Вы находитесь на странице: 1из 16

KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM TRADISI MEGENGAN

Oleh Zainul Ahwan


Sebagaimana diketahui bersama bahwa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki
keberagaman budaya, adat dan tradisi. Yang unik Keberagamnya budaya, adat dan tradisi
tersebut berasal dari bentuk akulturasi budaya yang masih melestarikan dan bahkan tidak
mampu merubah khazanah, ajaran dan nilai-nilai budaya aslinya. Sehingga sangat tampak
terjadinya proses kearifan akulturasi budaya antara budaya lokal dan budaya asing
termasuk Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan teori datangnya Islam ke Indonesia,
Islam datang berasal dari tiga bangsa besar yang semuanya membawa budayanya masingmasing, yaitu Arab, Persia dan India. Ketika ditelaah keberagaman budaya, adat dan
tradisi umat Islam yang tersebar di Nusantara merupakan akulturasi budaya tiga bangsa
besar tersebut dengan budaya lokal Nusantara, termasuk budaya, adat tradisi Megengan di
wilayah pantura teurtama di Pati utara. Kemudian, apakah tradisi Megengan tersebut?
A. Devinisi dan istilah Megengan
Perlu diketahui bahwasanya istilah Megengan adalah suatu nama istilah adat
yang sudah mentradisi dan membudaya di wilayah Nusantara terutama di Jawa (Jawa
Tengan maupun Jawa Timur) yang dilaksanakan pada bulan Syaban atau Ruwah.
Perlu diketahui juga, istilah Megengan masih sulit dicari makna istilahnya di kamus,
karena istilah ini dikenal dan berkembang di masyarakat secara tutur atau lesan.
Namun ketika ditelaah secara etimologis, kata Megengan berasal dari bahasa Jawa
Megeng yang berarti Ngeker atau Menahan, Misalnya dalam ungkapan megeng
nafas, artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan
sebagainya. Secara Morfologis, dari kata Megeng Menjadi kata Megengan,
dengan ditambah akhiran -an mengandung arti Suatu Proses Kontinuitas(terus
menerus) dan juga pembentukan kata benda. Dikaitkan dengan konteks Ramadahan,
kata Megeng selaras dengan kata Shaum yakni Puasa, yang secara Etimologis juga
berarti Imsak atau menahan.
Dalam perspektif Fiqih, Shaum atau Puasa diartikan sebagai Proses
Menahan(megeng atau ngeker) diri atau hawa nafsu dari yang membatalkan puasa
seperti makan, minum dan hal hal yang membangkitkan Syahwat, serta hal hal
yang dapat membatalkannya. Maka secara Simbolik, Acara Megengan berarti berarti

semacam acara pembekalan untuk berpuasa serta menjadi penanda bahwa manusia
akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait
dengan makan, minum, dan hal hal yang membangkitkan Syahwat, serta hal hal
yang dapat membatalkannya. Sehingga secara bahasa Megengan berarti media untuk
mengerahkan sepenuh kemampuan dan menahan sekuat tenaga dalam melawan nafsu
dan gangguan, dalam hal ini dapat dipastikan untuk meraih kebaikan sebagaimana
yang diinginkan.
Pengambilan istilah ini, kalau ditelaah lebih lanjut, merupakan kearifan sang
empunya dalam mengakulturasikan istilah yang ada di Islam dan Jawa. Hal ini bisa
dilihat dari sudut pandang proses dan waktu pelaksanaan serta penyerapan istilahnya.
Dilihat dari sudut pandang proses dan waktu pelaksanaannya, tradisi ini dilaksanakan
di bulan Syaban dimana di bulan tersebut ada ajaran syariat tentang Nisfu Syaban
yang merupakan istilah nama bulan Islam dan dalam proses pelaksanaannya ada
proses nyadran atau kirim doa pada arwah leluhur. Tradisi ini sesuai dengan nama
istilah dibulan Jawa yaitu Ruwah. Sehingga tradisi Megengan ini sering dinamakan
Ruwahan. 1
Dilihat dari segi penyerapan istilah, secara etimologi, makna dari Megengan itu
semakna dengan arti Sya'ban. Syaban adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari
kata syi'ab yang artinya jalan di atas gunung. Dalam konteks kebahasaan ini, bulan
Syaban dapat dijadikan media dan waktu untuk menemukan banyak jalan, demi
mencapai kebaikan. Dengan demikian istilah Megengan adalah sebuah karya adi
luhung kearifan akulturasi istilah Islam-Jawa dari Si-Empunya yang semakna yaitu
sama-sama sebagai media pengerahan seluruh potensi kemampuan manusia untuk
mencapai kebaikan dan drajat yang mulia yang dilaksanakan pada bulan
Syaban/Ruwah berdasarkan ajaran Islam.
Sedangkan kalau dilihat dari sudut epistimologi, berdasarkan tutur lesan
masyarakat Tradisi Megengan adalah tradisi masyarakat Islam yang dilaksanakan
pada bulan Syaban/ Ruwah pada tanggal 15 Ruwah sampai menjelang puasa
Romadlon yang berupa kendurenan/ambengan/kondangan (saling memberi parcel
atau sodaqohan di lingkungan masing-masing baik secara individu maupun

