Вы находитесь на странице: 1из 11

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Pengaruh Karakteristik Perkembangan Fisik dan Sosial Ekonomi


Kampung Kota Terhadap Keberlanjutannya di Kawasan Pusat
Kota Bandung
Firdausi Nurul Awwal(1), Iwan Kustiwan(2)
(1)

(2)

Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK),
ITB.
Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), ITB.

Abstrak
Eksistensi kampung menjadi kawasan permukiman perkotaan di Bandung dengan segala
perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi hingga mencapai bentuknya seperti yang
dapat kita lihat sampai hari ini adalah suatu proses panjang seiring dinamika perkembangan kotanya.
Penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi karakteristik perkembangan fisik dilihat dari
perubahan fungsi guna lahan dan persepsi masyarakat terhadap kondisi fisik, mengidentifikasi
karakteristik sosial ekonomi masyarakat kampung, menganalisis status keberarlanjutan kampung
kota, menganalisis keterkaitan antara karakteristik perkembangan fisik dan sosial ekonomi
masyarakat kampung dengan aspek keberlanjutannya. Alat analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif, analisis superimpose peta, analisis pembobotan, dan analisis tabulasi silang (crosstab).
Berdasarkan hasil analisis keterkaitan, karakteristik fisik adalah aspek yang memiliki pengaruh lebih
besar terhadap aspek keberlanjutan kampung dibandingkan dengan karakteristik ekonomi sosial.
Terbukti dengan lebih besarnya persentase variabel karakteristik fisik yang berkaitan erat dengan
aspek keberlanjutan kampung kota. Dalam hal ini dari 28 variabel sosial ekonomi terdapat 12
variabel (Tingkat Biaya Sampah dan Keamanan, Tingkat Aspirasi dan Tanggap Masyarakat,
Pendapatan Rumah Tangga Responden, Intensitas Kampung Melaksanakan Olahraga/senam Massal,
Intensitas Kampung Melaksanakan Acara Hari Besar, Jenis Pekerjaan Responden, Alasan Memilih
Tinggal di Kampung, Biaya Transportasi, Lama Tinggal di Kampung, Seberapa kenal dengan
Tetangga, Intensitas Kampung Melaksanakan Pengajian, Pendidikan Responden) yang memiliki
keterkaitan erat (E) dengan aspek keberlanjutan. Sementara itu dari 21 variabel fisik terdapat 12
variabel (Tingkat Keamanan Lingkungan Kampung, Tingkat Kenyamanan Lingkungan Kampung,
Kondisi Fasilitas Olahraga, Kondisi Ruang Terbuka Hijau, Kondisi Aksesibilitas dan Jaringan Jalan,
Kondisi Jaringan Telekomunikasi, Koefisien Lantai Bangunan, Kondisi Fasilitas Kesehatan, Tingkat
Keindahan Lingkungan Kampung, Kondisi Fasilitas Perdagangan, Kondisi Fasilitas Pendidikan, Kondisi
Jaringan Drainase) yang memiliki keterkaitan erat (E) dengan aspek keberlanjutan. Maka dapat
diambil kesimpulan bahwa keberlanjutan kampung lebih dipengaruhi oleh karakteristik fisik kawasan.
Kata-kunci : keberlanjutan, kampung-kota, perkembangan fisik, persepsi masyarakat terhadap kondisi fisik,
karakteristik sosial ekonomi.

Pendahuluan
Kawasan Pusat Kota Bandung merupakan
kawasan yang berkembang pesat terlihat dari
banyaknya lapangan pekerjaan untuk mengadu
nasib, tingginya upah tenaga kerja, tersedianya

fasilitas umum, dan tersedianya berbagai


hiburan yang menarik. Hal ini dapat menjadi
daya tarik yang mengakibatkan salah satu faktor
bertambahnya penduduk di Kota Bandung.
Peningkatan penduduk menyebabkan kepadatan
lalu lintas, adanya pedagang kaki lima, dan
Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A | 523

Pengaruh Karakteristik Perkembangan Fisik dan Sosial Ekonomi Kampung Kota

berkembangnya kampung kota. Pada tahap


selanjutnya, akan terjadi perubahan-perubahan
fisik bangunan lama di sekitar kampung kota
menjadi bangunan modern untuk menampung
fungsi perdagangan/ komersial. Kawasan
permukiman kampung kota ini berubah fungsi
menjadi kawasan komersial karena dianggap
mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi
seperti mall, perkantoran, dan apartemen.
Keberadaan sebuah kampung di tengah
padatnya gedung-gedung komersial ini dapat
memberi ruang bagi sektor informal untuk
tumbuh.
Dengan
demikian,
kelompok
masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat
memiliki peluang untuk bertahan hidup.
Kampung tersebut dapat dijadikan untuk usaha
kos-kosan, kontrakan, maupun rumah makan
bagi para karyawan yang bekerja di gedung.
Kampung juga menjadi cerminan nilai-nilai lokal
yang masih dapat dipertahankan di tengah era
globalisasi ini. Kampung juga menjadi perekat
kehidupan sosial karena memiliki ruang bersama
yang dapat digunakan secara kolektif. Karena
Kehidupan kampung sangat menekankan tradisi
atau
budaya
saling
menyapa,
saling
bersilaturahim dan saling membantu. Karena
itulah kampung-kota harus dipertahankan
keberlanjutannya.
Masyarakat kampung-kota adalah kelompok
masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan
dengan
tetap
mempertahankan
budaya
kampung di kawasan tempat tinggalnya
walaupun kawasan tersebut sudah berubah
menjadi kawasan perkotaan. Akibat tradisi atau
kebiasaan mempertahankan budaya kampung di
dalam kehidupan sehari-harinya, maka tatanan
fisik kawasan kampung-kota cenderung tidak
tertata dengan baik, tidak teratur dan mengarah
ke kondisi kumuh dan kusam serta cenderung
tidak teratur. Masyarakat kampung-kota pada
dasarnya masih tetap ada mendiami kawasan
perkotaan dan menjadi salah satu masalah
perkotaan yang sering muncul di kota-kota
besar. Telaah fenomena masyarakat kampung524 | Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A

