Вы находитесь на странице: 1из 16

Ketoasidosis Diabetik pada Anak

Richard Arner Tukang


102013084
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061
Pendahuluan
Diabetes melitus adalah sindrom yang disebabkan ketidakseimbangan antara tuntunan
dan suplai insulin. Sindrom ditandai oleh hiperglikemi dan berkaitan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Ketoasidosis diabetic (KAD) merupakansalah satu
komplikasi akut diabetes yang sangat berhubungan dengan kualitas edukasi yang diberikan
kepada seorang dengan diabetes mellitus (DM) 2, sementara DM tipe 1, sering kali ketoasidosis
merupakan pintu awal diagnosis.1 Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin
efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada anak dengan diabetes mellitus tipe 1 (IDDM). Mortalitas
terutama berhubungan dengan edema serebri yang terjadi sekitar 57% - 87% dari seluruh
kematian akibat KAD.2
Risiko KAD pada IDDM adalah 1 10% per pasien per tahun. Risiko meningkat pada
anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah mengalami episode KAD,
anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan
makan), dan kondisi keluarga yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah
asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu terjadinya
KAD.3
Terdapat lima penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan
oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik intravena dan
balance elektrolit, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental (termasuk derajat kesadaran).
Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau
penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema serebri (termasuk usia < 5
tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak.2,3

Anamnesis
Anamnesa bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan memperhatikan petunjukpetunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien. Anamnesis bisa dilakukan
pada pasien itu sendiri yang disebut Auto Anamnesa apabila pasien dalam kondisi sadar dan baik,
bisa juga melalui keluarga terdekat atau orang yang bersama pasien selama ia sakit apabila
pasien dalam kondisi tidak sadar atau kesulitan berbicara disebut dengan Allo Anamnesa.4
Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan sisanya
lagi didapatkan dari hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus skenario 1
dilakukan anamnesis secara allo-anamnesis, dan hal yang perlu dilengkapi dan ditanyakan
adalah:5
1. Identitas Pasien
Melengkapi identitas nama, umur, jenis kelamin, tanggal lahir, lahir premature atau normal,
diagnose medis, dan tanggal medis.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasa sangat mengganggu saat ini. Keluhan utama yang
dialami anak tersebut adalah merasa lemas dan nyeri perut yang disertai muntah- muntah.
3. Riwayat Kesehtan
a. Riwayat penyakit sekarang
- Apakah nyeri disertai dengan rasa cepat lelah?
- Apakah terdapat nyeri di kepala?
- Apakah penglihatan anak menjadi kabur?
- Apakah terdapat peningkatan frekuensi buang air kecil yang berleibih?
- Bagaimana intake cairan apakah sering timbul rasa haus serta keinginan untuk minum
-

air yang banyak?


Bagaimana dengan nafsu makan apakah anak cepat lapar?
Apakah terjadi penurunan berat badan yang cepat terhadap anak?
Apakah dulu ibu anak memberi makanan padat yang terlalu dini kepada anak

(kemungkinan alergi)?
- Apakah terdapat pernafasan cepat dan dalam?
- Apakah nafas berbau seperti aseton?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
- Apakah anak sering sakit pada masa bayi?
c. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit keluarga.
- Apakah salah satu orang tua pernah menderida DM?
- Apakah ibu menderita preemplasia?
- Apakah bayi lahir dari ibu yang sudah berusia lanjut?

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh H to T (head to toe), dimulai dengan Inspeksi,
Palpasi, Perkusi, dan Auskultasi.5
a. Tanda- tanda vital:
- Keadaan umum: sakit sedang
- Kesadaran: somnolen
- Tekanan darah: 80/ 50 mmHg
- Tekanan nadi: 120x/ menit
- Respiratory Rate: 40x/ menit, nafas cepat dan dalam
- Suhu tubuh: 37 derajat Celcius
- Turgor kulit: menurun
- Capillary Refil Test: 3 detik
b. Inspeksi
- Keadaan umum pasien serta tanda khas dari pasien yang tampak saat datang
- Terlihat penurunan kesadaran dan nafas kussmaul
- Warna kulit dan kondisi kulit (kering, normal, lembab)
- Inspeksi thorak, abdomen, mukosa dan ekstrimitas apakah ada luka yang tidak
kunjung sembuh
c. Palpasi
- Tes turgor kulit menurun pada bagian abdomen anak
- Tes capillary refill 3 detik
- Palpasi pada rongga thorak, abdomen sampai suprapubik untuk melihat apakah
terdapat rasa nyeri pada perabaan yang menandakan adanya inflamasi
d. Perkusi
- Perkusi pada rongga dada untuk melihat adanya edema paru atau tanda-tanda
pneumonia
e. Auskultasi
- Auskultasi pada rongga dada untuk melihat adanya edema paru atau tanda-tanda
-

