Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TRAUMA KAPITIS
Pembimbing:
Dr. Arief Guntara, Sp.B
Disusun oleh:
Ravanno Fanizza Harahap
Badruddin Yusuf
Reisya Gina Nurfajri
BAB I
PENDAHULUAN
Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi
dan pembangunan, frekuensi trauma kepala cenderung makin meningkat. Trauma
kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma,
mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam
suatu kecelakaan. Kasus trauma kepala terutama melibatkan kelompok usia
produktif, yaitu antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki
dibandingkan perempuan. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas dan
disusul dengan kasus jatuh terutama pada kelompok usia anak-anak.
Trauma kepala adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan seluruh
struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan,
tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik
berupa luka yang tertutup, maupun trauma tembus.
Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting
seperti: umur penderita, waktu, mekanisme cedera, status respiratorik dan
kardiovaskuler, pemeriksaan minineurologis (GCS) terutama nilai respon motorik
dan reaksi cahaya pupil, adanya cedera penyerta, dan hasil CT Scan.
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan
kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan
neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan trauma kepala harus
segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.1
2.2
Anatomi
b.
c.
d.
e.
Perikarnium
2.
Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di
regio temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior,
media dan posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat
lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan
serebelum.1,2
3.
Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan
yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam
kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat
ruang subdural.2,3
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea
terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat araknoid
yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal
bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam ruang sub araknoid.2,3
4.
Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan
duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang
mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung
pusat ekspresi bicara (area bicara motorik).
lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon,
pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula
oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai
medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan
medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.2
5.
Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
6.
Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan
2.3
1.
Fisiologi
Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial
yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan
tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan tekanan
intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak
tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat
kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak
normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin
tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.2
2.
Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan,
karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar.
TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK
umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK
sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar kurva berapa banyak
volume lesi masanya.2,5
3.
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit.
Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan hilang
dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi
kerusakan
menetap.
Pada
penderita
non-trauma,
fenomena
autoregulasi
mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO menurun curam
dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh
darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami
gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat hipotensi
yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan
eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang
mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat hematoma intra cranial, haruslah
dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus
dipertahankan.2,4
2.4
pada kepala. Kelainan dapat berupa cidera otak fokal atau difus dengan atau tanpa
fraktur tulang tengkorak. Cidera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematome
epidural, subdural dan intraserebral. Cidera difus dapat mengakibatkan gangguan
fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.1
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang
ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan
jaringan otak di tempat benturan yang disebut coup atau ditempat yang
berseberangan dengan benturan (countre coup).1
Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat
menyebabkan herniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan
otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan dan kemudian
meninggal.1
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Cedera
kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi karena
berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena aliran
darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok. Karena itu, pada cedera kepala
harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik
tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup.1
2.5
Respon Mata
1 tahun
0-1 tahun
Membuka mata
spontan
Membuka mata oleh
perintah
Membuka mata oleh
nyeri
Tidak membuka mata
Membuka mata
spontan
Membuka mata oleh
teriakan
Membuka mata oleh
nyeri
Tidak membuka mata
Respon Motorik
1 tahun
0-1 tahun
Mengikut perintah
Melokalisasi nyeri
Melokalisasi nyeri
Menghindari nyeri
Menghindari nyeri
Fleksi abnormal
(decortisasi)
Ektensi abnormal
(deserebrasi)
Tidak ada respon
Fleksi abnormal
(decortisasi)
Ektensi abnormal
(deserebrasi
Tidak ada respon
3
2
2
1
Respon Verbal
5
4
>5tahun
Orientasi baik
dan mampu
berkomunikasi
Disorientasi tapi
2-5 tahun
Menyebutkan
kata-kata yang
sesuai
Menyebutkan
0-2 tahun
Menangis kuat
Menangis lemah
mampu
berkomunikasi
Menyebutkan
kata-kata yang
tidak sesuai
(kasar, jorok)
Mengeluarkan
suara
Tidak ada respon
2
1
kata-kata yang
tidak sesuai
Menangis dan
menjerit
Mengeluarkan
suara lemah
Tidak ada respon
Kadang-kadang
menangis/
menjerit lemah
Mengeluarkan
suara lemah
Tidak ada respon
GCS
13-15
Trauma kapitis
sedang
9-12
Trauma kapitis
berat
3-8
2.6
Gambaran klinik
Pingsan 10
menit, defisit
neurologis (-)
Pingsan > 10
menit s/d 6
jam, defisit
neurologis (+)
Pingsan > 6 jam,
defisit neurologis
(+)
Skening Otak
Normal
Abnormal
Abnormal
Tidak ada lesi struktural pada otak observasi dan konservasi saja, karena tidak
Pemeriksaan Penunjang
Sampai hari ke-5 pasca trauma dapat dijumpai absolut/relatif limfositopenia. Dapat
disertai atau tanpa fraktur basis kranii. EEG normal dan rontgen normal/-
Tata Laksana
Perawatan
Bed rest hingga semua keluhan hilang
Mobilisasi berangsur-angsur, belajar duduk, berdiri, berjalan dan selanjutnya
dipulangkan dengan pesan kontrol seminggu setelah meninggalkan rumah
sakit
Lama perawatan juga dilakukan terhadap luka atau fraktur yang ada
Selama perawatan dilakukan observasi paling sedikit 2 x 24 jam terhadap
kesadaran, tekanan darah, nadi, pernafasan, gejala tekanan intrakranial
meningkat, defisit neurologis yang timbul progresif, pupil mata
Pasien pingsan harus dirawat, EEG & rontgen
Medikamentosa
Pengobatan terhadap luka dan perdarahan dengan antibiotik untuk
pencegahan :
Antikoagulan
Ampisilin/amoksisilin
Tetrasiklin
ATS profilaksis
Hemostatistika :
Asam treneksamat
Obat encephalotropik
Pengobatan simptomatik, hanya diperlukan pada keadaan terpaksa/sangat
diperlukan :
Tranquilizer : diazepam
Prognosa
Sembuh sempurna
Sembuh dengan gejala sisa berupa Sindroma Cerebral Post Traumatika,
meliputi :
Cephalgia/pusing/vertigo
Epilepsi
Gejala tersebut timbul segera setelah trauma kapitisnya sembuh atau dapat juga
jauh sesudahnya.
Anamnesa
Traumanya bagaimana
Setelah sadar penderita merasa pusing, mual, muntah, ada darah keluar dari
hidung, mata, telinga.
Pemeriksaan Fisik
Periksa :
Tanda vital
Luka-luka di tempat lain
Periksa nn. Craniales n. VII & VIII yg sering
Refleks Babinsky & Chaddock
Lumpuh jarang
Rontgen & EEG
Patofisiologi
Proses patologi intrakranial pasca trauma terdapat berbagai tingkatan, mulai dari
perdarahan ringan sampai destruksi jaringan otak yang berat yang disusul dengan
kematian. Faktor yang bertanggung jawab terhadap proses patologi tsb adalah :
Proses patologi ini bila tidak teratasi akan segera disusul dg terbentuknya edema otak
yang makin lama makin hebat, meningkatnya tekanan intrakranial dan herniasi.
Bentuk Klinik
Secara klinis dapat dijumpai 3 bentuk :
Contusio ringan
Contusio sedang
Contusio berat, bahkan pada keadaan yg sangat berat dapat segera diakhiri
dengan kematian.
Diagnosa
Riwayat trauma kepala
Hilang kesadaran > 30 menit, dapat beberapa jam, hari, minggu, tergantung
7 hari.
Dijumpai defisit neurologis, berupa refleks patologis (+) : Babinski atau
Chadock, kelumpuhan dan lesi saraf otak. Pada keadaan yang sangat berat
dimana edema otak sudah demikian hebat disertai meningkatnya tekanan
intrakranial maka akan didapatkan gejala/deserebrasi dan gangguan fungsi vital
dengan prognosa infaust.
Pemeriksaan Penunjang
LCS mengandung darah/xanthochrom
gelombang tsb terlokalisir di area contusio. Pada kasus yang berat EEG abnormal
ini dapat menetap sampai beberapa bulan, jadi perlu serial EEG
Rontgen kepala sering dijumpai fraktur kranii
CT-scan otak dapat dilihat adanya edema otak/perdarahan
Tata Laksana
Prinsip ditujukan terhadap 2 hal yaitu efek primer dan sekunder. Tujuannya untuk
mencegah/mengatasi
edema
otak,
menurunkan
tekanan
intrakranial
serta
memperbaiki aliran darah ke otak sehingga otak terlindungi dari kerusakan lebih
lanjut dan proses penyembuhan dipercepat.
