Вы находитесь на странице: 1из 36

MATERI

PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK BADAN
D
I
S
U
S
U
N

O
L
E
H

NAMA

: ERWIN LIM

KELAS

: 12 AK 2

NO.ABSEN

: 12

SMK KRISTEN IMMANUEL


TAHUN AJARAN 2016/2017

BADAN
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
BENTUK USAHA TETAP (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183(seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia,
yang dapat berupa:
1. tempat kedudukan manajemen;
2. cabang perusahaan;
3. kantor perwakilan;
4. gedung kantor;
5. pabrik;
6. bengkel;
7. gudang;
8. ruang untuk promosi dan penjualan, dll
Perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan

WAJIB PAJAK BADAN


Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban
objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

PENGERTIAN PPH BADAN


PPh Badan, yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima badan usaha yang
bertempat kedudukan di Indonesia. Besarnya PPh yang terutang bergantung pada jumlah besarnya laba
sebelum pajak. Laba sebelum pajak dapat diketahui secara akurat jika pembukuan yang dilakukan oleh
WP telah sesuai dengan ketentuan prinsip akuntansi berlaku umum.
Pembukuan Sebagai Dasar Perhitungan Pajak.
Pembukuan sebagai dasar perhitungan pajak menurut UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU NO. 36 Tahun 2008, dalam pasal 16
menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak adalah:
Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban seperti yang dimaksud pada pasal 4 ayat (1),
pasal 6 dan pasal 9, dan untuk bentuk usaha tetap (BUT) disebutkan pada pasal 5 ayat (2) dan ayat (3).

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa dasar yang dapat digunakan untuk memperoleh
besaran laba kena pajak (penghasilan kena pajak) adalah dengan cara penghasilan bruto dikurangi
dengan biaya dan beban, cara demikian ini tidak lain adalah pembukuan. Dalam pembukuan ini
informasi yang terpenting untuk menghitung PPh yang terutang, yaitu penghasilan dan biaya. Proses
mat-ching antara penghasilan dengan biaya terrefleksikan dalam laporan perhitungan Laba-Rugi
Badan Usaha.
PAJAK PENGHASILAN BADAN
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap subjek
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
1.

Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

2.

Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan
dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun

dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak
badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
i.

Subyek PPh Badan sebagai berikut.


1. PT (Perseroan Terbatas).
2. CV (Perseroan Komanditer).
3. Perseroan lainnya.
4. BUMD dengan nama dan bentuk apa pun.
5. Firma.
6. Kongsi.
7. Koperasi.
8. Dana Pensiun.
9. Persekutuan (CV)
10. Perkumpulan.
11. Yayasan.
12. Organisasi Masa.
13. Organisasi Sosial Politik.
14. Lembaga
15. BUT (Bentuk Usaha Tetap).
16. Reksadana.

ii.

Unit tertentu dari pemerintah yang memenuhi kriteria berikut ini adalah yang tidak termasuk
sebagai Subyek Pajak adalah:
1. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN dan APBD.
3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat maupun
Daerah.
4. Pengawasannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

iii.

Pembagian Subyek Pajak Badan

URAIAN

Definisi

SPDN

SPLN

(Subyek Pajak Dalam Negeri)

(Subyek Pajak Luar Negeri)