pneumonia
Auskultasi pada rongga dada dan jantung untuk menilai keadaan umum organ paru

dan jantung
Auskultasi abdomen untuk mendengarkan bising usus

Berdasarkan skenario, kasus pada anak ini merupakan tindakan yang membutuhkan
penanganan segera. Oleh karena itu, pemeriksaan di atas yang sifatnya bukan untuk menegakkan
diagnosis segera dapat tidak dikerjakan dahulu. Pemeriksaan dilanjutkan apabila pasien sudah
mendapatkan terapi yang adekuat.5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium6

Glukosa:
- Kadar glukosa plasma puasa diatas 126 mg/dL (7,8 mmol/L) pada lebih dari satu
-

pemeriksaan baik diamnbil pada pagi hari sesudah puasa semalaman.


Kadar glukosa plasma sewaktu diatas 200 mg/Dl (11,1 mmol/L). Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu

makan terakhir.
Pada individu asimtomatik, jika terdapat peningkatan kadar glukosa darah puasa dan
peningkatan kadar glukosa darah yang menetap selama dilakukan tes toleransi glukosa oral
(TTGO/OPGTT) yang dilakukan lebih dari 1 kali. Cara pemeriksaan TTGO adalah :
1

Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa

Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.

Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.

Periksa glukosa darah

Berikan glukosa 75g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5
menit.

Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa

Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

WHO (1985) menganjurkan pemeriksaan standar seperti di atas, tetapi di Indonesia hanya
memakai pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja. Sedangkan, TTGO pada anak seringkali
tidak dibutuhkan karena gejala klinis yang khas. 2
c

Persentase HbA1c lebih sering diukur. Nilai normal bervariasi sesuai dengan metode
laboratorium yang digunakan, tetapi anak-anak nondiabetes umumnya memiliki nilai-nilai
dalam kisaran rendah normal. Pada diagnosis, diabetes anak-anak agaknya mendapatkan
hasil di atas batas atas dari kisaran referensi. Pengukuran kadar HbA1c adalah metode terbaik
untuk jangka menengah untuk pemantauan jangka panjang pengendalian diabetes. Untuk

nilai rujukan HbA1c berkisar 5-9% kada Hb total.7


Ketonuria
Dalam keadaan tidak ada insulin dalam jumlah cukup, maka tiga badan keton" utama
dibentuk dan diekskresi ke dalam kemih: asam -hidroksibutirat, asam asetoasetat, dan
aseton. Produk-produk komersil untuk menguji adanya keton dalam kemih kini tersedia.
Tablet Acetest, Ketostix, dan Keto-Diastix menggunakan suatu reaksi nitroprusida yang

hanya mengukur aseton dan asetoasetat. Dengan demikian, uji-uji ini dapat keliru
mengarahkan bila asam -hidroksibutirat merupakan metabolit yang dominan.7
Kondisi-kondisi lain di samping ketoasidosis diabetik dapat menyebabkan badan-badan
keton tampil dalam kemih; antara lain kelaparan, diet tinggi lemak, ketoasidosis alkoholik,
demam, dan kondisi lain di mana kebutuhan metabolik meningkat. Kadar beda keton dalam
kadar normal apabila < 0,6 mmol/L, Ketosis apabila > 1 mmol/L, dan indikasi Ketoasidosis
diabetic apabila kadar benda keton mencapai >3 mmol/L.
e

