Вы находитесь на странице: 1из 15

Perpecahan Ulama dan Kekuatan Ummat Islam di Aceh

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad1

1.
Studi ini bukan ingin mengatakan bahwa ulama di Aceh telah terpecah ke dalam
beberapa kelompok dan dengan demikian, ummat Islam di negeri ini juga telah terpecah ke
dalam beberapa kelompok. Kajian ini juga bukan tentang pemetaan aliran-aliran pemikiran
di kalangan ulama Aceh yang kemudian membuat mereka terpecah ke dalam berbagai
kelompok. Namun kajian ini ingin menjelaskan mengapa muncul asumsi bahwa ulama di
Aceh telah terpecah dan tidak memiliki pengaruh di dalam kehidupan rakyat Aceh secara
keseluruhan. Tentu saja, ulama yang dimaksud di dalam essai ini bukanlah hanya semata
ulama yang pernah mengenyam pendidikan di dayah, tetapi juga ulama yang bersifat nonalumni-dayah. Karena itu, panggilan ulama disini dimaknai secara luas yaitu mereka yang
menguasai tradisi keilmuan di dalam khazanah Islam. Kemudian mereka juga memiliki
tempat untuk mengabdikan ilmu, baik did ayah maupun di perguruan tinggi. Kategori ini
ingin membuka jalan bagi pemahaman kita bahwa tranformasi definisi mengenai ulama di
Aceh telah bergeser.2 Akan tetapi peran mereka masih sangat dominan, baik secara tersirat
maupun secara tersurat. Maksudnya, mereka masih dirujuk oleh para penguasa dan masijh
dimintai petunjuk oleh rakyat Aceh. Bahkan mereka diundang resmi ke lingkaran penguasa
untuk memberikan taushiyah. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa dalam struktur
masyarakat Aceh, ulama masih memainkan peran yang cukup signifikan.
Sejauh ini kajian mengenai ulama di Aceh memang sudah sangat banyak sekali. Ada
kajian yang menyoroti tentang ulama di Aceh sebagai tokoh pembaru Islam di Nusantara. 3

Dosen Fak. Syariah dan Paska-Sarjana IAIN Ar-Raniry dan Wakil Direktur
LSAMA (Lembaga Studi Agama dan Masyarakat Aceh), Banda Aceh. E-mail:
abah.shatilla@gmail.com
2
(Bustamam-Ahmad 2011)
3
(Azra 1994) (Azra 1999)
1

Ada juga kajian yang menyoroti pertikaian antara para ulama dalam isu-isu tertentu, seperti
Wahdat al-Wujud.4 Sementara itu, tidak sedikit pula yang mengkaji peran ulama di dalam
membina institusi pendidikan di Aceh, yakni dayah. 5 Ada pula kajian yang melihat karyakarya ulama yang ditulis pada era rakyat Aceh memerangi Belanda.6 Demikian pula, studi
yang cukup sering dimunculkan adalah peran ulama di dalam mengusir penjajah, melalui
semangat Perang Sabil.7 Setelah itu, muncul pula kajian mengenai peran ulama di dalam
semangat reformasi keagamaan di Aceh, yaitu PUSA. Tidak berhenti disitu, kajian ulama
juga muncul di dalam studi-studi pembangunan di Indonesia, baik secara pemikiran, 8
maupun secara kelembagaan.9 Pada era Orde Baru, kajian mengenai ulama Aceh juga tidak
dapat dilepaskan dari kepentingan pemerintah, di dalam persoalan sosial dan politik yang
dikembangkan oleh Soeharto.10 Ketika konflik, antara pemerintah dengan Gerakan Aceh
Merdeka, ulama juga telah memainkan peran yang cukup penting, sebagai penyeimbang
kekuatan bersenjata antara TNI dan TNA.11 Karena itu, ada argument yang mengatakan
bahwa tidak mungkin menulis sejarah Islam di Aceh, tanpa melibatkan peran ulama di dalam
nya.12 Semua karya-karya tersebut menunjukkan bahwa argumen ini belumlah keliru,
walaupun dinamika perjalanan peran ulama di Aceh penuh dengan dinamika.
Ketika penelitian ini dilakukan, salah seorang ulama kharismatik mempertanyakan
pakon awak droe neuh sabe neu kaji ulama? (mengapa anda selalu mengkaji ulama?).
Sejauh ini, dalam ranah literatur, studi tentang ulama memang hanya dilakukan oleh para
peneliti lokal atau nasional. Jarang sekali kita menemui studi keulamaan di Aceh yang ditulis
oleh penulis asing. Karena itu, reproduksi kajian mengenai ulama Aceh, khususnya pada era
kontemporer memang hanya dilakukan oleh sarjana lokal. Karena itu, sampai hari ini,
struktur kelembagaan ulama di Aceh masih bisa bertahan. Apakah ada hubungan antara riset
4