1 Ilmiyyatuna, Tradisi Megengan dan Kue Apem Dalam menyambut Ramadhan. Diakses dari
http://ilmiyyatuna.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-megengan-dan-kue-apem-dalam.html pada tanggal 11 Maret 2016

berkelompok), kirim doa pada leluhur dan puasa sunah. Tradisi ini juga dikenal
dengan istilah Ruwahan. 2
B. Asal mula tradisi Megengan
Tradisi megengan sangan erat dengan tradisi nyadran karena dslam tradisi
megengan terdapat ritual nyadran. Menurut cerita, nyadran berasal dari tradisi
keagamaan Hindu yang disebut Sraddha, yaitu peringatan menghormati keluarga yang
telah meninggal dengan mendoakan kebaikan bagi arwah yang bersangkutan 12 tahun
setelah kematiannya. Pada masa Majapahit, upacara Sraddha terbesar dan termegah
diselenggarakan pada tahun 1387 Saka (1465 M) oleh Jiwanendradhipa (Raja Jiwan)
untuk memperingati 12 tahun wafatnya Bhre Pamotan Sang Sinagara, ayahandanya.
Ikut dalam upacara sakral itu para putera mendiang Bhre Pamotan Sang Sinagara,
yaitu Sri Natheng Kertabhumi, Naranatha ring Mataram, Sang Nurpati Pamotan, Sri
Parameswareng Lasem, Naranatha ring Kahuripan. Doa-doa disampaikan oleh para
raja itu dalam bentuk Gita dan kidung. Kemegahan dan kemuliaan peringatan
sraddha itu digambarkan dengan sangat indah oleh Pu Tanakung dalam kidung yang
disebut Banawa Sekar yaitu Perahu Bunga, yang menggambarkan bahwa sraddha
terindah yang dipersembahkan para raja itu adalah sraddha berbentuk perahu yang
dibuat dari bunga-bunga.
Di masa Wali Songo, tujuan dari tradisi ini pun diubah menjadi ritual mendoakan
orang tua yang telah meninggal dunia setahun sekali pada bulan Syaban yang diubah
dalam kalender Islam Jawa menjadi bulan Ruwah yakni bulan untuk berziarah.
Begitulah dari kata Sraddha menjadi sraddha-an yang dilafalkan nyeradhan yang
mengalami metatesis menjadi nyadran, menjadi tradisi yang dijalankan orang Islam
pada bulan Syaban atau Ruwah untuk ziarah mendoakan keluarga yang telah
mendahului ke alam baka.3
Diyakini

bahwa

Sunan

Kalijogo-lah

salah

satu

Wali

Songo

yang

memperkenalkan tradisi Megengan ini kepada masyarakat Jawa. Tradisi ini


diperkenalkan pada saat penyebaran Islam di Jawa (Jawa Timur dan Jawa Tengan
2 Sutrisno. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Pati: Kemby publising house
3 Pesantren global, Aneka Tradisi Ruwahan Menyambut Ramadhan diakses dari http://www.pesantrenglobal.com/anekatradisi-ruwahan-menyambut-ramadhan/ pada tanggal 11 Maret 2016

