Вы находитесь на странице: 1из 26

Oleh :

Yuriska Andiri
Sri Diah Handayani
Renaldo Moontri
A. Pendahuluan
Kebutuhan energi saat ini sudah menjadi masalah nasional yang begitu nyata dan
mendesak, sehubungan dengan melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) dunia yang
sangat besar dampaknya diberbagai sektor perekonomian nasional. Merespon masalah tersebut di
atas Pemerintah sudah mengeluarkan Inpres No.10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi dan
ditindaklanjuti Permen ESDM No.0031 tahun 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghematan
Energi. Juga Perpres No.5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No.1 tahun
2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau Biofuel.
Selanjutnya pemerintah telah membentuk Timnas BBN untuk menyiapkan Program
Pengembangan BBN, serta ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan dan kebijakan lainnya. Hal
tersebut diperkuat dengan adanya UU No.30 tahun 2007 tentang Energi, maka sudah cukup kuat
landasan bagi kita untuk mengoptimalkan penggunaan energi dan mencari sumber energi baru
dan terbarukan sehingga bisa memberikan solusi terhadap permasalahan krisis energi nasional.
Meningkatnya harga energi yang sangat melambung saat ini dan meningkatnya
kepedulian masyarakat tentang dampak lingkungan dari penggunaan energi serta liberalisasi
sektor industri energi mengakibatkan semakin pentingnya pemahaman manajemen energi dan
konservasi energi dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi yang pesat dan sumber
energi yang semakin terbatas. Untuk itulah perlu adanya suatu riset dan analisis lebih jauh untuk
menginventarisasi berbagai permasalahan, memetakan semua potensi yang ada, menghitung
adanya peluang dan resiko investasi, serta memberikan solusi multiperspektif dan multidimensi,
agar permasalahan krisis energi bisa kita atasi bersama.

B. Manajemen Energi
Manajemen berasal dari kata "to manage" yang berarti mengatur, mengurus atau
mengelola. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli terhadap istilah manajemen ini.

Namun dari sekian banyak definisi tersebut ada satu yang kiranya dapat dijadikan pegangan
dalam memahami manajemen tersebut, yaitu : Manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari
rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian/
pengawasan, yang dilakukan untuk menetukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan
melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Dalam penulisan ini juga
terdapat pembahasan menegenai manajemen energi. Sedangkan Manajemen Energi itu
merupakan rangkuman dari tindakan yang direncanakan dan dilakukan untuk mencapai tujuan
menggunakan energi seminimum mungkin sementara tingkat kenyamanan (di kantor atau rumah)
dantingkat produksi (di pabrik) tetap dapat terpelihara. (www.energyoffice.org)
Manajemen energi dapat digambarkan sebagai alat yang membantu perusahaan untuk
mengontrol, mengelola dan meningkatkan energi yang digunakan. Melalui manajemen energi
yang baik, perusahaan dapat memastikan bahwa ia memiliki pengetahuan tentang bagaimana
energi yang digunakan dan menciptakan sebuah sistem yang terus menerus mendeteksi dan
mengimplementasikan tindakan yang bertujuan mengurangi penggunaan energi dan biaya energi.
Sebuah standar untuk manajemen energi, SS 627750, telah berlaku di Swedia sejak tahun
2003. Seperti dengan standar untuk sistem manajemen lingkungan, misalnya ISO 14001, standar
untuk sistem manajemen energi

mengandaikan

bahwa

perusahaan

merumuskan

sebuah

kebijakan energi. Perusahaan juga harus mengidentifikasi bagaimana dan di mana menggunakan
energi,

pem-lish

target

dan

rencana

aksi

yang

bertujuan

mengurangi

energi

menggunakan, membuat struktur organisasi untuk mengelola energi-pemerintah, memantau dan


menggunakan mengukur energi, serta pengendalian operasinya dengan cara lain.
Dasar untuk sistem manajemen perusahaan energi adalah pemetaan dan analisis (sering
disebut energi audit) dari energi yang digunakan. Perusahaan juga harus mengidentifikasi
aspek energi yang secara signifikan dapat mempengaruhi penggunaan energi. Tujuannya adalah
untuk menemukan aspek-aspek tersebut antara lain :

Lebih efisien penggunaan energy

Peningkatan pangsa energi terbaru

Sebuah peningkatan pertukaran energi sekitarnya (misalnya limbah panas pasokan


dari perusahaan-perusahaan industri untuk jaringan c).

Dalam kerangka sistem manajemen energi, perusahaan harus terus menerus berusaha
untuk menemukan langkah-langkah yang dapat meningkatkan kinerja energi

Dalam satu dari tiga cara yang disebutkan di atas. Perusahaan dapat memilih
untuk memungkinkan pihak independen, lembaga sertifikasi, untuk audit sistem
manajemen energi. Jika perusahaan memenuhi persyaratan standar, lembaga sertifikasi
masalah sertifikat.
Manajemen energi bagi sebuah perusahaan setidaknya akan mendatangkan dua
buah keuntungan, yakni keuntungan finansial dan keuntungan lingkungan. Manajemen
energi dapat membantu terwujudnya short-term survival suatu perusahaan pada saat
harga energi mahal ataupun saat energi tidak tersedia karena perusahaan utilitas tidak
mampu memenuhi permintaan (pemadaman bergilir). Selain itu, manajemen energi juga
dapat membantu terwujudnya long-term success karena perusahaan dapat bersaing
dengan baik dengan memberikan penawaran terbaik pada harga yang relatif murah. Sisi
lain dari penerapan manajemen energi ini adalah menonjolkan peran perusahaan
membantu memerangi global warming, polusi, serta hujan asam (diurut berdasarkan
kepopuleran saat ini). Dengan mengkonsumsi lebih sedikit energi berarti mengurangi
polusi termal dan penggunaan air pendingin, yang intinya dapat membantu meningkatkan
kualitas lingkungan.
Untuk mensukseskan suatu program manajemen energi, top executive harus
mewujudkan niat baik dan dukungannya bagi program ini. Prinsip TQM (Total Quality
Management)

