Вы находитесь на странице: 1из 17

UTS

ILMU KESEJAHTERAAN KERLUARGA


KETIDAKADILAN GENDER

DISUSUSUN OLEH
REGINA PUTRI SUSANTINA
5545144630

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN IKK
PRODI PKK (2014 SIE II)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

SOAL

3. Perempuan dan Laki-Laki secara fisik memang berbeda, namun bukan berarti
perbedaan tersebut menjadikan salah satu dari mereka boleh mengalami ketidakadilan
gender dalam mendapatkan kesempatan disektor publik. Jelaskan bentuk ketidakadilan
gender yang sangat merugikan perempuan berikut kasus!

ANALISIS KASUS

BENTUK BENTUK KETIDAKADILAN GENDER


Laki-laki dan perempuan berada di muka bumi ini mempunyai tugasnya masingmasing. Tugas itu bisa berupa tugas alami atau kodrati dan tugas yang melekat padanya
karena bangunan atau konstruksi sosial, adat, agama dan masyarakat di mana mereka
huni. Masing-masing ada jatahnya.
Berpijak pada analisis gender yang bertujuan untuk menghapus kesalahpahaman
masyarakat tentang dua kata gender dan sex juga bertujuan untuk menghilangkan
ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender berdampak buruk
terutama terhadap perempuan yang sering dirugikan akibat kesalahpahaman tersebut.
Sosialisasi gender yang telah berlangsung di tengah masyarakat dalam waktu yang
tidak sedikit mengakibatkan menancapnya pemahaman, bahkan keyakinan, bahwa apa
yang dilakukan perempuan dan laki-laki serta perannya dalam masyarakat merupakan
hal yang kodrati. Oleh karena itu, pandangan umum masyarakat tentang perbedaan
gender antara laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dipertukarkan.
Ketidakadilan terhadap perempuan dapat disebabkan oleh pandangan masyarakat yang
terkadang menganggap kaum perempuan sebagai warga kelas dua sehingga secara tidak
langsung memberikan dampak negatif terhadap kaum perempuan. Pandangan tersebut
dapat berasal dari budaya patriarki, yaitu budaya yang menyatakan bahwa kaum lakilaki dapat mengontrol kaum perempuan. Pada umumnya, masyarakat asia menganut
2

budaya patriarki sehingga terjadilah pertentangan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebelum gerakan feminisme berkembang,
keberadaan kaum perempuan masih kurang dihargai. Kaum perempuan masih
dinomorduakan dari kaum laki-laki. Padahal, kaum perempuan juga memiliki
kemampuan untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Selain itu,
perempuan juga memiliki hak yang sama dengan hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki.
Globalisasi merupakan tantangan tersendiri bagi usaha untiuk meniadakan
ketidakadilan ini. Televisi adalah bentuk nyata dari arus globalisasi tersebut di mana
televisi seakan menjadi transformasi nilai. Penayangan iklan-iklan tertentu yang
berlebihan adalah sumber pemicunya. Contoh nyata adalah iklan produk susu yang
mengakibatkan ASI dipandang tidak begitu penting dalam perkembangan anak, padahal
sebaliknya. Contoh lain adalah iklan yang mempertontonkan gambar-gambar wanita
yang vulgar. Gamba-gambar tersebut merupakan salah satu bentuk pornografi. Iklaniklan produk tertentu juga sering menggunakan model perempuan yang dianggap cocok
dengan karakter produk mereka, misalnya kelembutan, keanggunan dan kelincahah.
Diskriminasi terhadap kaum perempuan bukan hanya dapat dilihat dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam karya sastra juga banyak digambarkan tentang kehidupan
perempuan yang berperan sebagai penderita. Endraswarsa (2008:114) mengatakan
perempuan di mata laki-laki dan juga di mata sastrawan pria sekedar obyek. Konsep ini
telah membelenggu sehingga mendorong perempuan ke sudut keterpurukan nasib.
Dalam novel Tausend strahlende sonnen, berisi tentang kehidupan wanita yang hidup di
Negara Afghanistan. Novel karya Khaled Hosseini ini bercerita tentang segala
ketidakadilan gender yang terjadi di Negara timur tengah, diamana masyarakat timur
tengah menganut sistem patrilineal, yaitu sistem hubungan keturunan melalui garis
kerabat pria. Sistem patrilineal membentuk kekuasaan kaum laki-laki untuk mengontrol
kaum perempuan. Ketidakadilan gender sendiri adalah sifat, perbuatan, perlakuan yang
berat sebelah atau sesuatu yang memihak pada jenis kelamin tertentu dan hal ini dapat
meyebabkan kesenjangan sosial antar individu. Ketidakadilan gender terbagi dalam
berbagai bentuk.
Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi
dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu
permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau
3

