500 rpm selama 120 menit mikroemulsi dapat terbentuk dan jernih.
Oleh karena itu, digunakan kecepatan 500 rpm selama 120 menit untuk membuat
sediaan mikroemulsi.

62

Jumlah surfaktan yang sesuai memungkinkan komponen air dapat terdispersi


dalam komponen minyak sehingga dapat terbentuk mikroemulsi air dalam
minyak. Berdasarkan percobaan yang dilakukan didapatkan bahwa span 60 pada
konsentrasi 0,25, 0,5, 0,75 dan 1 % dapat membentuk mikroemulsi air dalam
minyak.
Pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan cara fase minyak yang terdiri dari
span 60 , BHT dan VCO dicampurkan dan dipanaskan pada suhu 40 OC. Fase air
yang terdiri dari aquadest, DMDM hydantoin dan ekstrak etanol rimpang Z.
officinale Rosc. dicampurkan dan dipanaskan pada suhu 40OC. Kemudia fase air
didispersikan ke dalam fase minyak dan diaduk dengan magnetic stirrer pada
kecepatan 500 rpm selama 120 menit hingga terbentuk mikroemulsi. Setelah itu
dilakukan pengecilan ukuran partikel dengan menggunakan sonikator tipe
bathselama 24 menit.
MEKANISME DMDM HYDANTOIN SEBAGAI PENGAWET
MEKANISME BHT SEBAGAI ANTIOKSIDAN
MEKANISME SPAN 60 MEMBENTUK MISEL
IV.11 Uji Stabilitas
IV.11.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptis dilakukan untuk melihat keadaan fisik mikroemulsi secara visual
pada suhu ruangan selama 28 hari penyimpanan. Adapun hal hal yang diamati
pada uji organoleptis yaitu warna, aroma dan kekeruhan. Hasil uji organoleptis
dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Hasil Uji Organoleptis Mikroemulsi
Formul
a
F1

Paramete
r
Warna
Aroma
Kekeruhan

63

Hari ke 7

11

21

28

1.

Chomnawang M, Surassmo S, Nukoolkarn V, Gritsanapan W.


Antimicrobial effects of Thai medicinal plants against acne-inducing
bacteria. J Ethnopharmacol. 2005;101(1-3):3303.

2.

Perkins A, Cheng C, Hillebrand G, Miyamoto K, Kimball A. Comparison


of the Epidemiology of Acne vulgaris Among Caucasian , Asian,
Continental Indian and African American Women. J Eur Acad Dermatol
Venerol. 2011;25(9):105460.

3.

Wasitaatmadja S. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press; 1997.

4.

Hafez K, Mahran A, Hofny E, Mohammed K, Darweesh A, Aal A. The


Impact of Acne Vulgaris on The Quality of Life and Psychologic Status in
Patients From Upper Egypt. Int J Dermatol. 2009;48:2805.

5.

Jaiin A SL, Basal E, Kaushal G, Agarwal S. Anti- Inflammatory Effect of


Erythromycin and Tetracycline on Propionibacterium acnes Induced
Production of Chemotatic Factors and Reactive Oxygen Species by Human
Neutrophils. Dermatol Online J [Internet]. 2002;8(2):2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/eutils/elink.fcgi?
cmd=prlinks&dbfrom=pubmed&retmode=ref&id=12546757

6.

Tsung H, Wen H, Jonathon T, Po-Jung T. Invitro Antimicrobial and Anti


Inflamatory Effects of Herbs Againts Propionibacterium acnes. Food
Chem. 2009;119:9648.

7.

Lieberman H, Rieger M, Banker G. Emulsions and Microemulsions. In: LH


B, editor. Pharmaceutical Dosage Forms: Diperse Systems. New York:
Marcel Dekker Inc; 1989. p. 3369.

8.

Jawetz V, Adelbergs. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Salemba


Medika; 2005.

9.

Oprica C. Antibiotic Resistant Propionibacterium acnes on the Skin of


Patient with Moderate to Severe Acne. J Pharmacol. 2004;10(3):15564.

10.

Mendoza N, Hernandez P, Tyring S, Haitz K, Motta A. Antimicrobial


Susceptibility of Propionibacterium acnes Isolates from Acne Patients in
Colombia. Int J Dermatol [Internet]. 2013;6(52):68892. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23451873
64

11.

Nursal W, Sri, Wilda S. Bioaktifitas Ekstrak Jahe (Zingiber officinale


Roxb.) Dalam Menghambat Pertumbuhan Koloni Bakteri Escherichia coli
dan Bacillus subtilis. J Biog. 2006;2(2):646.

12.

Zu Y, Yu H, Liang L, Fu Y, Efferth T, Liu X, et al. Activities of Ten


Essential Oils Towards Propionibacterium acnes and PC-3, A-549 and
MCF-7 Cancer Cells. Molecules [Internet]. 2010 May [cited 2015 Feb
23];15(5):320010. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20657472

13.

Fissy ASON. Uji Efektivitas Sediaan Gel Anti Jerawat Ekstrak Etanol
Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc. var. rubrum) terhadap
Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis.[Skripsi].
Skripsi. Pontianak: Universitas Tanjungpura; 2013.

