Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
OLEH
OLEH
FRIDUS KOA
2131000430015
2131000430032
213100043
FRANSISKUS DARMO
213100043
PKI itu
dikenal
PKI madiun.
menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI,
Masyumi dan NU.
Tampaknya PKI berkeinginan merebut kekuasaan melalui parlemen pada
masa Demokrasi Terpimpin. Disamping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan
diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia.
Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan
kader-kader diberbgai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga
berusaha
mempengaruhi
presiden
Soekarno
untuk
menyingkirkan
dan
Kolonel Sunardi dari TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dari TNI-AU dan
Kolonel Anwar dari kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 september 1965, pimpinan PKI telah
beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah
dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Melalui serangkaian pertemuan itu,
pimpinan PKI menetapkan bahwa Gerakan 30 september 1965 secara fisik
dilakukan dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Kolonel Untung,
Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden) yang
bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari gerakan 30 september 1965, Letnan Kolonel Untung
mengambil suatu keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan
untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 oktober 1965. Pada dini hari itu,
mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam
perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para perwira
Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya dibunuh. Mereka dibawah ke lubang
buaya, yaitu satu tempat yang terletak disebelah selatan pangkalan udara utama
halim perdana kusuma. Selanjutnya para korban dimasukan kedalam satu sumur
tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh korban dari TNIAngkatan Darat adalah sebagai berikut:
1. Letnan Jendral Ahmad Yani (menteri / panglima Angkatan Darat atau Men
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pangad.)
Mayor Jendral R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
Mayor Jendral Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
Mayor Jendral Suwondo Parman (Asisten I Pangad).
Brigadir Jendral Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).
Letnan satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H.Nasution)
Ketika terjadi penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi
target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun,
putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dari
kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasution yang
bernama Letnan satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan
korban lainnya adalah pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun. Ia gugur pada
saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik
Jenderal A.H. Nasution.
Pada waktu bersamaan, G30S/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan
kekuasaan di Yogyakarta, solo, wonogiri dan semarang. Selanjutnya gerakan
tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1
oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu
dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi di daerah
Yogyakarta di ketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka telah melakukan penculikan
terhadap kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono. Kedua perwira TNI-AD
ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa kentungan yang terletak di sebelah
utara kota Yogyakarta.
Versi resmi Angkatan Darat dan versi pemerintah orde baru mengatakan
bahwa G-30 S didalangi oleh D.N Aidit dan Biro khusus PKI. Itulah
sebabnya, mereka menggunakan istilah baku G-30-S/PKI karena
menganggapnya sebagai suatu kesatuan. Mengapa PKI ingin merebut
kekuasaan melalui jalan pintas? Alasan logis yang di kemukakan versi
resmi orde baru, PKI tidak ingin di dahului oleh AD. Namun beberapa
kalangan
intelektual
yang
kritis
meragukan
alasan
tersebut.
menurut mereka, PKI toh sudah berada diatas angin dalam peta politik
Indonesia. Tanpa kudeta, di perkirakan PKI bisa berkuasa pada awal
dekade 70-an melalui pemilihan umum. Jadi, mereka menyimpulkan
bahwa gerakan 30 september didalangi oleh tentara guna menciptakan
keseimbangan politik baru yang menguntungkan pihak tentara. Mereka
yang percaya pada versi ini kemudian menulis dan menerbitkan berbagai
buku yang menyimpulkan bahwa mayjen soeharto adalah otak dibalik
II.
gerakan.
Adalagi yang berpendapat, presiden soekarno adalah dalang G-30 S karena
dialah yang memberi instruksi kepada pasukan cakrabirawa untuk
mengamankan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang dianggap tidak
loyal. Kebenaran mengenai instruksi itu pun sangat kabur. Menurut versi
ini, presiden memberikan instruksi pengamanan, namun pelaksanaannya di
lapangan menjadi lepas kendali, dan jenderal-jenderal yang semula akan
diamankan dan dihadapkan
hidup atau mati? diduga, orang itu adalah sjam kamaruzzaman, toko
misterius yang keberadaannya sulit dilacak, yang bertugas menyusup
ketubuh militer maupun PKI. Sulit diketahui apakah sjam adalah kader
PKI yang disusup ketubuh militer, atau sebaliknya, agen militer yang
disusupkan ke tubuh PKI.
