Вы находитесь на странице: 1из 10

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil utama minyak nabati yang
mempunyai produktivitas lebih tinggi daripada tanaman penghasil minyak nabati
lainnya. Bunga dan buahnya berupa tandan, serta bercabang banyak. Buahnya
kecil dan apabila masak berwarna merah kehitaman serta daging buahnya padat
(Hutahaean, 2008). Daun dan pelepahnya merupakan daun majemuk menyirip
yang berwarna hijau tua. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur
12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelepah yang mengering akan terlepas sehingga
terlihat seperti pelepah kelapa.
Menurut Pahan (2008), adapun anatomi tanaman kelapa sawit tersebut
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Liliopsida

Ordo

: Arecales

Famili

: Arecaceae

Genus

: Elaeis

Species

: Elaeis guineensis

Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS) dan
dapat tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan
kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 20002500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak
kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan mempengaruhi perilaku
pembungaan dan produksi buah sawit. Buah sawit di bagian sabut (daging buah
atau mesocarp) menghasilkan minyak sawit kasar (Crude Palm Oil atau CPO)
sebanyak 20-24 %. Sementara itu, bagian inti sawit menghasilkan minyak inti
sawit (Palm Kernel Oil atau PKO) 3-4 %.

Secara anatomi, bagian buah kelapa sawit dari luar ke dalam adalah
sebagai berikut :
1. Perikarpium, terdiri dari :
a. Epikarpium, yaitu kulit yang keras dan licin
b. Mesokarpium, daging buah yang berserabut dan mengandung minyak
dengan rendemen yang paling tinggi
2. Biji, terdiri dari :
a. Endokarpium, yaitu kulit biji/cangkang yang berwarna hitam dan keras
b. Endosperma, yaitu kernel/daging biji yang berwarna putih dan dai bagian
ini akan dihasilkan minyak inti sawit setelah melalui ekstraksi

(a)

(b)

(d)

(e)

(c)

(f)

Gambar 2.1 Bagian-Bagian Kelapa Sawit: Bunga (a), Tandan Buah (b), Buah (c),
Daun (d), Pelepah (e) dan Batang Sawit (f) (Hutahean, 2008)
2.2 Varietas Sawit
Dikenal banyak jenis varietas kelapa sawit di Indonesia. Namun, diantara
varietas

tersebut

terdapat

varietas

unggul

yang

mempunyai

beberapa

keistimewaan dibandingkan dengan varietas lainnya, diantaranya tahan terhadap


hama dan penyakit, produksi tinggi, serta kandungan minyak yang dihasilkan
tinggi. Berikut ini akan dijelaskan sedikit penjabaran dari beberapa jenis
pembagian varietas kelapa sawit yang banyak digunakan oleh para petani dan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Hutahaean, 2008).

2.2.1

Berdasarkan Ketebalan Tempurung dan Daging Buah

Perbedaan ketebalan daging buah kelapa sawit menyebabkan perbedaan


jumlah rendemen minyak sawit yang dikandungnya. Rendemen minyak paling
tinggi terdapat pada varietas Tenera yaitu mencapai 22-24 %, sedangkan pada
varietas Dura hanya 16-18 % (Hutahaean, 2008). Varietas berdasarkan tebal
tempurung dan daging buah sawit dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Varietas Berdasarkan Tebal Tempurung dan Daging Buah Sawit
Varietas
Dura

Ciri-ciri
Tempurung tebal (2-8 mm)
Tidak terdapat lingkaran serabut pada bagian luar tempurung
Daging buah relatif tipis, yaitu 35-50 % terhadap buah
Kernel (daging biji) besar dengan kandungan minyak rendah

Psifera

Dalam persilangan, dipakai sebagai pohon induk betina


Ketebalan tempurung sangat tipis bahkan hampir tidak ada
Daging buah tebal, lebih tebal dari daging buah Dura
Daging bji sangat tipis
Inti hanya dilapisi lapisan serabut
Minyak inti sawit yang dihasilkan sangat rendah
Tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan jenis

Tenera

lain dan dipakai sebagai pohon induk jantan


Hasil dari persilangan antara Dura dan Psifera
Tempurung tipis (0,5-4 mm)
Terdapat lingkaran serabut disekeliling tempurung
Daging buah sangat tebal, lebih tebal dari Dura dan Psifera,
yatu 60-96 % dari buah
Tandan buah lebih banyak, tetapi ukurannya relatif kecil
Berat tandan adalah 22-24 %
Sumber: (Naibaho, 1998)

Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah, beberapa varietas


kelapa sawit yang banyak digunakan para petani dan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia diantaranya Dura, Psifera dan Tenera (Hutahaean, 2008).

