Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam telah lama dikenal dalam tataran kehidupan manusia, pada awal
perkembangannya, hukum Islam masih sangat simple dan sederhana. Beberapa kasus hokum
dimasa awal, dapatlah dikedepankan dalam mendiskripsikan suasana hukum Islam yang realistis.
Bagaimana umat Islam bertanya tentang hukum mengonsumsi kharm dalam kehidupan
masyarakat pada masa itu? Atau bagaimana dengan kasus pengharaman praktik riba? Semua ini
membawa pemahaman bahwa dalam beberapa peristiwa hukum, keberadaan hukm islam
menempati posisi yang menuntut untuk memberi jawabannya. Masalah lain yang dirasa krusial
dalam aspek hukum Islam adalah adanya nilai kesenjangan yang ada didalamnya. Hukum Islam
yang notabene tertera dalam teks-teks suci, yang ada dalam Al Quran ataupun Hadist Rasul,
secara kuantitas jumlahnya sangat terbatas. Dan itu tidak semuanya menyangkut tentang aspek
hukum. Sedang di sisi lain, perkembangan masyarakat mempunyai laju kecepatan yang kadang
kala tidak terkejar oleh hukum itu sendiri. Akibatnya, posisi hukum diprediksikan selangkah
lebih dibelakang dibanding dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Diantara isu
yang muncul seputar demokratisai, hak asasi, gender, dan keadilan ekonomi-sosial muncul
lembaga-lembaga ekonomi baru yang sebelumnya secara formal dalam dunia Timur belum
terlembagakan dalam sebuah institusi, seperti lembaga perbankan dan asuransi. Kedua lembaga
ini di dunia Barat merupakan barang yang lama telah ada dan telah menjadi salah satu instrument
sekaligus mesin ekonomi pada era modern. Sebagai imbas dari proses globalisasi, kedua institusi
ini diboyong ke dunia Islam. Maka, menjadi tugas hukum Islam untuk menindaklanjuti ataupun
memberi tanggapan, baik dalam bentuk legalitas formal ataupun dalam wujud pengislaman
kedua lembaga tersebut.
Selanjutnya akan kami sajikan pembahasan tentang asuransi dalam wajah atau pernak-pernik
yang dikemas dengan semangat nilai-nilai keislaman. Ini yang menjadi objek mendalam dalam
penyusunan makalah ini. (Ali, 2005:1-6)

B. Rumusan Masalah
1

1. Bagaimana pengertian asuransi syariah?


2. Bagaimana asuransi dalam perspektif hukum islam?
3. Bagaimana akad yang membentuk asuransi syariah?
4. Apakah perbedaan asuransi syariah dan konvensional?
5. Bagaimana kondisi asuransi syariah di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami pengertian asuransi syariah.
2. Untuk memahami bagaimana asuransi dalam perspektif hukum islam.
3. Untuk memahami akad yang membentuk asuransi syariah.
4. Untuk mengetahui perbedaan asuransi syariah dan konvensional.
5. Untuk memahami kondisi asuransi syariah di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2

A. Pengertian Asuransi Syariah


Tidak ada salahnya jika terlebih dahulu kita mengemukakan pengertian asuransi secara
umum. Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance. Insurance mempunyai pengertian:
asuransi, dan jaminan. Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang
menjelaskan bahwa asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Asuransi syariah mempunyai beberapa padanan dalam bahasa Arab, diantaranya, yaitu
takaful, tamin, dan tadhamun. Ketiga kata tersebut merupakan padanan dari pengertian asuransi
syariah yang menpunyai makna saling menanggung dan saling menolong.
Takaful berarti menolong, mengasuh, memelihara, memberi nafkah, dan mengambil alih
perkara seseorang. At-Tamin berarti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas
dari rasa takut. At-Tadhamun berarti saling menanggung. (Ali, 2008:1-7)
B. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam
1. Nilai filosofis asuransi syariah
Bangunan yang membentuk adanya asuransi syariah didasarkan pada prinsip dasar dari nilai
yang berlaku pada diri manusia. Manusia terlahir dengan dibekali dua kekuatan, yaitu kekuatan
pembentuk yang berasal dari Tuhan (roh) yang cenderung berbuat baik dan yang berasal dari
materi (unsur tanah). Nilai tersebut merupakan pembawaan manusia sejak lahir yang bersifat
alami yang terikat oleh aturan-aturan yang berasal dari Allah SWT. Dengan bekal kedua
kekuatan tersebut, manusia dutuntut untuk membaca segala norma atau aturan-aturan Tuhan
yang ada di alam semesta, seningga segala gerak yang dilakukan manusia tertuju pada kekuatan
yang digariskan oleh-Nya. Dalam QS. Al Maidah ayat 2 disebutkan bahwa agar manusia selalu
berbuat tolong-menolong (taawun) antarsesamanya dalam kebaikan dan didasari atas nilai takwa
kepada Allah SWT. Prinsip dasar inilah yang menjadi salah satu nilai filosofi dari berlakunya
asuransi syariah. Selain itu, dalam QS. Yusuf ayat 46-49 memberikan pelajaran berharga bagi
3

