Вы находитесь на странице: 1из 23

1

BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.

Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu penyakit

yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
menetap yang biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan
respon inflamasi kronis di saluran napas dan paru terhadap partikel atau
gas berbahaya. Terjadinya eksaserbasi dan adanya komorbiditas memiliki
pengaruh terhadap tingkat keparahan setiap pasien.1
Menurut data WHO, sekitar 64 juta warga dunia mengalami PPOK dan
3 juta meninggal akibat PPOK, yaitu sama dengan 5% kematian di seluruh dunia
pada tahun 2004. Hampir 90% kematian akibat PPOK terjadi di negara
yang berpendapatan rendah dan menengah. WHO juga memprediksi bahwa PPOK
akan menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di seluruh dunia pada
tahun 2030.2
Prevalensi PPOK di Indonesia juga masih tinggi. Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi PPOK pada penduduk
berusia > 30 tahun di Indonesia adalah 3,7%. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat
di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%),

Sulawesi

Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7%. Sementara itu, di Provinsi


Sumatera Utara, prevalensi PPOK adalah 3,6%, sama dengan Bangka Belitung
dan Jawa Timur.3
PPOK merupakan penyebab kematian tertinggi keempat dan penyebab
pengeluaran yang sangat tinggi di bidang medis. Biaya secara global
yang dikeluarkan untuk PPOK ini mencapai US$2,1 triliun dan diperkirakan akan
terus meningkat menjadi US$4,8 triliun pada tahun 2030. Tingginya pembiayaan
ini terjadi karena PPOK merupakan penyakit yang kompleks dan sering disertai
dengan komorbiditas yang serius.4

1.2.

Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu penyakit yang

dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
menetap yang biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon
inflamasi kronis di saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas berbahaya.
Keterbatasan aliran udara kronis yang terjadi pada PPOK disebabkan oleh
gabungan dari penyakit saluran napas yang kecil (bronkiolitis obstruktif) dan
kerusakan parenkim paru (emfisema). Terjadinya eksaserbasi dan adanya
komorbiditas berpengaruh terhadap tingkat keparahan setiap pasien.1
Obstruksi kronis aliran udara paru yang terjadi pada PPOK mengganggu
pernapasan normal dan tidak sepenuhnya reversibel sehingga PPOK disebut
sebagai penyakit paru yang mengancam jiwa. Istilah bronkitis kronik dan
emfisema tidak lagi termasuk dalam definisi, tetapi termasuk dalam diagnosis
PPOK.5
1.3.

Faktor Risiko
Menurut hasil beberapa penelitian, meskipun merokok merupakan faktor

risiko terpenting terhadap kejadian PPOK, itu tidaklah satu-satunya faktor risiko,
sebab dalam beberapa studi dibuktikan bahwa orang bukan perokok juga
mengalami keterbatasan aliran udara kronis.1
PPOK terjadi akibat interaksi dari beberapa faktor risiko, yaitu interaksi
faktor genetik dan lingkungan. Pada orang yang sama-sama memiliki riwayat
merokok, sebagian mengalami PPOK dan sebagian lagi tidak. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan predisposisi genetik terhadap penyakit ataupun perbedaan usia.

Berikut ini merupakan faktor risiko yang berperan terhadap kejadian


PPOK, yaitu :
1.3.1. Paparan terhadap partikel
Merokok merupakan penyebab terpenting terjadinya PPOK (hampir 85%
pasien PPOK merupakan perokok dan 50% perokok mengalami PPOK). Faktor

ini jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya (PDPI, 2003; Brashier dan
Kodgule, 2012). Berdasarkan studi di Amerika Serikat, orang yang merokok
mempunyai risiko sebesar 80 hingga 90 persen untuk mengalami PPOK. Banyak
orang dengan tingkat konsumsi rokok yang tinggi masih mempunyai nilai VEP 1
yang normal atau mendekati normal, sementara itu, pada orang yang lebih sedikit
merokok mempunyai nilai VEP1 yang menurun.6
Paparan asap rokok pasif (environmental tobacco smoke) juga berperan
sebagai faktor risiko terjadinya gangguan pernapasan dan PPOK melalui
peningkatan beban paru terhadap zat iritan yang dihirup tersebut.7
Selain paparan asap rokok, faktor risiko penting lainnya adalah paparan
asap atau debu di lingkungan kerja yang berkepanjangan, seperti asap kendaraan
oleh supir dan ahli mekanik, debu di area pertanian oleh petani, pekerja tekstil,
paparan terhadap silika (industri semen, batu bata, keramik, dll), dan lain-lain.
Paparan polusi udara di dalam ruangan juga menjadi faktor risiko penting
terhadap kejadian PPOK, khususnya pada ruangan dengan ventilasi yang tidak
baik. Pembakaran bahan bakar biomassa, seperti kayu, cow-dung, dan cropresidues, dapat melepaskan polutan udara, seperti sulfur dioksida, nitrogen
dioksida, karbon monoksida, formaldehida, radikal bebas, dan lain-lain,
ke udara bebas. Paparan yang berkepanjangan ini dapat memicu terjadinya
gangguan pada sistem pernapasan, seperti PPOK, asma, dan infeksi saluran
napas.8