14.

Baitariza A, Darijanto ST, Pamudji JS, Fidrianny I. Formulasi Sediaan


Mikroemulsi Ekstrak Beras Hitam ( Oryza sativa L .) dan Evaluasi
Efektivitasnya sebagai Antikerut Formulation and Evaluation of Antiwrinkle Effect Black Rice Extract ( Oryza sativa L .) Microemulsion.
2014;1:1825.

15.

Karuppiah P, Rajaram S. Antibacterial effect of Allium sativum cloves and


Zingiber officinale rhizomes against multiple-drug resistant clinical
pathogens. Asian Pac J Trop Biomed. 2012 Aug;2(8):597601.

16.

Date AA, Nagarsenker M. Parenteral Microemulsion: An Over View. Int J


Pharm. 2008;355(1-2):1930.

17.

Williams DF. Chemistry & Manufacture of Cosmetics. 2. 3rd ed. Renton:


Allured Publishing Corp; 2002. p. 1089.

18.

Wagner J, Marquez A, Palazolo G. Water in Oil (w/o) and Double (w/o/w)


Emulsion Prepared with Spans: Microstructure, Stability and Rheology.
Colloid Polym Sci. 2007;285:111928.

19.

Wedana JS, Leliqia NPE, Arisanti CIS, Kulit E, Manggis B. Optimasi


Komposisi Span 60 dan Tween 80 sebagai Emulgator terhadap
Stabilitas Fisik dalam Formulasi Cold Cream Ekstrak Kulit Buah Manggis
(. J Farm Udayana. 2009;8:915.

65

20.

Zahra S. Optimalisasi Formula Sunscreen Cream Berbahan Aktif


Nanopropolis dengan Menggunakan Emollient Isopropyl Myristate dan
Emulsifier Span 60.[Skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012.

21.

Herlina R, Murhananto J, Endah T, Listyarini, S TP. Khasiat Manfaat Jahe


Merah Si Rimpang Ajaib. Jakarta: Agromedia Pustaka; 2002.

22.

Tjitrosoepomo G. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta:


UGM Press; 1991.

23.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Herbal Indonesia


Edisi I. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2009.

24.

Mahady G, Pendland S, Yun G, Lu Z, Stoia A. Ginger (Zingiber officinale


Roscoe) and the Gingerols Inhibit the Growth of Cag A+ Strains of
Helicobacter pylori. Anticancer Res. 2003;23(5A):3699702.

25.

Paramitasari DR. Budidaya Rimpang Jahe, Kunyit, Kencur, Temulawak.


Bandung: Cahaya Atma; 2011.

26.

Winarti C, Nurdjanah N. Peluang Tanaman Rempah dan Obat sebagai


Sumber Pangan Fungsional. J Litbang Pertan. 2005;24(2):4755.

27.

Sekar M, Ting CPEI, Syafiq M, Abdullah BIN, Nalina K. Comparative


Evaluation Of Antimicrobial Properties Of Red And White Ginger. Asian J
Pharm Clin Res. 2014;7(1):246.

28.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parameter Standar Umum


Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2000.

29.

Gunawan D, Mulyani S. Ilmu Obat Alam. Jakarta: Penebar Swadaya; 2004.

30.

Tranggono R, Latifah F. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.


Jakarta: Penerbit Pustaka Utama; 2007.

31.

Kumar KK, K.Sasikanth, M.Sabareesh, N.Dorababu. Formulation and


Evaluation of Diacerein Cream. Asian J Pharm Clin Res. 2011;4(2):938.

32.

Irianto K. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Bandung:


Penerbit Yrama Widya; 2006.

66

33.

Dwidjoseputro D. Dasar Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit


Djambatan; 1988.

34.

Zaenglein A, Graber E, Thiboutot D, Strauss J. Acne Vulgaris and Acne


iform Eruptions. Freedbrerg IM, Eisen A, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Katz SI, Fitzpatrick TB Eds Dermatology iIgeneral Medicine. 6th ed.
New York: Mc Graw Hill Companies; 2003. p. 690703.

35.

Cunliffe W, Gollnick H. Microbiology of acne. Cunliffe WJ, Gollnick


HPMEds Acne diagnosis and managemen. London: Martin Dunitz Ltd;
2001. p. 2936.

36.

Zou BC, Eady A, Philpott M, Goldsmith L, Orfanos C, Cunliffe W, et al.


What is the Pathogenesis of Acne. Exp Dermatol. 2005;14;14352.

37.

Waluyo L. Mikrobiologi Umum. Malang: Universitas Muhammadiyah


Press; 2004.

38.

Pratiwi S. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga; 2008.

39.

Lay W. Analisis Mikrobilogi di Laboratorium. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada; 1994.

40.

Syamsuni H. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.

41.

Swarbrick J, James CB. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. New


York: Marcel Dekker Inc; 1994.

42.

Lawrence MJ, Rees GD. Microemulsion-based Media as Novel Drug


Delivery Systems. Adv Drug Deliv Rev [Internet]. 2000 Dec;45(1):89121.
Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0169409X00001034

43.

