Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
insulin,
atau
kedua-duanya.
Hiperglikemia
kronik
pada
diabetes
Diabetes
Melitus
menurut
ADA
(American
Diabetes
Association) tahun 2009 dibagi menjadi 4 tipe yaitu Diabetes Melitus tipe1,
Diabetes Melitus tipe2, Diabetes Melitus tipe lain, Diabetes Kehamilan
(Purnamasari, 2014).
2.1.2.1 Diabetes Mellitus tipe1
Diabetes Mellitus tipe 1 (diabetes melitus yang tergantung insul
[IDDM], sebelumnya disebut diabetes juvenelis, terdapat defisiensi insulin yang
absolut sehingga pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini
disebabkan oleh lesi pada sel beta pankreas karena meknisme autoimun, yang
5
pada keadaan tertentu dipicu oleh oleh infeksi virus (Silbernagl dan Lang, 2012).
Keadaan ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dan lebih sering pada
populasi Eropa Utara daripada kelompok etnis lainnya. Gejala klinis pda DM tipe
1 ini mulai timbul setelah kerusakan sel bea mecapai sekitar 70-90% (Greenstein
dan Wood, 2010).
2.1.2.2 Diabetes Melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 (diabetes melitus yang tidak tergantung pada
insulin [NIDDM], sebelumnya disebut diabetes dengan onset dewasa) hingga saat
ini merupakan diabetes yang paling sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik
juga berperan penting. Namun, pada diabetes tipe ini hanya terjadi penurunan
resistensi insulin relatif; jadi pasien tidak mutlak tergantung pada suplai insulin
dari luar. Pelepasan insulin dapat normal bahkan meningkat, tetapi organ target
memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Stefan dan Florian, 2012).
Seiring dengan progesifitas penyakit maka produksi insulin ini berangsur
menurun menimbulkan klinis hiperglikemia yang nyata. Hiperglikemia yang
terjadi memperberat gangguan sekresi insulin yang sudah adadan disebut
fenomena glukositosis (Soegondo, 2014).
2.1.2.3 Diabetes Melitus tipe lain
DM tipe lain dapat terjadi akibat berbagai penyebab diantaranya: Defek
genetik fungsi sel beta; Defek genetim kerja insulin (resistensi insulin tipe A, I
eprechaunism, diabetes lpoatrofik, dll.); Penyakit Eksokrin Pankreas (pankreatitis,
trauma/pankreatotomi,
neoplasma,
fibrosis
kisitik
hemokromatosis,
dll,);
2.1.4. Patofisiologi
10
insulin tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasisebagai gen yang
meningkatkan terjadinya obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Di antara beberapa
faktor, kelainan genetik pada protein yang memisahkan rangkaian di
mitokondriamembatasi penggunaan substrat. Jika terdapat desposisi genetik yang
kuat, diabetes tiep II dapa terjadi pada usia muda (onset maturitas diabetes pada
usia muda [MODY]) (Silbernagl dan Lang, 2012).
yang menyebabkan
koma diabetik.
11
ketoasidosis pertama pada umur 50 tahun atau bahkan lebih lanjut pada keadaan
yang jarang. Pasien ini dengan kasus ini biasanya tidak obes. Awitan gejala dapat
terjadi secara mendadak berupa haus, sering kencing, peningkatan nafsu makan
dan penurunan berat badan selama beberapa hari. Seperti yang digambarkan di
dalam tabel 2.1, pasien tipe 1 bervariasi dari berat normal hingga kurus tergantung
panjangnya waktu antara awitan gejala dan memulai terapi (Foster,2013).
