Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Getar dering telepon terdengar kembali di telingaku. Kali ini bukan orang dalam departemen
yang menelepon, melainkan Bupati Ogan Komering Ulu yang terpampang dalam tampilan telepon yang
terbenam dalam epidermis kulit tangan kananku.
Pak Menteri, mohon izin melaporkan, badai pasir parah kembali terjadi di Ogan Komering Ulu.
Kali ini parah sekali, pak, 26 dari 31 distrik terserang dan lumpuh total, sisanya tidak bisa beraktivitas
dengan baik. Bapak Gubernur Negara Bagian Sumatera Selatan Barat sudah tidak bisa dihubungi, pak,
sekretarisnya berkata beliau mengungsi di Tumasik, seru suara di seberang yang langsung merayap di
gendang telingaku. Aku bisa mendengar nada kelelahan dan putus asa yang keluar dari tenggorokan kering
sang bupati.
Baiklah, maksimalkan potensi yang dimiliki BPBD Kabupaten untuk menangani wilayah
terdampak dan korban badai pasir. Tri Departemen Bencana Kehutanan; Departemen Keanekaragaman
Hayati Hutan, Departemen Kenegaraan untuk Lingkungan dan Sumber Daya Alam, dan Departemen
Penanganan Bencana Nasional segera berkoordinasi untuk penanganan masalah ini secepatnya, balasku.
Dadaku berdegup makin kencang, suaranya melebihi kencangnya suara jet Srikandi yang suka
sekali melintasi atap gedung departemenku. Entah sudah berapa ratus laporan yang kuterima minggu ini dari
734 kabupaten di 47 negara bagian yang mengabarkan betapa buruknya bencana di kabupaten-kabupaten
mereka. Parahnya lagi, kebanyakan dari gubernur negara bagian malah memilih mengungsi ke luar negeri,
ada yang ke Tumasik, Pegu, Hindustan, dan bahkan ke Sinatibeta yang jauh dan dingin. Uang melimpah dan
kedudukan tinggi membuat mereka tak sudi susah-susah membantu rakyat negara bagiannya menghadapi
bencana badai pasir. Tahi memang...
Lima tahun terakhir merupakan tahun-tahun terburuk dalam sejarah kehutanan dan lingkungan
hidup Indonesia. Sang zamrud khatulistiwa, kini tak ada lagi hutannya. Desertifikasi parah melingkupi bumi
Nusantara. Hutan hujan tropika Borneo dan Andalas hampir tak tersisa lagi. Vegetasi paling baik di kedua
nusa hanyalah padang rumput yang hijaunya hanya setengah tahun, setengah tahun sisanya hanyalah rumput
kering yang tidak mengenakkan mata, yang masih terdapat di Pasai bagian utara yang masih terdampak
hujan muson yang tak seberapa. Wilayah-wilayah lainnya tak lain hanya tersisa gurun pasir panas nan tandus
yang membakar kulit. Gundukan-gundukan bukit pasir menggunung di antara pencakar-pencakar langit yang
dengan sombongnya ingin menguasai troposfer dengan baja dan kaca dinginnya. Padahal, lima ratus tahun
yang lalu, hutan Indonesia ketika bentuk negara ini masih republik kesatuan, masih sehijau karpet Istiqlal
yang diimpor dari Turkistan dan Jermania Raya, masih selebat gerombolan mobil-mobil Ford-Ferrari di
Timika, dan masih sevital paru-paru dunia di Negara Bagian Brasilia di Republik Astek Bersatu dan di
Republik Konakri di Guinea, Afrika. Teori terbaru menyatakan bahwa rusaknya vegetasi hutan di Indonesia
disebabkan oleh paparan sinar zeta yang dipancarkan oleh sirkosatelit yang menyelubungi Bumi, yang dapat
merusak jaringan kambium dalam tumbuhan. Sirkosatelit ini berfungsi untuk menyebarkan sinyal
1
komunikasi ke pelosok Bumi tanpa adanya perbedaan kekuatan sinyal di masing-masing tempat. Walaupun
aku tahu bahwa teori ini hanyalah teori pembelaan dari para perusak lingkungan yang perbuatannya tidak
mau disalahkan dan melimpahkannya ke sirkosatelit.