1.3.2. Genetik
Peran faktor genetik terhadap kejadian PPOK kurang jelas terlihat karena
adanya merokok sebagai faktor risiko lingkungan yang utama. Penemuan adanya
defisiensi antitripsin alfa-1 (AAT) pada tahun 1960-an membuktikan bahwa
genetik ternyata berpengaruh terhadap terjadinya PPOK (Postma dan Silverman,
2009). Di Indonesia, kasus defisiensi antitripsin alfa-1 ini jarang ditemukan.9
Menurut Stoller (2005), hingga saat ini, faktor genetik yang sudah
ditetapkan berperan terhadap kejadian PPOK adalah gen SERPINA1 yang
berfungsi mengkode serine protease inhibitor, antitripsin alfa-1 (AAT). Gangguan

pada gen ini menyebabkan terjadinya defisiensi AAT-1 sehingga aktivitas protease
tidak dapat dihambat dan akhirnya menyebabkan emfisema. Akan tetapi, hanya 12% dari populasi mengalami kelainan pada SERPINA1. Hal ini menimbulkan
pemikiran bahwa variasi genetik lain dapat berperan terhadap kejadian PPOK
ini.10
Polimorfisme genetik yang terlibat dalam keseimbangan proteaseantiprotease, fungsi antioksidan, inflamasi, dan respon imun, mempunyai
hubungan terhadap PPOK. Suatu polimorfisme pada elastin yang menyebabkan
substitusi asam amino dan perubahan serat elastin telah ditemukan pada kurang
lebih 1% penderita PPOK yang parah dan emfisema. 6 Oleh karena itu, banyak gen
yang berperan terhadap kejadian penyakit paru ini.10,11
1.3.3. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi saluran napas bawah pada masa kanak-kanak (lower respiratory
tract infections) sering dihubungkan dengan kejadian PPOK. Karena pertumbuhan
paru dan perkembangan alveolus berlanjut hingga masa kanak-kanak awal
(kurang lebih hingga usia 2 tahun), terjadinya infeksi saluran napas bawah
berulang pada masa kanak-kanak dapat menimbulkan kerusakan permanen pada
paru atau mengganggu pertumbuhan dan perkembangan paru.6

1.3.4. Hiperresponsivitas saluran napas


Pada PPOK, hiperresponsivitas saluran napas berhubungan dengan
penurunan VEP1 yang semakin cepat. Mekanisme yang mendasari hubungan
hiperresponsivitas

saluran

napas

ini

terhadap

PPOK

belum

diketahui,

tetapi penghentian merokok berhubungan dengan penurunan hiperresponsivitas


saluran napas.6
Responsivitas saluran napas dipengaruhi oleh level terendah fungsi paru,
alergi, usia, dan riwayat merokok. Pada penderita PPOK beronset dini,
tingkat terendah responsivitas saluran napas menentukan respon terhadap paparan
asap rokok. Penderita PPOK beronset dini yang mengalami peningkatan
responsivitas saluran napas tampak lebih sensitif terhadap efek asap rokok dan

mengalami penurunan VEP1 yang lebih cepat. Hiperrensponsivitas saluran napas


sudah digunakan untuk memprediksi penurunan fungsi paru dan perburukan
PPOK, termasuk mortalitas.12
1.3.5. Usia
Menurut Wise (1997), proses penuaan berhubungan dengan peningkatan
obstruksi saluran napas. Hubungan antara proses penuaan dengan terjadinya
PPOK yang paling mungkin adalah bahwa dengan pertambahan usia, terjadi
akumulasi paparan terhadap asap rokok dan polutan lingkungan. PPOK paling
sering terjadi pada pasien usia > 40 tahun.12

1.4.

