Вы находитесь на странице: 1из 17

KISAH SEJARAH KONTROVERSI 30 SEPTEMBER 1965

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Kontemporer


Dosen Pembimbing : Puspita Pebri, M.Pd

OLEH

OLEH
FRIDUS KOA

2131000430015

MARIA LUSIA NAHAK

2131000430032

AGUSTINUS LOUIS MAYONO

213100043

FRANSISKUS DARMO

213100043

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BUDI UTOMO


MALANG
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
PENDIDIKAN SEJARAH DAN SOSIOLOGI
2015

KISAH SEJARAH KONTROVERSI 30 SEPTEMBER 1965


A. MUNCULNYA PERISTIWA G30S/PKI
Dalam doktrin komunis telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap partai
komunis dimanapun ia berada selalu bertujuan untuk merebut kekuasaan Negara
dengan menyingkirkan kekuatan politik lainnya. Hal ini ditempuh dalam rangka
menegakan dictator proletariat. Usaha yang ditempuh dalam merebut kekuasaan
selalu dilakukan dengan cara kekerasan, seperti yang berlangsung diberbagai
Negara lain, tidak terkecuali di Indonesia.
Pada saat usia Republik Indonesia masih muda, yaitu pada tahun 1948, PKI
mencoba untuk merebut kekuasaan dari pemerintah Republik Indonesia yang sah.
Gerakan

PKI itu

dikenal

dengan nama pemberontakan

PKI madiun.

Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas berkat kerjasama ABRI dan rakyat


yang setia pada pancasial dan proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945. Setelah
itu, PKI bergerak dibawah tanah, dan muncul kembali pada tahun 1950 dalam
kehidupan politik di Indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun
1955.
Peristiwa percobaan kudeta PKI di tahun 1948, masih membekas dan
meninggalkan trauma bagi bangsa Indonesia, sehingga selalu timbul kecurigaan
terhadap gerakan-gerakan PKI.

B. SEBAB-SEBAB MUNCULNYA G30S/PKI


Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun1951, ia dengan cepat
membangun kembali PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan
tahun 1948. Usaha yang dilakukan D.N. aidit berhasil dengan baik, sehingga
dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan

menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI,
Masyumi dan NU.
Tampaknya PKI berkeinginan merebut kekuasaan melalui parlemen pada
masa Demokrasi Terpimpin. Disamping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan
diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia.
Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan
kader-kader diberbgai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga
berusaha

mempengaruhi

presiden

Soekarno

untuk

menyingkirkan

dan

melenyapkan lawan-lawan politiknya. Hal ini tampak dengan dibubarkannya


partai Masyumi, PSI, dan partai Murba oleh presiden. PKI juga berhasil
memecah-belah PNI menjadi dua kelompok. Upaya itu ditempuh oleh PKI dengan
menyusupkan Ir. Surachman (seorang tokoh PKI) kedalam tubuh PNI
Setelah merasa cukup kuat, dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI angkatan
darat membentuk dewan jendral yang akan melakukan kudeta terhadap presiden
soekarno pada saat peringatan hari ulang tahun ABRI tanggal 5 oktober 1965.
PKI juga menyebutkan bahwa anggota jendral itu adalah Nekolim (amerika
serikat atau inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat, bahkan Angkatan
Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun
dalam rangka memperingati hari ulang tahun ABRI pada tanggal 5 oktober 1965,
puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan September 1965,
sehingga dugaan-dugaan akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
C. PERISTIWA G30S/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan
presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dari tim dokter RRC ada
kemungkinan presiden soekarno akan lumpuh atau meninggal. Setelah
mengetahui keadaan presiden soekarno seperti itu, D.N. Aidit langsung
mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan
kepada Kamaruzaman (alias syam) yang diangkat sebagai ketua Biro Khusus PKI
dan disetujui oleh D.N.Aidit. Biro Khusus itu menghubungi kadernya dikalangan
ABRI, seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa,