(Fathurahman 1999)
(Saby 1995) (Amiruddin 2003)
6
(Erawadi 2011)
7
(I. Alfian 2006) (I. Alfian 1987) (I. Alfian 1999)
8
(Shiddiqi 1997) (Shiddiqi 1996)
9
(Alfian 1977) (Mudzhar 1993)
10
(Abdullah 1996)
11
(Amiruddin 2004)
12
(Bustamam-Ahmad 2010)
5

tentang Aceh yang dilakukan oleh pihak asing dengan keberadaan ulama? Sebagai contoh,
studi yang dilakukan oleh Anthony Reid sama sekali tidak dijumpai kajian yang khusus
membedah tentang dunia keulamaan di Aceh. 13 Studi kontemporer yang dilakukan oleh
Edward Aspinnal juga sama sekali tidak membidik ulama Aceh, kendati dalam karyakaryanya kerap memunculkan persoalan keislaman di Aceh.14 Dengan kata lain, walaupun
mereka mencoba memahami Aceh secara komprehensif, mereka sudah masuk dan
memahami dunia keulamaan di Aceh, terlebih lagi hidup bersama ulama. 15

Akhirnya,

informasi mengenai ulama Aceh sering didapati oleh mereka dari karya-karya penulis Aceh
atau penulis dari Jakarta yang mencoba memahami peran ulama di Aceh.
Seorang antropolog terkemuka dari Belanda, yaitu Christian Snouck Hurgronje harus
menyulap dirinya menjadi ulama. Walaupun kemudian sosok Snouck masih penuh misteri
dalam kajian antropologi. Karena dia harus menukar agamanya dan berperilaku sebagai
ulama, meskipun kemudian jatidirinya terkuak. Apa yang hendak diketengahkan adalah
bahwa peneliti asing yang hendak memahami ulama Aceh harus betul-betul mempersiapkan
dirinya agar tampil persis seperti ulama. Namun akhirnya dia gagal beraksi sebagi ulama.
Akan tetapi dari pengalaman kegagalan tersebut, Snouck berhasil mengubah struktur
masyarakat Aceh dengan berbagai teori yang dikembangkan dalam beberapa karyanya. 16
Padahal, Snouck sendiri tidaklah masuk secara mendalam ke dunia Aceh, melainkan dia
menggunakan asistennya yaitu Hasan Mustapa dari Bandung yang bertindak sebagai
pengumpul data bagi Snouck.17 Intinya, peneliti asing amat susah memasuki atau meneliti
secara dekat dunia keulamaan di Aceh.
Karena itu, riset tentang keulamaan di Aceh memang baru sebatas upaya memahami
kehidupan mereka, bukan untuk mengubah cara pandang mereka secara revolusioner.
Maksudnya, riset-riset ilmu sosial selalu atau kerap mendatangkan perubahan pada objek
riset sendiri, baik secara langsung maupun tidak. Hal ini disebabkan terkadang dari data yang
13

(Reid 1969) (Reid 2005) (Reid 2003) (Reid 2005) (Reid 2006)
(Aspinnall 2009b) (Aspinnall 2009)
15
Lihat misalnya karya (Missbach 2012)
16
(Benda 1958) (Hurgronje 1996)
17
(Mustapa 2010) (Rosidi 2009)
14

