Вы находитесь на странице: 1из 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja

insulin,

atau

kedua-duanya.

Hiperglikemia

kronik

pada

diabetes

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan


beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, jantung, saraf dan pembuluh darah.
World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan
singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema
anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2014).
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi

Diabetes

Melitus

menurut

ADA

(American

Diabetes

Association) tahun 2009 dibagi menjadi 4 tipe yaitu Diabetes Melitus tipe1,
Diabetes Melitus tipe2, Diabetes Melitus tipe lain, Diabetes Kehamilan
(Purnamasari, 2014).
2.1.2.1 Diabetes Mellitus tipe1
Diabetes Mellitus tipe 1 (diabetes melitus yang tergantung insul
[IDDM], sebelumnya disebut diabetes juvenelis, terdapat defisiensi insulin yang
absolut sehingga pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini
disebabkan oleh lesi pada sel beta pankreas karena meknisme autoimun, yang
5

pada keadaan tertentu dipicu oleh oleh infeksi virus (Silbernagl dan Lang, 2012).
Keadaan ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dan lebih sering pada
populasi Eropa Utara daripada kelompok etnis lainnya. Gejala klinis pda DM tipe
1 ini mulai timbul setelah kerusakan sel bea mecapai sekitar 70-90% (Greenstein
dan Wood, 2010).
2.1.2.2 Diabetes Melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 (diabetes melitus yang tidak tergantung pada
insulin [NIDDM], sebelumnya disebut diabetes dengan onset dewasa) hingga saat
ini merupakan diabetes yang paling sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik
juga berperan penting. Namun, pada diabetes tipe ini hanya terjadi penurunan
resistensi insulin relatif; jadi pasien tidak mutlak tergantung pada suplai insulin
dari luar. Pelepasan insulin dapat normal bahkan meningkat, tetapi organ target
memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Stefan dan Florian, 2012).
Seiring dengan progesifitas penyakit maka produksi insulin ini berangsur
menurun menimbulkan klinis hiperglikemia yang nyata. Hiperglikemia yang
terjadi memperberat gangguan sekresi insulin yang sudah adadan disebut
fenomena glukositosis (Soegondo, 2014).
2.1.2.3 Diabetes Melitus tipe lain
DM tipe lain dapat terjadi akibat berbagai penyebab diantaranya: Defek
genetik fungsi sel beta; Defek genetim kerja insulin (resistensi insulin tipe A, I
eprechaunism, diabetes lpoatrofik, dll.); Penyakit Eksokrin Pankreas (pankreatitis,
trauma/pankreatotomi,

neoplasma,

fibrosis

kisitik

hemokromatosis,

dll,);

Endokrinopati (akromegali, sindroma cushing,feokromositoma, dll.); obat zat


kimia (vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, dll.); Infeksi (rubella

congenital, CMV, dll.); Imunologi (sindroma down, sindroma klinifer, sindroma


tunner, sindroma wolframs dll.) (Purnamasari, 2014)
2.1.2.4 Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai sebagai suatu
intoleransi glukosa yang terjadi pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi
ini berlaku dengan tidak memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang
mendapat terapi insulin atau diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan
intoleransi glukosa masih menetap. Demikian pula ada kemungkinan pasien
tersebut hamil sudah terjadi intoleransi glukosa (Adam dan Purnamasari, 2014).
2.1.3 Epidemologi Diabetes Melitus
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe2 di berbagai penjuru dunia.
WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup
besar pada tahun-tahun mendatang. Wolrd Healt Organization (WHO)
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO,
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan
jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada
tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat
pada tahun 2030 (PERKENI, 2011).

2.1.4. Patofisiologi

Diabetes melitus disebabkan oleh kekurangan insulin yang bersifat absolut


atau relatif, dan diantara beberapa akibatnya, dan diantara beberapa akibatnya
menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa plasma. Penyakit ini diberikan
nama demikian karena eskresi glukosa didalam urin. Penyakit ini dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, tergantung dari penyebab dan perjalan
penyakitnya. Klasifikasi ini berguna, meskipun sangat sederhana (Silbernagl dan
Lang, 2012).
2.1.4.1 Diabetes Melitus tipe 1
DM tipe-1 (diabetes melitus yang tergantung insul [IDDM],
sebelumnya disebut diabetes juvenelis, terdapat defisiensi insulin absolut sehingga
pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi
pada sel beta pankreas karena meknisme autoimun, yang pada keadaan tertentu
dipicu oleh oleh infeksi virus. Pulau pankreas diinfiltrasi oleh limfosit T dan dapat
ditemukan autoantibodi terhadap jarngan di pulau (antibodi sel pulau [C]) dan
insulin (autoantibodi insulin [IAA]). ICA pada beberapa kasus dapat dideteksi
selama bertahun-tahun sebelum onset penyakit. Setelah kematian sel beta, ICA
akan menghilang kembali. Sekitar 80% pasien membentuk antibodi terhadapt
glutamat dekarbosilase yang di ekspresikan di sel beta. Diabetes melitus tipe 1
terjadi lebih sering pada pembawa antigen HLA tertentu yaitu HLA-DR3 dan
HLA-DR4, hal ini berarti terdapat disposisi genetik, seperti yang dijelaskan pada
gambar 2.1 dibawah ini(Silbernagl dan Lang, 2012).

