Вы находитесь на странице: 1из 19

12

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare
2.1.1 Pengertian diare
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan diare sebagai
kejadian buang air besar dengan konsistensi lebih cair dari biasanya,
dengan frekuensi kali atau lebih selama 1 hari atau lebih. Definisi ini
lebih menekankan pada konsistensi tinja daripada frekuensinya. Jika
frekuensi BAB meningkat namun konsistensi tinja padat, maka tidak
disebut sebagai diare (WHO, 2014). Sedangkan menurut Kemenkes
(2011), Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar
dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan
frekuensinya lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu
hari. Diare didefinisikan sebagai suatu keadaan bertambahnya
frekuensi dan keenceran buang air besar, frekuensi buang air besar
yang dianggap normal adalah 1-3 kali per hari dan banyaknya 200-250
gram sehari, jika melebihi jumlah tersebut, maka seseorang sudah
dapat dikatakan mengalami diare (Fredy, 2013)
Berdasarkan beberapa pengertian diare di atas maka dapat disimpulkan
pengertian diare adalah bertambahnya frekuensi buang air besar
menjadi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi feses
menjadi cair.
2.1.2 Penyebab diare
Menurut Kemenkes (2011), secara klinis penyebab diare dapat
dikelompokkan dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh
bakteri, virus atau invasi parasit), malabsorpsi alergi, keracunan,
imunodefisiensi dan sebab sebab lainnya. Penyebab yang sering
ditemukan di lapangan ataupun secara klinis adalah diare yang
disebabkan infeksi dan keracunan.

13

Menurut (WHO, 2013), diare merupakan suatu kumpulan dari gejala


infeksi pada saluran pencernaan yang dapat disebabkan oleh beberapa
organisme seperti bakteri, virus dan parasit. Beberapa organisme
tersebut biasanya menginfeksi saluran pencernaan manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh organisme tersebut
(food borne disease). Organisme penyebab diare biasanya berbentuk
renik dan mampu menimbulkan diare yang dapat dibedakan menjadi 3
jenis berdasarkan gejala klinisnya.
Jenis yang pertama adalah diare cair akut dimana balita akan
kehilangan cairan tubuh dalam jumlah yang besar sehingga mampu
menyebabkan dehidrasi dalam waktu yang cepat. Jenis kedua adalah
diare akut berdarah yang sering disebut dengan disentri. Diare ini
ditandai dengan adanya darah dalam tinja yang disebabkan akibat
kerusakan usus. Balita yang menderita diare berdarah akan
menyebabkan kehilangan zat gizi yang berdampak pada penurunan
status gizi. Jenis yang ketiga adalah diare persisten dimana kejadian
diare dapat berlangsung 14 hari. Diare jenis ini sering terja di pada
anak dengan status gizi rendah, AIDS, dan anak dalam kondisi infeksi.
Beberapa jenis diare tersebut sering disebabkan oleh organisme renik
seperti bakteri dan virus. Bakteri patogen seperti

E.coli, Shigella,

Campylobacter, Salmonella dan Vibrio cholera merupakan beberapa


contoh bakteri patogen yang menyebabkan epidemi diare pada anak.
2.1.3 Patofisiologi terjadinya diare
Menurut Tadda (2010, mekanisme dasar yang menyebabkan diare
adalah sebagai berikut:
2.1.3.1

Gangguan sekretorik/sekresi
Akibat rangsangan toksin/rangsangan tertentu pada dinding
usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke
dalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena
terdapat peningkatan isi rongga usus.

14

2.1.3.2

Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat
diserap akan menyebabkan osmotik dalam rongga usus
meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolitke
dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan
merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.

