Вы находитесь на странице: 1из 501

PANDUAN KEGIATAN PESERTA

LEMBAR KEGIATAN PELATIHAN


TES DAN KONSELING HIV

KEGIATAN MATERI PENUNJANG I


MEMBANGUN KOMITMEN BELAJAR
( BUILDING LEARNING COMMITMENT)
BLC adalah proses mempersiapkan peserta mengikuti proses pembelajaran secara
individual, kelompok maupun menyeluruh dan mengubah diri kearah yang positif,
meliputi intelektual dan emosional. Maksud dan tujuan diterapkannya BLC pada
pelatihan KTHIV agar menumbuhkembangkan rasa keterbukaan, kebersamaan, saling
asih, asah dan asuh guna mengangkat dan menumbuhkembangkan potensi diri dalam
kelompok. Tujuannya untuk efektifitas, kreatifitas, motivasi, maju bersama untuk
membangun tim KTHIV yang profesional.
Persiapan
1. Fasilitator KTHIV melakukan observasi pada kapasitas ruangan yang akan digunakan
untuk BLC.
2. Fasilitator KTHIV memfasiltasi peralatan yang akan digunakan dalam proses BLC.
3. Fasilitator KTHIV mengajak seluruh peserta untuk berkumpul dalam kelas besar yang
berkapasitas 50 100 peserta.
Proses BLC
1. Fasilitator KTHIV mengajak peserta berkenalan dengan model yang bervariasi, misalnya
fasilitator, peserta dan panitia berdiri membentuk lingkaran dan menggunakan bola untuk
berkenalan.
2. Bola pada putaran pertama dipegang oleh fasilitator kemudian fasilitator tersebut
menyebutkan nama, asal instansi, pekerjaan, peran (fasilitator) dan harapannya.
3. Bola yang dia pegang kemudian dilemparkan pada orang lain yang ada dalam lingkaran
tersebut. Orang yang mendapat bola tersebut memperkenalkan dirinya, demikian
seterusnya sampai semua orang mendapat giliran memperkenalkan diri.
4. Selesai perkenalan peserta diminta untuk duduk dan menuliskan nama dengan gelar yang
lengkap termasuk jabatan yang ia sandang pada selembar kertas. Setelah semua selesai
2

menulis, fasilitator mengumpulkan lembaran kertas tersebut dan menyimpannya atau


meletakkannya pada suatu tempat tersendiri.
5. Kemudian fasilitator menjelaskan maksud penyimpanan tulisan peserta tersebut yaitu
mulai saat ini semua peserta sudah menyingkirkan gelar dan jabatan yang ada pada
mereka dan sekarang statusnya semua sama yaitu peserta pelatihan, yang mempunyai
tanggungjawab, tugas dan kesempatan yang sama serta bersatu untuk tujuan yang sama.
6. Peserta diminta secara bersama membuat komitmen/peraturan kelas selama pelatihan
yang akan berlaku untuk peserta dan fasilitator.
a) Fasilitator menuliskan peraturan yang telah disepakati tersebut pada lembaran
kertas flipchart dan dipasangkan ditempat yang bisa dilihat setiap saat.
b) Hal tersebut untuk mengingatkan peserta dan fasilitator tentang peraturan yang
telah disepakati.
c) Isi peraturan antara lain: komitmen waktu, peraturan dalam diskusi untuk saling
menghargai perbedaan, menjaga ketenangan belajar dengan tidak menerima
telepon dan menerima sanksi yang telah disepakati. Peserta memilih seorang
ketua kelas sebagai penanggungjawab kelas.
d) Jika ada pelanggaran terhadap aturan kelas, pemberian sanksi sebaiknya yang
mendidik/membangun seperti tugas review.

KEGIATAN MATERI DASAR I


KEBIJAKAN TENTANG PENGENDALIAN HIV-AIDS
DI INDONESIA
Tugas Fasilitator
1. Kegiatan Kelompok.
Kegiatan

dilakukan

dengan

melibatkan

seluruh

peserta.

Fasilitator

perlu

mempertimbangkan situasi kelas jika menerapkan kegiatan ini. Kegiatan ini dapat
dilakukan di kelas besar atau kelas kecil dengan catatan sebagai berikut :
a. Melibatkan seluruh peserta pada kelas kecil : Peserta 24-30 orang
b. Melibatkan beberapa peserta pada kelas besar : Peserta terdiri dari gabungan kelaskelas kecil dengan total peserta 100 orang
c. Fasilitator membuat kertas ukuran 5x5 cm sejumlah peserta dan fasilitator. Tulis tanda
reaktif sebanyak 10% dan tanda non reaktif sebanyak 80% pada kertas tersebut untuk
simulasi.
2. Selanjutnya fasilitator melakukan rangkuman proses kegiatan kelompok kepada
keseluruh peserta
Proses Kegiatan: Simulasi Penularan HIV (PERMAINAN WILD FIRE)
Kelompok Peserta :
1. Setiap peserta mengambil satu gulungan kertas dan pastikan bahwa tidak ada yang
membuka gulungan kertas sampai instruksi berikutnya.
2. Mintalah para peserta untuk berbaur dan mencari 4-5 teman (diprioritaskan teman baru)
di antara peserta lainnya. Fasilitator juga melakukan hal yang sama. Minta mereka saling
bersalaman dan berkenalan (atau ngobrol ringan jika sesama peserta sudah saling kenal).
3. Setelah tiap peserta bertemu dengan 4-5 temannya, kegiatan dihentikan dan minta semua
orang untuk melihat kertas masing-masing.
4. Tanyakan pada semua peserta siapa yang memiliki tanda R pada kertasnya dan mintalah
untuk maju kedepan. Fasilitator menjelaskan arti tanda R tersebut dianggap sebagai orang
4

