Вы находитесь на странице: 1из 51

PANDUAN/KEBIJAKAN/SPO ASESMEN

NYERI

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT


PENDIDIKAN UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN 2015

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN
JL. Dr. Soeparno Purwokerto 53122
Telp (0281) 621233,621234 (Hunting) Fax (0281) 629161
KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Nomor : .......
TENTANG
ASESMEN NYERI
RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
TAHUN 2015
DIREKTUR
RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Menimbang

a. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit


Gigi dan Mulut Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman, maka
diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang bermutu tinggi;
b. Bahwa agar pelayanan di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman dapat terlaksana dengan baik,
perlu adanya Peraturan Direktur tentang Kebijakan Pelayanan
Rumah Sakit Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Universitas
Jenderal Soedirman sebagai landasan bagi penyelenggaraan
seluruh pelayanan di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
a dan b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Direktur Rumah Sakit
Gigi dan Mulut Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman
Mengingat

:
1.
2.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 /Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam medis

3.

UU no 36 thn 2009 tentang kesehatan

4.

PP no 32 tentang Tenaga kesehatan

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN TENTANG KEBIJAKAN ASESMEN
NYERI RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN

Pertama

Kebijakan Asesmen Nyeri Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam Lampiran


Keputusan ini.

Kedua

Pembinaan dan pengawasan Asesmen Nyeri Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman oleh Manajer Pelayanan Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman

Ketiga

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di :
Pada Tanggal :
Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman
drg. Arwita Mulyawati.,M.HKes
NIP. 19531205 198203 2 001

Lampiran

Keputusan Direktur Rumah Sakit Gigi dan


Mulut Pendidikan Universitas Jenderal
Soedirman
Nomor
: .........
Tanggal
:

KEBIJAKAN ASESMEN NYERI


RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

KEBIJAKAN ASESMEN NYERI

1.

Semua pasien rawat inap dan rawat jalan di skrining untuk rasa sakit
dan dilakukan asesmen apabila ada rasa nyerinya.

2. Pasien dibantu dalam pengelolaan rasa nyeri secara efektif.


3. Menyediakan pengelolaan nyeri sesuai pedoman dan protokol.
4. Komunikasi dengan pasien dan keluarga tentang pengelolaan nyeri
dalam konteks pribadi, budaya, dan kepercayaan agama masing-masing.
5. Fasilitas pengukuran nyeri pasien harus tersedia dalam bentuk skala nyeri
dalam rekam medis.
6. Keluhan pasien tentang nyeri harus diperhatikan, tidak boleh
langsung dianggap sebagai malingering (berpura-pura) dan dilanjutkan
dengan pengukuran nyeri.
7. Pengetahuan pengukuran nyeri harus dipahami dan menjadi perhatian
petugas kesehatan Rumah Sakit gigi dan mulut Pendidikan UNSOED.
8. Pengukuran nyeri harus dilakukan secara berulang untuk memastikan
kenyamanan pasien dan membantu kesembuhan pasien.
9. Penatalaksanaan nyeri di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Unsoed,
mencakup
non-farmakologis dan farmakologis.

DIREKTUR
Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman

drg. Arwita Mulyawati.,M.HKes


NIP. 19531205 198203 2 001

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk unik, yang memiliki perilaku dan kepribadian yang berbedabeda dalam kehidupannya, Perilaku dan kepribadian didasarkan dari berbagai macam faktor
penyebab, salah satunya faktor lingkungan, yang berusaha beradaptasi untuk bertahan dalam
kehidupannya.
Begitu pula fisik manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar dalam beradaptasi
menjaga kestabilan dan keseimbangan tubuh dengan cara selalui berespon bila terjadi tubuh
terkena hal yang negatif dengan berusaha menyeimbangkannya kembali sehingga dapat bertahan
atas serangan negatif, misal mata kena debu maka akan berusaha dengan mengeluarkan air mata.
Keseimbangan juga terjadi dalam budaya daerah dimana manusia itu tinggal, seperti kita
ketahui bahwa di Indonesia sangat beragam budaya dengan berbagai macam corak dan gaya,
mulai dari logat bahasa yang digunakan, cara berpakaian, tradisi prilaku

keyakinan dalam

beragama, maupun merespon atas kejadian dalam kehidupan sehari-harinya seperti halnya dalam
menangani rasa nyeri akibat terjadi perlukaan dalam tubuh dengan direspon oleh manusia dengan
berbagai macam adaptasi, mulai dari suara meraung-raung, adajuga cukup dengan keluar air mata
dan kadang dengan gelisah yang sangat.
Atas dasar tersebut maka sebagai pemberi terapi medis harus mengetahui atas berbagai
perilaku dan budaya yang ada di Indonesia sehingga dalam penanganan terhadap nyeri yang
dirasakan oleh setiap orang dapat melakukan pengkajian dan tindakan pemberian terapi secara
obyektif, maka untuk itu RSUD Kota Depok menyusun panduan dalam penanganan nyeri.
B. TUJUAN
Panduan Manajemen Nyeri ini disusun dengan tujuan adanya standarisasi dalam asesmen
dan manajemen nyeri di RSUD Kota Depok sehingga kualitas pelayanan kesehatan khususnya
penanganan nyeri di RSUD Kota Depok semakin baik.
C. DEFINISI
1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan jaringan
yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang merasakan
seolaholah terjadi kerusakan jaringan (interational association for the study of pain).
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan
temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
6

3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik yang
terus menerus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak
diketahui penyebabnya yang pasti.

BAB II
TATALAKSANA
A. ASESMEN NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Onset nyeri akut atau kronik, traumatik atau non- traumatik.
2) Karakter dan derajat keparahan nyeri, nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar, tidak
nyaman, kesemutan, neuralgia.
3) Pola penjaaran / penyebaran nyeri
4) Durasi dan lokasi nyeri
5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan, mual/muntah, atau
gangguan keseimbangan / kontrol motorik
6) Faktor yang memperhambat dan memperingan
7) Kronisitas
8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respon terapi
9) Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
10) Penggunaan alat bantu
11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar (activity of
daily living)
12) Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya faktur yang
tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom
kauda ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu
c. Riwayat psiko- sosial
a) Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
b) Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
c) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yanga berpotensi menimbulkan eksaserbasi
nyeri
d) Pembatasan / restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan
program penanganan/ manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan masalah
psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka
e) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/keluarga.
d. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda
berat, membungkuk atau memutar merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan
dengan nyeri punggung.
e. Obat-obat dan alergi

1)

Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu studi
menunjuakan bahwa 14% populasi di Indonesia mengkonsumsi suplemen /herbal, dan

2)
3)

36% mengkonsumsi vitamin)


Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, efektifitas, dan efek samping.
Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan denga efek

samping kognitif dan fisik.


f. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis terutama penyakit genetik.
g. Asesmen sistem organ yang komprehensif
1) Evaluasi gejala kardiovaskular psikiatri pulmoner, gastrointestial,

neurolgi,

reumatologi, genitourinaria, endokrin dan muskuloskeletal.