Kolonel Sunardi dari TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dari TNI-AU dan
Kolonel Anwar dari kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 september 1965, pimpinan PKI telah
beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah
dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Melalui serangkaian pertemuan itu,
pimpinan PKI menetapkan bahwa Gerakan 30 september 1965 secara fisik
dilakukan dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Kolonel Untung,
Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden) yang
bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari gerakan 30 september 1965, Letnan Kolonel Untung
mengambil suatu keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan
untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 oktober 1965. Pada dini hari itu,
mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam
perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para perwira
Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya dibunuh. Mereka dibawah ke lubang
buaya, yaitu satu tempat yang terletak disebelah selatan pangkalan udara utama
halim perdana kusuma. Selanjutnya para korban dimasukan kedalam satu sumur
tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh korban dari TNIAngkatan Darat adalah sebagai berikut:
1. Letnan Jendral Ahmad Yani (menteri / panglima Angkatan Darat atau Men
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pangad.)
Mayor Jendral R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
Mayor Jendral Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
Mayor Jendral Suwondo Parman (Asisten I Pangad).
Brigadir Jendral Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).
Letnan satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H.Nasution)
Ketika terjadi penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi
target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun,
putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dari
kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasution yang
bernama Letnan satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan

korban lainnya adalah pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun. Ia gugur pada
saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik
Jenderal A.H. Nasution.
Pada waktu bersamaan, G30S/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan
kekuasaan di Yogyakarta, solo, wonogiri dan semarang. Selanjutnya gerakan
tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1
oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu
dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi di daerah
Yogyakarta di ketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka telah melakukan penculikan
terhadap kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono. Kedua perwira TNI-AD
ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa kentungan yang terletak di sebelah
utara kota Yogyakarta.

D. Kisah sejarah 30 september 1965 dari berbagai pandangan


Gerakan 30 september 1965 adalah satu kejadian tragis dalam sejarah
Indonesia yang sangat kabur. Fakta dan rekayasa bercampur aduk menjadi satu.
Faktanya, sekelompok perwira menengah Angkatan Darat dan Angkatan Udara
berkolaborasi melakukan aksi penculikan dan pembunuhan terhadap enam
jenderal pimpinan teras TNI AD. Di belakang mereka, ada petinggi PKI seperti
Aidit, yang pada malam yang tragis itu berada di pangkalan udara Halim perdana
kusumah. Fakta yang lebih memperumit persoalan adalah, sepanjang hari pada 1
oktober 1965 presiden soekarno juga berada di lingkungan PAU Halim, hanya
beberapa kilometre dari markas komando gerakan.
Fakta-fakta tersebut memunculkan beberapa spekulasi mengenai siapa dalang G3O S.
a) Menurut versi pemerintah orde baru, G-30 S didalangi PKI melalui biro
khusus-badan rahasia dibawah kendali Sjam kamaruzzaman dan Aidit

yang bertugas menginfiltrasi tentara, khususnya perwira menengah yang


tidak puas terhadap atasan mereka.
b) Namun menurut versi lain, G-30 S merupakan pelaksanaan yang
kebablasan dari perintah Bung karno kepada Letkol Untung dari Resimen
Cakrabirawa untuk mengamankan jenderal-jenderal AD yang tidak loyal
kepada presiden.
Untuk menjawab pertanyaan tentang dalang 30 september, sulit mendapatkan
hasil yang konklusif. Berbagai versi mengungkapkan dalang gerakan tersebut.
I.

Versi resmi Angkatan Darat dan versi pemerintah orde baru mengatakan
bahwa G-30 S didalangi oleh D.N Aidit dan Biro khusus PKI. Itulah
sebabnya, mereka menggunakan istilah baku G-30-S/PKI karena
menganggapnya sebagai suatu kesatuan. Mengapa PKI ingin merebut
kekuasaan melalui jalan pintas? Alasan logis yang di kemukakan versi
resmi orde baru, PKI tidak ingin di dahului oleh AD. Namun beberapa
kalangan

intelektual

yang

kritis

meragukan

alasan

tersebut.

menurut mereka, PKI toh sudah berada diatas angin dalam peta politik
Indonesia. Tanpa kudeta, di perkirakan PKI bisa berkuasa pada awal
dekade 70-an melalui pemilihan umum. Jadi, mereka menyimpulkan
bahwa gerakan 30 september didalangi oleh tentara guna menciptakan
keseimbangan politik baru yang menguntungkan pihak tentara. Mereka
yang percaya pada versi ini kemudian menulis dan menerbitkan berbagai
buku yang menyimpulkan bahwa mayjen soeharto adalah otak dibalik
II.

