Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu penyakit
yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
menetap yang biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan
respon inflamasi kronis di saluran napas dan paru terhadap partikel atau
gas berbahaya. Terjadinya eksaserbasi dan adanya komorbiditas memiliki
pengaruh terhadap tingkat keparahan setiap pasien.1
Menurut data WHO, sekitar 64 juta warga dunia mengalami PPOK dan
3 juta meninggal akibat PPOK, yaitu sama dengan 5% kematian di seluruh dunia
pada tahun 2004. Hampir 90% kematian akibat PPOK terjadi di negara
yang berpendapatan rendah dan menengah. WHO juga memprediksi bahwa PPOK
akan menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di seluruh dunia pada
tahun 2030.2
Prevalensi PPOK di Indonesia juga masih tinggi. Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi PPOK pada penduduk
berusia > 30 tahun di Indonesia adalah 3,7%. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat
di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%),
Sulawesi
1.2.
Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu penyakit yang
dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
menetap yang biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon
inflamasi kronis di saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas berbahaya.
Keterbatasan aliran udara kronis yang terjadi pada PPOK disebabkan oleh
gabungan dari penyakit saluran napas yang kecil (bronkiolitis obstruktif) dan
kerusakan parenkim paru (emfisema). Terjadinya eksaserbasi dan adanya
komorbiditas berpengaruh terhadap tingkat keparahan setiap pasien.1
Obstruksi kronis aliran udara paru yang terjadi pada PPOK mengganggu
pernapasan normal dan tidak sepenuhnya reversibel sehingga PPOK disebut
sebagai penyakit paru yang mengancam jiwa. Istilah bronkitis kronik dan
emfisema tidak lagi termasuk dalam definisi, tetapi termasuk dalam diagnosis
PPOK.5
1.3.
Faktor Risiko
Menurut hasil beberapa penelitian, meskipun merokok merupakan faktor
risiko terpenting terhadap kejadian PPOK, itu tidaklah satu-satunya faktor risiko,
sebab dalam beberapa studi dibuktikan bahwa orang bukan perokok juga
mengalami keterbatasan aliran udara kronis.1
PPOK terjadi akibat interaksi dari beberapa faktor risiko, yaitu interaksi
faktor genetik dan lingkungan. Pada orang yang sama-sama memiliki riwayat
merokok, sebagian mengalami PPOK dan sebagian lagi tidak. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan predisposisi genetik terhadap penyakit ataupun perbedaan usia.
ini jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya (PDPI, 2003; Brashier dan
Kodgule, 2012). Berdasarkan studi di Amerika Serikat, orang yang merokok
mempunyai risiko sebesar 80 hingga 90 persen untuk mengalami PPOK. Banyak
orang dengan tingkat konsumsi rokok yang tinggi masih mempunyai nilai VEP 1
yang normal atau mendekati normal, sementara itu, pada orang yang lebih sedikit
merokok mempunyai nilai VEP1 yang menurun.6
Paparan asap rokok pasif (environmental tobacco smoke) juga berperan
sebagai faktor risiko terjadinya gangguan pernapasan dan PPOK melalui
peningkatan beban paru terhadap zat iritan yang dihirup tersebut.7
Selain paparan asap rokok, faktor risiko penting lainnya adalah paparan
asap atau debu di lingkungan kerja yang berkepanjangan, seperti asap kendaraan
oleh supir dan ahli mekanik, debu di area pertanian oleh petani, pekerja tekstil,
paparan terhadap silika (industri semen, batu bata, keramik, dll), dan lain-lain.