2) Gejala kontitusional penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam, dan
sebagainya.
2. Asesmen Nyeri
a. Asesmen nyeri menggunakan Numeric Rating Scale
1) Indikasi digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 3 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
2) Instruksi pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 10.
0 = tidak nyeri
1 3 = nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik)
4 6 = nyeri sedang (secara obyektif pasien menyeringai, dapat menunjukan lokasi

nyeri, atau mendeskripsikan, dapat mengikuti perintah dengan baik)


7 9 = nyeri berat (secara objektif pesien terkadang tidak mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan dan menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat

mendiskripsikan dan tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas. distraksi )
10 = nyeri yang sangat (pasien sudah tidak dapat mendiskripsikan lokasi nyeri,

tidak dapat berkomunikasi, memukul)


b. Asesmen Nyeri menggunakan Wong Baker FACES pain scale
1) Indikasi : pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat menggambarkan
intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen
2) Instruksi : pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana yang paling sesuai
dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri
0 tidak merasa nyeri
1 sedikit rasa nyeri
2 nyeri ringan
3 nyeri sedang
4 nyeri berat
5 nyeri sangat berat
Gambar 3.1 Wong Baker Faces Pain Rating Scale
c. Asesmen Nyeri menggunakan COMFORT scale

1) Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang kamar operasi atau ruang rawat inap
yang tidak dapat menggunakan Numeric rating scale atau wong-baker FACES scale.
2) Instruksi : terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki 1-5 dengan skor total
antara 9 45.
Kewaspadaan
Ketengan
Distress pernapasan
Menangis
Pergerakan
Tonus otot
Tegangan wajah
Tekanan darah basal
Denyut jantung basal
Tabel 3.1 COMFORT Scale
Kategori
Kewapadaan

Ketenangan

Distress
pernapasan

123451234512345-

Menangis

12-

Skor
Tidur pulas / nyenyak
Tidur kurang nyenyak
Gelisah
Sadar sepenuhnya dan waspada
Hiper alert
Tenang
Agak cemas
Cemas
Sangat cemas
Panik
tidak ada respirasi spontan dan tidak ada
batuk
respirasi spontan dengan sedikit / tidak
ada respon terhadap ventilasi
kadang-kadang batuk atau terdapat
tahanan terhadap ventilasi
seringa batuk, terdapat tahanan /
perlawanan terhadap ventilator
melawan
secara
aktif
terhadap
ventilator, batuk terus-menerus /
tersedak
bernapas dengan tenang, tidak menangis
terisak-isak

Tanggal

Waktu

10

34512345-

meraung
menangis
berteriak
Pergerakan
tidak ada pergerkan
kadang-kadang bergerak perlahan
sering bergerak perlahan
pergerakan aktif / gelisah
pergerakan aktif termasuk badan dan
kepala
Tonus otot
1- otot relaks sepenuhnya tidak ada tonus
otot
2- penurunan tonus otot
3- tonus otot normal
4- peningkatan tonus otot dan rileks jari
tangan dan kaki
5- kekakuan otot ekstrim dan rileks jari
tangan dan kaki
Tegangan
1- otot wajah relaks sepenuhnya
2- tonus otot wajah yang nyata
wajah
3- tegangan beberapa otot wajah terlihat
nyata
4- tegangan hampir di seluruh otot wajah
5- Seluruh otot wajah tegang meringis
Tekanan darah
1- Tekanan darah di bawah batas normal
2- Tekanan darah berada di batas normal
basal
secara konsisten
3- Pengingkatan tekanan sesekali 15% di
atas batas normal (>3 kali dalam
observasi selama 2 menit)
4- Seringnya peningkatan tekanan darah
15% di atas batas normal (>3 kali dalam
observasi selama 2 menit)
5- Peningkatan tekanan darah terusmenerus 15%
Denyut jantung
1- Denyut jantung di bawah batas normal
2- Denyut jantung berada di batas normal
basal
secara konsisten
3- Peningkatan denyut jantung sesekali
15% di atas batas normal (1-3 kali
dalam observasi selama 2 menit)
4- Seringnya penigkatan denyut jantung
15% di atas batas normal (> 3 kali dalam
observasi selama 2 menit)
5- Peningkatan denyut jantung terusmenerus 15%
Skor Total

11

d. Pada pasien pengaruh obat anastesi, asesmen dan penanganan nyeri dilakukan dengan cara
pasien menunjukan respon berbagai ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri
e. Asesmen ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan
menunjukan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
1) Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik
pada pasien
2) Dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap
empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur
kedokteran yang menyakitkan, sebelum tranfer pasien dan sebelum pasien pulang dari
rumah sakit.
3) Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 8
menit setelah pemberian nitrat atau obat-obatan intravena.
4) Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit -1jam setelah pemberian
obat nyeri
f. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai menimbulkan
perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru
(misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik).
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan umum
1) Tanda vital tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
2) Ukuran berat badan dan tinggi badan pasien
3) Periksa apakah terdapat luka di kulit seperti jaringan paru akibat operasi, ulserasi,
tanda bekas jarum suntik
4) Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment) atrofi otot,
fasikulasi, disklororasi, dan edema.
b. Status mental
1) Nilai orientasi pasien
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek dan segera.
3) Nilai kemampuan kognitif
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi tidak ada harapan, atau
cemas.
c. Pemeriksaan sendi
1) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
2) Nilai dan cacat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan gerak,
diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
3) Nilai dan cacat pergerakan pasif dari sendi yang terlibat abnormal / dikeluhkan oleh
pasien ( saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah
meringis, atau asimetris.
4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan kriteria dibawah ini.
12

Tabel 3.2 Derajat Kekuatan Motorik


Derajat
5
4
3
2

Definisi
Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat
Mampu melawan tahanan ringan
Mampu bergerak melawan gravitasi
Mampu bergerak/bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu melawan

1
0

gravitasi
Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi), tidak menghasilkan pergerakan
Tidak terapat kontraksi otot

e. Pemerikasaan sensorik
Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum, pin prick), gerakan, dan
suhu.
f. Pemeriksaan neurologis lainnya
1) Evaluasi nervus kranial I XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau servikal
dan sakit kepala
2) Pemeriksaan refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan klonus
membutuhkan kontraksi > 4 otot
3) Nilai adanya refleks Babinskin dan Hoflimen (hasil positif menunjukan lesi upper motor
neuron).
4) Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan tes
dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia,
tes keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi).
Tabel 3.3 Pemeriksaan Refleks
Refleks
Biseps
Brakioradialis
Triseps
Tendon patella
Hamstring medial
Achilles

Segmen spinal
C5
C6
C7
I4
I5
S1

g. Pemeriksaan khusus
1) Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak ditemukan
etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini ditemukan
mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
2) Kelima tanda ini adalah :
Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes pemeriksaan nyeri.
Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindahan-pindah) saat gerakan yang
sama dilakukan pada posisi yang (distraksi)
13

4. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)


a. Membantu mencari penyebab nyeri akut/ kronik pasien
b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang terkena
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan berhubungan dengan rehabilitasi, injeksi,
pembedahan atau obat.
d. Membantu menegakkan diagnosis
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respon terhadap terapi.
f. Indikasi kecurigaan saraf terjepit, mono- / poli- neuropati, radikulopati.
5. Pemeriksaan sensorik kuantitatif
a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri); getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri); tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi
6. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi
1) Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
2) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit
inflamatorik dan penyakit vascular.
3) Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
4) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
5) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
1) Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan
vertebra, spondilosis-spondilasis, neoplasma )
2) MRI gold standart
3) CT-scan
4) Radionuklida dalam mendeteksi perubahan metabolisme tulang
7. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, adakah ketakutan, despresi
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sisoal, interaksi sosial.
B. FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIK
1. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%
a. Berisi lidokain 5% (700 mg)
b. Mekanisme kerja memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal.
c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya efek anestesi
(baal), bekerja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik
d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misal : herpetik, neuropati, diabetik,
neuralgia pasca- pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri miofasial.
e. Efek samping iritasi kulit ringan pada tempat menempelkan lidokain
f. Dosis dan cara penggunaan: dapat menekan hingga 3 patches di lokasi yang paling nyeri
(kulit harus bersih tidak boleh ada luka terbuka dan dipakai selama < 12 jam dalam
periode 24 jam.
2. Eutectic Mixture of Local Anesthesia
a. Mengandung lidokain 2,5% dan prokain HCl 2,5%

14

b. Indikasi : anestesi mukosa topical yang diaplikasikan pada kulit yang

intak pada

membrane mukosa genital untuk pembedahan minor dan sebagai pre-medikasi untuk
anestesi umum
c. Mekanisme kerja: efek anastesi (baal) dengan memblok total kanal natrium saraf sensorik
d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anestesi lokal pada
kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam
setelah kassa dilepas
e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan tutuplah
dengan kassa oklusif.
3. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan antipiretik. Dapat dikombinasikan dengan
opioid untuk memperoleh efek analgesik yang lebih besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa dapat diberikan
dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
4. Obat Anti- Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang, anti-piretik
b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan urtikaria)
karena sering terjadi reaksi anafilaktoid
c. Efek samping: gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi venal, penigkatan enzim
hari.
d. Ketorolak:
1) Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif untuk nyeri
sedang-berat
2) Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan opiod
untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek samping opioid (despresi
pernapasan, sedasi, statis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-analgesik.
5. Efek analgesik pada antidepresan
a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin sehingga
meninggalkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan aktivitas neuron inhibisi
nosiseptif.
b. Indikasi: nyeri neuropatik ( neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik cedera saraf perifer,
nyeri sentral)
c. Contoh obat yang sering dipakai amitriptilin, imipramine, despiramin, efek perifer. Dosis
50 300 mg, sekali sehari
6. Anti konvulsan
a. Carbamazepine efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping somnolen, gangguan
berjalan, pusing. Dosis : 400-1800 mg / hari (2-3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil
(2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
b. Gabapentin : merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek
samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis : 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari).
7. Antagonis kanalnatrium
15

a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi


b. Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 1- 3 mg / kgBB/jam
titrasi.
c. Prokain : 4-6,5 mg/kgBB/hari.
8. Anatagonis kanal kalsiuml
a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai analgesik.
Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping : pusing, mual, nistagmus, ketidakseimbangan berjalan,
kontipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat
dihentikan.
b. Nimodipin, Verapamil: megobat migraine dan sakit kepala kronik. Menurunkan
kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis morfin.
9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping yang
lebih sedikit/ ringan. Bersifat sinergistik dengan medikasi OAINS.
b. Indikasi: efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri) kanker,
osteoarthritis, nyeri punggung bawah neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia pascac.
d.
e.
f.

herpetik, nyeri pasca- operasi.


Efek samping : pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal dan per oral
Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam 24 jam.
Titrasi terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi terutama digunakan pada
pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terdadap pengobatan atau
memiliki risiko tinggi jatuh.
Tabel 3.4 Jadwal Titrasi Tramadol

Protokol
Titrasi
Titrasi
10 hari

Dosis

Inisial
4 x 50 mg 2 x 50mg selama 3 hari
selama 3 Naikkan menjadi 3 x 50mg selama
hari

Titrasi
16 hari

Direkomendasikan

Jadwal Titrasi

3 hari
Lanjutkan dengan 4 x 50mg
Dapat dinaikan sampai mencapai

efek analgesik yang diinginkan


4 x 25mg 2 x 25mg selama 3 hari
selama 3 Naikkan menjadi 3 x 25mg selama
3 hari
hari
Naikkan menjadi 4 x 25mg selama

untuk
Lanjut usia
Risiko jatuh
Sensivitas
medikasi

Lanjut usia
Risiko jatuh
Sensivitas
medikasi

3 hari
Naikkan menjadi 2 x 50mg dan 2 x
25mg selama 3 hari
Naikkan menjadi 4 x 50mg
Dapat dinaikkan sampia tercapai
16

efek analgesik yang diinginkan


10. Opioid
a. Merupakan analgesik pasien (tergantung dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh
nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufetnanil, meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan
nyeri akut.
e. Efek samping
1) Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara

infus.
Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin, antiasmatik

tertentu)
Adanya kondisi tertentu : gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia,

gangguan respirasi dan peningkatan tekanan intrakmustial.


Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten
2) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan skor
sedasi, yaitu:
0
= sadar penuh
1
= sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
2
= sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah
dibangunkan
3
= sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S
= tidur normal
3) Sistem Saraf pusat:
Euforia, halusinasi, miosis, kekakuan otot
Pemakaian MAOI: pemberian petidin dapat menimbulkan koma
4) Toksisitas metabolit
Petidin (norpetidin) menimbulkan tremo, twitching, mioklonus,

multifokal, kejang
Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan

nyeri pasca-bedah
Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal terutama

pada pasien usia > 70 tahun


5) Efek kardiovaskular:
Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian : status volume intravascular,

serta level aktivitas simpatetik


Morfin menimbulkan vasodilatasi
Petidin menimbulkan tadikardi

17

6) Mual, muntah terapi untuk mual dan muntahdan pantau tekanan darah dengan
adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca- bedah, atasi kecemasan pasien, obat
antiemetik.
f. Pemberian oral :
1) Status efektifnya dengan pemberian parental pada dosis yang sesuai
2) Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
g. Injeksi intravascular
1) Merupakan rute parenatal standar yang sering digunakan.
2) Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektivitas penyerapannya tidak dapat

h.
i.

j.

k.

l.