Badai pasir yang tak pernah terbayangkan oleh rakyat Nusantara sebelumnya, kini menjadi hal
lumrah di Indonesia. Hanya Nusa Nugini yang tidak merasakan pedihnya badai pasir karena hutan hujan
tropikanya masih cukup lebat dan fenomena penggurunan tidak terjadi di nusa ini. Badai pasir berkelanjutan
juga telah membuat lautan Indonesia tak aman dilalui lagi, karena kapten kapal jelas tak mungkin bisa
melihat apapun dalam jarak 50 meter di depan dan gesekan partikel debu juga jelas tak aman bagi badan
kapal berkecepatan suara. Pesawat sipil tak pernah berani lagi menggesekkan roda-roda agungnya di stasiun
udara Indonesia. Hanya aeropteron, wahana terbang serupa helikopter di jaman dulu, yang terbang dengan
embusan angin tanpa baling-baling, yang berani mendarat di atmosfer buruk Indonesia. Indonesia sudah
layaknya negeri mati, negeri usang, negeri kedaluarsa.
***
Sepulang dari kantor departemen, aku segera disambut oleh senyum bidadariku yang
menyambutku dengan kehangatan cintanya. Dua pangeran dan putri kecilku juga terlihat bergembira melihat
ayahnya pulang dari kesibukan bekerjanya. Walaupun mereka memakai masker penutup mulut yang
berbentuk seperti belalai gajah, aku tetap bisa melihat raut muka bahagia terpancar dari wajah mereka.
Ayah, kenapa badai pasirnya makin parah, sih? tanya putraku, terlihat wajah kebingungan dari
tatapan matanya. Aku rasa ia telah sedikit memahami permasalahan negara yang berkali-kali muncul dalam
berita di situs web portal berita maupun di proyeksi okulavisi di matanya.
Ya, itu akibat dari manusia yang serakah, nak, tidak mau merawat lingkungan dengan baik,
jawabku. Aku melihat raut mukanya sedikit berubah, tapi aku yakin kebingungannya belum terjawab dengan
baik.
Jadi kalau manusia mau merawat lingkungan dengan baik, badai pasir nggak akan ada lagi,
ya? tanyanya lagi. Aku menjawab dengan penjelasan yang agak panjang untuk memuaskan hatinya,
Mungkin saja. Kalau saja dulu orang-orang di Indonesia mau merawat hutan dengan baik, tidak
menggundulinya, tidak merusaknya, badai pasir parah seperti sekarang tidak akan terjadi di bumi
khatulistiwa kita. Dulu, Indonesia itu sangat hijau, nak, bahkan sampai dijuluki zamrud khatulistiwa oleh
dunia internasional. Belanda yang enam ratus tahun lalu menjajah kita, sampai menjuluki kita sebagai negeri
gordel van smaragd atau sabuk batu zamrud, karena hijaunya negeri kita. Namun sekarang apa? Kita
dijuluki The Sandy Equatorial Country, Negara Khatulistiwa yang Berpasir. Kita berkali-kali jadi bahan
pembicaraan dalam sidang-sidang Persatuan Negara Dunia tentang iklim. Negara kita sudah buruk citranya,
nak.
Anakku terdiam. Mungkin ia mulai merasakan ratapan kesedihan yang dirasakan satu setengah
milyar penduduk Republik Federasi Indonesia Serikat, akibat badai pasir yang memporak-porandakan
negerinya.
2
***
Di balik segala derita bencana badai pasir, hal yang paling memberatkan batinku adalah tugas
dan tanggung jawabku sebagai Menteri Penanganan Bencana Nasional. Seorang ahli ilmu lingkungan
dengan spesialisasi ilmu tanah dan kebencanaan lulusan Republik Jepang dan Austria-Jermania Raya
diangkat menjadi menteri kebencanaan di negeri penuh bencana. Tapi masih lebih beruntung diriku daripada
kawanku yang satu universitas sewaktu berada di Okinawa, seorang ahli ilmu lingkungan yang mengambil
spesialisasi ekologi hutan dan vegetasi tropis, yang gaji perbulannya di Jepang sama dengan harga satu
helikar Mercedes, diangkat sebagai Menteri Keanekaragaman Hayati Hutan di negeri tanpa hutan tersisa.