Gambar 2.1 Patofisiologi DM tipe 1 (Silbernagl dan Lang, 2012)

2.1.4.2 Diabetes Melitus tipe 2


Pada DM tipe ini, desposisi genetik juga berperan penting. Namun,
terdapat defisiensi insulin relatif; pasien tidak mutlak tergantung dari suplai
insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi
organ target memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin. Sebagian besar
pasien diabetes melitus tipe II memiliki berat badan yang berlebih. Obesitas
terjadi karena disposis genetik, asupan makanan terlalu banyak, dan aktivitas fisik
yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi
yang meningkat konsentrasi asam lemak didalam darah. Hal ini selanjutnya akan
menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibanya, terjadi
resistensi insulin yang yang memaksa untuk meningkatkan pelepasan insulin.
Akibat regulasi menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat.
Seperti yang dijelaskan pada gambar 2.2 obesitas merupakan faktor resiko yang
sangat berperan penting terhadap timbulnya diabetes, namun bukan merupakan
penyebab tunggal diabetes tiep II. Penyebab yang lebih penting adalah adanya
disposisi genetik yang menurunkan sensivitas insulin. Sering kali, pelepasan

10

insulin tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasisebagai gen yang
meningkatkan terjadinya obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Di antara beberapa
faktor, kelainan genetik pada protein yang memisahkan rangkaian di
mitokondriamembatasi penggunaan substrat. Jika terdapat desposisi genetik yang
kuat, diabetes tiep II dapa terjadi pada usia muda (onset maturitas diabetes pada
usia muda [MODY]) (Silbernagl dan Lang, 2012).

Gambar 2.2. Patofisiologi DM tipe 2 (Sumber : Silbernagl dan Lang, 2012)

2.1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus


Manifestasi Klinis diabetes Melitus bervariasi dari pasien ke pasien.
Pertolongan medis paling sering dicari karena gejala yang berkaitan dengan
hiperglikemia (poliuria, polidispsia, polifagia), tetapi kejadian pertama mungkin
berupa dekompensasi metabolik akut

yang menyebabkan

koma diabetik.

Kadang-kadang penampakan awal berupa penyulit degeneratif seperti neuropati


tanpa gejala hipergllikemia. Kekacauan metabolik pada diabetes disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif dan kelebihan glukagon absolut atau relatif
(Foster, 2013 ). Seperti yang terdapat pada gambar 2.3:

11

Gambar 2.3 Gejala Klinis DM (MedlinePlus, 2012)

2.1.5.1 Diabetes Melitus tipe 1


Diabetes melitus tergantung insulin (IDDM) biasanya mulai umur 40;
di Amerika Serikat insidensi puncak sekkitar umur 14 tahun. Sebagian pasien
yang mengalami diabetes

melitus tipe 1 pada usia lanjut, dengan kejadian

ketoasidosis pertama pada umur 50 tahun atau bahkan lebih lanjut pada keadaan
yang jarang. Pasien ini dengan kasus ini biasanya tidak obes. Awitan gejala dapat
terjadi secara mendadak berupa haus, sering kencing, peningkatan nafsu makan
dan penurunan berat badan selama beberapa hari. Seperti yang digambarkan di
dalam tabel 2.1, pasien tipe 1 bervariasi dari berat normal hingga kurus tergantung
panjangnya waktu antara awitan gejala dan memulai terapi (Foster,2013).

12

Tabel 2.1 Ciri-ciri umum diabetes IDDM dan NIDDM


IDDM
NIDDM
Lokus genetik
Kromosom 6
Tidak diketahui
Umur awitan
<40
>40
Bentuk tubuh
Normal hingga kurus
Obesitas
Insulin plasma
Rendah hingga tidak ada
Normal hingga tinggi
Glukagon plasma
Tinggi, dapat ditekan
Tinggi, resisten
Penyulit akiu
Ketoasidosis
Koma hiperosmolar
Terapi insulin
Realitf
Responsif hingga
resisten
Terapi sulfoniluria
Tidak resnposinf
Respomsif
Sumber : Foster 2013

2.1.5.2 Diabetes Melitus tipe 2


Diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM). Kelainan ini
biasanya mulai pada pertengahan umur atau lebih. Pasien khas biasanya gemuk
gejala mulai lebih bertahap dibanding pada IDDM, dan diagnosis sering dibuat
jika individu tanpa gejala yang ditemukan mempunyai peningkatan glukosa
plasma pada pemeriksaan laboratorium rutin. Berlawanan dengan penyakit
diabetes tergantung insulin, kadar insulin plasma normal hingga tinggi dalam
istilah absolut, meskipun lebih rendah dari yang diperkirakan untuk kadar glukosa
plasma; jadi terdapat defisiensi insulin relatif. Dengan kata lain, jika

kadar

glukosa plasma pada nondiabetik meningkat hingga kadar serupa yang ditemukan
pada pasien diabetik, nilai insulin tinggi pada kelompok normal. Metabolisme
glukagon pada diabetes tidak tergantung insulin adalah komplek. Sementara
konsentrasi plasma puasa yang diturunkan oleh sejumlah besar insulin, respon
glukagon yang berlebihan akibat makanan yang masuk tidak dapat di tekan;
fungsi sel alfa tetap abnormal. Untuk alasan yang tidak diketahui; pasien NIDDM
tidak mengalami ketoasidosis. Pada keadaan dekompesata mereka rentang
terhadap sindroma hiperosmolar, nonketotik. Satu hipotesis yang menjelaskan
tidak adanya ketoasidosis selama stres adalah bhwa hati resisten terhadap

