Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
A
B
Fraktur
longitudinal
terjadi
pada
regio
temporoparietal
dan
melibatkan
bagian
squamousa pada os temporal, dinding superior
dari canalis acusticus externus dan tegmen
timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari
salah satu bagian anterior atau posterior
menuju cochlea dan labyrinthine capsule,
berakhir pada fossa Cranii media dekat
foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling
umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur
transversal dimulai dari foramen magnum dan
memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%).
Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua
fraktur longitudinal dan transversal.
gangguan
neurologis
dan
mungkin
memerlukan tindak lanjut medis yang lebih
jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur
cranium atau cedera penetrasi antara lain :
Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa
adanya trauma pada mata (panda eyes)
Adanya luka memar di belakang telinga
(Battles sign)
Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
Luka yang signifikan pada kulit kepala atau
tulang tengkorak.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan
neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin,
dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai
seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak),
pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan
radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan,
maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap
kurang
optimal.
Dengan
pengecualian untuk kasus-kasus tertentu
seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos
dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto
polos
maka
CT-scan
dianggap
lebih
menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak
tersedia, maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat.
Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view
dan
tangensial
terhadap
bagian
yang
mengalami benturan untuk menunjukkan
suatu fraktur depresi. Foto polos cranium
dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi
osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal.
Foto polos tulang belakang digunakan untuk
menilai
adanya
fraktur,
pembengkakan
jaringan lunak, deformitas tulang belakang,
dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas
standar untuk menunjang diagnosa fraktur
pada cranium. Potongan slice tipis pada bone
windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan
rekonstruksi sagital berguna dalam menilai
cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat
membantu untuk penilaian fraktur condylar
occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga
dimensi
tidak
diperlukan.
MRI (Magnetic Resonance Angiography) :
bernilai sebagai pemeriksaan penunjang
tambahan terutama untuk kecurigaan adanya
cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada
tulang jauh lebih baik diperiksa dengan
menggunakan CT scan. MRI memberikan
pencitraan jaringan lunak yang lebih baik
dibanding CT scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada
kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran
CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas
tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin
jernih pada tissu yang telah basah diluar dari
noda darah yang kemudian disebut suatu
halo atau ring sign. Suatu kebocoran CSF
juga dapat diketahui dengan menganalisa
kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin,
suatu polipeptida yang berperan dalam
transport ion Fe.
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur
basis Craniii antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
2. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen
b. CT-scan
dengan
teknik
bone
window untuk memperjelas garis
frakturnya.
c. MRI
(Magnetic
Resonance
Angiography)
d. Pemeriksaan arteriografi
DIAGNOSIS BANDING
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat
disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana
terjadi fraktur pada tulang-tulang yang
membentuk
dasar
orbita
(arcus
os
zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan
fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur
basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :
Kongenital
Ablasi tumor atau hidrosefalus
Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
Tindakan bedah
TERAPI
A. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii
terutama untuk mengatasi komplikasi yang
timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal,
infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.
a) Fistula cairan serebrospinal:
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang
subarachnoid
ke
ruang
extraarachnoid,
duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat
sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore
dan otore baru terlihat satu minggu setelah
terjadinya
trauma.Kebocoran
cairan
ini
membaik satu minggu setelah dilakukan terapi
konservatif.
Penatalaksanaan
secara
konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari
batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat.
Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia,
diuretic dan steroid.
Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan
fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor
melalui sinus frontal
(melalui pelat kribrosa
atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui
sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus.
Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa
tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba
Keuntungan
teknik ini adalah memiliki
lapangan pandang yang baik, angka kematian
yang rendah, tidak
terdapat anosmia dan
angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah dan tidak dapat
mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu
sulit menangani fistel pada sinus frontal dan
sfenoid.
Pendekatan bedah Sinus
endoskopi merupakan tehnik operasi yang
lebih disukai dengan angka keberhasilan yang
tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang
rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat
diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial
yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang
besar (>3mm) digunakan graft dari tulang
rawan dan tulang yang diletakkan dibawah
fistel dan dilapisi dengan flap local atau free
graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan
pandang yang jelas sehingga memberikan
lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat
dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa
memperbesar ukuran dan kerusakan dari
tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan
lebih akurat pada kerusakannya. (1)
Otore
Terjadi
bila tulang petrosa mengalami
fraktura,
duramater
dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta
membran timpanik
perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal,
berdasar
hubungannya terhadap aksis
memanjang dari piramid
petrosa; namun
kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien
dengan fraktura longitudinal tampil dengan
kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan
perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan
fraktura
transversal
umumnya memiliki
membran
timpanik
normal
dan
memperlihatkan
kehilangan
pendengaran
sensorineural
akibat
kerusakan
labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal
auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50
persen pasien. Fraktura longitudinal empat
cedera penetrasi
Setelah
menyelesaikan
resusitasi
cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan
fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor
tambahan dapat dipasang dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube
dapat dipasang kecuali pada pasien dengan
kecurigaan cedera nasal dan basis cranii,
sehingga lebih aman jika digunakan orogastric
tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak
adalah langkah berikut yang paling penting.
Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis
yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan
dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat
kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan
ekstremitas.
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasienpasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini
menunjukkan adanya benturan yang kuat dan
bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala
maka tidak diperlukan penanganan. Gejala
dari fraktur basis cranii seperti defisit
neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan
kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea).
Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan
elevasi kepala terhadap tempat tidur selama
beberapa hari walaupun kadang memerlukan
drain lumbal atau tindakan bedah repair
langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik
mencegah meningitis pada pasien-pasien
dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial
traumatik
umumnya
ditindaki
secara
konservatif. Steroid dapat membantu pada
paralisis nervus fasialis.
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus
frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang
pendengaran akibat fraktur basis cranii
longitudinal
tulang
temporal.
Mungkin
diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang
pendengaran lebih dari 3 bulan apabila
membran timpani tidak dapat sembuh sendiri.
Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten
setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini
memerlukan deteksi yang tepat mengenai
Hematom
epidural
merupakan
pengumpulan
darah
diantara
tengkorak
dengan duramater ( dikenal dengan istilah
hematom ekstradural ). Hematom jenis ini
biasanya berasal dari perdarahan arteriel
akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan
laserasi langsung atau robekan arteri-arteri
meningens ( a. Meningea media ). Fraktur
tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% 95%
kasus,
sedangkan
sisanya
(9%)
Trauma kepala
Sobekan a/v meningea mediana
Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
Ruptur v diplorica
kontralateral
peduncle
pada
permukaan
tentorial.
3. Anisokor pupil
Yaitu
pupil
ipsilateral
melebar.
Pada
perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada
permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi.pada
tahap
ahir,
kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil
kontralateral
juga
mengalami
pelebaran
sampai
akhirnya
kedua
pupil
tidak
menunjukkan
reaksi
cahaya
lagi
yang
merupakan tanda kematian.
e. Terapi
Hematom epidural adalah tindakan
pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan
mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase
selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
f.
1
Komplikasi
Hematom epidural dapat memberikan
komplikasi :
Edema serebri, merupakan keadaan-gejala
patologis, radiologis, maupun tampilan
ntra-operatif
dimana
keadaan
ini
mempunyai
peranan
yang
sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak
(brain shift) dan peningkatan tekanan
intracranial
Kompresi batang otak meninggal
a. Definisi
c. Klasifikasi
1. Perdarahan akut
e. Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran
hematom subdural tidak begitu hebat deperti
kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada
effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan
manisfestasi
dari
peninggian
tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual,
muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan
defisit neurologis lainnya.kadang kala yang
riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga
tumor otak.
a. Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini
adalah
kraniotomi
evakuasi
hematom
secepatnya dengan irigasi via burr-hole.
Khusus pada penderita hematom subdural
kronis usia tua dimana biasanya mempunyai
kapsul hematom yang tebal dan jaringan
memberikan
Sedangakan
outcome
untuk
subdural
hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut
sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar
50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar
20%-50%.
INTRASEREBRAL HEMATOM
a. Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam
jaringan otak. Hematom intraserbral pasca
traumatik merupkan koleksi darah fokal yang
biasanya diakibatkan cedera regangan atau
robekan
rasional
terhadap
pembuluhpembuluh darahintraparenkimal otak atau
kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran
hematom
ini
bervariasi
dari
beberapa
milimeter sampai beberapa centimeter dan
dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral
hematom
mengacu
pada
hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam
substansi otak (hemoragi yang lebih kecil
dinamakan punctate atau petechial /bercak).
menurut
d. Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90%
berlokasi di frontotemporal atau di daerah
ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi
neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
e. Gejala klinis dan diagnosis
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering
(30%-50%)
tetap
sadar,
mirip
dengan
hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi
klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari
pasca cedera, namun dengan adanya scan
computer tomografi otak
diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial:
1)
Kehilangan
kemampuan
untuk
mengkoordinasi gerakan halus
2) Kehilangan kemampuan berjalan
3) Ketidakmampuan meraih obyek
4) Bergetar (tremors)
5) Sakit kepala (vertigo)
6) Ketidakmampuan membuat gerakan cepat
c. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan
beratnya.
i.