Badan yang didirikan atau bertempat

Badan yang tidak didirikan

kedudukan di Indonesia
Saat dimulainya dan

Dimulai pada saat badan tersebut

Dimulai secara otomatis pada saat

berakhirnya

didirikan atau bertempat kedudukan

menjalankan usaha melalui BUT

kewajiban subyektif

di Indonesia

ataupun pada saat menerima dan


memperoleh penghasilan

Berakhir pada saat badan tersebut

Berakhir pada saat tidak lagi

dibubarkan atau tidak lagi bertempat

menjalankan usaha di Indonesia

kedudukan di Indonesia

dengan melalui BUT atau tidak lagi


menerima atau memperoleh
penghasilan

Obyek Pajak

Penghasilan baik yang diterima atau

Penghasilan yang berasal dari

diperoleh dari Indonesia dan dari

sumber penghasilan di Indonesia

luar Indonesia

Dasar Pengenaan

Penghasilan netto dengan tarif

Penghasilan bruto dengan tarif pajak

Pajak

umum

sepadan

Kewajiban

Menyampaikan SPT sebagai sarana

Tidak wajib menyampaikan SPT,

Pelaporan

untuk menetapkan Pajak yang

karena kewajiban pajaknya dipenuhi

terutang dalam suatu tahun pajak

melalui pemotongan pajak yang


bersifat final.

NON-SUBJEK PAJAK

Non Subyek Pajak Badan, yaitu:

kantor perwakilan negara asing;


pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing

dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima
atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik;
organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
o Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
o tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c dengan
syarat ukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia
OBYEK PAJAK BADAN / PENGHASILAN BADAN USAHA (Pasal 4 ayat (1) UU PPh).
Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dalam konteks wajib pajak
badan, maka berikut ini termasuk pengertian penghasilan meliputi :

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
.

No.

Jenis Obyek Pajak

Keterangan

Tarif

1.

Hadiah langsung

Non Obyek Pajak

2.

Hadiah undian

Dipotong PPh Final

25%

Dipotong PPh Pasal 21

3.

Hadiah penghargaan sehubungan


dengan pekerjaan, kegiatan atau
perlombaan uang diperoleh/diterima
oelh WP Orang pribadi.

Tarif progresif sesuai


dengan pasal 17 UU
PPh

Dipotong PPh Pasal 23

15%

4.

Hadiah/peghargaan sehubungan
dengan kegiatan, atau perlombaan
yang diperoleh/diterima oleh WP
Badan.

5.

Hadiah penghargaan yang

Dipotong PPh Pasal 26

20%

diperoleh/diterima oleh WPLN.

BUKAN OBJEK PAJAK [Pasal 4 ayat (3)]

bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah

harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan,badan sosial

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antarapihak-pihak
yang bersangkutan;

Warisan

harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat(1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal

penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan

pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa

dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,

iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun

penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf
g

bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi

penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur denganbatau berdasarkan Peraturan MenteribKeuangan;
dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efekbdi Indonesia;

beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu

sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan

bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu

OBJEK PAJAK FINAL [Pasal 4 ayat (3)]


a) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
b) penghasilan berupa hadiah undian;
c) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
PENGELUARAN YANG DAPAT DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA. [Pasal 6 ayat (1)]
Biaya adalah pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
kegiatan usaha dalam rangka untuk memperoleh, mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan. Karena penghasilan ada yang dikelompokkan sebagai penghasilan bukan obyek pajak,
maka penghasilan yang dimasukkan dikurangi biaya ini adalah penghasilan yang merupakan obyek
pajak, dan pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama manfaat dari
pengeluaran

tersebut.

Berikut

pengeluaran-pengeluaran

yang

diperkenankan

penghasilan bruto, meliputi.


a. Biaya yg secara langsung/tdk langsung berkaitan dgn kegiatan usaha antara lain:
1 biaya pembelian bahan;
2 biaya berkenaan dgn pekerjaan/jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus
gratifikasi dan tunjangan yg diberikan dlm bentuk uang;
3 bunga, sewa, royalti;
4 biaya perjalanan
5 biaya pengolahan limbah;
6 premi asuransi;

mengurangi

7 biaya promosi/penjualan yg diatur dgn atau berdasarkan Per Men Keuangan;