ketidak adilan. Patokan atau ukuran sederhana yang dapat digunakan untukm engukur
apakah perbedaan gender itu menimbulkan ketidakadilan atau tidak adalah sebagai
berikut:
1. Sterotype
Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak
sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu
melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan
pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan).

Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang


merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan
fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik
atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi
juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau
tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap
perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak
menghakimi dan merugikan perempuan.

Label kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga merugikan, jika hendak aktif
dalam kegiatan laki-laki seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label lakilaki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang
dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung
tidak diperhitungkan.
Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber
kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.

Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau
kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Maksudnya
adalah para perempuan semua dianggap sama.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali
digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas
kelompok lainnya.
Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak
seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali
pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :

Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.

Perempuan tidak rasional, emosional.

Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.

Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan bukan pencari nafkah tambahan.Laki-laki
sebagai pencari nafkah utama.

Keyakinan Gender

Bentuk Ketidakadilan Gender

Perempuan: lembut dan bersifat emosional

Tidak boleh menjadi manajer atau

Perempuan: pekerjaan utamanya di rumah

pemimpin sebuah institusi


Dibayar lebih rendah dan tidak perlu

dan kalau bekerja hanya membantu suami

kedudukan yang tinggi/penting

(tambahan)
Lelaki: berwatak tegas dan rasional

Cocok menjadi pemimpin dan tidak pantas


kerja dirumah dan memasak

2. Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang
dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau
negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan
dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciriciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya.
Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan
karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan
itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa
tindakan kekerasan.
Contoh :

Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di
dalam rumah tangga.

Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan


tertekan. Perkosaan juga bisa terjadi dalam rumah tangga karena konsekuensi
tertententu yang dibebankan kepada istri untuk harus melayani suaminya. Hal ini bisa

terjadi karena konstruksi yang melekatinya.


Pelecehan seksual (molestation), yaitu jenis kekerasan yang terselubung dengan cara
memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa kerelaan si

pemilik tubuh.
Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
Genital mutilation: penyunatan terhadap anak perempuan. Hal ini terjadi karenaalasan

untuk mengontrol perempuan.


Prostitution: pelacuran. Pelacuran dilarang oleh pemerintah tetapi juga dipungut pajak
darinya. Inilah bentuk ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem tertentu dan
pekerjaan pelacuran juga dianggap rendah.

3. Beban ganda (double burden)

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis
kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen.
Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public,
namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya
maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada
perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan
lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak
perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
Contoh :

Wanita karir yang juga sibuk sebagai ibu rumah tangga.

Pembantu rumah tangga yang bekerja di lebih dari dua rumah yang juga sibuk denga
pekerjaan rumahnya.

Seorang guru yang menghabiskan banyak waktu untuk mengajar anak orang lain dan
bahkan menyita waktunya untuk mengajari anak anaknya.

4. Marjinalisasi
Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang
mengakibatkan kemiskinan.
Dalam rumah tangga perempuan adalah konco wingking di dapur. Dalam kegiatan
masyarakat, perempuan paling tingg hanya menjadi seksi konsumsi atau penerima
tamu. Mungkin karena posisinya yang dianggap tidak penting ini, maka pendidikan
untuk kalangan perempuan pada umumnya seperlunya saja. Pantas sampai hari ini pun,
ketika dunia sudah harus mamasuki abad informasi, abad pengetahuan, dua pertiga dari
penduduk bumi yang buta huruf adalah perempuan. Di kalangan umat Islam, sebagai
umat pemeluk agama yang paling maju dalam mempromosikan ilmu pengetahuan
ternyata sangat sedikit jumlah ulama perempuan. Ibarat mencari emas dari gundukan
7

pasir. Padahal, sepanjang sejarah jumlah perempuan selalu lebih banyak dibandingkan
jumlah lelaki.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok.
Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan
bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka
bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika
hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan
alasan gender.