gerakan.
Adalagi yang berpendapat, presiden soekarno adalah dalang G-30 S karena
dialah yang memberi instruksi kepada pasukan cakrabirawa untuk
mengamankan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang dianggap tidak
loyal. Kebenaran mengenai instruksi itu pun sangat kabur. Menurut versi
ini, presiden memberikan instruksi pengamanan, namun pelaksanaannya di
lapangan menjadi lepas kendali, dan jenderal-jenderal yang semula akan
diamankan dan dihadapkan

ke presiden itu kemudian terbunuh.

terbunuhnya para jenderal yang semula hanya akan diamankan,


menjadi tanda Tanya besar. Siapa yang memberi instruksi penangkapan

hidup atau mati? diduga, orang itu adalah sjam kamaruzzaman, toko
misterius yang keberadaannya sulit dilacak, yang bertugas menyusup
ketubuh militer maupun PKI. Sulit diketahui apakah sjam adalah kader
PKI yang disusup ketubuh militer, atau sebaliknya, agen militer yang
disusupkan ke tubuh PKI.
Yang paling moderat dari berbagai versi itu adalah bahwa gerakan 30
september adalah buah dari serangkaian provokasi politik dan kesimpangsiuran
informasi, sehingga sebetulnya tidak ada dalang tunggal. Masing-masing pihak
(pasukan pengawal presiden,PKI, dan Angkatan Darat) berusaha saling
memanipulasi langkah-langkah yang diambil oleh pihak lain. Jadi gerakan
tersebut adalah semacam perang informasi intelijen untuk membiarkan lawan
melakukan sesuatu untuk kemudian dijebak dan dihabisi. Pemenangnya sudah
jelas, yaitu mayjen soeharto, yang memang dikenal memiliki jaringan intelijen
kelas wahid.
Sikap tenang dan taktis yang ditunjukan mayjen soeharto pada tanggal 1
oktober, diduga mungkin karena dia sudah memiliki informasi yang lengkap.
Tidak tercantumnya nama mayjen soeharto dari daftar para penculik, memang
bukan berarti dia adalah bagian dari para penculik. Namun setidaknya, dia tidak
dianggap berbahaya oleh komplotan G-30 S. bahkan menurut eks kolonel Latief,
komplotan G-30 S menganggapnya sebagai kawan. Dalam hal ini, pihak
gerombolan terlalu memandang remeh (under-estimated) kemampuan soeharto
dalam memobilisasi kekuatan untuk memukul balik kelompok pemberontak.
Hingga siang hari 1 oktober 1965, mayjen soeharto hanya bergerak untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan. Namun setelah siang hari, begitu mengambil
keputusan untuk memegang pimpinan angkatan darat, ia telah mengambil posisi
yang tegas. Pada waktu-waktu berikutnya, dialah yang memegang kendali.
Bahkan presiden soekarno pun harus menyesuaikan dirinya dengan kendali yang
telah dipegang mayjen soeharto.
Pembunuhan para jenderal oleh kelompok Untung, telah membuka jalan bagi
soeharto dan perwira tinggi angkatan darat lainnya untuk menindak seteru lama

mereka, yaitu PKI. Dimata mereka, PKI-lah yang mencoba melakukan kudeta.
Mereka memaksa presiden soekarno bersikap seperti pada tahun 1948, dengan
memberi dua pilihan kepada rakyat: pilih muso, atau pilih soekarno-Hatta.
Dengan statement politik yang keras seperti itu, sulit diharapkan PKI akan
mendapat angina.
Namun bagi soekarno, tahun 1965-1966 situasinya sudah sangat jauh berbeda
dibandingkan tahun 1948. Pada tahun 1965-1966, presiden soekarno sudah begitu
banyak bertaruh di level internasional. Gagasan Nasakom-nya, kampanye antinekolim, dan poros Jakarta-beijing; merupakan hambatan-hambatan psikologipolitik dalam diri bung karno untuk langsung memberengus PKI secara frontal.
Belum jelas siapa dalang gerakan 30 september. Namun implikasi yang
ditimbulkannya sangatlah jelas. Pangkostrad mayjen soeharto berhasil merebut
kursi kepemimpinan angkatan darat sepeninggal Letjen A.Yani, mendramatisasi
proses kematian para jenderal di lubang buaya (melalui rekayasa media massa)
untuk membakar sentimen antikomunis, kemudian memenangkan simpati massa
dengan cara menghancurkan komplotan Untung, dan berhasil mengambil posisi
yang strategis dalam percaturan politik dengan presiden.
Tidak berapa lama, mayjen soeharto berhasil menumpas komplotan Untung.
Kini, target berikutnya adalah mengikis kekuasaan presiden soekarno. Penekanans
terhadap presiden untuk membubarkan PKI secara resmi, adalah jalan yang
dipilih. Sebab mereka tahu persis, presiden soekarno enggan melakukannya.
Mereka juga memaksa presiden menyerahkan para pembantu dekat sekaligus
penasihat politiknya, terutama Dr. Soebandrio, kepada pihak tentara. Sebab
mereka tahu, presiden soekarno akan mirip seperti macan ompong jika tidak
dikelilingi oleh para penasihat politiknya.
Berikut adalah beberapa analisis terkemuka mengenai peristiwa berdarah itu
yang ditulis oleh beragam kalangan dengan beragam perspektif.
a) Artikel Hall dan Cornell Paper