yang mengidap HIV positif/reaktif. Apakah sewaktu bersalaman tadi peserta tahu bahwa
mereka hidup dengan HIV?
5. Fasilitator menjelaskan secara umum kaitan penularan HIV dengan kegiatan tersebut.
Kegiatan bersalaman atau ngobrol tadi diumpamakan sebagai berhubungan seksual tidak
aman dan berganti-ganti pasangan (sampai 4-5 orang).
6. Kemudian, mintalah peserta yang pernah bertemu/bersalaman dengan peserta bertanda R
untuk maju kedepan dan bergabung bersama mereka (peserta Odha). Jelaskan bahwa hal
ini menunjukkan adanya orang-orang yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi HIV
(kontak langsung dengan pengidap HIV).
7. Terdapat 2 kelompok yang berbeda. Peserta dengan hasil reakif HIV dengan peserta
berisiko tinggi bergabung menjadi satu kelompok. Selanjutnya, lihat siapa saja selebihnya
dari peserta yang berada di sisi lain. Tanyakan apakah mereka dengan status N dan tidak
kontak langsung dengan peserta Odha, apakah sudah merasa aman? Bagaimana dengan
kontak mereka (tidak aman dan berganti-ganti pasangan) dengan peserta yang berisiko
tinggi? Apakah mereka juga bisa ikut terinfeksi HIV
8. Minta peserta yang telah bertemu/bersalaman dengan peserta kelompok risiko tinggi
untuk bergabung, sehingga terlihat ada satu kelompok besar yang terdiri dari orang-orang
yang telah terinfeksi dan yang akan terinfeksi HIV. Jelaskan kita bisa melihat bahwa HIV
yang berasal hanya dari segelintir peserta R telah menjalar begitu cepat dan berdampak
besar.
9. Tegaskan lagi bahwa kegiatan bersalaman tetap tidak menularkan HIV, dan permainan ini
hanya simulasi/perumpamaan saja. Ucapkan terima kasih dan minta peserta bertepuk
tangan mengakhiri permainan simulasi.

KEGIATAN MATERI DASAR II


INFORMASI DASAR HIV-AIDS DAN PEMERIKSAAN HIV
Tugas Fasilitator
1. Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta.
2. Bagi peserta menjadi empat kelompok secara acak
3. Minta peserta memilih salah satu sebagai wakil peserta untuk mempresentasikan hasil
kelompok secara bergantian
Proses Kegiatan: Informasi Dasar HIV-AIDS dan Tes HIV
Kegiatan 1
Kelompok saudara diminta untuk melakukan presentasi di depan pemerintah setempat dimana anda
bekerja. Presentasikan hal-hal berikut ini:
1. Keuntungan dan kerugian dari rapid tes berdasarkan tempat kerja.
2. Alur layanan konseling dan tes HIV dan perlengkapan administrasi yang diperlukan

Kegiatan 2
Kelompok saudara diminta untuk menjelas Informasi Dasar HIV-AIDS pada populasi pria
berisiko: pengemudi truk jalur pantura atau tenaga bongkar muat kapal di pelabuhan

Kegiatan 3
Kelompok saudara diminta untuk menjelaskan keterkaitan HIV dan penyakit infeksi lainnya
pada kelompok pengguna Napza suntik di salah satu pusat rehabilitasi bagi pecandu Napza

Kegiatan 4
Kelompok saudara diminta untuk menjelaskan perjalanan tahapan HIV AIDS pada kelompok
petugas administrasi, petugas kebersihan dan petugas kesehatan di rumah sakit.

KEGIATAN MATERI DASAR III


PERAN KONSELING DAN TES HIV DALAM PENCEGAHAN, PERAWATAN,
DUKUNGAN DAN PENGOBATAN
Tugas Fasilitator
1. Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta.
2. Fasilitator akan membagi kelompok menjadi dua kelompok dan setiap kelompok
mendapatkan tugas yang sama.
3. Fasilitator meminta masing-masing kelompok menjelaskan arti dari bagan KTHIV dan
menjelaskan dalam kelas besar.
Proses Kegiatan : Peran Konseling dan Tes HIV dalam Pencegahan, Perawatan, Dukungan
dan Pengobatan
Penjelasan Diskusi Kelompok
1. Jelaskan makna dari bagan KTHIV pada bagan ini gunakan tayangan Power Point
2. Tentukan skenario penjelasan bagan KTHIV akan ditujukan kepada kelompok apa, kapan
dan dalam rangka kegiatan apa.
3. Presentasikan hasil skenario diskusi kelompok dalam kelas besar

Lembar Kegiatan: Peran Konseling dan Tes HIV dalam Pencegahan, Perawatan, Dukungan
Pengobatan

Peningkatan kualitas
hidup
dan
Perencanaan Masa
depan: Pengasuhan
anak
Konseling lanjutan
dan
berkesinambungan

Penerimaan Status, Perawatan


Diri,
Komunikasi
Perubahan
Perilaku, dan Pencegahan Positif

KTHIV

Pendidikan
dan
informasi masyarakat
untuk normalisasi HIV
AIDS

Memfasilitasi
rujukkan
PMTCT,
akses
kesehatan
reproduksi
dan
kesehatan seksual
Manajemen
dini
pemeriksaan
infeksi
oportunistik
dan
informasi pengobatan
HIV: ART

Dukungan dan
Perawatan di rumah,
komunitas dan
Memfasilitasi informasi dan
Rujukkan terkait dukungan
psikososial dan akses ekonomi

KEGIATAN MATERI INTI I


KONSELING HIV DALAM STRATEGI KOMUNIKASI PERUBAHAN PERILAKU
Tugas Fasilitator
1. Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta.
2. Fasilitator akan membagi peserta menjadi empat atau enam kelompok dan setiap
kelompok mendapatkan tugas yang berbeda.
3. Fasilitator meminta masing-masing kelompok untuk membuat rencana bantuan konselor
pada kasus berikut ini dan presentasikan di depan seluruh peserta.
a.Masalah yang dihadapi klien.
b.

Bagaimana seorang konselor membantu klien mengatasi masalah tersebut?

Kegiatan Materi Inti I : Kegiatan Pertama Orientasi dan Peran Konseling


Kasus 1
Laki-laki (24 tahun) datang ke bidan dengan pasangannya (18 tahun). Bidan memberitahu
bahwa mereka segera memiliki bayi karena pasangan telah hamil 10 minggu. Laki-laki
tersebut tidak siap memiliki anak. Laki-laki ini menyadari bahwa ia memiliki status reaktif
HIV sejak 2 tahun lalu dan belum membicarakan kepada siapapun termasuk kepada pasangan.
Pasangannya bingung karena masih duduk di sekolah menengah atas dan akan mengikuti ujian
nasional 2 bulan lagi. Dia kuatir ketahuan hamil sehingga dapat dikeluarkan dari sekolah dan
tidak bisa mengikuti ujian nasional. Ia juga kuatir akan diusir dari rumah orangtuanya. Bidan
menyarankan agar mereka berdua segera menikah agar bayi memiliki status
Kasus 2
Laki-laki (35 tahun) seorang TKI. Negara dimana dia bekerja telah memulangkannya karena
terbukti reaktif HIV. Laki-laki ini tidak mau kembali ke daerahnya karena taku seluruh
penduduk kampung akan mengusirnya mengingat masyarakat di kampung sudah mengetahui
status HIVnya. Seorang staff di PJTKI merujuk laki-laki ini menemui konselor di puskesmas
yang dekat dengan kampungnya agar laki-laki ini mendapatkan bantuan dari konselor.
Kasus 3
Petugas keamanan di sebuah kantor, dinyatakan reaktif HIV di klinik KTHIV TB. Dia bingung
10

