Вы находитесь на странице: 1из 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Maksud dan Tujuan


1.2.1 Maksud
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bobot/nilai Rock Mass Rating
(RMR) dan Slope Mass Rating (SMR).
1.2.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan pengamatan ini adalah untuk mengetahui data analisis faktor
keamanaan di Tambang Pit-2 Bangko Barat.
1.3 Batasan Masalah
Dalam kajian ini hanya dibahas analisis kemantapan lereng metode Slope Mass
Rating (SMR).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Stabilitas Lereng
Lereng merupakan bagian dari permukaan bumi yang berbentuk miring. Di dalam
operasi penambangan, pembentukan lereng akan diketemukan pada penggalian tambang
terbuka (open pit maupun open cut). Umumnya pada sistem penambangan terbuka (open
pit mining) memiliki kemiringan lereng 250 dengan kedalaman mencapai puluhan /ratusan
meter. Apabila lereng-lereng yang terbentuk sebagai akibat proses penambangan (pit
slope) maupun yang merupakan sarana penunjung operasi penambangan (bendungan,
jalan dan lain-lain) terjadi ketidakstabilan (tidak mantap), maka kegiatan produksi akan
terganggu.
Menurut material pembentuknya, lereng dapat dibedakan atas lereng batuan dan
lereng tanah. Pada suatu lereng terdapat gaya-gaya yang bekerja yang terdiri dari gaya
pendorong dan gaya penahan. Gaya pendorong adalah gaya tangensial dari berat massa
tanah, sedangkan gaya penahan berupa tahanan geser tanah. Kemantapan lereng adalah
merupakan salah satu faktor utama dalam suatu tambang terbuka. Oleh karena itu, analisis
kemantapan lereng merupakan suatu bagian yang penting untuk mencegah terjadinya
gangguan-gangguan terhadap kelancaran produksi maupun terjadinya bencana yang fatal.
Kemantapan atau keseimbangan suatu lereng dinyatakan dalam bentuk faktor
keamanan (FK) sebagai berikut

FK =

Gaya Penahan
Gaya Pendorong

Dimana secara umum untuk keadaan-keadaan :


FK > 1,0 Lereng dianggap mantap
FK = 1,0 Lereng dalam keadaan seimbang, dan memiliki kemungkinan
Untuk longsor jika ada sedikit gangguan saja.
FK < 1,0 Lereng dianggap tidak mantap
Umumnya mantap atau tidaknya lereng akan selalu berkaitan dengan
perhitungan-perhitungan untuk mengetahui angka faktor keamanan (FK) dari lereng yang
bersangkutan. Mantap atau tidaknya lereng tergantung dari hubungan antara beberapa
faktor seperti :
1. Penyebaran Batuan
Penyebaran jenis tanah atau batauan yang terdapat di lokasi penelitian harus
diketahui dengan benar karena masing-masing jenis tanah atau batuan mempunyai
sifat fisik dan mekanik yang berbeda pada suatu keadaan tertentu serta
mempunyai sifat yang berbeda pun apabila suatu beban atau tegangan dikenakan
kepadanya.
2. Morfologi Daerah
Morfologi suatu daerah adalah keadaan fisik, karakteristik dan bentuk permukaan
dari bumi, Morfologi ini sangat menentukan laju erosi yang akan berpengaruh
pada cepat atau lambatnya proses dan pengendapan yang terjadi, dan menentukan
arah aliran tanah maupun air permukaan.
3. Struktur Geologi
Struktur geologi yang harus diketahui meliputi struktur regional maupun lokal,
struktur mayor maupun minor. Struktur geologi ini mencakup pencatatan adanya
kekar, sesar, bidang perlapisan, sinklin dan antiklin, ketidakselarasan, dll. Struktur
geologi ini sangat mempengaruhi kekuatan batuan atau tanah atau paling tidak
merupakan tempat-tempat rembesan air sehingga akan mempengaruhi cepat atau
lambatnya proses pelapukan. Penentuan arah jurus dan kemiringan bidang-bidang
tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam melengkapi data analisa.
4. Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor yang penting dalam analisa kestabilan lereng,
karena mempengaruhi perubahan temperatur dan curah hujan. Hal ini
berhubungan dengan tingkat pelapukan yang terjadi pada satu daerah. Pada daerah
tropis proses pelapukan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan daerah dingin.
Pelapukan mempengaruhi sifat-sifat fisik dan mekanik dari batuan dan tanah,
yaitu :
- c (Kohesi)