8 biaya administrasi;
9 Pajak, kecuali PPh
b. Biaya penyusutan fiskal dan/atau amortisasi.
c. Iuran kpd dana pensiun yg pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yg dimiliki/digunakan dlm
perusahaan Utk 3 M.
e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yg dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yg nyata-nyata tdk dpt ditagih dgn syarat:
1 tlh dibebankan sbg biaya dlm laba rugi komersial,
2 WP hrs menyerahkan daftar piutang yg tdk dpt ditagih ke Dirjen Pajak,
3 telah diserahkan penagihannya kpd Pengadilan Negeri/Instansi Pem. yg menangani
piutang negara atau ada perjanjian tertulis penghapusan/pembebasan utang/piutang,
atau telah dipublikasikan dlm penerbitan umum/khs, atau ada pengakuan dari debitur
utang telah dihapuskan.
4 syarat No.3 tdk berlaku bagi debitur kecil seperti yg dimaksud dlm Psl 4 a (1) huruf k
yg pelaksanaannya diatur dengan Per Men Keuangan
i. Sumbangan dlm rangka bencana nasional berdasarkan PP.
j. Sumbangan dlm rangka penelitian/pengembangan yg dilakukan di Indonesia
berdasarkan PP.
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial berdasarkan PP.
l. Sumbangan fasilitas pendidikan berdasarkan PP.
m. Sumbangan dlm rangka pembinaan olah raga berdasarkan PP

PENGELUARAN YANG TIDAK DIPERKENANGKAN MENGURANGI PENGHASILAN


BRUTO. [Pasal 9 ayat (1)]
Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak dapat
dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak, atau pengeluaran tidak dilakukan tidak dalam
batas-batas kewajaran sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Berikut pengeluaranpengeluaran yang tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto.

pembagian laba dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota;

pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:


1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, danperusahaan
anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk

premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,

penggantian atau imbalan sehubungan denganbpekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan

jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan

harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b

Pajak Penghasilan

biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang
yang menjadi tanggungannya;

gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham;

sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda

WAJIB PAJAK BADAN

Sebyek pajak badan dapat dikategorikan sebagai berikut.


a. Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun tidak melakukan usaha.
b. Badan yang tidak didirikan/bertempat kedudukan di Indonesia dan beroperasi melalui Badan
Usaha Tetap (BUT).
Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak
badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

KEWAJIBAN PERPAJAKAN WAJIB PAJAK BADAN

a. Kewajiban mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Badan.


Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nommor Pokok Wajib Pajak) dan
apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak atau ekspor
barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan
tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena menjadi Pengusaha
Kena Pajak (PKP).
b. Kewajiban untuk Menyelenggarakan Pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan.
Pembukuan:

Menurut UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pembukuan
adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan data & informasi
keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun tidak terutang PPN,
yang dikenakan PPNdengan tariff 0% (nol persen) dan dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi/laba pada saat tahun pajak
berakhir.

Ketentuan Pembukuan:
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a. Memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b. Harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan
maata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh
Menkeu.
c. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dengan stetsel akrual dan stetsel kas.
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun harus mendapatkan persetujuan dari
Dirjen Pajak.
PRINSIP TAAT ASAS:
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahuntahun sebelumnya untuk mencegah pergeseran laba atau rugi. Misalnya, dalam penerapan : stetsel
pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian, metode penyusutan dan amortisasi.

Kewajiban Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan


Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1.

Kewajiban mendaftarkan diri


Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib
pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor
barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan tersebut
memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan
atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan
jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak
diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta maka wajib
mengukuhkan diri menjadi PKP.

Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, Dirjen Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara
jabatan apabila WP atau PKP tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2).

2.

Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.


Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan.
Pembukuan :
Menurut

UU

No.28

tahun

2007

tentang

Ketentuan

Umum

dan

Tata

Cara

Perpajakan,Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan
data & informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan
dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang
tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan PPnBM,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat
tahun pajak berakhir.
Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a.

memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,

b.

harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang
rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,

c.

diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas,

d.

perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Dirjen
Pajak.
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun
sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel
pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan; Metode penyusutan dan
amortisasi.

Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:


a.

Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);

b.

Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya: PPh
Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan

c.

Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena
Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara umum bisa diuraikan sebagai
berikut:

a.