2.2.2

Berdasarkan Warna Kulit Buah

Berdasarkan wana kulit buah, beberapa varietas kelapa sawit diantaranya


varietas Nigrescens, Virescens dan Albenscens. Varietas berdasarkan warna kulit
buah dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Varietas Berdasarkan Warna Kulit Buah
Varietas
Nigrescens
Virescens
Albenscens

Warna buah saat muda


Ungu kehitam-hitaman
Hijau

Warna buah saat masak


Jingga kehitam-hitaman
Jingga kemerahan, tetapi ujung

Keputih-putihan

buah tetap hijau


Kekuning-kuningan dan
ujungnya ungu kehitaman
Sumber: (Naibaho, 1998)

2.2.3

Varietas Unggul

Varietas unggul kelapa sawit dihasilkan melalui prinsip hibrida terbaik


dengan melakukan persilangan antara tetua-tetua yang diketahui mempunyai daya
gabung yang baik. Tetua yang digunakan dalam proses persilangan adalah dura
dan psifera. Varietas dura sebagai induk betina dan Psifera sebagai induk jantan.
Hasil persilangan tersebut telah terbukti memiliki kualitas dan kuantitas yang
lebih baik dibandingkan dengan varietas lain (Hadi, 2004).

2.3 Pengolahan Inti Kelapa Sawit (Palm Kernel)


Pengolahan kelapa sawit di pabrik umumnya dibagi menjadi pengolahan
daging buah yang nantinya dihasilkan CPO dan pengolahan inti kernel yang
didapat saat dipisah dengan daging buah atau biasa disebut tempurung. Saat
proses pemisahan, inti masih berupa kernel yang terbungkus oleh tempurung yang
keras. Bentuk inti sawit bulat padat atau agak gepeng berwarna coklat hitam. Inti
sawit mengandung lemak, protein, serat dan air. Pemisahan inti sawit dari
tempurungnya berdasarkan perbedaan berat jenis antara inti sawit dan tempurung
(Keman, 2004).

Untuk menghindari kerusakan akibat mikroorganisme, maka inti sawit


harus segera dikeringkan dengan suhu 80oC. Selanjutnya lemak yang terkandung
didalamnya disebut minyak inti sawit (palm kernel oil). Kadar minyak dalam inti
kering adalah 44-53 % (Tambun, 2002). Minyak inti sawit lebih padat dan mampu
dihidrogenasi lebih cepat daripada minyak kelapa sehingga ini membuat minyak
inti sawit banyak digunakan untuk bahan baku khususnya pemanis mentega dan
kosmetik. Pada Tabel 2.3 dapat dilihat komposisi asam lemak bebas minyak dan
kernel sawit. Minyak sawit juga dapat mengalami hidrolisis. Hal ini lebih mudah
terjadi pada inti pecah dan inti berjamur. Inti pecah yang basah akan tampak
biakan mikroorganisme (jamur) (Tusan, 2005).
2.4 Komposisi Minyak Kelapa Sawit
Pada umumnya minyak sawit mengandung lebih banyak asam-asam
palmitat, oleat dan linoleat jika dibandingkan dengan minyak inti sawit. Minyak
sawit merupakan gliserida yang terdiri dari berbagai asam lemak, sehingga titik
lebur dari gliserida tersebut tergantung pada kejenuhan asam lemaknya. Semakin
jenuh asam lemaknya semakin tinggi titik leleh dari minyak sawit tersebut
(Ketaren, 1986).
Pada suhu tinggi, inti sawit dapat mengalami perubahan warna.
Minyaknya akan berwarna gelap dan lebih sulit dipucatkan. Suhu tertinggi pada
pengolahan minyak sawit adalah pada perebusan, yaitu sekitar 130 C. Pada
umumnya bila tandan dibiarkan 45-60 menit saja pada tekanan uap jenuh 2,5
kg/cm2 dalam rebusan, hanya sedikit inti sawit yang mengalami perubahan warna
(Naibaho, 1998). Jika kurang dari 45 menit, tidak akan ada perubahan warna,
minyak akan berwarna kuning muda. Berikut adalah beberapa komponen yang
terdapat pada minyak kelapa sawit:

2.4.1

Komponen Trigliserida
Gliserida merupakan campuran dari asam lemak dan gliserol. Asam lemak

akan terikat pada gliserol, jika jumlah asam lemak yang terikat satu disebut

monogliserida, jika asam lemak yang terikat dua disebut digliserida sedangkan
jika asam lemak yang terikat tiga disebut trigliserida.