Kawan menteriku ini, bersama Menteri Kenegaraan untuk Lingkungan dan Sumber Daya Alam, adalah
menteri yang berkali-kali disalahkan atas rusaknya lingkungan Indonesia. Mereka berdua dituntut untuk
mengembalikan keadaan lingkungan dan khususnya hutan di Indonesia ke keadaan ratusan tahun yang lalu.
Tentu saja mereka bukan Tuhan, bukan dewa, dan bukan jin botol yang bisa mengabulkan permohonan
dengan jentikan jari tangan.
Makin hari, tampilan hologram berwarna-warni di meja kantorku makin tak bisa membuatku
sumringah. Area terarsir merah di peta, yang menandakan wilayah terdampak bencana nomor satu nasional
yaitu badai pasir, makin meluas saja. Tak ada bedanya dengan Republik Islam Sulawesi dan Kerajaan
Bersatu Bali, Lombok, dan Sumbawa yang sama-sama tak berkutik menghadapi gelombang desertifikasi
yang menggila. Borneo, Andalas, dan Yawa sudah seperti Gurun Sahara dari citra satelit inframerah. Saking
parahnya pasir yang bertahta di langit Nusantara, hanya satelit yang dibekali sensor inframerah dan gama
yang bisa memetakan wilayah Indonesia.
***
Hari ini aku baru saja menyelesaikan tugas-tugasku. Pengadaan sarana dan prasarana untuk
bencana nasional badai pasir yang diselenggarakan tanpa proyek sudah semua kutandatangani. Nota-nota
perintah harian untuk tiap kepala negara bagian mengenai keadaan bencana di wilayahnya sudah kusebar
lewat surat elektronik. Data-data citra satelit juga telah diserahkan oleh timku kepada badan kebencanaan di
tiap negara bagian, kabupaten, kotamadya, hingga distrik. Surat-surat rekomendasi juga telah terkirimkan ke
tiap instansi terkait yang berurusan dengan bencana badai pasir. Ah, akhirnya aku bisa beristirahat.
Aku duduk bersantai di kursi santaiku ketika aku melihat tanda pemberitahuan di mataku.
Kulihat tanda nota kepresidenan langsung dari sang kepala negara, dengan lambang negara garuda, ditujukan
padaku. Segera kubaca dan kupahami dengan seksama. Presiden ternyata meminta saran mengenai
penanganan khusus badai pasir parah di ibu kota yang menurut beliau segera akan terjadi menurut citra
satelit milik Ketsaran Rusia yang hanya dapat diakses kepala negara. Aku mengangguk paham. Tapi, segera
perhatianku teralihkan. Badai pasir di ibu kota? Parah? Apakah presiden tidak salah informasi?
3
Tiba-tiba terdengar pekik suara sirene yang menjalari gedung departemen, mencekik syaraf
pendengaranku. Aku segera mengetahui bahwa badai pasir parah menyerang ibu kota. Belum sempat aku
berlari mengikuti jalur evakuasi, balok karbon komposit yang kurasa dari bingkai jendela sudah menimpa
dahiku. Keras sekali hingga darah segar menjalari wajahku. Serpihan-serpihan pintu dari aloi habila-platina
ku lihat melayang-layang di udara karena ringannya. Dentuman terdengar lagi, kali ini pecahan aluminium
dan kristal safir dari kaca sudah mendarat di kulit kaki kiriku. Luka menganga merobek kulitku. Darah
mengucur deras tak tertahankan. Kehabisan darah, aku pingsan seketika.
***
Aku siuman. Tapi tak kurasakan rasa sakit sekalipun. Rasanya aku bukan siuman, tapi terbangun
dari tidur yang amat sangat nyenyak. Kudengar bel bangun tidur masih terdengar, bersamaan dengan
ketukan tongkat pamong graha yang menyeruak ke seisi graha. Le, bangun, le. Sudah bel bangun itu, lho,
teriak bapak pamong graha membangunkan malam tenang kami. Aku perhatikan kakiku masih utuh, tiada
goresan kecil saja terlihat. Aku juga tak nampak sebagai seorang menteri dewasa. Aku masih melihat tulisan
besar SMA TN berwarna biru di sprei kasurku. Aku hanya bermimpi.