Proteinuria

Proteinuria seperti yang ditemukan pada pemeriksaan carik celup rutin seringkali menjadi
tanda pertama komplikasi diabetes pada ginjal. Jika proteinuria terdeteksi, maka perlu
dilakukan analisis kumpulan kemih 24 jam untuk menentukan derajat proteinuria (individu
normal mengekskresikan < 30 mg protein per hari) dan laju ekskresi kreatinin kemih; pada
saat yang sama, kadar kreatinin serum perlu ditentukan sehingga bersihan kreatinin (suatu
perkiraan dari laju filtrasi glomerulus) dapat dihitung. Pada beberapa kasus kelak terjadi
proteinuria yang berat (3-5 g/hari) dengan gejala-gejala sindroma nefrotik lain seperti edema,
hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia.7
f

Gas darah arteri (AGD).


Umumnya pada pasien dengan kondisi ketoasidosis diabetik derajat pH sering pada
kondisi asidosis yaitu berkisar antara 7,3 sampai 6,8. Derajat berat ataupun ringannya
asidosis diklasifikasikan sebagai berikut:7
1 Ringan : Bila pH darah 7,25-7,3, bikarbonat 10-15 mmol/L.
2

Sedang

Berat

: Bila pH darah 7,1-7,24, bikarbonat 5-10 mmol/L.


: Bila pH darah < 7,1, bikarbonat < 5 mmol/L.

Working Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan maka pasien di diagnosis
menderita ketoasidosis diabetik. Diagnosis kerja ditegakkan berdasarkan temuan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Data anamnesis yang menjadi

patokan adalah adanya gejala klasik diabetes melitus, yakni poliuria, polidipsi dan polifagi serta
keadaan pasien yang lemas dan penurunan berat badan. Berdasarkan anamnesis juga tidak
didapat keterangan bahwa sang pasien menderita diabetes sebelumnya. Hal ini menambah
kemungkinan timbul berbagai komplikasi dari diabetes tersebut yang disebabkan oleh
hiperglikemi dan kekurangan glukosa dalam sel.8

Differential Diagnosis

Gastroenteritis
Gastroenteritis didefinisikan sebagai inflamasi membrane mukosa lambung dan
usus halus yang ditandai dengan muntah dan diare yang berakibat kehilangan cairan dan
elektrolit yangmenimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Faktor Infeksi bakteri : Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigelia Compylobacter, Yersina,
Aeromonas,dan sebagainya.Infeksi virus : Eterovirus, Adenovirus, Rotavirus,Astrovirus,
parasit

cacing

(EntamoebaHstolitica,

(Ascaris,

Triguris,

Glardialambia,

Oxyyuris,

Trichomonas

Strongyloides),

Hominis).Faktor

protozoa
malabsorbsi

karbohidrat, lemak, atau protein. Faktor makanan basi, beracun, dan alergi terhadap
makanan. Factor psikologis rasa takut dan cemas. Imunodefisiensi dapat mengakibatkan
terjadinya pertumbuhan bakteri. Infeksi terhadap organ lain, seperti radang tonsil,
bronchitis, dan radang tenggorokan.
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus,bakteri atau toksin, dan
parasit. Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel,
memproduksi enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada
dinding usus pada gastroenteritis akut. Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal-oral
dari satu klien ke klien yanglainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen
dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Mekanisme dasar penyebab
timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makananyang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga ususmeningkat sehingga terjadi pergeseran
air dan elektrolit kedalam rongga usus, isirongga usus berlebihan sehingga timbul diare ).
Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi

air dan elektrolit meningkatkemudian terjadi diare. Gangguan mutilitas usus yang
mengakibatkanhiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah
kehilanganair dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa.

Intoksikasi
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya makanan,zat atau senyawa kimia
dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Misalnya intoksikasi insektisida (Insektisida hidrokarbon khorin ( IHK) dan Isektida
fosfat organic ( IFO), makanan, dan zat-zat psikoaktif (kokain, mariyuana, dan heroin).
Keracunan makanan adalah masuknya zat toxic (racun) dari bahan yang kita makan ke
dalam tubuh baik saluran cerna,kulit,inhalasi dll. Yang menimbulkan tanda dan gejala
klinis. Pada keadaan keracunan makanan, gejala-gejala timbul karena racun yang ikut
tertelan bersama dengan makanan. Umumnya pada keracunan makanan, gejala-gejala
terjadi tak lamasetelah menelan bahan beracun tersebut, bahkan dapat segera setelah
menelan bahan beracunitu dan tidak melebihi 24 jam setelah tertelannya racun. Seseorang
dicurigai menderita keracunan, bila :
1
2
3
4

Sakit mendadak.
Gejala tak sesuai dengan keadaan patologik tertentu.
Gejala berkembang dengan cepat karena dosis besar.
Anamnese menunjukkan kearah keracunan, terutama kasus percobaan bunuh diri,

pembunuhan atau kecelakaan.