yang

berprinsipkan

pada

kewenangan front-line

employees untuk

melakukan perubahan dan membuat keputusan pada tingkat operasi dasar, harus
mengikutsertakan energy cost control didalamnya. Bagi top executive yang masih ragu,
berikut terdapat gambaran kasar bagi pihak manajemen mengenai besaran reduksi biaya
energi adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan manajemen energi dengan aktifitas yang menggunakan biaya rendah selama
1 sampai 2 tahun, akan menghasilkan reduksi sebesar 5% s/d 15%.
2. Kegiatan dengan biaya sedang dan usaha yang tekun selama 3 sampai 5 tahun, akan
mengkasilkan reduksi sebesar 15% s/d 30%.
3. Kegiatan jangka panjang dengan biaya tinggi dan perencanaan yang baik akan
menghasilkan reduksi sebesar 30% s/d 50%.
Seringkali kegiatan manajemen energi dianggap mengalami kebuntuan setelah
dicapai pengurangan biaya energi sebesar 15%-20%. Hal ini membawa dua buah dampak

buruk, yang pertama adalah tidak termotivasinya manajer energi untuk mencari upaya
efisiensi, sehingga pengurangan biaya lebih dari 20% tidak akan pernah tercapai.
Dampak buruk yang berikutnya adalah anggapan bahwa penurunan biaya 20% itu
merupakan akhir dari program manajemen energi. Setelah keadaan ini pada umumnya konsumsi
energi akan kembali meningkat karena perilaku lama akan dijalankan kembali pada sistem
operasi perusahaan.
Terdapat usulan bagi terciptanya program manajemen energi yang sukses diambil dari
buku Energy Management Handbook, yakni:
1. Mengontrol energi dari biaya konsumsi energi atau tarif perusahaan utilitas (dalam
rupiah), bukan energi dari jumlah kalor yang digunakan (BTU, TR, KW).
2. Mengontrol energi sebagai bagian dari biaya produksi bukan sebagai bagian dari
manufaktur atau general overhead.
3. Hanya mengontrol dan memonitor konsumsi energi paling utama, yakni 20% yang
menyumbang 80% biaya.
4. Menerapkan usaha yang besar yakni dengan berinvestasi pada pemasangan kontrol
dan upaya lain untuk memperoleh hasil penghematan.
Manajemen energi dapat diterapkan di pabrik, bangunan kantor, pusat olahraga, rumah
kediaman, dan untuk semua jenis bangunan di mana menggunakan energi diperlukan untuk
membuat efisien penggunaan energi. Energi yang dibahas adalah merupakan energi listrik yang
akan diatur untuk keperluan sistem peralatan peralatan yang ada di dalam ruangan kuliah. Agar
penggunaan energi tersebut teratur maka diperlukan yang namanya manajemen energi.
Manajemen energi ini penerapannya sangat tepat pada kebanyakan fasilitas fasilitas publik
seperti penerangan taman, penerangan jalan, katup katup air pada wc umum, ruang kuliah dan
banyak lagi yang lainnya.
Pendekatan secara sistematis dan terstruktur terhadap manajemen energi sangat
dibutuhkan dalam usaha mengidentifikasikan dan merealisasikan potensi penghematan yang ada.
Manajemen Energi Terpadu memberikan manfaat pada perusahaan atau organisasi antara lain :
a. Penurunan biaya operasi
b. Peningkatan keuntungan.
c. Meminimumkan pengaruh load shedding
d. Peningkatan potensi untuk kesinambungan pertumbuhan pasar
e. Pemberian dasar pertimbangan dalam usaha memodernisasikan perusahaan atau
organisasi

Manajemen energi juga mempelajari teknik dan cara pemakaian suatu barang agar
seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan perusahaan dan organisasi. Sementara itu di industri,
manajemen industri telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah, swasta maupun konsultan.
Sayangnya, rekomendasi yang disampaikan dalam laporan ternyata banyak yang belum atau
tidak dilaksanakan karena berbagai alasan. Ini berarti ada sesuatu yang belum jelas atau salah,
kemungkinan karena manajemen energi belum dipahami oleh manager perusahaan atau dapat
juga disebabkan kesalahan dalam penyelenggaraan manajemen energi maupun dalam
penyusunan rekomendasi. Kegagalan dalam membuat rekomendasi umumnya disebabkan
kurangnya data yang tersedia, semakin lengkap data (data yang relevan) semakin akurat analisis
dan rekomendasi yang dihasilkan. Kurangnya data biasanya disebabkan oleh terbatasnya latar
belakang pengetahuan para petugas pelaksana atau fasilitas yang diaudit, lebih buruk lagi auditor
tidak menanyakan secara tepat yang harus ditanyakan atau yang ingin diperoleh karena
pengetahuan petugas pengelola fasilitas, proses atau sistem sangat terbatas.
Hal yang penting dalam manajemen energi adalah adanya komunikasi dan kerjasama
yang baik dapat diperoleh dengan cara:
a.

Meyakinkan staf atau karyawan dari suatu perusahaan atau organisasi bahwa
mereka adalah bagian dari tim dan kehadiran tim audit disini bukanlah sebagai
pemeriksa.

b.

Menjelaskan bahwa perubahan operasi, sistem mungkin direkomendasikan adalah


untuk menghemat energi.

c.

Meyakinkan staf atau karyawan dari suatu perusahaan atau organisasi bahwa
penghematan energi adalah penghematan biaya yang pada gilirannya akan
memberi keuntungan untuk bagi semua komponen dalam perusahaan atau
organisasi tersebut serta akan meningkatkan keselamatan dan lingkungan kerja.