karena dua hari lalu ia harus menyerahkan data catatan kesehatannya. Petugas keamanan ini
mendekati konselor dan minta bantuan agar hasil tes HIV tidak perlu disertakan karena kantor
hanya membutuhkan surat rekomendasi sehat dan bukan hasil tes HIV. Petugas keamanan
takut jika ia dipecat oleh manajemen kantor karena status HIVnya.
Kasus 4
Seorang perempuan (30 tahun) telah menikah selama 2 tahun. Ia datang ke KIA guna
memeriksakan kehamilannya. Selama proses konseling pra tes ia menyangkal semua
kemungkinan perilaku berisikonya. Hasil tes antibodi HIV menunjukkan positif/reaktif. Pada
konseling pasca tes, ia baru mengatakan bahwa 4 tahun yang lalu ia pernah berhubungan intim
dengan teman laki-lakinya. Ia tidak akan mengungkapkan status HIV positifnya kepada
suaminya karena takut ditolak dan diceraian suami.

Kasus 5
Seorang waria (32 tahun) telah menjalani hidup sebagai pekerja seks selama 12 tahun tanpa
diketahui keluarga. Ia datang ke Klinik IMS guna berkonsultasi tentang status kesehatannya.
Konselor menawarkan konseling terkait dengan kesehatan reproduksi dan pemeriksaan HIV.
Namun klien khawatir akan ditolak dan ditinggalkan keluarga dan teman-teman jika hasil
tesnya reaktif.
Kasus 6
Seorang perempuan (21 tahun) telah lulus dari sekolah akademi. Ia datang ke pusat konseling
di akademi untuk mendiskusikan ketergantungannya pada Napza sejak satu tahun yang lalu.
Selama proses konseling adiksi, ia menceritakan latar belakang menggunakan Napza. Pada
proses konseling, ia kuatir masa depannya hancur karena penggunaan Napza.

Kegiatan Materi Inti I : Kegiatan Kedua Tata Nilai-Mengisi Prioritas

11

Tugas Fasilitator
1. Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta.
2. Bagilah lembar kegiatan tata nilai Mengisi Prioritas kepada peserta dan mintalah
mereka mengisi sendiri prioritas masing-masing.
3. Diskusikan secara umum hasil pilihan masing-masing orang dan kaitkan dengan uraian
materi.
Mengisi Prioritas
Berikan nilai pada prioritas hidup di bawah ini sesuai dengan tata nilai saudara. Nilai 1 berarti
paling penting/utama bagi saudara dan nilai 7 berarti paling kecil kepentingan/keutamaannya.
Anda bebas menentukan prioritas pribadi anda sendiri.
Kesehatan

________________

Pengendalian diri

________________

Kebebasan

________________

Seksualitas

________________

Keluarga

________________

Karier

________________

Kekayaan

________________

Kegiatan Materi Inti I: Kegiatan Ketiga Tata Nilai-Daftar Kata

12

Tugas Fasilitator
1. Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta.
2. Bagilah lembar kegiatan tata nilai Daftar Kata kepada peserta dan mintalah mereka
mengisi dengan cepat daftar yang diberikan.
3. Kumpulkan hasil isian dari seluruh peserta dan bagilah hasil pengisian kembali kepada
peserta secara acak.
4. Pastikan tidak satupun peserta mendapatkan pekerjaannya kembali
5. Diskusikan dengan membacakan hasil pengisian lembar tugas peserta lainnya
Daftar Kata-Kata
Daftar kata dibawah ini akan memicu reaksi spontan saudara. Segera tuliskan dua respon
spontan yang terlintas ketika anda dihadapkan pada kata tersebut, bukan mendeskripsikan atau
menterjemahkan kata tersebut. Misalnya, saudara dihadapkan pada kata HIV, maka respon
spontan saudara mungkin :
1. Penyakit

2. Virus
Mulailah dengan daftar berikut:

Pekerja Seks
Kondom
Masturbasi
AIDS
Orgasme
Ereksi
Bayi lahir dari Ibu positif HIV
Laki-laki berhubungan seks dengan
laki-laki
Kuli Pelabuhan
Pacar Gelap
Orang Bertato
Lelaki bertindik
Perempuan Petinju
Waria
Sopir Truk
Kegiatan Materi Inti I : Kegiatan Keempat Tata Nilai-Pernyataan Kontroversi
13

Tugas Fasilitator
1. Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta.
2. Bagilah lembar tugas tata nilai Pernyataan Kontroversi kepada peserta dan mintalah
mereka mengisi SETUJU (S) atau TIDAK SETUJU (TS) pada setiap pernyataan yang
tersedia.
3. Mintalah peserta mendiskusikan perbedaan yang muncul dalam kelompok antara yang
setuju dan tidak setuju.
4. Fasilitasi diskusi perbedaan yang ada dengan penuh makna.
5. Tekankan perbedaan yang tercermin dalam kelompok tentang tata nilai, sikap dan
keyakinan.
Pernyataan Kontroversi
Isilah setiap pernyataan dibawah ini dengan tanda S (Setuju) atau TS (Tidak Setuju) sesuai
pendapat saudara. Kerjakan sendiri tanpa perlu melihat jawaban peserta lain.
1. _______ Perempuan terinfeksi HIV tidak boleh punya anak.
2. _______ AIDS merupakan masalah perilaku tidak bermoral
3. _______ Laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki tidak normal
4. _______ Merawat Odha adalah tanggung jawab bersama
5. _______ Saya sulit membicarakan perihal seks dengan lawan jenis
6. _______ Laki-laki boleh berhubungan seks sebelum menikah
7. _______ Keperawanan dan keperjakaan tidak terkait dengan moral
8. _______ Laki-laki harus mempunyai bukti tertulis bebas HIV sebelum menikah
9. _______ Pengguna NAPZA melalui suntikan wajib tes HIV
10. _______ Konselor KTHIV harus berstatus non reaktif
Kegiatan Materi Inti I : Kegiatan Kelima Melatih kebiasaan terkait dengan olahraga
dalam komunikasi perubahan perilaku
Tugas Fasilitator
1. Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta.
2. Fasilitator meminta peserta menentukan level komitmen masing-masing terhadap olah
raga yaitu sebagai berikut:
14