bagian selatan). Kanjeng Sunan berdakwah pada masyarakat Jawa pedalaman dengan
menggunakan metode akulturasi budaya (proses sosial budaya). Di mana saat itu,
Megengan sebenarnya adalah pembelokan dari adat lokal. Yang mana dahulu masih
adanya tradisi sesajen dalam ruwahan yang dipersiapkan khusus untuk arwah dan
tidak boleh dimakan. Namun, adat demikian tersebut perlahan dirubah oleh Kanjeng
Sunan dengan adat Megengan yaitu sesajen dirubah dengan shodaqah makanan, dan
makanan tersebut diperuntukkan untuk dibagikan dan dimakan bersama.
Dengan metode tersebut Sunan Kalijogo dapat berbaur dengan masyarakat dan
memperkenalkan Megengan sebagai ganti dari ruwahan. Seperti yang telah kita kenal
selama ini, masyarakat Jawa pedalaman memiliki ikatan tradisi yang sangat kuat dan
ungguh-ungguh mereka sangat dijaga terhadap orang yang lebih tua dan terutama
pemuka agama. Namun akan sangat sulit apabila diharuskan meninggalkan tradisi
Ruwahan dan diganti dengan traidisi Islam yang berbau Arab meski Megengan adalah
syukur dan doa. Dalam hal ini pembelokan adat tersebut dianggap masih bisa dan
masih sesuai dengan syariat Islam. Tradisi megengan secara pasti kapan dimulainya
memang masih belum ada data yang pasti yang bisa dijadikan rujukan. Tradisi ini
dimungkinkan pada masa wali songo terutama sunan kalijogo sekitar abad ke-15,
abad ke-16, hal ini bisa diindikasi dari sejarah penyebaran agama yang dilakukan oleh
wali songo yang model dakwahnya menggunakan metode pensublimasian nilai-nilai
ajaran Islam kedalam adat tradisi masyarkat nusantara khusunya Jawa yang notabene
beragama Hindu-Budha.4
C. Hakekat makna megengan
Bulan Ramadhan adalah bulan puncak, di mana sebelum adanya bulan
Ramadhan kita akan melewati beberapa tahapan di bulan sebelumnya dan kita akan
kembali fitri setelah sebulan berpuasa Ramadhan. Dan hadirnya Megengan salah
satunya ialah momentum untuk mengingat bahwa kita akan menjalani puasa selama
satu bulan. Di mana satu bulan puasa tersebut adalah menjadi bulan yang diagungkan.
Dalam tataran agama, megengan dipakai sebagai tanda kesiapan mental menyambut
Ramadhan. Salah satunya yakni latihan suka sedekah. Karena banyak sekali
keutamaan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Di antaranya yaitu
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-quran,adanya malam lailatul qodar, dll.
4 Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo, cet I, Depok: PustakaII. MaN

Dan karena keistimewaan bulan tersebut sehingga dijadikannya momentum yang


tepat untuk memperoleh keberkahan dari Allah SWT.
Tradisi Megengan adalah subuah akulturasi budaya Islam dengan budaya lokal
di Nusantara, sehingga dalam pelaksanaannya, tradisi ini sangat beragam bentuknya,
namun secara umum adalah perpaduan tiga ajaran yaitu shodaqohan, nyadran dan
doa leluhur,5 dan puasa sunah yang dilaksanakan mulai tanggal 15 Ruwah sampai
menjelang malam Puasa. Ketiga bentuk tradisi tersebut sampai sekarang masih lestari
di masyarakat Nusantara apalagi acara Nisfu Syaban. Karena ketiga amalan tersebut
merupakan amalan asli bangsa ini sebelum datangnya Islam yaitu kendurenan,
nyadran dan puasa. Sehingga ketika Islam datang dengan membawa ajaran yang sama
maka secara lahiriyah dan batiniyah bangsa ini merasa anderbeni atau memiliki
tradisi tersebut, apalagi masa sekarang yang hampir seluruh sendi ajaran Islam
disampaikan dan diajarkan secara massif oleh para juru dakwah.
D. Bentuk prosesi tradisi Megengan
Dalam Pelaksanaannya, Tradisi Megengan di berbagai Daerah di Pulau Jawa
tidaklah selalu sama dan setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dalam
melestarikannya, namun secara umum Tradisi ini diwujudkan dalam Upacara
Selamatan khas Jawa, dimana tiap-tiap kepala keluarga mengundang para tetangga
untuk bersama-sama menikmati hidangan makanan yang sebelumnya memang telah
disiapkan, dimulai dengan mekanisme doa yang dipimpin oleh seorang imam yang
telah dipilih. Dalam Tradisi Megengan, terdapat kue yang menjadi ciri khas atau
simbol dari tradisi tersebut, yakni Kue Apem. Tradisi Megengan juga digunakan
sebagai ajang silaturrahim dengan membagikan Kue Apem yang disimbolkan sebagai
permintaan maaf sebelum memasuki Bulan Suci Ramadhan.
Selain Ritual Selamatan, dalam Tradisi Megengan juga dihiasi dengan ragam
kegiatan seperti Kerja Bakti, Ziarah Kubur, Bersedekah dan lain-lain. di Kabupaten
Demak, Tradisi Megengan dilestarikan dengan keunikan tersendiri, dimana terdapat
Pasar Tiban yang ditempatkan di Alun-alun Demak, berbagai makanan dijual oleh
para pedagang dadakan. Penjual yang demikian sebelumnya tidak pernah membuka
warung. Namun, begitu ada megengan mereka berjualan. Mereka menjajakan