didapatkan lalu menghasilkan suatu kesimpulan yang kemudian diwujududkan dengan


kebijakan. Lantas, apakah ada riset yang dilakukan yang telah menghasilkan perpecahan
pandangan para ulama Aceh? Studi keulamaan yang pernah dilakukan adalah dalam rangka
mengubah cara pandang ulama dalam hal bidang politik dan juga bagaimana mensukseskan
kebijakan pemerintah.18 Dalam studi tersebut, tampak bahwa ulama didekati oleh
pemerintah dan partai politik penguasa untuk menaikkan suara partai politik tertentu. Saat
itu, dampak dari penelitian adalah menaikkan kelompok-kelompok elit ulama dan membawa
mereka pada lingkaran kekuasaan. Akhirnya, terjadai proses de-harmonisasi antara sesama
ulama yang mendukung partai politik tertentu dengan ulama yang mendukung partai politik
yang membawa bandera atau simbol-simbol keislaman.
Campur tangan penguasa di dalam melakukan de-harmonisasi ternyata telah
menciptakan kelompok-kelompok ulama itu sendiri. Pola ini berlangsung hingga akhir Orde
Baru. Namun, ketika Orde Baru berakhir pada tahun 1998, pemerintah telah menjadikan
mereka sebagai kantong-kantong penghubung antara kepentingan penguasa dengan persoalan
Aceh. Dengan kata lain, ulama yang dekat dengan penguasa atau pemerintah pada era Orde
Baru dianggap sebagai perwakilan kepentingan pihak pemerintah di Aceh. Sementara ulama
yang dekat dengan kelompok separatis (GAM) cenderung dibiarkan, sambil dimonitor
aktivitas mereka. Hal ini terlihat misalnya, pada seorang ulama senior di Aceh Selatan,
dimana dayahnya dijadikan sebagai tempat pertemuan kelompok GAM, yang kemudian
dayah tersebut dibiarkan, namun pimpinan dayah itu kemudian yang dipanggil oleh aparat.
Aparat sendiri tidak melukai fisik ulama tersebut, melainkan hanya dimintai keterangan oleh
pihak militer. Menurut pengakuan ulama tersebut, dayahnya memang cukup strategis di
dalam menjadi penghubung antara masyarakat dengan kelompok GAM yang menetap di
areal pegunungan. Namun sekali lagi, aparat militer tidak akan menganggu ulama-ulama
kharismatik. Hal inilah yang kemudian menciptakan citra bahwa aparat akan mendekati
sedaya mungkin para ulama. Sebab, jika mereka sudah berhasil mendekati ulama, maka
akan mudah mendapatkan kesan positif dari masyarakat sekitar dayah tersebut. Karena itu,

18

(Saby 1995) (Abdullah 1996)


4

ketika para elit militer tiba atau baru bertugas di Aceh, mereka cenderung akan ke dayah
terlebih dahulu, sebelum melakukan tugas-tugas lainnya.
2.
Dari paparan di atas tampak bahwa pihak kolonial dan pemerintah pusat di Jakarta
telah berhasil menciptakan perpecahan di kalangan ulama di Aceh. Pihak kolonial telah
mewarisi teori memecahkan, sementara pihak pemerintah pusat mempertajam teori
dengan pola pengrekrutan ulama dan distribusi bantuan kepada dayah, yang kemudian
menciptakan kondisi ketergantungan mereka pada pemerintah. Pola pemberdayaan ulama
oleh pemerintah Indonesia memang agak mirip dengan pola yang dimainkan di Jawa Timur.
Hal ini disebabkan daerah ini merupakan salah satu kawasan paling banyak pesantren di
Indonesia. Sehingga jejaring kekuatan ulama ini dengan wajah Nahdlatul Ulama telah
menjadi kekuatan tersendiri, baik di Jawa Timur maupun di Jakarta.19 Di Jawa Timur, ulama
baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat telah memiliki kekuatan supra-kekuasaan.
Bahkan di Madura, kekuatan mereka telah berakar selama puluhan tahun. Proses
pemberdayaan masyarakat santri dari Jawa Timur juga telah menunjukkan hasil yang
signifikan, dimana beberapa tokoh nasional merupakan alumni pesantren.
Sebaliknya, Aceh memiliki sejarah yang tidak begitu harmonis, antara kelompok ule
balang dan ulama. Ketika terjadi Revolusi Sosial pengejaran terhadap kelompok ule balang,
mereka akhir menetap di Jakarta dan propinsi lainnya di Pulau Jawa. Beberapa keluarga ule
balang ini kemudian memiliki hubungan yang amat mesra dengan pemerintah. Sehingga
mereka mampu bertahan untuk melakukan kompetisi dengan etnik lain untuk menikmati
kue kekuasaan, khususnya pada era Soeharto. Adapun ke Aceh, pemerintah masih
memandang ulamalah yang memegang peran penting, namun kekuatan lobi mereka tidak
diberikan perannya di dalam kancah lingkaran kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh
ulama dari Jawa Timur. Akhirnya, terhadap ulama di Aceh, pemerintah hanya melakukan
proses pilih dan pilah, mana ulama yang bisa diajak bekerja sama dan mana ulama yang
tetap dibiarkan perannya di daerah, tanpa harus ditampilkan pada pentas nasional.
19