2.1.3.3

Gangguan motilitas usus


Hiperperistaltik

akan

mengakibatkan

berkurangnya

kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul


diare. Sebaliknya, bila peristaltik usus menurun, akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat
timbul diare.
Sebagai akibat diare akut maupun kronis maka tubuh akan
terjadi kehilangan air dan elektronik (dehidrasi) yang
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan asam basa
(asidosis metabolik, hipokalemi, dan sebagainya), gangguan
gizi akibat kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran
bertambah), hipoglikemia, gangguan sirkulasi darah.
2.1.4 Gejala klinis
Menurut Zein. Et. Al (2014), diare akut karena infeksi dapat disertai
keadaan muntah-muntah dan/atau demam, tenesmus, hematochezia,
nyeri perut atau kejang perut. Diare yang berlangsung beberapa waktu
tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan
kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan
renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang
merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah
kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi
serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.

15

Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang,


yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan
merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat
dan lebih dalam(kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk
mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal.
Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat
standard juga rendah, pCO2 normal dan base excesssangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa
renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah
menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat,
ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena
kehilangan kaliumpada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun
dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan
timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada
saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis
metabolik menjadi lebih berat, akanterjadi kepincangan pembagian
darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalamsirkulasi paru-paru.
Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada
pasien yang menerimarehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
2.1.5 Diagnosis
Menurut

Weizman

(2008),

diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


2.1.5.1 Anamnesis
Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinik
tergantung pada penyebab penyakit dasarnya. Keluhan yang
terpenting adalah buang air besar dengan bentuk tinja cair atau
encer 3 kali atau lebih dalam 24 jam. Keluhan diarenya
berlangsung kurang dari 15 hari.

16

2.1.5.2 Pemeriksaan fisik


Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik
sangat berguna dalam menentukan beratnya diare dari pada
menentukan penyebab diare. Status volume dinilai dengan
memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan
nadi, temperatur tubuh, dan tanda toksisitas. Pemeriksaan
abdomen yang seksama merupakan hal yang penting. Adanya
dan kualitas bunyi usus dan adanya atau tidak adanya distensi
abdomen dan nyeri tekan merupakan clue bagi penentuan
etiologi.
2.1.5.3 Pemeriksaan penunjang
Pada pasien yang mengalami dehidrasi berat atau toksisitas
berat atau diare berlangsung lebih dari beberapa hari,
diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaannya antara
lain:
a. Pemeriksaan laboratorium darah
Pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit,
leukosit, hitung jenis leukosit), kadar elektrolit serum,
ureum dan kreatinin, pemeriksaan tinja, pemeriksaan
Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) mendeteksi
giardiasis dan tes serologi amebiasis.
b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja dilakukan untuk melihat adanya leukosit
dalam tinja yang menunjukkan adanya infeksi bakteri,
adanya telur cacing dan parasit dewasa. Pasien yang telah
mendapatkan pengobatan antibiotik dalam tiga bulan
sebelumnya atau yang mengalami diare di rumah sakit
sebaiknya

diperiksa

clostridium difficile.

tinja

untuk

pengukuran

toksin

17

c. Rektoskopi atau sigmoidoskopi


Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan
pada pasien-pasien yang toksik, pasien dengan diare
berdarah atau pasien dengan diare akut persisten. Pada
sebagian besar pasien, sigmoidoskopi mungkin adekuat
sebagai pemeriksaan awal. Pada pasien dengan AIDS yang
mengalami diare, kolonoskopi dipertimbangkan karena
kemungkinan penyebab infeksi atau limfoma di daerah
kolon kanan.
2.1.6 Komplikasi diare
Komplikasi yang serius ialah dehidrasi (kekurangan cairan) dan
gangguan keseimbangan elektrolit (mineral) khususnya Kalium dan
Natrium yang dapat berakibat kematian, khususnya pada bayi, anak
balita dan para lansia (Kemenkes, 2011).
2.1.7 Pencegahan diare
Menurut Kemenkes (2011), pada dasarnya ada tiga tingkatan
pencegahan penyakit secara umum yakni: pencegahan tingkat pertama
(Primary

Prevention)

yang

meliputi

promosi

kesehatan

dan

pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)


yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan
pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention) yang meliputi
pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi :
2.1.7.1 Pencegahan primer
a. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan yang mencakup penyuluhan tentang
pemanfaatan jamban, air bersih dan minum air yang sudah
dimasak,

pengendalian

serangga/lalat

dan

tempat

pembuangan sampah dan limbah rumah tangga, prilaku


hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan, makan
makanan yang sehat dan lain sebagainya.