a. Level Pertama : Tidak perlu


b. Level Kedua

: Penting, tetapi tidak dilakukan

c. Level Ketiga

: Direncanakan, tetapi belum dimulai

d. Level Keempat

: Olahraga tidak teratur

e. Level Kelima

: Olahraga teratur selama 6 bulan terakhir

3. Fasilitator memfasilitasi diskusi dengan peserta dalam kelas besar. Tanyakan secara
berurutan kepada peserta, siapa yang berada di level 1, 2, 3, 4 dan 5 serta mintalah
penjelasan kepada peserta kenapa ada di level 1, 2, 3, 4 dan 5 secara acak. Diskusikan
hal-hal yang membuat peserta bergerak dari satu level ke level lainnya.
4. Fasilitator mencari tahu bagaimana kebiasaan olah raga mereka. Setelah seluruh peserta
menjelaskan, minta peserta yang mencapai level 5 untuk menjelaskan bagaimana mereka
mampu mencapai olahraga secara teratur, Apa yang mendorong sampai berada di level 5
dan apa saja yang membantu hingga mampu mempertahankan kebiasaan olahraga secara
teratur.
Kaitkan dengan teori:
1. Pengetahuan terkait dengan pra kontemplasi
2. Bermakna bagi diri sendiri terkait dengan kontemplasi
3. Menimbang untung rugi terkait dengan persiapan
4. Membanguan kapasitas diri terkait dengan persiapan
5. Ujicoba dan percobaan penerapan terkait dengan tindakan
6. Perubahan perilaku terkait dengan rumatan

Kegiatan Materi Inti I : Kegiatan Keenam 4 Prinsip Penularan HIV


Tugas Fasilitator
1. Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta.
2. Peserta diajak mendiskusikan bagaimana HIV ditularkan melalui berbagai kegiatan yang
ada di dalam kartu risiko.
3. Peserta diminta meletakkan kartu resiko dalam dua kelompok TIDAK BERISIKO dan
BERISIKO.
15

4. Jika tidak terdapat kartu risiko, fasilitator dapat melakukan berikut:


a. Peserta diajak membaca daftar kegiatan di bawah secara bergantian.
b. Peserta diminta untuk mengkategorikan kedalam perilaku berisiko atau tidak
berisiko
BERISIKO

TIDAK BERISIKO

Gunakan Empat Prinsip Penularan HIV (Exit, Survive, Sufficient, dan Enter).
1. Membersihkan muntahan orang dengan HIV menggunakan sarung tangan
2. Menggunakan Napza termasuk minuman beralkohol sebelum melakukan hubungan
sanggama tanpa kondom
3. Menggunakan alat makan yang juga digunakan oleh orang terinfeksi HIV
4. Bertukar kaos olah raga dengan orang yang terinfeksi HIV
5. Berenang bersama dengan orang terinfeksi HIV di kolam renang
6. Hubungan seks penetratif kemudian segera ditarik sebelum ejakulasi/coitus
interuptus: risiko bagi penerima
7. Berpelukan dengan orang yang terinfeksi HIV
8. Makan makanan buatan orang yang terinfeksi HIV
9. Menghapus air mata orang yang terinfeksi HIV
10. Sanggama dengan orang terinfeksi HIV menggunakan kondom
11. Oral Seks dengan orang terinfeksi HIV menggunakan kondom
12. Ciuman dalam yang bersemangat dengan orang terinfeksi HIV
13. Hubungan seks penetrasi menggunakan kondom namun kondom robek sebelum
dilepas
14. Jepit susu dilanjutkan dengan anal seks tanpa kondom
15. Menerima transplatasi ginjal dari orang terinfeksi HIV
16. Gigitan nyamuk
17. Mata terpercik darah HIV saat membantu proses kelahiran
18. Menggunakan sabun dan shampo yang digunakan orang terinfeksi HIV
19. Rimming mulut kontak dengan anus: Risiko buat orang yang di-rimming
16

20. Mutual masturbasi dengan orang yang terinfeksi HIV


21. Membuat Tattoo di tempat layanan bersertifikat
22. Pelaku donor darah
23. Menggunakan peralatan menyuntik bersama (misalnya kapas, air, mangkok
pencampur dan jarum)
24. Menggunakan jarum dan/atau semprit bersama
25. Seks anal penetratif tanpa kondom, ditarik kemudian ejakulasi, risiko bagi
penerima
26. Luka tusuk jarum bekas suntik/infus orang dengan HIV
27. Hubungan seks dalam keadaan menstruasi tanpa menggunakan kondom
28. Penerima transfusi darah dari darah yang mengandung virus HIV
29. Ibu HIV menyusui bayi
30. Bergantian menggunakan alat bantu seks (sex toys)
Kegiatan Materi Inti I : Kegiatan Ketujuh Konseling HIV dalam
Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku
Praktik
Pemakaian Kondom Laki-laki dan Kondom Perempuan
Pada kegiatan ini fasilitator harus menyiapkan 1 paket pencucian jarum (terdiri dari jarum
suntik insulin, cairan klorin, air bersih, gelas bening) dan 1 paket pemakaian kondom (terdiri
dari dildo, kondom laki-laki termasuk kondom aroma dan kondom perempuan).
Tugas Fasilitator:
1. Fasilitator mempersiapkan seluruh peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam
praktik.
2. Fasilitator mempraktikkan cara menggunakan kondom laki-laki dan perempuan di depan
kelas tahap demi tahap termasuk peggunaan kondom laki-laki dengan mulut.
3. Fasilitator meminta peserta membentuk kelompok kecil dan mempraktikkan cara
menggunakan kondom yang telah diajarkan. Pastikan setiap peserta telah mempraktikkan
cara menggunakan kondom yang benar
17

Kegiatan Materi Inti I: Kegiatan Kedelapan Konseling HIV dalam Strategi Komunikasi
Perubahan Perilaku
Langkah-langkah Kegiatan Pemecahan Masalah.
1. Fasilitator membagi peserta dalam tiga kelompok
2. Fasilitator meminta peserta mendiskusikan kasus berdasarkan tabel berikut ini :
Prioritas

Pilihan

Masalah

Pemecahan
Masalah

Evaluasi Pilihan
Kekuatan Tantangan

Pemecahan

Rencana

Ketrampilan

Masalah

Tindak

dan

Yang

Lanjut

yang

Tersedia

Strategi

dibutuhkan

3. Fasilitator meminta peserta perwakilan kelompok mempresentasikan didepan seluruh


peserta

Kasus 1
Laki-laki, 32 tahun, heteroseksual, menikah, punya seorang anak laki-laki berumur 18 bulan.
Sering tugas keluar kota dan sesekali kencan dengan perempuan di diskotik. Saat ini isterinya
sedang hamil dua bulan dan sejak 17 hari klien tak bertemu dengan isterinya. Dia datang ke
klinik karena keluar cairan dari penisnya, dokter mendiagnosis ia menderita IMS dan
mengobati penyakit tersebut. Dokter merujuk klien kepada konselor untuk KTHIV. Hasil
KTHIV mengatakan bahwa klien non reaktif saat ini dan konselor membantu klien
meningkatkan keterampilan menggunakan kondom. Klien takut menggunakan kondom dan
18

minum obat karena dapat menimbulkan kecurigaan istri.