Contoh :

Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai
sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.

Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan
tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan
gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan
factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.

Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan
menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan,

5. Subordinasi
Subordinasi Artinya : suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan
oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan
memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap
bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi,
sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.

Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestic dan reproduksi
mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya
tidak sama, maka itu berarti peran dan fungsi public laki-laki. Sepanjang
penghargaan social terhadap peran domestic dan reproduksi berbeda dengan peran
publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung.
Contoh :

Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil
keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki.

Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena


mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.

Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota


legislative dan eksekutif ).

PENDAPAT PARA AHLI


Menurut Mohammad Yasir Alimi terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan gender
disebabkan oleh dua faktor.

Pertama, faktor budaya, dalam masyarakat kita budaya yang cenderung male
chauvinistic masih ada kaum lelaki masih menganggap diri dan dianggap sebagai
makhluk yang kuat dan superior. Kecenderungan ini bisa terjadi karena adanya
pengaruh budaya/kepercayaan lokal (adat) ataupun pengaruh tafsir agama, sebagimana
yang dikesankan kalangan feminis atas penafsiran yang bias jender. Menurut
Nasharuddin Umar, hal ini disebabkan oleh belum jelasnya perbedaan antara sex dan
gender dalam mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan, pengaruh kisah-kisah
Israillahiyah yang berkembang luas di kawasan Timur Tengah, metode penafsiran yang
selama ini banyak mengacu kepada pendekatan tekstual, daripada kontekstual, dan
kemungkinan lainnya pembaca tidak netral menilai teks ayat-ayat al-Quran atau terlalu
dipengaruhi oleh perspektif lain dalam membaca ayat-ayat jender, sehingga dikesankan
seolah-olah al-Quran memihak kepada laki-laki dan mendukung sistem patriarki yang

dinilai oleh kalangan feminis merugikan perempuan. Pemahaman bias jender bisa
diakibatkan misalnya, oleh pembacaan ayat-ayat jender secara persial.
Dalam masyarakat, kecenderungan male chauvinistic, diperkokoh dengan ideologi
misoginis (sikap benci terhadap perempuan) dan ideologi patriarkhis (pandangan bahwa
laki-laki berkuasa atau dominan atas perempuan di dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat).

Kedua, faktor hukum, baik isi hukum (conten of law), budaya hukum (culture of law),
maupun proses pembuatan dan penegakan hukum (structure of law). Hukum yang
dibuat oleh negara seringkali diskriminatif terhadap perempuan, karena pembuat
hukum tidak peka terhadap kebutuhan masing-masing jenis kelamin (gender blind) dan
tidak memahami kebutuhan spesifik yang khas perempuan. Hukum yang demikian itu,
juga dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gender
dan didukung oleh budaya yang cenderung male chauvinistic seperti di atas. Itulah
lingkaran konspirasi budaya (agama) dan sistem politik: yang mengingkari hak-hak
perempuan.
Menurut Iskandar Ritonga faktor penyebab terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan
gender adalah disebabkan faktor, adanya penafsiran terhadap teks-teks keagamaan
(Islam) yang bias gender adanya konsruksi sosial (adat dan budaya) yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak sederajat dengan laki-laki, adanya pelebelan yang
merugikan kaum wanita, adanya aturan hukum yang diskriminatif gender, dan sikap
penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gencier.
Semua manilestasi ketidakadilan gender di atas menunjukkan adanya saling keterkaitan
dan secara dialektika, saling mempengaruhi yang kemudian tersosialisasi, baik kepada
kaum laki-laki maupun perempuan, secara mantap dan lambat laun mengakibatkan
lelaki maupun perempuan meniadi terbiasa. Akibatnya, dipercayai bahwa gender itu
seolah-olah merupakan kodrat dan lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem
ketidakadilan gender yang dapat diterima dan tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu
yang salah. Munculnya berbagai ketidakadilan; tindakan diskriminatif- terhadap
perempuan,

menurut Bainar, dikarenakan sistem dan struktur yang tidak adil.

