Вы находитесь на странице: 1из 8

MAKALAH TENTANG QADARIYAH

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

AMILIA PRISTIKA
APRIYANI
ATIQAH NABILAH SABRI
KELAS: XI IPS 1

MAN 4 MEDAN
TP. 2016/2017

ALIRAN QADARIYAH
A.

Pengertian Aliran Qadariah

Qadariah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Sedangkan pengertian menurut terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa
segala tindakan manusia tidak terintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut , dapat di fahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran ynag memberi penekanan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
B.

Asal-usul Kemunculan Aliran Qadariyah


Aliran qadariyah mula-mula timbul pada tahun 70 H/689 M. tokoh utama Qadariyah

adalah Mabad Al Juhni Al Bisri dan Jaad bin Dirham dan Ghailan Al-Dimasyqi, Pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M). Kedua tokoh inilah yang pertama
kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya Mabad al-juhani berguru dengan al-Bisri,
sebagaiman Washil bin Atha tokoh pendiri Muktazilah. Jadi Mabad termasuk tabiin atau
generasi kedua setelah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus, ia seorang ahli
pidato sehingga banyak orang yang tertarik engan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi
maulana Ustman bin Affan. Kedua tokoh qadariyah ini amti terbunuh. Mabad al-juahni mati
terbunuh dalam pertempuran maelawan Hajjaj tahun 80 H. ia terlibat dalam dunia politik dengan
mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman al-Asyats, menentang kekuasaan Bani Umayyah.
Sedangkan Ghailan al- Dimasyqi di hukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul
Malik (105-125H/724-743M), khalifah dinasti Umayyah kesepuluh.hukuman bunuh atas Ghailan
dilakukan karena ia terus menyebar luaskan faham qadariyah yang dianggap membahayakan
pemerintah. Ghailan gigih menyebar luaskan faham qadariyah di Damaskus sehingga mendapat
tekanan dari khalifah umar bin Abdul Aziz (717-720M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan
tetap melakukan aktivitasnya hingga umar wafat diganti oleh Yazid II (720-724M). Baru pada
masa pemerintahan Hiyam bin Abdul Malik (724-743M) kegiatan Ghailan terhenti dengan
eksekusi hukuman mati yang di jatuhkan kepadanya.

Latar belakang timbulnya qadariah ini sebagai Isyarat menentang kebijakan politik Bani
Umayyah yang di anggapnya kejam . Apabila fikroh Jabariah beependapat bahwa khalifah Bani
Umayyah membunuh orang , hal itu karena sudah di takdirkan Allah dan hal ini berarti
merupakan topeng kekejaman Bani Umayyah, maka fikroh qadariah mau membatasi qadar
tersebut.
Mereka mengatakakan bahwa Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang
bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam
dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika
Allah itu telah menentukan lebih dahulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Karena itu
manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbutannya. Manusia harus mempunyai
kebebasan berkehendak . Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib
manusia itu hanyalah tergantung pada qadar Allah saja, selamat atau celaka seseorang itu
ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesaat. Sebab pendapat tersebut
berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggap-Nya pula yang menjadi sebab
terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan.
C.

Pendapat-Pendapat Aliran Qadariah


Pemuka Mazhab ini adalah Ghailan Al-Dimisqi. Dia di kenal sebagai sebagai seorang

yang alim , mengutamakan hidup zuhud dan takwa serta giat berdakwah mengajak orang
mukmin untuk berpegang kepada akidah yang benar : Allah Maha Esa dan Mahaadil.
Dalam masalah ke Tuhanan, ia menafikan sifat-sifat maani yang lima itu yaitu lmu,
qudrah, iradah, hayah, sama, bashar dan kalam. Dia menafsirkan sifat-sifat ini sebagai identik
dengan dzat, bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat.
Adapun tentang Iman, ia mengatakan bahwa iman itu adalah makrifah serta mengakui
dengan lisan adanya Allah dan Rasul-Nya. Yakni dengan hati dan lisan saja, sedangkan amalan
itu bukan dari iman. Amalan menduduki tempat kedua setelah iman. Artinya apabila seseorang
telah menyatakan imannya dengan pengakuan hati dan ucapan lisan, maka dia tidak lagi
sesudahnya untuk beramal seperti shalat, puasa dan sebagainya melainkan dengan penangguhan
karena iman itu sendiri tidak rusak karenanya.
Tentang politik ia mengatakan bahwa khalifah atau imam itu boleh dilantik dari selain
kaum Quraisy selagi ia mampu menjalankan Al-Quran dan Sunnah Nabi.