Tak lama setelah peristiwa G-30 S, setidaknya ada dua analisis yang muncul
dari pengamat asing yang, menariknya, keduanya bertentangan. Dalam Readers
Digest edisi November 1966, Clerence W. Hall menggambarkan G-30 S 1965
sebagai manuver PKI dan Soekarno untuk melanjutkan skenario politik yang telah
mereka susun selama Demokrasi Terpimpin. Dalam versi Hall, PKI dan Soekarno
adalah dalang di belakang peristiwa berdarah itu.
Nyaris bersamaan dengan publikasi tulisan Hall, muncul Cornell Paper;
makalah Benedict R.O.G. Anderson dan Ruth McVey berjudul A Preliminary
Analysis of The October 1, 1965, Coup in Indonesia (1966). Anderson dan McVey
menyimpulkan bahwa G-30 S 1965 adalah persoalan intern Angkatan Darat. PKI
bukanlah dalang. Menurut versi ini keterlibatan PKI terjadi dalam saat-saat akhir,
itupun karena PKI dipancing untuk masuk dan akhirnya benar-benar terseret
masuk. Keterlibatan PKI, menurut Cornell Paper, hanya bersifat insidental belaka.
Banyak yang meragukan kesahihan artikel Hall maupun Cornell Paper. Kedua
analisis ini dibuat pada saat Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) masih
menyidangkan para pelaku G-30 S 1965 dan banyak dokumen belum terungkap.
Wajar jika Cornell Paper yang memang lebih terkenal ketimbang artikel Hall pun
mendapatkan reaksi dari pelbagai penjuru.

b) Bantahan terhadap Cornell Paper


Dari dalam negeri, dua tahun setelah publikasi Cornell Paper, muncul
bantahan dari Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh melalui buku The Coup
Attempt of The September Movement in Indonesia (1968). Ismail Saleh dan

Notosusanto membantah versi Anderson dan McVey dengan menunjukkan bahwa


PKI lah yang mendalangi kup yang gagal di penghujung September itu.
Menurut versi ini, Angkatan Darat sama sekali tidak menduga akan terjadi
peristiwa berdarah itu. Dengan begitu, versi ini membantah analisis Anderson dan
McVey bahwa peristiwa itu adalah ekspresi persoalan intern di dalam tubuh
Angkatan Darat.
Pada tahun yang sama (1968) terbit pula buku John Hughes berjudul The End
of Soekarno. A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild. Buku ini menunjukkan
G-30 S 1965 lebih sebagai kup PKI daripada persoalan intern Angkatan Darat.
Hughes sebagaimana Ismail Saleh dan Notosusanto melihat militer sebagai
penyelamat keadaan, bukan dalang di belakang tragedi besar itu.
Bantahan terhadap Cornell Paper juga datang dari Anthonie C.A. Dake
melalui dua karyanya: In The Spirit of Red Banteng dan The Deviuos Dalang:
Soekarno and the So-Called Untung Putch. Eyewitness Report by Bambang S.
Widjanarko. Dake menilai bahwa Soekarno lah dalang G-30 S 1965. Soekarno
menurut Dake tidak sabar menghadapi tokoh-tokoh Angkatan Darat yang tidak
suka program revolusinya. Melalui konspirasinya dengan kekuatan komunis
musuh Angkatan Darat sepanjang Demokrasi Terpimpin Soekarno merasa perlu
untuk melakukan pembersihan.
Versi Dake tersebut memperoleh dukungan antara lain dari David Lowenthal
seorang profesor ahli Soviet-Jerman. Dengan mendasarkan diri pada dokumendokumen otentik pemeriksaan Widjanarko, Lowenthal menunjukkan secara
eksplisit keterlibatan Soekarno dalam G-30 S 1965. Menurut Lowenthal,
sebagaimana dikutip Soerojo (1989; xxvii) Soekarno mengkreasi peristiwa itu
untuk menghilangkan kerikil-kerikil yang mengganjal jalannya revolusi yang
belum selesai.
c) Keterlibatan Amerika