13

glukagon sehingga kadar malonin-CoA tetap tinggi, menghambat oksidasi asam


lemak-jalur ketogenik (Foster,2013).
2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer (PERKENI, 2011). Kriteria diagnosa DM dapat dilihat
pada tabel 2.2 dan 2.3 sebagai berikut:
Tabel 2.2 Kriteria diagnosa DM menurut American Diabetes Association (ADA)
2010.
Kriteria Diagnosis DM
1. HbA1C >6,5 %; atau
2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dL; atau
3. Kadar gula darah 2 jam pp >200 mg/dL pada tes toleransi glukosa oral yang dilakukan dengan
75 g glukosa standar WHO)
4. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia dengan kadar gula sewaktu
>200 mg/dL.
Sumber : American Diabetes Association (ADA), 2010

2.1.6.1. Diagnosis diabetes melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti di bawah ini:
1.

Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

14

2.

Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan inimemiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat
dilihat pada bagan 1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat
dilihat pada tabel 2. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal
atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam< 140 mg/dL.
Tabel.2.3 Kriteria Diagnosa DM
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

15

Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria
diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.
(Sumber, PERKENI, 2011)

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):


Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah bebanglukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahatdan tidak
merokok
2.1.7 Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM,
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut

16

sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua


keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular dikemudian hari (PERKENI, 2011).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah
pemeriksaan pada kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan 1.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang ma hal, yang pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa
darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada tabel 2.4 Skema
langkah-langkah pemeriksaan kelompok yang berisiko DM dapat dilihat pada
gambar 2.4
Tabel 2.4 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa
Plasma darah
darah sewaktu
Darah kapiler
mg/dl
Kadar glukosa
Plasma vena
darah puasa
Darah kapiler
mg/dl
Sumber : PERKENI 2011

Bukan DM
<100
<90

Belum pasti DM
100-199
90-199

Pasti DM
>200
>200

<100
<90

100-125
90-99

>126
>100

Gambar 2.5. Bagan langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa

17

(Sumber PERKENI, 2011)

2.1.8

Penatalaksanaan

2.1.8.1 Terapi Nutrisi Medis (TNM)


Terapi nutrisi medis merupakan bagian penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh anggota tim
(dokter, alhi gizi, petugas kesehatan yang lain serta diabetisi dan keluarganya).
Setiap diabetisi sebaiknya mendapatkan TNM sesuai dengan kebutuhan guna
mencapao sasaran terapi. Terapi ini pada dasarnya adalah melakukan pengaturan
pola makan yang didasarkan pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisiatau
komplikasi yang telah ada (Tjokroprawiro dan Murtiwi, 2014).

18

Terapi nutrisi medis dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya diabetes


bagi penderita yang mempunyai resiko diabetes, terapi pada penderita yang sudah
terdiagnosis diabetes (diabetisi) serta mencegah atau memperlambat laju
perkembangan komplikasi diabetes (Tjokroprawiro dan Murtiwi, 2014).
2.1.8.2 Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011)
2.1.8.3 Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilureadan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dantiazolidindion
C. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.
D. DPP-IV inhibitor

19

2.1.8.4 Insulin
Insullin masih merupakan obat utama untuk teraoi DM tipe 1 dan
beberapa jenis DM tipe 2, tetapi memang banyak pasien DM yang enggan
disuntik, kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena terapi edukasi pada pasien DM
sangatlah penting, agar pasien sadar akan perlunya terapi insulin meski diberikan
secara suntikan. Suntikan insulin dapat dilakukan berbagai cara, al. intravena,
intramuskular, dan umum nya pada penggunaan jangka panjang lebih disukai
pemberian subkutan. Cara pemberian insulin berbeda dengan keadaan sekresi
insulin secara fisiologik, al. setelah

asupan makanan kinetiknya tidak

menunjukan peningkatan dan penurunan sekresi insulin secara cepat; pada


pemberian subkutan insulin akan berdifusi ke sirkulasi perifer yang seharusnya
langsung masuk ke sirkulasi portal, karena efek langsung hrmon ini pada hepar
mnjadi kurang. Meski demikian kalau cara pemberian ini dilakukan dengan
cermat, tujuan terapi akan tercapai (Suherman dan Nafrialdi, 2012).
2.1.9 Komplikasi
2.1.9.1 Komplikasi akut
Selain hipoglikemia, pasien diabetes rentang terhadapt dua penyulit
metabolik akut utama: ketoasidosis diabetik dan koma hiperosmolar non ketotik.
Ketoasidosis

diabetik

merupakan

komplikasi

IDDM

sedangkan

koma

hiperosmolar non ketotik biasanya terjadi pada NIDDM (Foster, 2013).