Kasus 2
Perempuan, 23 tahun, kost, bekerja sebagai kasir. Klien datang ke konselor karena batuk tidak
sembuh-sembuh selama dua bulan. Menurut brosur yang dibaca klien, batuk yang
berkepanjangan merupakan gejala HIV. Klien datang untuk KTHIV karena merasa berisiko
terkait dengan kegiatan menggunakan jarum suntik bergantian pada waktu duduk di perguruan
tinggi. Klien menggunakan Napza suntik sejak tingkat 3 dan berhenti enam bulan lalu. Klien
hidup sebatang kara dan malam hari bekerja sebagai pemijat profesional untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Baru-baru ini atasan menggumumkan bahwa akan ada pemeriksaan HIV
secara langsung atau karyawan boleh periksa dipelayanan kesehatan manapun asalkan hasilnya
dilaporkan. Klien memilih melakukan pemeriksaan sendiri karena takut hasilnya diketahui
atasan dan diberhentikan.

Kasus 3
Waria 29 tahun, memiliki rumah sekaligus salon. Kadangkala klien menjadi pekerja seks tidak
langsung. Laki-laki yang datang ke tempat tinggalnya dalam satu hari sebanyak 3-7 orang.
Minggu lalu klien mengalami infeksi dan peradangan pada kulit karena suntikan silikon.
Silikon di pantatnya pecah dan mengeluarkan cairan berwarna kuning dan berbau. Seorang
dokter yang mengobatinya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan HIV karena
perilakunya berisiko. Klien takut tetapi ingin tahu status dirinya. Klien tidak tahu apa yang
harus klien hadapi jika hasil pemeriksaan reaktif HIV. Klien kuatir pelanggannya hilang dan
teman-teman waria mengucilkannya.

19

Kegiatan Materi inti II


BERIKAN INFORMASI KUNCI MENGENAI HIV AIDS (PITC)
1. Bacalah naskah komunikasi di bawah kemudian praktekkan secara bergantian
dengan sesama peserta secara berpasangan

Ada satu masalah sangat penting yang perlu kita bahas hari ini. Para penderita TB juga
memiliki kemungkinan besar terinfeksi HIV. Kenyataannya, sebagian besar infeksi HIV
memunculkan gejala TB. Hal ini disebabkan karena pengidap HIV tidak dapat menangkal
penyakit infeksi.
Ketika TB dan HIV secara bersama-sama diderita oleh seseorang, maka kesehatan orang tersebut
sangat terancam. Dan seringkali mengancam jiwa. Karena itu, diperlukan diagnosis dan tindakan
segera dan tepat. Dengan merawat HIV maka kesempatan untuk menjadi lebih baik dan hidup
lebih lama dapat dijangkau.
Demikian pula, jika kami mengetahui bahwa anda mengidap HIV, maka kami dapat merawat TB
anda dengan cara yang lebih baik.
HIV merupakan salah satu virus yang hidup dalam sel pertahanan diri dari serangan infeksi .Bila
sel pertahanan diri diduduki virus maka tubuh sulit bertahan dari serangan infeksi. Tes HIV akan
menentukan apakah anda telah terinfeksi oleh virus HIV. Tes ini merupakan tes darah sederhana
yang akan dapat memungkinkan kami untuk memberikan diagnosis yang lebih jelas. Setelah tes,
kami akan memberikan berbagai layanan konseling untuk membahas secara lebih mendalam lagi
mengenai HIV AIDS. Jika hasil tes HIV anda positif, kami akan memberi anda informasi dan
pengetahuan untuk mengelola penyakit tersebut, yang kemungkinan juga termasuk pemberian
obat-obatan anti virus dan obat-obatan lain yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit
anda. Disamping itu, kami akan membantu anda untuk melakukan pencegahan dan membuka
pengungkapan diri. Jika hasil tes anda negatif, maka perhatian akan dipusatkan pada akses ke
berbagai pelayanan dan hal-hal yang akan membantu anda tetap mempertahankan hasil negatif
tersebut.
Dengan alasan inilah maka kami menganjurkan semua penderita TB menjalani tes HIV. Jika
anda tidak berkeberatan, kami akan menjalankan tes HIV tersebut hari ini.

20

Naskah di atas menggabungkan anjuran untuk tes HIV pada semua pasien TB dengan semua
informasi pra-tes. Menurut anda pendekatan mana yang terkandung dalam komunikasi di atas?
Apakah Tesing Diagnostik atau Penawaran Rutin?
2. Bacalah naskah komunikasi berikutnya:

Hasil tes HIV ini hanya akan kami sampaikan kepada anda saja dan tim medis yang akan
merawat anda, artinya adalah bahwa hasilnya bersifat rahasia dan membocorkannya kepada siapa
pun tanpa izin tertulis dari anda akan sangat bertentangan dengan kebijakan lembaga kami.
Apakah anda ingin memberitahu orang lain mengenai hasil tes anda ini atau tidak, sepenuhnya
merupakan keputusan anda.
Apakah anda siap menjalani tes? Atau apakah anda memerlukan lebih banyak waktu untuk
membahas berbagai implikasi dari hasil positif atau negatif-nya bagi diri anda?

Menurut Anda, apakah maksud dari komunikasi di atas?


3.Lakukan praktik komunikasi menawarkan tes HIV bagi penderita TB, tanpa
membaca naskahnya.

4. Kegiatan simulasi dengan EPT :


1. Minta peserta untuk membuka buku Modul Peserta uraian materi mengenai informasi kunci
mengenai HIV AIDS
2. Mintalah peserta berpasang-pasangan/berkelompok kemudian setiap pasangan/kelompok secara
bergantian melakukan proses pemberian informasi untuk bermain peran kali ini dengan
mempraktikkan bersama dengan EPT
3. Proses Pemberian Informasi pra tes dilakukan selama 45 menit (6 putaran
masing-masing putaran 10 menit 5 menit untuk diskusi bersama.

kasus 1.Ibu hamil 6 bulan dengan diare kronis


Kasus 2.Laki-laki dengan IMS dan TB paru berulang

21

Kasus 3. remaja dengan stomatitis dan candidiasis oral


Kasus 4. Ibu RT dengan Infeksi kulit yang tidak sembuh-sembuh (PPE)
Kasus 5. Ibu dengan anak gizi buruk dan gangguan tumbuh kembang
Kasus 6. Penasun dengan Hep.C positif

