Вы находитесь на странице: 1из 12

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Usaha budidaya telah dilakukan untuk mendapatkan hasil produksi


tananaman yang lebih baik dibandingkan sekedar mengambil dari hutan. Seiring
berjalannya waktu teknik budidaya kian berkembang dan mampu memaksimalkan
penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya di sekitar. Salah satu teknik yang
diterapkan yaitu pola tanam. Menurut Francis (1989) pola tanam adalah
pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun waktu tertentu. Pola
tanam merupakan bagian atau sub sistem dari sistem budidaya tanaman, maka dari
sistem budidaya tanaman ini dapat dikembangkan satu atau lebih sistem pola
tanam.
Pola tanam yang umum digunakan yaitu pola tanam mono dan multiple
cropping. Monokultur merupakan pola tanam denan membudidayakan hanya satu
jenis tanaman dalam satu lahan pertanian selama satu tahun. Sedangkan pola
tanam multiple cropping yaitu suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada
lahan dalam waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan
tanaman. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis
tanaman yang relatif seumur. Kedua jenis pola tanam tersebut didasarkan pada
ketersediaan sumberdaya juga permintaan pasar (Jumin,2002).
Praktikum ini dilaksanakan di lahan percobaan fakultas pertanian universitas
Jenderal Soedirman pada bulan Maret hingga Mei 2016. Jenis tanaman yang
diujikan adalah kedelai dan jagung, baik secara mono maupun multiple cropping.

Variabel yang diamati dari praktikum ini yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, bobot
buah, jumlah buah juga panjang tongkol jagung.
B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dan produksi
tanaman yang ditanam dengan sistem mono dan multiple cropping dan
membandingkan dengan Land Equivalency Ratio (LER).

II.

METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan

Alat yang dibutuhkan untuk melaksanakan praktikum ini antara lain adalah
cangkul, kored, light intensity meter, thermohygrometer, mistar, timbangan dan
ember. Sedangkan bahan yang dibutuhkan yaitu benih kedelai, benih jagung
manis, pupuk NPK, pupuk urea dan pupuk SP-36.
B. Prosedur Kerja
Untuk mengetahui pengaruh pola tanam terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman dapat dilakukan beberapa kegiatan, yaitu sebagai berikut :
1. Lahan pertanaman disiapkan sejumlah perlakuan yaitu 9 kombinasi diulang
3 kali, ada 27 petak. Dibuat 3 unit percobaan sehingga total ada 81 petak
percobaan dengan ukuran 2 m2 x 3 m2.
2. Benih jagung ditanam dengan jarak 25 cm x 55 cm, dan 1 benih untuk 1
lubang tanam.
3. Perlakuan yang diberikan terdiri atas 2 faktor, yaitu:
Faktor 1 (Sistem tanam)
I1 : mono cropping jagung manis
I2 : mono cropping kacang kedelai
I3 : multiple cropping jagung manis dan kacang kedelai
Faktor 2 (Dosis pupuk)
P1 : tanpa pemupukan
P2 : 50% dosis pupuk rekomendasi (N dan P)
P3 : 100% dosis pupuk rekomendasi (N dan P)
4. Tanaman diberi pupuk sesuai rekomendasi.
5. Tanaman dipelihara sesuai kebutuhan seperti pengendalian OPT, kebutuhan
air dan penyiangan gulma.
6. Karakter morfologi tanaman seperti tinggi tanaman dan jumlah daun
diamati.