Patologi
Perubahan patologis pada paru-paru pasien PPOK ditemukan di saluran

napas bagian proksimal dan perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah
pulmoner. Berikut ini adalah perubahan patologis yang ditemukan pada PPOK:13
1.4.1. Saluran napas bagian proksimal
Saluran napas bertulang rawan dengan diameter >2 mm
Peningkatan jumlah makrofag dan limfosit-T CD8+
Beberapa neutrofil dan eosinofil (jumlah neutrofil meningkat seiring dengan

progresivitas penyakit)
Pembesaran kelenjar submukosa bronkus dan metaplasia sel goblet

(mengakibatkan produksi mukus yang berlebihan atau bronkitis kronik)


Infiltrat seluler (neutrofil dan limfosit) kelenjar bronkial

Metaplasia epitel pipih saluran napas, disfungsi silia, penebalan otot polos dan
jaringan ikat

1.4.2. Saluran napas bagian perifer


Saluran napas tanpa tulang rawan dengan diameter <2 mm
Bronkiolitis pada stadium awal
Peningkatan jumlah makrofag dan limfosit-T (CD8+ > CD4+)
Beberapa neutrofil dan eosinofil
Perluasan patologis dari sel goblet dan metaplasia squamous ke saluran napas

perifer
Eksudat luminal dan peradangan
Peningkatan jumlah limfosit-B, folikel limfoid, dan fibroblast
Fibrosis peribronkial dan penyempitan saluran napas seiring dengan
progresivitas penyakit

1.4.3. Parenkim paru


Terdiri dari bronkiolus respiratorius dan alveolus
Peningkatan jumlah makrofag dan limfosit-T CD8+
Destruksi dinding alveolus akibat hilangnya sel epitel dan endotel
Terjadinya emfisema (pembesaran yang abnormal dari rongga udara bagian

distal ke bronkiolus terminal


Perubahan emphysematous mikroskopis :
o
sentrilobular (dilatasi dan destruksi bronkiolus respiratorius biasanya
o

ditemukan pada perokok dan sebagian besar di paru bagian atas)


panacinar (destruksi seluruh asinus biasanya ditemukan pada kasus
defisiensi antitripsin alfa-1 dan sebagian besar di paru bagian bawah);
asinus merupakan bagian paru yang terletak di sebelah distal

bronkiolus terminalis.14
Perubahan emphysematous makroskopis :
o
Perubahan mikroskopis berkembang menjadi pembentukan bula
(rongga udara emphysematous dengan diameter >1 cm)

1.4.4. Pembuluh darah pulmoner


Peningkatan jumlah makrofag dan limfosit-T
Perubahan awal :

1.5.

o
penebalan tunika intima
o
disfungsi endotel
Perubahan akhir :
o
penebalan otot polos pembuluh darah
o
deposisi kolagen
o
destruksi capillary bed
o
terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonal

Patogenesis
Paparan terhadap faktor-faktor risiko menyebabkan terjadinya perubahan

patologis dan gejala klinis akibat adanya interaksi faktor host dengan faktor
lingkungan. Interaksi tersebut mengakibatkan timbulnya pathologic triad pada
PPOK, yaitu : inflamasi persisten, ketidakseimbangan protease-antiprotease, dan
stres oksidatif. Proses ini kemudian menyebabkan terjadinya metaplasia dan
hiperplasia sel goblet/mukus, hipersekresi mukus, fibrosis, perubahan pada
otot polos, dan destruksi jaringan paru.15

1.5.1. Stress oksidatif


Menurut Rahman (2005), stress oksidatif merupakan suatu mekanisme
penting terhadap terjadinya PPOK. Kadar biomarker stres oksidatif (seperti
hidrogen peroksida, 8-isoprostan) meningkat di sputum dan sirkulasi sistemik
pasien PPOK. Stres oksidatif ini akan semakin meningkat aktivitasnya pada
kondisi eksaserbasi. Selain berasal dari asap rokok dan partikel berbahaya lain,
oksidan juga dilepaskan dari sel inflamasi yang aktif, seperti makrofag dan
neutrofil. Pada pasien PPOK juga terjadi penurunan kadar antioksidan endogen
sebagai akibat dari reduksi faktor transkripsi, yaitu nuclear factor-erythroid 2related factor (Nrf2), yang berfungsi meregulasi banyak gen antioksidan.1
Merokok yang kronis menyebabkan terpaparnya saluran napas dan paru
terhadap reactive oxygen species (ROS). Hal ini kemudian memicu produksi ROS
lain, stres oksidatif, kerusakan jaringan, peroksidasi lemak, dan inflamasi paru.15