C. Peraturan yang Mengatur Tentang Energi


Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang
mengamanatkan antara lain bahwa bahwa energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan,
rasionalitas, efisiensi, berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan
masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan
dengan mengutamakan kemampuan nasional.

nasional,

dan keterpaduan

UU Energi

ini

diharapkan

mampu

mewujudkan sistem energi

nasional yang

berkelanjutan melalui pendekatan yang mengintegrasikan seluruh komponen terkait secara


komprehensif. Melalui berbagai materi pokok yang diaturnya, undang-undang ini telah
menyediakan payung hukum yang mampu menyediakan berbagai piranti dan kondisi yang
dibutuhkan sebagai enabling environment.
Guna mewujudkan sistem energi yang memadai untuk mengantarkan Indonesia
menjadi negara besar dan sejahtera yang disegani pada tahun 2050, diperlukan
pemahaman

yang

utuh

tentang

UU

ini. Termasuk

dalam

pemahaman

tersebut

adalah inventarisasi wilayah/hal yang telah dan belum secara memadai diderivasikan ke dalam
berbagai peraturan/regulasi dengan tingkat lebih rendah. Termasuk disini juga adalah
prediksi urgensi penyempurnaan UU Energi dalam masa mendatang.
Pemerintah dalam rangka optimalisasi penggunaan energi telah mengeluarkan kebijakan
umum bidang energi yang meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi, konservasi, harga
energi, dan lingkungan (BAKOREN 1998). Kebijakan ini merupakan perbaikan dari kebijakankebijakan energi yang sudah ada sebelumnya dan akan terus diperbarui sesuai dengan kondisi di
masa mendatang. Pada tahun 2004 pemerintah dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral (DESDM) mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang merupakan
pembaruan dari KUBE tahun 1998 yang penyusunannya dilakukan bersama-sama dengan
stakeholders di bidang energi. Kebijakan yang ditempuh masih serupa dengan KUBE
sebelumnya yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi dengan menambah instrumen
legislasi dan kelembagaan. Pemerintah juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden No.10/2005
tentang penghematan energi menyusul terjadinya krisis pengadaan BBM pada tahun 2005.
Pada tahun 2006 pemerintah melalui Peraturan Presiden No.5/2006 mengeluarkan KEN
yang merupakan revisi dari KEN tahun 2004. KEN bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya
dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri, mengoptimalkan produksi energi,
dan melakukan konservasi energi. Dari sisi pemanfaatannya perlu diusahakan penggunaan energi
yang efisiensi dan melakukan diversifikasi.
Selain itu, pemerintah juga mengatur konservasi energi dalah Peraturan Pemerintah
No.70 tahun 2009. Kebijakan konservasi energi dimaksudkan untuk meningkatkan penggunaan
energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi kuantitas energi yang memang benar-benar
diperlukan. Upaya konservasi energi dapat diterapkan pada seluruh tahap pemanfaatan, mulai

dari pemanfaatan sumber daya energi sampai pada pemanfaatan akhir, dengan menggunakan
teknologi yang efisien dan membudayakan pola hidup hemat energi.
D. Kondisi Energi di Indonesia
Perubahan iklim global disebabkan oleh pemanasan global yang terjadi akibat
meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). Peningkatan GRK ini semakin besar setelah
masa revolusi industri. Semakin tinggi kebutuhan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup
maka akan semakin besar aktivitas industri, transportasi, pembukaan hutan, usaha pertanian,
rumah tangga dan aktivitas-aktivitas lain yang melepaskan GRK. Akibatnya konsentrasi GRK di
atmosfer akan terus meningkat.
GRK meliputi gas-gas Karbon Dioksida (CO 2), golongan Chloro-Fluorocarbon (CFCs),
Methan (CH4), Ozon (O3), dan Nitrogen Oksida (NOx). Gas-gas tersebut berada di atmosfer
berfungsi sebagai mana kaca, yaitu melewatkan radiasi matahari ke permukaan bumi tetapi
menahan radiasi bumi agar tidak lepas ke angkasa. Dalam jumlah tertentu GRK dibutuhkan
untuk menjaga suhu ekstrim bumi agar tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tetapi jika jumlah
radiasi bumi yang terperangkap di dalam atmosfer bumi berlebihan, maka atmosfer dan
permukaan bumi akan semakin panas (suhu meningkat).
Dari sekian banyak gas rumah kaca, CO 2 (karbon dioksida) adalah kontributor utama.
CO2 dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas.
Selain itu gas CO2 juga dihasilkan dari proses deforestasi (penebangan hutan).
Untuk mengantisipasi perubahan iklim yang terjadi dimasa depan disusunlah kebijakan
iklim internansional yang bernama Protokol Kyoto. Didalam Protokol Kyoto disepakati negaranegara yang ikut ambil bagian didalamnya, yaitu negara-negara maju dan negara-negara transisi
untuk melakukan pengurangan emisi sebesar 5,2 % dari tingkat emisi rata-rata pada tahun 1990.
Saat ini Indonesia belum diwajibkan untuk mengurangi emisinya, tapi kebijakan ini akan
berpengaruh besar terhadap Indonesia terutama sektor energinya. Indonesia adalah negara
berkembang yang berbentuk kepulauan dengan jumlah penduduk yang tinggi. Total penduduk
Indonesia pada tahun 2004 telah melebihi 210 juta (Sinaga, 2004). Penduduk Indonesia
mengkonsumsi 3,9 quadrillion British thermal unit (Btu) energi, yang 95 persennya berasal dari
bahan bakar fosil (DGEED, 2000). Selain itu Indonesia memiliki banyak cadangan kekayaan
energi yang cukup berarti, terutama batubara yang menjadikan Indonesia sebagai negara