7. Pengamatan lain dilakukan seperti pengamatan terhadap intensitas cahaya,


suhu dan kelembaban.
8. Hasil panen diamati saat panen dilaksanakan, yaitu jumlah biji, jumlah
tongkol, bobot buah dan panjang tongkol.
9. LER dihitung dengan rumus:
LER=(intercrop jagung/monocrop jagung)+(intercrop kedelai/monocrop
kedelai)
10. Seluruh hasil pengamatan morfologi dan hasil dianalisis dengan metode
statistik, faktor iklim digunakan sebagai data pendukung.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil

(Hasil terlampir).
B. Pembahasan
Tumpangsari (Intercropping) merupakan penanaman yang dilakukan lebih
dari 1 tanaman dengan umur tanaman yang sama atau berbeda. Contohnya seperti
tumpangsari yang memiliki umur tanaman yang sama seperti jagung dan kedelai,
tumpangsari yang memiliki umur tanaman yang berbeda seperti jagung, ketela

pohon, padi gogo. Menurut Thahir (1999), tumpangsari adalah penanaman lebih
dari satu tanaman pada waktu yang bersamaan atau selama periode tanam pada
satu tempat yang sama. Beberapa keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain
pemanfaatan lahan kosong disela-sela tanaman pokok, peningkatan produksi total
persatuan luas karena lebih efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur hara,
disamping dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan
gulma
Keuntungan dari sistem pertanaman tumpangsari yaitu:
1. Mencegah dan mengurangi pengangguran musim
2. Memperbaiki keseimbangan gizi masyarakat petani
3. Adanya pengolahan tanah yang minimal
4. Jika tanaman tumpang sari berhasil semua, masih dapat diperoleh
nilai tambah
5. Mengurangi erosi dan jika salah satu tanaman gagal panen, dapat
diperoleh tanaman yang satu lagi (Hanum,2008).
Salah satu jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai tanaman sela pada
tanaman jagung adalah tanaman kedelai. Tanaman jagung dan kedelai
memungkinkan untuk ditumpangsari karena tanaman jagung menghendaki
nitrogen tinggi, sementara kedelai dapat memfiksasi nitrogen dari udara bebas
sehingga kekurangan nitrogen pada jagung terpenuhi oleh kelebihan nitrogen
pada kedelai. Jagung dan kedelai yang ditanam secara tumpang sari akan terjadi
kompetisi dalam memperebutkan unsur hara, air dan sinar matahari. Sehingga

pengaturan sistem tanam dan pemberian pupuk sangat penting untuk mengurangi
terjadinya kompetisi tersebut (Abidin, 1991).
Monocropping adalah penanaman yang dilakukan hanya dengan
menggunakan satu tanaman saja. Misalnya sawah ditanami padi saja, jagung saja,
atau kedelai saja. Tujuan sistem penanaman monocropping adalah untuk
meningkatkan hasil pertanian (Gomez, 2007). Penanaman monocropping
menyebabkan terbentuknya lingkungan pertanian yang kurang baik. Buktinya
tanah yang digunakan harus diolah, dipupuk dan disemprot dengan insektisida.
Jika tidak, tanaman pertanian mudah terserang hama dan penyakit. Jika tanaman
pertanian terserang hama, maka dalam waktu cepat hama itu akan menyerang
wilayah yang luas petani tidak dapat panen karena tanamannya terserang hama.
Kelebihan sistem ini yaitu teknis budidayanya relatif mudah karena tanaman yang
ditanam maupun yang dipelihara hanya satu jenis. Di sisi lain, kelemahan sistem
ini adalah tanaman relatif mudah terserang hama maupun penyakit.
Tanaman yang ditanam secara tumpangsari sebaiknya mempunyai umur
atau periode pertumbuhan yang tidak sama, karena mempunyai perbedaan
kebutuhan terhadap faktor lingkungan seperti air, kelembaban, cahaya dan unsur
hara tanaman, karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedua
tanaman tersebut (Frina dkk, 2000). Sistem pertanaman intercropping dan
monocropping memiliki perbedaan yang dapat dihitung dengan Land Equivalent
Ratio (LER). LER merupakan perbandingan perbedaan hasil antara sistem
pertanaman intercropping dengan sistem pertanaman monocropping. Hasil yang

dihitung pada LER adalah bobot tanaman pada kedua sistem pertanaman tersebut.
Cara menghitung LER adalah sebagai berikut:
LER =