22

23

KEGIATAN MATERI INTI II


PENATALAKSANAAN KONSELING DALAM TES HIV
Proses kegiatan penatalaksanaan konseling dalam tes HIV bertujuan agar peserta mampu:
1. Menggunakan teknik konseling dasar dalam penatalaksanaan konseling dalam tes HIV
2. Menggunakan formulir dan teknik dasar penggalian faktor risiko
3. Melakukan konseling pra tes HIV dan konseling pasca tes HIV
Kegiatan Materi Inti II : Kegiatan Pertama Konselor Klien
Tugas Fasilitator
1. Membagi peserta berpasangan dan berperan sebagai konselor dan klien
2. Menjelaskan tugas konselor dan tugas klien
Latihan Konselor Klien
Tugas Konselor :
1. Anda diminta untuk menciptakan suasana konseling yang nyaman dan bersahabat dengan
klien pada pembukaan konseling selama 1 menit awal. Sapalah dengan ramah dan minta
klien menceritakan pengalaman berkesan pada masa kecil atau masa remaja atau masa
kini.
2. Lanjutkan dengan mengubah suasana hangat menjadi suasana yang tidak menyenangkan
dan tidak bersahabat. Konselor diminta menjadi seorang konselor yang buruk dengan
berbagai kegiatan yang membuat klien tidak dihargai. Pilihan kegiatan antara lain sebagai
berikut: sibuk membolak-balik halaman buku, sibuk menata isi tas, sibuk menerima
telepon, cenderung diam dan tidak terlalu memperhatikan pembicaraan, tiba-tiba bangkit
menyapa teman lain, melihat jam tangan terus-menerus dan kegiatan lain yang membuat
klien menjadi gusar dan gelisah.
Tugas Klien:
1. Anda diminta untuk bertemu seorang konselor di klinik KTHIV.

24

2. Mulailah berkenalan dengan konselor dan menceritakan pengalaman masa kecil atau
masa remaja atau masa kini yang paling berkesan (pengalaman membahagiakan atau
yang mengharukan)
3. Anda diminta jujur menceritakan kisah anda selama 5 menit.
Kegiatan Materi Inti II : Kegiatan Kedua Membuat Pertanyaan
Membuat Pertanyaan
Peserta di bagi menjadi tiga kelompok. Mintalah masing-masing kelompok membuat contoh
pertanyaan sebanyak 9 pertanyaan. Masing-masing tiga untuk pertanyaan tertutup, tiga untuk
pertanyaan

terbuka

dan

tiga

untuk

pertanyaan

mengarahkan.

Setiap

kelompok

mempresentasikan hasil diskusi kelompok di kelas besar untuk 3 pertanyaan tertutup, 3


pertanyaan terbuka dan 3 pertanyaan mengarahkan.
Pertanyaan Terbuka :

Pertanyaan Tertutup :

Pertanyaan Mengarahkan :

25

Kegiatan Materi Inti II : Kegiatan Ketiga Penilaian Risiko Klinis

Peserta diminta untuk mengisi formulir di bawah untuk melakukan kegiatan penilaian risiko
klinis berdasarkan pilihan kasus berikut ini.
Kasus 1
Laki-laki (35 tahun) sudah menikah, mempunyai dua orang anak berusia 2 dan 4 tahun. Dia
memutuskan untuk melakukan pemeriksaan tes HIV atas saran dokter karena saat ini ia
didiagnosis menderita gonorhoea. Dia menceritakan bahwa ia sering berhubungan seksual
dengan laki-laki, terakhir ia melakukannya tiga minggu yang lalu. Dia juga mempunyai
kebiasaan minum alkohol dan tidak menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks
dengan siapa saja. Istrinya tidak tahu dengan kegiatan seks suaminya dan mereka berhubungan
dua minggu yang lalu. Dia bingung apa yang akan dilakukannya bila hasil tes HIV nya positif.
Bagaimana cara mengatakan pada istrinya dan bagaimana pula reaksi istrinya

Kasus 2
Perempuan 28 tahun, menikah. Minggu lalu ia dinyatakan hamil enam bulan oleh dokternya.
Ketika kabar hamilnya disampaikan pada suami, suami mengatakan bahwa ia HIV positif.
Karena alasan ini perempuan tersebut ingin tes HIV. Ia sangat marah akan situasinya sekarang.
Ia marah pada suami, kuatir pada diri sendiri dan anak dalam kandungan. Suami mengatakan
bahwa ia berhubungan dengan pekerja seks komersial. Hubungan seks dengan suami
berlangsung dua minggu lalu secara vaginal.

26

Kasus 3
Perempuan 21 tahun, Ia mendengar tentang HIV dari temannya dan ia mulai mengkuatirkan
dirinya. Ia mengatakan berhubungan seks vagina tanpa pelindung beberapa kali dengan teman
laki-laki yang berbeda. Yang diingatnya adalah berhubungan seks oral pada bulan lalu,
sedangkan hubungan seks yang terakhir adalah 2 hari yang lalu. Dalam konseling ditemukan
bahwa ia pengguna NAPZA suntik. Ia sering menggunakan jarum suntik bersama dengan
teman-teman tanpa dibersihkan lebih dahulu. Terakhir peristiwa menyuntik terjadi pada 3
bulan yang lalu.

Kasus 4
Waria (26 tahun) bekerja di salon. Ia pernah tes HIV dua tahun lalu dan hasilnya negatif.
Sejak berumur 20 tahun ia memiliki pasangan laki-laki. Ia berharap hasil tes HIV nya negatif
dan kini ingin tes lagi untuk memastikan status HIV nya. Ia mengatakan selalu melakukan seks
aman dan jika tanpa kondom maka ia atau pasangannya segera menarik penis ketika ejakulasi.
Ia mengatakan berhubungan seks tanpa kondom dan menarik penis sebelum ejakulasi 13 hari
yang lalu. Dalam diskusi dia ingat bahwa pernah dua kali kondom robek saat hubungan seks.
Kejadian ini berlangsung lebih dari 3 minggu yang lalu.

Form Kegiatan Materi Inti II : Kegiatan Ketiga Penilaian Risiko


27

(FORM INI HANYA DIGUNAKAN PADA KEGIATAN PELATIHAN:


PENILAIAN RISIKO)

Tanggal Konseling Pre Tes HIV

__ __ /__ __ /__ __
1. Baru 2. Lama
1. Ingin tahu saja 2. Mumpung gratis 3.

Status Pasien

Alasan Tes HIV

Untuk bekerja 4. Ada gejala tertentu

5.

Akan menikah

7.

6.Merasa berisiko

rujukan ................................
ulang (window period)

Mengetahui Adanya Tes Dari

8.Tes
9. dirujuk dari

LSM 10. Lainnya :...........................


1. Brosur 2. koran 3.TV 4. Dokter

5.

Teman

7.