Versi lain mengungkapkan CIA sebagai dalang di belakang peristiwa G-30 S


1965. Versi ini antara lain diungkapkan melalui sebuah tulisan Peter Dale Scott,
Guru Besar Universitas California, Berkeley yang termuat dalam Pacific Affairs
(1984).
Setelah publikasi versi Dale, pada Juli 1990, kontroversi soal keterlibatan
CIA kembali diungkap oleh Kathy Kadane, wartawati kantor berita States News
Service Amerika Serikat. Kadane menyatakan bahwa CIA lah yang memberikan
daftar 5000 nama tokoh PKI kepada TNI Angkatan Darat pada 1965. Tokoh-tokoh
yang ada dalam daftar itulah yang kemudian dihabisi seusai kegagalan G-30 S
1965.
Sebelum muncul artikel Kadane, ada bahan lain yang mengungkapkan
keterlibatan CIA, yakni buku CIA-KGB yang ditulis oleh Celina Beldowska dan
Jonathan Bloch (1987). Dalam buku ini tertulis tegas: pada 1965, CIA dengan
sukses mengorganisir kampanye propaganda untuk menggulingkan Soekarno.
Dua belas tahun sebelum terbitnya buku Beldowska dan Bloch tepatnya
April 1975 dalam Konferensi CIA dan Perdamaian Dunia, Winslow Peck (analis
intelijen Dinas Keamanan AU Amerika) secara gamblang juga mengungkap
keterlibatan CIA. Peck menyebut penggulingan Sodkarno di akhir 1960-an adalah
sukses CIA yang disokong oleh pelbagai pihak pro-Barat di Asia, terutama Asian
Regional Organization.
Versi keterlibatan Amerika, terutama melalui CIA tersebut ditantang oleh
sejumlah kalangan. Dari kalangan resmi pemerintah AS, Marshall Green, Duta
besar Amerika di Jakarta yang menyaksikan sendiri perpindahan kekuasaan dari
Soekarno ke Soeharto, mengajukan bantahan melalui bukunya Dari Soekarno ke
Soeharto: G-30 S PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar (1992).
Dalam ulasannya, dengan bahasa diplomasi yang kental, Green menilai G-30
S 1965 memiliki kaitan dengan gerakan komunis internasional yang saat itu
memang sedang menggencarkan perluasan ideologi komunis di Asia tenggara,