Keracunan kronis dicurigai bila digunakannya obat dalam waktu lama atau
lingkungan pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia.

Etiologi dan Faktor Pencetus


Ada sekitar 80% pasien KAD diketahui menderita diabetes mellitus (DM) manakala 20% lagi
baru mengetahui menderita DM. menghentikan atau mengurangi dosis insulin pada terapi DM
merupakan salah satu pencetus KAD. Malah, KAD sering terkena pada penderita DM tipe 1
dimana kadar insulin tidak cukup sesuai dengan kebutuhan metabolic tubuh. Antara factor
pencetus lain adalah infeksi, infark miokardium akut, pancreatitis akut dan penggunaan obat
golongan steroid.9

Pada anak prepubertas, penyebab tersering adalah infeksi manakala tidak mengambil injeksi atau
tekanan emosi merupakan penyebab tersering pada remaja dewasa. Anak yang menggunakan
insulin analog juga berisiko tinggi untuk mendapat rapid onset KAD. Kegagalan untuk
mengambil long acting insulin dapat menyebabkan defisiensi insulin pada malam hari. Pada
negara berkembang, ketiadaan insulin buatan meruakan punca utama KAD.9
Epidemologi
Prevalensi KAD di Amerika serikat diperkirakan sebesar 4,6-8 per 1000 penderita diabetes,
dengan mortalitas < 5% atau sekitar 2-5%. KAD juga merupakan penyebab kematian tersering
pada anak dan remaja penyandang diabetes melitus tipe 1, yang diperkirakan setengah dari
penyebab kematian penderita Diabetes melitus dibawah usia 24 tahun. Sementara itu di
Indonesia belum didapatkan angka yang pasti mengenai hal ini.10
Patofisiologi
Pada ketoasidosis diabetik terjadi gangguan metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat.
Ketoasidosis diabetik mencerminkan suatu keadaan defisiensi insulin mutlak atau relatif disertai
peningkatan berlebihan hormon stres atau pengimbang. Meningkatnya hormon pengimbang
seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone dengan kompensatorik insulin yang
tidak meningkat, menyebabkan meningkatnya lipolisis dan ketogenesis. Hal ini yang
meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam darah, ketosis, dan asidosis metabolik. Asam
lemak bebas diserap hati, tempat asam tersebut diesterifikasi menjadi trigliserida dan dioksidasi
menjadi asam asetoasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik.11
Ketosis dan asidosis metabolik ikut berperan dalam menyebabkan terjadinya gangguan elektolit
dan muntah, yang sering terjadi pada KAD dan biasanya bersifat parah. Pada keadaan defisiensi
insulin, meningkatnya kadar hormon pengimbang juga merangsang produksi glukosa melalui
glikogenolisis dan glukoneogenesis, kadar glukosa biasanya meningkat (>250 mg/dL) pada
penderita KAD. Seiring dengan meningkatnya kadar glukosa darah, jumlah glukosa yang muncul
dalam filtrasi glomerulus melebihi kemampuan tubulus proksimal ginjal untuk mereasorbsi
glukosa terjadi glukosuria.11