PPh Pasal 21/Pasal 26


Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para karyawan yang
bekerja di perusahaan tersebut maupun penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang
dibayar atau terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang termasuk
objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong mengacu
pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus dilaksanakan, meliputi:
SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang
terutang pada setiap masa pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi
yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada
dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan angsuran atau pajak dibayar di
muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak,
termasuk PPh Pasal 26 yang terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT
Masa PPh Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas PPh
Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari sampai
dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21 pada akhir tahun nantinya timbul kurang

bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh
Pasal 21 yang terutang).
b.

PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan
selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta, serta imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman, jasa
konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.

c.

PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain
sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan,
hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP
luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun
untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek
pajaknya serta penerima penghasilannya;

1) Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima penghasilannya adalah orang
pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal
26;
2)

Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar negeri, pelaporannya melalui
SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.

d.

PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara
khusus (special treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan tanah
dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk
dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan
PPh Final yang terutang atas sewa kantor tersebut.

e.

PPh Pasal 25

Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk
setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan
Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.

f.

PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada akhir tahun pajak,
dengan memperhitungkan kredit pajak berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan
dan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain.

g.

PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa
pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn
BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.

4.

Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)

5.

Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak

6.

Kewajiban membuat faktur pajak

7.

Kewajiban melunasi bea materai

8.

Kewajiban menaati pemeriksaan pajak

Hak Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan


Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu :
1. Hak untuk mendapat pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2. Hak untuk membetulkan, memperpanjang waktu penyampaian SPT
3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung
4. Hak untuk memperoleh kelebihan pembayaran pajak
5. Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan
6. Hak untuk mendapat fasilitas perpajakan
7. Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda penagihan pajak, dan
memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran kelebihan pajak oleh DJP
8. Hak untuk melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran

9. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai biaya fiskal.

I.

Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan


Saat terutang dari pajak penghasilan badan adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah
mendapat penghasilan atau laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pph badan harus dibayar paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional
temasuk hari yang diliburkan untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh
pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi atau bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos
Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran pajak harus digunakan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat
Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak
apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah
mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang untuk satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran
kekurangan pajak yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT
Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada akhir bulan
keempat setelah tahun pajak berakhir.

CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN (PPh) Badan


Terjadi perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya antara pembukuan komersil dengan pembukuan
menurut perpajakan. Berikut perbedaan diantara keduanya.
Beda Tetap (Permanent Difference)
1. Menurut akuntasi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan Pajak Penghasilan
bukan penghasilan.

Misal: dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri dari
penyertaan

modal

berkedudukan

sebesar

25% atau lebih

pada

badan

usaha

yang

didirikan

dan

di Indonesia.

2. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangakan menurut ketentuan PPh telah
dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga
dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang.
Misal: penghasilan atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh
Bank sebesar 20%.
3. Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut ketentuan PPh tidak dapat
dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto (Pasal 9 UU PPh).
Misalnya :
a. Biaya-biaya yang digunakan untuk memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak atau
pengenaan pajaknya bersifat final.
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
atau kenikmatan.
c. Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
d. Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya entertainment, daftar nominatif atas penghapusan piutang).
Beda Sementara (Temporary Difference)
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan
ketentuan fiskal.
Misalnya yaitu :
a. Metode penyusutan,
b. Metode penilaian persediaan,
c. Penyisihan piutang tak tertagih,
d. Rugi-laba selisih kurs.

Tarif pajak PPh Badan digunakan untu menghitung PPh Badan terutang. Tarif paja PPh Badan adalah
berdasarkan pasal 17 dan pasal 31 E UU No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan, yaitu sebagai
berikut.
-

Tarif pajak untuk tahun pajak 2009 adalah sebesar 28%.

Tariff pajak untuk tahun pajak 2010 dan 2011 serta tarif pajak penghasilan badan (PPh Badan)
SPT Tahunan PPh Badan 2012 dan seterusnya adalah sebesar 25%.