kota dan kondisi permukimannya merupakan hal


yang tidak dapat lepas dan terkait erat dalam
mempelajari
masalah-masalah
perkotaan.
Demikian pula dalam membahas kegiatan
pembangunan di Bandung, masalah fenomena
masyarakat kampung-kota beserta kondisi
permukimannya merupakan bahasan yang tidak
dapat dilepas terutama berkaitan dengan
kegiatan perkembangan guna lahan, dan
kegiatan sosial ekonomi di lingkungan perkotaan
secara keseluruhan.
Pola perilaku, kebiasaan, ikatan-ikatan sosial
dan adat-istiadat setempat yang tetap
dipertahankan dalam kehidupannya merupakan
ciri khas yang membentuk lingkungan fisik dari
kampung-kota
menjadi
berbeda
dengan
lingkungan masyarakat lainnya.
Sedangkan
aspek sosial-ekonomi dari keseluruhan warga/
penduduk pada masyarakat kampung-kota,
didalamnya memuat antara lain: kondisi
pendapatan/ penghasilan warga masyarakat,
jenis pekerjaan atau profesi dari warga
masyarakat, jumlah pengeluaran atau besarnya
pembiayaan dalam kehidupan, orientasi dalam
prioritas pembiayaan dari keluarga, hingga
kemampuan menyisihkan atau besar dana untuk
menabung guna keperluan perawatan dan
pemeliharaan rumah (tempat tinggal). Kondisi
aspek
sosial
ekonomi
ini
juga
akan
mempengaruhi kondisi lingkungan fisik dari
permukiman kampung-kota yang diamati.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui
pengaruh
dari
karakteristik
perkembangan fisik dan sosial ekonomi
masyarakat sehingga kampung dapat tetap
mempertahankan eksistensinya dengan ciri khas
kampung
tersebut
dalam
menghadapi
perkembangan yang terjadi di sekitarnya.
Adapun sasaran yang ditempuh untuk mencapai
tujuan tersebut antara lain:
1. Mengidentifikasi karakteristik perkembangan
fisik/guna lahan kampung di Pusat Kota
Bandung dengan menggunakan analisis

Firdausi Nurul Awwal

superimpose pada peta dan berdasarkan


persepsi masyarakat terhadap kondisi fisik.
2. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi
masyarakat kampung di Pusat Kota Bandung.
3. Menganalisis status keberlanjutan kampung
berdasarkan persepsi masyarakat terhadap
kondisi fisik dan berdasarkan karakteristik
sosial ekonomi masyarakat kampung di
Pusat Kota Bandung.
4. Menganalisis
keterkaitan/pengaruh
karakteristik fisik dan sosial ekonomi
masyarakat terhadap aspek keberlanjutan
kampung di Pusat Kota Bandung.
Tinjauan Pustaka
Konsep keberlanjutan lingkungan permukiman
adalah adanya konsentrasi pembangunan
perkotaan dan khususnya area dalam perkotaan
yang merupakan tipologi krusial untuk
diterapkan
dalam
rangka
mencapai
keberlanjutan (Jabareendlam Howley, 2010).
Dalam permukiman berkelanjutan, terdapat
beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu
tata ruang, transportasi dan infrastruktur,
ketersediaan lapangan pekerjaan, kesenjangan,
dan kecenderungan kecenderungan yang dapat
merusak system daya dukung lingkungan dan
komunitas warga. Oleh karena itu, dalam
peningkatan
kualitas
permukiman
perlu
memperhatikan antara kebutuhan dan kondisi
nyata daerah setempat, perkembangan ekonomi,
global, sosial, serta lingkungan hidup untuk
terciptanya kehidupan yang lebih baik.
UN Habitat melalui bukunya yang berjudul