5 Amin, Darori dkk, 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media

masakan dengan menu-menu khas yang jarang dijumpai di hari-hari biasa. Warga
sekitar mendatangi event ini untuk memuaskan diri di dalam icip-icip masakan.6
Berbeda halnya dengan tradisi megengan didaerah lain misalnya di Pati Utara
dan di lereng gunung Murya/Sapto Argo (Tempur dan sekitarnya, ritual Megengan
yang dianggap syakral adalah pada saat nisfu syaban dimana masyarakat Islam samasama melaksanakan puasa sunah selanjutnya pada malamnya secara bersama-sama
datang ke masjid atau musholla di sekitarnya dengan membawa ambengan untuk
proses kendurenan dan membaca surat Yasin tiga kali dengan dipandu oleh tokoh
agama setempat. Sedangkan pelaksanaan nyadran ataupun mendoakan para leluhur
dilaksanakan sehari menjelang bulan Romadlon. Namun di tempat lain, ada yang
memisahkan prosesi puasa dan baca surat Yasin pada malam nisfu syaban dengan
kendurenan dan nyadran. Yaitu kendurenan dilaksanakan di rumah masing-masing,
sedangkan mendoakan para arwah leluhur di jamak secara masal di Masjid atau
Musholla masing-masing wilayah, dengan dimulainya pembacaan arwah, infaq
seikhlashnya, dan dilanjutkan tahlil bersama. Sehingga tradisi ini sering disebut
dengan Ruwahan Masal. 7
Bentuk keragaman Megengan yang lain, contohnya di daerah Tempur Keling
Jepara dan sekitarnya selain melaksanakan ketiga adat tradisi tersebut, juga ada ritual
khusus untuk lingkungan dan alam sekitar semisal tempat-tempat yang berhubungan
erat dengan kebutuhan manusia, air, sumber, sungai dan pohon-pohon lindung.
Semuanya diselameti dengan ritual khusus dengan doa selamet termasuk pada hewan
piaraannya. Semua itu dilaksanakan terutama menjelang bulan puasa. Masyarakat ini
melaksanakan tradisi tersebut sebagai cara menghormati datangnya bulan Romadlon.
Mereka berkeyakinan untuk menjalankan ibadah puasa, mereka harus menyiapkan
diri dengan berbuat baik pada sesama, alam dan lingkungannya. Walau bagaimanapun
keragaman tata cara dan bentuknya tradisi tersebut, tetap dalam koridor syariat Islam
dalam konteks budaya Nusantara.8

6 Zain, Tradisi Megengan Masyarakat Jawa diakses dari http://zainbie.com/tradisi-megengan-masyarakat-jawa/ pada


tanggal 07 Maret 2016

7 Sutrisno. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Pati: Kemby publising house

E. Tinjaun makna dan simbol-simbol dalam Tradisi Megengan


1. Simbol Megengan
Simbol megengan mempunyai pesan simbolik yang sangat dalam.
Megengan mempunyai makana menahan, dalam tradisi lisan masyarakat pengguna
bahasa Jawa (speech community) kata megeng selalu terkait dengan megeng nafas
yang mempunyai makna terasa berat, meskipun berat harus ditahan selayaknya
orang menghirup nafas. Idiomatik megeng juga sepadan dalam penggunaan kata
Ramadan secara lughat yang berarti imsak, kata imsak dalam tradisi pesantren
salaf yang biasa memaknai kitab dengan leksikal berbahasa Jawa, kata imsak
diartikan dengan ngeker atau menahan yang di dalamnya ada unsur pengikatan
yang kuat dan kukuh. Dari kajian secara morfologis dari kata megeng hingga
menjadi kata megengan yang ditambah sufiks (akhiran) an diakhir kata
mengandung arti proses yang terus menerus dan juga pembentukan kata benda.Dari
kajian morfologis di atas kata megeng senafas dengan kata imsak, puasa dalam
kacamata fikih diartikan proses menahan (megeng) dari yang membatalkan puasa
seperti makan, minum dan hal-hal yang membangkitkan syahwat, tetapi bila di kaji
lebih dalam penggunaan katamegeng, puasa tidak hanya menahan yang
membatalkan secara dhohir (fisik; makan, minum dll), melainkan hal-hal yang
lembut dan batiniah seperti lembutnya tarikan nafas yang keluar masuk hidung
yang setiap hari kita hirup, harus juga kita tahan, bila kita jabarkan lebih luas puasa
tidak hanya menahan hal-hal yang membatalkan puasa saja, tetapi juga menahan
kebiasan-kebiasan setiap hari yang bersifat batiniah dan ukhrowi. Dalam kacamata
ini puasa lebih bersifat latihan rasa yang mencakup dimensi batiniah, maka tidak
heran dalam jarwa dhosok bahasa Jawa poso berarti ngempet roso ada juga yang
mengartikan ngeposke roso yang mempunyai makna memberhentikan rasa.
Dengan pemaknaan puasa Ramadan yang lebih dimaknai olah rasa yang bersifat
batiniah melalui tradisi megengan ulama terdahulu mengajarkan kita untuk

8 Sutrisno. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Pati: Kemby publising house. hlmn 19

memaknai puasa Ramadan sebagai ritual yang sakral dengan cara menggelar tradisi
megengan.9