manusia saat ini yang secara ekonomi dituntun agar mengadakan persiapan secara matang untuk
mengahadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang.
Prinsip dasar inilah yang menjadi tolok ukur dari nilai filosofi asuransi syariah yang
berkembang pada saat ini yaitu dalam bentuk semangat tolong-menolong, bekerja sama, dan
proteksi terhadap peristiwa yang membawa kerugian.
2. Landasan asuransi syariah
Landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi
syariah. Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan
yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yaitu Al Quran dan Sunnah
Rasul, maka landasn yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang
dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam. Landasan yang digunakan dalm memberi nilai legalisasi
dalam praktik bisnis asuransi adalah: Al Quran, Sunnah Nabi, Piagam Madinah, Praktik
Sahabat, Ijma, Qias, Syaru man qablana, dan Istihsan.
a). Al Quran
Al Quran tadak menyebebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi
seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau altamin secara nyata dalam Al Quran. Walaupun begitu Al Quran masih mengakomodir ayatayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi, seperti nilai
dasar tolong-menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa
kerugian di masa mendatang.
b). Sunnah Nabi
Pengertian sunnah secara bahasa adalah jalan tang ditempuh, tradisi, dan terpuji. Dalam sunnah
Nabi terdapat hadist-hadist tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang, pertanggungan
terhadap anak yatim, menghindari risiko, dan perjanjian.

c). Piagam Madinah


4

Rasulullah SAW mengundang sebuah peraturan yang terdapat dalam Piagam Madinah yaitu
sebuah konstitusi pertama yang memerhatikan keselamatan hidup para tawanan yang tinggal di
negara tersebut. Dalam konstitusi ini dijelaskan tentang peraturan bersama antara orang Quraisy
yang berhijrah dengan suku-suku yang tinggal di Madinah untuk saling melindungi dan hidup
bersama dalam suasana kerja sama saling tolong-menolong. Pasal 11 Piagam Madinah memuat
ketentuan bahwa kaum mukminin tidak boleh membiarkan sesama mukmin berada dalam
kesulitan memenuhi kewajiban membayar diyat atau tembusan tawanan. Ketentuan ini
menekankan solidaritas sesama mukmin dalam mengatsi kesulitan.
d). Praktik Sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman pernah dilaksanakan oleh Umar bin
Khattab. Pada suatu ketika Khalifah Umar memerintahkan agar daftar saudara-saudara disusun
perdistrik. Orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar tersebut berhak menerima
bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman atas
pembunuhan

yang

dilakukan

oleh

salah

seorang

anggota

masyarakat

mereka.

e). Ijma
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal ini (aqilah). Rahasia praktik dalam
aqilah adalah mengangkat perselisihan dan percekcokan antasuku Arab. Dengan adanya aqilah
berarti telah membangun suatu nilai kehidupan yang positif (al-hasan) diantara para suku Arab.
Adanya aspek kebaikan dan nilai yang positif dalam praktik aqilah mendorng para ulama untuk
bermufakat (ijma) bahwa perbuatan semacam aqilah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam syariah Islam.
f). Syaru Man Qablana
Dalam pandangan Wahhab Khalaf adalah salah satu dalil hukum yang dapat dijadikan pedoman
dalam melakukan penetapan hukum dengan mengacu pada cerita pada Al Quran atau sunnah
Nabi yang berkaitan denagn hukum syari umat terdahulu tanpa adanya pertentangan dengan
ketetapan yang ada dalam Al Quran maupun sunnah Nabi.
g). Istihsan
5