Sustainable

Housing

for

Sustainable

Cities

menyatakan
bahwa
permukiman
yang
berkelanjutan menawarkan suatu peluang dalam
pembangunan ekonomi, pengelolaan lingkungan,
peningkatan kualitas hidup dan kesetaraan
sosial.
Selain
itu
permukiman
yang
berkelanjutan juga dapat mengurangi masalahmasalah yang terkait dengan pertumbuhan
penduduk, urbanisasi, kumuh, kemiskinan,
perubahan iklim, kurangnya akses ke pelayanan
publik, serta ketidakpastian ekonomi. Dalam
mewujudkan
suatu
permukiman
yang
berkelanjutan hendaknya mengikutsertakan

masyarakat dalam penyediaan fasilitas seperti


menyesuaikan, mengintegrasikan semua kondisi,
penyatuan,
pemeliharaan,
peningkatan,
perlindungan yang terkait dengan permukiman
maupun akses terhadap pelayanan sarana dan
prasarana publik.
Definisi keberlanjutan atau pembangunan
berkelanjutan yang paling umum digunakan
adalah yang dirumuskan oleh WECD (World

Commission
Development)

on

environmental

and

atau Brundtland Commission


(1987), yaitu sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak
kemampuan
generasi
mendatang
untuk
memenuhi kebutuhannya (Wheeler, 2004;
Winston & Eastway, 2007; Jenks et al, 2008).
Inti dari definisi ini adalah perlunya menjaga
ketersediaan sumber daya untuk memastikan
keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan
persamaan inter dan intra generasi. Pengertian
dari sumber lain mengatakan pembangunan
berkelanjutan adalah perubahan positif sosial
ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi
dan sosial di mana masyarakat bergantung
kepadanya.
Keberhasilan
penerapannya
memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses
pembelajaran sosial terpadu, viabilitas politiknya
tergantung pada dukungan penuh masyarakat
melalui
pemerintahannya,
kelembagaan
sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya
(Sumarwoto, 2006 dalam Sugandhy & Hakim,
2007). Tujuan dari tercapainya keberlanjutan
(Hodge 1997, dalam Winston & Eastaway, 2007)
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia dan ekosistem.
Istilah
keberlanjutan
dan
pembangunan
berkelanjutan seringkali digunakan untuk
menunjukkan cara berfikir baru mengenai
hubungan diantara aspek lingkungan, sosial,
dan ekonomi (Myerson & Rydin, 2004 dalam
Jenks, 2008: 58). Dengan demikian konteks
keberlanjutan memaksa kita untuk meninjau
suatu masalah dari dimensi aspek lingkungan,
sosial, dan ekonomi serta memasukkan
ketiganya dalam perencanaan dan pemecahan
persoalan.
Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A | 525

Pengaruh Karakteristik Perkembangan Fisik dan Sosial Ekonomi Kampung Kota

Berdasarkan ketetapan dari The Sustainable City


Conference yang berlangsung di Rio de Janeiro
pada tahun 2000, konsep keberlanjutan yang
diterapkan pada suatu kota merupakan
kemampuan dari kawasan perkotaan dan
bagiannya untuk melanjutkan fungsinya sesuai
level kualitas hidup yang diharapkan oleh
komunitas, tanpa membatasi pilihan yang
tersedia bagi generasi saat ini dan mendatang
serta tidak menyebabkan dampak buruk di
dalam maupun di luar batas wilayah perkotaan
(Eastway & Stoa, 2004 dalam Ayu, 2012).
Konsep keberlanjutan ini dapat dibawa ke
permukiman di mana keberlanjutan lingkungan
permukiman
adalah
adanya
konsentrasi
pembangunan perkotaan dan khususnya area
dalam perkotaan yang merupakan tipologi
krusial untuk diterapkan dalam rangka mencapai
keberlanjutan.
Dalam
permukiman
berkelanjutan terdapat beberapa aspek yang
perlu diperhatikan yaitu tata ruang, transportasi
dan
infrastruktur,
ketersediaan
lapangan
pekerjaan, kesenjangan, dan kecenderungankecenderungan yang dapat merusak sistem
daya dukung lingkungan dan komunitas warga.
Oleh karena itu, dalam peningkatan kualitas
permukiman
perlu
diperhatikan
antara
kebutuhan dan kondisi nyata daerah setempat,
perkembangan ekonomi, global, sosial, serta
lingkungan hidup untuk terciptanya kehidupan
yang lebih baik (Dyah dan Yuliastuti, 2014). UN
Habitat melalui bukunya yang berjudul

Sustainable

Housing

for

Sustainable

Cities

menyatakan
bahwa
permukiman
yang
berkelanjutan menawarkan suatu peluang dalam
pembangunan ekonomi, pengelolaan lingkungan,
peningkatan kualitas hidup dan kesetaraan
sosial.
Selain
itu
permukiman
yang
berkelanjutan juga dapat mengurangi masalahmasalah yang terkait dengan pertumbuhan
penduduk, urbanisasi, kekumuhan, kemiskinan,
perubahan iklim, kurangnya akses ke pelayanan
publik, serta ketidakpastian ekonomi. Dalam
mewujudkan
suatu
permukiman
yang
berkelanjutan hendaknya mengikutsertakan
526 | Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A