12
kadar
glukosa plasma pada nondiabetik meningkat hingga kadar serupa yang ditemukan
pada pasien diabetik, nilai insulin tinggi pada kelompok normal. Metabolisme
glukagon pada diabetes tidak tergantung insulin adalah komplek. Sementara
konsentrasi plasma puasa yang diturunkan oleh sejumlah besar insulin, respon
glukagon yang berlebihan akibat makanan yang masuk tidak dapat di tekan;
fungsi sel alfa tetap abnormal. Untuk alasan yang tidak diketahui; pasien NIDDM
tidak mengalami ketoasidosis. Pada keadaan dekompesata mereka rentang
terhadap sindroma hiperosmolar, nonketotik. Satu hipotesis yang menjelaskan
tidak adanya ketoasidosis selama stres adalah bhwa hati resisten terhadap
13
14
2.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
15
Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria
diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.
(Sumber, PERKENI, 2011)
16
Bukan DM
<100
<90
Belum pasti DM
100-199
90-199
Pasti DM
>200
>200
<100
<90
100-125
90-99
>126
>100
17
2.1.8
Penatalaksanaan
18
19
2.1.8.4 Insulin
Insullin masih merupakan obat utama untuk teraoi DM tipe 1 dan
beberapa jenis DM tipe 2, tetapi memang banyak pasien DM yang enggan
disuntik, kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena terapi edukasi pada pasien DM
sangatlah penting, agar pasien sadar akan perlunya terapi insulin meski diberikan
secara suntikan. Suntikan insulin dapat dilakukan berbagai cara, al. intravena,
intramuskular, dan umum nya pada penggunaan jangka panjang lebih disukai
pemberian subkutan. Cara pemberian insulin berbeda dengan keadaan sekresi
insulin secara fisiologik, al. setelah
diabetik
merupakan
komplikasi
IDDM
sedangkan
koma
20
diabetes, tapi ini didahului dengan derajat lebih rendah dari proteinuria, atau
"mikroalbuminuria." Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai albumin ekskresi
30-299 mg / 24 jam. Tanpa intervensi, pasien diabetes dengan mikroalbuminuria
biasanya maju ke proteinuria dan nefropati diabetik terbuka. Perkembangan ini
terjadi di kedua diabetes tipe 1 dan tipe 2 (ADA, 2015).
B. Retinopati
Hiperglikemia yang terjadi akan mengakibatkan pengikatan glukosa ke
gugus protein. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan
menyebabkan perubahan fungsi sel. Advanced glycation endproducts (AGEs)
akan berikatan dengan masing-masing reseptornya diemebran sel sehingga dapat
meningkatkan pengendapan kolagen di membran basalin pembuluh darah.
Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth
factor (TGF- ). Selain itu, serabut kolagen dapat diubah melalui glikosilasi.
Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membran basalis dengan penurunan
permeabilitas dan penyempitan lumen. Perubahan yang terjadi pada retina, juga
sebagai akibat mikroangiopati, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan
(retinopati) (Silbernagl dan Lang, 2012).
C. Neuropati
Neuropati diabetik dapat mempengaruhi setiap bagian sistem saraf, kecuali
otak. Meskipun jarang menyebabkan kematian langsung, neuropati diaabetik
merupakan penyebab kesakitan utama. Berbagai sindroma yang dapat dikenali
dan beberapa tipe neuropati yang berbeda dapat timbul pada pasien yang sama.
Gambaran yang paling lazim adalah polineuropati perifer. biasanya bilateral,
gejala meliputi mati rasa,kesemutan, hiperestesi, berat dan nyeri (Foster, 2013).
21
D. Ulkus Diabetik
Masalah kasus pada pasien diabetik adalah berkembangnya ulkus pada kaki
dan tungkai bawah. Ulkus terutama terjadi karena distribusi tekanan abnormal
sekunder karena neuropati diabetik. Masalah ini diperjelas jika terdapat distorsi
tulang
kaki.
Pembentukan
kalus
biasanya
merupakan
kelainan
awal.
Kemungkinan lain, ulkus diawali oleh pemakaian sepatu yang tidak pas yang
menybabkanpembentukan lepuh pada pasien dengan defisit sensori yang
menghalangi pasien mengenali nyeri (Foster, 2013).