Menurutnya, realitas adanya bias gender dan diskriminasi tersebut, merupakan produk
dari sebuah konstruksi realitas sejarah yang berjalan, yang mungkin saja ditafsir dan
10

dikonstruksi oleh dominasi laki-laki, atau juga diproduk dan dikonstruksi oleh
ketidakadilan.
Adanya ketimpangan dan ketidakadilan gender di atas, semakin jelas setelah muncul
beberapa teori sebagai instrumen pembedah munculnya berbagai ketidakadilan dan
ketimpangan gender, khususnya di Indonesia, seperti teori femenis, baik yang bersifat
liberal, radikal maupun yang sosialis. Menurut teori pertama, bahwa masalah yang
menimpa kaum perempuan adalah akibat dari kondisi individual dari kehidupan mereka
sendiri, yakni kebodohan dan sikap irrasionalitas yang melekat pada pribadi-pribadi
manusia perempuan. Tidak ada urusan keterbelakangan yang diderita kaum perempuan
dengna ketimpangan struktural yang didominasi oleh kaum lelaki. Satu-satunya jalan
bagi penyelesaian bagi kemelut perempuan dalam hubungannya dengan kaum lelaki
adalah pendidikan dan partisipasi mereka dalam modernisasi pembangunan.
Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan
ekualitas berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.
Kerangka feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada
kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya
hak dan kesempatan kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki
dan perempuan penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu ada pembedaan
kesempatan antara lelaki dan perempuan. Hal ini katena adanya asumsi bahwa
perempuan adalah makhluk rasional juga. Oleh karena itu, ketika menyoal mengapa
kaum perempuan tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hai itu disebabkan
oleh salah mereka sendiri. Dengan kata lain, jika sistemnya sudah memberikan
kesempatan yang sama kepada lelaki dan perempuan, kemidian perempuan tidak
mampu bersaing dan kalah, maka yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan
sendiri. Patut ditambahkan bahwa kelompok pendudukung teori femenis liberal ini
mendasari gerakannya pada prinsip-prinsip filsafat liberal, yang meyakini bahwa setiap
orang diciptakan dengan hak-hak yang sama. Untuk itu, setiap orang harus mempunyai
kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Karena hal tersebut belum diberikan
kepada perempuan, maka kelompok ini menuntut pelaksanaannya. Menurut Farha
Ciciek, untuk mencapai tujuan ini mereka menempuh dua cara. Pertama, mengadakan
gerakan penyadaran. Kedua, menuntut pembaharuan hukum yang diskriminatif
terhadap perempuan.
11