Adapun pendapat yang khas sehingga karena itu golongan ini di sebut Qadariah adalah
pendapatnya tentang kedudukan manusia di atas Bumi. Golongan ini mengatakan bahwa
manusia mempunyai iradah yang bebas dan kuasa penuh dalam menentukan amal perbuatan
yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan.Jika
amalnya baik, balasannya juga baik, dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib
manusia di tentukan oleh manusia sendiri dan Tuhan tidak ada kuasa campur tangan dalam hal
tersebut.
Menurut Dr. Ahmad amin dalam kitabnya Farjul Islam halaman 297/298, pokok-pokok
ajaran Qadariyah itu adalah:
1.

Orang yng berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin tapi fasik dan orang fasik itu
masuk neraka secara kekal.

2.

Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Mansuia sendirilah kata mereka,
yang menciptakan segala amal perbuatannya dan karena itulah maka manusia akan
menerima balasan baik (surga) atas segala amalnya yang baik, dan menerima balasan buruk
( siksa neraka ) atas segala amal perbuatan yang salah dan dosa karena itu pula maka Allah
SWT berhak di sebut adil.

3.

Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau Satu dalam arti bahwa Allah tidak
memiliki sifat-sifat azali, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan
dengan zat-Nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT itu mengetahui, berkuasa, hidup,
mendengar dan melihat dengan Dzat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas
dzat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim itu
menurut qadariyah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal Allah
itu satu dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan.

4.

Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik
dan mana ynga tidak baik, walaupun Allah tida menurunkan Agama. Sebab menurutnya
segala sesuatu ada memiliki sifat yang dapat menyebabkan baik atau buruk. Misalnya, benar
itu memiliki sifat-sifat sendiri yang menyebabkan baik, dan juga sebaliknya ialah bohong itu
memiliki sifat sendiri yang menyebabkan buruk. Oleh karena itulah maka semua orang yang
berakal sama-sama menganggap baik atas perbuatan menyantuni fakir miskin dan
menyelamatkan orang yang tenggelam dan semua menganggap buruk terhadap perbuatan
kufur (tidak berterimakasih) atas kebaikan yang di terima dan memberikan makanan kepada

semua orang kaya yang tidak membutuhkan bantuan, walaupun hal itu semua tidak di
ajarkan oleh agama.
Kita tahu ketika faham qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang islam
yang bukan berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan kegoncangan dalam
pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap bertentangan dengan ajaran islam.
Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham qadariyah ini dapat kita lihat dalam haditshadits mengenai qadariyah umpamanya:

Artinya:
Kaum qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam arti golongan yang tersesat.
Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau freewill dalam AlQuran sebagia
sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam? Kalau kita kembali kepada Al-Quran akan
kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham qadariyah dan sebaliknya
pula kan kita jumpai yang boleh membawa kepada faham jabariyah.
Ayat yang boleh membawa kepada faham qadariyah adalah:

Artinya:
Tuhan tidak merobah apa yang ada pada sesuatu bangsa, sehingga mereka merobah apa yang ada
pada diri mereka.
Melihat pada ayat seperti yang tersebut di atas, tidak mengherankan kalau faham qadariah,
sungguhpun penganjur-pengajurnya yang pertama telah meninggal dunia, masih tetap terdapat
di dalam kalangan umat islam.[6]
Tokoh-toko pendiri Aliran Qadariyah
Tokoh- tokoh aliran Qadariah
1. Mabad Al-Jauhani (Ma;bad adalah seorang tabai yang dapat dipercaya dan pernah
berguru pada Hasan Al-Basri)
2. Ghailan Ad-Dimasyqy (Ghalian adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan
ayahnya menjadi maula Usman bin Affan)

D. Ajaran (Doktrin) Aliran Qadariyah


Aliran Qadariyah ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak dalam
perbuatannya. Manusia sebagai pelaku dalam perbuatan baik dan buruk, iman, kufur, dan taat
atau maksiat. Mereka juga berpendapat kebaikan atau perbuatan yang baik datang dari Allah,
sedangkan perbuatan jahat datang dari manusia itu sendiri.
Pendapat Ghaylan yang berkenaan dengan iman tidak jauh berbeda dengan aliran Murjiah,
yang menyatakan iman itu tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Oleh karena itu,
manusia sebaiknya tidak boleh mengaku paling utama dalam beriman. Dalam masalah sifat Allah
sama dengan aliran Mutazilah yang menafikan sifat-sifat Allah, seperti ilmu, qadrah dan lainlain. Ia berpendapat sifat-sifat itu adalah zat itu sendiri. Pada masalah Alquran, aliran ini
berpendapat bahwa Alquran itu makhluq, maka tidak bersifat qadim. Sementara itu dalam
masalah imamah, tidaklah hanya orang Quraisy yang berhak menjadi pemimpin selama
berpegang pada Alquran dan Sunnah serta mendapat dukungan umat.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok
ajaran Qadariyah itu adalah:
a.

Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasik dan orang
fasik itu masuk neraka secara kekal. Pendapat mereka itu seperti timbul sesudah terjadi
pembunuhan Khalifah Utsman, perang unta antara Khalifah Ali dan Siti Aisyah janda
Nabi saw. dan perang Shiffa antara Khalifah Ali dan Muwiyah yang menyebabkan banyak
orang bertanya : Siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu.
Sesudah itu mereka bertanya apakah yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua
peristiwa peperangan itu menjadi kafir atau masih tetap mukmin?
Pertanyaan itu oleh Kaum Khawarij dijawab bahwa orang yang melakukan dosa
besar itu menjadi kafir. Sebaliknya kaum Murjiah mengatakan, bahwa orang yang
melakukan dosa besar itu tetap mukmin. Sedangkan Washil bin Atha, seorang tokoh
Qadariyah menyatakan bahwa yang melakukan dosa besar itu fasik dan kedudukannya
antara kafir dan mukmin, tapi kata Atha, orang yang melakukan dosa besar itu kekal
dalam neraka.

b.

Allah swt tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah kata mereka
yang menciptakan segala amal perbuatannya dan karena itulah manusia akan menerima
balasan baik (surga) atas segala amalnya yang baik, dan menerima balasan buruk (siksa

neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula Allah swt
berhak disebut adil.
Boleh jadi pendapat mereka itu dipengaruhi oleh pendapat Jaham bin Shafwan yang
ekstrim yang menyatakan sebaliknya yaitu bahwa tidak ada bedanya dengan batu yang
menerima apa saja yang berlaku atas dirinya. Menurut keterangan Washil bin Atha telah
mengutus beberapa anak muridnya datang ke Khurusan untuk bertukar pikiran atu berdebat
dengan Jaham bin Shafwan.
c.

Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau satu dalam arti bahwa Allah
tidak memiliki sifat-sifat azaly, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang
bukan dengan zat-Nya sendiri. Menurut mereka Allah swt itu mengetahui, berkuasa, hidup,
mendengar dan melihat dengan zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas
zat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim itu,
menurut Qadariyah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal
Allah itu satu dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan. Mungkin
sekali yang menyebabkan mereka berpendapat demikian itu adalah karena pada zaman
mereka banyak orang yang menganggap bahwa zat Allah swt itu jasmani dan tidak
memiliki sifat-sifat yang sama dengan sifat-siafat makhluk, antara lain ialah Mutazil bin
Sulaiaman yang hidup sezaman dengan tokoh Qadariyah.

d.

Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang
baik dan mana yang tidak baik, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya
segala sesuatu memiliki sifat yang menyebabakannya baik atau buruk. Misalnya, benar itu
memiliki sifat-sifat sendiri yang menyebabkannya baik, dan sebaliknya ialah bohong itu
juga memiliki sifat sendiri yang menyebabkannya buruk. Oleh karena itulah maka semua
orang yang berakal sama-sama menganggap baik atas perbuatan menyantuni fakir miskin
dan menyelamatkan orang yang tenggelam dan semua menganggap buruk terhadap
perbuatan kufur (tidak berterima kasih) atas kebaikan yang diterima dan memberikan
makanan kepada semua orang kaya yang tidak membutuhkan bantuan, walaupun hal itu
semua tidak diajarkan oleh agama. Bahkan orang yang mulhid (tidak berTuhan) pun begitu
anggapannya. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi buruk karena larangannya.
Agama pun tidak bisa membuat sesuatu menjadi terbalik, seperti yang baik menjadi buruk
karena dilarangnya atau yang buruk menjadi baik karena diperintahnya. Bahkan perintah

atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala sesuatu. Artinya, kalau sesuatu itu
buruk tentu agama melarangnya, dan kalau sesuatu itu baik tentu saja agama akan
memerintahkannya. Aliran Qadariyah muncul mula-mula di Basrah, lalu tersebar luas di
seluruh Irak atas prakasa Washli bin Atha dan Amr bin Ubaid pada tahun 105 H atau
tahun 723 M.

Вам также может понравиться