Вы находитесь на странице: 1из 4

REPOSITIONING DSN DAN DPS

Fungsi Strategis dalam Keputusan Menteri Keuangan


Beberapa ketentuan yang diatur dalam KMK berkenaan dengan fungsi
pengawasan DPS/DSN-MUI sebagai berikut:
1. Dalam KMK No.422/KMK.06/2003: Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Pasal 30 ayat 1: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib
menyampaikan laporan operasi untuk kegiatan setiap satu triwulan
yang berakhir per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember,
kepada Menteri.
Pasal 30 ayat 3: Laporan Operasional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
prinsip syariah, atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang memiliki cabang dengan prinsip syariah, harus dilengkapi dengan
pernyataan DPS bahwa penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi
atau

Perusahaan

Reasuransi

dimaksud

untuk

triwulan

bersangkutan tidak menyimpang dari prinsip syariah


2. Dalam KMK No.424/KMK.06/2003: Tentang Perizinan

Usaha

yang
dan

Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi


Pasal 1 ayat 3: Prinsip Syariah adalah prinsip perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
dengan pihak lain, dalam menerima amanah dengan mengelola dana
peserta

melalui

kegiatan

investasi

atau

kegiatan

lain

yang

diselenggarakan sesuai syariah.


Pasal 6 ayat 1 huruf a: Laporan perhitungan tingkat solvabilitas
triwulan per 1 Maret, 30Juni, 30 September, dan 31 Desember, paling
lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
Pasal 6 ayat 2: Bagi perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang menjalankan usaha asuransi atau reasuransi dengan prinsip
syariah,

laporan

perhitungan

tingkat

solvabilitas

sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a harus dilengkapi dengan surat


pernyataan. DPS bahwa pengelolaan kekayaan dan kewajiban telah
dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.

3. Dalam

KMK

No.426/KMK.06/2003:

Tentang

Perizinan

Usaha

dan

Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi


Bagian Kedua:Persyaratan dan Tata Cara memperoleh Izin Usaha
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip
Syariah
Pasal 3: Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha
reasuransi berdasarkan Prinsip Syariah.
a. Pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
dengan Prinsip Syariah.
b. Konversi dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional
menjadi Perusahaan Asuransi dengan prinsip syariah atau konversi
dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi
Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
c. Pendirian kantor cabang baru dengan Prinsip

Syariah

dari

Perusahaan Asuransi dengan dengan prinsip konvensional atau


Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.
d. Konversi dari kantor cabang Perusahaan dengan

prinsip

konvensional
Pedoman Umum Asuransi Syariah menurut Fatwa DSN-MUI:
Pertama: Ketentuan Umum
1. Asuransi syariah (Tamin, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan saling menolong di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk

asset dana

tau

tabarru

yang

memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu


melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maisir (perjudian), riba,
zulmu (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial
4. Akad tabarru adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebaikan dan tolong-menolonh, bukan semata untuk tujuan komersial.

5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah


dana kepada perusahaan asuransi sesuai kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh
perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua: akad dalam asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas
akad tijarah dana tau akad tabarru
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah,
sedangkan akadtabrru adalah hibah.
3. Dalam akad sekurang-kurangnya harus disebutkan:
a. Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
b. Cara dan waktu pembayaran
c. Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru serta syarat-syarat yang
disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga: kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai
mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal
(pemegang polis).
2. Dalam akad tabarru (hibah), peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk mendorong peserta lain yang terkena musibah.
Sedangkan, perusahaan sebagai pengelola dana hibah.
Keempat: ketentuan dalam akad tijarah dan tabarru
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru bila pihak
yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga
menggugurkan

kewajiban

pihak

yang

belum

menunaikan

kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima: Jenis Asuransi dan akadnya
1. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian
dan asuransi jiwa
2. Sedangkan, akad

bagi

mudharabah dan hibah.

kedua

jenis

asuransi

tersebut

adalah

Fatwa MUI pada Rapat Kerja Nasional MUI 2003, memutuskan bahwa
bunga bank hukumnya haram. Semua transaksi berdasarkan bunga yang
berjalan selama ini dinilai sudah mmenuhi unsur-unsur riba yang
diharamkan Islam.
Menurut ketua Badan Pelaksana Harian DSN MUI, KH. Maaruf Amin, fatwa
ini tidak berlaku umu. Daerah-daerah yang belum memiliki lembaga
syariah,menurutnya tidak terjangkau oleh fatwa ini. Ia menjelaskan
bahwa fatwa tersebut hukumnya wajib diikuti dan bersifat mengikat
masyarakat Islam Indonesia sejak diputuskan, disetujui ulama dan sudah
keputusan ijtima ulama.

Вам также может понравиться