Dengan terus meningkatnya kadar glukosa darah, terjadi peningkatan glukosuria hingga laju
pengeluaran glukosa melalui urin setara dengan laju pembentukan glukosa. Saat hal ini terjadi,
kadar glukosa darah mungkin sudah stabil pada kisaran 400-600mg/dL. Derajat hiperglikemia ini
menyebabkan terjadinya diuresis osmotik. Bersama dengan berkurangnya asupan cairan dan
muntah akibat ketosis dan asidosis tadi, hal ini menyebabkan terjadinya dehidrasi. Saat dehidrasi
memburuk sampai ke tahap mengurangi laju filtrasi glomerulus, jumlah glukosa yang difiltrasi
menurun sehingga pengeluran glukosa melalui urin berkurang dan kadar glukosa darah semakin
meningkat ke suatu kadar stabil melebihi 600-800mg/dL.10,11
Kelainan elektrolit selalu terjadi pada KAD. Diuresis osmotik yang dipicu oleh glukosa pada
KAD menyebabkan berkurangnya reabsorpsi natrium dan air oleh tubulus distal ginjal dan
keluarnya natrium dan air secara berlebihan. Natrium dan kalium juga dieksresikan bersama
dengan asam keto. Pada KAD, konsentrasi natrium serum biasanya rendah akibat perpindahan
osmotik air, yang dipicu oleh hiperglikemia, dari kompartemen intrasel ke ekstrasel. Penurunan
kadar natrium serum akibat pengenceran ini diperkirakan sebesar 1.6 mEq/L untuk setiap
peningkatan 100mg/dL glukosa darah di atas kisaran normal. Pengeluaran kalium selama KAD
dapat cukup besar dan sering terjadi deplesi kalium. Kehilangan kalium ini disebabkan oleh
ekskresi kalium melalui urin bersama dengan asam keto dan oleh efek meningkatnya kadar
aldosteron akibat dehidrasi. Namun karena asidosis meningkatkan perpindahn kalium dari ruang
intrasel ke ekstrasel, maka kalium serum pada awal KAD sering meningkat atau normal. Dengan
demikian konsentrasi kalium serum yang terukur bukan merupakan indikator yang handal untuk
menentukan status kalium tubuh.10,11
Gejala Klinis
Gejala klinis KAD biasanya berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 24 jam. Poliuri,
polidipsi dan penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi beberapa hari menjelang KAD,
dan seringkali disertai gejala mual, muntah dan nyeri perut.Adanya nyeri perut sering
disalahartikan sebagai 'acute abdomen', dan dilaporkan dijumpai pada 40-75% kasus KAD.
Walaupun penyebabnya belum diketahui secara pasti, asidosis metabolik diduga menjadi
penyebab utama gejala nyeri abdomen , gejala ini akan menghilang dengan sendirinya setelah
asidosisnya teratasi.11

Pada pemeriksaan klinis sering dijumpai penurunan kesadaran, dan bahkan koma (10% kasus),
tanda-tanda dehidrasi dan syok hipovolemia (kulit/mukosa kering dan penurunan turgor,
hipotensi dan takikardi). Tanda klinis lain adalah napas cepat dan dalam (Kussmaul) yang
merupakan kompensasi hiperventilasi akibat asidosis metabolik, disertai bau aseton pada
napasnya. Walaupun amat jarang terjadi, pada anak yang lebih besar (remaja) keadaan klinis di
atas harus dibedakan dengan status hiperglikemi hiperosmolar (SHH) atau yang dahulu disebut
sebagai hiperglikemi-hiperosmolar non-ketotik . Pada SHH sering didapatkan tanda klinis antara
lain: hiperglikemia (sering melebihi 600 mg/dL), tanpa ketosis atau hanya ringan, asidosis nonketotik, dehidrasi yang berat, gangguan kesadaran yang berat, kejang, hemiparesis, refleks
Babinski positif, hipertemia, dan sering disertai napas Kussmaul (asidosis laktat). Osmolaritas
serum sering melebihi 350 mOsm/kg.11
KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, dan koma yang lain termasuk:
hipoglikemia, uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi
salisilat, ensefalitis, dan lesi intracranial.
Diagnosis KAD didasarkan atas adanya "trias biokimia" yakni: hiperglikemia, ketonemia, dan
asidosis. Kriteria diagnosis yang telah disepakati luas adalah sebagai berikut :
-

Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
Asidosis, bila pH darah < 7,3,
kadar bikarbonat < 15 mmol/L).