(Bruinessen 1999)
5

Pada era Orde Baru misalnya, muncul ulama yang pro-Golkar dan pro-PPP. Pada
masa konflik, muncul ulama yang dekat dengan aparat militer dan ulama yang tidak. PaskaDamai 2005, muncul pula ulama yang merupakan kepanjangan tangan dari Gerakan Aceh
Merdeka yaitu MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh Darussalam) dan ulama yang
berasal dari lingkaran kampus yang duduk di barisan sebagai ulama (MPU). Dari kelompok
dayah, muncul kemudian HUDA (Himpunan Ulama Dayah). Terhadap pendirian HUDA,
ada pendapat yang mengatakan bahwa:
The establishment of HUDA, a new independent ulama institution (Himpunan
Ulama Dayah Aceh: Association of Acehnese Dayah Ulema) on 14 September 1999,
two months after the killing of Bantaqiah, was perceived by the Habibie
administration and provincial government leaders as a threat rather than a solution,
because it was formed to back up the Rabithah Thaliban Aceh to support the
referendum. The establishment of HUDA strengthened the long-standing tensions
between the independent and official ulama.20
Salah seorang ulama dari Pidie Jaya menuturkan bahwa kunci kemenangan Partai Aceh
ketika pemilihan anggota perwakilan rakyat dan kepala daerah adalah berkat ulama dan
militer Republik Indonesia. Analisa dia menuturkan bahwa GAM telah menggunakan ulama
melalui kendaraan MUNA untuk menguasai setiap territorial daerah pemilihan. Sementara
pihak militer membiarkan upaya ini, terutama dengan bergabungnya beberapa mantan
petinggi militer yang merupakan simbol kemesraan antara GAM dan TNI. Dari pandangan
ini memperlihatkan bahwa peran ulama tidak lagi sebagai kekuatan oposisi, melainkan
kekuatan baru untuk menghadang kelompok ulama-pemerintah dengan wajah MPU. Harus
diakui, dari beberapa responden, selama penelitian ini dilakukan, peran MPU pada era
pemerintahan Irwandi memang tidak signifikan. Hal ini disebabkan ketidakmesraan antara
pimpinan MPU dengan pucuk pimpinan pemerintah daerah. Sehingga MPU jarang dilibatkan
di dalam menyelesaikan persoalan daerah. Dengan kata lain, pemerintah daerah saat itu,
memiliki ulama sendiri yang kemudian diwujudkan di dalam kekuatan MUNA. Hanya saja,
kekuatan kelompok GAM juga akhir pecah, sehingga MUNA hanya berada dibalik PA,
sebagai kekuatan politik GAM yang sah dan diakui oleh para mantan eksponen GAM luar
negeri. Tidak mengejutkan jika kemudian, Irwandi yang maju dalam Pilkada tidak berhasil
20

(Ichwan 2011, 196)


6

mendapatkan simpati ulama. Dari kalangan ulama sendiri kemudian juga muncul tokoh
yang maju sebagai calon gubernur. Namun tidak memperoleh dukungan yang signifikan
dalam Pilkada.
Adapun MPU, menurut salah seorang mantan anggota DPRA dan DPR RI yang
terlibat langsung di dalam menyusun arah lembaga ini menuturkan bahwa institusi ini mirip
sebagai lembaga mufti seperti di Iran. Maksudnya adalah mereka menjadi penyaring dari
setiap kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah daerah harus aktif berkonsultasi
dengan MPU, bukan sebaliknya. Desain awal MPU bertujuan untuk memunculkan
pemerintahan yang islami di Aceh, seperti halnya yang dilakukan di Iran. Penjelasan ini
mengindikasikan bahwa ketika Syariat Islam di berlakukan, 21 maka semua aturan ataupun
kebijakan pemerintah harus melalui pengesahan MPU. Namun, dalam implementasinya,
pemerintah daerah, khususnya pada era pemerintahan Irwandi-Nazar, tidak begitu
memperhatikan hubungan yang erat antara ulama dan umara. Sehingga seolah-olah,
keberadaan MPU tidak begitu dipandang sebagai faktor penting di dalam pembangunan di
Aceh.
Alhasil, hubungan ini kemudian menciptakan ketidakharmonisan antara ulamapemerintah dengan pemerintah itu sendiri. Akibatnya, dari beberapa hasil wawancara, paskapemerintahan tersebut, sudah mulai merangkul ulama di dalam lingkaran pemerintahan
Aceh. Bahkan, hubungan ini diakui sendiri oleh ketua MPU Aceh saat ini. Mereka kerap
diundang dan dimintai pendapat. Tidak hanya itu, para sesepuh ulama dayah juga kerap
dimintai pendapat. Akan tetapi, peran MPU seperti yang diidamkan oleh mantan anggota
DPR atau politisi senior di Aceh, belum menampakkan hasil yang menggembirakan.
Mengenai keterlibatan ulama di dalam pemerintahan, khususnya di dalam struktur MPU,
ulama dari Lhokseumawe menuturkan bahwa inilah saatnya membangun Aceh, karena
pemimpin yang berada di tampuk kekuasaan dipilih oleh rakyat Aceh. Dia memandang
bahwa ketika pola kepemimpinan dipegang melalui mandat langsung dari rakyat, maka
ulama harus mengawalnya. Dia juga menambahkan bahwa di dalam beberapa isu, terutama
21