Wajib pajak dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat
puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperolej tarif sebesar 5% (lima
persen) lebih rendah daripada tarif tersebut yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh
persen) dari tarif tersebut (28% atau 25%) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus rupiah).

Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah penghasilan kena pajak dibulatan ke bawah dalam
ribuan rupiah penuh

REKONSILIASI FISKAL
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun laporan keuangan antara komersil dengan
perpajakan maka perlu dilakukan penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu
mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan komersial diubah
menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT
tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak
menurut komersial dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus diketahui laba fiskal dalam tahun pajak yang
didapat dari rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan
laporan laba rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal dilakukan
terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3. Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan (pasal 9 UU
PPh)

4. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi metode
pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan pendapatan yang telah
dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal. Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi positif
dan koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau
rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal berkurang atau
rugi fiskal bertambah.

1. Laba Fiskal adalah laba yang dihitung berdasarkan ketentuan dan peraturan undang-undang
perpajakan. Laba fiskal ini juga dikenal sebagai laba kena pajak atau penghasilan kena pajak. Laba
kena pajak ini digunakan untuk menghitung pajak penghasilan yang terutang.
2. Koreksi Fiskal, bertujuan untuk menyesuaikan laba komersial (yaitu, laba yang dihitung menurut
Prinsip Akuntansi Berlaku Umum/PABU) dengan ketentuan-ketentuan perpajakan sehingga
diperoleh laba fiskal. Laporan perhitungan laba-rugi yang dibuar perusahaan merupakan laporan
keuangan yang disusun berdasarkan PABU. Oleh karena itu, agar dapat agar dapat menghitung
besarannya pajak penghasilan yang terutang, perusahaan harus melakukan penyesuaian laporan
perhitungan laba-rugi tersebut agar sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Langkah penyesuaian ini dilakukan dengan cara mencari pos-pos rekening yang
berbeda perlakuan antara prinsip akuntansi berlaku umum dengan ketentuan peraturan undangundang perpajakan. Pos-pos rekening ini yang berlaku dilakukan koreksi fiskal.
3. Timbulnya Koreksi Fiskal, hal-hal yang menimbulkan perbedaan antara PABU dengan UU
Perpajakan antara lain:
a. Perbedaan Konsep Penghasilan;
Contoh:
(1) Deviden yang diterima oleh PT, Yayasan, Koperasi, BUMN, BUMD,
(2) Sisa cadangan kerugian piutang bagi Bank, Leasing, dan Asuransi.
b. Perbedaan Cara Pengukuran Penghasilan.
Contoh :
Penjualan diukur sebesar jumlah yang dibebankan kepada pembeli tidak melihat apakah ada
hubungan istimewa atau tidak.
c. Perbedaan Konsep Biaya.

Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah semua pengorbanan ekonomis dalam
rangka memperoleh barang dan jasa. Tidak terbatas hanya biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan saja. Singkatannya, biaya menurut pajak adalah pengeluaranpengeluaran yang ada kaitan langsung dengan perolehan penghasilan.

d. Perbedaan Cara Pengukuran Biaya.


Sama dengan cara pengukuran penghasilan, jika ada transaksi yang tidak wajar karena hubungan istimewa
maka transaksi tersebut harus dikoreksi.

e. Perbedaan Cara Pembebanan atau Alokasi Biaya.


Contoh :
(1) Penyusutan, hanya metode garis Lurus dan Saldo Menurun dengan tarif yang telah
ditentukan.
(2) Pengakuan kerugian piutang hanya dengan metode langsung.
(3) Penilaian persediaan hanya menggunakan metode rata-rata dan FIFO.
f. Adanya penghasilan yang kena pajak penghasilan secara final. Penghasilan yang dikenakan
pajak secara final berarti telah diperhitungkan pajak penghasilannya sehingga tidak perlu
diperhitungkan lagi dalam menghitung pajak penghasilan di akhir tahun maka harus dikeluarkan
dari laporan perhitungan laba-rugi.
4. Jenis Koreksi Fiskal.
a. Koreksi Fiskal Positif.
Koreksi fiskal positif (FKP) adalah koreksi fiskal yang menambah besarnya laba kena pajak.
b. Koreksi Fiskal Negatif.
Koreksi fiskal negatif (FKN) adalah koreksi fiskal yang mengurangi laba kena pajak.
5. Kertas Kerja
No.