pengekspor bahan bakar beremisi karbon tersebut. Sehingga sektor energi merupakan faktor
utama dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Ekspor gas dan minyak bumi memberikan
kontribusi penting dalam pendapatan negara. Hal ini menjadikan Indonesia rentan terhadap
kebijakan iklim internasional, termasuk kebijakan pengurangan emisi (Susandi, 2004)
Kebutuhan energi di Indonesia dibedakan atas beberapa sektor pengguna energi seperti
industri, rumah tangga, transportasi, pemerintahan, dan komersial. Besarnya kebutuhan energi
final terbesar pada tahun 2003 adalah sektor industri, yaitu sebesar 188,14 ribu SBM kemudian
disusul sector transportasi sebesar 185,90 ribu SBM dan sektor rumah tangga sebesar 114,97 ribu
SBM. Sedangkan besarnya kebutuhan energi final per jenis energi pada tahun tersebut, adalah
Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 329,82 ribu SBM, gas bumi sebesar 63,82 ribu SBM, listrik
55,48 ribu SBM, batubara sebesar 31,13 ribu SBM, dan LPG sebesar 8,767 ribu SBM.
Kebutuhan energi final tersebut dapat di suplai dari sumber energi nasional ataupun di impor dari
negara lain, apabila pasokan energi nasional tidak mencukupi. Kemampuan pasokan energi
nasional terkait erat dengan ketersediaan sumber daya energi dan kemampuan ekonomi nasional.
Selama kurun waktu 30 tahun (2000-2003), kebutuhan energi final di Indonesia
diasumsikan meningkat sebesar 5,7% per tahun dari 3.429,08 PJ pada tahun 2000 menjadi
14.089,34 PJ pada tahun 2030. Agar kebutuhan energi final yang selalu meningkat tersebut,
dapat terpenuhi, dibutuhkan adanya peningkatan investasi di bidang energi di Indonesia yang
selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi sistem penyediaan energi nasional. Peningkatan
investasi di bidang energi di Indonesia dapat dikatakan sangat tepat, mengingat Indonesia
mempunyai beragam sumber daya energi fosil (batubara, gas, dan minyak bumi) serta sumber
daya energi terbarukan (energi surya, energi air, panas bumi, dan angin) yang cadangannya
cukup melimpah akan tetapi pemanfaatannya belum optimal, kecuali minyak bumi yang
cadangannya sangat terbatas.
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) harus mulai dikembangkan dan dikuasai sejak dini,
dengan mengubah pola fikir (mind-set) bukan sekedar sebagai energi altenatif dari bahan bakar
fosil tetapi harus menjadi penyangga pasokan energi nasional dengan porsi EBT >17% pada
tahun 2025 (Lampiran II Keppres no.5/2006 tentang Kebijakan Energi nasional) berupa biofuel
>5%, panas bumi >5%, EBT lainnya >5%, dan batubara cair >2%, sementara energi lainnya
masih tetap dipasok oleh minyak bumi <20%, Gas bumi >30% dan Batubara >33%. Pemerintah
berkomitmen mencapai visi 25/25, yaitu pemanfaatan EBT 25% pada tahun 2025.

Program-program untuk mencapai target >17% (atau 25%) EBT adalah listrik pedesaan,
interkoneksi pembangkit EBT, pengembangan biogas, Desa Mandiri Energi (DME), Integrated
Microhydro Development Program (IMIDAP), PLTS perkotaan, pengembangan biofuel, dan
proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II berbasis EBT (panas bumi dan hidro).
Untuk mencapai itu, Indonesia membutuhkan dana Rp.134,6triliun (US$15,7miliar) guna
mengembangkan sumber-sumber EBT untuk 15 tahun mendatang. Dana tersebut (dalam master
plan 2011-2015) akan dibagikan ke 5 daerah, Sumatra Rp 25,06 triliun), Jawa (86,3 triliun),
Sulawesi (Rp 15,77 triliun), Bali-Nusa Tenggara (Rp 2,64 triliun), dan Papua-Maluku Rp 4,83
triliun). Pemerintah mendukung innovasi pemanfaatan PLTS misalnya untuk penerangan jalan,
dan mendorong pula pemasangan panel surya di atap-atap pusat pertokoan dan mal agar
mendapatkan pasokan listrik sendiri.
Upaya penganekaragaman (diversifikasi) sumber energi lainnya selain minyak bumi terus
dilakukan, di antaranya pemanfaatan gas, batubara, EBT (air/mikrohidro, panas bumi, biomassa,
surya, angin, gelombang/arus laut, BB Nabati, nuklir), batu bara cair dan gas (liquified, gasified
coal).
Tahun 2011, Pemerintah merencanakan 35 Desa Mandiri Energi (DME) berbasis non
BBN, yaitu PLTMH 10 lokasi (5 di Sumatera, 2 di Jawa, 3 di Kalimantan 4 di Sulawesi, 2 di
Nusa tenggara, 1 di Maluku dan Papua), arus laut 1 lokasi, Hibrid 1 lokasi, peralatan produksi
(sisa energi listrik dari EBT) 10 lokasi.
Tahun 2010, Desa Mandiri Energi (DME) sudah dikembangkan di 15 wilayah di
Indonesia, 9 di luar P. Jawa dan 6 di P. jawa. Th 2009, program DME mencapai 633 desa,
dengan rincian Tenaga Air 244 desa, BB Nabati 237 desa, Tenaga Surya 125 desa, Biogas 14
desa, Tenaga Angin 12 desa, Biomassa 1 desa.
E. Penggunaan Energi di Industri Tekstil
Dengan meningkatnya laju perkembangan ekonomi maka laju konsumsi energi di industri
khususnya yang padat energi akan semakin meningkat. Dilain pihak sumber daya energi yang
berupa bahan bakar minyak akan berkurang dengan cepat sekali sehingga perlu adanya usaha
untuk mengatasi keadaan ini.
Industri tekstil termasuk salah satu dari 10 sektor industri di Indonesia yang padat energi
yang menggunakan 60%

dari total pemakaian energi komersial di sektor industri, sehingga

dengan mengadakan perbaikan dalam penggunaan energi di pabrik tekstil, maka diharapkan akan
banyak mempengaruhi pamakaian energi secara nasional.
Dalam rangka kerja sama ASEAN-Australia telah dilakukan studi penggunaan energi di
pabrik tekstil yang berada di Bandung. Dimana telah diaudit secara detail tiga pabrik tekstil dan
telah dianalisis data-datanya sehingga dapat diberi rekomendasi untuk perbaikannya. Pada salah
satu pabrik tersebut telah dipasang satu unit sistem rekoveri panas (heat recovery) dimana panas
buang pada mesin pencuci digunakan sabagai pemanas awal.
Pada umumnya energi yang digunakan pada pabrik tekstil adalah energi dalam bentuk
listrik, baik yang disuplai oleh PLN maupun oleh generator listrik milik pabrik. Energi dalam
bentuk listrik ini digunakan untuk menggerakkan mesin-mesin tekstil (50%-70% dari seluruh
pemakaian listrik), AC/refrigerator (1%-30%), alat-alat bantu pompa air (5%-31%), pompapompa pada boiler (0,5%-7%), lampu penerangan (1%-5%) dan alat-alat kantor (0,1%-1%).
Disamping itu digunakan juga energi termal berupa uap panas (steam) yang dihasilkan oleh
boiler yang digunakan pada proses pencelupan,scouring,decattizing,sizing, pencucian dan
finishing. Dimana masing-masing juga menggunakan listrik untuk menggerakkan motor-motor
listrik pada mesin-mesin tersebut.
Dari hasil audit yang dilakukan, penggunaan energi dalam bentuk listrik dan dalam bentuk
panas bervariasi untuk tiap-tiap pabrik. Banyaknya energi diuukur dari jumlah kWh untuk listrik
dari PLN dan jumlah BBM (solar) yang digunakan untuk listrik dari genset, sedangkan jumlah
energi dalam bentuk panas diukur dari jumlah BBM yang digunakan. Semua energi dikonversi
dalam bentuk Joule.
Banyaknya energi yang digunakan pada tiap pabrik baik dalam bentuk listrik maupun
dalam bentuk panas ditunjukkan pada Tabel 1. Dimana ditunjukkan juga persentase dari masingmasing sumber energi untuk tiap pabrik.