Diantaranya dengan cara merubah undang-undang yang menempatkan suami sebagai


kepala rumah tangga hal ini menurut mereka tidak sesuai dengna konsep kebebasan
individu untuk mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Konsep kepala
keluarga ini menurut mereka dapat membuat perempuan menjadi terus tergantung pada
laki-laki.
Atas dasar itu, untuk memecahkan masalah kaum perempuan, mereka mangajukan cara
menyiapkan kaum perempuan untuk bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh
persaingan bebas tersebut. Sebagaimana dari usaha ini dapat dilihat, misalnya dalam
program women in development (WID), yakni dengan menyediakan program intervensi
untuk meningkatkan taraf hidup keluarga, seperti pendidikan, keterampilan, serta
kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu
berpartisipasi dalam pembangunan. Pendekatan yang berasumsi bahwa keterbelakangan
kaum perempuan itu problemnya terletak pada kaum perempuan sendiri, sehingga
diperlukan usaha untuk menggarap kaum perempuan kini diperlakukan sebagai
mainstream dalam memecahkan masalah kaum perempuan. Bagi mereka, diskriminasi
akibat idiologi patriarki seperti yang diyakini oleh fenisme radikal maupun analisis atas
struktur kelas politik ekonomi serta gender seperti faham fiminis sosialis tidaklah
dipertanyakan. Bagi mereka, sejak awal perempuan dianggap sebagai masalah
(anomaly) bagi ekonomi modern atau partisipasi politik maupun pembangunan.
Keterbelakangan kaum perempuan bagi mereka adalah akibat dari sikap irrasional yang
bersumber dari berpegang teguh pada peran gender tradisional. Oleh karena itu,
melibatkan perempuan dalam industrialisasi dan pembangunan dianggap sebagai jalan
untuk meningkatkan status perempuan. Keduanya dianggap akan berakibat positif pada
perempuan, yakni akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara
lelaki dan perempuan.
Analisis ini mendapat kritik dari feminis radikal. Mereka adalah yang mengedepankan
relasi seksual sebagai isu yang mendasar. Kelompok feminis radikal ini berjuang untuk
melenyapkan struktus patriarki yang terdapat dalam masyarakat. Kelompok paling
ekstrim feminis lesbian dari varian ini malah sama sekali memutuskan hubungan
dengan laki-laki. Mereka beranggapan bahwa dalam relasi heteroseksual terletak
kekuatan kaum laki-laki, modal untuk mendominasi perempuan..

12

Menurut teori femenis radikal, unsur seksual atau biologis memainkan seiumlah
peranan penting dalam politik alamiah hubungan antar kelamin tersebut. Karena itu,
menurut mereka penyebab ketidakadilan pada perempuan sepenuhnya terletak pada
dominasi kaum lelaki. Sejak awal sejarah, dunia ini dikuasai oleh oleh idiologi
patriarki, yang menganggap lelaki secara kodrati memiliki superioritas atas kaum
perempuan, bukan saja dalam kehidupan pribadi; keluarga dan masyarakat, tetapi juga
dalam arena kehidupan negara. Untuk membongkar ketidakadilan ini, adalah dengan
cara membongkar dominasi kelelakian (patriarki) di semua tingkatan, mulai dari tingkat
keluarga sampai dengan negara. Mereka menginginkan posisi perempuan harus
seimbang atau lebih dominan daripada posisi kaum lelaki.
Dengan demikian, menurut teori ini, bahwa kaum lelaki secara biologis maupun secara
politis adalah bagian dari pernasalahan. Sementara masalah pokoknya adalah patriarki
yang merupakan sistem hierarki seksual di mana lelaki memiliki kekuasaan superior
dan privilege ekonomi.
Pandangan analisis pendukung teori ini, dianggap ahistoris oleh golongan feminis
Marxist. Meskipun kelompok femenis radikal menggunakan bahasa Marxist seperti
kelas dalam melakukan analisis hubungan antara lelaki dengan perempuan, namun
mereka tidak menggunakan kerangka teori kelas secara sungguh-sungguh. Hubungan
gender direduksi pada perbedaan natural yang bersumber pada biologis. Bagi mereka,
revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah
gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum lelaki. Semboyan
terkenal mereka adalah personl is political.
Tentu pandangan femenis radikal ini bertentangan dengan pandangan feminisme
Marxist. Mereka digolongkan sebagai feminis Marxist karena mendasarkan dirinya
pada teori.-teori Marxist. Mereka mengutamakan periuangan pada sistem sosialekonomi. Menurut rnereka, penindasan terhadap perempuan berakar pada adanya
struktur kelas yang eksploitatif. Jika revolusi proletar berhasil meruntuhkan sistem
kelas, maka penindasan terhadap perempuan akan lenyap pula. Karena itu, mereka
melihat penindasan perempuan sebagai realitas objektif. Gagasan biologi sebagai dasar
pembedaan gender mereka tolak. Sebab, penindasan perempuan adalah bagian dari
penindasan kelas dalam relasi produksi. Women guestion selalu diletakkan dalam
kerangka kritik pada kapitalisme. Meskipun, dalam teorinya Marx sendiri tidak
13