Yang paling moderat dari berbagai versi itu adalah bahwa gerakan 30
september adalah buah dari serangkaian provokasi politik dan kesimpangsiuran
informasi, sehingga sebetulnya tidak ada dalang tunggal. Masing-masing pihak
(pasukan pengawal presiden,PKI, dan Angkatan Darat) berusaha saling
memanipulasi langkah-langkah yang diambil oleh pihak lain. Jadi gerakan
tersebut adalah semacam perang informasi intelijen untuk membiarkan lawan
melakukan sesuatu untuk kemudian dijebak dan dihabisi. Pemenangnya sudah
jelas, yaitu mayjen soeharto, yang memang dikenal memiliki jaringan intelijen
kelas wahid.
Sikap tenang dan taktis yang ditunjukan mayjen soeharto pada tanggal 1
oktober, diduga mungkin karena dia sudah memiliki informasi yang lengkap.
Tidak tercantumnya nama mayjen soeharto dari daftar para penculik, memang
bukan berarti dia adalah bagian dari para penculik. Namun setidaknya, dia tidak
dianggap berbahaya oleh komplotan G-30 S. bahkan menurut eks kolonel Latief,
komplotan G-30 S menganggapnya sebagai kawan. Dalam hal ini, pihak
gerombolan terlalu memandang remeh (under-estimated) kemampuan soeharto
dalam memobilisasi kekuatan untuk memukul balik kelompok pemberontak.
Hingga siang hari 1 oktober 1965, mayjen soeharto hanya bergerak untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan. Namun setelah siang hari, begitu mengambil
keputusan untuk memegang pimpinan angkatan darat, ia telah mengambil posisi
yang tegas. Pada waktu-waktu berikutnya, dialah yang memegang kendali.
Bahkan presiden soekarno pun harus menyesuaikan dirinya dengan kendali yang
telah dipegang mayjen soeharto.
Pembunuhan para jenderal oleh kelompok Untung, telah membuka jalan bagi
soeharto dan perwira tinggi angkatan darat lainnya untuk menindak seteru lama
mereka, yaitu PKI. Dimata mereka, PKI-lah yang mencoba melakukan kudeta.
Mereka memaksa presiden soekarno bersikap seperti pada tahun 1948, dengan
memberi dua pilihan kepada rakyat: pilih muso, atau pilih soekarno-Hatta.
Dengan statement politik yang keras seperti itu, sulit diharapkan PKI akan
mendapat angina.
Namun bagi soekarno, tahun 1965-1966 situasinya sudah sangat jauh berbeda
dibandingkan tahun 1948. Pada tahun 1965-1966, presiden soekarno sudah begitu
banyak bertaruh di level internasional. Gagasan Nasakom-nya, kampanye antinekolim, dan poros Jakarta-beijing; merupakan hambatan-hambatan psikologipolitik dalam diri bung karno untuk langsung memberengus PKI secara frontal.
Belum jelas siapa dalang gerakan 30 september. Namun implikasi yang
ditimbulkannya sangatlah jelas. Pangkostrad mayjen soeharto berhasil merebut
kursi kepemimpinan angkatan darat sepeninggal Letjen A.Yani, mendramatisasi
proses kematian para jenderal di lubang buaya (melalui rekayasa media massa)
untuk membakar sentimen antikomunis, kemudian memenangkan simpati massa
dengan cara menghancurkan komplotan Untung, dan berhasil mengambil posisi
yang strategis dalam percaturan politik dengan presiden.
Tidak berapa lama, mayjen soeharto berhasil menumpas komplotan Untung.
Kini, target berikutnya adalah mengikis kekuasaan presiden soekarno. Penekanans
terhadap presiden untuk membubarkan PKI secara resmi, adalah jalan yang
dipilih. Sebab mereka tahu persis, presiden soekarno enggan melakukannya.
