Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
semacam acara pembekalan untuk berpuasa serta menjadi penanda bahwa manusia
akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait
dengan makan, minum, dan hal hal yang membangkitkan Syahwat, serta hal hal
yang dapat membatalkannya. Sehingga secara bahasa Megengan berarti media untuk
mengerahkan sepenuh kemampuan dan menahan sekuat tenaga dalam melawan nafsu
dan gangguan, dalam hal ini dapat dipastikan untuk meraih kebaikan sebagaimana
yang diinginkan.
Pengambilan istilah ini, kalau ditelaah lebih lanjut, merupakan kearifan sang
empunya dalam mengakulturasikan istilah yang ada di Islam dan Jawa. Hal ini bisa
dilihat dari sudut pandang proses dan waktu pelaksanaan serta penyerapan istilahnya.
Dilihat dari sudut pandang proses dan waktu pelaksanaannya, tradisi ini dilaksanakan
di bulan Syaban dimana di bulan tersebut ada ajaran syariat tentang Nisfu Syaban
yang merupakan istilah nama bulan Islam dan dalam proses pelaksanaannya ada
proses nyadran atau kirim doa pada arwah leluhur. Tradisi ini sesuai dengan nama
istilah dibulan Jawa yaitu Ruwah. Sehingga tradisi Megengan ini sering dinamakan
Ruwahan. 1
Dilihat dari segi penyerapan istilah, secara etimologi, makna dari Megengan itu
semakna dengan arti Sya'ban. Syaban adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari
kata syi'ab yang artinya jalan di atas gunung. Dalam konteks kebahasaan ini, bulan
Syaban dapat dijadikan media dan waktu untuk menemukan banyak jalan, demi
mencapai kebaikan. Dengan demikian istilah Megengan adalah sebuah karya adi
luhung kearifan akulturasi istilah Islam-Jawa dari Si-Empunya yang semakna yaitu
sama-sama sebagai media pengerahan seluruh potensi kemampuan manusia untuk
mencapai kebaikan dan drajat yang mulia yang dilaksanakan pada bulan
Syaban/Ruwah berdasarkan ajaran Islam.
Sedangkan kalau dilihat dari sudut epistimologi, berdasarkan tutur lesan
masyarakat Tradisi Megengan adalah tradisi masyarakat Islam yang dilaksanakan
pada bulan Syaban/ Ruwah pada tanggal 15 Ruwah sampai menjelang puasa
Romadlon yang berupa kendurenan/ambengan/kondangan (saling memberi parcel
atau sodaqohan di lingkungan masing-masing baik secara individu maupun
1 Ilmiyyatuna, Tradisi Megengan dan Kue Apem Dalam menyambut Ramadhan. Diakses dari
http://ilmiyyatuna.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-megengan-dan-kue-apem-dalam.html pada tanggal 11 Maret 2016
berkelompok), kirim doa pada leluhur dan puasa sunah. Tradisi ini juga dikenal
dengan istilah Ruwahan. 2
B. Asal mula tradisi Megengan
Tradisi megengan sangan erat dengan tradisi nyadran karena dslam tradisi
megengan terdapat ritual nyadran. Menurut cerita, nyadran berasal dari tradisi
keagamaan Hindu yang disebut Sraddha, yaitu peringatan menghormati keluarga yang
telah meninggal dengan mendoakan kebaikan bagi arwah yang bersangkutan 12 tahun
setelah kematiannya. Pada masa Majapahit, upacara Sraddha terbesar dan termegah
diselenggarakan pada tahun 1387 Saka (1465 M) oleh Jiwanendradhipa (Raja Jiwan)
untuk memperingati 12 tahun wafatnya Bhre Pamotan Sang Sinagara, ayahandanya.
Ikut dalam upacara sakral itu para putera mendiang Bhre Pamotan Sang Sinagara,
yaitu Sri Natheng Kertabhumi, Naranatha ring Mataram, Sang Nurpati Pamotan, Sri
Parameswareng Lasem, Naranatha ring Kahuripan. Doa-doa disampaikan oleh para
raja itu dalam bentuk Gita dan kidung. Kemegahan dan kemuliaan peringatan
sraddha itu digambarkan dengan sangat indah oleh Pu Tanakung dalam kidung yang
disebut Banawa Sekar yaitu Perahu Bunga, yang menggambarkan bahwa sraddha
terindah yang dipersembahkan para raja itu adalah sraddha berbentuk perahu yang
dibuat dari bunga-bunga.