1.5.2. Ketidakseimbangan protease-antiprotease


Proteinase mempunyai peran yang penting dalam patogenesis PPOK.
Hipotesis proteinase-antiproteinase menyatakan bahwa kerusakan paru pada
PPOK terjadi ketika aksi proteinase tidak lagi dikontrol oleh antiproteinase.
Hal ini dapat terjadi pada kondisi abnormalitas genetik antiproteinase, seperti
defisiensi antitripsin alfa-1, atau adanya kehilangan fungsional dari antiproteinase
akibat proses proteolitik dan oksidatif. Selain itu, ketidakseimbangan juga dapat
terjadi akibat aktivitas proteinase yang berlebihan.16
Contohnya adalah elastase yang mempunyai efek merusak terhadap paru,
seperti pada emfisema. Tetapi, dari keseluruhan proses patogenesis, hal yang
memicu terjadinya ketidakseimbangan ini adalah adanya interaksi antara faktor
ROS dengan protease atau antiprotease.
Selain memicu proses aktivasi makrofag alveolar dan influks neutrofil
ke paru, paparan asap rokok ataupun iritan lainnya juga dapat menginaktivasi
antiprotease endogen. Ketika paparan iritan tersebut berlanjut terus-menerus dan
berlangsung lama/kronis, terjadi akumulasi makrofag, neutrofil, dan sel T CD 8+ di
paru-paru. Makrofag dan neutrofil melepaskan protease-protease, seperti elastase
neutrofil (NE), proteinase-3 (PR3), matrix metalloproteinase (MMPs), dan
cathepsins. Proteinase tersebut kemudian saling berinteraksi dengan cara saling
mengaktifkan atau menghambat inhibitor endogennya, seperti aksi

dari

elastase neutrofil yang menghambat tissue inhibitor MMPs, dan MMPs


mendegradasi antitripsin alfa-1. Proteinase tersebut menempel pada komponen
matriks ekstraseluler, serat elastin, dan kolagen, dan menghasilkan fragmenfragmen elastin atau collagen-derived peptides, seperti prolin-glisin-prolin,
yang bersifat kemotaktik terhadap monosit ataupun neutrofil. Melalui proses
diatas, fragmen peptida yang bersifat kemotaktik ini kemudian mendukung proses
akumulasi makrofag dan neutrofil dan destruksi paru.15
Enzim elastase neutrofil (NE) bersama dengan proteinase lainnya
disimpan didalam granul azurofilik neutrofil dan nantinya akan dilepaskan
ketika neutrofil diaktivasi. Untuk mencapai paru, neutrofil terlebih dahulu
diaktivasi, menempel ke endotel, dan kemudian bermigrasi menuju saluran napas.
Neutrofil

kemudian

mengalami

degranulasi,

melepaskan

enzim,

dan

dapat menyebabkan kerusakan jaringan parenkim paru. Adanya penemuan bahwa


NE dapat mengaktifkan MMPs mengindikasikan bahwa NE adalah langkah awal
dalam kaskade proteinase yang menyebabkan ketidakseimbangan proteinaseantiproteinase dan degradasi jaringan paru. Oleh karena itu, NE sangat penting
dalam patogenesis PPOK sehingga enzim ini merupakan target yang berpotensi
mendapat intervensi terapeutik.
Proteinase juga mempunyai

efek

yang

merusak

terhadap

epitel saluran pernapasan. Menurut penelitian Amitani (1993), NE secara in vitro


menurunkan fungsi silia dan merusak sel epitel saluran pernapasan. Penelitian
Aoshiba (2001) mengatakan bahwa serine proteinase memicu terjadinya stres
oksidatif pada sel epitel pernapasan. Selain itu, NE juga dapat memicu pelepasan
sel epitel bronkus dari matriks ekstraseluler dan apoptosis sel epitel. Sementara
itu, NE dan PR3 memicu pelepasan dan apoptosis sel endotel. Hal ini tentunya
sangat penting dalam patogenesis PPOK. NE mempunyai banyak efek terhadap
epitel saluran napas dan matriks jaringan ikat pada PPOK. Berdasarkan penelitian
Gompertz (2001), purulensi sputum berhubungan dengan aktivitas NE dalam
proses sekresi, baik melalui kontak langsung dengan epitel atau akibat migrasi
neutrofil. Hal ini penting pada masa eksaserbasi, yaitu masa ketika influks
neutrofil dan aktivitas elastase meningkat.16
1.5.3. Inflamasi
Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis PPOK. Paparan
asap rokok dan iritan inhalasi lainnya menyebabkan terjadinya perekrutan
sel-sel

inflamasi

ke

paru

dan

saluran

napas.

Kemudian,

mediator

yang dikeluarkan oleh sel ini merusak jaringan paru dan mengganggu mekanisme
normal perbaikan paru. Sel inflamasi yang berhubungan dengan PPOK adalah
neutrofil, eosinofil, makrofag, dan limfosit. Ketika proses inflamasi akibat
merokok sudah terjadi, proses tersebut dapat bertahan lama meskipun merokok
telah dihentikan.
Makrofag yang telah diaktivasi akan mengeluarkan mediator-mediator dan
faktor kemotaktik yang merekrut sel inflamasi ke paru. Sel T pada paru PPOK
memproduksi sitokin yang menstimulasi produksi matrix metalloproteinase

10

(MMP) oleh makrofag. Imunitas seluler dan humoral berperan dalam patogenesis
emfisema. Sel T CD4+, CD8+, dan sel B mengumpul di alveolus dan jaringan
saluran napas dan membentuk bronchus-associated lymphoid tissue (BALT) pada
dinding saluran napas yang kecil.6
1.6.