2.1.9.2 Komplikasi kronik
A. Nefropati
Nefropati diabetik adalah penyebab utama gagal ginjal di Amerika Serikat.
Hal ini didefinisikan oleh proteinuria> 500 mg dalam 24 jam dalam pengaturan

20

diabetes, tapi ini didahului dengan derajat lebih rendah dari proteinuria, atau
"mikroalbuminuria." Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai albumin ekskresi
30-299 mg / 24 jam. Tanpa intervensi, pasien diabetes dengan mikroalbuminuria
biasanya maju ke proteinuria dan nefropati diabetik terbuka. Perkembangan ini
terjadi di kedua diabetes tipe 1 dan tipe 2 (ADA, 2015).
B. Retinopati
Hiperglikemia yang terjadi akan mengakibatkan pengikatan glukosa ke
gugus protein. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan
menyebabkan perubahan fungsi sel. Advanced glycation endproducts (AGEs)
akan berikatan dengan masing-masing reseptornya diemebran sel sehingga dapat
meningkatkan pengendapan kolagen di membran basalin pembuluh darah.
Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth
factor (TGF- ). Selain itu, serabut kolagen dapat diubah melalui glikosilasi.
Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membran basalis dengan penurunan
permeabilitas dan penyempitan lumen. Perubahan yang terjadi pada retina, juga
sebagai akibat mikroangiopati, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan
(retinopati) (Silbernagl dan Lang, 2012).
C. Neuropati
Neuropati diabetik dapat mempengaruhi setiap bagian sistem saraf, kecuali
otak. Meskipun jarang menyebabkan kematian langsung, neuropati diaabetik
merupakan penyebab kesakitan utama. Berbagai sindroma yang dapat dikenali
dan beberapa tipe neuropati yang berbeda dapat timbul pada pasien yang sama.
Gambaran yang paling lazim adalah polineuropati perifer. biasanya bilateral,
gejala meliputi mati rasa,kesemutan, hiperestesi, berat dan nyeri (Foster, 2013).

21

D. Ulkus Diabetik
Masalah kasus pada pasien diabetik adalah berkembangnya ulkus pada kaki
dan tungkai bawah. Ulkus terutama terjadi karena distribusi tekanan abnormal
sekunder karena neuropati diabetik. Masalah ini diperjelas jika terdapat distorsi
tulang

kaki.

Pembentukan

kalus

biasanya

merupakan

kelainan

awal.

Kemungkinan lain, ulkus diawali oleh pemakaian sepatu yang tidak pas yang
menybabkanpembentukan lepuh pada pasien dengan defisit sensori yang
menghalangi pasien mengenali nyeri (Foster, 2013).
E. Penyakit Jantung Koroner
Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit pembuluh darah
koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tingi
terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat
keluarga penyakit pembuluh darag koroner atau pun riwayat DM yang kuat
( Waspadji, 2014).
2.2 HbA1c
Hemoglobin terglikasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk
dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c
proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan HbA1c menunjukan
rata-rata konsentrasi glukosa dalam darah waktu 1-3 bulam sebelumnya.
Pemeriksaan ini sangat diperlukan dalam upaya menejemen DM yang optimal
untuk memperkecil resiko komplikasi diabetes (Fakhrualdeen, 2004).
Orang normal hanya sebagian kecil fraksi hemoglobin yang akan
mengalami glikosilasi yaitu 5%. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui
proses non-enzimatik dan bersifat irreversibel. Pada penyandang diabetes melitus,

22

glikosilasi hemoglobin meningkat secara proposional dengan kadar rata-rata


glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam
kisaran normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka hasil test
HbA1c akan menunjukan nilai normal (Soewondo, 2011).
HbA1c terbentuk pasca-translasi yang berlangsung lambat dan tidak
dipengaruhi oleh enzim sepanjang masa hidup eritrosit. Karena itu pada eritrosit
yang lebih tua kadarnya lebih tinggi daripada eritrosit yang lebih muda. Pada
hiperglikemia yang berkepanjangan. Kadar HbA1c dapat meningkat hingga 1820%. Glikosilasi tidak menganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen,
tetapi kadar HbA1c yang lebih tinggi mencerminkan kurangnya pengndalian
diabetes. Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar HbA1c kembali ke
normal dalam waktu sekitar 3 minggu. HbA1C terbentuk dari ikatan glukosa
dengan gugus amida pada asam amino valin di ujung rantai beta dari globulin Hb
dewasa normal yang terjadi pada 2 tahap (Kusniyah et al, 2011).
Tahap pertama terjadi ikatan kovalen aldimin berupa basa Schiff yang
bersifat stabil dan tahap kedua terjadi penyusunan kembali secara Amadori
menjadi bentuk ketamin yang stabil. Pada keadaan hiperglikemik akan
meningkatkan pembentukan basa Schiff antara gugus aldehid glukosa dengan
residu lisin, arginin, dan histidin. Selain itu, produk glikosilasi kolagen dan
protein lain yang berumur panjang dalam interstisium dan dinding pembuluh
darah mengalami serangkaian tata ulang untuk membentuk irreversible advanced
glycosylation end products (AGE), yang terus menumpuk di dinding pembuluh.
AGE ini memiliki sejumlah sifat kimiawi dan biologik yang berpotensi patogenik
dan diduga turut mendasari komplikasi diabetik (Kusniyah et al, 2011).