Tentang pemberlakuan hukum Islam di Aceh, baca (Bustamam-Ahmad 2009);


(Bustamam-Ahmad 2007)
7

sosial keagamaan, ulama kerap diajak untuk berkonsultasi oleh pemerintah lokal. Namun
ada juga ulama yang memandang tidak perlu ikut di dalam roda pemerintahan, baik daerah
maupun tingkat II, karena tidak jelas kerangka pemikirannya. Hal ini disebabkan perilaku
umara atau elit kekuasaan yang kadang tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman. Mereka
khawatir dengan keterlibatan di dalam pemerintahan, malah akan menjadi stempel
pemerintah.
Sementara itu, ada juga pemikiran yang menyebutkan ulama perlu terlibat di dalam
roda pemerintahan, demi untuk kesuksesan misi pendidikan mereka di dayah. Dalam hal ini,
dengan keterlibatan mereka di dalam jalur kekuasaan, akan mudah bagi komunitas dayah
mendapatkan manfaat, terutama hal-hal yang bersifat materi. Paling tidak, wacana ini
mencuat ketika di dalam beberapa sesi pertemuan dengan ulama dayah, di Banda Aceh dan
Aceh Tamiang, mereka memandang bahwa dayah harus diperhatikan, terutama yang bersifat
dukungan materi. Karena sebagian mereka memandang bahwa hanya ulama yang dekat
dengan wilayah kekuasaan saja, yang kerap mendapatkan bantuan dari pemerintah. Karena
itu, mereka menganggap ulama dayah harus bersatu dan memiliki mekanisme, sehingga
mereka juga dianggap seperti guru di sekolah, yaitu mendapatkan tunjangan dan bantuan
untuk operasional dayah. Hal yang paling menyedihkan adalah potret dayah perbatasan yang
mulai tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah di Banda Aceh. Mereka
mengeluhkan bahwa operasionalisasi dayah ini tidak lagi didukung oleh pemerintah daerah.
Sehingga di dalam sesi pertemuan dengan mereka, selalu mengajukan bagaimana mereka
bisa terhubung dengan elit kekuasaan dan siapa yang cocok untuk membicarakan duka
mereka di daerah perbatasan. Hal serupa juga dikemukakan oleh pimpinan dayah di daerah
perbatasan di Aceh Tamiang.
Ada juga pemikiran yang menyebutkan ulama perlu berkiprah secara aktif di Aceh.
Fungsi ini sebenarnya untuk penyeimbang antara kepentingan penguasa dan kepentingan
rakyat. Maksudnya, ulama berada di tempat yang cukup strategis di dalam mensukseskan
pembangunan Aceh. Peran ini pada prinsipnya harus disinergikan dengan situasi kekinian
Aceh, dimana peran ulama sangat menentukan sekali. Sebab, cara berkehidupan rakyat
Aceh adalah memakai dua standar yaitu agama dan adat istiadat (baca: kebudayaan). Dari