18

b. Pencegahan khusus
1) Menggunakan air bersih yang cukup
Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan
melalui Facal-Oral kuman tersebut dapat ditularkan bila
masuk ke dalam mulut melalui makanan, minuman atau
benda yang tercemar dengan tinja. Masyarakat yang
terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih
mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding
dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan
diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan
melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari
sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
2) Mencuci tangan
Kebiasaan

yang berhubungan

dengan

kebersihan

perorangan yang penting dalam penularan kuman diare


adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,
terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang
tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum
menyuapi makan anak dan sebelum makan, mempunyai
dampak dalam kejadian diare (Menurunkan angka
kejadian diare sebesar 47%).
3) Menggunakan jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa
upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang
besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit diare.
Keluarga

yang

tidak

mempunyai

jamban

harus

membuat jamban dan keluarga harus buang air besar di


jamban.

19

4) Membuang tinja bayi yang benar


Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak
berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat
pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang
tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.
5) Pengelolaan sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat
berkembang biaknya vektor penyakit seperti lalat,
nyamuk, tikus, kecoa dsb. Selain itu sampah dapat
mencemari

tanah

dan

menimbulkan

gangguan

kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap


dan pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena
itu

pengelolaan

sampah

sangat

penting,

untuk

mencegah penularan penyakit tersebut. Tempat sampah


harus disediakan, sampah harus dikumpulkan setiap
hari dan dibuang ke tempat penampungan sementara.
Bila tidak terjangkau oleh pelayanan pembuangan
sampah ke tempat pembuangan akhir dapat dilakukan
pemusnahan sampah dengan cara ditimbun atau dibakar
6) Sarana pembuangan air limbah
Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah
tangga harus dikelola sedemikian rupa agar tidak
menjadi

sumber

penularan

penyakit.

Sarana

pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat


akan menimbulkan bau, mengganggu estetika dan dapat
menjadi tempat perindukan nyamuk dan bersarangnya
tikus, kondisi ini dapat berpotensi menularkan penyakit
seperti leptospirosis, filariasis untuk daerah yang
endemis filaria.

20

2.1.7.2 Pencegahan sekunder


Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada pasien yang
telah menderita diare atau yang terancam akan menderita yaitu
dengan menentukan diagnosis dini dan pengobatan yang cepat
dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan
komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah
dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi
penyebab diare. Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan
dengan klinis pasien.
2.1.7.3 Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan
sampai mengalami kecacatan dan kematian akibat dehidrasi.
Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian
fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini
juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya
akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat
dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi
dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan
terhadap

mental

penderita

dengan

tetap

memberikan

kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental


kepada anak.

2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare akut menurut WHO (2014) terdiri dari:
2.1.8.1 ORS (Oral Rehidration Solution)
Terapi terbaik pada pasien diare yang mengalami dehidrasi
adalah ORS, misalnya oralit osmolaritas rendah. Cairan
diberikan 50 200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan
status hidrasi. Bila dehidrasi sedang atau berat sebaiknya
diberikan cairan intravena atau infus. Sedangkan dehidrasi
ringan/sedang