terutama melalui Vietnam dan Indonesia. Green bahkan menunjuk adanya


sejumlah indikasi keterlibatan RRC di belakang manuver PKI yang gagal itu.
Howard Palfrey Jones, mantan Dubes Amerika untuk Indonesia sebelum
Green, juga memaparkan versi yang serupa. Dalam bukunya Indonesia: The
Possible Dream (1971) Jones menggambarkan G-30 S 1965 sebagai kudeta abortif
kekuatan komunis di Indonesia untuk melenyapkan pimpinan teras Angkatan
Darat serta lebih lanjut membangun pemerintahan kiri. Amerika, di mata Jones,
tidak ikut serta mengkreasi kudeta itu atas nama kepentingan politik apa pun.
Dari kalangan akademisi, bantahan semacam itu pernah datang dari H.W.
Brands, asisten profesor pada sebuah Universitas di Texas. Melalui artikelnya,
The Limits of Manipulation: How the United States Didnt Topple Soekarno
(termuat di Journal of American History edisi Desember 1989), Brands
membantah keterlibatan Washington dalam penumbangan Soekarno.
Dengan menggunakan bahan yang sebagian besar diperoleh dari perpustakaan
Lyndon B. Johnson, Brands misalnya mengungkapkan betapa Amerika tidak
mengenal Soeharto. Atas dasar itu, menurut Brands, adalah tak mungkin
Amerika ada di belakang penggulingan Soekarno di penghujung 1960-an itu.
CIA, badan Intelijen AS sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia.
Dalam kaitannya dengan peristiwa G-30 S/PKI, banyak pergunjingan yang
menekankan keterlibatan CIA. Risalah CIA dengan judul Indonesia 1965: The
Coup That Backfired. Risalah ini berisi catatan intelejen AS yang beroperasi di
Indonesia sekitar 1965 mengenai tragedi berdarah G-30 S/PKI. Risalah
tersebutlah yang kemudian memberikan catatan serius bagi masyarakat terkait
peran CIA terhadap kasus ini.
Kontroversi tentang peran CIA dalam peistiwa G-30 S/PKI hingga kini belum
usai. Julius Mader dalam bukunya, Whos Who in CIA, mencatat 77 nama agen
CIA yang bertugas di Indonesia hingga tahun 1967. Sebagian nama yang disebut
Mader bukan nama yang asing bagi sejumlah orang Indonesia. Hanya saja nama
nama tsb tidak dikenal sebagai agen CIA melainkan nama pejabat di Kedubes AS

sekitar 1965 yang suka berdiskusi, mengajak berolahraga bersama, membuat


resepsi atau mengundang makan. Rosihan Anwar bekas pemimpin redaksi
majalah Pedoman ketika membaca nama nama tsb mengenali beberapa
diantaranya Edward E. Masters (Sekretaris Atase Politik Kedubes AS di Jakarta
1965, Jack Wilson Lydman (orang kedua di Kedubes AS), Burton Levin
(Sekretaris III Bidang Politik Kedutaan, 1959), dan Francis T. Underhill (pegawai
Kedubes AS).
Rosihan Anwar yang dulu sering bergaul dengan banyak orang AS, sudah
mencurigai gerak gerik pejabat pejabat tadi. Mereka pada umumnya pandai
bergaul dan mengajak bermain Badminton atau makan malam. Sahata Hutagalung
yang dahulu pemimpin koran Sinar Harapan di Medan masih mengingat nama
nama Dean J. Almy Jr. dan Robert L. Taylor bekas pejabat Konsul AS di Medan
sekitar 1965. Robert L. Taylor yang ramah itu tidak saja akrab dengan Sahata
tetapi juga dengan Syamsudin Manan (dari koran Mimbar Umum), Dahlan (harian
Bintang Indonesia), dan Syarifudin (harian Bukit Barisan). Lewat organisasi
English Conversation yang didirikannya, Robert L. Taylor dengan rekan rekan
Indonesianya berbicara mengenai banyak hal termasuk masalah politik dan
gerakan PKI. Dari persahabatan itu pula tiga pemimpin redaksi dari Medan tadi
sempat melancong ke AS. Sahata Hutagalung yang kini 65 dan pengusaha
Restoran Tip-Top di medan itu tidak menyangka bahwa rekanan ASnya adalah
agen CIA.
Sekitar lima tahun yang silam, perpustakaan Lindon B. Johnson membuka
dokumen mengenai hubungan Indonesia-AS di seputar 1965. Dokumen ini
digunakan oleh Gabriel Kolko, seorang ahli Indonesia asal AS untuk menerbitkan
bukunya The Roots of American Foreign Policy yang antara lain berisikan
keterlibatan AS melalui CIA dalam peristiwa G-30 S/PKI. Manai Sophiaan dalam
bukunya Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G-30S/PKI
memperkuat pendapat G. Kolko. Sebelum G. Kolko ada penulis lain dari luar
negri yang mengemukakan thesis yang berbeda sekali dengan pandangan resmi di
Indonesia. Benedict R. Anderson dan RuthMc.Vey, dua ahli politik Indonesia dari
Cornell University AS menerbitkan apa yang disebut Cornell Paper yang