Gambar 1 . Skema penggunaan energi di Pabrik tekstil


Tabel 1. Pengunaan Energi di lima pabrik tekstil dalam setahun

Dari tabel 1. Dapat dilihat bahwa pada umunya setiap pabrik tekstil mempunyai
pembangkit listrik (genset) sendiri untuk menutupi kekurangan daya listrik yang dapat
disediakan oleh PLN, disamping juga sebagai cadangan apabila listrik dari PLN sewaktu-waktu
tidak berfungsi.
Pada umunya pemakaian energi dalam bentuk listrik dan dalam bentuk panas hampir sama
besar, ini terjadi pada umumnya pada pabrik yang dominan mesin-mesin pintalnya, sedang pada
pabrik yang dominan proses pencelupan dan finishing sepert pabrik BTN dan HM, energi dalam
bentuk termal lebih dominan.
Kalau dilihat dari harga energi akan terlihat bahwa harga energi dalam bentuk listrik akan
lebih besar seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Konsumsi Energi Spesifik (Spesifik Energy Consumtion,SEC) adalah harga dari energi
perastuan produksi dalam hal tekstil dalam meter atau yard. SEC dihitung dari pembagian energi
yang digunakan (toatal) dengan jumlah hasil yang diproduksi.
Dari hasil perhitungan yang dilakukan diperoleh konsumsi energi spesifik untuk tiap-tiap
pabrik seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsumsi Energi Spesifik (SEC) di lima pabrik tekstil di Bandung

Industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia dapat dikategorikan dalam 3 kelompok
industri yaitu industri hulu (upstream) yang terdiri dari industri serat alami dan serat sintetis,
hilir (downstream) terdiri dari industri garmen atau pakaian jadi dan produk tekstil lainnya dalam
skala kecil, dan industri antara (midstream) yang terdiri dari spinning, weaving, knitting dan
dying. Industri upstream umumnya merupakan industri padat modal karena sebagian besar
aktivitas produksi menggunakan mesin full automatic sehingga hanya membutuhkan tenaga
kerja yang relaif sedikit tetapi mampu menghasilkan produk serat alam, serat sintetis, dan serat
rayon dalam jumlah besar. Industri midstream merupakan industri semi padat modal karena
menggunakan teknologi permesinan yang cukup modern tetapi masih membutuhkan tenaga kerja

yang lebi besar dari industri upstream dengan kemampuan produksi benang, dan kain lembaran
(woven dan knitted). Sedangkan industri downstream umumnya adalah industri pada tenaga
kerja karena membutuhkan tenaga operator yang cukup banyak dan sebagian besar merupakan
tenaga kerja perempuan.
Teknologi yang digunakan juga telah berkembang dengan pesat namun masih terkombinasi
antara teknologi yang padat modal dengan yang padat tenaga kerja untuk memenuhi dinamika
permintaan konsumen yang sangat pesat sesuai dengan trend yang ada di masyarakat untuk
produk pakaian jadi, karpet, bed linen, curtain, dan lain-lainnya. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa semakin ke hilir industri tekstil dan produk tekstil semakin

labor intensive dan

membutuhkan perputaran modal kerja yang cepat sedangkan Semakin ke hulu semakin capital
intensive dan dengan tingkat konsumsi energi yang semakin besar.
Tabel 3. Kebutuhan Energi setiap tahun Industri Tekstil dan Produk Tekstil

Jenis/Aktivitas Industri
Squining
Waeving
Serat/fiber making
Dyeing/Printing/Finishing
Embroidery
Garment
Produk Tekstil Lainnya
Total

Proporsi Kebutuhan Energi BBM/Listrik (%)


34
23
95
38
5

100

Sumber: API, 2009

Dalam proses produksi tekstil di sektor upstream dan midstream kebutuhan thermal energy
ada pada wet processing of textiles yang digunakan dalam proses evaporasi dari berbagai
tahapan produksi dan juga proses pemanasan secara kimiawi. Kebutuhan energi yang besar ini
dipenuhi dengan menggunakan steam yang dihasilkan dari boiler dengan sumber energi yang
dibangkitkan dengan menggunakan sumber energi batubara. Proses produksi dari industri
upstream dan midstream ini hanya menggunakan sekitar 15 persen dari total energi listrik yang
bersumber dari PLN. Akan tetapi kebutuhan energi listrik ini sering mengalami kendala dalam
hal pasokan energi listrik terutama adanya gangguan mati listrik yang sangat merugikan bagi
para pelaku industri. Selain menghentikan proses produksi, adanya gangguan pasokan listrik juga
dapat menyebabkan kerusakan pada mesin dan juga biaya produksi yang menjadi besar karena
adanya kerusakan pada proses produksi dan meningkatkan porsi produk gagal. Konsumsi energi

listrik pada industri tekstil dan produk tekstil ini setara dengan kebutuhan energi air yang banyak
dibutuhkan pada aktivitas industri antara (mid-stream) yaitu dari spinning hingga embroidery.
E. Studi Kasus
PT Grand Textile Industry
PT Grand Textile Industry (Gandtex)

berlokasi di JL. Ahmad yani No. 127 km. 7

Bandung. Pada saat ini Pt. Grand Textile Industry memiliki karyawan baik yang terlibat langung
dalam proses produksi maupun dalam bidang bidang lainnya rata rata memiliki masa kerja
dari 8 tahun ke atas sehingga di dalam melakukan aktivitas kerjanya sudah cukup terampil serta
mendapat dukungan ari penggunaan teknologi yang mampu memberikan nilai tambah untuk
setiap proses produksi, sistem komputerisai jaringan untuk distribusi data sebagai langkah yang
efisien untuk pertukaran informasi yang sangat cepat.