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS
14 15.
Pasien sadar, menuruti perintah tapi
disorientasi.
Tidak ada kehilangan kesadaran
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat
terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan
pusing
Pasien
dapat
menderita
laserasi,
hematoma kulit kepala
Tidak adanya criteria cedera kepala
sedang-berat
ii.
Cedera kepala sedang dengan nilai
GCS 9 13.
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti
perintah, namun tidak memberi respon
yang sesuai dengan pernyataan yang di
berikan.
a). Amnesia paska trauma
b). Muntah
c). Tanda kemungkinan fraktur cranium
(tanda
Battle,
mata
rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea
cairan serebro spinal)
d). Kejang
iii.
Cedera kepala berat dengan nilai GCS
sama atau kurang dari 8.
a).
Penurunan
kesadaran
secara
progresif
b). Tanda neorologis fokal
c). Cedera
kepala
penetrasi
atau
teraba fraktur depresi cranium
TATALAKSANA
Terapi non-operatif pada pasien cedera
kranioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak
serta mencegah kemungkinan terjadinya
tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak
(cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)
Penderita
mengalami
penurunan
kesadaran
sesaat
setelah
trauma
kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien
ini
kemungkinan
mengalami
cedera
kranioserebral ringan (CKR).
Tatalaksana
pasien
dengan
penurunan
kesadaran
Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka,
foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai
terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam
di rumah sakit untuk menilai kemungkinan
hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid
interval,
nyeri
kepala,
muntah-muntah,
kesadaran
menurun,
dan
gejala-gejala
lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis
positif).
Jika
dicurigai
ada
hematoma,
dilakukan CT scan.
Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)
Urutan tindakan:
b. Periksa dan atasi gangguan jalan napas
(Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi (Circulation)
c. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil,
tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal
dan atau tulang ekstremitas lakukan
fiksasi leher dengan pemasangan kerah
leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas
bersangkutan
d. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian
tubuh lainnya
e. CT scan otak bila dicurigai ada
hematoma intrakranial
f. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil,
dan defisit fokal serebral lainnya.
Cedera kepala berat (SKG 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai
cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila
ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan
dengan
balut
tekan
untuk
4. MM Trias Cushing
Semua respon jaringan terhadap trauma
adalah pembengkakan dan perdarahan. Begiu
pula dengan brain tissue. Tapi tidak seperti
bagian lainnya ditubuh, dikarenakan restriksi
fisikal dari cranial sehingga pembengkakan
pun terbatasi. Ketika mulai membengkak,
maka akan mengisi kekosongan yang dapat
diisi sehingga tekanan intrakranial akan
meningkat. Normal ICP adalah 5-15 mmHG.
ETIOLOGI
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan
fraktur maksilofasial itu dapat terjadi, seperti
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja ,
kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat
peperangan dan juga sebagai akibat dari
tindakan
kekerasan.
Tetapi
penyebab
terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.
KLASIFIKASI
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri
terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur
kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus
- arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar,
fraktur mandibula dan fraktur maksila yang
terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu
kesatuan tunggal atau bergabung dengan
fraktur fraktur Le Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam
jenis fraktur transverses rahang atas melalui
lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas
lantai sinus maksilaris, dan meluas ke
posterior yang melibatkan pterygoid plate.
KLASIFIKASI
Fraktur hidung dapat dibedakan menurut :
1. Lokasi : tulang nasal (os nasale),
septum nasi, ala nasi, dan tulang rawan
triangularis.
2. Arah datangnya trauma :
- Dari lateral : kekuatan terbatas dapat
menyebabkan fraktur impresi dari salah
satu tulang nasal. Pukulan lebih besar
mematahkan kedua belah tulang nasal
dan septum nasi dengan akibat terjadi
deviasi yang tampak dari luar.
- Dari frontal : cederanya bisa terbatas
hanya sampai bagian distal hidung atau
kedua tulang nasal bisa patah dengan
akibat tulang hidung jadi pesek dan
melebar. Bahkan kerangka hidung luar
dapat terdesak ke dalam dengan akibat
cedera pada kompleks etmoid.
- Datang dari arah kaudal : relatif jarang.
Jenis fraktur nasal meliputi :
1. fraktur nasal sederhana,
2. fraktur pada prosessus frontalis maksila,
3. fraktur
nasal
dengan
pergeseran
kartilago nasi,
4. fraktur dengan keluarnya kartilago
septum dari sulkusnya di vomer,
5. fraktur kominutiva pada vomer, dan
6. fraktur pada tulang ethmoid sehingga
CSS mengalir dari hidung.1,13
Fraktur hidung sederhana
Jika hanya terjadi fraktur tulang hidung
saja dapat dilakukan reposisi fraktur dengan
analgesia lokal. Akan tetapi pada anak-anak
atau orang dewasa yang tidak kooperatif
tindakan reposisi dilakukan dalam keadaan
narkose umum.