diandalkan.
3) Hindari pemberian via intravaskular sebisa mungkin.
Injeksi subkutan
Injeksi intravena:
1) Pilihan parentaral utama setelah pembedahan major
2) Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus menerus (melalui infus)
3) Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis
Injeksi mikro injeksi
1) Lokasi mikroinjeksi tebaik : mesencephalic periaqueductal
2) Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
3) Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada pasien kanker.
Injeksi spinal (epidural, intratekal):
1) Secara selektif keluanya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis spinal.
2) Sangat efektif sebagai analgesik.
3) Harus dipantau dengan ketat
Injeksi Perifer
1) Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek anastesi
lokal(pada konsentrasi tinggi).
2) Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi

C. MANAJEMEN NYERI AKUT


1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu :
2. Lakukan asesmen nyeri : mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang.
3. Tentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri somatik:
1) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat kimia dari
sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit.
2) Karakter onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam, menusuk atau
seperti ditikam.
3) Contoh : nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b. Nyeri visceral:
1) Nosiseptor visceral lebih sedikit dibandingkan somatic sehingga jika terstimulasi akan
menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus tumpul, seperti
ditekan benda berat.
2) Penyebab: iskemi/ nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasm otot polos,
distensi orgam berongga/ lumen.
3) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual. Muntah, hipotensi, bradikardia,
berkeringat.
18

c. Nyeri neuropatik:
1) Berasal dari cedera jaringan saraf
2) Sifat nyeri : rasa terbakar nyeri menjalar, kesemutan, (nyeri saat disentuh),
hiperalgesia.
3) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal pada bagian cedera (sementara pada
nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya)
4) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple selerosis, herniasi diskus,
AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/ radioterapi.
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya
a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
1) OAINS efekif untuk nyeri ringan sedang, opioid efektif untuk nyeri sedangberat.
2) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2 ) dengan
pemberian intermiten (pro renata ) opioid yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
3) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang berat, dapat
ditingkatkan menjadi 3 (ganti dengan opioid kuat dan analgesik dalam kurun
waktu 24 jam setelah langkah 1 )
4) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan
adalah morfin, kodein
5) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan
opioid ringan.
6) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewat, lakukan pengurangan dosis
secara bertahap
Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytie,

kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol


Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin,
Topical: lidokain patch, EMLA
Subkutan : opioid, anestesi lokal

19

Gambar 3.2 WHO Analgesic Ladder

Gambar 3.3 Algoritma Pemberian Opioid Intermitten


Algoritma di atas berlaku dengan syarat:

Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat intruksi


Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin diruang rawat inap biasa
Efek samping dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua
pasien harus diobservasi ketat selama fase ini
Manajemen efek samping:
Opioid
- Mual dan muntah : antiemetik

20

Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif

yang

mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram


-

perut.
gatal : ertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga

menggunakan antihistamin.
Mioklonus: pertimbangkan

benzodiazepine untuk mengatasi mioklonus


Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4 mg

untuk

mengganti

opioid,

atau

berikan

nalakson dengan NaCl 0,95% sehingga total volume mencapi 10 ml).


Berikan kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien

mendapat terapi opioid jangka panjang.


OAINS:
- Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)
- Pendarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti

OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.


b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri.
c. Non-farmakologi:
1) Olah raga
2) Imobilisasi
3) Pijat
4) Relaksasi
5) Stimulasi saraf transkutan elektrik
5. Follow-up (asesmen ulang)
a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan umum:
1) Pemberian parenteral: 30 menit
2) Pemberian oral: 60 menit
3) Intervensi non- farmakologi: 30-60 menit.
6. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksanya.
2) Diskusikan tujuan manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien.
3) Beritahukan bahwa pasien dapat menghubungi tim medis jika memiliki pertanyan /
ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
4) Pasien dan kelurga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk
penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik.
7. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setalah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti
biasa / normal.
b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada pasien.

21

Gambar 3.4 Algoritma Asesmen Nyeri Akut

22

Gambar 3.5 Algoritma Manajemen Nyeri Akut


D. MANAJEMEN NYERI KRONIK
1. Nyeri kronik: nyeri yang persisten/ berlangsung > 6 minggu
2. Lakukan asesmen nyeri:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen

nyeri

sebelumnya )
b. Pemeriksaan penunjang: radiologi
c. Asesmen fungsional:
1) Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan disabilitas
2) Buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien
3) Nilai efektivitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
3. Tentukan mekanisme nyeri:
a. Manajemen bergantung pada jenis / klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis:
1) Nyeri neuropatik:
Disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem somatosensorik
23

Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik.


Karkteristik: nyeri parsisten, rasa terbakar, terfapat penjalaran nyeri sesuai dengan

persyarafannya, baal, kesemutan, alodinia.


Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu,

ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3 bulan


2) Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial
Mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul dan ekstremitas

bawah.
Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/ lebih jenis otot, berakibat kelemahan,

keterbatasan gerak.
Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive
Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan

manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitve, faktor pekerjaan)


3) Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif):
Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca operasi
Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri. Terdapat

riwayay cedera / luka


Tatalaksana: menejemen proses inflamasi dengan antibiotic / antirematik, OAINS,

kortikosteroid
4) Nyeri mekanis / kompresi:
Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/spain ligament / otot),
degenerasi diskus, osteoporosis dengan faktur kompresi, faktur.
Merupakan nyeri nosiseptif
Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
4. Asesmen lainnya:
a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi, cemas,
riwayat

penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara seksual/fisik,

verbal, gangguan tidur)


b. Masalah pekerjaan dan disabilitas
c. Faktor yang mempengaruhi;
1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk
2) Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
1) Hambatan komunikasi / bahasa
2) Faktor finansial
3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan
4) Kepatuhan pasien yang buruk
5) Kurangnya dukungan keluarga dan teman
5. Manajemen Nyeri Kronik berdasarkan Level
a. LEVEL I
Prinsip level I:
1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki
tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres).
2) Pasien harus berpatisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fungsi
24

3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi


untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
4) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan
kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stres, latihan fisik, terapi
relaksasi, dan sebagainya
5) Beritahu kepada pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyeri
6) Ajaklah untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri
7) Jadwalkan kontrol pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk kontrol
dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien
8) Bekerja sama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien
9) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
10) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri
11) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)
Manajemen level I:
Menggunakan pendekatan standar dalam penatalaksanaan nyeri kronik
termasuk farmakologi, intervensi, non-farmakologi, dan terapi pelengkap /
tambahan. Terapi berdasarkan jenis nyeri:
1) Nyeri neuropatik

Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:


- Kontrol gula darah pada pasien DM
- Pembedahan, kemoterapi, radoterapi untuk pasien tumor dengan
kompresi saraf
- Kontrol infeksi (antibiotik)
Terapi simptomatik:
- Antidepresan trisiklik (amitriptilin)
- Antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin
- Obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi )
- OAINS, kortikosteroid, opioid
- Anestesi regional: blok simpatik, blok epidural / intraketal, infus
-

epidural / intratekal
Terapi berbasis- stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal, pijat
Rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi,

metode ergonomis
Prosedur ablasi: kormiotomi, ablasi saraf dengan radiofrekuensi
Terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan
otot

dan toleransi terhadap nyeri), tetapi perilaku kognitif

(mengurangi perasaan terancam atau tidak nyaman karena nyeri


kronis)
2) Nyeri otot

Lakukan skrining tehadap patologi medis yang serius, faktor psikososial


yang dapat menghambat pemulihan
25

Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar /

awal dan ditingkatkan secara bertahap.