Mereka juga memaksa presiden menyerahkan para pembantu dekat sekaligus
penasihat politiknya, terutama Dr. Soebandrio, kepada pihak tentara. Sebab
mereka tahu, presiden soekarno akan mirip seperti macan ompong jika tidak
dikelilingi oleh para penasihat politiknya.
Berikut adalah beberapa analisis terkemuka mengenai peristiwa berdarah itu
yang ditulis oleh beragam kalangan dengan beragam perspektif.
a) Artikel Hall dan Cornell Paper
Tak lama setelah peristiwa G-30 S, setidaknya ada dua analisis yang muncul
dari pengamat asing yang, menariknya, keduanya bertentangan. Dalam Readers
Digest edisi November 1966, Clerence W. Hall menggambarkan G-30 S 1965
sebagai manuver PKI dan Soekarno untuk melanjutkan skenario politik yang telah
mereka susun selama Demokrasi Terpimpin. Dalam versi Hall, PKI dan Soekarno
adalah dalang di belakang peristiwa berdarah itu.
Nyaris bersamaan dengan publikasi tulisan Hall, muncul Cornell Paper;
makalah Benedict R.O.G. Anderson dan Ruth McVey berjudul A Preliminary
Analysis of The October 1, 1965, Coup in Indonesia (1966). Anderson dan McVey
menyimpulkan bahwa G-30 S 1965 adalah persoalan intern Angkatan Darat. PKI
bukanlah dalang. Menurut versi ini keterlibatan PKI terjadi dalam saat-saat akhir,
itupun karena PKI dipancing untuk masuk dan akhirnya benar-benar terseret
masuk. Keterlibatan PKI, menurut Cornell Paper, hanya bersifat insidental belaka.
Banyak yang meragukan kesahihan artikel Hall maupun Cornell Paper. Kedua
analisis ini dibuat pada saat Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) masih
menyidangkan para pelaku G-30 S 1965 dan banyak dokumen belum terungkap.
Wajar jika Cornell Paper yang memang lebih terkenal ketimbang artikel Hall pun
mendapatkan reaksi dari pelbagai penjuru.
menyebutkan bahwa G-30 S/PKI sebenarnya berawal dari konflik intern Angkatan
Darat yang pada saat saat terakhir menyeret PKI. Di Indonesia sendiri belum lama
ini terbit Memoar Oei Tjoe Tat yang kemudian dilarang beredar. Dalam bukunya
Oei Tjoe Tat menyebutkan bahwa G-30 S/PKI merupakan kudeta terselubung
Angkatan Darat. Pada bulan September 1993, Wimanjaya K. Liotohe membuat
tulisan yang dipublisir di Amsterdam. Dalam bukunya yang berjudul Primadosa,
tanpa bukti autentik ia menuduh Panglima Kostrad Soeharto mendalangi G-30
S/PKI. Kabakin Sudibjo dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI 7
februari 1994 menyatakan bahwa hanya orang gila yang menuduh Pak Harto
mendalangi G-30 S/PKI.
Menurut laporan GATRA, dokumen CIA Indonesia 1965: The Coup That
Backfired yang terdiri dari 311 halaman dan tersimpan di Library of Congress
memuat laporan laporan resmi agen CIA sejak 1964-1967. Anehnya, didalam
dokumen tsb. tidak diungkapkan keterlibatan CIA dalam peristiwa G-30 S/PKI
dan juga tidak mengungkapkan kecurigaan CIA terhadap Angkatan Darat RI! Hal
ini bertentangan dengan semua tulisan-tulisan mengenai G-30 S/PKI sebelumnya,
kecuali dengan buku putih terbitan Sekretariat Negara yang berjudul Gerakan 30
September Pemberontakan PKI: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya.
Dokumen CIA secara kontroversial justru menyebutkan kecurigaan CIA terhadap
Bung Karno yang sebelumnya sudah mengetahui rencana kudeta dan seolah olah
tidak dapat berbuat apa apa untuk menghindarinya. Uraian CIA selanjutnya mirip
dengan uraian buku putih keluaran Sekneg.