masyarakat dalam penyediaan fasilitas seperti


menyesuaikan, mengintegrasikan semua kondisi,
penyatuan,
pemeliharaan,
peningkatan,
perlindungan yang terkait dengan permukiman
maupun akses terhadap pelayanan sarana dan
prasarana publik (Dyah dan Yuliastuti, 2014).
Permukiman adalah produk budaya dan juga
ruang tempat manusia berbudaya itu sendiri,
yang terus tumbuh dan berkembang seiring
dengan meningkatnya jumlah manusia dan
berkembangnya kebudayaan. Permukiman akan
dengan
sendirinya
berkembang
secara
berkelanjutan selama kehidupan manusia dan
masyarakat berkembang. Agenda 21 Rio
mengartikan pembangunan permukiman secara
berkelanjutan sebagai upaya yang berkelanjutan
untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan
kualitas lingkungan sebagai tempat hidup dan
bekerja semua orang. Untuk itu perlu disiapkan
tempat tinggal yang layak bagi semua, perlu
terus diperbaiki cara mengelola permukiman,
mengatur penggunaan tanah untuk permukiman,
meningkatkan prasarana permukiman menjamin
ketersediaan transportasi dan energi, dan juga
perlu dikembangkan industri konstruksi yang
mendukung pembangunan serta pemeliharaan
permukiman.
Intinya,
pembangunan
permukiman
yang
berkelanjutan
adalah
peningkatan kualitas hidup secara berkelanjutan
dan untuk itu perlu peningkatan kualitas
permukiman itu sendiri (Agenda 21 Sektoral,
2000).
Permukiman merupakan bagian dari lingkungan
hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana,
utilitas umum, serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau
kawasan
perdesaan.
Menurut
Doxiadis
(1968:21) dalam Dyah dan Yuliastuti (2014).
permukiman dapat didefinisikan sebagai suatu
ruang yang dihuni oleh manusia. Permukiman
terdiri dari dua elemen dasar yaitu wadah dan
isi. Wadah yang dimaksud yaitu berupa
bangunan fisik rumah, jaringan prasarana, dan

Firdausi Nurul Awwal

alam. Sedangkan isi yang dimaksud yaitu


berupa manusia dan hubungan masyarakat di
dalamnya.
Timbulnya
permasalahanpermasalahan permukiman di perkotaan,
memunculkan ide dan konsep mengenai
permukiman berkelanjutan. Suatu lingkungan
permukiman kota yang berkelanjutan harus
memperhatikan tiga aspek yaitu aspek
lingkungan, sosial, dan ekonomi atau biasa
disebut triple bottom line (Kuswartodjo, 1997:
14 dalam Dyah dan Yuliastuti, 2014).
Dalam penelitian kali ini permukiman yang
dibahas adalah permukiman informal yaitu
kampung-kota. Salah satu tipe permukiman di
Indonesia yang menjamin warganya untuk
dapat mengakses sarana dan prasarana
permukiman dengan berjalan kaki adalah
permukiman kampung-kota. Kampung memiliki
tendensi menuju populasi penduduk yang padat
dan kepadatan bangunan yang tinggi dengan
variasi penggunaan lahan. Kampung harus
menjadi sebuah tempat tinggal di mana
penduduk merasakan kenyamanan untuk hidup
sehari-hari dilihat dari aspek demografi, spasial,
serta fisik lingkungan.
Sesuai dengan prinsip berkelanjutan, kota yang
berkelanjutan juga memiliki peran terhadap tiga
dimensi keberlanjutan seperti lingkungan,
ekonomi, dan sosial. Kota yang berkelanjutan
memiliki peran dalam fungsi-fungsi:
1. Lingkungan. Fungsi dari kota secara
lingkungan adalah mengurangi dampak
lingkungan dan penggunaan sumberdaya
pada tingkat yang berkelanjutan, serta
meningkatkan kualitas dan keselamatan
makhluk hidup.
2. Ekonomi. Dari sisi ekonomi, kota memiliki
peran untuk meningkatkan kelentingan
jangka panjang, daya saing, kesempatan
kerja dan distribusi sumberdaya yang merata.
3. Sosial. Menjamin distribusi sumberdaya
ekonomi yang merata, serta meningkatkan
kualitas kesehatan, pendidikan, keamanan,
keadilan, kohesi, keragaman, dan kualitas
hidup manusia.

Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai


bagian dari permukiman, baik perkotaan
maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan
prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai
hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan
dan
Kawasan
Permukiman).
Prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar
fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan
permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, seperti jalan, drainase, sanitasi, dan
air minum. Sarana lingkungan yaitu fasilitas
penunjang,
yang
berfungsi
untuk
menyelenggarakan
dan
mengembangkan
kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya, seperti
rumah ibadah, pendidikan, dan pertokoan.
Perumahan berkelanjutan diharapkan akan
memberikan suatu komunitas penghuni yang
berkelanjutan, terdapat beberapa pendapat
mengenai perumahan berkelanjutan yaitu
perumahan yang memungkinkan penghuninya
dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya
(Smart and sustainable homes, Queensland),
serta memiliki keadaan sosial yang baik untuk
kesehatan keluarga dan setiap individu yang
bertempat tinggal di perumahan tersebut (WHO
dalam Herlianto, 1986). Menurut UN Habitat
(2011) kerangka dimensi lingkungan perumahan
berkelanjutan skala rumah tangga yaitu:
1. Memastikan efisiensi energi, mikro/generasi,
air dan efisiensi sumber daya;
2. Desain hijau, menggunakan konstruksi
berkelanjutan dan bahan local;
3. Sanitasi, mencegah resiko dan polusi material;
4. Penggunaan sumber daya yang terjangkau;
5. Meningkatkan ketahanan dan adaptasi rumah.
Di dalam berbagai literatur istilah permukiman
informal merupakan sebutan lain dari Informal
Settlement adalah suatu areal permukiman di
suatu kota yang dihuni oleh masyarakat sangat
miskin dan tidak mempunyai kepemilikan lahan
legal. Oleh sebab itu mereka menempati lahanlahan kosong di tengah kota baik yang berupa
lahan privat maupun lahan umum (Srinivas,
2005).
Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A | 527

Pengaruh Karakteristik Perkembangan Fisik dan Sosial Ekonomi Kampung Kota

Metodologi Penelitian

Variabel

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini dilakukan


untuk
menjelaskan
tentang
pengaruh
karakteristik perkembangan fisik dan sosial
ekonomi
masyarakat
kampung
terhadap
keberlanjutannya di pusat kota Bandung. Jika
dikelompokkan ke dalam metode penelitian,
penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam
jenis penelitian terapan yang deskriptif dan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dipilih karena
penelitian dilakukan tidak mencari suatu teori
yang baru namun hanya sebatas menjelaskan
permasalahan yang ada melalui pengkajian
berdasarkan teori-teori yang sudah ada
sebelumnya. Dalam melakukan penelitian
kuantitatif perlu dilakukan survei, dalam konteks
ini adalah survei kondisi suatu kampung-kota
melalui para responden.

Variabel penelitian merupakan suatu atribut atau


sifat atau nilai dari orang, obyek, atau kegiatan
yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Jenis variabel
terdiri dari variabel dependen, independen,
moderator, intervening, dan kontrol (Sugiyono,
2013). Penjelasan hanya difokuskan pada dua
bentuk variabel yang akan digunakan dalam
penelitian ini, yaitu variabel dependen (variabel
terikat/output/kriteria/konsekuen)
adalah
variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
adanya variabel bebas/independen dan variabel
independen (variabel bebas/stimulus/predictor
/antecendent)
adalah
variabel
yang
mempengaruhi
atau
menjadi
sebab
perubahannya atau menyebabkan munculnya
variabel terikat/dependen.

Metode deskriptif dilakukan pada proses


identifikasi dari karakteristik fisik dan social
ekonomi masyarakat kampung. Kondisi yang
ada akan dipaparkan melalui komparasi/
perbandingan antara 12 kampung wilayah studi,
sehingga terlihat temuan-temuan studi yang
bisa dijadikan acuan dan mendukung sasaran
berikutnya. Metode kuantitatif dilakukan pada
tahapan sasaran 3 dan 4 untuk menilai status
keberlanjutan
kampung
melalui
metode
pembobotan dan melihat keterkaitan antara
karakteristik fisik dan sosial ekonomi terhadap
aspek keberlanjutan melalui metode statistik.
Tahapan studi yang dilakukan melalui beberapa
proses, seperti studi telaah pustaka dan studi
kasus. Pada tahapan studi pustaka proses
menelaah teori dan kajian yang membahas
mengenai kampung-kota Bandung dan konsep
keberlanjutan. Studi kasus pada penelitian ini
adalah kampung yang berada di pusat kota
Bandung. Pengambilan sampel kampung atau
wilayah studi yang akan diteliti melalui observasi
terhadap kampung yang masih memiliki
eksistensi, agar sesuai dengan tujuan awal dari
penelitian ini.
528 | Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A

Berdasarkan tinjauan substantif dalam kajian


teoretik/pustaka yang telah dilakukan dan
kerangka teoretik pada bab sebelumnya,
ditetapkan variabel-variabel penelitian yang
terdiri atas:
1. Karakteristik Fisik
2. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat
3. Aspek Keberlanjutan Kampung
Bab II memaparkan segala konsep dan teori
terkait dengan keberlanjutan kampung, setelah
dikaji maka ditentukanlah beberapa variabel
yang akan digunakan pada penelitian ini.
Konsep yang ada akan diturunkan menjadi
variabel-variabel yang akan dibahas. Sumber
dari variabel didapatkan dari tinjauan teori dan
survei pendahuluan. Penjabaran dari variabel
akan digunakan dalam proses analisis. Variabel
yang dipilih telah disesuaikan dengan objek
penelitian. Variabel dijabarkan menjadi subvariabel dengan tingkat pengukuran kepada
responden di setiap kampung. Proses ini
dilakukan agar data yang diperoleh lebih mikro
dan interpretasi dari hasil analisis lebih
mendalam dan tepat sasaran. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Firdausi Nurul Awwal


Tabel 1. Rincian Variabel
Variabel
1. Karakteristik Fisik
2. Karakteristik
Sosial
Ekonomi Masyarakat
3. Aspek Keberlanjutan
Kampung
Sumber: Hasil Analisis, 2015

Sub-variabel

1.

21 Variabel
28 Variabel

2.

5 Variabel

3.

Populasi
Populasi
adalah
keseluruhan
unit
hasil
pengukuran yang menjadi objek penelitian.
Penilitian ini dilakukan di Pusat Kota Bandung
yang terdiri dari 7 kelurahan (Lampiran B) dan
memiliki sejumlah kampung (Lampiran A). Pada
7 kelurahan tersebut terdapat 20 kampung yang
tercantum dari data Bappeda Kota Bandung
tetapi setelah dikonfirmasi keberadaan dari
kampung-kampung tersebut kepada ketua RW
setempat maka didapatlah hanya 12 kampung
yang masih ada dan akan menjadi wilayah
survei. Untuk penentuan sampel respondennya
sebagai berikut (Gay, 1976 dalam Sedarmayanti,
2011):

Penelitian deskriptif, ukuran sampel sebesar


10% dari populasi. Untuk populasi yang
sangat kecil diperlukan minimum 20%.
Penelitian korelasi, ukuran sampel paling
sedikit 30 subjek. Diambil ukuran minimum.
Terdapat beberapa ukuran minimum yang
dapat diterima berdasarkan tipe penelitian,
Penelitian Ex Post Facto atau penelitian
kasual komparatif ukuran sampel paling
sedikit terdiri dari 15 subjek per kelompok.
Penelitian eksperimen, 15 subjek per
kelompok. Beberapa ahli percaya bahwa 30
subjek per kelompok dapat dipertimbangkan
sebagai ukuran minimum.

Penelitian ini bersifat korelasi/keterkaitan antar


variabel, jadi dapat diambil ukuran sampel
paling sedikit 30 subjek. Maka dari itu
ditentukanlah 30 responden dari setiap
kelurahan, jadi jumlah responden yang disurvei
adalah 210 orang. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 2..

(ditandai dengan warna merah). Hal ini dapat


dijadikan perkiraan bahwa 5 kampung tersebut
tidak dapat dipertahankan eksistensinya.

Kesimpulan dari profil kampung yang telah


dibahas akan disajikan pada Tabel 3.
Terdapat 5 kampung yang direncanakan akan
mengalami perubahan fungsi guna lahan dari
permukiman menjadi perdagangan dan jasa

Gambar 1. Peta Wilayah Studi


Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A | 529

Pengaruh Karakteristik Perkembangan Fisik dan Sosial Ekonomi Kampung Kota

Hasil dan Pembahasan


Wilayah studi berada di 12 kampung-kota yang
terletak di Pusat Kota Bandung. Berdasarkan
RTRK Kota Bandung Tahun 2003 wilayah yang
disebut Pusat Kota Bandung terdiri dari 7
Kelurahan yaitu Karanganyar, Balonggede,
Cikawao, Paledang, Braga, Kebon Pisang, dan
Kebon Jeruk.
Status
keberlanjutan
kampung
adalah
pemeringkatan kampung berdasarkan jumlah
total
penilaian
pada
masing-masing
karakteristiknya dari aspek fisik dan sosial
ekonomi. Penilaian aspek fisik didapatkan dari
menghitung bobot dari masing-masing variabel
persepsi masyarakat terhadap kondisi fisik di
telah ditentukan pula. Selain hal tersebut, ada
aspek fisik lainnya yang menjadi pertimbangan

status keberlanjutan kampung-kota yaitu dari


perubahan peta guna lahan eksisting dengan
rencana pola ruang. Hasil akhir dari analisis ini
akan memperlihatkan kampung mana saja yang
pantas untuk dipertahankan eksistensinya.
Kampung Sumur Siuk, Kebon Manggu, dan
Sukamanah merupakan kampung yang diduga
akan mengalami perubahan fungsi guna lahan
dari kondisi eksistingnya permukiman menjadi
perdagangan dan jasa berdasarkan peta RDTR.
Tetapi dalam analisis berikutnya, ketiga
kampung tersebut juga memiliki status
keberlanjutan tinggi. Karena itu berdasarkan
hasil analisis yang telah dilakukan maka ada
pentingnya untuk meninjau kembali RDTR agar
kampung
tetap
dapat
dipertahankan
eksistensinya.

Tabel 2. Hasil Analisis Komparasi dan Analisis Keberlanjutan


Fungsi Guna Lahan
No.

Nama
Kampung

Keterangan

Status
Keberlanjutan
Kampung

Permukiman

Tetap

Sedang

Permukiman

Perdagangan dan Jasa

Berubah

Sedang

Permukiman

50% Perdagangan dan


Jasa;
50% Permukiman

Berubah

Tinggi

Kampung
Bangunan
Permanen

Permukiman

Permukiman

Tetap

Tinggi

Permukiman

Permukiman

Tetap

Sedang

Peta
Bandung
1933
Kampung
Bangunan
Permanen

Peta
Eksisting

Peta RDTR

Permukiman

Cibunut

Haur Kuning

Sumur Siuk

Banceuy

Cibantar

Legok
Kangkung

Kampung

Permukiman

Permukiman

Tetap

Sedang

Melong

Kampung

Permukiman

Permukiman

Tetap

Sedang

Pasundan

Kampung

Permukiman

Permukiman

Tetap

Tinggi

Kampung

Permukiman

Perdagangan dan Jasa

Berubah

Tinggi

Bangunan
Permanen

10

Kebon
Manggu
Kebon Salak

Kampung

Permukiman

Perdagangan dan Jasa

Berubah

Sedang

11

Sukamanah

Kampung

Permukiman

Perdagangan dan Jasa

Berubah

Tinggi

12

Babatan

Kampung

Permukiman

Permukiman

Tetap

Tinggi

Sumber: Hasil Analisis, 2015.