23

HbA1c memiliki korelasi dengan status DR seseorang. Penelitian


retrospektif terhadap 607 pasien yang dilakukan di Texas, USA menunjukkan
bahwa kadar HbA1c yang tinggi memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya
retinopati diabetik (Maa and Sullivan, 2009). Penelitian Khandekar (2011) di
Oman, menunjukkan bahwa HbA1c > 9% memiliki risiko terjadinya retinopati
diabetik dibandingkan dengan pasien DM dengan HbA1c < 9%. Nilai cut off point
HbA1c pada pasien retinopati diabetik adalah > 6,5% (WHO, 2011).
Hasil pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat
untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe
penyandang diabetes melitus. Nilai HbA1c juga merupakan prediktor terhadap
kemungkinan komplikasi diabetes. Kendala pemeriksaan HbA1c ini ialah relatif
mahal dan harus dilakukan di laboratorium. Dengan satu kali pemeriksaan kita
dapat mengukur rata-rata status glikemik dalam 5-12 minggu terakhir. Kadar
HbA1c dapat mencerminkan glukosa darah rata-rata (estimated average glucose)
seperti tabel 2.5 dibawah ini:
Tabel 2.5 Kadar Glukosa Rata-Rata
Kadar Glukosa Rata-Rata
A1C%
5
6
7
8
9
10
11
12
Sumber : Pradana

mg/dl
97
126
154
183
212
240
269
298

Pemeriksaan HbA1c dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali dalam setahun


pada pasien yang telah mencapai target tetap (kendali glukosa stabil). Pada pasien
yang terapinya diubah atau belum mencapai target kendali glukosa. Pemeriksaan
HbA1c sebaiknya dilakukan 4 kali dalam setahun. Kerna HbA1c nerefleksikan

24

kadar glikemik untuk beberapa hari bulan, dan memiliki prediktor yang kuat
terhadap komplikasi diabetes, pemeriksaan HbA1c ini harus dilakukan secara
rutin pada seluruh pasien diabetes saat kunjungan awal maupun sebagai bagian
dari pengobatan selanjutnya.
2.3 Retinopati Diabetik
2.3.1 Anatomi dan Fisiologi Retina
Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina
merupakan lapisan terdalam dari bola mata. Lapisan mata dari luar ke dalam
berturut-turut adalah sklera (warna putih), lapisan koroid, dan yang paling dalam
retina. Retina merupakan 2/3 bagian dari dinding dalam bola mata, lapisannya
transparan, dan tebalnya kira-kira 1 mm. Retina merupakan membran tipis,
bening, berbentuk seperti jaring (karenanya disebut juga sebagai selaput jala), dan
metabolisme oksigen-nya sangat tinggi. Retina sebenarnya merupakan bagian dari
otak karena secara embriologis berasal ari penonjolan otak. Dengan demikian
nervus optikus sebenarnya merupakan suatu traktus dan bukan nervus yang
sebenarnya (Hartono et al, 2007). Seperti yang disebutkan pada gambar 2.5
sebagai berikut:

Gambar 2.5 Retina (Bhavsar)

25

2.3.2 Vaskularisasi Retina

Lapisan serebral retina mendapat darah dari a. retina sentral, yang


merupakan cabang a.oftalmika. Arteri retina sentral menembus saraf optik dan
bercabang-cabang pada papil N II menjadi 4 cabang utama, yaitu retina
temporal superior dan inferior; sertaretina nasal superior dan inferior.Arteri
retina temporal superior dan inferior mempunyai cabang ke makula.
Sebenarnya arteria yang disebutkan tadi merupakan arteriola.Epitel pigmen
dan lapisan fotoreseptor mendapat darah dari koriokapiler. Dengan demikian
bila a. retina sentral tersumbat, maka lapisan serebral tidak akan mendapat
darah sehingga terjadi kebutaan walaupun sel fotoreseptor masih mendapat
pasokan darah dari koriokapiler. Demikian pula sebaliknya bila terjadi ablasi
retina juga akan terjadi kebutaan karena sel fotoreseptor tidak mendapat darah
koriokapiler walaupun lapisan serebral masih mendapat pasokan darah dari
a.retina sentral yang utuh (Hartono et al, 2007)
2.3.3 Definisi
Retinopati adalah suatu degenerasi atau kelainan retina karena
penutupan/sumbatan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan gangguan
nutrisi pada retina. Penyebabnya antara lain: hipertensi, arteriosklerosis, DM,
dan leukemia. Retinopati diabetika dapat muncul tanpa gejala, serta
selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penglihatan sampai kebutaan, yang
biasanya terjadi setelah menderita DM selama 5 15 tahun (40 50%)
(Nurini et al, 2007).