Di masa Wali Songo, tujuan dari tradisi ini pun diubah menjadi ritual mendoakan
orang tua yang telah meninggal dunia setahun sekali pada bulan Syaban yang diubah
dalam kalender Islam Jawa menjadi bulan Ruwah yakni bulan untuk berziarah.
Begitulah dari kata Sraddha menjadi sraddha-an yang dilafalkan nyeradhan yang
mengalami metatesis menjadi nyadran, menjadi tradisi yang dijalankan orang Islam
pada bulan Syaban atau Ruwah untuk ziarah mendoakan keluarga yang telah
mendahului ke alam baka.3
Diyakini
bahwa
Sunan
Kalijogo-lah
salah
satu
Wali
Songo
yang
bagian selatan). Kanjeng Sunan berdakwah pada masyarakat Jawa pedalaman dengan
menggunakan metode akulturasi budaya (proses sosial budaya). Di mana saat itu,
Megengan sebenarnya adalah pembelokan dari adat lokal. Yang mana dahulu masih
adanya tradisi sesajen dalam ruwahan yang dipersiapkan khusus untuk arwah dan
tidak boleh dimakan. Namun, adat demikian tersebut perlahan dirubah oleh Kanjeng
Sunan dengan adat Megengan yaitu sesajen dirubah dengan shodaqah makanan, dan
makanan tersebut diperuntukkan untuk dibagikan dan dimakan bersama.
Dengan metode tersebut Sunan Kalijogo dapat berbaur dengan masyarakat dan
memperkenalkan Megengan sebagai ganti dari ruwahan. Seperti yang telah kita kenal
selama ini, masyarakat Jawa pedalaman memiliki ikatan tradisi yang sangat kuat dan
ungguh-ungguh mereka sangat dijaga terhadap orang yang lebih tua dan terutama
pemuka agama. Namun akan sangat sulit apabila diharuskan meninggalkan tradisi
Ruwahan dan diganti dengan traidisi Islam yang berbau Arab meski Megengan adalah
syukur dan doa. Dalam hal ini pembelokan adat tersebut dianggap masih bisa dan
masih sesuai dengan syariat Islam. Tradisi megengan secara pasti kapan dimulainya
memang masih belum ada data yang pasti yang bisa dijadikan rujukan. Tradisi ini
dimungkinkan pada masa wali songo terutama sunan kalijogo sekitar abad ke-15,
abad ke-16, hal ini bisa diindikasi dari sejarah penyebaran agama yang dilakukan oleh
wali songo yang model dakwahnya menggunakan metode pensublimasian nilai-nilai
ajaran Islam kedalam adat tradisi masyarkat nusantara khusunya Jawa yang notabene
beragama Hindu-Budha.4
C. Hakekat makna megengan
Bulan Ramadhan adalah bulan puncak, di mana sebelum adanya bulan
Ramadhan kita akan melewati beberapa tahapan di bulan sebelumnya dan kita akan
kembali fitri setelah sebulan berpuasa Ramadhan. Dan hadirnya Megengan salah
satunya ialah momentum untuk mengingat bahwa kita akan menjalani puasa selama
satu bulan. Di mana satu bulan puasa tersebut adalah menjadi bulan yang diagungkan.
Dalam tataran agama, megengan dipakai sebagai tanda kesiapan mental menyambut
Ramadhan. Salah satunya yakni latihan suka sedekah. Karena banyak sekali
keutamaan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Di antaranya yaitu
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-quran,adanya malam lailatul qodar, dll.