Patofisiologi
Proses

patogenik,

seperti

yang

telah

dipaparkan

sebelumnya,

menyebabkan munculnya perubahan patologis pada PPOK. Hal ini kemudian


menyebabkan

perubahan

fisiologis

ke

arah

abnormalitas,

seperti

hipersekresi mukus, disfungsi silia, hiperinflasi dan keterbatasan aliran napas,


abnormalitas pertukaran gas, hipertensi pulmoner, dan efek sistemik.13
1.6.1. Hipersekresi mukus dan disfungsi silia
Hipersekresi mukus menyebabkan terjadinya batuk kronik yang produktif.
Hal ini merupakan penanda bronkitis kronik. Sementara itu, tidak semua pasien
PPOK

mengalami

hipersekresi

mukus

simtomatis.

Hipersekresi

mukus

disebabkan oleh peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran ukuran kelenjar
bronkial submukosa sebagai respon terhadap iritasi kronik yang disebabkan oleh
paparan terhadap partikel dan gas yang berbahaya. Terjadinya disfungsi silia
disebabkan oleh adanya metaplasia squamous sel epitel. Hal ini kemudian
menimbulkan disfungsi mucociliary escalator dan gangguan pengeluaran
dahak/sputum dari saluran napas.
1.6.2. Keterbatasan aliran udara dan hiperinflasi (air trapping)
Keterbatasan aliran udara kronik merupakan penanda PPOK. Lokasi
utama keterbatasan aliran udara ini adalah saluran napas kecil yang berdiameter
<2mm. Hal ini terjadi akibat proses inflamasi, penyempitan (airway remodelling),
dan eksudat peradangan di saluran napas kecil. Faktor lain yang berperan terhadap
keterbatasan aliran udara adalah hilangnya rekoil elastik paru (akibat destruksi
dinding alveolus) dan destruksi penyokong alveolus (dari perlekatan alveolus).
Obstruksi saluran napas secara progresif menyebabkan terperangkapnya
udara selama ekspirasi sehingga terjadi hiperinflasi paru. Hiperinflasi menurunkan

11

kapasitas inspirasi dan kapasitas residual fungsional. Hal ini menyebabkan


gangguan pernapasan pada pasien PPOK, seperti sesak napas.
1.6.3. Abnormalitas pertukaran gas
Abnormalitas pertukaran gas terjadi pada penyakit yang sudah lanjut/parah
dan ditandai dengan adanya hipoksemia arteri dengan atau tanpa hiperkapnia.
Rasio ventilasi/perfusi abnormal yang terjadi akibat perubahan anatomis pada
PPOK merupakan mekanisme utama yang berkaitan dengan abnormalitas
pertukaran udara.
1.6.4. Hipertensi pulmoner
Hipertensi pulmoner terjadi pada kasus PPOK lanjut, sama seperti
abnormalitas pertukaran udara yang parah. Faktor yang berperan terhadap
kejadian

ini

adalah

vasokontriksi

arteri

pulmoner

(karena

hipoksia),

disfungsi endotel, remodelling arteri pulmoner (hipertropi dan hiperplasia otot


polos) dan destruksi pulmonary capillary bed. Perkembangan dari perubahan
struktural arteriol pulmoner menyebabkan terjadinya hipertensi pulmoner
persisten dan hipertrofi ventrikel dan gagal jantung kanan.
1.6.5. Inflamasi sistemik
PPOK berkaitan dengan beberapa efek ekstrapulmoner. Adanya proses ini
ternyata memperburuk prognosis pasien. Inflamasi pada PPOK dapat dilihat
sebagai tumpahan inflamasi lokal pada saluran napas ke sistemik tubuh dengan
memandang proses di paru sebagai proses yang utama. Sebagian ahli memandang
bahwa proses inflamasi di paru pada PPOK merupakan salah satu bagian dari
manifestasi inflamasi sistemik yang terjadi. Pada keadaan stabil, PPOK
menunjukkan keadaan inflamasi sitemik yang rendah, sedangkan pada saat
eksaserbasi,