Rehabilitasi fisik:
- Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas,
keseimbangan
Mekanik
Pijat, terapi akuatik
Manajemen perilaku:
- Stress / depresi
- Teknik relaksasi
- Perilaku kognitif
- Ketergantungan obat
- Manajemen amarah
Terapi obat:
- Analgesik dan sedasi
- Antidepressant
- Opioid jarang dibutuhkan
-

3) Nyeri inflamasi

Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya


Obat anti inflamasi utama OAINS kortikosteroid

4) Nyeri mekanis kompresi

Penyebab yang seiring tumor / kista yang menimbulkan kompresi pada

struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi dan faktur.


Penanganan efektif dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi,

bidai, alat bantu.


Medikamentosa kurang

efektif.

Opioid

dapat

digunakan

untuk

mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.


Manajemen level 1 lainnya:
1) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan sedang atau nyeri nonneurotik
2) Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi opioid
jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker.
3) Intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal,
injeksi intra-sendi, injeksi epidural
4) Terapi pelengakap / tambahan : akupuntur, herbal

Tabel 3.5 Skor DIRE (diagnosis, intractibility, risk, efficacy)*


Faktor
Diagnosis

Penjelasan
1= kondisi kronik ringan dengan temuan obyektif minimal atau tidak
26

Intracability
(keterlibatan)

Risiko (R)
Psikologi

Kesehatan

Rehabilitas

Dukungan
sosial

Efikasi

Skor total

adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya migraine, nyeri


punggung tidak spesifik.
2= kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi nyeri
sedang menetap dengan temuan objektif medium. Misalnya nyeri
punggung dengan perubahan degeneratif medium, nyeri neurotopik.
3= kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata.
Misalnya: penyakit iskemik vascular berat, neuropatik lanjut, ....
spinal berat.
1= pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara
minimal dalam manajemen nyeri.
2= beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak
sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat
hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis)
3= pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi
respon terapi tidak adekuat.
R= jumlah skor P+K+R+D
1= disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang
mempengaruhi terapi. Misalnya gangguan kepribadian,
gangguan efek berat.
2= gangguan jiwa / kepribadian medium / sedang. Misalnya
depresi, gangguan, cemas.
3= komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau
gangguan yang signifikan.
1= penggunaan obat akhir-akhir ini. alkohol berlebihan,
penyalahgunaan obat.
2= medikasi untuk mengatasi stess, atau riwayat remisi
psikofarmaka
3= tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan.
1= banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja / jadwal
control.
2= terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi
secara keseluruhan dapat diandalkan
3= sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control dan
terapi)
1= hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman
dekat, peran dalam kehidupan normal
2= kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan
dalam sosial
3= keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam
kerja/sekolah ada isolasi sosial
1= fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan
penggunaan dosis obat sedang- tinggi
2= fungsi meningkat tetapi kurang efisiensi (tidak menggunakan
opioid sedang-tinggi)
3= perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai
...yang stabil.
=D+I+R+E

27

Keterangan:
Skor 7 + 13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14 + 21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
b. LEVEL II
Manajemen level 2
1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya
atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal)
2) Indikasi pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif / manajemen level 1.
3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan
manajemen level 1.

28

Gambar 3.6 Algoritma Asesmen Nyeri Kronik

29

Gambar 3.7 Algoritma Manajemen Nyeri Kronik


E. MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK
1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma, sakit perut
dan faktor psikologi.
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang berbeda terhadap kerusakan
jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri.
4. Pemberian analgesik:
30

a. By the ladder pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak
(ringan, sedang, berat)
1) Awalnya, berikan analgesik ringan sedang (level 1)
2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naikkan ke leve 2
(pemberian analgesik yang lebih poten)
3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol
4) Analgesik adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat

berefek analgesik dalam kondisi tertentu


Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapt diberikan analgesik adjuvant sebagai

level 1
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri

neuropatik.
Kategori:
- Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis adremergic alfa-2,
-

kortikosteroid, anestesi topical.


Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant , antikonvulsan, agonis

GABA, anestesi oral-lokal.


Anagesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksasi otot, benzodiazepine,

inhibitor osteoklas, radiofarmaka.


b. By the clok: mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa kerja obat
dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri
pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi.
c. By the child: mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi masingmasing individu.
1) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur
2) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu
d. By the mouth: mengacu pada jalur pemberian oral.
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive dan efektif,
biasanya per oral.
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka
mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian parenteral
terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan absorsi
obat tidak dapat diandalkan
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV, dan subkutan
intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan / keterlambatan
pemberian obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada anak. Indikasi: pasien

31

nyeri dimana pemberian per oral dan opioid parenteral intermitten tidak memberikan
hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberika obat per oral)
e. Analgesik dan anetesi regional: epidural atau spinal
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi
dengan terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik
3) Beriakn edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-obatan dan
peralatan resusitasi, dan pencatatan yang akurat mengenai tanda vital / skor nyeri.
f. Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat melibatkan
komponen nosiseptif dan neuropatik
1) Lakukan anamnesis dan fisik menyeluruh
2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai
3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi
4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik dan perilaku).
5) Lakukan pendekatan multidisiplin
g. Panduan penggunaan opioid pada anak:
1) Pilih rute yang paling sesuia. Untuk pemberian jangka panjang, pilih jalur oral.
2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat dengan
dosis 50%-200% dari dosis infus per jam kontinu prn.
3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis infus
IV per-jam kontinu sejumlah total dosis opioid prn yang diberikan dalam 24 jam
dibagi 24. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar
50%
4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya
5) Jika efek analgeseik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas tingkatkan dosis
sebesar 50%
6) Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang menerima
opioid > 1 minggu, harus dilakukan tapering-off

(untuk menghindari gejala

withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari lalu kurangi sebesar 25 % setiap 2
hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis morfin oral (0,6 mg/ kgBB/hari ), opioid
dapat dihentikan.
7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi
dan menimbulkan mioklonus dan hiperrekfleks
Tabel 3.6 Obat Non-Opioid yang sering digunakan pada Pediatrik
Obat
Parasetamol

Dosis
10-15mg/kgBB oral,

keterangan
Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal

Ibuprofen

setiap 4-6 jam


5-10mgkgBB oral,

dan hematologi minimal


Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien

setiap 6-8 jam

dengan gangguan hepar/renal, riwayat

10-20mg/kgBB/hari

perdarahan gastrointestinal atau hipertensi.


Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien

Naproksen

32

diklofenak

oral, terbagi dalam 2

disfungsi renal. Dosis maksimal 1gr / hari.

dosis
1mg/kgBB oral, setiap

Efek antiinflamasi. Efek samping sama

8-12 jam

dengan ibuprofen dan naproksen. Dosis


maksimal 50mg/kali.

h. Terapi alternatif / tambahan


1) Konseling
2) Manipulasi chiropractic
3) Herbal
5. Terapi non-obat
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaan dan memiliki efek yang besar
dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music, cahaya,
warna, mainan, permen, computer, permainan, film dan sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan
meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
d. Terapi relaksasi: depat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan, menggerakan
kaki sesuai iram , menarik napas dalam.
Tabel 3.7 Terapi Non-Obat

Kognitif
Informasi
Pilihan dan kontrol
Distraksi dan atensi
Hypnosis
Psikoterapi

Perilaku
Latihan
Terapi relaksasi
Umapan balik positif
Modifikasi gaya hidup /
perilaku

Fisik

Pijat
Fisioterafi
Stimulasi ternal
Stimulasi sensorik
Akupuntur
TENS

33

Gambar 3.8 Algoritma Manajemen Nyeri Pada Pediatrik


F. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT
1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia 65 tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga 2 kali lipatnya dibandingkan dewasa
muda.

34

3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia
trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, polimialgia, dan penyakit degeneratif.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri, sendi utama / penyangga tubuh, punggung, tungkai
bawah dan kaki.
5. Alasan seringgnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatri.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
6. Asesmen nyeri pada geriartri yang valid, reliable dan dapat diaplikasikan menggunakan
Function Pain Scaleseperti dibawah ini:
Tabel 3.8 Function Pain Scale
Skala Nyeri
0
1
2
3

Keterangan
Tidak nyeri
Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terpengaruh )
Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)
Tidak dapat ditoleransi (tetapi dapat menggunakan telepon menonton

TV, atau membaca)


Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton

TV, atau membaca )


5
Tidak dapat ditolerasi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
*skor normal / yang diinginkan : 0-2
7. Intervensi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nyeri untuk
menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan: perkutan, akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif relaksasi umpan balik positif,
hypnosis.
e. Fioterapi dan terapi okupasi
8. Intervesi farmakologi (tekanan pada keamanan pasien)
a. Non-opiod: OAINS, parasetamol, COX-2 Inhibitor,

antidepressant

trisiklik,

amitriptilin, ansiolitik.
b. Opioid:
1) Risiko adiksi rendah jika digunakan nyeri akut (jangka pendek).
2) Hindari yang cukup dan konsumsi serat / talking agent untuk mencegah konstipasi
(preparat senna, serbital)
3) Berikan opioid jangka pendek
4) Dosis rutin dan teratur memberikan analgesik yang lebih baik daripada pemberian
intermiten.
5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan
6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat , dapat menaikkan opioid sebesar 50100% dari dosis semula.
35

c. Analgesik adjuvant
1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan opioid dan resolusi nyeri
2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepine, gabapentin, tramadol, mexiletine:
efektif untuk nyeri neuropatik
3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigennital
Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan
menjadi 300 mg / hari
9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada perdarahan gastrointestinal meningkat hampir
dua kali lipat pada pasien > 6,5 tahun
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh termasuk absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
eleminasi
11. Pasien lansia cederung memerlukan pengarahan dosis analgesik. Absorbsi sering tidak teratur
karena adanya pemindahan waktu . sindrom malabsorbsi
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan
15. Efek samping penggunaan opioid paling sering dialami konstipasi
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien mengkonsumsi
analgesik, antideprassant, dan sedasi secara rutin harian )
17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan hingga
tercapai dosis yang dinginkan
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan / keterbatasan mobilisasi, pada akhirnya mengarah ke depresi karena pasien
frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunyan kemampuan fungsional
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkakn imunitas tubuh
c. Kontrol nyreri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan gelisah
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi dapat
meningkatkan risiko jatuh dan delirium
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping
gastrointestinal lebih besar)
b. Opioid: pentazocine, butorphano (merupakan campuran antagonis dan agonis, cenderung
memproduksi efek psikotomimetik pada lansia): metadon, levorphanol (waktu paruh
panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclisc (efek samping antikolinergik )
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnaya harus diberikan kombinasi preparat
senna dan obat pelunak feses (bulking agents)
21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen pada nyeri
akut)
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS analgesik adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten

36

22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dan hati-hati dalam
memberikan obat kombinasi

37

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL (SPO)


SPO
ASSESMENT NYERI

RSGMP
UNSOED

No Dokumen

No Revisi :

Halaman :

..

TanggalTerbit

Ditetapkanoleh
Direktur RSGMP UNSOED

STANDAR
PROSEDUR
OPERASIONAL
..

Drg.Arwita mulyawati,M.HKes.
NIP.19531205 198203 2 001

Pengertian

Asesmen nyeri adalah suatu tindakan melakukan penilaian rasa sakit/


nyeri pada pasien di RS, yang terdiri atas asesmen nyeri awal dan
asesmen nyeri ulang.
Asesmen nyeri awal adalah suatu tindakan melakukan penilaian rasa
sakit / nyeri pada pasien saat pasien dilayani pertama kali di rawat jalan
maupun Unit Gawat Darurat.
Asemen nyeri ulang adalah suatu tindakan melakukan penilaian ulang
rasa sakit/nyeri pada pasien dengan keluhan nyeri baik di rawat jalan,
IGD, rawat inap maupun rawat khusus sampai pasien terbebas dari rasa
nyeri.

Tujuan

1. Semua pasien di RS dilakukan asesmennyeri


2. Semua pasien nyeri dilakukan pengelolaan nyeri sesuai panduan
manajemen nyeri

Kebijakan

SK Direktur RSGMP UNSOED Nomor............ 2015 tentang Kebijakan


Assesment Nyeri di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan UNSOED
1. Dokter/ perawat melakukan asesmen awa lterhadap nyeri pada semua
pasien yang periksa di RS.
2. Penilaian rasa sakit/nyeri dilakukan dengan menggunakan pengkajian
yang sesuai untuk masing masing pasien:
a. NIPS (Neonatal Infant Pain Scale) untuk neonatus
b. FLACC (Face, Leg, Activity, Cry, Consolability) untuk anak
usia< 3 tahun atau anak dengan gangguan kognitif atau untuk

Prosedur

38

3.
4.

5.

6.
7.