sisi agama, ulamalah yang paling dijadikan tokoh terdepan. Namun, salah seorang ulama
kharismatik di Aceh Selatan menyebutkan bahwa ulama tidak dilibatkan dan bahkan
pemerintah tidak begitu mementingkan peran ulama. Adapun sosok yang tertinggi di dalam
persoalan adat, sesuai dengan amanah MoU, maka Wali Nanggroe memiliki peran yang
cukup strategis. Sekali lagi, sosok dan peran Wali Nanggroe di dalam persoalan adat istiadat
masih belum dirasakan di Aceh. Dengan kata lain, ada dua lembaga yang menjadi ihwal
keistimewaan Aceh dewasa ini sebagai kelompok untuk balancing power yaitu ulama dan
Wali Nanggroe. Agaknya, kedua lembaga ini masih belum memainkan peran mereka sebagai
alat penyeimbang yang cukup disegani, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat di Jakarta.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ulama di Aceh memang telah berperan
seperti apa adanya. Maksudnya, mereka menyesuaikan dengan situasi kekinian di Aceh.
Satu hal yang cukup penting dicatat adalah bagaimana upaya mempertahankan tiga hal:
kekuatan diri mereka sendiri, kekuatan finansial dayah, dan afiliasi dengan kelompok yang
mendukung kedua hal tersebut. Mereka mampu menyesuaikan dengan irama kekuatan elit
politik. Hal ini disebabkan beberapa tokoh di Aceh, masih menjadikan ulama sebagai
rujukan. Hanya saja, bagi mereka yang tidak kuat pada kekuatan ini, mereka juga akan
melakukan menjalin kekuatan dengan kekuatan-kekuatan dari luar Aceh, demi untuk
kelangsungan kehidupan pendidikan di dayah mereka. Di dalam lingkaran kekuasaan,
jaringan alumni dan saling memperkenalkan antara satu sama lain ikut mempertahankan
kekuatan jati diri ulama tersebut. Dengan kata lain, jejaring hubungan keulamaan di Aceh
masih memainkan peran yang cukup penting. Khususnya, di dalam menyesuaikan aspirasi
mereka dengan kekuatan politik yang ada. Singkat kata, jika pada era Orde Baru, mereka
didatangi oleh penguasa demi kelancaran program pemerintah. Paska era tersebut, fenomena
yang terjadi malah sebaliknya. Ini dikarenakan rasa ketergantungan pada sisi membina
kekuatan diri dan kebertahanan dayah dari kekurangan-kekurangan yang dirasakan.
Sementara itu, kekuatan ummat Islam di Aceh memang masih pada kondisi sebagai
objek dari penguasa. Pandangan ini menyiratkan ummat Islam di propinsi ini memiliki
paradigma untuk bisa bertahan dari segala situasi yang muncul di Aceh. Karena sebagai

objek, maka rakyat hanya memiliki rasa yang tidak begitu menyatu dengan dunia keulamaan.
Ketidakbersatuan ini tentu saja dipicu oleh pemahaman bahwa simbol-simbol keagamaan
hanya dijaga oleh ulama. Namun di dalam realita sosial, simbol-simbol keagamaan telah
dijaga pula oleh ulama yang datang dari luar propinsi Aceh. Gejala dari Teungku menuju
Ustaz adalah potret telah terjadi proses transformasi di beberapa wilayah Aceh pada bidang
keagamaan. Sebagai contoh, para orang tua di Aceh lebih tertarik mengirimkan anak-anak
mereka ke pesantren modern. Hal ini dipicu dengan berbagi harapan, seperti mutu
pendidikan, adanya ketersediaan pendidikan agama dan umum, disiplin yang ketat, dan
jaminan kemampuan di dalam berbahasa asing (Arab dan Inggris). Ada pula gejala
kemunculan pesantren

yang menawarkan kemampuan menghapal al-Quran atau

kewirausahaan. Bahkan tidak mengejutkan jika para orang tua rela menghabiskan dana
ratusan ribu untuk bisa belajar di pesantren modern.
Sementara pada pesantren tradisional ada penduduk sekitar yang ingin menuntut ilmu
dan kemudian berkhidmat di daerah mereka masing-masing. Karena itu, keberadaan
pesantren tersebut sangat bergantung bagaimana kekuatan pimpinan dayah di dalam
melakukan artikulasi diri mereka dengan elit. Sehingga, di dalam beberapa hal tertentu,
semakin terkenal seorang pimpinan dayah, semakin mudah pula bagi pesantren tersebut
untuk bertahan. Hal ini diakibatkan para santri tidak diwajibkan sama sekali membayar dana
pendidikan. Namun fenomena senyatanya ini dahulu kala karena situasi pembelajaran di
dayah masih menggunakan bilik-bilik seadanya. Begitu juga, harga kitab yang tidak begitu
mahal. Para teungku yang masih hanya berperan di dayah dan sekitar pesantrennya sendiri.
Namun sekarang, bilik yang ditutupi daun rumbia sudah diganti dengan bangunan beton
yang berlantai dua atau tiga. Air sudah mulai dialiri dengan kekuatan listrik. Adapun listrik
harus dibayar kepada negara. Harga kitab juga semakin melambung tinggi yang kemudian
memicu untuk berlomba-lomba memohon bantuan pada Badan Dayah di Banda Aceh. Para
teungku sudah mulai berkiprah diluar orbit daerah dayah nya sendiri. Dia sudah mulai kerap
diundang ke pendopo, rapat, peusijeuk (tepung tawar) pejabat, pertemuan demi pertemuan
baik di Banda Aceh maupun di Jakarta. Hal-hal tersebut membuka cakrawala berpikir
tentang bagaimana upaya supaya dayah mampu bertahan, tanpa dukung penuh dari orang tua

