Вы находитесь на странице: 1из 2

BAB I

PENDAHULUAN
I. Latar belakang
Kolestasis pada bayi dan anak masih merupakan masalah utama di
berbagai pusat pelayanan kesehatan di Indonesia.1 Angka kejadian kolestasis
yang dilaporkan dari berbagai sumber berkisar antara 1 dalam 2.500-9.000
kelahiran hidup.2,3 Perkiraan insiden tersebut cukup tinggi di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta dan laju pertambahan penduduk
1,49% per tahun, diperkirakan terdapat sekitar 1.600-5.800 kasus baru pada
sekitar 4 juta kelahiran hidup di Indonesia per tahun. 1 Belum ada pemeriksaan
klinis, biokimia atau pencitraan yang dapat menentukan secara dini dugaan
penyebab kolestasis. Pada pusat-pusat pelayanan di daerah keadaan ini menjadi
lebih sulit karena keterbatasan alat dan kemampuan pembiayaan penderita.
Sebagai langkah awal penanganan penderita, perhatian utama ditujukan pada
diagnosis dini untuk membedakan kolestasis intrahepatal dan ekstrahepatal,
dimana pada kasus ekstrahepatal, atresia biliaris merupakan penyebab
tersering. Intervensi pembedahan dini penderita ateria biliaris (operasi Kasai)
sebelum usia 2 bulan, dapat mencegah kerusakan hati yang progresif dengan
outcome jangka panjang yang lebih baik pada penderita.
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pada anak balita di negara berkembang, faktor resiko tersebut adalah
infeksi pada saat kehamilan, berat badan lahir rendah pada bayi dan prematur.
Berdasarkan penelitian Bachtiar dkk, faktor-faktor risiko yang diteliti secara
statistik tidak ada yang bermakna terhadap terjadinya kolestasis.4
Salah satu fungsi utama dari hati adalah memproduksi dan mensekresi
empedu. Kolestasis terjadi bila terjadi hambatan aliran empedu dan bahanbahan yang harus diekskresi hati. Tiga penyebab utama kolestasis adalah
sindroma hepatitis neonatal, obstruksi mekanik dan sindroma paucity saluran
empedu intrahepatal.1 Diagnosis dini kolestasis sangat penting karena terapi
dan prognosa dari masing-masing penyebab sangat berbeda.2 Pada atresia bilier,

bila pembedahan dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu mempunyai


prognosa buruk.3 Salah satu tujuan diagnostik yang paling penting pada kasus
kolestasis adalah menetapkan apakah gangguan aliran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik. 5,6
Kolestasis terjadi bila didapatkan hambatan sekresi berbagai substansi
yang seharusnya disekresikan ke dalam duodenum, sehingga menyebabkan
tertahannya substansi tesebut di dalam hati dan menimbulkan kerusakan sel-sel
hati.7 Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi
kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah
dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya
timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier. Tanpa memandang
etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi adalah ikterus, tinja
akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasis
klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan bilirubin.5,6
Dalam laporan ini akan dibahas kasus seorang anak laki-laki 2,5 bulan
dengan observasi kolestasis di bangsal C1L1 RSUP dr Kariadi Semarang.
II. Tujuan
Tujuan dibuatnya tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara
menegakkan diagnosis kolestasis berikut penatalaksanaan dan prognosisnya
sesuai dengan kepustakaan yang ada.
III. Manfaat
Dengan dibuatnya tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
media belajar bagi mahasiswa sehingga mahasiswa dapat mendiagnosis dan
mengelola pasien dengan permasalahan yang sama dengan pasien ini secara
dini, cermat, dan tepat.

Вам также может понравиться