Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Dari sisi metodologis hukum islam dapat dipahami sebagai hukum yang
bersumber dari Al-Quran dan sunnah nabi melalui proses penalaran atau ijtihad. Ia
diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan
bersifat universal. Ruang gerak metodologi antara wahyu sebagai sumber hukum
yang memuat petunjuk-petunjuk global dan jedudukan ijtihad sebagai fungsi
pengembangannya, memungkinkan hukum islam memiliki sifat elastis dan
akomodatif sehingga keyakinan diatas tidaklah belebihan. Karakteristik hukum
islam yang bersendikan wahyu dan bersandarkan akal, menurut Anderson,
merupakan ciri khas yang membedakan hukum islam dari system hukum lainnya.
Syariat islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah seccara
komprehensif , memerlukan penelahaan dan pengkjian ilmiah yang sungguh
sungguh serta berkesinambungan. Di dalam keduanya terdapat lafad yang amkhash, muthlaq muqayyad, nasikhmansukh, dan muhkam- mutasyabih, yang
masih memerlukan penjelasan. Sementara itu , nas Al-Quran dan sunah tekah
berhenti, padahal waaktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan
yang datang silih berganti (al-wahy qad intaha wal al waqaI layantahi ). Oleh
karena itu, diperlukan usaha penyelesaiian secara sungguh-sungguh atas
persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Ijtihad
menjadi sangat penting.
1.2
Rumusan masalah
1.
2.
1.3
Tujuan penulisan
1.
2.
Menuntut mahasiswa agar mampu mengaplikasikan ijtihad dalam kehidupan
sehari-hari.
3.
1.4
Berbagai metode dan teknik penuisan dapat kita gunakan. Namun dalam hal
ini metode dan teknik penulisan yang kami gunakan dengan cara browsing internet
dan kajian buku.
BAB II
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
2.1
Pengertian Ijtihad
Ijtihad secara bahasa ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta
seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilaksanakan, atau yang tidak disenangi . kata ini pun berarti kesanggupan (al wus),
kekuatan (al thaqah), dan berat (al masyaqqah), (ahmad bin ahmad bin ali al muqri
al fayumi t.th:112,dan elias dan elias. dan ed.e. elias 1982:126). Para ulama
mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa .
ahmad bin ahmad bin ali al muqri al fayumi. Secara bahasa dalam artian jahada
terdapat didalam al-Quran surat an-nahl (16) ayat 38 , surat annur (24) ayat 53,
dalam surat fathir (35) ayat 42. Semua kata itu berarti pengarahan segala
kemampuan dan kekuatan. Dalam al sunnah kata ijtihad terdapat dalam sabda nabi
yang artinya pada waktu sujud, bersungguh-sungguh dalam berdoa dan hadist lain
yang artinya Rosul alloh SAW bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir
pada bulan ramadhan.
Dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat
ajaran Al-Quran dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Dari ayat
Al-Quran yang jumlahnya 6300, hanya 500 ayat, menurut perkiraan ulama,
yang berhubungan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada
umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai
maksud, rincian, cara pelaksanaannya dsb. Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu
dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Quran dan hadis, yaitu pada
mulanya Sahabat Nabi dan kemudian para ulama. Penjelasan oleh para Sahabat
Nabi dan para ulama itu diberikan melalui ijtihad.
Kata ijtihad menurut bahasa berarti daya upaya atau usaha keras. Dengan
demikian ijtihad berarti berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh
sesuatu. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti berusaha keras untuk mengetahui
hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama : Al-Quran dan hadis (Badzl al-wusi fi nail
hukm syari bi dalil syari min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih inilah
yang banyak dikenal dan digunakan di Indonesia.
Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain
agama. Misalnya Ibn Taimiyah yang menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan
dalam bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan:Sebenarnya mereka (kaum sufi)
adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,sebagaimana mujtahid-
mujtahid lain. Dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah
ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan
tetangga mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata
negara, dan lain-lain. Dr. Muhammad al-Ruwaihi juga menjelaskan bahwa di masamasa akhir ini timbul berbagai pendapat tentang Islam, baik di Barat, Timur,
maupun pada orang Arab serta orang Islam sendiri. Pendapat-pendapat orang Islam
itu merupakan Ijtihad, baik secara perorangan maupun kolektif, yang memperoleh
pahala sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu. Berikut adalah sejarah dan
perkembangan ijtihad :
1. Bidang Politik
Untuk pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap yang pertama timbul
dalam Islam : siapa pengganti nabi Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara
setelah beliau wafat? Kaum Anshar berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah
salah seorang dari mereka, dengan alasan merekalah yang menolong beliau ketika
dikejar-kejar Kaum Quraisy Makkah. Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar, yang
berhak menjadi khalifah pengganti Nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan Nabi
Muhammad bersabda para pemuka/ al-aimmah adalah dari golongan Quraisy.