10

sebagaimana dayah modern, dari tantangan kebutuhan pada era kekinian. Dengan begitu
dapat dikatakan bahwa situasi kekinian telah menciptakan kondisi, dimana para dayah-dayah
memiliki rasa ketergantungan pada negara.
Jika dilihat kondisi di atas, maka dapat dipastikan ummat Islam di Aceh, telah
sebagian mereka memiliki rasa ketergantungan yang amat kuat pada negara. Dengan kata
lain, masyarakat mandiri di Aceh memang belum bisa dijadikan patokan untuk memetakan
kekuatan ummat Islam. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat mandiri
yang telah mampu membangun kesadaran akan untuk bertahan dari segala keadaan yang
merugikan atau menguntungkan mereka sendiri. Disini mereka akan mampu menyesuaikan
dengan kondisi ulama Aceh hari ini. Rakyat Aceh tidak akan melakukan kritik terhadap
ulama. Karena di dalam struktur masyarakat, para ulama dianggap sebagai bapak
masyarakat. Sementara ibu masyarakat adalah geuchik (kepala kampung). Manakala
bapak masyarakat dan ibu masyarakat masih mampu mengurus mereka, maka tidak akan
muncul persoalan yang krusial di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai contoh, di satu kampung di Aceh Besar, terdapat ulama yang sudah
melibatkan dirinya di dalam politik praktis. Dia sudah kerap bepergian ke luar Aceh, baik ke
Jakarta dan luar negeri. Ketika ada persoalan yang harus ditanganinya, maka muncul ulama
yang muda yang akan menyelesaikan semua persoalan. Ulama muda ini hanya mampu
mengeluh dengan bahasa-bahasa simbolik tentang mengapa ulama tidak perlu terlibat
dalam politik atau kekuasaaan. Namun dia tidak akan melakukan kritikan yang cukup tajam.
Karena ini dianggap akan menyalahi penghormatan kepada guru. Dia hanya akan mengambil
contoh mana ulama yang tidak pernah terlibat di dalam politik praktis. Pada kampung yang
lain di Aceh Jeumpa, terdapat pula ulama yang tidak ingin terlibat di dalam politik praktis
dan juga praktik-praktik sosial keagaman dan sosial kebudayaan yang terdapat di luar dayah.
Jika ada seremoni yang mengharuskan adanya keberkahan dari ulama, dia akan
mengirimkan utusannya ke tempat tersebut. Dengan demikian, rasa hormat pada ulama ini
semakin kuat. Hal ini disebabkan dia tidak mau melibatkan diri pada persoalan-persoalan
yang masih mengundang khilafiyyah di kalangan masyarakat. Tentu saja, dia tidak akan
menyebutkan alasan ini kepada masyarakat, karena akan menyinggung perasaan mereka.

11

Dapat dinyatakan bahwa para ulama muda yang menyimpan idealisme, tetapi tidak akan
melakukan kritikan secara terbuka pada aktivitas beberapa ulama senior yang terlibat di
dalam lingkaran kekuasaan.
3.
Dari paparan di atas ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, sejarah
kontemporer ulama Aceh memang tidak dapat diputuskan dengan sejarah dinamika ulama
sejak era pertama kali Islam bertapak di negeri ini. Karena itu, mencoba memahami
keberadaan dan fungsi ulama hari ini adalah wujud dari pengkajian sejarah kontinuitas
mereka di dalam masyarakat dan kekuasaan politik. Dalam studi ini terlihat bahwa peran
ulama masih sangat aktif, kendati mereka memiliki persoalan tersendiri di dalam
mempertahakan tradisi pendidikan di dayah. Kedua, studi ini meyakinkan bahwa dalam
kehidupan sosial politik, ulama di Aceh selalu memberikan respon yang cukup dinamis.
Saat awal reformasi, didirikan HUDA, lalu muncul PDA, ditambah lagi dengan MUNA.
Semua organisasi keulamaan ini muncul dalam waktu yang cukup singkat yaitu satu
dasawarsa. Ini menunjukkan bahwa ulama telah digunakan kekuatan mereka di luar dayah.
Sehingga terkadang muncul generasi baru ulama Aceh yang menginginkan untuk tidak lagi
terlibat di dalam politik praktis. Ketiga, fenomena gejala kebangkitan ustaz di beberapa
kawasan urban di Aceh juga telah menggeser peran substantif para ulama lokal. Kenyataan
ini memperlihatkan bahwa secara perlahan-lahan, masyarakat Aceh sudah terbiasa dengan
laqab dan titel baru tersebut. Agaknya, studi ini dapat dilanjutkan dengan pemetaan kekuatan
gelombang ulama baru di Aceh, yang sama sekali bukan berasal dari masyarakat Aceh.