Hx
Hy

Keterangan

Dx
Dy

: Hx = Hasil tanaman tumpangsari jagung

: Hy = Hasil tanaman monokultur jagung


: Dx = Hasil tanaman tumpangsari kedelai
: Dy = Hasil tanaman monokultur kedelai
LER berdasarkan produktifitas berdasarkan bobot jelas tongkol untuk
jagung dan polong untuk kedelai :
LER
=

Hx
Hy

2273.87
2151.57

Dx
Dy

163.37
241.22

= 1,057 + 0,67
= 1,727
LER digunakan untuk menghitung perbandingan antara bobot tanaman
dari sitem pertanaman intercropping dan monocropping (Sitompul,1995). Hasil
praktikum kali ini didapatkan hasil tanaman tumpangsari jagung adalah 2273,87;
bobot hasil monokultur jagung sebesar 2151,57; bobot hasil tumpangsari kedelai
sebesar 163,37; dan bobot hasil monokultur kedelai sebesar 241,22. Bobot jagung
yang dihitung berupa bobot rata-rata bobot tongkol dan bobot klobot. Bobot
kedelai yang dihitung berupa rata-rata bobot polong dan jumlah polong. Hasil
LER menunjukkan angka 1,727, atau lebih dari 1 sehingga terbukti bahwa sistem
pertanaman intercropping lebih menguntungkan daripada sistem pertanaman

monocropping. Menurut Rinaldi (2013), sistem pertanaman intercropping lebih


baik daripada sistem pertanaman monoccropping. Tanaman yang ditanam pada
sistem pertanaman intercropping dapat menaikkan hasil produktivitas suatu
tanaman, mengurangi gejala serangan hama dan penyakit, dan juga dapat
menyuburkan tanah.
Kedelai dan jagung yang ditanam secara tumpangsari akan membentuk
kompetisi dalam memperebutkan unsur hara, air dan sinar matahari. Sehingga
pengaturan populasi dan pengaturan selang waktu tanam penting untuk
mengurangi terjadinya kompetisi tersebut (Subhan,1989). Diantara faktor iklim
yang penting dan langsung mempengaruhi dalam pola tanam ganda terutama
faktor cahaya, sebab tanaman kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap
intensitas cahaya. Menurut beberapa hasil penelitian seperti yang dilakukan Jumin
(2010), produksi jagung maupun kedelai akan turun apabila tanaman tersebut
ternaungi. Penundaan saat tanam 10 hari setelah jagung dengan populasi 40.000
tanaman per hektar dapat menurunkan hasil 67%. Selain itu pertumbuhan
populasi tiga kedelai dan satu jagung menunjukkan pertumbuhan kedelai yang
meningkat tetapi menekan pertumbuhan jagung. Populasi dan saat tanam sangat
penting pada sistem tanaman ganda, terutama pada tanaman yang peka terhadap
naungan. Untuk mengurangi pengaruh tersebut, waktu tanam dan populasi kedelai
dan jagung perlu diatur agar pada periode kritis dari suatu pertumbuhan terhadap
persaingan dapat ditekan.
Tanaman kedelai termasuk tanaman yang membutuhkan sinar matahari
penuh. Intensitas cahaya dan lama penaungan mempengaruhi pertumbuhan dan