a. Struktur Organisasi
Dalam struktur organisasi PT.Gandtex memiliki beberapa level pimpinan dan beberapa
Departemen.
Level pimpinan tersebut terdiri dari :
1. Pimpinan pabrik
2. Asisten pimpinan yang terdiri dari :
Asisten pimpinan bidang non produksi
Asisten pimpinan bidang weaving
Asisten pimpinan bidang spinning
3. Kepala Departemen
4. Kepala Divisi
5. Kepala Bagian
Sedangkan Departemen yang ada di PT.Grandex adalah :
Departemen Personalia dan Umum
Departemen Utility
Departmen Quality Control
Departemen Logistik

Departemen Pergudangan
Departemen weaving
Departemen Spining
b. Aktivitas Perusahaan
Kegiataan kerja PT.Grantex terbagi menjadi 3 (tiga ) shift kegiatan produksi dan 1 (satu)
shift kegiatan umum. Jam kerja kegiatan produksi adalah sebagai berikut :
1. shift I mulai dari 06.00 14.00 wib
2. shift II mulai dari 14.00 22.00 wib
3. shift III mulai dari 22.00 06.00 wib
yang termasuk ke dalam shift kegiatan produksi ini yaitu para karyawan yang
bekerja berkaitan/berhubungan langsung dalam proses produksi, yang mengolah
bahan baku menjadi barang jadi dengan mesin produksi.
4. shift umum mulai dari 08.00 sampai 16.00 wib
yang termasuk dengan shift umum yaitu para karyawan yang bekerja tidak
berkaitan langsung dengan proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan
PT.Grantex berusaha untuk meminimalkan adanya lembur di dalam perusahaan.
Namun lembur tidak bisa dihindari apabila adanya gangguan atau kerusakan pada
mesin.
Dalam memasarkan produksi PT.Grantex ini berorentasi pada ekspor yaitu bertujuan
untuk memenuhi permintaan pasar kain Denim PT.Grantex, Sangat ditentuikan dari kualitas kain
yang dihasilkan.
PT.Grantex secara garis besar menghasilkan 3 (tiga) kualitas kain Denim yang berbeda
yaitu :
1) Great A , yaitu kualitas kain Denim yang terbaik dan memenuhi segala kriteria
untuk diekspor.
2) Great B.
3) Great C.
Walaupun PT.Gantex berkeinginan menghasilkan 100% produksinya mempunyai kualitas
Great A, namun hal itu sulit tercapai karena adanya berbagai hambatan sehingga setelah diseleksi
dengan ketat PT.Grantex saat ini menghasilkan 80% - 85% dari total produksi kain Denim yang

merupakan kain kualitas Great A dan layak untuk diekspor. Sedangkan sisanya yang
dikategorikan mempunyai kualitas Great B dan Great C dipasarkan untuk memenuhi permintaan
pasar lokal.
c. Penggunaan Energi di PT Grandtex
Proses produksi utama di PT Grandtex yaitu proses drying, sizeing, weaving dan
spinning. Untuk menggerakkan proses produksi digunakan energi listrik dan energi uap. Sistem
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan boiler yang digunakan tidak terintegrasi dan
secara garis besar skema sistem tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.
Energi listrik di samping berasal dari PLN juga dibangkitkan sendiri dengan
menggunakan tiga buah PLTD. PLTD mempunyai kapasitas terpasang masing-masing sebesar
930 kVA yang merupakan standby unit. Data tahun 1999 menunjukkan bahwa rata-rata setiap
PLTD mengkonsumsi bahan bakar (minyak solar) sebesar 17,2 ribu liter per bulan dengan
produksi listrik sebesar 57,3 MWh per bulan. Sedangkan konsumsi listrik dari PLN rata-rata
sebesar 4.054 MWh per bulan.
Energi uap diperoleh dari enam buah jenis boiler yaitu 2x200 VO, 2x100 VO, 60 VO,
dan 40 VO. Boiler jenis 200 VO dapat menghasilkan uap sebesar 10 ton/jam pada tekanan 6-7
bar dengan suhu 165-170 OC. Uap yang dihasilkan sebelum masuk proses produksi ditampung
secara keseluruhan di tangki pengumpul uap (steam header). Boiler dengan kapasitas 200 VO
rata-rata setiap hari menghabiskan bahan bakar (minyak diesel) sebesar 167 ribu liter per bulan
dengan produksi uap sebesar 2.023 ton per bulan.

Gambar 2. Sistem Energi dan Uap

e. Audit Energi PT Grand Textile Industry


Audit energi merupakan survei tentang penggunaan energi di industri secara rinci.
Tujuan dari survei ini untuk memperoleh data teknis dan finansial yang dapat digunakan
untuk mengambil tindakan dalam rangka mengurangi biaya penggunaan energi. Tindakan
ini dapat berupa mengurangi konsumsi energi melalui peningkatan efisiensi dalam
penggunaan peralatan, mengganti bahan bakar (substitusi energi), dan melakukan
manajemen sisi permintaan untuk mengurangi tarif.
Konsumsi listrik dari PLN dan pembangkitan dari PLTD untuk setiap bulan pada
tahun 1999 ditunjukkan pada Gambar 3. Kondisi operasi ketiga PLTD masih bagus sebagai
alat untuk pembangkit listrik. Dalam operasinal perusahaan sehari-hari, tidak semua PLTD
dioperasikan karena fungsi PLTD ini hanya sebagai pembangkit listrik cadangan untuk

mengantisipasi jika listrik PLN padam atau untuk mengurangi besarnya konsumsi listrik
PLN.
Operasi masing-masing boiler diatur sedemikian rupa sehingga kebutuhan energi
uap untuk proses produksi dapat terpenuhi. Data operasi boiler tahun 1999 untuk masingmasing boiler ditunjukkan pada Gambar 4. Berdasarkan data tersebut di atas dapat
diperkirakan biaya energi yang digunakan untuk proses produksi setiap tahunnya seperti
dirangkumkan pada Tabel 4.
Asumsi yang digunakan untuk perhitungan adalah harga minyak solar sebesar Rp.
525 per liter, harga minyak diesel sebesar Rp. 500 per liter, harga pelumas sebesar Rp.
6.000 per liter, dan harga air sebesar Rp. 300 per m3 dengan berat jenis air 1000 kg/m3