26

2.3.4 Epidemologi
Penelitian epidemiologi di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan
bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun
2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam
mengalami kebutaan. The DiabCareAsia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita
DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan
bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di
antaranya merupakan retinopati DM proliferatif (Sitompul, 2011)
2.3.5 Patofisiologi Retinopati DM
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM
dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama, glikasi nonenzimatik terhadap protein
dan asam deosiribonukleat (DNA) yang terjadi selama hiperglikemi dapat
menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi
membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel.
Pembentukan advanced glycation endproducts (AGEs) pada diabetes akan
mempengaruhi aliran darah di retina, permeabilitas dan parameter mikrovaskular
yang lain (Pandelaki, 2014).
Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan
glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol.
Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel
pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel (Sitompul, 2011).
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein
kinase C (PKC). Vascular endothelialgrowth factor (VEGF) dan faktor
pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular

27

adhesionmolecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit


dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah
retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut
menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia
menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang
pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan padamembran
basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah
perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam
retina dan vitreous (Sitompul, 2011).
2.3.6 Faktor Risiko Retinopati Diabetik
Faktor yang berpengaruh dalam kejadian retinopati diabetik adalah faktor
internal dan eksternal. Faktor internal yaitu umur dan jenis kelamin. Faktor
eksternal yaitu lama menderita DM, kadar gula darah, dislipidemia, obesitas.
Pasien DM akan mengalami retinopati diabetik dalam jangka waktu yang
berbeda-beda. Lamanya pasien menderita DM berhubungan erat dengan
peningkatan prevalensi retinopati diabetik. Dua puluh lima hingga lima puluh
persen pasien insulin dependent diabetes melitus (IDDM) / DM tipe I akan
mengalami retinopati diabetik dalam jangka waktu 10-15 tahun, meningkat
menjadi 75-95% setelah 15 tahun dan mencapai 100% setelah 30 tahun. Enam
puluh persen pasien non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) / DM tipe
II akan mengalami menunjukkan tanda-tanda NPDR setelah 16 tahun (Dutta,
2010; Willard and Herman, 2012).
Kadar gula darah memegang peranan penting dalam timbulnya retinopati
diabetik. Gula darah yang tidak terkontrol akan menyebabkan seseorang lebih

28

cepat mengalami retinopati diabetik (American Academy of Ophthalmology and


Staff, 2011-2012b). The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan
United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan bahwa kadar
gula darah yang terkontrol akan menurunkan risiko terjadinya retinopati diabetik.
The Diabetes Control and Complication Trial juga menunjukkan bahwa
pengendalian gula darah secara intensif akan mengurangi progresifitas retinopati
diabetik ke arah NPDR berat dan PDR. The Diabetes Control and Complication
Trial pada tahun 2009 melakukan penelitian yang melibatkan 1441 pasien,
melaporkan bahwa pasien yang menjalani pengontrolan intensif akan menurunkan
risiko terjadinya retinopati diabetik, nefropati dan neuropati DM (American
Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Dutta, 2010).
Dislipidemia juga merupakan faktor risiko yang lain dari retinopati diabetik,
tetapi peranan spesifiknya pada retinopati diabetik belum jelas. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa ekspresi vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) basal
meningkat pada pembuluh darah retina tikus dengan hiperlipidemia, menunjukkan
bahwa hiperlipidemia merupakan penyebab inflamasi pada pembuluh darah retina
(Halliwell et al., 2009; Doft et al., 2010).
Obesitas juga dikatakan merupakan faktor risiko yang memperberat
retinopati diabetik. Obesitas ditentukan dari nilai indeks massa tubuh (IMT)
seseorang. Penelitian di India menemukan bahwa peningkatan indeks massa tubuh
secara signifikan berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan dan
peningkatan keparahan retinopati diabetik pada pasien DM. Mekanisme
patofisiologi yang mendasari hubungan antara peningkatan IMT dengan retinopati

29

diabetik belum jelas, namun terdapat beberapa teori diantaranya melibatkan fungsi
platelet, viskositas darah, dan aktivitas aldosa reduktase (Dirani et al., 2011).
2.3.7 Gejala Klinis
Retinopati merupakan gejala diabetes melitus utama pada mata, dimana
ditemukan pada retina:
1. Mikroaneurismata, merupakan penonjolan dinding kapiler, terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecilyang terletak dekat pembuluh
darah terutama polus posterior. Mikroaneurisma merupakan kelainan
diabetes melitus dini pada mata.
2. Pendarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurismata di polus superior. Bentuk pendarahan ini
merupakan prognosis penyakit dimana pendarahan yang luas memberikan
prognosis lebih buruk dibanding kecil. Pendarahan terjadi akibat akibat
gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma, atau karena pecahnya
kapiler.
3. Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumennya ireguler dan berkelokkelok, bentuk ini seakan-akan dapat memberikan pendarahan tapi hal ini
tidaklah demikian. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasidan kadangkadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.
4. Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya
khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat pungtata
membesar dan bergabung. Eksduat ini dapat muncul dan hilang dalam
beberapa minggu.
5. Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia
retina. Pada pemeriksaan oftamoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning
bersifat difus dam berwarna putih.