dijelaskan posisi kaum perempuan dalan perubahan sosial, kecuali Engels. Sahabat
Marx ini mengulas masalah ini dalam seiarah prakapitalisme. Engels menjelaskan
bahwa sejarah jatuhnya status perempuan bukan disebabkan oleh perubahan teknologi,
melainkan karena perubahan organisasi kekayaan. Munculnya era hewan piaraan dan
petani menetap, yakni suatu masa awal penciptaan surplus adalah dasar munculnya
privat proverty yang kemudian menjadi dasar bugi perdagangan dan produksi untuk
exchange. Oleh karena lelaki mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka
mendominasi hubungan sosial dan politik, sementara perempuan direduksi menjadi
bagian dari properti belaka.
Pandangan ini berbeda dengan analisis kaum feminis liberal yang memfokuskan
analisis mereka pada sistem kapitalisme. Menurut mereka, kapitalisme yang
melanggengkan penindasan perempuan melalui berbagai cara dan alasan. Di antaranya
melalui apa yang disebut eksploitasi pulang ke rumah, yakni suatu proses yang
diperlukan guna membuat lelaki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif.
Buruh lelaki yang bekerja di pabrik dan di eksploitasi oleh kapitalis selanjutnya pulang
ke rumah dan terlibat suatu hubungan kerja dengan istri mereka. Dalam analisis ini
posisi kaum perempuan lebih ditujukan demi akumulasi kapital. Kaum perempuan juga
dianggap bermanfaat bagi kapitalisme dalam memproduksi buruh murah. Di negara
kapitalis, struktur dan sistem masyarakat menguntungkan pihak kapitalis dari segi
terjaminnya

persediaan

buruh.

Masuknya

perempuan

sebagai

buruh

juga

menguntunglm sistem kapitalisme, karena upah buruh perempuan seringkali lebih


rendah dibandingtan dengan upah buruh lelaki. Upuh buruh yang lebih rendah ini
membantu pihak kapitalis untuk mengakumulasi kapital secara lebih lebih cepat.
Disamping itu, masuknya kaum perempuan ke sektor perburuhan merupakan proses
penciptaan buruh cadangan yang tak terbatas. Besarnya cadangan buruh ini akan lebih
memperkuat posisi tawar kaum kapitalis di hadapan buruh, sekaligus mengancam
solidaritas kaum buruh. Bagi penganut feminisme Marxist, penindasan perempuan
merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Oleh karena itu,
mereka tidak menganggap patriarki kaum lelaki sebagai permasalahan.
Analisis dan pandangan kaum feminisme Marxist ini berbeda dengan feminisme
sosialis. Kelompok ini dikenal memusuhi dua sistem sekaligus, yaitu sistem masyarakat
yang patriarkis dan sistem ekonomi yang eksploitatif (kapitalisme). Menurut kelompok
14

ini, kaum perempuan secara bersama telah dieksploitasi oleh dua sistem ini. Karena itu,
untuk membebaskan perempuan permasalahan ketertindasan hanya dapat dilakukan
melalui upaya ganda yakni pemberdayaan ekonomi dan sosial-politik kaum perempuan
sekaligus. Atau dalam bahasa Ratna Megawangi, agar tercapai kesetaraan gender, kaum
feminisme sosial mengadakan restruktrurisasi masyarakat. Sebab, sistem kapitalisme
yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labor, termasuk di dalam keluarga telah
melahirkan ketimpangan jender. Untuk itu, kelompok feminisme sosialis mengadopsi
teori praxis marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar para
perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses
penyadaran ini akan membuat para perempuan bangkit emosinya, dan mereka sadar
serta bangkit untuk merubah keadaannya. Proses penyadaran ini adalah tema sentral
gerkan ini, karena menurut mereka banyak para perempuan yang tidak sadar bahwa
mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Contohnya, dengan
menonjolkan isu-isu betapa perempuan diperlakukan dengan tidak manusiawi, di
kurung di sangkar emas, sampai pada isu mengapa harus perempuan yang membuat
kopi untuk para suami, dan sebagainya.
Dengan demikian, menurut analisis femenis sosialis, penindasan perempuan terjadi di
kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi
perempuan. Karena itu, mereka menolak visi marxist klasik yang meletakkan
eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa
kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu, analisis patriarki perlu
dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan begitu, kritik terhadap eksploitasi kelas dari
sistem kapitalisme pada saat yang sama harus disertai kritik ketidakadilan gender yang
mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan.
Penindasan perempuan bagi mereka, juga bisa menimbulkan kesadaran revolusi, tetapi
bukan kesadaran women as sex model feminis radikal. Sebaliknya, bagi mereka,
ketidakadilan terhadap perempuan lebih karena idiologi (social construction) terhadap
perbedaan lelaki perempuan. Ketidakadilan juga bukan karena kegiatan produksi atau
reproduksi dalam masyarakat, melainkan karena manifestasi dari ketidakadilan gender
yang merupakan konstruksi sosial. Oleh karena itu, yang mereka perangi adalah
konstruksi visi dan idiologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang
dibangun di atas bias gender.