Paparan polusi udara di dalam ruangan juga menjadi faktor risiko penting
terhadap kejadian PPOK, khususnya pada ruangan dengan ventilasi yang tidak
baik. Pembakaran bahan bakar biomassa, seperti kayu, cow-dung, dan cropresidues, dapat melepaskan polutan udara, seperti sulfur dioksida, nitrogen
dioksida, karbon monoksida, formaldehida, radikal bebas, dan lain-lain,
ke udara bebas. Paparan yang berkepanjangan ini dapat memicu terjadinya
gangguan pada sistem pernapasan, seperti PPOK, asma, dan infeksi saluran
napas.8
1.3.2. Genetik
Peran faktor genetik terhadap kejadian PPOK kurang jelas terlihat karena
adanya merokok sebagai faktor risiko lingkungan yang utama. Penemuan adanya
defisiensi antitripsin alfa-1 (AAT) pada tahun 1960-an membuktikan bahwa
genetik ternyata berpengaruh terhadap terjadinya PPOK (Postma dan Silverman,
2009). Di Indonesia, kasus defisiensi antitripsin alfa-1 ini jarang ditemukan.9
Menurut Stoller (2005), hingga saat ini, faktor genetik yang sudah
ditetapkan berperan terhadap kejadian PPOK adalah gen SERPINA1 yang
berfungsi mengkode serine protease inhibitor, antitripsin alfa-1 (AAT). Gangguan
pada gen ini menyebabkan terjadinya defisiensi AAT-1 sehingga aktivitas protease
tidak dapat dihambat dan akhirnya menyebabkan emfisema. Akan tetapi, hanya 12% dari populasi mengalami kelainan pada SERPINA1. Hal ini menimbulkan
pemikiran bahwa variasi genetik lain dapat berperan terhadap kejadian PPOK
ini.10
Polimorfisme genetik yang terlibat dalam keseimbangan proteaseantiprotease, fungsi antioksidan, inflamasi, dan respon imun, mempunyai
hubungan terhadap PPOK. Suatu polimorfisme pada elastin yang menyebabkan
substitusi asam amino dan perubahan serat elastin telah ditemukan pada kurang
lebih 1% penderita PPOK yang parah dan emfisema. 6 Oleh karena itu, banyak gen
yang berperan terhadap kejadian penyakit paru ini.10,11
1.3.3. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi saluran napas bawah pada masa kanak-kanak (lower respiratory
tract infections) sering dihubungkan dengan kejadian PPOK. Karena pertumbuhan
paru dan perkembangan alveolus berlanjut hingga masa kanak-kanak awal
(kurang lebih hingga usia 2 tahun), terjadinya infeksi saluran napas bawah
berulang pada masa kanak-kanak dapat menimbulkan kerusakan permanen pada
paru atau mengganggu pertumbuhan dan perkembangan paru.6
saluran
napas
ini
terhadap
PPOK
belum
diketahui,
1.4.
Patologi
Perubahan patologis pada paru-paru pasien PPOK ditemukan di saluran
napas bagian proksimal dan perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah
pulmoner. Berikut ini adalah perubahan patologis yang ditemukan pada PPOK:13
1.4.1. Saluran napas bagian proksimal
Saluran napas bertulang rawan dengan diameter >2 mm
Peningkatan jumlah makrofag dan limfosit-T CD8+
Beberapa neutrofil dan eosinofil (jumlah neutrofil meningkat seiring dengan
progresivitas penyakit)
Pembesaran kelenjar submukosa bronkus dan metaplasia sel goblet
Metaplasia epitel pipih saluran napas, disfungsi silia, penebalan otot polos dan
jaringan ikat
perifer
Eksudat luminal dan peradangan
Peningkatan jumlah limfosit-B, folikel limfoid, dan fibroblast
Fibrosis peribronkial dan penyempitan saluran napas seiring dengan
progresivitas penyakit
bronkiolus terminalis.14
Perubahan emphysematous makroskopis :
o
Perubahan mikroskopis berkembang menjadi pembentukan bula
(rongga udara emphysematous dengan diameter >1 cm)
1.5.
o
penebalan tunika intima
o
disfungsi endotel
Perubahan akhir :
o
penebalan otot polos pembuluh darah
o
deposisi kolagen
o
destruksi capillary bed
o
terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonal
Patogenesis
Paparan terhadap faktor-faktor risiko menyebabkan terjadinya perubahan
patologis dan gejala klinis akibat adanya interaksi faktor host dengan faktor
lingkungan. Interaksi tersebut mengakibatkan timbulnya pathologic triad pada
PPOK, yaitu : inflamasi persisten, ketidakseimbangan protease-antiprotease, dan
stres oksidatif. Proses ini kemudian menyebabkan terjadinya metaplasia dan
hiperplasia sel goblet/mukus, hipersekresi mukus, fibrosis, perubahan pada
otot polos, dan destruksi jaringan paru.15
dari
kemudian
mengalami
degranulasi,
melepaskan
enzim,
dan
efek
yang
merusak
terhadap
inflamasi
ke
paru
dan
saluran
napas.