Unit Terkait

1.
2.
3.

pasien-pasien anak yang tidak dapat dinilai dengan skala lain.


c. Wong Baker FACES Pain Scale untuk pasien dewasa dan anak> 3
tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya
dengan angka
d. VAS (Visual Analog Scale) untuk pasien dewasa dan anak> 8
tahun, dengan skala 0 10 dimana 0 tidak nyeri dengan 10 sangat
nyeri, pasien diminta mengekspresikan rasa nyerinya.
e. Comfort Scale untuk menila iderajat sedasi pada anak dan
dewasa dengan terapisedasi, yang dirawat di ruang rawat
intensif / kamaroperasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai
menggunakan Visual Analog Scale atau Wong-Baker FACES
PainScale
Dokter/ perawat melakukan tindakan /intervensi sesuai dengan
derajat nyeri yang diderita pasien.
Asesmen tulang nyeri dapat dilakukan :setiap shift, mengikuti
pengukuran tanda vital pasien, satu jam setelah tatalaksana nyeri,
atau sesua ijenis dan onset obat, setelahpasienmenjalaniprosedur
menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang
dari rumahsakit.
Untuk pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan
asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat
intravena.
Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit 1
jam setelah pemberian obat nyeri.
Hasil asesmen nyeri didokumentasikan dalam rekam medis pada
form catatan terintegrasi, monitoring terpadu dan indikato rmutu
klinik. Hasil asesmen nyeri diinformasikan kepada pasien /keluarga
dan didokumentasikan dalam rekam medis
IGD
Instalasi Rawat Inap
Instalasi Rawat Jalan

39

RSGMP
UNSOED

MANAJEMEN NYERI PASIEN

No. Dokumen

No. Revisi

Ditetapkan Oleh

Tanggal Terbit

Direktur RSGMP UNSOED

Standar
Prosedur
Operasional
Rumah Sakit

Halaman

....................
Drg.Arwita mulyawati,M.HKes.
NIP.19531205 198203 2 001

Pengertian

Langkahlangkah petugas dalam melaksanakan manajemen nyeri


pada pasien

Tujuan

Sebagai

acuan

bagi

petugas

kesehatan

dalam

melaksanakan

manajemen nyeri pada pasien

40

Kebijakan

1. Peraturan Direktur Utama RS XXX Semarang Nomor 81/PER/2013


tentang Kebijakan Manajemen Nyeri
2. Semua

pasien

yang

masuk

di

RS.

XXX

wajib

dilakukan

pengelolaan nyeri secara optimal


3. Pengkajian skala nyeri dilakukan dengan menggunakan :
3.1.

Numeric Pain Intencity Scale untuk pasien dewasa,

sadar dan kooperatif (usia lebih atau sama dengan 8 th)


3.2.

Face Scale / Wong Baker Face Rating Scale untuk

pasien anak anak umur


3.3.

FLACC

(Face,

1 3 tahun (todler) atau lebih

Legs,

Activity,

Cry,

Consolability)

merupakan penilaian non verbal pasien neonatus dan pasien


tidak sadar
4. Nyeri dikategorikan menjadi tiga skala, yaitu :
a. Ringan (skala1-3),
b. Sedang (skala 4-6),
c. Berat (skala 7-10)
1.

Prosedur

1. Setiap pasien yang datang ke RS. XXX wajib dilakukan anamnesa


dan dinilai skala nyerinya

MANAJEMEN NYERI PASIEN

No. Dokumen

No. Revisi

Halaman

41

2.
2. Penilaian/pengkajian

skala

nyeri

dilakukan

dengan

cara

menanyakan kepada pasien meliputi P, Q, R, S, T yaitu :


P (Provokes / Point ) : faktor pencetus nyeri
Q (Quality/Intensitas) : kualitas nyeri, tipe nyeri
R (Radiation / Relief) : lokasi nyeri dan penyebarannya
S ( Severity )

: beratnya nyeri, derajat, skala nyeri

T (Time / On set)
kadang atau menetap

: sejak kapan nyeri timbul, kadang

3. Penetapan nyeri dibagi menjadi :


3.1.
Nyeri Cardiac
3.2.
Nyeri Non Cardiac
Hasil penilaian skala nyeri dilakukan pengelolaan sebagai berikut :
a. Nyeri ringan (skala 1 - 3) : merupakan tindakan mandiri
perawat dengan cara mengajarkan teknik relaksasi / distraksi,
bila dengan tindakan tersebut selama 1 jam belum ada
perbaikan, maka dilakukan kolaborasi medis untuk pemberian
terapi Non Steroid Anti Inflamasi Drug (NSAID)
b. Nyeri sedang (skala 4 - 6) : dilakukan kolaborasi medis
untuk pemberian terapi Non Steroid Anti Inflamasi Drug
(NSAID) dan gol OPIOID ringan
c. Nyeri berat (skala 7 - 10) : dilakukan kolaborasi medis
untuk pemberian terapi gol OPIOID, apabila dengan cara
tersebut

keluhan

nyeri

belum

ada

perbaikan

maka

dikolaborasikan kembali dengan medis untuk dikonsultasikan


dengan Tim Terapi Nyeri Intervensi
4. Asesmen Nyeri
4.1.
Penilaian nyeri dengan menggunakan Numeric Scale
dilakukan dengan cara meminta pasien untuk memilih derajat
nyerinya dalam bentuk angka 0 10, dimana 0 berarti tidak
ada nyeri dan 10 untuk nyeri yang tidak tertahankan

Numeric Rating Scale

42

MANAJEMEN NYERI PASIEN

No. Dokumen

No. Revisi

Halaman

43

3.

4.2.

Penilaian nyeri dengan menggunakan Face Scale /

Wong Baker Facerating Scale


Instruksi : petugas menyesuaikan / memilih gambar mana
yang paling sesuai dengan keadaan pasien.

0
2
4
6
8
10

= expresi rilek, tidak merasa nyeri sama sekali


= sedikit nyeri
= cukup nyeri
= lumayan nyeri
= sangat nyeri
= amat sangat nyeri (tak tertahankan)

Keterangan GAMBAR WONG BAKER:

Dikatakan nyeri ringan (skala nyeri 1-3) apabila

pengkajian menunjukkan gambar 2 dan 4


Dikatakan nyeri Sedang (skala nyeri 4-6 ) apabila : hasil

pengkajian menunjukkan gambar 6


Dikatakan nyeri Berat (skala nyeri 7- 10 )

: hasil

apabila

hasil pengkajian menunjuk-kan gambar 8 dan 10

4.3.

enilaian nyeri dengan menggunakan FLACC (Face, Legs,


Activity, Cry, Consolability) dengan menjumlahkan skor dari ke5 item
Cara menilai :
Nilai 1-3 termasuk nyeri ringan
Nilai 4-6 termasuk nyeri sedang
Nilai 7-10 termasuk nyeri berat

MANAJEMEN NYERI PASIEN

44

No. Dokumen

No. Revisi

Halaman

45

4.