Gambar 2.2 Struktur Molekul Monogliserida, Digliserida dan Trigliserida


(Ketaren, 1986)
Trigliserida merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang.
Komposisi penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak
tidak jenuh. Trigliserida dapat berwujud padat atau cair pada suhu kamar, hal ini
dipengaruhi oleh asam lemak penyusunnya. Komposisi asam lemak penyusun
(CPO) dan Palm Kernel Oil dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komposisi Asam Lemak Minyak dan Inti Kelapa Sawit
Asam lemak
Asam lemak jenuh:
Asam kaproat
Asam kaprilat
Asam laurat
Asam miristat
Asam palmitat
Asam stearat
Asam lemak tidak jenuh:
Asam oleat
Asam linoleat

CPO
(Crude Palm Oil)
(%)

(Palm Kernel Oil)

C5H11COOH
C7H17COOH
C11H23COOH
C13H27COOH
C15H31COOH
C17H35COOH

1,1-2,5
40-46
3,6-4,7

3-7
3-4
46-52
14-17
6,5-9
1-2,5

C17H33COOH
C17H31COOH

39-45
7-11

15-19
1,5-2

Rumus kimia

PKO
(%)

Sumber: (Ketaren, 1986)

Asam lemak jenuh adalah asam yang berikatan tunggal yaitu semua atom
karbonnya tidak mempunyai ikatan rangkap dan sedikitnya berikatan dengan dua
atom hidrogen. Dengan adanya asam lemak jenuh ini akan menyebabkan minyak

10

berbentuk padat pada suhu kamar, semakin panjang rantai karbonnya maka titik
leleh semakin tinggi. Sedangkan asam lemak tidak jenuh merupakan asam lemak
yang memiliki ikatan rangkap baik dua maupun tiga ikatan.

Asam Lemak Jenuh

Asam Lemak Tak Jenuh

Gambar 2.3 Rumus Struktur Asam Lemak Jenuh dan Tak Jenuh (Ketaren, 1986)
2.4.2

Komponen Non-Trigliserida
Komponen non-trigliserida ini merupakan komponen yang menyebabkan

rasa, aroma dan warna kurang baik. Kandungan minyak sawit yang terdapat dalam
jumlah sedikit ini, sering memegang peranan penting dalam menentukan mutu
minyak (Netti, 2002).
Tabel 2.4 Kandungan Minor Minyak Kelapa Sawit
Komponen

Ppm

Karoten

500-700

Tokoferol

400-600

Sterol

Mendekati 300

Phospatida

500

Besi (Fe)

10

Tembaga (Cu)

0,5

Air
Kotoran-kotoran

0,07-0,18
0,01
Sumber: (Ketaren, 1986)

2.5 Sifat Fisika dan Kimia Minyak Kelapa Sawit


Berikut adalah beberapa sifat fisikan dan kimia minyak kelapa sawit yang
pernah diketahui :
A. Sifat Fisika

11

Sifat fisika minyak kelapa sawit meliputi beberapa hal diantaranya, warna,
bau, titik cair dan titik didih (boiling point). Warna minyak ditentukan oleh adanya
pigmen yang masih tersisa setelah proses pemucatan, karena asam-asam lemak
dan gliserida tidak berwarna. Warna jingga atau kuning disebabkan oleh adanya
pigmen karoten yang larut dalam minyak. Bau dan flavor dalam minyak terdapat
secara alami, namun juga didapat akibat adanya asam-asam lemak berantai
pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit
ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone (Netti, 2002).
B. Sifat Kimia
Mutu minyak sawit juga tidak terlepas dari sifat - sifat kimia yang dimiliki
oleh minyak sawit tersebut. Menurut Ketaren (1986), adapun sifat - sifat kimia
yang mempengaruhi mutu minyak sawit antara lain:
1