Istihsan dalam pandangan ahli ushul adalah memandang sesuatu itu baik. Kebikan dari kebiasaan
aqilah di kalangan suku Arab kuno terletak pada kenyataan bahwa ia dapat menggantikan balas
dendam darah.
3. Prinsip dasar asuransi syariah
Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh beda dengan prinsip dasar yang
berlaku pada konsep ekonomika islami secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini
disebabkan karena kajian asuransi syariah merupakan turunan dari konsep ekonomika islami.

a). Tauhid (unity)


Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana
dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap
melakukan aktifitas berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Tuhan selalu
mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada bersama kita.
b). Kedilan (justice)
Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antar pihak-pihak yang
terkait dengan akad asuransi. Keadilan dalam hal inidipahami sebagai upaya dalam
menempatklan

hak

dan

kewajiban

antara

nasabah

dan

perusahaan

asuransi.

c). Tolong-menolong (taawun)


Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan
semangat tolong-menolong antar anggota. Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus
mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada
suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.

d). Kerja Sama (cooperation)


6

Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan
antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara anggota dan perusahaan asuransi. Dalam
operasionalnya, akad yang dipakai dalam bisnis asuransi dapat memakai konsep mudharabah
atau musyarakah. Konsep mudharabah dan musyarakah adalah dua konsep dasar dalam kalian
ekonomika Islami dan mempunyai nilai historis dalam perkembangan keilmuan ini.

e). Amanah (trustworthy/al-amanah)


Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi. Seseorang yang menjadi nasabah
asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana
iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah
asuransi tidak memberikan informasiyang benar dan memanipulasi data kerugian yang menimpa
dirinya, berarti nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan dapat dituntut secara
hukum.

f). Kerelaan (al-ridha)


Dalam bisnis asuransi kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota asuransi agar mempunyai
motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang
difungsikan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial memang betul-betul digunakan untuk
tujuan

membantu

anggota

asuransi

yang

lain

jika

mengalami

bencana

kerugian.

g). Larangan riba


Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba
berarti tumbuh dan membesar. Razi dalam kitabnya Tafsir Kabir mengjukan beberapa alasan
mengenai pengharaman riba
Riba tak lain adalah pengambilan harta orang lain tanpa ada nilai imbalan apapun. Padahal,
menurut Nabi SAW., harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain;

Riba dilarang karena menghalangi manusia untuk terlibat dalam usaha yang aktif. Orang kaya,
jika ia mendapat penghasilan dari riba, akan bergantung pada cara yang gampang ini dan
membuang pikiran untuk giat berusaha;
Kontrak riba adalah media yang digunakan oleh orang kaya untuk mengambil kelebihan dari
modal.

Perbuatan

Kontrak

riba

ini

haram

memunculkan

dan

bertentangan

hubungan

yang

dengan
tegang

keadilan
diantara

dan

persamaan;

sesama

manusia;

Keharaman riba dibuktikan dengan ayat Al Quran, dan kita tidak perlu mengetahui alasan
pengharamannya. Kita harus membuangnya karena haram, meskipun kita tidak tahu alasannya.

h). Larangan maisir (judi)


Unsur judi artinya adalahsalah satu pihak yang untung namun dilain pihak justru mengalami
kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak
akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya
unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung-rugi terjadi
sebagai hasil dari ketetapan.
i). Larangan gharar (ketidakpastian)
Gharar dalm pengertian bahasa adalh penipuan, yaitu suatu tindakan yang didalamnya
diperkirakan

Bentuk

tidak

ada
akad

unsur

kerelaan.

syariah

Gharar
yang

dalam

asuransi

melandasi

ada

dua

penutupan

bentuk:
polis.

Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syari penerimaan uang klaimitu sendiri.
Secara konvensional kata syfii kontrak/atau perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan
sebagai aqd tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dan dengan uang
pertanggungan. Secara syriah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan
dan berapa yang harus diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu karena kita tahu berapa yang
akan diterima, tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya Tuhan yang tahu
kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional. (Ali,
2005: 98-134)

C. Akad yang Membentuk Asuransi Syariah


Asuransi sebagai satu bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari akad yang
membentuknya. Hal ini disebabkan karena dalam praktiknya, asuransi melibatkan dua orang
yang terikat oleh perjanjian untuk saling melaksanakan kewajiban, yaitu antara peserta asuransi
dengan perusahaan asuransi.
Mustafa Ahmad az-Zarqa memberikan kepastian bahwa prinsip dasar yang membentuk akad itu
ada empat macam dan harus ada pada setiap pembentukan akad, yaitu: (a) dua orang yang
melakukan akad (al-aqidaani); (b) sesuatu yang diakadkan (mahal alaqd); (c) tujuan dari akad
(maudhunal-aqd);

dan

(d)

rukun

akad

(arkam

al-aqd),

yaitu

ijab

dan

kabul.

Adapun mengenai praktik asuransi merupakan akad yang ghairu musamma (akad yang balum
ada penamaannya) dan merupakan akad yang baru dalam literatur fiqh, dalam beberapa hal ada
terjadi proses analogi hukum terhadap praktik operasional asuransi dengan bebrapa akad yang
telah dikenal. Salah satunya adalah akad muwalat, yaitu akad antara dua orang yang tidak terikat
keturunan, yang salah satunya meng-cover musibah pertanggungan diyat terhadap peristiwa
pembunuhan. Muslehuddin memberikan pandangan lain tentang akad muwalat, bahwa akad
muwalat dalam pandangan ulama yang membolehkan asuransi, serupa dengan asuransi
kewajiban (liability insurance). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa sesorang boleh mengasuransikan
dirinya tidak hanya terhadap risiko datangnya kematian dan kecelakaan pribadi, atau kerusakan
pada hartanya, tapi juga terhadap risiko terjadinya kewajiban terhadap pihak ketiga.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa dalam praktik asuransi paling tidak ada dua akad yang
membentuknya, yaitu; akad tabarru dan akad mudharabah. Akad tabarru terkumpul dalam
rekening dana sosial yang tujuan utamanya digunakan untuk saling menanggung (takaful)
peserta asuransi yang mengalami musibah kerugian. Sedangkan akad mudharabah terwujud
tatkala dana yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu diinvestasikan dalam wujud usaha
yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan. Karena landasan dasar yang awal dari akad
mudhrabah ini adalah prinsip profit and loss sharing, maka jika dalam investasinya mengalami
kerugian (loss atau negative return) maka kerugian tersebut juga dipikul bersama antara peserta
asuransi dan perusahaan. (Ali, 2005:136-141)

D. Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional


Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri
wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi
bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai
keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita
kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita
untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan)
dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, 'Dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu
sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang
dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal
kamu tahu." Hadist Nabi Muhammad SAW, "Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu
bangunan memperkuat satu sama lain," Dan "Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih
sayang mereka seperti satu badan. Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh
badan merasakannya.
Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari
peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu
pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan
dana

pun

berpindah,

dana

peserta

menjadi

milik

perusahaan

ausransi.

Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Akad (Perjanjian)
Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara
hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan
masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau
tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di
dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas,
menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).

10

Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat
sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang
yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi
konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjualbelikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang
harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan.
Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang
pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh
peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung
namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi.
Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam
hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa
besar

yang

akan

diterima

pemegang

polis

(pada

produk

non-saving).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa"
menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan
menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan
haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib
menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang
menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian
dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I%
Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas
dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya
saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu
saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat
282).
2. Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam
pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi
konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas
usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang
11

Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal,
perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika
tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara
financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing
pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah
pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar.
Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolongmenolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh
para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik
muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of
fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul
mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik
perusahaan.

3. Tabarru dan Tabungan


Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma.
Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud
memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama
peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana
tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang
diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling
menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam
agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana
digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah
akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).

12

Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan
oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang
digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian
syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan
dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana
tabungan

beserta

hasilnya

akan

dikembalikan

kepada

peserta

secara

penuh.