diberikan

cairan

per

oral

atau

selang

21

nasogastrik, kecuali bila ada kontraindikasi. Pemberian per


oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi
29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g Natrium bikarbonat, dan 1,5 g
KCl setiap liter.
2.1.8.2 Diet
Jika anak menyusui, coba untuk meningkatkan frekuensi dan
durasi menyusuinya. Pasien diare tidak dianjurkan puasa,
kecuali jika muntah-muntah hebat.
2.1.8.3 Zink
Zink merupakan mikronutrien yang penting untuk kesehatan
dan perkembangan anak. Melalui efeknya pada sistem imun
dan fungsi intestinal, pemberian zink selama episode diare
akan menurunkan durasi dan parahnya diare.
2.1.8.4 Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak dianjurkan pada semua pasien.
Antibiotik diberikan pada pasien jika merupakan indikasinya,
seperti pada pasien disentri.
2.1.8.5 Edukasi
Pengetahuan yang baik seorang ibu sangat menentukan
kesehatan anak. Kegiatan penyuluhan kesehatan tentang
pencegahan diare adalah edukasi yang sudah sering diberikan
kepada masyarakat. Penyuluhan tentang pencegahan diare
sangat penting diberikan untuk mencegah diare agar tidak
berulang lagi. Penyuluhan yang diberikan seperti cuci tangan
sebelum memberi ASI, pemanfaatan jamban, air bersih dan
minum air yang sudah dimasak, pengendalian serangga/lalat
dan tempat pembuangan sampah dan limbah rumah tangga,
prilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan, makan
makanan yang sehat dan lain sebagainya.

22

2.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare


Beberapa faktor yang sering berhubungan dengan kejadian diare di
masyarakat di antaranya penggunaan air bersih yang kurang, lingkungan
tempat tinggal tidak sehat dan prilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci
tangan masih kurang. Hasil studi WHO tahun 2007, memperlihatkan bahwa
intervensi lingkungan melalui modifikasi lingkungan dapat menurunkan
risiko penyakit diare sampai dengan 94%. Modifikasi lingkungan tersebut
termasuk didalamnya penyediaan air bersih menurunkan risiko 25%,
pemanfaatan jamban menurunkan risiko 32%, pengolahan air minum tingkat
rumah tangga menurunkan risiko sebesar 39% dan cuci tangan pakai sabun
menurunkan risiko sebesar 45% (WHO, 2014).
2.2.1 Faktor penggunaan air bersih
2.2.1.1

Air yang memenuhi syarat kesehatan


Menurut Effendi (2007) Air bersih merupakan air yang harus
bebas dari mikroorganisme penyebab penyakit dan bahanbahan kimia yang dapat merugikan kesehatan manusia
maupun makhluk hidup lainnya. Air merupakan zat
kehidupan, di mana tidak ada satu pun makhluk hidup di
bumi ini yang tidak membutuhkan air. Berdasarkan
Keputusan

Menteri

Kesehatan

Nomor 1405/menkes/sk/xi/2002

Republik
tentang

Indonesia
persyaratan

kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri terdapat


pengertian mengenai Air Bersih yaitu air yang dipergunakan
untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi
persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum
apabila dimasak. Parameter kualitas air bersih yang
ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990 terdiri atas
persyaratan

fisik,

persyaratan

kimiawi,

persyaratan

mikrobiologis. Berikut ini adalah persyaratan air layak


dikonsumsi:

23

a. Persyaratan Fisik
Persyaratan fisik yang harus dipenuhi pada air minum
yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak
berwarna. Sementara suhunya sebaiknya sejuk dan tidak
panas. Selain itu, air minum tidak menimbulkan endapan.
Jika air yang kita konsumsi menyimpang dari hal ini, maka
sangat mungkin air telah tercemar.
b. Persyaratan Kimia
Dari aspek kimiawi, bahan air minum tidak boleh
mengandung partikel terlarut dalam jumlah tinggi serta
logam berat (misalnya Hg, Ni, Pb, Zn,dan Ag) ataupun zat
beracun seperti senyawa hidrokarbon dan detergen. Ion
logam berat dapat mendenaturasi protein, disamping itu
logam berat dapat bereaksi dengan gugus fungsi lainnya
dalam biomolekul. Karena sebagian akan tertimbun di
berbagai organ terutama saluran cerna, hati dan ginjal,
maka organ-organ inilah yang terutama dirusak
c. Persyaratan Mikrobiologis
Bakteri patogen yang tercantum dalam Kepmenkes yaitu
Escherichia Colli, Clostridium Perfringens, Salmonella.
Bakteri patogen tersebut dapat membentuk toksin (racun)
setelah periode laten yang singkat yaitu beberapa jam.
Keberadaan bakteri Coliform (E.Coli tergolong jenis
bakteri ini) yang banyak ditemui di kotoran manusia dan
hewan menunjukkan kualitas sanitasi yang rendah dalam
proses pengadaan air. Makin tinggi tingkat kontaminasi
bakteri coliform, makin tinggi pula risiko kehadiran
bakteri patogen, seperti bakteri Shigella (penyebab
muntaber), S. Typhii (penyebab Typhus), Kolera, dan
Disentri.

