Вы находитесь на странице: 1из 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar belakang

Dari sisi metodologis hukum islam dapat dipahami sebagai hukum yang
bersumber dari Al-Quran dan sunnah nabi melalui proses penalaran atau ijtihad. Ia
diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan
bersifat universal. Ruang gerak metodologi antara wahyu sebagai sumber hukum
yang memuat petunjuk-petunjuk global dan jedudukan ijtihad sebagai fungsi
pengembangannya, memungkinkan hukum islam memiliki sifat elastis dan
akomodatif sehingga keyakinan diatas tidaklah belebihan. Karakteristik hukum
islam yang bersendikan wahyu dan bersandarkan akal, menurut Anderson,
merupakan ciri khas yang membedakan hukum islam dari system hukum lainnya.
Syariat islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah seccara
komprehensif , memerlukan penelahaan dan pengkjian ilmiah yang sungguh
sungguh serta berkesinambungan. Di dalam keduanya terdapat lafad yang amkhash, muthlaq muqayyad, nasikhmansukh, dan muhkam- mutasyabih, yang
masih memerlukan penjelasan. Sementara itu , nas Al-Quran dan sunah tekah
berhenti, padahal waaktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan
yang datang silih berganti (al-wahy qad intaha wal al waqaI layantahi ). Oleh
karena itu, diperlukan usaha penyelesaiian secara sungguh-sungguh atas
persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Ijtihad
menjadi sangat penting.

1.2

Rumusan masalah

1.

Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?

2.

Apa saja syarat-syarat seorang mujtahid ?

1.3

Tujuan penulisan

1.

Memperluas wawasan tentang apa itu ijtihad.

2.
Menuntut mahasiswa agar mampu mengaplikasikan ijtihad dalam kehidupan
sehari-hari.
3.

Mengetahui syarat-syarat seorang mujtahid dan jenis-jenis ijtihad.

1.4

Metode dan teknik penulisan

Berbagai metode dan teknik penuisan dapat kita gunakan. Namun dalam hal
ini metode dan teknik penulisan yang kami gunakan dengan cara browsing internet
dan kajian buku.

BAB II
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
2.1

Pengertian Ijtihad

Ijtihad secara bahasa ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta
seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilaksanakan, atau yang tidak disenangi . kata ini pun berarti kesanggupan (al wus),
kekuatan (al thaqah), dan berat (al masyaqqah), (ahmad bin ahmad bin ali al muqri
al fayumi t.th:112,dan elias dan elias. dan ed.e. elias 1982:126). Para ulama
mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa .
ahmad bin ahmad bin ali al muqri al fayumi. Secara bahasa dalam artian jahada
terdapat didalam al-Quran surat an-nahl (16) ayat 38 , surat annur (24) ayat 53,
dalam surat fathir (35) ayat 42. Semua kata itu berarti pengarahan segala
kemampuan dan kekuatan. Dalam al sunnah kata ijtihad terdapat dalam sabda nabi
yang artinya pada waktu sujud, bersungguh-sungguh dalam berdoa dan hadist lain
yang artinya Rosul alloh SAW bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir
pada bulan ramadhan.
Dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat
ajaran Al-Quran dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Dari ayat
Al-Quran yang jumlahnya 6300, hanya 500 ayat, menurut perkiraan ulama,
yang berhubungan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada
umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai
maksud, rincian, cara pelaksanaannya dsb. Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu
dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Quran dan hadis, yaitu pada
mulanya Sahabat Nabi dan kemudian para ulama. Penjelasan oleh para Sahabat
Nabi dan para ulama itu diberikan melalui ijtihad.
Kata ijtihad menurut bahasa berarti daya upaya atau usaha keras. Dengan
demikian ijtihad berarti berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh
sesuatu. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti berusaha keras untuk mengetahui
hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama : Al-Quran dan hadis (Badzl al-wusi fi nail
hukm syari bi dalil syari min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih inilah
yang banyak dikenal dan digunakan di Indonesia.
Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain
agama. Misalnya Ibn Taimiyah yang menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan
dalam bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan:Sebenarnya mereka (kaum sufi)
adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,sebagaimana mujtahid-

mujtahid lain. Dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah
ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan
tetangga mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata
negara, dan lain-lain. Dr. Muhammad al-Ruwaihi juga menjelaskan bahwa di masamasa akhir ini timbul berbagai pendapat tentang Islam, baik di Barat, Timur,
maupun pada orang Arab serta orang Islam sendiri. Pendapat-pendapat orang Islam
itu merupakan Ijtihad, baik secara perorangan maupun kolektif, yang memperoleh
pahala sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu. Berikut adalah sejarah dan
perkembangan ijtihad :