(Sudut geser dalam)


(Bobot isi batuan atau tanah)

5. Hasil Kerja Manusia


Selain akibat ilmiah, hasil kerja manusia juga dapat memengaruhi kestabilan
lereng diantaranya kegiatan penggalian, pembuatan jalan tambang, bendungan.
Akibat kegiatan tersebut akan menyebabkan perubahan keseimbangan dari gayagaya dalam sehingga akan menyebabkan bertambahnya gaya geser.
6. Geometri Lereng
Geometri lereng harus diperhatikan adalah tinggi (H) dan sudut kemiringan lereng
( , apabila suatu lereng baik lereng tunggal maupun lereng total mempunyai
kemiringan yang tetap, maka perubahan ketinggian akan mengakibatkan
perubahan kestabilan dari lereng yang bersangkutan karena berat material lereng
yang harus ditahan oleh kekuatan geser tanah/batuan semakin besar. Dengan
demikian sehubungan dengan hal tersebut maka untuk menjaga dari pada lereng,
maka semakin tinggi lereng maka sudut kemiringan lereng yang diperlukan
semakin kecil.
7. Pengaruh Air Tanah
Pengaruh ketinggian air tanah di dalam massa tanah atau batuan pada lereng dapat
berfungsi sebagai pelarut dan sebagai media transportasi material pengisi celah
rekahan dimana akibat dengan adanya kehadiran air tersebut dapat menimbulkan
tegangan air pori yang akan mengurangi tegangan normal, sehingga akan
memperkecil kekuatan geser.
8. Sifat Fisik dan Sifat Mekanika Tanah
Sifat fisik dan sifat mekanika tanah atau batuan merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi kestabilan dari lereng karena berhubungan dengan besar kecilnya
nilai kekuatan geser dimana kelongsoran yang terjadi pada lereng merupakan
peristiwa keruntuhan geser, dengan demikian di dalam melakukan analisa
kestabilan dari lereng tanah atau batuan yang memengaruhi kuat geser.
Adapun sifat fisik dan mekanika tanah dan batuan yang diperlukan dalam
melakukan analisa kestabilan lereng adalah sebagai berikut:
1. Bobot isi/Densitas ( )
Bobot isi tanah adalah perbandingan antara berat dengan volume material
yang dinyatakan dalam satuan berat per volume. Bobot isi ini berperan dalam
menimbulkan tekanan pada permukaan bidang longsor (luncur). Kenaikan
harga bobot isi akan menambah beban yang bekerja pada lereng.

2. Sudut geser dalam ( )


Sudut geser dalam merupakan sudut yang dibentuk dari hubungan tegangan
normal dan tegangan geser di dalam material tanah. Sudut geser dalam adalah
sudut rekahan yang dibentuk jika suatu material dikenakan tegangan yang
melebihi tegangan gesernya. Semakin besar sudut dalam suatu material maka
material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan luar yang dikenakan.
Untuk mengetahui besar sudut geser dalam harus dilakukan pengujian triaksial
dan uji geser langsung, satuannya dinyatakan dalam derajat (o).
3. Kohesi (c)
Kohesi adalah kekuatan tarik menarik antar butiran tanah yang dinyatakan
dalam satuan berat per satuan luas. Bila kekuatan gesernya makin besar, maka
makin besar pula harga kohesi dari tanah, ini berarti tanah dengan kohesi yang
besar dapat dibuat lereng dengan kemiringan yang besar untuknilai keamanan
yang sama. Harga kohesi didapatdari hasil analisis di laboratorium yaitu
dengan uji triaksial dan uji geser langsung. Harga kohesi merupakan titik
perpotongan sumbu kuat geser dengan selubung kekuatan material (diameter
lingkaran Mohr) atau titik perpotongan sumbu kuat geser dengan garis
kekuatan geser Coulomb yang lebih dikenal dengan selubung keruntuhan
Mohr-Coulomb.
2.2 Perhitungan Faktor Keamanan
Dalam menentukan faktor keamanan desain final lereng tambang Bangko Barat
Pit-3 selatan barat Unit Pertambangan Tanjung Enim acuan yang digunakan untuk
menentukan parameter kuat geser dan resikonya adalah peraturan BPP Pekerjaan
Umum tahun 1986, yang tertera pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.1 Faktor Keamanan Minimal Kemantapan Lereng (BPP PU 1986).