30

6. Pembuluh darah baru pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan.


Neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endotel pembuluh darah.
Tampak sebagai pembuluh darah yang berkelok-kelok, dalam kelompokkelompok, dan bentuknya iregular. Hal ini merupakan awal berat pada
retinopati diabetes. Mula-mula terletak di dalam jaringan retina, kemudian
berkembang didaerah pariental, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi
pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan pendarahn retina.
7. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan pasien (Sidarta,
2015 )
2.3.8 Diagnosa dan Klasifikasi Retinopati Diabteik
2.3.8.1 Diagnosa retinopati
Diagnosa retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi yang dapat dilihat pada gambar 2.6 dan 2.8. Pemeriksaan dengan
fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosa yang paling
dipercaya. Namun dalam klinik pemeriksaan oftamoskopi direk seperti pada
gambar 2.7 masih dapat digunakan untuk skrinimg. Ada banyak klasifikasi
retiopati diabetik yang dibuat oleh para ahli. Pada umumnya klarifikasi didasarkan
atas beratnya perubahan mikrovaskular retina dan ada atau tidakadanya
pembentukan pembuluh darah baru diretina. Early Treatment Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS) membagi retinopati diabetik atas nonproliferatif dan
proliferatif (Pandelaki, 2014). Seperti yang dijelaskan pada tabel 2.6 sebagai
berikut:

31

Gambar 2.6 Funduskopi adanya edema makula yang


menunjukkan eksudat dalam fovea (Bhavsar, 2015)

OFTALMOSKOPI DIREK

Gambar 2.7 Pemeriksaan oftalmoskop direk (Nurini et al, 2007).

Tabel 2.6 Klasifikasi Retinopati Diabetik


Klasifikasi Retinopati Diabetik Menurut ETDRS
Retinopati diabetik non proliferatif
1.Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat >1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,

32

pendarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.


2. Retinopati nonproliferatif riangan sampai sedang: terdapat >1 tanda berupa dilatasi vena derajat
ringan, pendarahan , eksudat keras, eksudat lunak atau internal microvaskular abnormalitas
(IRMA).
3. Retinopati nonproliferatif berat: terdapat >1 tanda berupa pendarahan dan mikroaneurisma pada
kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA pada 1 kuadran.
4. Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan > 2 tanda pada retinopati non-proliferatif.
Retinopati diabetik proliferatif
1.Retinopati proliferatif ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya neovaskular
pada diskus (NVD) yang mencakup < dari daerah diskus tanpa disertai pendarahan preretina
atau vitreus; atau neovaskular di mana saja di retina (NVE) tanpa disertai pendarahan preretina
atau vitreus.
2. Retinopati proliferatif resiko tinggi: apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko sebagai
berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru di mana saja diretina, b) ditemukan pembuluh darah
baru atau dekt diskus optikus, c) pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang
mencakup > daerah diskus, d) pendarahan vitreus
3. Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah
baru yang disertai pendarahan, merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada
retinopati proliferatif resiko tinggi
ETDRS= Early Treatment Diabetic Retinopathy Study ; NVD= new vessels on disc ; NVE= new
vessels elsewhee

Gambar 2.8 Pembentukan pembuluh darah baru pada permukaan retina (Bhavsar, 2015)

2.3.8.2 Retinopati diabetika non-proliferatif


Retinopati

diabetika

non-proliferatif

(karena

hiperpermebilitas

pembuluh darah memiliki tanda-tanda yaitu mikroaneurisma (berupa tonjolan


dinding kapiler terutama daerah kapiler vena), eksudat keras dan lunak,
perdarahan retina, serta dengan/tanpa edema makula (Nurini et al, 2007). Seperti
yang dijelaskan pada gambar 2.9 sebagai berikut:

33

Gambar 2.9. Retinopati diabetik non proliferative ringan (Nurini et al, 2007).

2.3.8.3 Retinopati diabetika proliferatif


Retinopati diabetika proliferatif, yang terjadi akibat adanya proliferasi
endotel sehingga timbul neovaskularisasi. Pembuluh-pembuluh darah baru yang
terdapat pada gambar 2.10 terbentuk sebagai pembuluh darah yang berkelokkelok. Mula-mula terdapat pada retina, menjalar ke depan retina, kemudian dapat
masuk ke badan kaca. Bila pecah dapat menimbulkan perdarahaan vitreus,
perdarahan retina, dan memicu timbulnya jaringan parut di retina. Fibrosis ini
selanjutnya dapat menarik lepas retina dari tempat melekatnya. Neovaskularisasi
juga timbul pada permukaan iris, yang disebut rubeosis iridis. Hal ini dapat
menimbulkan glaukoma karena tertutupnya sudut bilik mata oleh pembuluh darah
baru dan juga akibat perdarahan akibat pecahnya rubeosis iridis (Nurini et al,
2007).