24

2.2.1.2

Air yang tidak memenuhi syarat kesehatan


Air yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah air yang
tidak memenuhi Parameter kualitas air bersih yang ditetapkan
dalam PERMENKES 416/1990. Ciri-ciri lainnya dari air
yang tidak memenuhi syarat kesehatan di antaranya bisa
dilihat dari beberapa tanda yaitu perubahan suhu, perubahan
keasaman,

adanya

mikroorganisme,

rasa

dan

meningkatnya

bau

pada

radio

air,

adanya

aktifivitas

pada

lingkungan. Penelitian Purba (2012) tentang faktor-faktor


yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak balita di
wilayah kerja Puskesmas Matiti Kecamatan Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan didapatkan hasil ada
hubungan antara penyediaan air bersih dengan kejadian diare.
Penelitian Kasaluhe (2014) menyatakan ada hubungan antara
perilaku memberikan ASI, menggunakan air bersih, mencuci
tangan, menggunakan jamban dengan kejadian diare pada
balita dan tidak ada hubungan antara perilaku menimbang
balita dengan kejadian diare. Wulandari (2009) menyatakan
ada hubungan antara faktor lingkungan yang meliputi sumber
air minum, jenis tempat pembuangan tinja, dan jenis lantai
rumah dengan kejadian diare.
2.2.1.3

Hubungan penggunaan air bersih dengan kejadian diare


Air bersih yang memenuhi syarat kesehatan minimal harus
memenuhi persyaratan fisik air yaitu harus jernih, tidak
berbau, tidak berasa dan tidak berwarna. Sedangkan air yang
tidak memenuhi syarat kesehatan apabila sudah tercemar oleh
mikroorganisme yang ditandai dengan perubahan suhu,
perubahan keasaman, adanya rasa dan bau pada air. Air
tersebut apabila dikonsumsi sebagai air minum atau air untuk
memasak maka mikroorganisme yang ada dalam air akan ikut

25

masuk ke saluran cerna. Apabila mikroorganisme yang ada


dalam air yang tercemar itu adalah bakteri E. Colli maka
secara langsung akan menyebabkan gangguan saluran cerna
berupa diare (Prianto, 2012).
2.2.2 Faktor kebiasaan cuci tangan
2.2.2.1

Prilaku hidup bersih dan sehat dengan membiasakan mencuci


tangan
Perilaku mencuci tangan adalah kegiatan yang dilakukan
seseorang dalam membersihkan bagian telapak, punggung
tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh
kuman penyebab penyakit yang merugikan kesehatan
manusia serta membuat tangan menjadi harum baunya.
Kegiatan mencuci tangan dilakukan khususnya sebelum
makan dan setelah buang air (Nadesul, 2006). Apriyanti
(2009) menyatakan ada hubungan antara kebiasaan cuci
tangan dan penggunaan jamban sehat dengan kejadian diare.
Djarkoni (2014) menyatakan ada hubungan antara perilaku
cuci tangan pakai sabun dengan terjadinya diare. Adapun cara
mencuci tangan yang benar menurut Kemenkes (2013) adalah
sebagai berikut:
a. Basahi kedua telapak tangan setinggi pertengahan lengan
memakai air yang mengalir, ambil sabun kemudian usap
dan gosok kedua telapak tangan secara lembut
b. Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara
bergantian
c. Jangan lupa jari-jari tangan, gosok sela-sela jari hingga
bersih
d. Bersihkan