4 Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo, cet I, Depok: PustakaII. MaN
5 Amin, Darori dkk, 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media
masakan dengan menu-menu khas yang jarang dijumpai di hari-hari biasa. Warga
sekitar mendatangi event ini untuk memuaskan diri di dalam icip-icip masakan.6
Berbeda halnya dengan tradisi megengan didaerah lain misalnya di Pati Utara
dan di lereng gunung Murya/Sapto Argo (Tempur dan sekitarnya, ritual Megengan
yang dianggap syakral adalah pada saat nisfu syaban dimana masyarakat Islam samasama melaksanakan puasa sunah selanjutnya pada malamnya secara bersama-sama
datang ke masjid atau musholla di sekitarnya dengan membawa ambengan untuk
proses kendurenan dan membaca surat Yasin tiga kali dengan dipandu oleh tokoh
agama setempat. Sedangkan pelaksanaan nyadran ataupun mendoakan para leluhur
dilaksanakan sehari menjelang bulan Romadlon. Namun di tempat lain, ada yang
memisahkan prosesi puasa dan baca surat Yasin pada malam nisfu syaban dengan
kendurenan dan nyadran. Yaitu kendurenan dilaksanakan di rumah masing-masing,
sedangkan mendoakan para arwah leluhur di jamak secara masal di Masjid atau
Musholla masing-masing wilayah, dengan dimulainya pembacaan arwah, infaq
seikhlashnya, dan dilanjutkan tahlil bersama. Sehingga tradisi ini sering disebut
dengan Ruwahan Masal. 7
Bentuk keragaman Megengan yang lain, contohnya di daerah Tempur Keling
Jepara dan sekitarnya selain melaksanakan ketiga adat tradisi tersebut, juga ada ritual
khusus untuk lingkungan dan alam sekitar semisal tempat-tempat yang berhubungan
erat dengan kebutuhan manusia, air, sumber, sungai dan pohon-pohon lindung.
Semuanya diselameti dengan ritual khusus dengan doa selamet termasuk pada hewan
piaraannya. Semua itu dilaksanakan terutama menjelang bulan puasa. Masyarakat ini
melaksanakan tradisi tersebut sebagai cara menghormati datangnya bulan Romadlon.
Mereka berkeyakinan untuk menjalankan ibadah puasa, mereka harus menyiapkan
diri dengan berbuat baik pada sesama, alam dan lingkungannya. Walau bagaimanapun
keragaman tata cara dan bentuknya tradisi tersebut, tetap dalam koridor syariat Islam
dalam konteks budaya Nusantara.8
8 Sutrisno. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Pati: Kemby publising house. hlmn 19
memaknai puasa Ramadan sebagai ritual yang sakral dengan cara menggelar tradisi
megengan.9
2. Simbol Puasa
Simbol puasa dalam tradisi megengan mempunyai makna pembentukan
karakteristik moral dan spiritual yang unik dalam Islam. Secara harfiah Puasa
dalam islam didefinisikan untuk menjauhkan diri "sepenuhnya" dari makanan,
minuman, hubungan intim dan merokok, mulai dari dari fajar sampai matahari
terbenam. Puasa juga mempunyai makna tentang belajar merasakan kondisi
keterbatasan.
Ibadah puasa Ramadan melatih kita dalam mengasah kepekaan dan
kepedulian kita terhadap sesama. Selama sebulan penuh umat Islam dianjurkan
untuk lebih banyak perenungan dan menahan diri (imsk), yaitu mengendalikan
segala macam bentuk godaan nafsu syahwat dan duniawi. Rasa lapar dan haus
yang kita alami sejak terbit fajar hingga terbenam matahari setidaknya menggugah
hati dan jiwa kita, betapa banyak saudara kita yang kurang beruntung telah terlebih
dahulu merasakan lapar dan haus.10
Seorang mukmin, yang melakukan puasa dengan ikhlas, hatinya akan
terketuk melihat penderitaan orang lain dan berusaha memberi pertolongan kepada
mereka yang memang sangat membutuhkan pertolongan. Karena itu, seseorang
yang ingin nilai puasanya tinggi di sisi Allah, tidak hanya akan melakukan puasa
dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan (pahala ibadah) puasa itu,
tetapi lebih dari itu, ia akan mengisi puasanya dengan mempertajam kepekaan
sosialnya.