terjadi

peningkatan

lipopolysaccharide-binding protein.17

tajam

IL-6,

CRP,

fibrinogen,

dan

12

1.7.
Diagnosis dan Klasifikasi
1.7.1. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan, hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan
yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis pasien (anamnesis dan pemeriksaan fisik) dan pemeriksaan
penunjang.9
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit masa lalu, seperti asma, alergi, sinusitis, atau polip
nasal
Riwayat PPOK atau penyakit pernapasan kronik lain dalam keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak napas dengan atau tanpa bunyi mengi yang bertambah berat bila
beraktivitas
Adanya rasa berat di dada
Pola perkembangan gejala : PPOK berkembang pada usia dewasa
(>45 tahun) dan keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu
Riwayat eksaserbasi atau hospitalisasi penyakit pernapasan : pasien
mungkin mengatakan bahwa gejala yang dialami memburuk secara
berkala, walaupun hal ini belum digolongkan menjadi eksaserbasi
PPOK
Adanya

komorbiditas,

seperti

penyakit

jantung,

osteoporosis,

gangguan muskuloskeletal, dan keganasan yang mungkin berperan


b.

terhadap restriksi aktivitas


Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan.
Inspeksi :
Pursed-lips breathing ( mulut setengah terkatup mencucu)

13

Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)


Penggunaan otot bantu pernapasan
Hipertropi otot bantu pernapasan
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan, terlihat denyut vena jugularis di

leher dan edema tungkai


Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi :
Pada emfisema, fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi :
Pada emfisema, hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi :
Suara napas vesikuler normal atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan, dan
pernapasan pursed-lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai, ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang, Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

14

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%)
Obstruksi

%VEP1

(VEP1/VEP1prediksi)

<

80%

VEP1%

(VEP1/KVP) < 75%


- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter, walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore,
tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada,
gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE <20% nilai awal dan <200 ml.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen,
pelebaran ruang retrosternal, diafragma datar, jantung menggantung
(jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance). Sementara itu,
pada bronkitis kronik tampak gambaran lapangan paru normal atau
peningkatan corakan bronkovaskuler pada 21% kasus.
b.

Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


1. Faal paru

15

Volume residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF),

Kapasitas Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

DLCO menurun pada emfisema

Raw meningkat pada bronkitis kronik

Sgaw meningkat

Variabilitas Harian APE kurang dari 20%


2. Uji latih kardiopulmoner
Sepeda statis (ergocycle)
Jentera (treadmill)
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Uji ini digunakan untuk menilai derajat hiperreaktivitas bronkus. Pada
sebagian kecil PPOK terdapat hiperreaktivitas bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Uji ini digunakan untuk menilai perbaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak
30-50 mg per hari selama 2 minggu, yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator >20% dan minimal 250 ml. Pada PPOK, umumnya
tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
Hal ini dilakukan terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan
gagal napas akut pada gagal napas kronik.
6. Radiologi
CT-Scan resolusi tinggi digunakan untuk mendeteksi emfisema
dini dan melihat jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak

terdeteksi oleh foto toraks polos.


Scan ventilasi perfusi digunakan untuk mengetahui fungsi respirasi

paru.
7. Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung.
8. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum, pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas yang berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

16

9. Kadar alfa-1 antitripsin


Kadar alfa-1 antitripsin rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda).

1.7.2. Klasifikasi
Tabel 2.1. menunjukkan klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara
pada PPOK. Spirometri sebaiknya digunakan setelah pemberian dosis adekuat
short-acting bronchodilator inhalasi.1
Tabel 2.1. Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK
(berdasarkan nilai VEP1 pascabronkodilator)
Pada pasien dengan nilai VEP1/KVP < 0,70
GOLD 1

Ringan

VEP1 > 80% prediksi

GOLD 2

Sedang

50% < VEP1 < 80% prediksi

GOLD 3

Berat

30% < VEP1 < 50% prediksi

GOLD 4

Sangat Berat

VEP1 < 30% prediksi

Sumber : Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of


Chronic Obstructive Pulmonary Disease, 2014
1.8.

Diagnosis Banding
Temuan-temuan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang

dapat merujuk kepada gangguan atau penyakit lainnya. Karena asma merupakan
diagnosis banding utama dari PPOK, proses anamnesis dan pemeriksaan

17

sebaiknya dilakukan dengan saksama untuk membedakan kedua penyakit


tersebust.18

Tabel 2.2. PPOK dan Diagnosis Banding


Diagnosis

Karakteristik yang Mendukung

PPOK

Onset di usia pertengahan


Gejala secara perlahan-lahan memburuk (progresif)
Riwayat merokok atau paparan terhadap asap lainnya

Asma

Onset di awal kehidupan (biasanya anak-anak)


Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala lebih buruk pada malam hari/awal pagi
Mengalami alergi, rhinitis, dan/atau eksema
Riwayat keluarga asma