Analgesia lokal dapat dilakukan dengan
pemasangan tampon lidokain 1-2% yang
dicampur dengan epinefrin 1: 1000. Tampon
kapas yang berisi obat analgesia lokal ini
dipasang masing-masing 3 buah pada setiap
lubang hidung. Tampon pertama diletakkan
menit.
Kadang
kadang
diperlukan
penambahan penyemprotan oxymethazoline
spray beberapa kali, melalui rinoskopi anterior
untuk memperoleh efek anestesi dan efek
vasokonstriksi yang baik.
Fraktur nasal kominunitiva
Fraktur nasal dengan fragmentasi tulang
hidung ditandai dengan batang hidung
nampak rata (pesek); tulang hidung mungkin
dinaikkan ke posisi yang aman tetapi beberapa
fragmen tulang tetap hilang. Bidai digunakan
untuk memindahkan fragmen tulang ke posisi
yang sebenarnya. Untuk tujuan tersebut
beberapa kasa vaselin dimasukkan ke dalam
lubang hidung.
Fraktur tulang hidung terbuka
Fraktur
tulang
hidung
terbuka
menyebabkan perubahan tempat dari tulang
hidung tersebut yang juga disertai laserasi
pada kulit atau mukoperiosteum rongga
hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit
dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau
direkonstruksi pada saat tindakan.
Fraktur
kompleks
tulang
nasoorbitoetmoid
kehilangan
kesadaran
mungkin
terjadi
kerusakan pada susunan saraf otak sehingga
memerlukan bantuan seorang ahli bedah saraf
otak. Konsultasi kepada seorang ahli mata
diperlukan untuk mengevaluasi kemungkinan
terdapatnya kelainan pada mata. Pemeriksaan
penunjang radiologic berupa CT scan (axial
dan koronal) diperlukan pada kasus ini.
Kavum nasi dan lasernasi harus dibersihkan
dan diperiksa kemungkinan terjadinya fistul
cairan serebro spinal. Integritas tendon kantus
media harus dievaluasi, untuk ini diperlukan
konsultasi dengan ahli mata. Klasifikasi
nasoorbitetmoid kompleks tipe I mengenai
satu sisi noncommunited fragmen sentral
tanpa robeknya tendo kantus media. Tipe II,
mengenai fragmen sentral tanpa robeknya
tendo kantus media. Tipe III mengenai
kerusakan fragmen sentral berat dengan
robeknya tendo kantus media.
Seorang ahli bedah maksilofasial harus
mengenal organ yang rusak pada daerah
tersebut
untuk
melakukan
tindakan
rekonstruksi dengan cara menyambung tulang
yang patah sehingga mendapatkan hasil yang
memuaskan.
Fraktur
nasoorbitetmoid
kompleks ini seringkali tidak dapat diperbaiki
dengan cara sederhana menggunakan tampon
hidung atau fiksasi dari luar. Apabila terjadi
kerusakan
duktus
naso-lakrimalis
akan
menyebabkan air mata selalu keluar. Tindakan
ini memerlukan penanganan yang lebih hatihati dan teliti. Rekonstruksi dilakukan dengan
menggunakan kawat (stainless steel) atau
plate & screw. Pada fraktur tersebut di atas,
memerlukan tindakan rekonstruksi kantus
media.
Manifestasi Klinis
Tanda yang mendukung terjadinya fraktur
tulang hidung dapat berupa :
a) Depresi atau pergeseran tulang
tulang hidung.
b) Terasa lembut saat menyentuh hidung.
Gambar 8:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
PENATALAKSANAAN
Tujuan Penangananan Fraktur Hidung :
Mengembalikan
penampilan
secara
memuaskan
Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
Menempatkan kembali septum pada garis
tengah
Menjaga keutuhan rongga hidung
Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi
septum, retraksi kolumela, perubahan bentuk
punggung hidung
Mencegah gangguan pertumbuhan hidung
KONSERVATIF
Penatalaksanaan
fraktur
nasal
berdasarkan atas gejala klinis, perubahan
fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu
pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal
dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk
mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien
dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol
dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika
tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi
balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi
ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat
kasa
tipis
merupakan
prosedur
untuk
mengontrol
perdarahan
setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan
dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan
berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi
es pada hidungnya dan kepala sedikit
2.
3.
4.
5.
6.