3. Simbol Membaca Al-Quran
Simbol membaca Al-Quran dalam ritual barian merupakan bentuk
akulturasi anatara budaya lokal (Jawa) dengan budaya Islam. Membaca Al-Quran
bagi umat Islam akan menemukan ketenangan. Semua orang pasti menghendaki
ketenangan, dan hal itu dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, salah satunya
adalah dengan membaca AlQur-an. Membaca Al-Quran juga sebagai media
9 Wahyu Widodo, Tradisi Megengan Dan Ulama diakses dari http://wahyuheningdiri.blogspot.co.id/2008/12/tradisimegengan-dan-ulama.html pada tanggal 10 Maret 2016
10 Penerbit erlangga, Esensi Ketuhanan dan Sosial dalam Ibadah Puasa, diakses dari
http://www.erlangga.co.id/agama/7069-esensi-ketuhanan-dan-sosial-dalam-ibadah-puasa.html pada tanggal 10 Maret 2016
5. Simbol Kenduren
Kenduri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perjamuan
makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah,dan sebagainya. Kenduri
atau yang lebih dikenal dengan sebuatan Selamatan atau Kenduren (sebutan
kenduri bagi masyarakat Jawa) telah ada sejak dahulu sebelum masuknya agama ke
Nusantara. Dalam praktikya, kenduri merupakan sebuah acara berkumpul, yang
umumnya dilakukan oleh laki-laki, dengan tujuan meminta kelancaran atas segala
sesuatu yang dihajatkan dari sang penyelenggara yang mengundang orang-orang
sekitar untuk datang yang dipimpin oleh orang yang dituakan atau orang yang
memiliki keahlian dibidang tersebut, Seperti : Kiyai.11
Dalam kegiatan kenduri nasi ambeng menjadi salah satu perangkat ritual
tradisi megengan. Ambengan merupakan hidangan khas Jawa berupa nasi putih
yang diletakkan di atas tampah dan diberi lauk pauk di sekelilingnya. Lauk pauk
dapat berupa perkedel, ikan asin goreng, rempeyek, sambal goreng, telur rebus,
tempe goreng, urap, bihun goreng, dan opor ayam. Nasi ambeng adalah hidangan
yang disajikan dalam selamatan sebagai lambang keberuntungan. Nasi dimakan
beramai-ramai oleh empat hingga lima orang dewasa. Nasi dimakan dengan
memakai dengan tangan telanjang, tanpa sendok dan garpu. Penyajian nasi ambeng
mengandung permohonan agar semua pihak yang turut serta dikaruniai banyak
rezeki. Dari sini dapat diambil ikhtisar bahwa tradisi ambengan ini merupakan
pesan komunikasi simbolik yang memberikan makna tentang budaya sedekah dan
berbagi dengan sesama yang penuh dengan nuansa egaliter, kesederhanaan dan
kepedulian sosial
6. Simbol Kue Apem12
Kue Apem, dikatakan bahwa keberadaan Kue Apem ini memiliki makna tersendiri
dalam kaitannya dengan Megengan, ada yang mengatakan bahwa istilah Apem
berasal dari kata Afwan (bahasa arab) yang tediri dari huruf ain, fa, wau, biasa
kalau berdiri sendiri didepannya ada huruf alif dan lam, yang dibaca al-afwa,
yang artinya maaf. berangkat dari pemaknaan tersebut Kue Apem yang
disimbolkan sebagai permintaan maaf sebelum memasuki Bulan Suci Ramadhan.13
F. Landasan hukum Islam dalam ritual megengan14
Dalam hal ini, Ulama memberikan pandangan dan fatwanya yang sekiranya
dapat dijadikan pijakan dalam pelaksanan tradisi ini. Dalam konteks sunnah, bulan
Syaban yang terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, terdapat berbagai
11 Wikipedia, kenduri siakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kenduri pada tanggal 10 Maret 2016
12Ilmiyyatuna, Tradisi Megengan dan Kue Apem Dalam menyambut Ramadhan. Diakses dari
http://ilmiyyatuna.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-megengan-dan-kue-apem-dalam.html pada tanggal 11 Maret 2016
13Ilmiyyatuna, Tradisi Megengan dan Kue Apem Dalam menyambut Ramadhan. Diakses dari
http://ilmiyyatuna.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-megengan-dan-kue-apem-dalam.html pada tanggal 11 Maret 2016
14 Ngalah Ponpes. 2010. Fiqih Galak Gampil, Menggali Tradisi Islam Ala Indonesia. Pasuruan: Ngalah Press
Para ulama menyatakan bahwa Nisfu Syaban juga dinamakan sebagai malam
pengampunan atau malam maghfirah, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan
pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang
saleh.
Dengan demikian, kita sebagai umat Islam semestinya tidak melupakan begitu
saja, bahwa bulan syaban dalah bulan yang mulia. Sesungguhnya bulan Syaban
merupakan bulan persiapan untuk memasuki bulan suci Ramadhan. Dari sini, umat
Islam dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan mempertebal keimanan dan
memanjatkan doa dengan penuh kekhusyukan.
Dari keterangan diatas, dapat dipahami bahwa peringatan bulan syaban
(syabanan atau nisfu syaban) tidak bertentangan dengan ajaran agama, karena Nabi
pun sendiri memperingati dan memulyakan dengan berpuasa.