Congestive Heart
Failure

Chest X-ray menunjukkan jantung melebar, edema pulmoner


Uji fungsi paru menunjukkan adanya restriksi volum, bukan
keterbatasan aliran udara

Bronkiektasis

Sputum yang purulen dalam jumlah besar


Biasanya disertai dengan infeksi bakteri
Chest X-ray/CT menunjukkan pelebaran bronkial, penebalan
dinding bronkial

Tuberkulosis

Onset pada seluruh usia


Chest X-ray menunjukkan infiltrat paru
Konfirmasi mikrobiologi
Prevalensi lokal TB yang tinggi

18

Obliterative
Bronchiolitis

Onset pada usia muda, bukan perokok


Mempunyai riwayat rheumatoid arthritis
Terlihat setelah transplantasi paru dan sum-sum tulang
CT pada ekspirasi menunjukkan area hypodense

Biasanya ditemukan pada pasien keturunan Asia


Kebanyakan pasien adalah laki-laki dan bukan perokok
Diffuse
Hampir semua mengalami sinusitis kronik
Panbronchiolitis
Chest X-ray dan HRCT menunjukkan diffuse small
centrilobular nodular opacities dan hiperinflasi
Hal tersebut diatas merupakan karakteristik penyakit yang bersangkutan, tetapi bukanlah
suatu kewajiban. Misalnya, seseorang yang tidak pernah merokok dapat mengalami
PPOK (khususnya di negara berkembang yang faktor risiko lainnya lebih penting
dibandingkan merokok); asma dapat terjadi pada orang dewasa dan bahkan pada usia
tua.

Sumber : Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of


Chronic Obstructive Pulmonary Disease, 2014
1.9.
Pencegahan
1.9.1. Mencegah terjadinya PPOK
-Menghindari paparan asap rokok
-Mengindari paparan polusi udara
-Menghindari infeksi saluran napas berulang
1.9.2. Mencegah perburukan PPOK
-Berhenti merokok
-Menggunakan obat-obatan yang adekuat
-Mencegah eksaserbasi berulang
1.10. Komplikasi
1.10.1. Gagal napas
Gagal napas dapat terjadi akibat ketidakseimbangan ventilasi/perfusi dan
hiperinflasi paru yang mengakibatkan diafragma mendatar sehingga hal ini
menurunkan efisiensi otot pernapasan dan meningkatkan konsumsi energi.19

1.10.2. Infeksi berulang


Produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuknya koloni
kuman sehingga memudahkan terjadinya infeksi berulang.9

19

1.10.3. Kor-pulmonal
Menurut WHO (1963), kor-pulmonal didefinisikan sebagai terjadinya
hipertrofi ventrikel kanan sebagai akibat dari penyakit yang memengaruhi fungsi
dan struktur paru. Dalam hal ini, jantung membutuhkan kerja ekstra untuk
memompakan darah melewati paru.20

1.11.

Prognosis
Pasien PPOK biasanya meninggal akibat adanya penyakit penyerta atau

penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok, seperti kanker paru,


bukan diakibatkan gagal napas secara langsung.
Beberapa faktor yang menunjukkan prognosis buruk pada PPOK adalah
VEP1 rendah, status merokok aktif, hipoksemia, nutrisi buruk, adanya kor
pulmonal, takikardia, kapasitas olahraga sedikit, dyspnoea parah, kualitas hidup
yang rendah, anemia, eksaserbasi yang sering terjadi, dan adanya komorbiditas.
Pasien dengan nilai VEP1 <35% prediksi mempunyai mortalitas 10%
setiap tahun. Jika pasien mengeluhkan tidak dapat berjalan 100 meter tanpa
berhenti karena sesak napas, angka harapan hidup 5 tahun adalah hanya 30%.
Pada PPOK, angka median survival adalah kurang lebih 10 tahun.21
1.12. PPOK Eksaserbasi Akut
1.12.1. Definisi dan Etiologi
PPOK eksaserbasi akut merupakan suatu kejadian akut yang ditandai oleh
perburukan gejala pernapasan pasien dibandingkan sebelumnya. Hal ini kemudian
akan menyebabkan perubahan pengobatan.1 Perburukan gejala ini dapat berupa
peningkatan sesak napas (dyspnoea), peningkatan produksi sputum, dan sputum
purulen.22
Eksaserbasi dapat dicetuskan oleh virus, bakteri, organisme atipikal, dan
polutan lingkungan. Virus merupakan penyebab terjadinya eksaserbasi pada