ujung

jari

secara

bergantian

mengatupkan
e. Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian

dengan

26

f. Letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok


perlahan
g. Bersihkan kedua pergelangan tangan secara bergantian
dengan

cara memutar, kemudian diakhiri dengan

membilas seluruh bagian tangan dengan air bersih yang


mengalir lalu keringkan memakai handuk atau tisu
2.2.2.2

Prilaku hidup tidak sehat dengan tidak membiasakan mencuci


tangan
Menurut Kemenkes (2013), salah satu perilaku yang dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan
resiko terjadinya diare tidak mencuci tangan sesudah buang
air besar dan sesudah membuang tinja atau sebelum makan
dan pada saat menyuapi anak. Menurut Wartonah (2006)
dalam Listiyorini (2012), faktor yang mempengaruhi perilaku
mencuci tangan lingkungan sosial atau ekonomi keluarga,
gambaran tubuh (body Image), pengetahuan (knowlegde),
budaya (Curtural), keinginan pribadi (Personal preference).
Penelitian Sulistioratih (2002) menyatakan ada hubungan
tingkat, tingkat pengetahuan tentang, kondisi jamban, cara
pengolalan melindungi/menutupi makanan dan minuman,
cara mencuci alat makan dan minum, mencuci bahan
makanan sebelum, mencuci tangan sebelum menyiapkan
makanan mencuci tangan sesudah buang air besar dengan
kejadian diare pada anak balita. Penelitian Kasaluhe (2014)
menyatakan ada hubungan antara perilaku memberikan ASI,
menggunakan air bersih, mencuci tangan, menggunakan
jamban dengan kejadian diare pada balita dan tidak ada
hubungan antara perilaku menimbang balita dengan kejadian
diare.

27

2.2.2.3

Hubungan kebiasaan mencuci dengan kejadian diare


Tangan yang kotor merupakan media transmisi berbagai
macam bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada diri
sendiri maupun orang lain. Apabila tangan tidak bersih
kemudian melakukan aktivitas makan tanpa menggunakan
alat seperti sendok, maka segala macam bakteri yang
menempel di tangan khsusunya bakteri E. Colli akan ikut
masuk bersama makanan yang dimakan sehingga secara
langsung dapat menyebabkan gangguan saluran cerna berupa
diare (Kemenkes, 2013)

2.2.3 Faktor kondisi lingkungan tempat tinggal


2.2.3.1

Lingkungan tempat tinggal yang sehat


Menurut Kemenkes (2013), kesehatan lingkungan tempat
tinggal akan tercapai apabila lingkungan mempunyai sarana
yang memenuhi standar kesehatan diantaranya memiliki
sarana air bersih, memiliki jamban keluarga, memiliki sarana
Pembuangan Air Limbah (SPAL), dan memiliki rumah yang
memenuhi syarat kesehatan/rumah sehat dan memiliki tempat
pembuangan sampah yang tertutup. Menurut Kemenkes
(2013), secara umum persyaratan rumah sehat

harus

memenuhi kebutuhan fisiologis, antara lain pencahayaan,


penghawaan, ruang gerak yang cukup dan terhindar dari
gangguan kebisingan, memenuhi kebutuhan psikologis,
antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antara
anggota keluarga dalam rumah, memenuhi persyaratan
pencegahan penularan penyakit, antara lain penyediaan air
bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas
vektor penyakit, terlindungnya makanan dan minuman dari
pencemaran,

dan

memenuhi

persyaratan

pencegahan

terjadinya kecelakaan, antara lain persyaratan garis sepadan

28

jalan, konstruksi yang kuat, tidak mudah terbakar, dan tidak


cenderung menimbulkan kecelakaan bagi penghuninya.
2.2.3.2

Lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat


Menurut Kemenkes (2013), faktor risiko lingkungan pada
bangunan rumah yang dapat mempengaruhi kejadian
penyakit