15

Konfigurasi dialektika wacana feminisme yang diuraikan di atas, menunjukkan adanya


peran gender yang berakibat diskriminasi gender. Perbedaan gender yang selanjutnya
melahirkan peren gender sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah atau tidak perlu
digugat. Kalau secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ repsoduksinya
bisa hamil, melahirkan, dan menyusui lalu mempunyai peran gender sebagai perawat,
pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya hal ini tidak menimbulkan masalah dan
karenanya tidak perlu digugat. Yang perlu digugat dan dipersoalkan adalah adanya
peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibandingkan peran gender
lelaki. Dengan ungkapan lain, peran gender tidak menjadi masalah, selama tidak
menimbulkan ketidakadilan gender.
Karena itu, dewasa ini analisis gender menjadi alat analisis untuk menjelaskan sistem
ketidakadilan gender. Sebab, analisis gender membantu untuk memahami bahwa pokok
persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, di mana baik lelaki maupun
perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan
gender tersebut. Dan analisis atas materi fikih yang diajarkan pada Madrasah Aliyah
Kota Gorontalo, mendasarkan pada bantuan analisis gender untuk menemukan bias
gender dalam materi fikih tersebut.

16

Dari semua kasus dan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab
awal diskriminasi dan ketidakadilan gender semuanya diawali dengan mind set manusia
selama ini yang lebih mengutamakan gender laki-laki dibandingkan perempuan seperti
contoh kasus diatas yang lebih banyak merugikan kaum perempuan baik secara fisik
mental.
Seharusnya para petinggi negara harus mulai menanamkan pemikiran bahwa semua
wanita dimuka bumi ini mempunyai hak yang sama dengan para laki laki,dengan mulai
membuka lapangan pekerjaan terbuka yang saling menguntungkan kedua belah pihak
laki laki dan perempuan tanpa menimbulkan efek sosial terpandang sebelah mata dari
masyarakat umum. Dan tidak pula menutup peran seperti yng sudah ditentukan selama
ini bahwa tugas wanita hanyalah mengurus rumah tangga dan laki laki sebagai pencari
nafkah,harusnya peran tersbut dihilangkan atau setidaknya membuat masyarakat
berpikiran terbuka bahwa gender tidak harus hanya terpaku dengan peran dan status.
Tujuan dari analisis kasus diatas saya awalnya terinspirasi dari ibu saya sendiri yang
harus berenti bekerja sesaat beliau sudah melahirkan anak saya anak
pertamanya,dikarenakan keluarga lebih percaya apabila seorang anak akan lebih baik
bila dididik langsung oleh ibunya sendiri, yang akhirnya merugikan ibu saya yang
termasuk workaholic, sehingga terkadang menjadi beban pikirannya yang sangat sangat
merindukan dunia kerja.
Saya ingin mendapatkan nilai A karena tugas ini saya lakukan dengan interview
bedasarkan pengalaman orang tua saya sendiri.

17

Вам также может понравиться