Resiko

Kondisi
Beban
Dengan

Tinggi
Menengah

gempa
Tanpa
gempa
Dengan

Parameter Kuat Geser


Maksimum
Residual/Sisa
Teliti
Kurang
Teliti
Kurang
1,50

1,75

1,35

1,50

1,80

2,00

1,60

1,80

1,30

1,60

1,20

1,40

gempa
Tanpa
gempa
Dengan
Rendah

gempa
Tanpa
gempa

1,50

1,80

1,35

1,50

1,10

1,25

1,00

1,10

1,25

1,40

1,10

1,20

Tabel 2.2 Faktor Keamanan Minimal Kemantapan Lereng (BPP PU 1986).


Tinggi

Bila ada konsekuensi terhadap manusia cukup besar


(ada pemukiman), dan atau bangunan sangat mahal

Menengah

dan atau sangat penting.


Bila ada konsekuensi terhadap manusia tetapi sedikit
(bukan pemukiman), dan atau bangunan tidak begitu

Resiko
Rendah

mahal dan atau tidak begitu penting.


Tidak ada konsekuensi terhadap manusia dan

Maksimum

bangunan (bangunan sangat murah).


Harga puncak (peak/ultimate) dan dipakai apabila
massa

tanah/batuan

yang

potensial

bergerak

(longsor) tidak mempunyai bidang dikontinuitas


(perlapisan, rekahan, sesar, dsb) dan belum pernah
Parameter
Kuat Geser

Residual atau
Sisa

mengalami gerakan
DIPAKAI APABILA :
1. Massa tanah/batuan yang potensial bergerak
mempunyai bidang diskontinuitas, dan atau
2. Pernah
bergerak
(walaupun
tidak
mempunyai bidang diskontinuitas).

2.3 Jenis Longsoran


a. Longsoran Busur (Sircular Failure)
Jenis longsoran ini adalah yang paling umum terjadi di alam (tipikal longsoran
tanah/soil). Pada batuan yang keras, jenis longsoran ini hanya dapat terjadi jika
batuan tersebut sudah lapuk dan mempunyai bidang-bidang diskontinu yang rapat
(heavily jointed), atau menerus sepanjang sebagian lereng sehingga menyebabkan