4. Maisir (Judi)
Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman
sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji,
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan
keberuntungan."
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar
yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir.
Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya
unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa
meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya
sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak
mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan
uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari
keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf
mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang
boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar.
Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang
dibayarkannya.
5. Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang
berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada
13

peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional


mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang
aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus
dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi
yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem
mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan
Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." Hadist, "Rasulullah
mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada
mereka semua sama."(HR Muslim)
6. Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab
tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa
kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka
dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving
atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang
dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan
ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu
melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan,
sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini
mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa
dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah
diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan
lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil
14

kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal
yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak
terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola
bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang
dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus).
Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.
7. Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah
Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman
Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at
takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu
badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau
penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing
anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan,
sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan
pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk
keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong
seperti yang diajarkan Islam.
8. Dewan Pengawas Syariah
Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational
perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan
setara dengan dewan komisaris.
Itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Apabila
dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya, maka
sistem asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada. (Risjawan,
2007)

15

E. Kondisi Asuransi Syariah di Indonesia


Data Departemen Keuangan menunjukkan market share asuransi syariah pada tahun 2001 baru
mencapai 0.3% dari total premi asuransi nasional. Dibidang aturan hukum saat ini sedang
digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi dampak yang
signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.
Hambatan Pengembangan Asuransi Syariah
1. Instrumen tidak dikenal masyarakat luas.
2. Anggapan masyarakat Indonesia pengurusan klaim asuransi menyulitkan.
3. Instrumen Asuransi kalah bersaing dengan isntrumen investasi seperti surat berharga.
4. Asuransi syariah belum tersosialisasikanluas seperti perbankan syariah.
Peluang Pengembangan Asuransi Syariah
Alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai
dengan hukum Islam.
Perkembangan Perbankan Islam menuntut peranan asuransi syariah untuk pengamanan aset
dan transaksi perbankan.
Beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan Asuransi Syariah adalah
ditetapkannnya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah.
(Haryanto)

16

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Asuransi syariah mempunyai makna saling menanggung dan saling menolong. Bangunan yang
membentuk adanya asuransi syariah didasarkan pada prinsip dasar dari nilai yang berlaku pada
diri manusia. Landasan yang digunakan dalam asuransi syariah adalah: Al Quran, Sunnah Nabi,
Piagam Madinah, Praktik Sahabat, Ijma, Qias, Syaru man qablana, dan Istihsan. Prinsip dasar
yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh beda dengan prinsip dasar yang berlaku pada
konsep ekonomika islami.
Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai
berikut:
Asuransi Syariah Asuransi Konvensional
Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau
tolong menolong (takaful) Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau
perjanjian jual beli
Dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah
(mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan Dana peserta menjadi milik
perusahaan asuransi (transfer of fund)
Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada
peserta secara penuh Menjadi milik perusahaan
Menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah
Menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba
Premi yang dibayarkan masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya
sangat tergantung dari hasil investasinya
Ketika seorang peserta mengundurkan diri sebelum masa reversing period dana yang telah
dibayarkan tersebut menjadi hangus Seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari

17

segi operational perusahaan, investasi maupun SDM Tidak mempunyai dewan pengawas dalam
melaksanakan perencanaan, proses, dan praktiknya.
B. Saran
Semoga dengan adanya pembuatan makalah ini dengan judul Asuransi Syariah dapat di
ambil manfaatnya oleh pembaca dan dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
khususnya dalam Asuransi syariah.

18

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syariah. www.sinarharapan.co.id [12Januari 2010].


Darmawati. 2008. Info Syariah. darmawati@takaful.com [12 Januari 2010].
Haryanto, Joko Tri. Wacana Mengenai Asuransi Syariah.
http://www.google.com/kajian_asuransisyariah.pdf [12 Januari 2010].
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSNMUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 53/DSNMUI/III/2006 tentang
Tabarru' pada Asuransi Syari'ah.
Muslehuddin, Muhammad. 1999. Menggugat Asuransi Modern. Lentera: Jakarta.
Nirmala, Yusma. et al. 2006. Mangapa harus Asuransi Syariah?. Majalah ReInfokus. April 2006.
darmawati@takaful.com [12 Januari 2010].
Rahman, Afzalur. 2003. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4. Dana Bhakti Waqaf:Yogyakarta.
Tim Takaful. Takaful Asuransi Islam. darmawati@takaful.com [12 Januari 2010].
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

19

Вам также может понравиться