Nama Rekening

Lap. Keu
Komersial

Koreksi Fiskal
Positif

Negatif

Lap. Keu.
Fiskal

Berikut langkah-langkah penghitungan PPh Badan :


Jumlah penghasilan neto bruto

xxxx

Biaya

xxxx

Penghasilan neto komersial

xxxx

Koreksi fiskal:
Positif

xxxx

Negatif

(xxxx) +-

Penghasilan neto fiskal

xxxx

Kompensasi kerugian

xxxx

Penghasilan kena pajak

xxxx

PPh terutang

xxxx

Kredit pajak:
Dipotong/dipungut pihak ketiga

xxxx

Telah dibayar sendiri

xxxx +

Jumlah kredit pajak

xxxx

Kurang/lebih bayar

xxxx

PERHITUNGAN PPH TERUTANG


a.

Tarif tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

b.

Wajib Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat
puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih
rendah yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

c.

Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam
ribuan rupiah penuh.

d.

Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari

tarif PPh Pasal 17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Fasilitas perpajakan diberikan untuk memberikan kemudahan bagi sektor-sektor usaha tertentu dengan
pertimbangan tertentu, misalnya daya saing, penyerapan lapangan kerja dan perlindungan kepentingan
umum. Adapun berbagai fasilitas dan insentif perpajakan bagi wajib pajak badan, sebagai berikut :
1.

Fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan tarif pajak


a.

Fasilitas tarif pasal 17 ayat (2B) UU PPh


Dimana fasilitas ini diberikan kepada WP Badan dalam negeri yang berbentuk perseroan

terbuka dan paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor, diperdagangkan dibursa
efek Indonesia. Fasilitas bagi perseroan yang memenuhi persyaratan dapat memperoleh tarif 5% lebih
rendah dari tarif yang berlaku.
b.

Fasilitas tarif pasal 31E ayat (1) UU PPh


Fasilitas ini diberikan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai

dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak
dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah)
2.

Fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan non tarif atau insentif


Fasilitas ini dapat berupa pajak dibebaskan, tidak dipungut, atau ditanggung pemerintah.
a.

Fasilitas PPh untuk penanaman modal dibidang usaha tertentu dan atau didaerah-daerah tertentu.
Pihak yang berhak mendapat fasilitas ini adalah wajib pajak badan dalam negeri berbentuk

perseroan terbatas dan koperasi, baik yang baru berdiri maupun yang telah ada, serta melakukan
penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang usaha tertentu dan
daerah tertentu. Fasilitas yang diberikan yaitu :
1) Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang dilakukan,
2) Penyusutan dan maortisasi yang dipercepat,
3) Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun,
4) Pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10% atau
tarif lebih rendah menurut persetujuan penghindaran pajak berganda yang berlaku.
b.

Fasilitas untuk PPN atau PPnBM

Dalam bidang PPN terdapat dua fasilitas yaitu pajak terutang tidak dipungut dan pembebasan
dari pengenaan pajak yang dapat berlaku sementara atau selamanya. Jadi pihak-pihak yang memiliki
usaha dan membantu kehidupan bangsa akan mendapat fasilitas perpajakan.
3.

Fasilitas yang membutuhkan surat keterangan bebas (SKB)


SKB dapat diajukan oleh WP kepada kantor pajak yang terkait dengan kewajiban PPh pasal 21, PPh
pasal 22 misal atas impor emas batangan untuk ekspor emas batangan, PPh pasal 23 atas pemotongan
PPh bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI, SKB terkait PPN.

4.

Fasilitas perpajakan terkait kondisi-kondisi tertentu


a.

Pengembalian pendahuluan kelebihan pajak


Fasilitas ini berkaitan dengan pengembalian kelebihan pajak yang mana wajib pajak yang

memenuhi kriteria tertentu didahulukan daripada wajib pajak lainnya. Melalui penelitian tanpa
pemeriksaan dengan jangka waktu tiga bulan untuk PPh dan satu bulan untuk PPN.
b.

Pengurangan PPh pasal 25 karena keadaan perubahan usaha

c.

Fasilitas perpajakan karena pengecualian terkait kondisi tertentu

KOMPENSASI KERUGIAN [Pasal 6 ayat (2)]


Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) tahun

PENYUSUTAN ATAU AMORTISASI[Pasal 11 atau Pasal 11A]


Pasal 9 ayat 2:
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A
PENYUSUTAN

PENYUSUTAN

Dapat Menggunakan 2 metode: Garis Lurus dan Saldo Menurun

Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih
dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta
tersebut.

AMORTISASI

Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran

Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan
pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan
dengan menggunakan metode satuan produksi.

Untuk peredaran usaha bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 tarif PPh Badan dikenakan sebesar
25% x 50% x Penghasilan Kena Pajak.

Contoh Perhitungan:
PT ABC yang bergerak dibidang perdagangan dalam Tahun Pajak 2012 mempunyai data sebagai
berikut.

Peredaran Bruto dari Penghasilan yang :

Dikenai PPh bersifat final


Bukan obyek pajak
Dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
Kompensasi kerugian tahun 2011
Kredit Pajak:
PPh Pasal 22

1.500.000.000,00
500.000.000,00
2.500.000.000,00
4.500.000.000
700.000.000
22.000.000

PPh Pasal 23

25.000.000

PPh Pasal 25
Jumlah

3.000.000
50.000.000,00

Maka Perhitungan PPh Badan adalah sebagai berikut.


Peredaran Bruto dari Penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final
- Bukan obyek pajak
- Dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan usaha yang:
- Dikenai PPh bersifat final
- Bukan obyek pajak
- Dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
Laba Usaha (Penghasilan Netto Usaha)
Penghasilan dari Luar Usaha yang:
Dikenai PPh bersifat final
Dikenai PPh tidak bersifat final
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

1.500.000.000,00
500.000.000,00
2.500.000.000,00
4.500.000.000

( 450.000.000,00)
( 200.000.000,00)
(1.350.000.000,00)
(2.000.000.000,00)
2.500.000.000,00
50.000.000,00
100.000.000,00

memelihara penghasilan dari luar usaha yang:


Dikenai PPh bersifat final
Dikenai PPh tida bersifat final
Penghasilan neto dari luar usaha
Jumlah Seluruh Penghasilan Netto
Koreksi Fiskal:
Peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai

(1.500.000.000,00)

PPh bersifat final


Peredaran bruto dari penghasilan yang bukan

( 500.000.000,00)

(
(

25.000.000,00)
50.000.000,00)
75.000.000,00
2.575.000.000

obyek pajak
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

450.000.000,00

memelihara penghasilan usaha yang dikenai PPh


bersifat final.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

200.000.0000,00

memelihara penghasilan usaha bukan obyek


pajak.
Peredaran dari luar usaha yang dikenai PPh
bersifat final
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

50.000.000,00)
25.000.000,00

memelihara penghasilan dari luar usaha yang


dikenai PPh bersifat final.
Jumlah
Jumlah seluruh penghasilan netto setelh koreksi

(1.375.000.000,00)
1.200.000.000

fiskal
Kompensasi kerugian
PKP
PPh terutang (50% x 25%) x 500.000.000,00
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22

22.000.000,00

25.000.000,00

PPh Pasal 23
PPh Pasal 25
Jumlah
PPh Kurang Bayar/PPh Pasal 29
(62.500.000 ,00 50.000.000,00)

(700.000.000)
500.000.000,00
62.500.000,00

3.000.000,00
50.000.000,00
12.500.000,00

Untuk peredaran Usaha di atas Rp4.800.000.000,00 sampai dengan Rp50.000.000.000,00.

Tariff PPh Badan dikenakan sebesar:


1. Bagian peredaran usaha bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00.
25% x 50% x penghasilan kena pajak (bagian peredaran bruto Rp4.800.000.000,00)
2. Bagian peredaran usaha bruto di atas Rp4.800.000.000,00 sampai dengan
Rp50.000.000.000,00.
25%% x PKP (bagian peredaran usaha bruto di atas Rp4.800.000.000,00 sampai dengan
Rp50.000.000.000,00)
Contoh :
PT ABC yang bergerak dibidang perdagangan dalam tahun pajak 2012 mempunyai data
sebagai berikut.
Peredaran Bruto dari Penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final
- Bukan obyek pajak
- Dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
Kompensasi kerugian tahun 2011
Kredit Pajak:
PPh Pasal 22

1.500.000.000,00
500.000.000,00
5.500.000.000,00
7.500.000.000,0
0
700.000.000,00
22.000.000,00

PPh Pasal 23

25.000.000,00

PPh Pasal 25
Jumlah

3.000.000,00
50.000.000,00

Maka Perhitungan PPh Badan adalah sebagai berikut.


Peredaran Bruto dari Penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final
- Bukan obyek pajak
- Dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan usaha yang:
- Dikenai PPh bersifat final
- Bukan obyek pajak
- Dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
Laba Usaha (Penghasilan Netto Usaha)
Penghasilan dari Luar Usaha yang:
Dikenai PPh bersifat final
Dikenai PPh tidak bersifat final
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

1.500.000.000,00
500.000.000,00
5.500.000.000,00
7.500.000.000,00

( 450.000.000,00)
( 200.000.000,00)
(
3.350.000,00)
(4.000.000.000,00)
3.500.000.000,00
50.000.000,00
100.000.000,00

memelihara penghasilan dari luar usaha yang:


Dikenai PPh bersifat final
Dikenai PPh tida bersifat final
Penghasilan neto dari luar usaha
Jumlah Seluruh Penghasilan Netto
Koreksi Fiskal:
Peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai

(1.500.000.000,00)

PPh bersifat final


Peredaran bruto dari penghasilan yang bukan

(25.000.000,00)
(50.000.000,00)
75.000.000,00
3.575.000.000,00

obyek pajak
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

500.000.000,00)
450.000.000,00

memelihara penghasilan usaha yang dikenai


PPh bersifat final.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

200.000.000,00

memelihara penghasilan usaha bukan obyek


pajak.
Peredaran dari luar usaha yang dikenai PPh
bersifat final
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

50.000.000,00)
25.000.000,00

memelihara penghasilan dari luar usaha yang


dikenai PPh bersifat final.
Jumlah
Jumlah seluruh penghasilan netto setelh

(1.375.000.000,00)
2.200.000.000,00

koreksi fiskal
Kompensasi kerugian
PKP
PPh terutang (50% x 25%) x

( 700.000.000,00)
1.500.000.000,00
XY +YZ

((4.800.000.000/5.500.000.000) x

XYZ

1.500.000.000)) = XY
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22

22.000.000,00

25.000.000,00

PPh Pasal 23
PPh Pasal 25
Jumlah
PPh Kurang Bayar/PPh Pasal 29 (XYZ

3.000.000,00
50.000.000,00
PPh Pasal 29

50.000.000,00)

Untuk peredaran usaha bruto di atas Rp50.000.000.000,00.


Tarif PPh Badan dikenakan sebesar :
25% x PKP
Setelah dihitung dan diketahui nilai PPh Badan yang masih harus dibayar maka hasil

perhitungan tersebut dapat dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan 2012 paling lambat 30 April
2012.

Вам также может понравиться