menyebutkan bahwa G-30 S/PKI sebenarnya berawal dari konflik intern Angkatan
Darat yang pada saat saat terakhir menyeret PKI. Di Indonesia sendiri belum lama
ini terbit Memoar Oei Tjoe Tat yang kemudian dilarang beredar. Dalam bukunya
Oei Tjoe Tat menyebutkan bahwa G-30 S/PKI merupakan kudeta terselubung
Angkatan Darat. Pada bulan September 1993, Wimanjaya K. Liotohe membuat
tulisan yang dipublisir di Amsterdam. Dalam bukunya yang berjudul Primadosa,
tanpa bukti autentik ia menuduh Panglima Kostrad Soeharto mendalangi G-30
S/PKI. Kabakin Sudibjo dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI 7
februari 1994 menyatakan bahwa hanya orang gila yang menuduh Pak Harto
mendalangi G-30 S/PKI.
Menurut laporan GATRA, dokumen CIA Indonesia 1965: The Coup That
Backfired yang terdiri dari 311 halaman dan tersimpan di Library of Congress
memuat laporan laporan resmi agen CIA sejak 1964-1967. Anehnya, didalam
dokumen tsb. tidak diungkapkan keterlibatan CIA dalam peristiwa G-30 S/PKI
dan juga tidak mengungkapkan kecurigaan CIA terhadap Angkatan Darat RI! Hal
ini bertentangan dengan semua tulisan-tulisan mengenai G-30 S/PKI sebelumnya,
kecuali dengan buku putih terbitan Sekretariat Negara yang berjudul Gerakan 30
September Pemberontakan PKI: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya.
Dokumen CIA secara kontroversial justru menyebutkan kecurigaan CIA terhadap
Bung Karno yang sebelumnya sudah mengetahui rencana kudeta dan seolah olah
tidak dapat berbuat apa apa untuk menghindarinya. Uraian CIA selanjutnya mirip
dengan uraian buku putih keluaran Sekneg.
Dalam dokumen CIA disebutkan bahwa Kapuspen Hankam dan bekas ajudan
Bung Karno, Jendral Sugandhi, pada 27 September 1965 diberi tahu oleh
Sudisman tentang rencana PKI tanggal 30 September 1965. Sugandhi memberi
tahu Bung Karno tentang hal tersebut namun Bung Karno malah menuduh
Sugandhi sebagai komunisto phobi. Menanggapi hal ini, Manai Sophiaan mantan
Sekjen PNI dan Dubes RI untuk Moskow berkata: Dalam buku saya (Kehormatan
Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G-30 S/PKI), saya menyebutkan
pertemuan Sudisman dan Sugandhi 27 September 1965; tapi saya meragukan isi
pembicaraan mereka. Masa iya orang kedua PKI berbicara masalah penting

dengan orang yang tidak dipercayainya sepenuh hati. Itu kan riskan dan tak masuk
akal. Sugandhi memang datang ke istana untuk melapor tapi Sugandhi keburu
dimarahi dan diusir Bung Karno sebelum memberikan laporannya. Saya yakin
Bung Karno tidak mengetahui rencana G-30 S/PKI Saya ingat betul justru para
diplomat AS berperan sebagai agen CIA; misalnya Robert J. Martens yang
mengungkapkan nama 5000 anggota PKI kepada TNI AD.
Bernardo Hugh Tovar, 73, direktur CIA yang bertugas di Jakarta pada 1964
hingga 1966 menngaku tidak banyak tahu tentang peristiwa 30 September 1965 di
Jakarta dan membantah keterlibatan CIA dalam peristiwa G-30 S/PKI. CIA hanya
mengobservasi keadaan dan membuat laporan detail tentang keadaan waktu itu,
tuturnya. Selanjutnya Bernardo mengakui bahwa CIA mengetahui rencana PKI
untuk mengadakan kudeta tapi CIA tidak membantu TNI AD dalam menumpas
PKI.
Bekas Kepala Staf ABRI Jendral (purnawirawan) AH. Nasution juga
membantah keterlibatan CIA dalam peristiwa G-30 S/PKI. Ketika ditanya
mengenai laporan Sugandhi kepada Bung Karno mengenai rencana PKI (seperti
juga yang ditercantum dalam buku Nasution Memenuhi Panggilan Tugas),
Nasution mengatakan bahwa sekalipun dalam pemeriksaan Mahmilub Sugandhi
mengakui bahwa ia telah melaporkan rencana PKI itu, tetapi Bung Karno tidak
pernah diadili, jadi sulit membuktikan apakah benar Bung Karno mengetahui jauh
hari sebelum peristiwa G-30 S/PKI.
Majalah Tiras juga melaporkan dokumen CIA tsb. tetapi dengan nada yang
lain sekali. Menurut laporan Tiras, hanya militer yang terlibat dalam kudeta 30
September 1965 dan kejadian itu sepenuhnya merupakan masalah intern TNI AD.
Isi dokumen CIA belum tentu semuanya mengandung kebenaran. Seperti
dokumen lain, tentunya tak bebas dari bias sehingga memerlukan telaah historis.
Namun diluar semua itu, keterlibatan CIA di Indonesia bukan hanya sebuah mitos,
tetapi juga merupakan realitas sejarah.
Prof George Mc. T Kahin, ahli Indonesia dari Cornell University AS,
mengatakan bahwa pengungkapan peristiwa G 30 S/PKI sangat sulit karena