34

Gambar 2.10 Retinopati diabetik proliferatif beresiko tinggi (Nurini et al, 2007)

2.3.9 Penanganan Retinopati DM


Walaupun dikatakan bahwa sampai saat ini diabetes belum dpat dicegah,
tetapi kebutaan karena komplikasi diabetes dapat dikurangi secara bermakna.
Timbulnya retinopati DM serta progresivitas retinopati dapat diperlambat apabila
kadar gula darah, tekanan darah, serta kadar kolesterol darah

dikendalikan

sehingga mendekati angka normal. Deteksi dini terjadinya retinopati sangat


penting untuk mencegah kebutaan. DM tipe 1 perlu dilakukan pemeriksaan retina
5 tahun setelah awitan. Sedangkan untuk DM tipe 2 perlu pemeriksaan retina
setahun sekali, mulai sejak diagnosis DM ditegakkan(Nurini et al, 2007).
Penanganan retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan
penyakit. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi
setahun sekali. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang
tanpa edema makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12
bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula
signifikan

merupakan

indikasi

laser

photocoagulation

untuk

mencegah

perburukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi


setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan
untuk menjalani panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan

35

berisiko tinggi untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita


harus

dievaluasi

setiap

3-4

bulan

pascatindakan.

Panretinal

laser

photocoagulation harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM


proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula
signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi
terapi pilihan (Sitompul, 2011). Seperti pada gambar 2.11 dibawah ini:

Gambar 2.11 Fotokoagulasi laser (Nurini et al,2007).

2.3.9.1 Vitrektomi
Vitrektomi adalah tindakan untuk mengeluarkan vitreus yang berdarah
atau terdapat jaringan parut, dan untuk menempelkan kembali retina yang lepas
karena tarikan.Ini merupakan pembedahan untuk keadaan perdarahan yang terjadi
di vitreus, ablasi retina tarikan/kombinasi dengan ablasi rhegmatogen,
neovaskularisasi tidak hilang dengan fotokoagulasi laser, maupun edema retina
tidak membaik dengan laser (Nurini et al, 2007).
2.3.9.2 Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pasien RNDP dengan hanya ditandai mikroaneurismayang jarang,
memiliki prognosis yang baik sehingga cukup dilakukan peme4riksaan ulang
setiap 1 tahun. Pasein yang tergolong RNDP sedang atau tanpa disertai edema
makulas edang atau tanpa disertai edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan

36

ulang setiap 6-12 bulan oleh karena sering bersifat progresif. Pasien RNDP
derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema makula yang secara klinik
tidak signifikan, perlu diperiksa kembali dalam wakt 4-6 bulan oleh karena
memiliki resiko besar untuk berkembang menjadi edema makula yang secara
klinik signifikan (CMSE). Untuk pasien RNDP dengan CMSE harus dilakukan
terapi fotokoagulasi. Separuh dari pasien yang RNDP berap akan berkembang
menjadi RDP dalam 1 tahun di mana 15% diantaranya tergolong RDP dengan
resiko tinggi. Pasien yang RNDP sangat berat, resiko menjadi RDP dalam 1 tahun
adalah 755 dimana

45%

diantaranya

tergolong

RDP resiko tinggi

( Pandelaki, 2014).
2.4 Keterkaitan Antara Kadar HbA1c dengan Kejadian Retinopati Diabetik
Salah satu faktor yang terpenting dalam koplikasi vaskular diabetes adalah
hiperglikemia. Sangat beralasan bahwa hiperglikemia sebagai perantara efek
merugikan untuk terjadinya komplikasi vaskuler dengan banyak mekanisme,
karena glukosa dan metabolitnya digunakan dalam sejumlah jalur metabolisme.
Hal ini bisa menyebabkan komplikasi mikro ataupun makrovaskular. Salah satu
komplikasi mikrovaskular adalah retinopati diabetik (Waspadji, 2014).
Hiperglikemia kronik pada pasien diabetes akan memberikan perubahan
histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan
membran basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan
lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit mencapai 10:1. Patofisiologi
retinopati diabetik melibatkan lima proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler
yaitu: 1) pembentukan mikroaneurisme, 2) peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, 3) penyumbatan pembuluh darah, 4) proliferasi pembuluh darah baru

37

(neovascular) dan jaringan fibrosa retina, 5) kontraksi dari jaringan fibrosis


kapiler dan jaringan vitreus. Penyumbatan dan hilangnya perfusi (neoperfusion)
menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua
komponen darah. Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme berikut: 1) edema makula atau nonperfusi kapiler, 2)
pembentukan pembuluh darah baru pada retinopati diabetik proliferatif dan
kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan ablasio retina (retinal detachment), 3)
pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan pendarahan preretina dan
viterus, 4) pembentukan pembuluh darah baru menimbulkan glaukoma
(Pandelaki, 2014).
Penelitian telah dilakukan oleh Sabanayagam et al. (2015) yang melibatkan
lebih dari 13 000 pasien diabetes dari kelompok Asia multietnis dari Cina,
Melayu, dan India bahwa HbA1c sangat berpengaruh terhadap kajadian retinipati
diabetik. Ketika terjadi peningkatan kadar HbA1c terhadap pasien diabetes maka
akan berpengaruh juga terhadap timbulnya komplikasi mikrovaskular yang
diakibatkan oleh hiperglikemia pada pasien diabetes. Selain itu. Cheng et al.
(2007)juga menyimpulkan penelitiannya bahwa prevalensi retinopati diabetik
mulai meningkat ketika HbA1c melebihi kadar 5,5%

Вам также может понравиться