2. Simbol Puasa
Simbol puasa dalam tradisi megengan mempunyai makna pembentukan
karakteristik moral dan spiritual yang unik dalam Islam. Secara harfiah Puasa
dalam islam didefinisikan untuk menjauhkan diri "sepenuhnya" dari makanan,
minuman, hubungan intim dan merokok, mulai dari dari fajar sampai matahari
terbenam. Puasa juga mempunyai makna tentang belajar merasakan kondisi
keterbatasan.
Ibadah puasa Ramadan melatih kita dalam mengasah kepekaan dan
kepedulian kita terhadap sesama. Selama sebulan penuh umat Islam dianjurkan
untuk lebih banyak perenungan dan menahan diri (imsk), yaitu mengendalikan
segala macam bentuk godaan nafsu syahwat dan duniawi. Rasa lapar dan haus
yang kita alami sejak terbit fajar hingga terbenam matahari setidaknya menggugah
hati dan jiwa kita, betapa banyak saudara kita yang kurang beruntung telah terlebih
dahulu merasakan lapar dan haus.10
Seorang mukmin, yang melakukan puasa dengan ikhlas, hatinya akan
terketuk melihat penderitaan orang lain dan berusaha memberi pertolongan kepada
mereka yang memang sangat membutuhkan pertolongan. Karena itu, seseorang
yang ingin nilai puasanya tinggi di sisi Allah, tidak hanya akan melakukan puasa
dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan (pahala ibadah) puasa itu,
tetapi lebih dari itu, ia akan mengisi puasanya dengan mempertajam kepekaan
sosialnya.
3. Simbol Membaca Al-Quran
Simbol membaca Al-Quran dalam ritual barian merupakan bentuk
akulturasi anatara budaya lokal (Jawa) dengan budaya Islam. Membaca Al-Quran
bagi umat Islam akan menemukan ketenangan. Semua orang pasti menghendaki
ketenangan, dan hal itu dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, salah satunya
adalah dengan membaca AlQur-an. Membaca Al-Quran juga sebagai media
9 Wahyu Widodo, Tradisi Megengan Dan Ulama diakses dari http://wahyuheningdiri.blogspot.co.id/2008/12/tradisimegengan-dan-ulama.html pada tanggal 10 Maret 2016

10 Penerbit erlangga, Esensi Ketuhanan dan Sosial dalam Ibadah Puasa, diakses dari
http://www.erlangga.co.id/agama/7069-esensi-ketuhanan-dan-sosial-dalam-ibadah-puasa.html pada tanggal 10 Maret 2016

berkomunikasi kepada Allah melalui ayat-ayatnya seorang hamba berinteraksi


denganNya. Dalam ritual megengan surat Al-Quran yang sering dibaca adalah
surat Yasin. Pembacaan Surat Yasin menyiratkan makana tentang mengingat
kematian dimana dalam ajaran Islam ada anjuran untuk membacakan Yasin pada
orang yang akan dan meninggal dunia.
4. Simbol Nyadran [Mendoakan arwah]
Simbol Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta,
sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh
masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari
kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya
yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa
kenduri selamatan.
Naydran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan
Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan adalah:
Menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan
doa, kemudian ditutup dengan makan bersama, Melakukan besik, yaitu
pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan serta melakukan ziarah
kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di area makam. Secara
simplistik dapat kita gambarkan bahwa Nyadran merupakan komunikasi simbolik
yang mengandung pesan tentang ajaran kesalehan seorang anak terhadap orang tua
yang telah meninggal dunia.

5. Simbol Kenduren
Kenduri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perjamuan
makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah,dan sebagainya. Kenduri
atau yang lebih dikenal dengan sebuatan Selamatan atau Kenduren (sebutan
kenduri bagi masyarakat Jawa) telah ada sejak dahulu sebelum masuknya agama ke
Nusantara. Dalam praktikya, kenduri merupakan sebuah acara berkumpul, yang
umumnya dilakukan oleh laki-laki, dengan tujuan meminta kelancaran atas segala
sesuatu yang dihajatkan dari sang penyelenggara yang mengundang orang-orang