banyak dokumen yang tersembunyi. Prof. Kahin bahkan mensinyalir keterlibatan


dinas rahasia Inggris M16 karena Inggris berkepentingan menggulingkan Bung
Karno karena politik Ganyang Malaysianya. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan LIPI
mengatakan bahwa dokumen CIA bukanlah jaminan kebenaran sejarah. Dua
tahapan sebagai prasyarat penting bagi pengujian suatu dokumen haru dilewati
yaitu: tahapan pengujian internal (diuji logika uraiannya) dan secara eksternal
(diuji kebenarannya dengan cara empiris dan diuji dengan fakta dari dokumen
sahih lainnya). Menurut Dr. Taufik Abdullah dokumen berstempel CIA belum
tentu lulus tahapan ujian diatas.

E. Dampak peristiwa sejarah 30 september 1965 bagi masyarakat


Indonesia sampai saat ini
Salah satu episode sejarah kita yang masih remang-remang, bahkan gelap,
dan karenanya mengundang kontroversi yang tak habis-habis hingga kini adalah
Gerakan 30 September 1965 (G-30 S 1965) atau Gerakan 1 Oktober (Gestok),
atau apapun Anda mau menamainya. Salah satu pertanyaan utama yang
jawabannya hingga sekarang masih kabur dan menggantung adalah: Siapa
sesungguhnya dalang dari gerakan itu? Partai Komunis Indonesia (PKI),
Soekarno, Soeharto, Angkatan Darat (AD), kekuatan-kekuatan asing, atau siapa?
Di masa Orde Baru, ketika negara memposisikan dirinya sebagai pemonopoli
tafsir atas sejarah, kita hanya diperkenankan mengakses satu versi tunggal produk
negara. Menurut versi ini, pihak yang paling bertanggung jawab atas G-30 S 1965
adalah PKI. Singkatan G-30 S/PKI pun dimassalkan sebagai penamaan resmi
peristiwa itu.
Siapapun itu, dampak dari peristiwa ini jauh lebih menyedihkan bagi Bangsa
Indonesia. Sejak (atau bahkan sebelum) Soeharto membubarkan PKI dan
menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia pada tahun 1966, kebencian
masyarakat Indonesia terhadap PKI meluas ke seluruh penjuru Indonesia.
Akibatnya, diperkirakan:

600.000 orang yang dianggap terkait dengan PKI menjadi tahanan politik,
ditangkap tanpa surat penangkapan serta ditahan tanpa proses persidangan.

Setidaknya

diperkirakan 500.000

2.000.000

atau 3.000.000

orang

dihilangkan secara paksa dan dibunuh di seluruh pelosok Indonesia dari


tahun 1965 - (kemungkinan) 1971. (Angka 2 juta diakui oleh Laks TNI
Sudomo sedangkan 3 juta diakui oleh Jendral Sarwo Edhie)

Ratusan orang tawanan politik Indonesia kabur ke luar negeri dan tidak
bisa kembali ke Indonesia selama 30 tahun hingga masa Orde Baru jauh
pada tahun 1998.

Aftermath atau dampak berkelanjutan setelah gerakan 30 September 1965


dianggap sebagai salah satu tragedi kemanusiaan (genocide) terbesar pada abad 20
yang jarang diketahui oleh publik Indonesia maupun dunia hingga saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Вам также может понравиться