longsoran geser dipermukaan. Yang lebih sering terjadi adalah gabungan antara
longsoran busur, terutama lereng-lereng buatan.
b. Longsoran Bidang (Plane Failure)
Longsoran jenis ini terjadi pada batuan yang mempunyai bidang luncur bebas (day
light) yang mengarah ke lereng dan bidang luncurnya pada bidang Discontinue
seperti : sesar, kekar, liniasi, atau bidang perlapisan. Fenomena lainnya yang
memicu longsoran jenis ini yaitu bila sudut lerenng lebih besar dari sudut bidang
luncur serta sudut geser dalam lebih kecil dari sudut bidang luncurnya. Biasanya
terjadi pada permukaan lereng yang cembung dengan kemiringan bidang kekar
rata-rata hampir atau searah dengan kemiringan lereng.
c. Longsoran Baji (Wedge Failure)
Model longsoran ini hanya bisa terjadi pada batuan yang mempunyai lebih dari
satu bidang lemah atau bidang diskontinu yang bebas, dengan sudut antara kedua
bidang tersebut membentuk sudut yang lebih besar dari sudut geser dalamnya.
Fenomena yang paling sering terjadi adalah garis perpotongan dua bidang kekar
mempunyai kemiringan ke arah kemiringan lereng.
d. Longsoran Guling (Toppling Failure)
Longsoran toppling akan terjadi pada lereng yang terjal pada batuan keras dengan
bidangbidang diskontinu yang hampir tegak, dan longsoran dapat berbentuk
blok atau bertingkat. Bila longsoran terjadi pada massa batuan yang kuat dengan
fenomena kekar yang relatif tegak, maka rekahan tariknya akan meledut terus dan
miring kearah kemiringan lereng.
2.4 Klasifikasi Longsoran
Dari gerakan dan jenis material sebelum longsor dapat dibuat golongan/klasifikasi
longsoran (Tabel 3.1) yaitu :
a. Jatuhan Batu (Rock Falls)
Dalam hal ini massa batuan yang terjadi dari bermacam-macam ukuran yang
lepas dari lereng terjal dan tidak ada pergeseran, serta massa batuan tesebut
bergerak dengan kecepatan yang relatif tinggi dengan cara jatuh bebas,
loncatan atau menggelinding.
b. Gulingan (Topples)
Gerakan ini merupakan rotasi atau perputaran ke depan yang disebabkan oleh
gravitasi dan gaya lateral yang timbul dari bagian-bagian disebelahnya atau
oleh tekanan air pada rekahan-rekahan.

c. Longsoran atau Luncuran (Slide)


Dalam hal ini disebabkan oleh tegangan geser dan perpindahan massa batuan
yang terjadi sepanjang satu atau beberapa macam bidang luncur yang mungkin
dapat terlihat atau tidak terlihat atau tidak terlihat mata telanjang. Gerakan
luncuran ini bisa berupa rotasi atau tranlasi, tergantung pada material dan
i.
ii.
iii.

keadaan strukturnya antara lain :


Jika gerakan luncurnnya merupakan

rotasi

maka

biasanya

akan

menghasilkan longsoran busur/lingkaran.


Jika gerakan translasi akan menghasilkan longsoran bidang.
Bila gerakannya merupakan gabungan dari kedua jenis gerakan tersebut
maka akan menghasilkan longsoran bidang dan busur.

Tabel 3.1
Klasifikasi Longsoran Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1986)

JENIS MATERIAL
TANAH

JENIS GERAKAN

Batu

RUNTUHAN

Runtuhan Batu

Jungkiran Batu

JUNGKIRAN

Butiran

Kasar
Runtuhan

Halus

Bahan
Rombakan
Jungkiran
Bahan
Rombakan

GULINGA
N

Butiran

Nendetan
Rotasi

Nandetan Batu

Batu
Rombakan

Translasi

Sedikit

Banya

Gelinciran
Gelinciran Bongkah

Bongkah

Batu

Bahan

Gelinciran Batu

Rombakan
Gelinciran

Runtuhan
Tanah
Jungkiran
Tahan

Nendetan
Tanah

Gelinciran
Bongkah
Tanah
Gelinciran

Bahan

GERAKAN LATERAL

Rombakan
Gerakan
Gerakan Lateral Batu

Lateral Bahan
Rombakan
Aliran Bahan

ALIRAN
MAJEMUK

Tanah
Gerakan
Lateral Tanah

Aliran Tanah
Rombakan
Rayapan Tanah
Gabungan dua atau lebih tipe gerakan

Aliran Batu

d. Sebaran lateral (Lateral Spreads)