Selama lebih 900 tahun ijtihad Abu Bakarlah yang dipegang oleh ummat Islam,
yang dikenal dengan Sunni. Adapun menurut ijtihad Ali, yang berhak menjadi
khalifah pengganti Nabi ialah keluarga Nabi Muhammad. Ijtihad ini di kemudian hari
melahirkan madzhab Syiah. Di dalam madzhab ini terdapat perbedaan pendapat,
sehingga melahirkan Syiah Zaidiyah, Syiah Ismailiyah, dan Syiah 12. Dan kaum
khawarij tidak menyetujui hasil ijtihad kaum Anshar, kaum Sunni, dan kaum Syiah.
Mereka (kaum khawarij) berijtihad bahwa muslim manapun, asal memenuhi syaratsyarat yang diperlukan, dapat menjadi khalifah dan tidak ada ketentuan bahwa ia
harus orang Arab, Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
Tidak lama setelah menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi satu masalah;
sebagian orang Islam tidak mau membayarkan zakatnya setelah Nabi Muhammad
wafat. Ia menyelesaikan masalah itu melalui ijtihad. Begitu pula Umar ibn alKhattab. Melalui ijtihad ia menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
meluasnya daerah yang dikuasai oleh tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan
dan Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad, Umar tidak membagi-bagikan tanah itu
kepada tentara yang menaklukkannya.
2. Bidang Akidah
Pada zaman Ali ibn Abi Thalib timbul satu masalah: bagaimana kedudukan
orang yang berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau sudah kafir? Kaum
Khawarij berijtihad bahwa orang yang berbuat dosa besar itu keluar dari Islam, dan
karena itu ia adalah kafir. Kaum Murjiah berijtihad bahwa ia masih mukmin.
Sedangkan menurut Kaum Mutazilah, ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi
muslim.
2.2
Dasar-dasar ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah, Al-Quran yang menjadi dasar
ijtihad adalah sebagai berikut .
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah),karena (membela)orang-orang yang khianat. (Q.S. Al-Nisa(4):105)
2.3
Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istiinbath
(mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq (penerapan hukum).
Rukun ijtihad:
1.
Al-waqi, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak
diterangkan nas.
2.
Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan
untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.
4.
Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (nadiyah syafari
al-umari, t.th:199-200)
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AL-Ghazali syarat-syarat mujtahid
ada dua :
1.
Mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya
sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan & mengakhiri sesuatu
yang seharusnya diakhiri.
2.
Menurut Fakkhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain al-Razi (1988:496-7),
syarat-syarat mujtahid adalah:
1.
Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan
hukum.
2.
3.
Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan.
4.
Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat-syarat mujtahid ada
tiga.
1.
Memahami tujuan-tujuan syara (maqashid al-syariah), yaitu dlaruriyyat yang
mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs),
pemeliharaan akal (hifzh al-aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan
pemeliharaan harta (hifzh al-mal);hajiyyat, dan tahsiniyyat.
2.
3.
yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq mustaqil tetapi ia tidak
menyusun metode sendiri. Mujtahid kelompok ini tidak taklid kepada imamnya
tanpa dalil dan keterangan, ia menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti
dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contohnya, Al-Mujani dari mazhab
Syafii dan Al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi. Mujtahid Fi Al-Mazhab ialah
mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak dan atau
belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara menggunakan metode yang telah
disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu Jafar Al-Thahtawi dalam mazhab
Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua :
1.
Mujtahid takhrij.
2.
2.4
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al
Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan
kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam
kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat
Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan
tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas
ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al
Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang
tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat
itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat
Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
2.5
Jenis-jenis ijtihad
Ijma'
Qiys
perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya
darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masamasa sebelumnya
Beberapa definisi qiys (analogi):
v Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan
titik persamaan di antara keduanya.
v Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan di antaranya.
v Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [AlQur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
v Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum di terangkan oleh
al-qur'an dan hadist
Istihsn
Beberapa definisi Istihsn
v Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa
hal itu adalah benar.
v Argumentasi dalam pikiran seorang fqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya
v Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.
v Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
v Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang
ada sebelumnya...
Maslahah murshalah
Sududz Dzariah
Urf
PENUTUP
3.1
Simpulan
Ijtihad secara harfiah adalah usaha keras. Dalam terminology hukum islam itu
berarti berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang
sesuatu masalah hukum.
Mujtahid adalah orang muslim dewasa yang berakal sehat yang mempunyai
kapabilitas & kopetensi untuk menghasilkan hukum-hukum dari sumber-sumbernya.
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu
perkara yang terjadi.
Qiyas adalah menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
Istihsan adalah argumentasi dalam pikiran seorang fqih tanpa bisa
diekspresikan secara lisan olehnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad