Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
makan dengan lahapnya. Lelaki tua itu pun tersenyum, ia merasa bangga
karena perjuangannya dulu saat mengusir kompeni dari tanah airnya
tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman seperjuangannya dulu gagal
mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana
seperti ini.
Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari
tadi di setel oleh seorang pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya.
Televisi itu sedang menyiarkan seorang berpakaian jas hitam rapi dengan
mengenakan dasi sedang berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya
sangat mewah. Si lelaki tua itu menebak bahwa orang yang sedang muncul
di televisi tadi pastilah seorang pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang
itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa
nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta
terhadap tanah airnya. Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu.
Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak punya nasionalisme,
rakyat negerinya atau para pejabat itu?
Apakah pejabat yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan
kekenyangan saat rakyatnya mati kelaparan? Apakah pejabat yang
nasionalis adalah para pejabat yang bebas liburan keliling dunia saat rakyat
di negerinya antri bbm hingga berhari-hari? Atau pejabat yang punya banyak
mobil mewah saat rakyatnya berdesakan di gerbong kereta api?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar
ia harus pergi sekarang. Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya
dan hujan pun kini telah reda, lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya.
Sesampainya di rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan
langsung bergegas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa
kakek itu selalu merasa tak tenang setiap jauh dari istrinya. Ia akan
memastikan dulu bahwa istrinya tak membutuhkan bantuannya, baru ia
akan berangkat lagi untuk mengurus surat keringanan ke ketua RT dan RW.
Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa
kamar sudah dalam keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan
terkunci sehingga tak bisa dibuka, padahal kakek itu yakin ia tidak salah
kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa mungkin istrinya telah sembuh sehingga
dipindahkan ke tempat lain oleh dokter. Namun untuk memastikan, si kakek
mencari seorang dokter yang tadi pagi memeriksa keadaan istrinya. Si kakek
pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya sekarang berada.
Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata berkaca-kaca.
Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah
berkehendak lain. Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu. Kata si
dokter yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah
yang dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi
semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang
sudah tak ingat apa-apa lagi.
Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang
satu bertuliskan Darsono bin Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari
bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan
Pariyem binti Ngatijo, istri dari sang veteran pejuang. Meskipun sang veteran
miskin itu sekarang telah tiada. Namun di negerinya, negeri dimana kayu
dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama
bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak
yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar
untuk makan sekali sehari.
4. Penokohan :