Peristiwa ini akan terjadi pada batuan yang mempunyai banyak retakan dan
rekahan serta terletak didaerah aliran yang plastis.
e. Aliran Batu (Rock Flow Block Flow)
Aliran batu akan terjadi pada batuan yang tidak terkonsolidasi dengan
sempurna. Bisa mempunyai gerakan yang cepat maupun lambat baik dalam
kondisi basah ataupun kering.
f. Longsoran Kompleks/Majemuk
Klasifikasi longsoran ini merupakan gabungan dari beberapa macam gerakan
batuan/tanah yang tersebut diatas, baik semuanya atau hanya sebagian.
Fenomena gerakan semacam ini sulit untuk dijelaskan seperti yang lainnya
karena umumnya tidak beraturan.
2.5 karakteristik Umum Klasifikasi Massa Batuan
Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok untuk
mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang lemah atau kekar
dan derajat pelapukan massa batuan. Atas dasar ini sudah banyak usulan dan
modifikasi terhadap sistem klasifikasi massa batuan yang dapat digunakan untuk
merancang kemantapan lereng.
Beberapa metode/sistem klasifikasi massa batuan yang telah digunakan atau
dimodifikasi untuk kepentingan kemantapan lereng antara lain :
1. Rock Mass Rating (RMR), Bieniawski (1972, 1976, & 1989)
2. Slope Mass Rating (SMR), Romana (1980, 1985, & 1991)
3. Rock Mass Strength (RMS), Selby (1980)
Tetapi seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam penelitian ini
hanya akan membahas pokok bahasan tentang analisis Rock Mass Rating (RMR) dan
Slope Mass Rating (SMR) saja.

Pada dasarnya semua klasifikasi massa batuan bertujuan untuk :


1. Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi perilaku
massa batuan.
2. Membagi formasi massa batuan ke dalam kelompok yang mempunyai
perilaku sama menjadi kelas massa batuan.
3. Memberikan dasar pengertian pada karakteristik setiap kelas massa batuan.
4. Menghubungkan data kuantitaif dan pedoman untuk suatu rancangan
rekayasa.
5. Mengambil data kuantitatif data pedoman untuk kemudahan komunikasi
diantara para ilmuwan, terutama para ahli geoteknik dan geologi.
Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan (RMR/SMR) tersebut akan
diperoleh paling tidak tiga keuntungan terhadap suatu perancangan kemantapan
geometri lereng anatara lain :
1. Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan
minimum yang diperoleh melalui deskripsi detail terhadap parameter
klasifikasi yang digunakan.
2. Memberikan informasi data

kuantitatif

dan

kualitatif

untuk

tujuan

perancangan.
3. Penilaian rekayasa teknik dapat lebih baik, komukatif dan efektif.
Agar dapat dipergunakan dengan baik dan cepat (praktis) maka klasifikasi massa
buatan harus mempunyai beberapa sifat seperti :
1. Sederhana, mudah diingat dan dimengerti (sistematis).
2. Identifikasi karakteristik massa batuan selengkap mungkin.
3. Parameternya dapat diukur dengan mudah dan murah.
4. Pembobotan dilakukan secara relatif tetapi harus teliti.
5. Menyediakan data-data kuantitatif.
2.6 Klasifikasi Massa Batuan (Rock Mass Rating)
Rock Mass Rating (RMR) dibuat pertama kali oleh Bieniawski (1973). Sistem
klasifikasi ini telah dimodifikasi beberapa kali (terakhir 1989). Modifikasi selalu
dengan data yang baru agar dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan
disesuaikan dengan standar internasional (Tabel 3.2).
Rock Mass Rating (RMR) ini terdiri dari 6 (enam) parameter yaitu :
1. Kuat tekan batuan utuh.
2. Rock Quality Destination (RQD)
3. Jarak/spasi bidang diskontinu (terutama kekar).
4. Kondisi kekar, meliputi : kekasaran (rouhness), lebar celah (aperture) dan
ketebalan bahan pemisah/pengisi celah (width filled/gouge), tingkat
pelapukan (weathered) dan kemenerusan kekar/terminasi.
5. Orientasi bidang diskontinu (terutama kekar).