20

50% kasus dengan rhinovirus dan respiratory syncytial virus sebagai penyebab
tersering.18
1.12.2. Patogenesis dan Patofisiologi
Beberapa bukti menyatakan bahwa eksaserbasi merupakan suatu kejadian
inflamasi akut yang terjadi bersamaan dengan inflamasi kronis yang merupakan
karakteristik PPOK. Pada kondisi eksaserbasi, ditemukan adanya peningkatan
jumlah sel-sel inflamasi pada sputum, bilasan bronkoalveolar, dan biopsi bronkus.
Selain itu, peningkatan kadar fibrinogen plasma, IL-6, CRP, dan procalcitonin
juga terjadi pada masa eksaserbasi.
Saluran pernapasan normal mempunyai mekanisme pertahanan yang
sangat baik terhadap patogen. Pada pasien PPOK, mekanisme pertahanan alamiah
mengalami gangguan sehingga kurang mampu melakukan perlawanan terhadap
kuman. Akibatnya, kuman tersebut dapat terus masuk ke saluran napas bawah dan
berproliferasi. Masuknya patogen ini kemudian akan memicu respon inflamasi
yang tampak melalui peningkatan sekresi saluran napas, bronkospasme, dan
edema mukosa. Perubahan patologis ini menyebabkan terjadi perburukan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan hiperinflasi. Gejala dan tanda klinis yang
terjadi akibat proses patofisiologi tersebut adalah dyspnoea yang baru terjadi atau
memburuk, batuk, produksi sputum, dan sputum purulen. Selain itu, proses
inflamasi dapat menimbulkan efek sistemik yang menimbulkan gejala demam dan
kelemahan.23

21

Gambar 2.1. Patogenesis eksaserbasi


Sumber : Sethi, 2009

1.12.3. Diagnosis
Sekarang ini, diagnosis eksaserbasi didasarkan pada presentasi klinis
berupa perubahan gejala yang akut, seperti sesak napas, batuk, dan/atau produksi
sputum.1 Menurut PDPI (2003), gejala eksaserbasi antara lain sesak bertambah,
produksi sputum meningkat, dan perubahan warna sputum. Berdasarkan gejala
klinis tersebut, PDPI (2003) membagi eksaserbasi menjadi tiga kelompok, yaitu :
Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala diatas,
Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala diatas,
Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan
>20% baseline, atau frekuensi nadi >20% baseline.
1.12.4. Penatalaksanaan

22

Penanganan eksaserbasi akut dapat dilakukan di rumah (eksaserbasi


ringan) atau di rumah sakit (eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan
eksaserbasi akut ringan yang dilakukan di rumah adalah dengan cara :
1. Menambah dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator
yang digunakan dari bentuk inhaler atau oral menjadi bentuk nebuliser
2. Menggunakan oksigen bila sedang beraktivitas dan selama tidur
3. Menambahkan mukolitik
4. Menambahkan ekspektoran
Bila dalam dua hari tidak ada perbaikan, penderita harus segera dibawa ke
dokter. Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara
rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, unit gawat
darurat, ruang rawat, dan ruang ICU.
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi
eksaserbasi segera dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal
napas, segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus
diperhatikan antara lain :
1.12.4.1. Diagnosis beratnya eksaserbasi
derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
kesadaran, tanda vital
analisis gas darah
pneumonia
1.12.4.2. Terapi oksigen adekuat
Terapi oksigen pada eksaserbasi akut merupakan hal yang pertama dan
utama. Tujuannya adalah untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan
yang mengancam jiwa. Sebaiknya dipertahankan PaO 2>60 mmHg atau SaO2
>90% dan evaluasi ketat hiperkapnia.
1.12.4.3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
1. Antibiotik
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah
sakit sebaiknya secara per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan, bila

23

eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat


diberikan tunggal.
2.

Bronkodilator
Bila rawat jalan, 2 agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan

peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang
tepat, nebuliser dapat digunakan agar lebih efektif. Dalam perawatan di rumah
sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser. Dalam hal ini, perlu
monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.

3.

Kortikosteroid
Pengobatan ini tidak selalu diberikan, tergantung derajat berat eksaserbasi.

Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30mg/hari selama


1

hingga

minggu,

pada

derajat

berat

diberikan

secara

intravena.

Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi
lebih banyak menimbulkan efek samping.
1.12.4.4.
Nutrisi adekuat
Tujuannya adalah untuk mencegah kelaparan yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan dan untuk menghindari kelelahan otot bantu napas.
1.12.4.5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan
mengurangi mortalitas, morbiditas, dan memperbaiki gejala.
1.12.4.6. Kondisi lain yang berkaitan
monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
pengeluaran sputum
gagal jantung atau aritmia
1.12.4.7. Evaluasi ketat progresivitas penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat
mencegah gagal napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.9

Вам также может понравиться