1. Bidang Politik
Untuk pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap yang pertama timbul
dalam Islam : siapa pengganti nabi Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara
setelah beliau wafat? Kaum Anshar berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah
salah seorang dari mereka, dengan alasan merekalah yang menolong beliau ketika
dikejar-kejar Kaum Quraisy Makkah. Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar, yang
berhak menjadi khalifah pengganti Nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan Nabi
Muhammad bersabda para pemuka/ al-aimmah adalah dari golongan Quraisy.
Selama lebih 900 tahun ijtihad Abu Bakarlah yang dipegang oleh ummat Islam,
yang dikenal dengan Sunni. Adapun menurut ijtihad Ali, yang berhak menjadi
khalifah pengganti Nabi ialah keluarga Nabi Muhammad. Ijtihad ini di kemudian hari
melahirkan madzhab Syiah. Di dalam madzhab ini terdapat perbedaan pendapat,
sehingga melahirkan Syiah Zaidiyah, Syiah Ismailiyah, dan Syiah 12. Dan kaum
khawarij tidak menyetujui hasil ijtihad kaum Anshar, kaum Sunni, dan kaum Syiah.
Mereka (kaum khawarij) berijtihad bahwa muslim manapun, asal memenuhi syaratsyarat yang diperlukan, dapat menjadi khalifah dan tidak ada ketentuan bahwa ia
harus orang Arab, Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
Tidak lama setelah menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi satu masalah;
sebagian orang Islam tidak mau membayarkan zakatnya setelah Nabi Muhammad
wafat. Ia menyelesaikan masalah itu melalui ijtihad. Begitu pula Umar ibn alKhattab. Melalui ijtihad ia menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
meluasnya daerah yang dikuasai oleh tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan
dan Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad, Umar tidak membagi-bagikan tanah itu
kepada tentara yang menaklukkannya.
2. Bidang Akidah
Pada zaman Ali ibn Abi Thalib timbul satu masalah: bagaimana kedudukan
orang yang berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau sudah kafir? Kaum
Khawarij berijtihad bahwa orang yang berbuat dosa besar itu keluar dari Islam, dan
karena itu ia adalah kafir. Kaum Murjiah berijtihad bahwa ia masih mukmin.
Sedangkan menurut Kaum Mutazilah, ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi
muslim.

Dalam bidang akidah ini selanjutnya timbul masalah: apakah perbuatan


manusia itu ciptaan Tuhan atau ciptaan manusia itu sendiri? Mengenai masalah ini,
ijtihad kaum Muktazilah dan Maturidiah Samarkand sama: Perbuatan manusia
terjadi terjadi berkat kehendak dan daya yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri
manusia. Hal ini bertentangan dengan ijtihad Asyari dan Bazdawi dari Maturidian
Bukhara :perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Menurut Asyari, manusia hanya
memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan/ al-kasb. Sedang menurut alBazdawi, manusia hanya melakukan perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan, dan
untuk ini ia menggunakan istilah maful Tuhan dan fiilmanusia.
Mengenai sifat-sifat Tuhan dalam ajaran Al-Quran yang menggambarkan
bentuk jasmani, Asyari berijtihad bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan sifatsifat Tuhan itu harus diartikan secara harfiah; kursi Tuhan harus diartika kursi pula,
tetapi tidak sama dengan kursi manusia. Sedang menurut ijtihad kaum Muktazilah
ayat-ayat tersebut harus diambil arti tersiratnya, bukan arti tersuratnya. Dengan
demikian, kursi Tuhan berarti kekuasaan Tuhan.
Hasil ijtihad yang berbeda-beda dalam bidang akidah ini melahirkan 5
mazhab ilmu kalam : Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asyariyah, dan Maturudiah.
Dan ajaran masing-masing mazhab ini mengikat pengikut masing-masing.
3. Bidang Filsafat
Setelah terjadi kontak dengan filsafat Yunani, para ulama Islam mempelajari
pemikiran-pemikiran para filosof Barat. Karena Al-Quran tidak merinci tentang
penciptaan alam timbullah ijtihad di kalangan para filosof Islam tentang penciptaan
alam. Menurut al-farabi dan Ibn Sina, Tuhan menciptakan alam ini dari sesuatu yang
telah ada, bukan dari ketidakadaan, melalui pancaran (al-faid) dari Tuhan. Unsur ini
(pancaran) bersifat qadim karena ia diciptakan oleh Tuhan sejak qidam. Dengan
demikian, alam menurut ijtihad mereka adalah qadim ditinjau dari segi unsurnya.
Menciptakan sesuatu dari ketidakadaan menurut filsafat adalah mustahil.
Sedangkan menurut ijtihad al-Ghazali, Tuhan itu Maha Kuasa dan dapat saja
menciptakan alam ini dari ketiadaan, dan memang alam ini diciptakan oleh Tuhan
dari ketidakadaan, dan bukan melalui pancaran. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan
bahwa karena unsur itu tidak qadim, maka alam pun bukan qadim, tetapi hadis
(baru). Adapun Ibn Rusyd memperkuat ijtihad golongan al-Farabi dengan mengutip
dua ayat Al-Quran ; dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam 6 dan
tahta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air (Hud, 11:7)
dan ayat Kemudian Iapun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap
(Hamim, 41:11)
Ibn Rusyd berijtihad, kedua ayat itu menjelaskan bahwa sebelum bumi dan langit
diciptakan oleh Tuhan, air dan uap itu telah ada. Dari kedua unsur inilah Tuhan
menciptakan alam. Kedua ayat di atas tidak mendukung pendapat al-Ghazali yang
menyatakan bahwa alam diciptakan dari ketidakadaan, dalam arti bahwa sebelum
bumi dan langit diciptakan tak ada sesuatupun selain Tuhan.