E. Penyakit Jantung Koroner
Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit pembuluh darah
koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tingi
terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat
keluarga penyakit pembuluh darag koroner atau pun riwayat DM yang kuat
( Waspadji, 2014).
2.2 HbA1c
Hemoglobin terglikasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk
dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c
proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan HbA1c menunjukan
rata-rata konsentrasi glukosa dalam darah waktu 1-3 bulam sebelumnya.
Pemeriksaan ini sangat diperlukan dalam upaya menejemen DM yang optimal
untuk memperkecil resiko komplikasi diabetes (Fakhrualdeen, 2004).
Orang normal hanya sebagian kecil fraksi hemoglobin yang akan
mengalami glikosilasi yaitu 5%. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui
proses non-enzimatik dan bersifat irreversibel. Pada penyandang diabetes melitus,
22
23
mg/dl
97
126
154
183
212
240
269
298
24
kadar glikemik untuk beberapa hari bulan, dan memiliki prediktor yang kuat
terhadap komplikasi diabetes, pemeriksaan HbA1c ini harus dilakukan secara
rutin pada seluruh pasien diabetes saat kunjungan awal maupun sebagai bagian
dari pengobatan selanjutnya.
2.3 Retinopati Diabetik
2.3.1 Anatomi dan Fisiologi Retina
Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina
merupakan lapisan terdalam dari bola mata. Lapisan mata dari luar ke dalam
berturut-turut adalah sklera (warna putih), lapisan koroid, dan yang paling dalam
retina. Retina merupakan 2/3 bagian dari dinding dalam bola mata, lapisannya
transparan, dan tebalnya kira-kira 1 mm. Retina merupakan membran tipis,
bening, berbentuk seperti jaring (karenanya disebut juga sebagai selaput jala), dan
metabolisme oksigen-nya sangat tinggi. Retina sebenarnya merupakan bagian dari
otak karena secara embriologis berasal ari penonjolan otak. Dengan demikian
nervus optikus sebenarnya merupakan suatu traktus dan bukan nervus yang
sebenarnya (Hartono et al, 2007). Seperti yang disebutkan pada gambar 2.5
sebagai berikut:
25
26
2.3.4 Epidemologi
Penelitian epidemiologi di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan
bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun
2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam
mengalami kebutaan. The DiabCareAsia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita
DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan
bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di
antaranya merupakan retinopati DM proliferatif (Sitompul, 2011)
2.3.5 Patofisiologi Retinopati DM
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM
dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama, glikasi nonenzimatik terhadap protein
dan asam deosiribonukleat (DNA) yang terjadi selama hiperglikemi dapat
menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi
membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel.
Pembentukan advanced glycation endproducts (AGEs) pada diabetes akan
mempengaruhi aliran darah di retina, permeabilitas dan parameter mikrovaskular
yang lain (Pandelaki, 2014).
Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan
glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol.
Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel
pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel (Sitompul, 2011).
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein
kinase C (PKC). Vascular endothelialgrowth factor (VEGF) dan faktor
pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular
27
28
29
diabetik belum jelas, namun terdapat beberapa teori diantaranya melibatkan fungsi
platelet, viskositas darah, dan aktivitas aldosa reduktase (Dirani et al., 2011).
2.3.7 Gejala Klinis
Retinopati merupakan gejala diabetes melitus utama pada mata, dimana
ditemukan pada retina:
1. Mikroaneurismata, merupakan penonjolan dinding kapiler, terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecilyang terletak dekat pembuluh
darah terutama polus posterior. Mikroaneurisma merupakan kelainan
diabetes melitus dini pada mata.
2. Pendarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurismata di polus superior. Bentuk pendarahan ini
merupakan prognosis penyakit dimana pendarahan yang luas memberikan
prognosis lebih buruk dibanding kecil. Pendarahan terjadi akibat akibat
gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma, atau karena pecahnya
kapiler.
3. Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumennya ireguler dan berkelokkelok, bentuk ini seakan-akan dapat memberikan pendarahan tapi hal ini
tidaklah demikian. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasidan kadangkadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.
4. Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya
khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat pungtata
membesar dan bergabung. Eksduat ini dapat muncul dan hilang dalam
beberapa minggu.
5. Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia
retina. Pada pemeriksaan oftamoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning
bersifat difus dam berwarna putih.
30
31
OFTALMOSKOPI DIREK
32
Gambar 2.8 Pembentukan pembuluh darah baru pada permukaan retina (Bhavsar, 2015)
diabetika
non-proliferatif
(karena
hiperpermebilitas
33
Gambar 2.9. Retinopati diabetik non proliferative ringan (Nurini et al, 2007).
34
Gambar 2.10 Retinopati diabetik proliferatif beresiko tinggi (Nurini et al, 2007)
dikendalikan
merupakan
indikasi
laser
photocoagulation
untuk
mencegah
35
dievaluasi
setiap
3-4
bulan
pascatindakan.
Panretinal
laser
2.3.9.1 Vitrektomi
Vitrektomi adalah tindakan untuk mengeluarkan vitreus yang berdarah
atau terdapat jaringan parut, dan untuk menempelkan kembali retina yang lepas
karena tarikan.Ini merupakan pembedahan untuk keadaan perdarahan yang terjadi
di vitreus, ablasi retina tarikan/kombinasi dengan ablasi rhegmatogen,
neovaskularisasi tidak hilang dengan fotokoagulasi laser, maupun edema retina
tidak membaik dengan laser (Nurini et al, 2007).
2.3.9.2 Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pasien RNDP dengan hanya ditandai mikroaneurismayang jarang,
memiliki prognosis yang baik sehingga cukup dilakukan peme4riksaan ulang
setiap 1 tahun. Pasein yang tergolong RNDP sedang atau tanpa disertai edema
makulas edang atau tanpa disertai edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan
36
ulang setiap 6-12 bulan oleh karena sering bersifat progresif. Pasien RNDP
derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema makula yang secara klinik
tidak signifikan, perlu diperiksa kembali dalam wakt 4-6 bulan oleh karena
memiliki resiko besar untuk berkembang menjadi edema makula yang secara
klinik signifikan (CMSE). Untuk pasien RNDP dengan CMSE harus dilakukan
terapi fotokoagulasi. Separuh dari pasien yang RNDP berap akan berkembang
menjadi RDP dalam 1 tahun di mana 15% diantaranya tergolong RDP dengan
resiko tinggi. Pasien yang RNDP sangat berat, resiko menjadi RDP dalam 1 tahun
adalah 755 dimana
45%
diantaranya
tergolong
( Pandelaki, 2014).
2.4 Keterkaitan Antara Kadar HbA1c dengan Kejadian Retinopati Diabetik
Salah satu faktor yang terpenting dalam koplikasi vaskular diabetes adalah
hiperglikemia. Sangat beralasan bahwa hiperglikemia sebagai perantara efek
merugikan untuk terjadinya komplikasi vaskuler dengan banyak mekanisme,
karena glukosa dan metabolitnya digunakan dalam sejumlah jalur metabolisme.
Hal ini bisa menyebabkan komplikasi mikro ataupun makrovaskular. Salah satu
komplikasi mikrovaskular adalah retinopati diabetik (Waspadji, 2014).
Hiperglikemia kronik pada pasien diabetes akan memberikan perubahan
histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan
membran basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan
lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit mencapai 10:1. Patofisiologi
retinopati diabetik melibatkan lima proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler
yaitu: 1) pembentukan mikroaneurisme, 2) peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, 3) penyumbatan pembuluh darah, 4) proliferasi pembuluh darah baru
37