Gambar 3. Konsumsi PLN dan Produk PLTD

Gambar 4.Produksi Uap


Tabel 4. Biaya Energi

F. Masalah yang Dihadapi Di Industry Tekstil Pada Umumnya


1. Keterbatasan Pasokan Energi dan Listrik
Kondisi ini juga dihadapi oleh industri tekstil dan produk tekstil. Upaya penguatan
sektor industri yang dicanangkan oleh pemerintah layak mendapatkan dukungan di tengah
kondisi perekonomian dunia yang mengalami pelemahan akibat adanya krisis keuangan
global pada periode tahun 2008 2009 ini. Dampak fenomena krisis global juga dialami oleh
industri TPT karena Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang terdampak cukup parah
dari adanya krisis tersebut merupakan pasar terbesar dari TPT dengan kontribusi sekitar 40
persen dari total ekspor TPT Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, sektor industri jelas terlihat adanya ketergantungan
pada BBM dan listrik. Terjadinya kenaikan harga minyak yang sangat drastis tentu saja akan
secara signifikan mempengaruhi kinerja sektor industri. Oleh karena itu pemetaan kebutuhan
energi sektor industri menjadi sangat penting dalam upaya memberikan gambaran dan
informasi tentang kondisi kebutuhan energi sektor industri sehingga dapat ditetapkan strategi
dan kebijakan yang dapat mendukung akselerasi pertumbuhan sektor industri nasional.

Gambar 5.

Perkembangan
dan Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Tekstil
2005 2010 (Sumber : API, 2009)

Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2005 sumber energi
khususnya listrik masih dipasok oleh PLN sebagai sumber energi listrik utama pada industri
tekstil dan produk tekstil. Perkembangan selama kurun waktu tahun 2006 2007
menunjukkan adanya pergeseran pemanfaatan sumber energi listrik yang cukup signifikan.
Pasokan energi listrik dari PLN mengalami penurunan hingga menjadi 75 persen dari total
kebutuhan listrik industri TPT ini. Pengalihan sumber energi listrik dari PLN banyak
dilakukan dengan memanfaatkan gas dan batubara sebagai sumber energi bagi pembangkit
listrik di perusahaan-perusahaan TPT khususnya pada perusahaan skala besar hingga
pemanfaatan energi gas dan batubara mencapai 19 persen dari total kebutuhan energi.
Diperkirakan hingga tahun 2010 kondisi ini masih akan terus berlanjut hingga pemanfaatan

energi alternatif seperti gas dan batubara dapat mencapai 65 persen dari total kebutuhan energi
dan mengurangi ketergantungan pasokan listrik PLN hingga hanya sebesar 30 persen.
Sementara itu, pemanfaatan energi minyak sebagai energi pembangkit listrik relatif tetap pada
kisaran 5 6 persen dari total kebutuhan listrik industri TPT.
2. Tidak Ada Subsidi BBM untuk Industri
Di sisi lain, adanya kebijakan pemerintah untuk memberi subsidi energi khususnya BBM
pada sektor transportasi ternyata tidak berlaku di sektor industri. Hal ini dikarenakan sektor
industri selalu dianggap sebagai industri mature (industri yang sudah mapan) sehingga tidak
membutuhkan bantuan dalam bentuk subsidi. Padahal jika dilihat secara lebih dalam, tidak
semua industri memiliki kemampuan yang sama. Akibatnya komponen biaya BBM, yang
merupakan komponen biaya terbesar kedua setelah biaya bahan baku, sangat membebani
pengusaha. Perlakuan yang tidak sama dalam hal subsidi ini sering menjadi bahan perdebatan di
banyak kalangan pengusaha dan pemerintah. Banyak pihak yang mengatakan bahwa subsidi
BBM yang diberikan kepada sektor transportasi sebagian besar salah sasaran karena lebih
banyak dinikmati oleh orang yang sebenarnya tidak layak mendapatkan subsidi, seperti pemilik
kendaraan pribadi, sementara sektor industri yang menjadi tulang punggung perekonomian
nasional justru diabaikan.
G. Masalah yang Dihadapi Di PT Grand Textile Industry
1. Konservasi Energi
Kebutuhan konsumsi energi yang tinggi untuk produksi yang tidak diimbangi dengan
pasokan listrik dari PLN.