Hidrolisa
Hidrolisa merupakan suatu reaksi kimia antara trigliserida dengan air. Reaksi

ini tidak menguntungkan, karena akan dihasilkan produk berupa asam lemak
bebas. Asam lemak bebas dalam minyak dapat menimbulkan bau tengik, sehingga
berpengaruh terhadap kualitas minyak tersebut. Reaksi hidrolisa antara trigliserida
dengan air dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Trigliserida

Air

Asam Lemak Bebas (ALB)

Gliserol

Gambar 2.4 Reaksi Hidrolisis Trigliserida Membentuk ALB (Ketaren, 1986)


2

Oksidasi
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah

oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi ini dapat meningkatkan

12

kadar asam lemah bebas di dalam minyak sehingga dapat menyebabkan minyak
atau lemak menjadi tengik.
3

Saponifikasi
Minyak sawit dapat bereaksi dengan larutan basa seperti natrium hidroksida

(NaOH) dan kalium hidroksida (KOH) sehingga akan menghasilkan sabun dan
gliserol. Reaksi saponifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5

2.6

Reaksi Saponifikasi (Ketaren, 1986)

Para
mete
r

Mutu Minyak Kelapa Sawit


Mutu minyak kelapa sawit diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu
internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi dan logam
tembaga serta ukuran pemucatan (angka DOBI) dan bilangan iod yang biasa
dibutuhkan dalam pabrik refinasi. Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) yang tinggi
pada minyak kelapa sawit akan menimbulkan bau tengik di samping juga dapat
merusak peralatan karena mengakibatkan timbulnya korosi. Peningkatan kadar
ALB ini dapat disebabkan oleh adanya kadar air dalam CPO dan enzim lipase
yang berfungsi sebagai katalis yang mampu mempercepat terjadinya reaksi
hidrolisa (Keman, 2004).
Berdasarkan persyaratan mutu SNI, kadar ALB maksimum pada minyak
adalah sebesar 5%, kadar air dan kotoran masing-masing kurang dari 0,5%, kadar
maksimum untuk logam besi dan tembaga masing-masing 10 ppm dan 0,5 ppm
(Neibaho, 1998). Logam besi dan tembaga juga dapat berperan sebagai katalisator
dalam proses oksidasi yang dapat menimbulkan bau tengik pada minyak.
Sedangkan dalam proses pemucatan CPO, angka DOBI minimal 2,8 serta standar
relatif bilangan iod adalah 51.

13

2.7 Pemanfaatan Minyak Kelapa sawit


Menurut Ketaren (1986), minyak kelapa sawit memiliki nilai manfaat yang
tinggi dalam berbagai industri. Kegunaan dari kelapa sawit tersebut adalah :
1. Minyak kelapa sawit merupakan bahan baku untuk kebutuhan pangan
(minyak goreng, margarin, vanaspati, lemak dan lain-lain) tetapi juga
untuk memenuhi kebutuhan non-pangan (gliserin, sabun, deterjen, BBM
dan lain-lain).
2. Inti sawit yang menghasilkan minyak inti sawit digunakan sebagai bahan
sabun, minyak goreng, kosmetik dan sebagainya.
Selain itu, minyak kelapa sawit juga dijadikan sebagai bahan baku minyak
pelumas, bahan fermentasi anggur, lapisan cat, pelumas, lilin, bahan semir
furniture, bahan peledak dan minyak bahan tekstil (Hilditch, 1960).
Disamping produk utama yang berupa minyak yang dihasilkan, terdapat
juga produk sisa berupa cangkang atau tempurung dari inti sawit yang merupakan
hasil proses pengupasan inti. Dari proses pelumatan daging buah dihasilkan
ampas berupa fiber. Setelah mencapai tingkat kekeringan yang diperbolehkan
cangkang dan fiber ini kemudian dapat digunakan sebagai tambahan bahan bakar
boiler dengan perbandingan massa tertentu (Netti, 2002).
Untuk memaksimalkan pemanfaatan bahan sisa, tandan kosong juga dapat
digunakan sebagai bahan bakar tambahan (Hadi, 2004). Hal tersebut tentunya
dilakukan dengan pertimbangan dan komposisi yang sesuai dengan jenis bahan
bakar lain yang digunakan serta kemampuan pembakaran dapur pemanas.

Вам также может понравиться