hasil kedelai. Penurunan intensitas cahaya menjadi 40% sejak perkecambahan


mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong
dan hasil biji serta kadar protein. Tanaman kedelai yang dinaungi atau
ditumpangsarikan akan mengalami penurunan hasil 6-52% pada tumpangsari
kedelai dan jagung dan 2-56% pada tingkat naungan 33% (Asadi, dkk. 2007).
Jenis komoditas yang dihasilkan beragam, hemat pemakaian sarana
produksi dan resiko kegagalan dapat diperkecil, memperkecil erosi, bahkan cara
ini berhasil mempertahankan kesuburan tanah. Keuntungan agronomis dari
pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dievaluasi dengan cara menghitung nisbah
kesetaraan lahan. Nisbah kesetaraan lahan > 1 berarti menguntungkan.
Produktivitas lahan pada sistem tumpangsari dihitung berdasarkan nisbah
kesetaraan lahan (NKL). Tanaman yang saling menguntungkan maka nilai NKL
didapat lebih dari satu. Apabila salah satu spesies tanaman tertekan (tidak saling
menguntungkan) maka nilai NKL kurang dari satu (Frina, dkk. 2000).
Analisis yang dilakukan memberikan beberapa hasil, pada tanaman jagung
dapat diamati bahwa perlakuan pupuk P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang tongkol. Namun memiliki
pengaruh nyata terhadap bobot tongkol yang mana P3 merupakan perlakuan yang
paling baik. Perlakuan sistem tanam monocroping dan multiplecropping tidang
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot tongkol dan
panjang tongkol. Interaksi antara perlakuan pupuk dan sistem tanam tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, bobot tongkol dan panjang tongkol.

10

Namun memiliki pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, yaitu pada interaksi
perlakuan sistem tanam multiplecroping dan perlakuan pupuk P3.
Selain pada tanaman jagung, analisis juga dilakukan pada tanaman kedelai.
Hasilnya adalah perlakuan pupuk P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman,jumlah daun, bobot polong dan jumlah polong. Perlakuan sistem
tanam monocropping dan multiplecropping tidak berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman dan jumlah daun. Namun berpengaruh nyata terhadap bobot
polong dan jumlah polong. Juga kenyataan bahwa interaksi perlakuan pupuk dan
sistem tanam tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman,jumlah daun,
bobot polong dan jumlah polong.

IV.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum disimpulkan bahwa pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung dan kedelai dalam sistem tumpangsari terbaik pada pola tanam
Tumpangsari Jagung/Kedelai dan dosis pupuk P3 dengan LER 1,727
menunjukkan nilai besar dari pada 1 yang berarti sistem tumpangsari lebih
menguntungkan dari pada sistem monokultur.
B. SARAN

11

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, saran yang dapat diberikan


adalah mungkin dapat dibuat sistem satu lahan satu kelompok dalam satu
rombongan, agar memudahkan praktikan dan tidak terjadi kesalah pahaman dalam
praktikan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1991. Pengujian Waktu Tanam Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) dan
Pemupukan TSP pada Sistem Tumpangsari dengan Tanaman Jagung (Zea
mays L.) . Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Asadi, D. M. Arsyad. H. Zahara dan Darmijati, 2007. Pemuliaan Kedelai Untuk
Toleran Naungan dan Tumpang sari. Buletin Agrobio 1 (2) : 15 20.
Francis. C.A. 1989. Biological Efficiencies in Multiple Cropping System in
Advances in Agronomy. vol.42. Acad press, New york.

12

Frina. M. S. Ratna. A. W. Farida. Z 2000. Pengaruh Populasi terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Yang Ditumpangsarikan dengan Jagung.
Universitas Sri Wijaya, Sumatera Selatan.
Gomez, A.A. dan K. A. Gomez. 2007. Multiple Cropping in the Humid Tropic of
Asia. Terjemahan. Andalas Press, Padang
Hanum, Chairani. 2008. Teknik Budidaya Tanaman. Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta.
Jumin, H. B. 2002. Agronomi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Jumini. 2010. Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan pada Sistem Tumpangsari
Beberapa Varietas Jagung Manis dengan Kacang Merah terhadap
Pertumbuhan dan Hasil. Jurnal Agrovorista vol.14 no 1.
Rinaldi. 2013. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L.) yang
Ditumpangsarikan dengan Kedelai (Glycine max L.). Jurnal. Universitas
Tamansiswa Padang, Padang
Sitompul, S. M. & B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Subhan. 1989. Pengaruh Jarak Tanam dan Pemupukan Fospat terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Kacang Jogo (Phasealus Vulgaris. L). Bull. Penel.
Horti.VIII.2. Lembang. 12 hal.
Thahir. 1999. Tumpang Gilir. PCU Yasaguna, Jakarta.

13

Вам также может понравиться