Solusi yang Ditawarkan


Untuk permasalahan Umum di Industri Tekstil
1. Memanfaatkan sumber energi alternatif,seperti batubara dan gas
Ketiadaan subsidi BBM bagi sektor industri tentunya bukan suatu hal yang membuat
sektor industri mengalami penurunan aktivitas usaha. Justru perlakuan ini membuat sektor
industri semakin kreatif dalam menyiasati kondisi yang ada dengan cara memanfaatkan
sumber energi alternatif seperti batubara dan juga gas bagi peningkatan produksinya. Hal ini
dikarenakan adanya peningkatan intensitas produksi akan membutuhkan energi yang lebih
besar.
Apabila biaya konsumsi energi dapat diminimalkan, maka biaya produksi juga akan dapat
ditekan pada tingkat yang terendah sehingga akan menghasilkan produk dengan biaya rendah
dan dapat dijual pada tingkat harga yang kompetitif. Keadaan ini bisa membuat pelaku usaha
menambah alokasi biaya investasi untuk memperoleh energi alternatif. Pilihan energi
alternatif yang paling efisien selanjutnya dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas
pembangkitan energi alternatif dan dimanfaatkan bagi peningkatan aktivitas produksi. Secara
implisit dapat dikatakan bahwa semakin besar konsumsi energi yang dibutuhkan dalam proses
produksi akan berdampak secara positif terhadap output produksi dengan asumsi faktor
produksi bekerja secara efisien. Untuk menguji hipotesis ini, regresi berganda akan
dipergunakan sebagai alat analisis utama. Diharapkan, penggunaan regresi berganda ini akan
mampu mengukur seberapa besar kenaikan konsumsi energi berpengaruh erhadap tingkat
produksi dan nilai tambah di sektor industri.
2. Reward dari Pemerintah untuk industri.
Terjadinya penurunan pasokan listrik maupun seringnya terjadi pemadaman listrik karena
keterbatasan pasokan listrik PLN akan sangat merugikan perusahaan-perusahaan yang
mengandalkan listrik sebagai penggerak mesin produksi. Oleh karena itu pemerintah
selayaknya menerapkan sistem insentif pada perusahaan yang mampu memenuhi kebutuhan
energinya dan juga membuka kesempatan pada perusahaan untuk menjual listriknya pada
tingkat harga keekonomian yang wajar. Pemerintah juga perlu untuk membantu mengurangi
praktik ekonomi biaya tinggi sehingga bisa menekan struktur ongkos produksi non-bahan
baku sehingga perusahaan menjadi semakin kompetitif dalam menghasilkan output produksi
yang efisien.

Untuk permasalahan di PT Grand Textile Industry


1. Peluang Konservasi
Bila PLTD beroperasi secara penuh maka akan dapat menghasilkan energi listrik sebesar 19,8
GWh per tahun (1.650 MWh per bulan) dengan asumsi faktor beban dan faktor ketersediaan
masing-masing sebesar 0,9. Sedangkan kebutuhan listrik untuk proses produksi rata-rata
sebesar 4.054 MWh per bulan sehingga kebutuhan listrik ini dapat dicukupi dengan
mengoperasikan semua unit PLTD yang ada. Kebutuhan uap untuk proses produksi rata-rata
sebesar 5,772 ton per bulan. Dengan mempertimbangkan kebutuhan listrik dan uap untuk
proses produksi maka upaya konservasi energi dapat direalisasikan dengan cara yang mudah
dengan sedikit atau tanpa biaya maupun dengan melakukan investasi peralatan baru yang
memerlukan biaya yang cukup besar. Konservasi energi yang berpotensi dilakukan di PT
Gandtex antara lain dengan:
pemanfaatan kembali (re-use) panas buang dari mesin diesel, dan
penggunaan teknologi cogeneration turbin gas.
2. Pemanfaatan Kembali Panas Buang
Ada dua alternatif dalam memanfaatkan kembali panas buang yaitu panas buang
yang berasal dari boiler maupun panas buang yang berasal dari PLTD. Boiler yang digunakan
menghasilkan uap dengan suhu sekitar 165 - 170OC. Panas buang boiler ini suhunya terlalu
rendah untuk dimanfaatkan kembali sebagai pembangkit listrik, sehingga alternatif ini secara
teknis tidak dapat dilaksanakan. Alternatif yang lain yaitu memanfaatkan panas buang dari
PLTD. Operasi PLTD menghasilkan panas buang yang masih mempunyai suhu dan tekanan
yang cukup besar untuk dimanfaatkan kembali sebagai penghasil uap dengan menggunakan
heat recovery steam generator (HRSG). Skema penggunaan PLTD untuk menghasilkan uap
dengan menggunakan HRSG ditunjukkan pada Gambar 5. Siklus ini merupakan cogeneration
mesin diesel.

Gambar 6. PLTD dengan HRSG

Dengan menggunakan cogeneration mesin diesel ini maka operasi dari beberapa boiler
dapat dikurangi sehingga bahan bakar untuk boiler dapat dihemat. Di samping itu, semua
kebutuhan listrik dapat dipenuhi dengan pengoperasian tiga unit PLTD sehingga tidak
diperlukan lagi pasokan listrik dari PLN.
3. Penggunaan Cogeneration Turbin Gas
Cogeneration adalah teknologi konversi energi yang memproduksi energi listrik dan uap
(termal) secara bersamaan. Keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan teknologi
cogeneration antara lain:
meningkatkan efisiensi total dari sistem
mengurangi penggunaan bahan bakar sehingga dapat mengurangi biaya operasi
mengurangi emisi bahan bakar sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan.
Secara sederhana keuntungan penggunaan teknologi cogeneration untuk meningkatkan efisiensi
ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Perbandingan Pembangkit Cogeneration dan Konvensional

Teknologi cogeneration dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu siklus topping dan siklus
bottoming. Pada siklus topping, panas yang dibangkitkan dari pembakaran bahan bakar
digunakan dulu untuk memproduksi listrik, kemudian panas buang dari pembangkit listrik
digunakan untuk menghasilkan uap. Pada siklus bottoming, panas dari pembakaran
dimanfaatkan dulu untuk memenuhi kebutuhan uap untuk proses industri dan panas buang
dipakai lagi untuk pembangkit listrik.
Jika ditinjau dari tenaga penggeraknya maka cogeneration dapat menggunakan berbagai
teknologi yang secara garis besar adalah: cogeneration turbin uap, cogeneration turbin gas,
combined cycle cogeneration dan cogeneration mesin diesel.

Gambar 8. Perbandingan Teknologi Cogeneration

Alternatif lain yang mungkin diterapkan untuk melakukan konservasi di PT Grand Textile
Industry adalah menggunakan teknologi cogeneration turbin gas (Gambar 7). Dibandingkan
alternatif sebelumnya, penggunakan cogeneration ini memerlukan investasi yang lebih besar

karena peralatan yang sudah ada perlu diganti dengan peralatan yang baru berupa Pembangkit
Listrik Tenaga Gas (PLTG). Sedangkan,PLTD dan boiler yang lama sudah tidak dipergunakan
lagi. Alternatif ini dimaksudkan untuk dapat menggunakan energi secara efisien untuk jangka
panjang.
Oleh :
Yuriska Andiri
Sri Diah Handayani
Renaldo Moontri

Вам также может понравиться