Kemudian,
mediator
yang dikeluarkan oleh sel ini merusak jaringan paru dan mengganggu mekanisme
normal perbaikan paru. Sel inflamasi yang berhubungan dengan PPOK adalah
neutrofil, eosinofil, makrofag, dan limfosit. Ketika proses inflamasi akibat
merokok sudah terjadi, proses tersebut dapat bertahan lama meskipun merokok
telah dihentikan.
Makrofag yang telah diaktivasi akan mengeluarkan mediator-mediator dan
faktor kemotaktik yang merekrut sel inflamasi ke paru. Sel T pada paru PPOK
memproduksi sitokin yang menstimulasi produksi matrix metalloproteinase
10
(MMP) oleh makrofag. Imunitas seluler dan humoral berperan dalam patogenesis
emfisema. Sel T CD4+, CD8+, dan sel B mengumpul di alveolus dan jaringan
saluran napas dan membentuk bronchus-associated lymphoid tissue (BALT) pada
dinding saluran napas yang kecil.6
1.6.
Patofisiologi
Proses
patogenik,
seperti
yang
telah
dipaparkan
sebelumnya,
perubahan
fisiologis
ke
arah
abnormalitas,
seperti
mengalami
hipersekresi
mukus
simtomatis.
Hipersekresi
mukus
disebabkan oleh peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran ukuran kelenjar
bronkial submukosa sebagai respon terhadap iritasi kronik yang disebabkan oleh
paparan terhadap partikel dan gas yang berbahaya. Terjadinya disfungsi silia
disebabkan oleh adanya metaplasia squamous sel epitel. Hal ini kemudian
menimbulkan disfungsi mucociliary escalator dan gangguan pengeluaran
dahak/sputum dari saluran napas.
1.6.2. Keterbatasan aliran udara dan hiperinflasi (air trapping)
Keterbatasan aliran udara kronik merupakan penanda PPOK. Lokasi
utama keterbatasan aliran udara ini adalah saluran napas kecil yang berdiameter
<2mm. Hal ini terjadi akibat proses inflamasi, penyempitan (airway remodelling),
dan eksudat peradangan di saluran napas kecil. Faktor lain yang berperan terhadap
keterbatasan aliran udara adalah hilangnya rekoil elastik paru (akibat destruksi
dinding alveolus) dan destruksi penyokong alveolus (dari perlekatan alveolus).
Obstruksi saluran napas secara progresif menyebabkan terperangkapnya
udara selama ekspirasi sehingga terjadi hiperinflasi paru. Hiperinflasi menurunkan
11
ini
adalah
vasokontriksi
arteri
pulmoner
(karena
hipoksia),
terjadi
peningkatan
lipopolysaccharide-binding protein.17
tajam
IL-6,
CRP,
fibrinogen,
dan
12
1.7.
Diagnosis dan Klasifikasi
1.7.1. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan, hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan
yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis pasien (anamnesis dan pemeriksaan fisik) dan pemeriksaan
penunjang.9
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit masa lalu, seperti asma, alergi, sinusitis, atau polip
nasal
Riwayat PPOK atau penyakit pernapasan kronik lain dalam keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak napas dengan atau tanpa bunyi mengi yang bertambah berat bila
beraktivitas
Adanya rasa berat di dada
Pola perkembangan gejala : PPOK berkembang pada usia dewasa
(>45 tahun) dan keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu
Riwayat eksaserbasi atau hospitalisasi penyakit pernapasan : pasien
mungkin mengatakan bahwa gejala yang dialami memburuk secara
berkala, walaupun hal ini belum digolongkan menjadi eksaserbasi
PPOK
Adanya
komorbiditas,
seperti
penyakit
jantung,
osteoporosis,
13
Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang, Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
14
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%)
Obstruksi
%VEP1
(VEP1/VEP1prediksi)
<
80%
VEP1%
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen,
pelebaran ruang retrosternal, diafragma datar, jantung menggantung
(jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance). Sementara itu,
pada bronkitis kronik tampak gambaran lapangan paru normal atau
peningkatan corakan bronkovaskuler pada 21% kasus.
b.
15
Sgaw meningkat
paru.
7. Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung.
8. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum, pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas yang berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
16
1.7.2. Klasifikasi
Tabel 2.1. menunjukkan klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara
pada PPOK. Spirometri sebaiknya digunakan setelah pemberian dosis adekuat
short-acting bronchodilator inhalasi.1
Tabel 2.1. Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK
(berdasarkan nilai VEP1 pascabronkodilator)
Pada pasien dengan nilai VEP1/KVP < 0,70
GOLD 1
Ringan
GOLD 2
Sedang
GOLD 3
Berat
GOLD 4
Sangat Berat
Diagnosis Banding
Temuan-temuan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang
dapat merujuk kepada gangguan atau penyakit lainnya. Karena asma merupakan
diagnosis banding utama dari PPOK, proses anamnesis dan pemeriksaan
17
PPOK
Asma
Congestive Heart
Failure
Bronkiektasis
Tuberkulosis
18
Obliterative
Bronchiolitis
19
1.10.3. Kor-pulmonal
Menurut WHO (1963), kor-pulmonal didefinisikan sebagai terjadinya
hipertrofi ventrikel kanan sebagai akibat dari penyakit yang memengaruhi fungsi
dan struktur paru. Dalam hal ini, jantung membutuhkan kerja ekstra untuk
memompakan darah melewati paru.20
1.11.
Prognosis
Pasien PPOK biasanya meninggal akibat adanya penyakit penyerta atau
20
50% kasus dengan rhinovirus dan respiratory syncytial virus sebagai penyebab
tersering.18
1.12.2. Patogenesis dan Patofisiologi
Beberapa bukti menyatakan bahwa eksaserbasi merupakan suatu kejadian
inflamasi akut yang terjadi bersamaan dengan inflamasi kronis yang merupakan
karakteristik PPOK. Pada kondisi eksaserbasi, ditemukan adanya peningkatan
jumlah sel-sel inflamasi pada sputum, bilasan bronkoalveolar, dan biopsi bronkus.
Selain itu, peningkatan kadar fibrinogen plasma, IL-6, CRP, dan procalcitonin
juga terjadi pada masa eksaserbasi.
Saluran pernapasan normal mempunyai mekanisme pertahanan yang
sangat baik terhadap patogen. Pada pasien PPOK, mekanisme pertahanan alamiah
mengalami gangguan sehingga kurang mampu melakukan perlawanan terhadap
kuman. Akibatnya, kuman tersebut dapat terus masuk ke saluran napas bawah dan
berproliferasi. Masuknya patogen ini kemudian akan memicu respon inflamasi
yang tampak melalui peningkatan sekresi saluran napas, bronkospasme, dan
edema mukosa. Perubahan patologis ini menyebabkan terjadi perburukan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan hiperinflasi. Gejala dan tanda klinis yang
terjadi akibat proses patofisiologi tersebut adalah dyspnoea yang baru terjadi atau
memburuk, batuk, produksi sputum, dan sputum purulen. Selain itu, proses
inflamasi dapat menimbulkan efek sistemik yang menimbulkan gejala demam dan
kelemahan.23
21
1.12.3. Diagnosis
Sekarang ini, diagnosis eksaserbasi didasarkan pada presentasi klinis
berupa perubahan gejala yang akut, seperti sesak napas, batuk, dan/atau produksi
sputum.1 Menurut PDPI (2003), gejala eksaserbasi antara lain sesak bertambah,
produksi sputum meningkat, dan perubahan warna sputum. Berdasarkan gejala
klinis tersebut, PDPI (2003) membagi eksaserbasi menjadi tiga kelompok, yaitu :
Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala diatas,
Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala diatas,
Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan
>20% baseline, atau frekuensi nadi >20% baseline.
1.12.4. Penatalaksanaan
22
23
Bronkodilator
Bila rawat jalan, 2 agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang
tepat, nebuliser dapat digunakan agar lebih efektif. Dalam perawatan di rumah
sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser. Dalam hal ini, perlu
monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
3.
Kortikosteroid
Pengobatan ini tidak selalu diberikan, tergantung derajat berat eksaserbasi.
hingga
minggu,
pada
derajat
berat
diberikan
secara
intravena.
Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi
lebih banyak menimbulkan efek samping.
1.12.4.4.
Nutrisi adekuat
Tujuannya adalah untuk mencegah kelaparan yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan dan untuk menghindari kelelahan otot bantu napas.
1.12.4.5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan
mengurangi mortalitas, morbiditas, dan memperbaiki gejala.
1.12.4.6. Kondisi lain yang berkaitan
monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
pengeluaran sputum
gagal jantung atau aritmia
1.12.4.7. Evaluasi ketat progresivitas penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat
mencegah gagal napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.9