Kampung yang diduga akan mengalami perubahan fungsi guna lahan.
Kampung yang diduga akan mengalami perubahan fungsi guna lahan tetapi
memiliki status keberlanjutan kampung tinggi.
530 | Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A

Firdausi Nurul Awwal

dengan aspek keberlanjutan. Sementara itu dari


Berdasarkan
hasil
analisis
keterkaitan,
21 variabel fisik terdapat 12 variabel (Tingkat
karakteristik fisik adalah aspek yang memiliki
Keamanan Lingkungan Kampung, Tingkat
pengaruh
lebih
besar
terhadap
aspek
Kenyamanan Lingkungan Kampung, Kondisi
keberlanjutan kampung dibandingkan dengan
Fasilitas Olahraga, Kondisi Ruang Terbuka Hijau,
karakteristik ekonomi sosial. Terbukti dengan
Kondisi Aksesibilitas dan Jaringan Jalan, Kondisi
lebih besarnya persentase variabel karakteristik
Jaringan Telekomunikasi, Koefisien Lantai
fisik yang berkaitan erat dengan aspek
Bangunan, Kondisi Fasilitas Kesehatan, Tingkat
keberlanjutan kampung kota. Dalam hal ini dari
Keindahan Lingkungan Kampung, Kondisi
28 variabel sosial ekonomi terdapat 12 variabel
Fasilitas
Perdagangan,
Kondisi
Fasilitas
(Tingkat Biaya Sampah dan Keamanan, Tingkat
Pendidikan, Kondisi Jaringan Drainase) yang
Aspirasi dan Tanggap Masyarakat, Pendapatan
memiliki keterkaitan erat (E) dengan aspek
Rumah Tangga Responden, Intensitas Kampung
keberlanjutan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
Melaksanakan
Olahraga/
senam
Massal,
pada Tabel berikut ini. Maka dapat diambil
Intensitas Kampung Melaksanakan Acara Hari
kesimpulan bahwa keberlanjutan kampung lebih
Besar, Jenis Pekerjaan Responden, Alasan
Memilih Tinggal di Kampung, Biaya Transportasi,
dipengaruhi oleh karakteristik fisik kawasan.
Lama Tinggal di Kampung, Seberapa kenal
dengan
Tetangga,
Intensitas
Kampung
Melaksanakan
Pengajian,
Pendidikan
Responden) yang memiliki keterkaitan erat (E)
Tabel 3. Hasil Analisis Keterkaitan Variabel Ekonomi Sosial dengan Aspek Keberlanjutan
No.

Variabel Ekonomi Sosial

Kontingen Koefisiaen

Biaya Sampah dan Keamanan

0,709

Tingkat Aspirasi dan Tanggap Masyarakat

0,663

Pendapatan Rumah Tangga Responden

0,626

Intensitas Kampung Melaksanakan Olahraga/ senam Massal

0,625

Intensitas Kampung Melaksanakan Acara Hari Besar

0,621

Jenis Pekerjaan Responden

0,604

Alasan Memilih Tinggal di Kampung

0,600

Biaya Transportasi

0,580

Lama Tinggal di Kampung

0,578

10

Seberapa kenal dengan Tetangga

0,528

11

Intensitas Kampung Melaksanakan Pengajian

0,519

12

Pendidikan Responden

0,506

Tabel 4. Hasil Analisis Keterkaitan Variabel Fisik dengan Aspek Keberlanjutan

Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A | 531

Pengaruh Karakteristik Perkembangan Fisik dan Sosial Ekonomi Kampung Kota

No.