Dalam dokumen CIA disebutkan bahwa Kapuspen Hankam dan bekas ajudan
Bung Karno, Jendral Sugandhi, pada 27 September 1965 diberi tahu oleh
Sudisman tentang rencana PKI tanggal 30 September 1965. Sugandhi memberi
tahu Bung Karno tentang hal tersebut namun Bung Karno malah menuduh
Sugandhi sebagai komunisto phobi. Menanggapi hal ini, Manai Sophiaan mantan
Sekjen PNI dan Dubes RI untuk Moskow berkata: Dalam buku saya (Kehormatan
Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G-30 S/PKI), saya menyebutkan
pertemuan Sudisman dan Sugandhi 27 September 1965; tapi saya meragukan isi
pembicaraan mereka. Masa iya orang kedua PKI berbicara masalah penting
dengan orang yang tidak dipercayainya sepenuh hati. Itu kan riskan dan tak masuk
akal. Sugandhi memang datang ke istana untuk melapor tapi Sugandhi keburu
dimarahi dan diusir Bung Karno sebelum memberikan laporannya. Saya yakin
Bung Karno tidak mengetahui rencana G-30 S/PKI Saya ingat betul justru para
diplomat AS berperan sebagai agen CIA; misalnya Robert J. Martens yang
mengungkapkan nama 5000 anggota PKI kepada TNI AD.
Bernardo Hugh Tovar, 73, direktur CIA yang bertugas di Jakarta pada 1964
hingga 1966 menngaku tidak banyak tahu tentang peristiwa 30 September 1965 di
Jakarta dan membantah keterlibatan CIA dalam peristiwa G-30 S/PKI. CIA hanya
mengobservasi keadaan dan membuat laporan detail tentang keadaan waktu itu,
tuturnya. Selanjutnya Bernardo mengakui bahwa CIA mengetahui rencana PKI
untuk mengadakan kudeta tapi CIA tidak membantu TNI AD dalam menumpas
PKI.
Bekas Kepala Staf ABRI Jendral (purnawirawan) AH. Nasution juga
membantah keterlibatan CIA dalam peristiwa G-30 S/PKI. Ketika ditanya
mengenai laporan Sugandhi kepada Bung Karno mengenai rencana PKI (seperti
juga yang ditercantum dalam buku Nasution Memenuhi Panggilan Tugas),
Nasution mengatakan bahwa sekalipun dalam pemeriksaan Mahmilub Sugandhi
mengakui bahwa ia telah melaporkan rencana PKI itu, tetapi Bung Karno tidak
pernah diadili, jadi sulit membuktikan apakah benar Bung Karno mengetahui jauh
hari sebelum peristiwa G-30 S/PKI.
Majalah Tiras juga melaporkan dokumen CIA tsb. tetapi dengan nada yang
lain sekali. Menurut laporan Tiras, hanya militer yang terlibat dalam kudeta 30
September 1965 dan kejadian itu sepenuhnya merupakan masalah intern TNI AD.
Isi dokumen CIA belum tentu semuanya mengandung kebenaran. Seperti
dokumen lain, tentunya tak bebas dari bias sehingga memerlukan telaah historis.
Namun diluar semua itu, keterlibatan CIA di Indonesia bukan hanya sebuah mitos,
tetapi juga merupakan realitas sejarah.
Prof George Mc. T Kahin, ahli Indonesia dari Cornell University AS,
mengatakan bahwa pengungkapan peristiwa G 30 S/PKI sangat sulit karena
600.000 orang yang dianggap terkait dengan PKI menjadi tahanan politik,
ditangkap tanpa surat penangkapan serta ditahan tanpa proses persidangan.
Setidaknya
diperkirakan 500.000
2.000.000
atau 3.000.000
orang
Ratusan orang tawanan politik Indonesia kabur ke luar negeri dan tidak
bisa kembali ke Indonesia selama 30 tahun hingga masa Orde Baru jauh
pada tahun 1998.
DAFTAR PUSTAKA