2.2

Dasar-dasar ijtihad

Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah, Al-Quran yang menjadi dasar
ijtihad adalah sebagai berikut .
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah),karena (membela)orang-orang yang khianat. (Q.S. Al-Nisa(4):105)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi


kaum yang berpikir.(Q.S Al-Rum (30):21).
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antarannya hadis Amr bin al-Ash
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad bersabda :
Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,kemudian dia benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam
ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala (Muslim,II,t.th:62)

2.3

Syarat-Syarat Mujtahid

Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istiinbath
(mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq (penerapan hukum).
Rukun ijtihad:
1.
Al-waqi, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak
diterangkan nas.
2.
Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan
untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.

Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (takhlifi)

4.
Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (nadiyah syafari
al-umari, t.th:199-200)
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AL-Ghazali syarat-syarat mujtahid
ada dua :
1.
Mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya
sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan & mengakhiri sesuatu
yang seharusnya diakhiri.
2.

Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.

Menurut Fakkhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain al-Razi (1988:496-7),
syarat-syarat mujtahid adalah:
1.
Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan
hukum.
2.

Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.

3.
Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan.
4.

Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.

Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat-syarat mujtahid ada
tiga.
1.
Memahami tujuan-tujuan syara (maqashid al-syariah), yaitu dlaruriyyat yang
mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs),
pemeliharaan akal (hifzh al-aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan
pemeliharaan harta (hifzh al-mal);hajiyyat, dan tahsiniyyat.
2.

Mampu melakukan penetapan hukum.

3.

Memahami bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.

Berbeda degan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin Ali bin Muhammad


al-Syaukani menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut :
1.
Mengetahui Al-Quran dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah
hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam Al-Quran sekitar 500 ayat.
2.
Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atu berpendapat yang menyalahi
ijmak ulama.
3.
Mengetahui bahasa Arab karena Al-Quran dan al-sunnah disusun dalam
bahasa Arab.
4.
Mengetahui ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid
karena membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
Dengan demikian, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid
itu cukup banyak. Maka menurut Muhaimin dkk, sesuai dengan syarat-syarat yang
dimilikinya, mujtahid itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan
itu adalah mujtahid muthlaq dan mujtahid madzhab. Mujtahid Muthlaq ialah
mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya. Di samping
itu, ia pun mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai landasan ijtihad.
Mujtahid mutlaq terbagai menjadi dua tingkatan. Pertama, mujtahid muthlaq
mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasardasar yang ia susun sendiri. Ia tidak taklid kepada mujtahid lainnya, dan bahkan
metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab tersendiri. Yang termasuk
mazhab ini, umpamanya, empat tokoh mazhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah,
Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali. Kedua, mujtahid muthlaq muntasib,

yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq mustaqil tetapi ia tidak
menyusun metode sendiri. Mujtahid kelompok ini tidak taklid kepada imamnya
tanpa dalil dan keterangan, ia menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti
dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contohnya, Al-Mujani dari mazhab
Syafii dan Al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi. Mujtahid Fi Al-Mazhab ialah
mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak dan atau
belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara menggunakan metode yang telah
disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu Jafar Al-Thahtawi dalam mazhab
Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua :
1.

Mujtahid takhrij.

2.

Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.

2.4

Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al
Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan
kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam
kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat
Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan
tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas
ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al
Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang
tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat
itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat
Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

2.5

Jenis-jenis ijtihad

Ijma'

Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan


suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu
perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama
dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma
adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang
berwenang untuk diikuti seluruh umat.

Qiys

Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu


hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan

perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya
darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masamasa sebelumnya
Beberapa definisi qiys (analogi):
v Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan
titik persamaan di antara keduanya.
v Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan di antaranya.
v Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [AlQur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
v Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum di terangkan oleh
al-qur'an dan hadist

Istihsn
Beberapa definisi Istihsn

v Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa
hal itu adalah benar.
v Argumentasi dalam pikiran seorang fqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya
v Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.
v Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
v Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang
ada sebelumnya...

Maslahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan


pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat
dan menghindari kemudharatan.

Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau


haram demi kepentinagn umat.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan
yang bisa mengubahnya.

Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan


masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturanaturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

PENUTUP
3.1

Simpulan

Ijtihad secara harfiah adalah usaha keras. Dalam terminology hukum islam itu
berarti berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang
sesuatu masalah hukum.
Mujtahid adalah orang muslim dewasa yang berakal sehat yang mempunyai
kapabilitas & kopetensi untuk menghasilkan hukum-hukum dari sumber-sumbernya.
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu
perkara yang terjadi.
Qiyas adalah menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
Istihsan adalah argumentasi dalam pikiran seorang fqih tanpa bisa
diekspresikan secara lisan olehnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti.2000.Ijtihad dalam pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan


Muhammad Iqbal.Jakarta : PT Bulan Bintang.
Ajib Masadi, Ghufron.1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Asmawi.2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH.

http://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad

Вам также может понравиться