Perawatan
Bed rest total, dan lamanya tergantung keadaan klinis. Bila keadaan membaik,
mobilisasi berangsur. Perawatan juga dilakukan terhadap luka/fraktur yang ada.
Selama perawatan perhatian ditujukan pada :
Sistem kardiovaskuler
Pengawasan sedini mungkin terhadap gangguan sirkulasi seperti tensi dan
nadi.
Sistem respirasi
Menjamin jalan nafas yang lancar dan faal paru yang optimal :
Pemberian oksigen
Cairan yang diberikan dapat berupa glukosa 5% dan NaCl 0,9% dengan
perbandingan 3:1
Nutrisi
Cukup kalori. Jumlah makanan harus disesuaikan dengan cairan, elektrolit
dan kalori yang dibutuhkan, diperhitungkan bersama-sama dengan cairan
infus
Infeksi
Perhatikan kemungkinan infeksi sekunder
Medikamentosa
Terapi steroid
Untuk mencegah/mengatasi edema otak diberikan kortikosteroid kuur, yaitu
deksametazon parenteral
Selanjutnya
- hari II : 5 mg tiap 6 jam
- hari III : 5 mg tiap 8 jam
- hari IV : 5 mg tiap 12 jam
- hari V : 5 mg tiap 24 jam
Terapi diuretika
Untuk
menekan
produksi
LCS
dapat
diberikan
furosemide
atau
ATS profilaksis
Terapi Suportif
Psikoterapi diberikan pada penderita sadar.
Komplikasi
Akibat lanjut benturan, bila tidak segera diobati akan menimbulkan edema serebri
bertambah hebat, tekanan intrakranial meningkat dg akibat terjadinya herniasi dan
disusul dg kematian penderita.
Prognosa
Tergantung berat-ringan trauma
Sembuh sempurna
Meninggal dunia akibat kerusakan otak difus dan permanen
Memberikan gejala sisa, baik gejala neurofisik atau neuropsikologik
Jarang menimbulkan sindroma serebral post traumatik
Patofisiologi
Perdarahan di sini paling sering disebabkan pecahnya a.meningea media
akibat trauma kepala area temporoparietal yg biasanya disertai fraktur linier
horizontal. Perdarahan tsb berlangsung cepat sekali sehingga defisit neurologis yg
timbul sangat progresif dan bila tidak teratasi maka penderita akan meninggal akibat
herniasi.
Diagnosa
Riwayat trauma kepala
Setelah trauma didapat suatu periode bebas gejala yg disebut lucid interval,
Tata Laksana
Begitu diagnosa ditegakkan segera kirim ke bagian bedah syaraf untuk
tindakan operatif segera.
Komplikasi
Bila tidak segera dioperasi, edema serebri akan bertambah hebat, tekanan
intrakranial makin meningkat. Selanjutnya terjadi herniasi yg disusul dg kematian
penderita.
Prognosa
Mortalitas hampir 100% dan lebih dari 50% pada kasus yg diobati
disebabkan keterlambatan dlm menegakkan diagnosa dan sebagian lagi memang
karena beratnya kerusakan jaringan otak yg terjadi.
Patofisiologi
Hematom terbentuk secara perlahan-lahan bahkan dapat lama disebabkan robeknya
bridging veins (vena) akibat trauma kepala terutama daerah frontoparietal, yg bisa
meluas ke daerah temporal atau oksipital. Gejala klinik timbul bila hematom cukup
besar dan telah mengadakan pendesakan thdp otak.
Bentuk Klinik
Hematom subdural akut (lucid interval 1-3 hari)
Hematom subdural subakut (lucid interval 1-2 minggu)
Hematom subdural kronis (lucid interval > 2 minggu)
Diagnosa
Mirip dengan epidural. Bedanya perjalanan penyakitnya lebih lama, dapat beberapa
hari, minggu, bulan atau lebih lama lagi.
Pemeriksaan Penunjang
LCS jernih dg tekanan meninggi mengandung darah/xantochrom
EEG abnormal, tampak perlambatan fokal sampai difus
Komplikasi
Jika diagnosa dapat segera ditegakkan dan tindakan operatif cepat dilakukan maka
komplikasi tidak akan terjadi.
Prognosa
Hematom subdural akut : mortalitas 90%
Hematom subdural subakut : mortalitas 20% dan kasus post operatif 75%
sembuh dengan baik
Hematom subdural kronis : biasanya post operatif bisa sembuh dengan baik
2.6.5 Perdarahan Subarakhnoid
Patofisiologi
Perdarahan yg mengisi ruang subarakhnoid akan mengiritasi selaput otak.
Sedangkan pembuluh darah yang pecah akan menimbulkan daerah bagian distalnya
mengalami iskemik atau infark sehingga dijumpai defisit neurologis.
Diagnosa
Gejala dijumpai dari tingkat yg paling ringan sampai yang paling berat, tergantung
beratnya perdarahan yang terjadi.
Dimulai dengan keluhan sakit kepala ringan yang makin lama makin hebat
Kemudian disertai Tanda Rangsang Meningeal (TRM) : kaku kuduk, kernig sign
(+)
Selanjutnya pada keadaan berat akan dijumpai :
Tata Laksana
Perawatan
Bed rest total
Medikamentosa
Hemostatistika : karbosokrom Na-sulfonat (adona AC), asam treksamat
Metabolic activator : citicholine (nicholin), pyritinol mesylate (hidrogin)
Neurotonika : vit. B1, B6, B12, E tab/injeksi
Fisioterapi
Bila ada gejala sisa neurofisik spt hemipharese dpt dilakukan fisioterapi
Prognosa
Pada bentuk ringan, prognosa lebih baik daripada bentuk yang berat. Bahkan
pada bentuk yg berat sekali dapat menyebabkan kematian.
media.
Gejala penyerta : comosio cerebri, contusio cerebri, hematome epidural atau
subdural
Hilang kesadaran +/- bila (+) fraktur basis bersama-sama combusio atau
contusio, tergantung kesadaran, bila (-) fraktur basis murni tapi jarang
Khas :
Pemeriksaan Penunjang
LCS bercampur darah
EEG sesuai dg jenis trauma kapitis penyertanya
Rontgen 60% tdk terlihat karena daerah basis yang kompleks
Tata Laksana
Perawatan
Bed rest total, kepala ditahan dg bantal pasir dg posisi perdarahan/likwore di
sebelah atas
Perawatan thdp perdarahan/likwore, jika perlu konsul ke THT
Medikamentosa
Hemostatistika : karbosokrom Na-sulfonat (adona AC), asam treksamat
Antibiotik adekuat diberikan guna menghadapi ancaman komplikasi
meningitis : ampisilin, amoksisilin. Harus diberikan antibiotik dosis tinggi
karena pada fraktur basis terdapat celah yang memungkinkan terjadi infeksi.
Jika dengan contusio beri KIR
Obat-obat yg ditujukan untuk gejala penyerta
Komplikasi
Karena fraktur terbuka komplikasi yg srg terjadi meningitis.
Prognosa
Tergantung berat-ringannya fraktur yg terjadi dan jenis trauma kapitis penyerta.
Sembuh sempurna
Meninggalkan gejala sisa berupa lesi nn.Craniales dan sindroma cerebral post
traumatika.
2.6.8
Cedera Maxillofacial
1. Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:
-
Mobilitas palatum
Epistaksis
Lefort II
Fraktur ini dicirikan mobilitas palatum dan hidung
end-block, juga epistaksis yang jelas. Biasanya
maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang.
Fraktur end-block pada palatum dan sepertiga
tengah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)
Lefort III
Merupakan cedera paling berat,
dimana perlekatan seluruh rangka
wajah terputus.seluruh komplek
zigomatikus menjadi mobile dan
tergeser (Boies, 2002)
2. Fraktur mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah
akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai
dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat
tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah
dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah
cranial (Boies,2002).
28
3. Fraktur gigi
Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila
maupun mandibula, dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah
dibiarkan(Boies, 2002)
4. Fraktur os nasal
Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan
didapatkan pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto
radiologi diperlukan dalam membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan
lateral, sedangkan tindakan yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty
(Boies, 2002)
5. Fraktur orbita
Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat
disertai diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus
infraorbitalis atau mati rasa dahi karena kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur
juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai terjepitnya muskulus
rectus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan
penderita mengalami diplopia(Boies, 2002)
6. Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai
hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus
zygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi
waters, yaitu temporooksipital(Boies, 2002)
29
2.7
Pemeriksaan penunjang6,8,10
30
31
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Gunawan,
Billy
Indra,
Trauma
Kepala
dalam
8.
9.
10.
32