Вы находитесь на странице: 1из 5

ANALISIS NOVEL MENURUT PENDEKATAN MIMETIK

Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode Karya Sumiman Udu

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Analisis teori mimetik pada novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu
merupakan penerapan teori mimetik dalam karya sastra. Teori mimetik merupakan teori yang
lahir bersamaan dengan masa kejayaan filsuf Yunani. Orang yang berpengaruh dalam lahirnya
teori ini adalah Plato dan Aristoteles. Plato yang merupakan guru dari Aristoteles. Meskipun
guru dan murid, keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Plato memandang karya sastra
sesuatu yang memiliki nilai yang lebih rendah dari krya tukang kayu. Sementara Aristoles
memandang karya sastra sebagai nilai yang lebih tinggi daripada karya tukang kayu. Definisi
mimetik dapat diterangkan dari kutipan, sebagai berikaut:
Mimetik berasal dari bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik
sastra mimetik diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya
sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan
pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal
filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan
(Roverts,2007:12).

B.

Sinopsis Novel
Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode merupakan novel antrologis yang ditulis berdasarkan
penelitian bertahun-tahun pada kebudayaan Wakatobi-Buton. Novel ini merupakan rekaman
dari dinamika kebudayaan Wakaobi-Buton selama ini.
Disajikan dalam kisah cinta dua orang anak manusia (Amalia Ode) dengan Imam yang penuh
dengan lika-liku adat, pelarangan, pelanggaran, hingga sebuah permintaan yang berakhir
dengan kehilangan jiwa (Amalia Ode). Mimpi pertemuan dengan seorang mahasiswa yang
memanggilnya ibu, telah memaksa Amalia Ode untuk tetap mempertahankan cintanya. Ia
bertahan sampai ia melahirkan anaknya. Perkawinannya dengan La Ode Halimu, menyadarkan
La Ode Halimu bahwa perkawinan bukan hanya dilandasi oleh adat dan budaya, tetapi harus
dilandasi dengan cinta dan kasih sayang. Jabatangan bukan hanya sebagai ritua, tetapi lebih dari
itu.
Patah hati yang menimpa hati seorang lelaki yang memang rapuh, membuat Imam mengalihkan
seluruh cintanya untuk menuntut pendidikan sebagai bentuk pemberontakan pada budayanya,
budaya ode yang masih dianggap sebagai darah biru oleh masyrakat Buton, sementara Imam
menyadari bahwa Ode adalah bentuk kreativitas yang diberikan oleh budaya bagi mereka yang
berkarya.

Kaehadiran Anastasia yang dididik jauh berbeda dengan ibunya Amalia Ode, telah memberikan
karakter yang jauh berbeda. Anastasia, perempuan unlimitid telah membuat Anastasia tampil
sebagai perempuan yang penuh dengan kebebasan, tetapi selalu bertanggung jawab atas semua
yang dilakukannya. Perempuan yang pasti berbeda dengan perempuan kebanyakan dalam
kebudayaannya.
Pertemuannya dengan Dr. Imam dalam sebuah perkuliahan , mengingatkan kembali Imam pada
cinta yang selama ini mengubur segala cintanya.
Sebuah kisah cinta heroik, perjuangan, perhianatan, kebebasan, keterkungkungan, tersajikan
dalam alur cerita cinta. Tentunya pembaca harus membaca bukunya langsung baru dapat
merasakan apa yang dialami oleh tokoh-tokoh yang ada dalam novel.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Mimetik
Jika kita bebicara teori mimetik, kita tidak dapat terlepas dari pengaruh dua orangfilsuf
besar Yunan, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato menganggap bahwa karya seni berada di

bawah keyataan karena beupa tiruandari tiruan yang meniru keadaan. Sementara,
Aristoteles sebagai murid Plato berbeda bpendapat. Aristoteles menganggap karya seni adalah
berada di atas kenyataan karena karya seni sebagai katalisator untuk menyucikan jiwa manusia.
Menurut Abrams (1976). Pendekatan mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif.
Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles . Menurut Plato, dasar

pertimbangannya adalah dunia pemgalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakii
kenyataan yang sesugguhnya, melainkan sebgai seniruan. Secara hierarkis denga demikian
karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristotelesdengan
argumentasi bahwa karya seni berusaha meyucikan jiwa manusia, sebagai karthasis. Di
samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri (Ratna, 2011:70)
Pandangan Plato mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya konsep ide-ide
yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangna mengenai seni. Plato mengaggap ide
yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak
berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat
diketahui melalui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat dengan pancaindra. Ide bagi
Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya ide mengenai bentuk segitiga,
ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu
bisa berubah (Barthens, 1979:13)
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang
rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republik bagian kesepuluh.
Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya karena menganggap seniman
dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu
dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimetik yang dilakukan oleh seniman
dan satrawan hanya akan menghasilkan khayalan dan tetap jauh dari kebenaran. Seluruh
barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari ide, sehingga
barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai
barang tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair.
Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari, dan yang lain sebagainya mampu
menghadirkan ide kedalam bentuk yang dapat disentuh pancaindra (seperti yang dihasilkan
tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiblak dari jiblakan (Luxemberg, 1989:16).
Menurut Plato mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi
sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik yang
dilakukan oleh seniman dan satrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap
dunia ide (Teew,1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa senidan sastra hanya
mengacu pada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah seperti yang telah
disebutkan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan seni nafsu karena lebih
cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew,1984:221).
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang
berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan
bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles
justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa sesuatu yang dapat meninggikan akal
budi. Bila Aristoteles memandang seni sebagai karthasis, penyucian terhadap jiwa. Karya

seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekawatiran dan khas kasihan yang hadap
membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya (Teew, 1989:221).
Aristoteles meganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidaksemata-mata
menjiplak kenyataan, melaikan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan.
Seniman dan satrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang
diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakan bahwa
sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan melainkan suatu
ungkapan mengenai universalia (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang
menampakkan diri kacau balau seorang seniman penyair memilih memilih beberapa unsur
untuk kemudian diciptakan kebali menjadi kodrat manusia abadi, kebenaran yang
universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan dengan keras berpendapat bahwa
seniman dan satrawan jauh lebih tinggi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya
(Luxemberg,1989:17).
Pandangan positif Aristoteles terhadai seni mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya
terhadap ada dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai
kenyataan. Jika Plato menganggap ide manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato
beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat beruba, Aristoteles justru mengatakan
bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda
jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan kedalam dua kategori. Bentuk adalah wujud suatu
hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain
bentuk dan materi adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979:13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aistoteles saat ini telah ditransformasikan
kedalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai perkembangan
didalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik
saat ini telah dipengaruhi saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan oleh pandangan
Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu
pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap
ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks
sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, teapi
mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan
indrawi dapat disentuh dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemburg,1989:18).
Konsep mimetik zamana reanaissance tersebut kemudian tergeser pada zaman romantic.
Aliran romantic justru memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil, dan tidak masuk
akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi,
tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan
sesuatu dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan
bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan
itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia
(Luxemburg,1989:18).
Bab III
PEMBAHASAN
A. Analisis novel di bawah bayang-bayang ode menurut pendekatan mimetik
Analisis pendekatan mimetik pada novel di bawah bayang-bayang ode karya
Sumiman Udu disusun berdasarkan sistematika pembahasan yaitu: 1) identifikasi aspek

sosial dalam novel di bawah bayang-bayang ode karya Sumiman Udu, 2) analisis
aspek sosial dalam novel di bawah bayang-bayang ode karya Sumiman Udu, 3)
membuktikan aspek sosial sebagai bentuk peniruan dari kehidupan nyata dalam novel
di bawah bayang-bayang ode karya Sumiman Udu, 4) menganalisis aspek sosial
dalam novel di bawah bayang-bayang ode karya Sumiman Udu yang dihubugkan
dengan dunia nyata.
Dalam novel di bawah bayang-bayang ode karya Sumiman Udu dapat ditemukan
masalah-masalah sosial. Novel ini menceritakan bagaimana tradisi perjodohan yang
masih dipegang kukuh oleh sebuah keluarga yang menginginkan gelar ode dalam
keluarganya tidak hilang. Adapun masalah-masalah sosial antara lain:
1) Pemikiran bahwa pendidikan tidak begitu penting bagi seorang anak, karena mereka
mempercayai bahwa anak lahir sudah membawa rejekinya masing-masing. Terbukti
dari kutipan halaman 14 berikut kalau di kampung ini, tak ada yang sekolah, jangan
kau heran! Sebab mereka pikir, sekolah juga akhirnya uang dan anak. Hidup kan
untuk punya keturunan. Tiap anak itu bawa keturunan
2) Kehidupan orang-orang kampung yang sudah dirasuki pemikiran kapitalisme.
Terbukti dari kutipan halaman 14 kapitalisme sudah merasuki pikiran orang-orang
kampungku.....
3) Di mana orang-orang yang bergelar Ode yang merasa sebagai bangsawan dan terus
memakaai gelar tersebut. Berbeda dengan leluhur yang menganggap bahwa gelar
ode diberikan untuk orang yang berjasa, bukan orang yang berdarah biru. Terbukti
dari kutipan halaman 17 .....mereka merasa sebagai bangsawan. Tetapi leluhurmu
tidak setuju dengan gelar bangsawan. ......., adat Buton hanya memberikan gelar ode
untuk orang yang berjasa, bukan untuk orang yang berdarah biru
4) Peikiran bahwa ada orang yang tidak bergelar ode yang menikah dengan orang yang
bergelar ode akan merusak keturunan ode. Terbukti dari kutipan halaman 19 kau
adalah orang yang tak bergelar ode berani melamar perempuan ode. Amalia ode
tak akan direstui keluarganya. Itu akan merusak keturunannya saja.
5) Hubungan yang didasari dengan paksaan tetap saja akan melahirkan sebuah
kebencian. Terbukti dari kutipan halaman 36 aku tak pernah setuju bertunangan
dengan kau. Aku dipaksa....... Lia memaki lelaki gemuk pendek itu,....
6) Masih bnayak guru yang melakukan nepotisme, sehimgga seorang anak meskipun
pintar tidak akan meraih juara jika dia tidak memiliki keluarga seorang guru.
Terbukti dari kutupan berikut

Вам также может понравиться