Variabel Fisik

Kontingen Koefisiaen

Tingkat Keamanan Lingkungan Kampung

0,740

Tingkat Kenyamanan Lingkungan Kampung

0,631

Kondisi Fasilitas Olahraga

0,627

Kondisi Ruang Terbuka Hijau

0,625

Kondisi Aksesibilitas dan Jaringan Jalan

0,617

Kondisi Jaringan Telekomunikasi

0,599

Koefisien Lantai Bangunan

0,578

Kondisi Fasilitas Kesehatan

0,562

Tingkat Keindahan Lingkungan Kampung

0,556

10

Kondisi Fasilitas Perdagangan

0,551

11

Kondisi Fasilitas Pendidikan

0,533

12

Kondisi Jaringan Drainase

0,522

Kesimpulan dan Rekomendasi


Kesimpulan
Kesimpulan ini berupaya menjawab pertanyaan
penelitian dan berlandaskan pada tujuan
penelitian. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan,
karakteristik fisik adalah aspek yang memiliki
pengaruh
lebih
besar
terhadap
aspek
keberlanjutan kampung dibandingkan dengan
karakteristik ekonomi sosial. Terbukti dengan
lebih besarnya persentase variabel karakteristik
fisik yang berkaitan erat dengan aspek
keberlanjutan kampung kota. Dalam hal ini dari
28 variabel sosial ekonomi terdapat 12 variabel
(Tingkat Biaya Sampah dan Keamanan, Tingkat
Aspirasi dan Tanggap Masyarakat, Pendapatan
Rumah Tangga Responden, Intensitas Kampung
Melaksanakan
Olahraga/
senam
Massal,
Intensitas Kampung Melaksanakan Acara Hari
Besar, Jenis Pekerjaan Responden, Alasan
Memilih Tinggal di Kampung, Biaya Transportasi,
Lama Tinggal di Kampung, Seberapa kenal
dengan
Tetangga,
Intensitas
Kampung
Melaksanakan
Pengajian,
Pendidikan
Responden) yang memiliki keterkaitan erat (E)
dengan aspek keberlanjutan. Sementara itu dari
21 variabel fisik terdapat 12 variabel (Tingkat
Keamanan Lingkungan Kampung, Tingkat
Kenyamanan Lingkungan Kampung, Kondisi
Fasilitas Olahraga, Kondisi Ruang Terbuka Hijau,
532 | Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A

Kondisi Aksesibilitas dan Jaringan Jalan, Kondisi


Jaringan Telekomunikasi, Koefisien Lantai
Bangunan, Kondisi Fasilitas Kesehatan, Tingkat
Keindahan Lingkungan Kampung, Kondisi
Fasilitas
Perdagangan,
Kondisi
Fasilitas
Pendidikan, Kondisi Jaringan Drainase) yang
memiliki keterkaitan erat (E) dengan aspek
keberlanjutan. Maka dapat diambil kesimpulan

bahwa keberlanjutan kampung lebih dipengaruhi


oleh karakteristik fisik kawasan.
Rekomendasi

Rekomendasi dari penelitian ini diharapkan


dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan
dalam menentukan keberlanjutan kampung.
Meninjau kembali pada kesimpulan penelitian
bahwa aspek keberlanjutan kampung ternyata
lebih dipengaruhi oleh karakteristik sosial
ekonomi, maka rekomendasinya adalah:
Untuk Pemerintah diharapkan membuat zona
permukiman kampung pada Rencana Pola
Ruang (RDTR), agar keberadaan/ eksistensi
kampung dapat dipertahankan.
Masyarakat kampung harus sering terlibat
dalam
kegiatan
sosial
yang
dapat
mengeratkan hubungan kekerabatan antar
tetangga, seperti: siskamling, peringatan
acara hari besar, pengajian, atau senam
massal.

Firdausi Nurul Awwal

Kader-kader PKK atau karang taruna harus


lebih
mengupayakan
program-program
kampung yang melatih keterampilan/ bakat
masyarakatnya agar mereka lebih termotivasi
untuk melakukan kreatifitas yang mungkin
dapat menambah penghasilan, seperti:
memasak, menjahit, menyulam, keahlian
bidang otomotif, atau keahlian dalam sistem
informasi dan teknologi.

Sedarmayanti dan S.Hidayat. 2011. Metodologi


Penelitian. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Voskuil, Robert P.G.A. 2007. Bandung: Citra
Sebuah Kota. Bandung: Planologi ITB dan
Jagaddhita.
Wheeler, S. M. 2004. Planning For Sustainability.
New York: Routledge Taylor & Francis
Group.
UN-Habitat.
Global
Report
on
Human

PENGHARGAAN

Abingdon, UK: Earthscan.


UN-Habitat. 2012. Sustainable

Artikel ini merupakan hasil penelitian pada tesis


yang
berjudul
Pengaruh
Karakteristik
Perkembangan Fisik dan Sosial Ekonomi
Kampung Kota terhadap Keberlanjutannya di
Kawasan Pusat Kota Bandung. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iwan
Kustiwan, Ir., MT., Dr., atas bimbingan dan
saran perbaikan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Ridwan Sutriadi, Ir.,
MT., Ph.D., Bapak Iwan Pratoyo Kusumantoro,
Ir., MT., Dr., dan Bapak Benedictus Kombaitan,
Prof. Ir. M.Sc., Dr., atas masukan dan saran
perbaikan sehingga artikel ini dapat ditulis.
DAFTAR PUSTAKA
LPM ITB. 2000. Agenda 21 Sektoral (Agenda
Permukiman). Jakarta: Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup dan UNDP.

Settlements 2003. The Challenge of Slums.

Housing for
Sustainable Cities, A Policy Framework For
Developing Countries. Abingdon, UK:

Earthscan.
Yuliastuti, N. dan D.P. Virgawasti. 2014.
Penilaian
Keberlanjutan
Permukiman
Kampung Lama di Kelurahan Lempongsari.
Jurnal Teknik PWK Volume 3 Nomor 4
Universitas Diponegoro Semarang.
Ayu, D. K.. 2012. Pengaruh Perancangan

Kawasan Perumahan Terhadap Perilaku


Berkelanjutan di Dalam Rumah. Tugas Akhir.

Program Studi Perencanaan Wilayah dan


Kota, Institut Teknologi Bandung.
Kustiwan, I. 2010. Bentuk dan Pengembangan

Kawasan Perkotaan Berkelanjutan (Kajian


Potensi Kompaksi di Kawasan Perkotaan
Bandung). Disertasi. Program Studi Ilmu
Lingkungan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Jurnal PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA A | 533

Вам также может понравиться