Martin A, J S, A C. Farmasi Fisik Jilid 2 Edisi III. Terjemahan dari Physical


Pharmacy, Physical Chemical Principles in the Pharmaceutical Sciences,
oleh Yoshita. Jakarta: UI Press; 1993.

44.

Aulton ME. Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design. UK:


Elsevier limited; 2002.

45.

Nielloud F, Marti-Mestres G. Pharmaceutical Emulsions and Suspensions.


New York: Marcel Dekker Inc; 2000.
67

46.

Broze G. Handbook of Detergents. New York: Marcel Dekker Inc; 1999.

47.

Syah ANA. Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit.


Jakarta: Agromedia Pustaka; 2005.

48.

Williams A, Barry B. Penetration Enhancers. Adv Drug Deliv Rev.


2004;56:60318.

49.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia Edisi III.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1979. p. 98.

50.

Betty A. Stabilitas Fisika Sediaan Body Scrub mengandung Bekatul,


Ricebran oil, Virgin coconut oil (VCO), kopi ekstrak Aloe vera dengan
pengawet DMDM Hydantoin dan natrium Benzoate. J Ilm Fak Farm Univ
Surabaya. 2014;3.

51.

Rowe R, Sheskey P, Quinn M. Handbook of Pharmaceutical Excipient. 6th


ed. London: Pharmaceutical Press; 2009.

52.

Siswoyo P. Alternatif Obat dengan Tumbuhan Alami. Yogyakarta: Penerbit


Absolut; 2004.

53.

Kristanti A, Aminah N, Tanjung M, Kurniadi B. Buku Ajar Fitokimia.


Surabaya: Airlangga University; 2008.

54.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika Indonesia Jilid


III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1979.

55.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika Indonesia Jilid


IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1995.

56.

Lailatul LK, Asep, Kadarohman Ratnaningsih E. Efektivitas Biolarvasida


Ekstrak Etanol Limbah Penyulingan Minyak Akar Wangi (Vetiveria
zizanoidess) terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegypti, Culex sp. dan
Anopheles sundaicus. J Sains dan Teknol Kim. 2010;1:601.

57.

Harborne J. Phytochemical Methods: A guide to modern techniques of


plant analysis. New York: Chapman and Hall; 1973.

58.

Institute C and LS. Performance Standards for Antimicrobial Disk


Susceptibility Tests; Approved Standard. CLSI Guidel. CLSI guideline;
2006;23(1):135.
68

59.

Institute C and LS. Method for dilution antimicrobial susceptibility tests for
bacteria that grow aerobically, 6th ed. CLSI, Wyne. 2003;23(1):135.

60.

Lilianna M. Formulasi Solid Lipid Nanopartikel Dengan Vitamin E Asetat.


[Bandung]: Institut Teknologi Bandung; 2007.

61.

Badreldin HA, Blunden G, Tanira MO, Nemmar A. Pharmacological and


toxological Properties of Ginger (Zingiber officinale Roscoe): A Review of
Recent Research. Food Chem Toxicol. 2008;46(2):40920.

62.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sediaan Galenik. Jakarta;


1986.

63.

Malu SP, Obochi GO, Tawo EN, Nyong BE. Antibacterial Activity and
Medicinal Properties of Ginger (Zingiber officinale). Glob J Pure Appl Sci.
2009;15(3/4):3658.

64.

Akintobi O, Onoh C, Ogele J, Idowu A, Ojo O, Okonko I. Antimicrobial


Activity Of Zingiber Officinale (Ginger) Extract Against Some Selected
Pathogenic Bacteria. Nat Sci. 2013;11(1):715.

65.

Rahminiwati M, Aulia A, Saadiah S, Andriyanto, Soeripto, Unang P.


Bioprospeksi Ekstrak Jahe Gajah Sebagai Anti-CRD. Kajiaan Aktivitas
Antibakteri Terhadap Mycoplasma galliseptikum dan E. coli In vitro. J Ilmu
Pertan Indones. 2010;15(1):713.

66.

Voigt R. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press; 1995.

67.

Svehla. Analisis Kualitatif Anorganik Makro dan Semimikro. Jakarta:


Kalman Media Pustaka; 1985.

68.

Marliana SD, Suryanti V. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi


Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam ( Sechium edule Jacq .
Swartz .) dalam Ekstrak Etanol. J biofarmasi. 2005;3(1):2631.

69.

Sumadewi NLU. Isolasi Senyawa Tanin Dan Uji Efek Hipoglikemik


Ekstrak Kulit Batang Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.) Terhadap
Darah Mencit Yang Diinduksi Aloksan. Udayana; 2011.

70.

Cappucino J., Sherman N. Microbiology a laboratory manual. 4th ed.


Menlo Park: Addison-Wesley Publishing Company, Inc; 1983.
69

71.

Fardiaz S. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: PAU Pangan


dan Gizi IPB; 1992.

72.

Staf Pengajar UI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa


Aksara Publisher; 1994.

70

Вам также может понравиться