Penatalaksanaan
Non-Medika Mentosa

Tujuan pengobatan ialah mengembalikan anak kepada kesehatan dan pertmbuhan yang
mendekati normal. Hal yang penting ialah pertumbuhan dan perkembangannya dengan
memperhatikan kekuatan jasmani yang sebaiknya. Tidak boleh banyak berbeda dengan anak
normal. Diet makanan harus adekuat untuk pertumbuhan dan aktifitas normal dan cukup
mengenyangkan. Sebaliknya makanan tidak banya berbeda dengan makanan anak lain dan
disesuaikan dengan makanan keluarga. Walaupun sekarang bayak penganut diet bebas, ada
baiknya anak diberikan bimbingan. Diet bebas berarti bahwa anak boleh makan sesukanya pada
waktu makan, tetapi tidak boleh berlebihan dan harus menjauhkan diri dari makanan manis

(gula-gula dan lain-lain) dan makanan yang banyak mengandung karbohidrat. Prinsip diet ini
ialah:
a
b
c
d

Kalori cukup untuk pertumbuhan dan aktifitas.


Protein tidak kurang dari 2-3 gram/kkbb/hari.
40-50% daripada kalori terdiri dari karbohidrat.
Cukup vitamin dan mineral.

Seluruh keluarga sedapat-dapatnya ikut dalam diet ini. Penilaian terhadap diet seorang anak ialah
pertumbuhan dan cukup kenyangnya anak itu.
Medika Mentosa
Kesuksesan pengelolaan diabetes mellitus tipe 1 dengan penyulit ketoasidosis diabetic
membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi, hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan
monitoring selama perawatan. Pada kasus ringan sekalipun membutuh monitor yang intensif,
maka sebaiknya minimal perawatan adalah di ruangan yang bias dilakukan monitor intensif (high
care unit). Secara umum pemberian cairan adalah langkah awal penatalaksanaan KAD setelah
resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan ditunjukan untuk ekspansi cairan intraselular,
intravascular, interstisial, dan restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah kardiak atau
penyakit ginjal kronik berat, cairan salin isotonic (NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-20
cc/kg BB/jam pertama atau satu sampai satu setengah liter pada jam pertama. Tindak lanjut
cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik, status hidrasi, elektrolit,
dan produksi urin. Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan 24 jam, dan penggantian
cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda keton, dan perbaikan
asidosis6
Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin intravena kontiyu
lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan mudah dititrasi. Dari beberapa studi prostektif
dengan rekomendasi didapatkan bahwa pemberian insulin regular dosis rendah intravena
merupakan cara yang efektif dan terpilih. Jika insulin intravena yang diberikan sekitar 1.0-1.15
unit/jam, maka sebenarnya tidak diperlukan insulin bentuk bolus (priming dose) di awal. Dengan
pemberian insulin intravena dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan

kesepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai glikosa turun 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin
diturunkan menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah berada di sekitar 150-200
mg/dl maka pemberian infus dekstrose dianjurkan untuk menjegah hipoglikemia.6
Kalium
Sejatinya pasien KAD akan mengalami hiperglikemia melalui mekanisme asidemia, defisiensi
insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium pasien normal atau rendah, maka
sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pmberian
kalium yang adekuat karena terapi insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut. Monitor jantung
perlu dilakukan pada keadaan tersebut agar jangan terjadi aritmia. Untuk mencegah hypokalemia
maka pemberian kalium sudah dimulai manakala kadar kal;ium di sekitar batas atas nilai
normal.6
Bikarbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak direkomendasikan
diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari 6,9. Hanya saja pada ketoasidosis dengan
gangguan fungsi ginjal yang signifikan, sering kali sulit membedakan apakah asidosisnya karena
KAD atau karena gagal ginjalnya. Efek buruk dari dari koreksi bikarbonat yang tidak pada
tempatnya adalah meningkatnya risiko hypokalemia, menurunnya asupan oksigen jaringan,
edema serebri, dan asidosis susunan saraf pusat parakdosi.6
Fosfat
Meski terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering ditemukan dalam keadaan normal
atau meningkat saat awal. Kadar fosfat akan turun dengan pemberian insulin. Dari beberapa studi
tidak ditemukan manfaat yang nyata pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang
berlebihan akan mencetuskan hypokalsemia berat. Pada keadaan konsentrasi serum fosfat kurang
dari 1 mg/dl dan disertai dengan disfungsi kardiak, aritmia atau depresi nafas akibat kelemahan
otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan penting.6
Transisi Keinsulin Perkutan

Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian insulin intravena dosis rendah, maka
langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa KAD sudah memastikan bahwa KAD sudah
memasuki fase resolusi dengan kriteria gula darah kurang dari 200 mg/dl dan dua dari keadaan
berikut: serum bikarbonat lebih atau sama dengan 15 mEq/l, pH vena 7.3, dan anion gap hitung
kurang kurang atau sama dengan 12 mEq/l.6
Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka sebaiknya pengehntian insulin
intravena dilakuan 2 jam setelah suntikan subkutan pertama. Asupan nutrisi merupakan
merupakan pertimbangan penting saat transisi ke subkutan, jika pasien puasa karena sesuatu hal
atau asupan masih sangat kurang maka insulin intravena diteruskan.6
Jika pasien sudah terkontrol regimen insulin tertentu sebelum mengalami KAD, maka pemberian
insulin dapat diberikan ke regimen awal dengan dapat dipertimbangkan keregimen awal dengan
tetap mempertimbangkan kebutuhan insulin pada keadaan terakir. Pada pasien yang belum
pernah mendapatkan insulin maka pemberian insulin secara perkutan terbagi lebih dianjurkan.
Jika kebutuhan insulin masih tinggi maka regimen basal bolus akan lbih menyerupai insulin
fisiologi dengan resiko hipoglikemia yang lebih rendah.6

Komplikasi
Penyulit yang berkaitan dengan terapi KAD antara lain hipoglikemia, aspirasi isi
lambung, kelebihan pemberian cairan disertai gagal jantung kongestif, dan edema serebral. Tiga
penyulit pertama biasanya dapat dihindari asalkan semua aspek terapi yang dijelaskan di atas
diperhatikan dengan cermat. Hipoglikemia dihindari dengan pemantauan kadar glukosa di
bangsal secara cermat serta memakai cairan mengandung dekstrosa apabila kadar glukosa turun
di bawah 250 mg/dL. Aspirasi dihindari dengan memasang dan mempertahankan drainase selang
nasogastric pada penderita yang mengalami gangguan status mental atau gangguan neurologis.
Kelebihan pemberian cairan dihindari dengan memperhatikan petunjuk terapi cairan secara
cermat dan melakukan pemantauan yang ketat. namun, walaupun semua rincian terapi sudah
diperhatikan dengan cermat, anak KAD berat yang diterapi kadang-kadang meninggal akibat
memburuknya keadaan neurologis secara cepat dan tidak terduga yang disebabkan oleh edema
serebral. Kadang-kadang terjadi thrombosis, infark, atau perdarahan di dalam otak.

Edema serebral yang terjadi akibat penyulit dan terapi KAD terutama terjadi pada anak.
Insidensi edema serebral yang secara klinis bermakna sebenarnya rendah (sekita 1-2%), tetapi
prognosisnya buruk. Edema serebral masih menjadi penyebab utama kematian pada anak
diabetes, menyebabkan sekitar 31% kematian yang berkaitan dengan KAD dan 20 % dari seluruh
kematian pada anak dengan diabetes. Bukti radiologis edema serebral mungkin sudah ada sejak
awal perjalanan klinis KAD, sebelum terapi dimulai, dan pada pasien yang tidak memperlihatkan
gejala klinis peningkatan tekanan intrakranial yang nyata. Terlambatnya penegakkan diagnosis
tampaknya merupakan faktor utama penyebab kematian atau kecacatan yang disebabkan oleh
edema serebral pada anak dengan KAD.
Pencegahan
Dua faktor yang paling berperan pada timbulnya KAD adalah terapi insulin yang tidak adekuat
dan infeksi. Dari pengalaman di negara maju keduanya dapat diatasi dengan memberikan
hotline/akses yang mudah bagi penderita untuk mencapai fasilitas kesehatan, komunikasi yang
efektif antara petugas kesehatan dengan penderita dan keluarganya di saat sakit, serta edukasi.
Langkah-langkah pencegahan efektif yang dapat dilakukan pada penderita DM tipe-1 agar tidak
terjadi KAD adalah deteksi awal adanya dekompensasi metabolik dan penatalaksanaan yang
tepat.7 Hal praktis yang dapat dilakukan adalah:10
1

Menjamin agar jangan sampai terjadi defisiensi insulin (tidak menghentikan pemberian

2
3
4
5
6

insulin, manajemen insulin yang tepat disaat sakit).