Sedangkan tradisi Nyadran menjelang bulan Romadlon adalah suatu bentuk
perwujudan pelaksanaan hormat datangnya bulan Romadlon, sebagaimana sunan
kudus membuat tradisi Dandangan di Kudus. Sedangkan dalil yang mendukung
tradisi ini adalah Sebagaimana keterangan yang terdapat pada kitab Tanbih AlGhofilin, Bab Fadli Syahri Romadlon, hal. 118 119. yang secara garis besarnya,
ketika akan datangnya bulan Romadlon yaitu ahir bulan Syaban Rasulullah SAW.
selalu memberikan ceramah dan khabar yang menggembirakan tentang akan
datangnya bulan Romadlan, bulan yang penuh berkah, dan semua keutamaankeutamaan yang dimilikinya kepada para Sahabat. Lebih lanjut, diriwayatkan juga,
hal senada dilakukan oleh Sayidina Umar bin Khotob. Sahabat Umar bin Khotob
ketika akan datangnya bulan Ramadlon, Beliau mengucapkan : Marhaban Ya
Ramadlon.
Tabir yang menerangkan dianjurkannya memperingati akan datangnya bulan
Ramadlan, sebagaimana berikut ini :
.
.
, ) .
( -
keimanan dan ritual keimanan. Dalam konteks tradisi ini berupa adat nyadran,
kendurenan dan puasa.
Sedangkan rekam jejak historis,
Dari aspek nilai-nilai psikomotorik, tradisi Megengan sudah tidak lagi berbicara
teoritik namun sudah sampai pada aplikatif laboratik yaitu meleksanakan akulturasi
budya lokal dan Islam yang sampai membentuk jiwa toleran, jiwa relegius dan jiwa
berkarakter keIslaman dan kenusantaraan.
c. Nilai sosial-relegius.
Nilai sosial relegius merupakan nilai-nilai yang bersumber atas dasar
fenomena sosial keagamaan baik sebagai komunal maupun prifat serta
berhubungan erat dengan nilai hubungan vertical dan horizontal, maka tradisi
Megengan mempunyai banyak hal yang tersirat yang mengandung nilai-nilai luhur
didalamnya. Fenomenologis sosial dan keagamaan masyarakat pelestari tradisi ini,
walaupun banyak berkembang di daerah-daerah pedalaman dan pantura, walau
bagaimanapun tetap mempunyai peranan yang kuat dalam tatanan sosial yang
berkembang.
Dengan konteks dan latar demikian maka lahirlah nilai-nilai sosial-relegius
yang mapan pada masyarakat ini. Unsur dan nilai social-relegius ini ahirnya
menjadikan karakter tersendiri bagi masyarakatnya. Semisal nilai social relegius
secara vertical akan membawa dampak bagi pelaku pelestari tradisi ini sebagai
insan yang kamil, insan yang yang mempunyai daya keimanan yang tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Sutrisno. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Pati: Kemby publising house
Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo, cet I, Depok: PustakaII. MaN
Ngalah Ponpes. 2010. Fiqih galak gampil, menggali tradisi islam ala indonesia. Pasuruan:
Ngalah Press.
Amin,
Media
Darori
dkk,
2000.
Islam
dan
Kebudayaan
Jawa,
Yogyakarta:
Gama
Zain, Tradisi Megengan Masyarakat Jawa diakses dari http://zainbie.com/tradisimegengan-masyarakat-jawa/ pada tanggal 07 Maret 2016
Wikipedia. Kenduri. diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kenduri pada tanggal 10
Maret 2016
Wahyu Widodo, Tradisi Megengan Dan Ulama diakses dari
http://wahyuheningdiri.blogspot.co.id/2008/12/tradisi-megengan-dan-ulama.html pada
tanggal 10 Maret 2016
Penerbit erlangga, Esensi Ketuhanan dan Sosial dalam Ibadah Puasa, diakses dari
http://www.erlangga.co.id/agama/7069-esensi-ketuhanan-dan-sosial-dalam-ibadahpuasa.html pada tanggal 10 Maret 2016
Ilmiyyatuna, Tradisi Megengan dan Kue Apem Dalam menyambut Ramadhan. Diakses
dari http://ilmiyyatuna.blogspot.co.id/2013/12/tradisi-megengan-dan-kue-apem-dalam.html
pada tanggal 11 Maret 2016
Pesantren global, Aneka Tradisi Ruwahan Menyambut Ramadhan diakses dari
http://www.pesantrenglobal.com/aneka-tradisi-ruwahan-menyambut-ramadhan/ pada tanggal
11 Maret 2016