Aloi
Atmosfer
Distrik
Epidermis
Ekologi
Hologram
Hujan muson
kekerasan berlian
Satelit
: alat komunikasi buatan dengan penggunaan tertentu dan mengorbit Bumi
Sinar gama : sinar dengan gelombang tertentu yang biasa digunakan untuk mengiradiasi
Troposfer
: lapisan terbawah atmosfer Bumi dengan ketebalan 8-16 km
Vegetasi
: jenis tutupan lahan berupa tumbuhan di daerah tertentu
Istilah fiktif :
Aeropteron
: wahana transportasi massal dengan bentuk menyerupai helikopter masa kini namun
tidak memiliki baling-baling. Bekerja dengan semprotan angin bertekanan tinggi dari sepasang mesin
berinti nuklir dan dapat menampung 70-an penumpang dan 20 ton muatan barang (aero: udara,
pteron: sayap).
Habila
: logam dari atom habila yang dikenal dengan kelenturan, kekuatan, dan daya
adaptasinya yang di atas rata-rata logam. Atom ini ditemukan pada tahun 2243 oleh seorang ilmuwan
Hindustan bernama Rahul Abishkek dan dinamai dari istilah Latin, habilis yang berarti lentur atau
langsing.
Helikar
mobil. Pertama diproduksi oleh pabrik pesawat Embraer di Brasil. Berasal dari kata helicopter-car.
Sinar zeta
: sinar radiasi yang dipancarkan oleh sirkosatelit, dikabarkan dapat merusak sel-sel di
jaringan kambium tumbuhan dan jaringan di insang ikan, terutama ikan laut. Memiliki panjang
gelombang 10-23 meter dan dikenal karena kemampuannya memecah gelombang ultraviolet.
Entitas administratif fiktif :
Hindustan
Hindustan di anak benua India bagian timur. Terbentuk melalui gerakan revolusi Virodhee Nav
Lombok, dan Kerajaan Sumbawa. Memisahkan diri dari Republik Federasi Indonesia Serikat melalui
Perjanjian Nusa Penida pada tahun 2333. Memiliki basis kerajaan Muslim dan Hindu dan gelar Raja
Bangsa, Persatuan Negara di Semesta Alam Raya, dan Organisasi Liberalisasi Dunia.
Pegu
: Nama lama dari wilayah Burma bagian selatan. Negara pecahan Myanmar
yang wilayahnya meliputi wilayah ini menggunakan nama resmi Republik Rakyat Demokratik Pegu.
Dikenal dengan industri hi-end-nya yang mengalahkan Republik Jepang dan Uni Korea-Manchuria.
Rep. Astek Bersatu : Sebuah republik kesatuan yang wilayahnya meliputi seluruh Amerika Selatan
dari Brasil hingga Cile. Dibentuk setelah Konferensi Tiera del Fuego pada tahun 2200 menetapkan
seluruh negara di Amerika Selatan, kecuali Suriname dan Bolivia yang tidak sepakat, bersepakat
distrik di sekitarnya. Terbentuk pada tahun 2098 melalui Perang Hutan Tropis Merah (2070-2098).
Sinatibeta
: Kerajaan yang berada di Tiongkok barat dan Tibet. Bermula dari tidak
berlanjutnya kekuasaan Dalai Lama dalam lingkungan sosio-religius Tibet dan sikap Tiongkok yang
6
melepaskan Tibet dari teritorinya, mendesak Gampo Tibet pada masa itu, Gampo Calanayang,
penggunaannya oleh Ong Ken Yam setelah Singapura mengadopsi sistem republik presidensiil.
Turkistan
: Sebuah republik yang terbentuk setelah Turki menguasai Suriah dan Lebanon
melalui Perang Empat Puluh Tahun (2240-2280). Memiliki paham Islamisme namun mentolerir
liberalisme dan westernisme menurut batas tertentu dalam konstitusinya.