Menghindari stres.
Menghindari puasa yang berkepanjangan.
Mencegah dehidrasi.
Mengobati infeksi secara adekuat.
Melakukan pemantauan kadar gula darah/keton secara mandiri.
Selain itu edukasi seperti di atas, beberapa studi melaporkan bahwa salah satu penyebab

penting KAD pada pasien dengan T1DM adalah penghentian insulin (67%). Alasan untuk
penghentian insulin diantaranya adalah permasalahan ekonomi (50%), kehilangan nafsu makan
(21%), masalah prilaku (14%) atau rendahnya pengetahuan manajemen hari sakit (14%). Oleh
karena penyebab paling umum dari penghentian insulin adalah alasan ekonomi, perbaikan
pelayanan kesehatan masyarakat dan akses pasien ke pengobatan adalah cara terbaik untuk

mengatasinya pada kelompok pasien ini.


Prognosis
KAD biasanya prognosis baik menuju sedang tergantung keparahan kondisinya. Prognosis dapat
diperbaiki dengan terapi cairan serta insulin yang adekuat, tepat, dan cepat. Pemantauan kondisi
fisik serta hal-hal lain juga turut andil dalam memperbaiki prognosis. KAD yang berat serta
ditunjang dengan terapi yang buruk tentu akan mempeburuk prognosis. Apalagi kalau sudah
pada tahap komplikasi KAD yaitu edema serebrum dimana angka kematian sekitar 31% dari
total KAD.
Kesimpulan
Ketoasidosis diabetes merupakan kasus kegawatdaruratan yang merupakan komplikasi
dari diabetes mellitus tipe 1. Pada ketoasidosis diabetes terjadi kegagalan metabolisme glukosa
sehingga badan keton meningkat dalam tubuh sehingga terjadi ketonemia. Pencetus keadaan ini
antara lain baru didiagnosis menderita diabetes tipe 1, tidak mendapat insulin secara sengaja atau
tidak disengaja, infeksi, pankreatitis, trauma, stress psikologis, dan emosi. Pada KAD, perlu
diberikan infus larutan isotonis ataupun Ringer laktat, lalu diberikan insulin. Setelah keadaan
asidosis tertangani, dapat dimonitor elektrolit dan kadar pH dalam darah. Secara umum, bila
tertangani, prognosis KAD baik.

Daftar Pustaka
1. Syahputr M. Diabetik Ketoacidosis. Medan: Bagian Biokimia Fakultas kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2003. hal 1-14.
2. Felner EI, White PC. Improving management of diabetic ketoacidosis in children.
Pediatrics 2001.h.108:735-40.
3. Santoso M. Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Yayasan Diabetes Indonesia. 2005.h.5-7.
4. Charles, YM Bee. Point of care ketone testing: screening for diabetic ketoacidosis at the
emergency department. Singapore Journal Medicine: 2007.
5. TM, Wallace, Mathews. Recent advances in the monitoring and management of diabetic
ketoacidosis. QJ Med: 2004.

6. A W.Sudoyo,B Setiyohadi,I Alwi,M Simadibrata,S Setiati.(eds). Ilmu Penyakit Dalam. 4th


ed.Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2006. 1874-80.

7. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph volume 3.
EGC:Jakarta.2007:1987-91
8. Harris GD, Fiordalisi I. Physiologic management of diabetic ketoacidemia: A 5-year
prospective pediatric experience in 231 episodes. Arch Pediatr Adolesc Med
1994;148:1046-52.
9. Jose RLB. Buku ajar endokrinologi anak. Jakarta: Sagung Seto;2010;hal. 124-161.
10. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson imu kesehatan anak.
EGC:Jakarta.2002.2012-3.
11. TM, Wallace, Mathews. Recent advances in the monitoring and management of diabetic
ketoacidosis. QJ Med: 2004.

Вам также может понравиться