6. Air tanah: dapat diambil dari salah satu diantaranya yaitu aliran tiap meter
panjang singkapan, nisbah tekanan air pada dengan tegangan utama
maksimum, atau kondisi umum.
Klasifikasi dan pembobotan (Tabel 3.2 butir a), terhadap beberapa parameter
tersebut selanjutnya dibagi ke dalam lima kelompok atau kelas (kelas I-IV). Karena
beberapa parameter tidak mempunyai nilai dan kepentingan yang sama terhadap bobot
total RMR, maka pembobotan untuk setiap parameter juga berbeda. Semakin besar
bobotnya maka semakin baik massa batuan tersebut terhadap masalah kemantapan
lereng, tetapi semakin sulit untuk digali. Klasifikasi dan pembobotan parameter
kedalam lima kelas tersebut juga mempunyai selang nilai yang berlainan satu dengan
yang lainnya sesuai spesifikasi dan karakteristik masing-masing parameter tersebut.
Penyesuaian bobot untuk orientasi kekar (Tabel 3.2 butir b), tidak menggunakan
selang nilai karena langsung diberikan bobot/nilai -60 (kelas V) sebagai kondisi yang
sangat tidak menguntungkan.
Kemudian kelas massa batuan menurut bobot total (taabel 3.2 butir c), adalah
gabungan/penjumlahan dari deskripsi batuan masing-masing bobot total. Bobot total
100-81 adalah kelas I dengan deskripsi batuan sangat baik, sampai dengan bobot total
<20 adalah kelas V dengan deskripsi batuan sangat buruk.

Tabelllllllllllllllllllllll

2.7 Klasifikasi Massa Jenjang (Slope Mass Rating)


Slope Mass Rating (SMR) dibuat oleh Romana (1980). SMR adalah merupakan
modifikasi Rock Mass Rating (RMR) yang tujuannya untuk menyertakan bobot
pengatur orientasi kekar sebagai faktor koreksi (F) terhadap RMR. Faktor koreksi
dimaksud terdiri dari 3 (tiga) macam yang diidentifikasi menjadi F1, F2 dan F3 (table
3.3).
Selanjutnya Romana (1985, 1991) juga memperhitungkan metode penggalian
yang digunakan dalam pembentukan/pembuatan lereng yang diidentifikasi menjadi
bobot pengatur metode penggalian sebagai faktor koreksi keempat (F4).
Selain itu untuk melihat potensi kelongsoran terhadap kemantapan lereng (tabel
VI), Romana menekankan deskripsi detail karakteristik struktur geologi, terutama
kekar. Dengan demikian parameter Slope Mass Rating (SMR) selengkapnyo adalah
meliputi :
1. Rock Mass Rating (RMR), yaitu bobot massa batuan (bobot total RMR)
2. Orientasi (dip dan dip direction) bidang lemah atau kekar.
3. Orientasi (dip dan dip direction) jenjang/lereng.
a. Metode penggalian yang digunakan dalam pembentukan lereng.
Slope Mass Rating (SMR) pada dasarnya ditujukan untuk analisis longsoran
Bidang dan Guling. Karena kedua jenis longsoran ini yang lebih terjadi pada material
batuan. Oleh karena itu SMR tidak memperhatikan Longsoran Baji secara langsung.
Untuk memperoleh bobot total SMR (yang mencerminkan tingkat kemantapan
lereng), diidentifikasikan dalam persamaan umum sebagai berikut :
SMR = RMR (F1xF2xF3)+F4

Dimana :
RMR
F1,F2 dan F3

: bobot Rock Mass Rating (bobot total RMR), Tabel 3.2.


: bobot kriteria faktor koreksi (tabel 3.3) yang dihitung
berdasarkan paralelisme antara orientasi kekar dengan
ketentuan sebagai berikut :

1. Untuk longsoran Bidang


F1 = j s
F2 = j
F3 = js
Dengan demikian persamaan SMR untuk Longsoran Bidang menjadi :

Вам также может понравиться