maupun

kecelakaan,

antara

lain

ventilasi,

pencahayaan, kepadatan hunian ruang tidur, kelembaban


ruang, kualitas udara ruang, binatang penular penyakit, air
bersih, limbah rumah tangga, sampah dan perilaku penghuni
dalam rumah. Upaya pengendalian faktor risiko lingkungan
perumahan perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyakit tersebut di atas, yaitu dengan membangun rumah
yang memenuhi syarat-syarat kesehatan yaitu tersedianya
jamban yang sehat, tempat pembuangan sampah yang
tertutup dan jauh dari rumah dan sarana pembuangan air
limbah rumah tangga yang tertutup. Penelitian Purba (2012)
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
diare pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Matiti
Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan
didapatkan hasil ada hubungan antara ketersediaan jamban
dengan kejadian diare. Penelitian Sulistioratih (2002)
menyatakan ada hubungan tingkat, tingkat pengetahuan
tentang, kondisi jamban, cara pengolalan melindungi/
menutupi makanan dan minuman, cara mencuci alat makan
dan minum, mencuci bahan makanan sebelum, mencuci
tangan sebelum menyiapkan makanan mencuci tangan
sesudah buang air besar dengan kejadian diare pada anak
balita. Penelitian Kasaluhe (2014) menyatakan ada hubungan
antara perilaku memberikan ASI, menggunakan air bersih,
mencuci tangan, menggunakan jamban dengan kejadian diare
pada balita dan tidak ada hubungan antara perilaku

29

menimbang

balita

dengan

kejadian

diare.

Penelitian

Adriliadesiani (2012) menyatakan ada hubungan antara


pendidikan, pekerjaan, ketersediaan jamban sehat dan
kejadian diare. Ekawati (2014) menyatakan ada pengaruh
antara lingkungan terhadap kejadian diare. Wulandari (2009)
menyatakan ada hubungan antara faktor lingkungan yang
meliputi sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja,
dan jenis lantai rumah dengan kejadian diare.
2.2.3.3

Hubungan lingkungan tempat tinggal dengan kejadian diare


Lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat dimana banyak
terdapat verktor pembawa bibit penyakit seperti lalat dan
serangga. Lalat dan serangga tersebut akan masuk ke dalam
lalu hinggap di makanan dan meninggalkan bakteri penyebab
penyakit pada makanan tersebut. Apabila bakteri yang
ditinggalkan lalat/serangga pada makanan adalah bakteri E.
Colli penyebab diare lalu makanan tersebut dimakan oleh
manusia maka bakteri yang ada pada makanan tersebut akan
ikut masuk ke dalam saluran cerna sehingga secara langsung
dapat menyebabkan gangguan saluran cerna berupa diare
(Kemenkes, 2013).

30

2.3 Kerangka konsep penelitian

FAKTOR
PENGGUNAAN AIR
BERSIH
LINGKUNGAN TEMPAT
TINGGAL

KEJADIAN DIARE

PRILAKU MENCUCI
TANGAN

Sumber: Mubasyiroh (2007), faktor yang berhubungan dengan kejadian diare


di beberapa regional Indonesia tahun 2007. Puslitbang Ekologi dan
Status Kesehatan Litbang Depkes
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: hubungan yang mempengaruhi
Skema 2.1:

Kerangka konsep penelitian faktor-faktor yang berhubungan


dengan kejadian diare pada pasien yang dirawat di RSUD
dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas

2.4 Hipotesis penelitian


2.4.1 Ada hubungan faktor penggunaan air bersih dengan kejadian diare
pada pasien yang dirawat di RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo
Kuala Kapuas
2.4.2 Ada hubungan faktor kondisi lingkungan tempat tinggal kejadian diare
pasien yang dirawat di RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala
Kapuas
2.4.3 Ada hubungan faktor kebiasaan cuci tangan kejadian diare pada pasien
yang dirawat di RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas

Вам также может понравиться