6. Petugas Outreach

Poster 8. Lay Konselor 9. Lainnya


1. Ya,
Dimana ......................
Kapan : ................. hr/Bln/Thn
Pernah tes HIV sebelumnya

Hasil 1. Non Reaktif 2. Reaktif


9. tidak tahu
2. Tidak
seks 1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2.

Tidak
1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2.

Tidak
Bergantian peralatan 1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2.

Hubungan
vaginal berisiko
Anal seks berisiko
KONSELIN
G PRA TESKAJIAN
TINGKAT

suntik
Transfusi darah
Transmisi Ibu ke Anak

RISIKO
Lainnya (sebutkan)
Periode

Tidak
1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2.

Tidak
1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2.

Tidak
..

kapan .................

hr/Bln/Thn
jendela 1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

(window periode)
Kesediaan Untuk Tes

Tidak
1. Ya

2.

2. Tidak
28

Tanggal Konseling Pre Tes HIV

__ __ /__ __ /__ __

Tanggal Tes HIV

TES
ANTIBODI
HIV

__ __ /__ __ /__ __
Jenis Tes HIV
1. Rapid Tes
2. EIA
1. Non Reaktif
Hasil Tes R1
Nama Reagen :
2. Reaktif
1. Non Reaktif
Hasil Tes R2
Nama Reagen :
2. Reaktif
1. Non Reaktif
Hasil Tes R3
Nama Reagen :
2. Reaktif
Kesimpulan Hasil Tes 1. Non Reaktif
2. Reaktif
HIV
Tanggal

Indeterminate
Konseling

Pasca Tes

__ __ /__ __ /__ __
1. Rujuk ke MK
Rujuk ke Rehab

Tindak Lanjut

satu)

PASCA

5. Datang kembali karena masa jendela

3.

9. Rujuk ke klinik

10. Rujuk ke layanan LJSS

Terima hasil

ODHA rujuk ARV


1. Ya
2. Tidak

Skrining Gejala TB

1. Ya

6.

7. Rujuk ke klinik IMS

8. Rujuk ke klinik TB
Metadon

TES

2. Rujuk ke RS

4. Rujuk ke LSM

(boleh diisi lebih dari Rujuk ke dokter


KONSELIN

3.

11.

2. Tidak

Nama Konselor
Status Klinik
Jenis Pelayanan

1. Klinik Utama

2.

Klinik

Satelit
1. Klinik Menetap

2.

Klinik

Bergerak

Form Kegiatan Materi Inti II :


Kegiatan Keempat dan Kelima Penatalaksanaan Konseling
Pra dan Pasca Tes HIV
Tugas Fasilitator
29

1. Fasilitator membagi peserta menjadi kelompok kecil yang terdiri dari tiga orang. Masingmasing berperan sebagai konselor, pengamat dan klien.
2. Fasilitator menjelaskan dan membagi lembaran pegangan konselor sebagai berikut:
a. Lembar kasus konselor - klien - pengamat
b. Lembar formulir penilaian risiko dan kasus dan akan dibahas untuk masa jendela
dan penilaian risiko
c. Lembar kasus yang akan digunakan dalam konseling pra tes HIV dan konseling
pasca tes HIV
3. Adapun aturan dalam kegiatan konselor, pengamat dan klien sebagai berikut ini:
a. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai proses bermain peran dan
perlengkapan yang akan digunakan
b. Bagi peserta atas kelompok konselor, klien, pengamat
c. Pada kegiatan konseling pra tes HIV dan konseling pasca tes HIV peserta diatur
dalam kelompok yang sama dan beranggotakan tiga orang.
d. Dipandu oleh fasilitator, kelompok konselor membahas daftar cek konseling,
formulir-formulir dan aturan main sebagai konselor. Kelompok klien mempelajari
skenario/kasus yang dipilih dan perannya. Kelompok pengamat membahas daftar
cek pengamat dan aturan main sebagai pengamat.
e. Pada putaran pertama, peserta bermain peran selama 15 menit.
f. Fasilitator mengatur posisi duduk agar pengamat dapat memperhatikan konselor
dengan baik. Konselor dan klien duduk dengan posisi huruf L

Putaran 1
A sebagai konselor

B sebagai pengamat

C sebagai klien
30

Putaran 2
C sebagai konselor

A sebagai pengamat

B sebagai klien

C sebagai pengamat

A sebagai klien

Putaran 3
B sebagai konselor

4. Pada setiap selesai satu putaran bermain peran para pengamat berkumpul di depan kelas
memberikan umpan balik tentang konselor dan proses konseling. Fasilitator mencatat
hasil pengamatan. Pengamatan mencakup hal-hal yang positif dan yang perlu
ditingkatkan dari seorang konselor.
5. Setiap kali kelompok pengamat selesai memberikan umpan balik, persilahkan klien untuk
menambahkan komentar.
6. Fasilitator membacakan hasil temuan dan menekankan agar hal positif dipertahankan dan
meningkatkan aspek keterampilan konseling lain
7. Setelah putaran ketiga selesai dan pengamat putaran ketiga selesai memberikan umpan
balik umum, peserta kembali duduk dalam kelas besar.
8. Beri kesempatan kepada beberapa konselor untuk mengungkapkan tantangan-tantangan
dalam proses konseling
9. Di akhir sesi fasilitator memberikan klarifikasi dan kesimpulan

Kegiatan Materi Inti II: Kegiatan Keempat dan Kelima


'Penatalaksanaan Konseling Pra dan Pasca Tes HIV
Kasus 1
Laki-laki, 35 tahun, menikah dan berprofesi sebagai pekerja seks. Mempunyai dua orang anak
berusia 4 dan 2 tahun. Perawat yang memeriksanya melihat bercak-bercak merah diseluruh
badan dan disarankan untuk tes HIV. Klien dengan sedikit enggan mengakui bahwa
pekerjaannya adalah pekerja seks. Istrinya mengetahui pekerjaannya dan mendukung karena
keterbatasan ekonomi. Selain menjadi pekerja seks untuk semua kalangan, klien juga menjual
31

alkohol dan menggunakannya juga. Saat bekerja klien tidak pernah menggunakan kondom.
Berhubungan seks dengan istri tanpa kondom terakhir dua minggu yang lalu. Klien juga
memikirkan apa yang akan dikatakan pada isterinya dan bagaimana reaksi isterinya jika ia
reaktif HIV