sekitar untuk datang yang dipimpin oleh orang yang dituakan atau orang yang
memiliki keahlian dibidang tersebut, Seperti : Kiyai.11
Dalam kegiatan kenduri nasi ambeng menjadi salah satu perangkat ritual
tradisi megengan. Ambengan merupakan hidangan khas Jawa berupa nasi putih
yang diletakkan di atas tampah dan diberi lauk pauk di sekelilingnya. Lauk pauk
dapat berupa perkedel, ikan asin goreng, rempeyek, sambal goreng, telur rebus,
tempe goreng, urap, bihun goreng, dan opor ayam. Nasi ambeng adalah hidangan
yang disajikan dalam selamatan sebagai lambang keberuntungan. Nasi dimakan
beramai-ramai oleh empat hingga lima orang dewasa. Nasi dimakan dengan
memakai dengan tangan telanjang, tanpa sendok dan garpu. Penyajian nasi ambeng
mengandung permohonan agar semua pihak yang turut serta dikaruniai banyak
rezeki. Dari sini dapat diambil ikhtisar bahwa tradisi ambengan ini merupakan
pesan komunikasi simbolik yang memberikan makna tentang budaya sedekah dan
berbagi dengan sesama yang penuh dengan nuansa egaliter, kesederhanaan dan
kepedulian sosial
6. Simbol Kue Apem12
Kue Apem, dikatakan bahwa keberadaan Kue Apem ini memiliki makna tersendiri
dalam kaitannya dengan Megengan, ada yang mengatakan bahwa istilah Apem
berasal dari kata Afwan (bahasa arab) yang tediri dari huruf ain, fa, wau, biasa
kalau berdiri sendiri didepannya ada huruf alif dan lam, yang dibaca al-afwa,
yang artinya maaf. berangkat dari pemaknaan tersebut Kue Apem yang
disimbolkan sebagai permintaan maaf sebelum memasuki Bulan Suci Ramadhan.13
F. Landasan hukum Islam dalam ritual megengan14
Dalam hal ini, Ulama memberikan pandangan dan fatwanya yang sekiranya
dapat dijadikan pijakan dalam pelaksanan tradisi ini. Dalam konteks sunnah, bulan
Syaban yang terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, terdapat berbagai
11 Wikipedia, kenduri siakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kenduri pada tanggal 10 Maret 2016
12Ilmiyyatuna, Tradisi Megengan dan Kue Apem Dalam menyambut Ramadhan. Diakses dari
http://ilmiyyatuna.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-megengan-dan-kue-apem-dalam.html pada tanggal 11 Maret 2016
13Ilmiyyatuna, Tradisi Megengan dan Kue Apem Dalam menyambut Ramadhan. Diakses dari
http://ilmiyyatuna.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-megengan-dan-kue-apem-dalam.html pada tanggal 11 Maret 2016

14 Ngalah Ponpes. 2010. Fiqih Galak Gampil, Menggali Tradisi Islam Ala Indonesia. Pasuruan: Ngalah Press

keutamaan yang menyangkut peningkatan kualitas kehidupan umat Islam, baik


sebagai individu maupun dalam lingkup kemasyarakatan terutama untuk memperkuat
uhwah dan keimanan. Disisi lain, umat Islam dapat mulai mempersiapkan diri
menjemput datangnya bulan termulia dengan penuh suka cita dan pengharapan
anugerah dari Allah SWT karena telah mulai merasakan suasana kemuliaan datangnya
bulan Romadlon.
Pandangan dan fatwa Ulama tentang tradisi Megengan ini berpegangan pada
hadits, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yaitu :

) (
Bulan Sya'ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya
antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Syaban adalah bulan
diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya
amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa(HR Abu Dawud dan Nasai ra.)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pengakuan Aisyah, bahwa Rasulullah
SAW tidak pernah berpuasa (sunnah) lebih banyak daripada ketika bulan Syaban.
Periwayatan ini kemudian mendasari kemuliaan bulan Syaban di antara bulan Rajab
dan Ramadhan. Karenanya, pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk
memperbanyak berdzikir dan meminta ampunan serta pertolongan dari Allah SWT.
Pada bulan ini, sungguh Allah banyak sekali menurunkan kebaikan-kebaikan berupa
syafaat (pertolongan), maghfirah (ampunan), dan itqun min adzabin naar
(pembebasan dari siksaan api neraka).
Kaum Muslimin meyakini bahwa pada malam nisfu syban ini, dua malaikat
pencatat amalan keseharian manusia, yakni Raqib dan Atid, menyerahkan catatan
amalan manusia kepada Allah SWT, dan pada malam itu pula buku catatan-catatan
amal yang digunakan setiap tahun diganti dengan yang baru.
Imam Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Syaban sebagai malam yang penuh
dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan Syaban
Allah SWT memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan pada
malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian, pada
malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup
catatan amalnya selama satu tahun. Karepa pada malam ke-15 bulan Syaban inilah,
catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah SWT.