12

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES,
1996.
Alfian. "Cendekiawan Dan Ulama Dalam Masyarakat Aceh: Sebuah Pengamatan
Permulaan." Dalam Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil-Hasil Penelitian
Dengan Metode "Grounded Research". Jakarta: LP3ES, 1977.
Alfian, Ibrahim. "Aceh and the Holy War (Prang Sabil)." Dalam Verandah of Violence: The
Background to the Aceh Problem, 109-120. Singapore: Singapore University Press, 2006.
. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan, 1987.
. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 1999.
Amiruddin, M. Hasbi. Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh. Translated by
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003.
. Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik. Yogyakarta: CENINNETS Press, 2004.
Aspinnall, Edward. "Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh."
Indonesia, no. 87 (2009): 1-34.
. Islam and Nation: Separatist in Aceh, Indonesia. California: Stanford University Press,
2009b.
Azra, Azyumardi. Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: RajaGrafindo,
1999.
. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:
Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1994.
Benda, Harry J. "Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy
in Indonesia." Journal of Modern History 30, no. 4 (1958): 338-347.
Bruinessen, Martin van. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.
Translated by Farid Wajdi. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. "Dari Teungku ke Ustaz: Potret Pendidikan Islam di
Aceh." Kajian Islam 6, no. 1 (2011): 1-16.

13

. Islamic Law in Southeast Asia: A Study of Its Application in Kelantan and Aceh . Chiang
Mai: Silkworm, 2009.
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. "Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Muslim:
Pengalaman Indonesia untuk Asia Tenggara." Edukasi 8, no. 2 (2010): 3939-3966.
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. "The Application of Islamic Law in Indonesia: The
Case Study of Aceh." Journal of Indonesian Islam 1, no. 1 (2007): 135-180.
Erawadi. Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX.
Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan ,
2011.
Fathurahman, Oman. Tanbh Al-Msy Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel
Di Aceh Abad 17. Bandung: Mizan, 1999.
Hurgronje, C. Snouck. Aceh: Rakyat Dan Adat Istiadatnya. Jakarta: INIS, 1996.
Ichwan, Moch Nur. "Official Ulema and the Politics of Re-Islamization: The Majelis
Permusyawaratan Ulama, Shari'atization and Contested Authority in Post-New Order Aceh."
Journal of Islamic Studies 22, no. 2 (2011): 183-214.
Missbach, Antje. Politik Jarak Jauh Diaspora: Suatu Gambaran tentang Konflik Separatis di
Indonesia. Translated by Windu Wahyudi Yusuf. Yogyakarta: Ombak, 2012.
Mudzhar, M. Atho. Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal
Thought in Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993.
Mustapa, H. Hasan. Adat Istiadat Sunda. Translated by M. Maryati Sastrawijaya. Bandung:
Alumni, 2010.
Reid, Anthony. The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain 18581898. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969.
. An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra . Singapore: Singapore
University Press, 2005.
Reid, Anthony. "Charismatic Queens of Southern Asia." History Today 53, no. 6 (2003): 3035.
Reid, Anthony. The Ottomans in Southeast Asia. Asia Research Institute Working Paper
Series, Singapore: Asia Research Institute, 2005.

14

Reid, Anthony, ed. Verandah of Violence: The Background to the Aceh Problem. Singapore:
NUS Press, 2006.
Rosidi, Ajip. Manusia Sunda. Bandung: Kiblat, 2009.
Saby, Yusny. "Islam and Social Change: The Role of the 'Ulama in Acehnese Society."
Ph.D. Thesis, Temple University, 1995.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas Dan Gagasannya: Biografi,
Perjuangan Dan Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997.
. Jeram-Jeram Peradaban Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

15

Вам также может понравиться