FLACC BEHAVIORAL PAIN SCALE


Kategori

Nilai 0

Nilai 1

Smile/ceria(ti
dak ada
expresi
sedih)

Perubahan
expresi/sedih,
sesekali
menyeringai/m
eringis

Expresi wajah
stess,dagu
mengatup
rapat,
gemeretat

Legs

Normal
posisi/rilexs

Sulit, tegang,
kaku

Menendangnendang,tidak
kooperatif

Activity

Tiduran
normal,posisi
nyaman,
pindah posisi

Posisi tidak
nyaman,
(menggeliat,ge
ser, ke
belakang dan
ke depan, kaku)

Tidak
kooperatif

Cry

Tidak
menangis
saat bangun
tidur/sadar

Merengek,sese
kali
menannngis/na
mpak tidak
nyaman,
merintih

Melenguh,seri
es
menangis,kom
plain , suara
tidak jelas
berteriak

Consolabili
ty

Perasaan
nyaman dan
relaksasi

nampak rilexs
bila disentuh /
nyeri berkurang
dengan
sentuhan /
masage

Sangat sulit
untuk menjadi
nyaman

Face

(emosional)

5. Reasesmen nyeri di rawat inap


5.1.
Dilakukan kepada semua

Nilai 2

pasien

rawat

inap

tiap

pergantian shift jaga perawat / 8 jam dan sewaktu waktu bila


diperlukan
5.2.
Dilakukan kepada pasien 1 jam setelah dilakukan
tindakan relaksasi / distraksi
5.3.
Dilakukan kepada pasien

15

30

menit

setelah

pemberian terapi analgetik oral atau injeksi


5.4.
Dilakukan kepada pasien 5 menit setelah pemberian
terapi nitrat atau suntikan intra vena pada pasien yang
mengalami nyeri dada / kasus jantung
5.5.
Dilakukan kepada pasien 5 menit setelah pemberian
terapi injeksi golongan opioid

46

MANAJEMEN NYERI PASIEN

No. Dokumen

No. Revisi

Halaman

5.

5.6.

Evaluasi pasien nyeri kronis atau keganasan stadium

terminal dilakukan tiap 4 jam


5.7.
Evaluasi pada pasien nyeri karena proses persalinan
dilakukan tiap 4 jam pada fase laten dan 2 jam pada fase aktif
atau tergantung kondisi pasien
5.8.
Pada nyeri skala berat :
Cardiac : dilakukan evaluasi tiap 15 menit
Non Cardiac : dilakukan evaluasi tiap 30 menit
6. Reasesmen nyeri pada pasien rawat jalan :
6.1.
Nyeri non cardiac : dievaluasi tiap 30 menit atau
dievaluasi lebih cepat bila ada kegawatan
6.2.
Nyeri cardiac : dievaluasi tiap 15 menit
6.3.
Pada pasien dengan nyeri ringan sedang (skala nyeri
1-6) bisa dievaluasi setelah 24 jam
6.4.
Pada pasien yang mendapat

tindakan,

evaluasi

dilakukan setiap 15 menit setelah tindakan dilakukan


6.

Unit Terkait

1. Rawat Inap
2. Rawat Jalan

47

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Jalan prof. HR. Boenjamin 708 Kotak pos 115 purwokerto
Telp.0281-638337, 638795 facs. 631802 kode pos 5312
Website : www.unsoed.ac.id

FORMULIR ASESMEN/ASESMEN ULANG NYERI

IDENTITAS PASIEN:
TANGGAL/JAM ASESMEN:
P : ....................................................................................................................................................
Q : ...................................................................................................................................................
R : ...................................................................................................................................................
S : ....................................................................................................................................................
T : ...................................................................................................................................................
Scala Nyeri

Keterangan:

P= Provokatif: yang memprovokasi nyeri apa yang menjadi penyebab nyeri?


Rudapaksa, benturan?
Apa yang membuat lebih baik atau lebih buruk ?
Q=Quality/Kualitas: seperti apa rasanya?
Seperti tertusuk benda tajam, tumpul, sakit, berdenyut, ditusuk jarum, dll?
R=Regio/Radiasi Daerah nyeri dimana rasa sakit itu berada?
Menyebar kemana?
S=Severity/Skala : seberapa berat pakai skala 0 sd 10
T=Tempo/timing: waktu yang berkaitan dengan nyeri Kapan nyeri datang?
Apakah rasa sakit itu datang dan pergi atau itu terus menerus?

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
48

Jl. dr. Soeparno, Grendeng - Purwokerto 53122


Telp. (0281) 641233, 641234 fax (0281) 629161

PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN PASIEN NYERI


DI RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Data ldentitas Pasien


Nama

Diisi nama lengkap pasien

No.. Rekam Medis

Diisi Nomor Rekam Medis Pasien

Ruangan/Kamar
Diagnosis

Diisi nama ruangan/kamar Pasien


dirawat

Variabel

49

1.

Lokasi Nyeri

2.

Skala Nyeri

3.

Karakteristik Nyeri

4.

Lihat gambar, pilih salah satu


angka yang sesuai

Pilih salah satu yang sesuai dan


beri tanda ('1) pada kolom yang
tersedia

Durasi

5. Kondisi bagaimana
bisa timbul

6.

Pilih
gambar
tubuh
yang
mengalami nyeri beri tanda

History/Riwayat

7. Tanggal

8. Nama Perawat

nyeri

Pilih nilai lamnya waktu jika


nyeri timbul beri tanda (--./) pada
kolom yang sesuai

Pilih
yang sesuai
dan beri
tanda pada kolom
yang
tersedia

Bagian
a tuliskan jawaban
sesuai hasil anamnesis Bagian b
tuliskan jawaban sesuai hasil
anamnesis Bagian c beri tanda
('1)

lsi sesuai tanggal


dilakukannya

Tuliskan
nama perawat yang
melakukan pengkajian nyeri

50

REFERENSI
1. Joint Commision on accreditation of Healthcare Organization. Pain: current understansing of
asessment, management, and treatments. Nations Pharmaceutical Council, Inc: 2001.
2. Wallace Ms, Staats PS. Pain medicine and management: just the facts. Mcgraw-hill; 2005.
3. National Institute of Health Warren Grant Magnuson Clinical Center. Pain intensity
instruments: numeric rating scale; 2003.
4. Wong D, Whaley L. Clinical handbook of pediatric nursing. Edisi ke-2. St. Louis: C.V. mosby
Company: 1986.
5. Ambuel, Hamlett KW, Marx CM, Blumer JL. Assesing distress in pediatric intensive care
environments: the COMFORT scale. J Paed Psych. 1992;17:95-109.
6. Pain management. [diakses tanggal 23 Februari 2012]. Diunduh dari:www.hospitalsoup.com
7. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline: assessment and
management of acute pain. Edisi ke-6. ICSI; 2008.
8. Pain Management Task Group of the Hull & East Riding Clinical Policy Forum. Adult pain
management guidelines. NHS; 2006.
9. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI).health care guideline: assessment and
management of choronic pain. Edisi ke-5. ICSI; 2011.
10. Argoff CE, McCleane G. Pain management secrets: questions you will be asked. Edisi ke-3.
Philadelphia: mosby Elsevier;2009.

51

Вам также может понравиться