Para ulama menyatakan bahwa Nisfu Syaban juga dinamakan sebagai malam
pengampunan atau malam maghfirah, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan
pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang
saleh.
Dengan demikian, kita sebagai umat Islam semestinya tidak melupakan begitu
saja, bahwa bulan syaban dalah bulan yang mulia. Sesungguhnya bulan Syaban
merupakan bulan persiapan untuk memasuki bulan suci Ramadhan. Dari sini, umat
Islam dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan mempertebal keimanan dan
memanjatkan doa dengan penuh kekhusyukan.
Dari keterangan diatas, dapat dipahami bahwa peringatan bulan syaban
(syabanan atau nisfu syaban) tidak bertentangan dengan ajaran agama, karena Nabi
pun sendiri memperingati dan memulyakan dengan berpuasa.
Sedangkan tradisi Nyadran menjelang bulan Romadlon adalah suatu bentuk
perwujudan pelaksanaan hormat datangnya bulan Romadlon, sebagaimana sunan
kudus membuat tradisi Dandangan di Kudus. Sedangkan dalil yang mendukung
tradisi ini adalah Sebagaimana keterangan yang terdapat pada kitab Tanbih AlGhofilin, Bab Fadli Syahri Romadlon, hal. 118 119. yang secara garis besarnya,
ketika akan datangnya bulan Romadlon yaitu ahir bulan Syaban Rasulullah SAW.
selalu memberikan ceramah dan khabar yang menggembirakan tentang akan
datangnya bulan Romadlan, bulan yang penuh berkah, dan semua keutamaankeutamaan yang dimilikinya kepada para Sahabat. Lebih lanjut, diriwayatkan juga,
hal senada dilakukan oleh Sayidina Umar bin Khotob. Sahabat Umar bin Khotob
ketika akan datangnya bulan Ramadlon, Beliau mengucapkan : Marhaban Ya
Ramadlon.
Tabir yang menerangkan dianjurkannya memperingati akan datangnya bulan
Ramadlan, sebagaimana berikut ini :

.

.

, ) .
( -

Sedangkan dalam konteks ziarah kuburnya (Nyadran), Ulama memberikan


pandangan dan fatwa diperbolehkannya ziarah kubur dengan hujah yang dapat
dijadikan pegangan. Yaitu berdasarkan riwayat pada masa awal islam, Rasulallah
memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga akidah umat Islam. Namun setelah akidah umat Islam dirasa sudah
kuat dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik, maka Rasulallah membolehkan
para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Karena ziarah kubur dapat membantu
orang yang hidup mengingat saat kematiannya. Sebagaimana sabda Nabi SAW :

( , ) . ,
Dari Buraidah ia berkata, Rasulallah bersabda; saya pernah melarang tamu
berziarah kubur. Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke
makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat
mengingatkan kamu pada akhirat.(Sunan al-Tirmidzi, [974])
Dengan adanya dalil Islami yang mendukung ritual tradisi tersebut,
menunjukkan bahwa tradisi Megengan adalah karya adi luhung pendahulu kita dalam
mengemas ajaran menjadi sebuah tradisi yang elegan dan mempunyai nilai-nilai luhur
sebagai sebuah bangsa yang berbudaya tinggi lagi beradab. Dengan bukti terjadi
proses akulturasi budaya yang tidak saling melukai antar budaya namun saling
member makna. Kemudian, bagaimanakah nilai-nilai yang terkandung pada tradisi
Megengan?
G. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi megengan
Melihat tradisi Megengan adalah salah satu bentuk kajian sosial fenomenologis
agama dan budaya, maka dalam kajian ini sekurang-kurangnya harus mencakup tiga
unsur nilai yaitu nilai filosofis, nilai edukatif dan nilai sosial-relegius. Dengan
demikian, maka tradisi Megengan -pun tanpa sadar memiliki kandungan tiga unsur
nilai tersebut.
a. Nilai filosofis
Nilai filosofis merupakan nilai pokok atau pondasi dasar sebagai sebuah
tradisi. Hal ini dapat dilihat dari rumusan dasar yang diajadikan pijakan dan rekam
jejak historis. Sebagaimana diketahui bersama, rumusan dasar yang dijadikan
pijakan adalah dalil-dalil syai dan ideologi/kepercayaan yang sudah mendarah
daging mulai nenek moyang sampai sekarang ini yaitu dalam bentuk sebuah

keimanan dan ritual keimanan. Dalam konteks tradisi ini berupa adat nyadran,
kendurenan dan puasa.
Sedangkan rekam jejak historis,

tradisi Megengan masih sukar untuk

ditemukan kapan mulainya, namun ketika ditelaah dengan membaca proses


perkembangan fenomenologis sejarah budaya bangsa, akan ditemukan titik-titik
pertemuan maha karya agung ini yaitu pada masa babad jawa Islam. Hal ini dapat
dilihat secara kajian teoritis, dimana Islam datang berdasarkan teorinya dari bangsa
besar yang sudah mempunyai peradaban yaitu Arab, Persia dan India. Mereka
membawa Islam dengan budaya bangsanya. Pada saat itu Nusantara sudah
memiliki peradaban baik yang bercorak Aninisme, Dinanisme sampai Hidhuisme
dan Budhisme serta Theisme semisal agama katempayan. Sehingga ketika Islam
datang terutama ketika di bawa oleh Wali Songo yang notabene ahli diberbagai
bidang keilmuan, bukan cuma ahli agama, maka terjadilah kearifan lokal adat
tradisi yang berbentuk akulturasi budaya. Hal ini terjadi karena belajar dari
kegagalan ratusan Wali ada yang mengatakan 500 Wali (ahli dakwah Islam) yang
gagal dalam mengislamkan Nusantara terutama Jawa sebelum Dewan Wali Songo.
Berdasar atas akar filosofis yang melandasi terjadinya sebuah akulturasi
budaya termasuk tradisi Megengan di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang
terkandung dalam unsur nilai filosofis adalah adanya nilai keimanan, nilai
kemanusiaan dan nilai toleransi serta nilai-nilai kearifan lokal dan kearifan
lingkungan.
b. Nilai edukatif
Nilai edukatif adalah nilai-nilai pendidikan. Dimana pendidikan adalah
bimbingan secara sadar untuk membentuk kepribadian yang utuh dan berkarakter.
Tradisi Megengan merupakan sebuah khazanah budaya Islam Nusantara yang adi
luhung, sehingga dapat dipastikan adanya proses yang mengarah kepada
pembentukan kepribadian dan karakter bangsa secara utuh baik dari aspek kognitif,
afektif maupun psikomotorik.
Ketiga aspek terpenting dalam kependidikan tersebut, hakekatnya sudah
teraplikasikan secara natural di setiap individu umat Islam di Nusantara. Karena
Megengan sudah menjadi tradisi yang mengurat nadi di Indonesia. Semisal nilainilai kognitif, tradisi megengan menjadi media penyampaian syariat Islam yang
membumi dengan kultur budaya. Dari aspek nilai-nilai afektif, tanpa sadar
masyarakat muslim mengamalkan dan mengembangkan sikap toleransi, sikap
kemanusian dan bahkan sikap kepedulianakan pelestarian alam dan lingkungan.

Dari aspek nilai-nilai psikomotorik, tradisi Megengan sudah tidak lagi berbicara
teoritik namun sudah sampai pada aplikatif laboratik yaitu meleksanakan akulturasi
budya lokal dan Islam yang sampai membentuk jiwa toleran, jiwa relegius dan jiwa
berkarakter keIslaman dan kenusantaraan.
c. Nilai sosial-relegius.
Nilai sosial relegius merupakan nilai-nilai yang bersumber atas dasar
fenomena sosial keagamaan baik sebagai komunal maupun prifat serta
berhubungan erat dengan nilai hubungan vertical dan horizontal, maka tradisi
Megengan mempunyai banyak hal yang tersirat yang mengandung nilai-nilai luhur
didalamnya. Fenomenologis sosial dan keagamaan masyarakat pelestari tradisi ini,
walaupun banyak berkembang di daerah-daerah pedalaman dan pantura, walau
bagaimanapun tetap mempunyai peranan yang kuat dalam tatanan sosial yang
berkembang.
Dengan konteks dan latar demikian maka lahirlah nilai-nilai sosial-relegius
yang mapan pada masyarakat ini. Unsur dan nilai social-relegius ini ahirnya
menjadikan karakter tersendiri bagi masyarakatnya. Semisal nilai social relegius
secara vertical akan membawa dampak bagi pelaku pelestari tradisi ini sebagai
insan yang kamil, insan yang yang mempunyai daya keimanan yang tinggi

DAFTAR PUSTAKA
Sutrisno. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Pati: Kemby publising house
Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo, cet I, Depok: PustakaII. MaN
Ngalah Ponpes. 2010. Fiqih galak gampil, menggali tradisi islam ala indonesia. Pasuruan:
Ngalah Press.
Amin,
Media

Darori

dkk,

2000.

Islam

dan

Kebudayaan

Jawa,

Yogyakarta:

Gama

Zain, Tradisi Megengan Masyarakat Jawa diakses dari http://zainbie.com/tradisimegengan-masyarakat-jawa/ pada tanggal 07 Maret 2016
Wikipedia. Kenduri. diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kenduri pada tanggal 10
Maret 2016
Wahyu Widodo, Tradisi Megengan Dan Ulama diakses dari
http://wahyuheningdiri.blogspot.co.id/2008/12/tradisi-megengan-dan-ulama.html pada
tanggal 10 Maret 2016
Penerbit erlangga, Esensi Ketuhanan dan Sosial dalam Ibadah Puasa, diakses dari
http://www.erlangga.co.id/agama/7069-esensi-ketuhanan-dan-sosial-dalam-ibadahpuasa.html pada tanggal 10 Maret 2016
Ilmiyyatuna, Tradisi Megengan dan Kue Apem Dalam menyambut Ramadhan. Diakses
dari http://ilmiyyatuna.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-megengan-dan-kue-apem-dalam.html
pada tanggal 11 Maret 2016
Pesantren global, Aneka Tradisi Ruwahan Menyambut Ramadhan diakses dari
http://www.pesantrenglobal.com/aneka-tradisi-ruwahan-menyambut-ramadhan/ pada tanggal
11 Maret 2016

Вам также может понравиться