Kasus 2
Laki-laki, 17 tahun, lajang. Klien mendengar tentang HIV dari beberapa temannya dan mulai
merasa khawatir apakah telah terinfeksi. Klien menceritakan telah melakukan praktek seks
yang tidak aman dengan beberapa pekerja seks tanpa sepengetahuan orangtua. Hubungan seks
terakhir yang dilakukannya seminggu yang lalu. Dalam diskusi selanjutnya terungkap klien
juga pengguna narkotika dengan jarum suntik sejak kelas satu SMA. Klien selalu bergantian
jarum tanpa dibersihkan lebih dahulu dengan temannya dan terakhir melakukannya satu
minggu yang lalu. Sejak itu klien merasa cemas terinfeksi HIV, tidak nafsu makan dan
mengalami sulit tidur. Klien khawatir bila hasil tesnya positif akan ditolak oleh keluarga dan
temannya. Klien menyatakan akan bunuh diri bila hasil tes HIV

Kasus 3
Perempuan, 40 tahun, menikah, datang ke konselor karena kuatir tertular HIV dari suaminya.
Suaminya adalah seorang tokoh terkemuka yang setiap kali bertugas ke luar kota atau ke luar
negeri mencari fasilitas hiburan untuk berhubungan seks dengan perempuan penghibur. Klien
pernah mendapatkan informasi HIV AIDS dan ingin melakukan tes HIV. Klien ingat bahwa
selama beberapa bulan ini suaminya sering mengeluh mudah lelah dan batuk-batuk. Mereka
masih aktif berhubungan seksual dan terakhir melakukannya lima minggu yang lalu tanpa
kondom. Klien mencurigai bahwa suaminya mendapatkan HIV dari pasangan seksualnya
sewaktu bertugas ke luar negeri. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini sehingga sangat
bingung dan khawatir. Klien yakin bahwa ia telah terinfeksi HIV dari suaminya yang tidak
setia.
Kasus 4
Laki- laki, 28 tahun, sudah mulai berhubungan seks dengan laki-laki sejak kelas dua SMP.
32

Pengalaman seksual pertamanya didapatkan dari pamannya yang suka berhubungan seksual
dengan laki-laki atau perempuan. Sekarang klien hidup bersama dengan kekasihnya. Selain itu
klien suka berganti-ganti pasangan. Dua bulan yang lalu ia berpacaran dengan seorang
pengguna Napza suntik yang positif HIV. Klien merasa gelisah dan kuatir jika dirinya tertular
HIV dari hubungan seksual terakhirnya dengan pengguna Napza suntik tersebut

Kasus 5
Perempuan 26 tahun, baru menikah satu bulan yang lalu. Satu minggu ini dia mengeluh sering
sakit kepala, mudah lelah dan batuk-batuk. Klien menceritakan pernah menggunakan Napza
suntik tidak steril bergantian semasa SMA bersama mantan pacarnya. Terakhir menggunakan
Napza tiga bulan yang lalu. Ketika menikah suaminya tidak tahu bahwa klien pengguna napza
suntik. Klien sangat bingung dan khawatir bagaimana cara mengatakan hal ini kepada suami,
jika hasil tes reaktif

Kasus 6
Peremuan, 21 tahun, menikah untuk kedua kalinya empat bulan yang lalu. Klien memiliki
seorang anak berusia tiga tahun. Klien berniat untuk melakukan tes HIV karena khawatir
tertular HIV dari suaminya yang sudah meninggal. Selama menikah mereka tidak pernah
menggunakan kondom karena ingin mempunyai anak. Klien mendapat informasi bahwa ia
bisa tertular HIV dari mendiang suami dan sekarang kandungan berusia dua bulan. Klien
menghawatirkan janinnya dan berharap bisa menggugurkan kandungan jika hasilnya tes
reaktif.
Kasus 7
Laki-laki, 28 tahun, menikah, mempunyai seorang anak berusia 2 tahun. Dia menceritakan
bahwa dia pernah menggunakan Napza suntik sejak kelas dua SMA dan terakhir menyuntik
tiga bulan lalu. Selama menggunakan napza suntik, biasanya dia menggunakannya secara
bersamaan dengan sesama penasun tanpa disterilkan terlebih dahulu. Hubungan seksual
dengan istrinya terakhir dilakukan enam minggu yang lalu

33

Kasus 8
Perempuan, 21 tahun dan baru sembilan bulan lalu menikah. Klien kuatir tertular HIV dari
perilaku seksnya dahulu. Selama berhubungan seks dengan suami klien tidak pernah
menggunakan kondom. Klien kuatir dirinya atau suaminya sebenarnya sudah HIV positif.
Karena berencana punya anak, maka klien dan suami datang ke konselor untuk KTHIV.
Terakhir mereka berhubungan seksual dua hari yang lalu.

Kegiatan Materi inti II


PENYULUHAN PADA KONSELING PRA TES HIV
Dalam proses ini fasilitator akan mencontohkan model penyuluhan kelompok dalam konseling
pra tes HIV dengan melibatkan peserta untuk berproses bersama
Form Kegiatan Materi Inti II :
Lembar Konseling Penatalaksanaan Konseling Pra dan Pasca Tes HIV
Lembar Pengamat : Daftar Minimal Konseling Pra Tes HIV

YA

TIDAK

Konselor menerapkan keterampilan mikro konseling


Konselor memperkenalkan nama, pekerjaan dan peran sebagai
konselor
Mengali data klien dan membina suasana nyaman
Menjelaskan kerangka proses layanan KTHIV: sesi konseling, waktu
34

yang dibutuhkan, prosedur tes dan konfidensialitas


Menjelaskan bahwa informasi dan data diri klien akan dicatat
Latar belakang mengikuti konseling pre tes HIV
Diskusi tentang HIV AIDS dasar, penularan, penilaian risiko
pengurangan risiko, kondom, jarum suntik jika penasun, dan informasi
tes HIV
Diskusi tentang keuntungan dan kerugian melakukan tes HIV
Penggalian sistim dukungan dan rujukkan
Pelaksanaan tes HIV : informed consent (persetujuan setelah mendapat
informasi), administrasi lainnya dan pemeriksaan darah untuk tes HIV
Memastikan ulang kepada klien untuk mengambil hasil tes dalam
konseling pasca tes
Lembar Pengamat: Daftar Maksimal Konseling Pasca Tes HIV

YA

TIDAK

Penyampaian hasil tes dengan singkat dan jelas


Memberikan waktu hening yang cukup untuk mengendapkan arti hasil
tes
Memeriksa pemahaman arti hasil tes
Menangani reaksi emosi klien
Membahas kemungkinan memberitahu status HIV kepada pihak lain
Membahas rencana penurunan risiko
Memeriksa tersedianya dukungan yg segera
Membahas tindak lanjut dukungan, perawatan dan pengobatan
Membahas sumber daya yang tersedia
Merangkum rencana tindak lanjut jangka pendek dan tindakan
selanjutnya

35

Form Kegiatan Materi Inti II :


Formulir yang digunakan dalam Penatalaksanaan Konseling
Pra dan Pasca Tes HIV
Digunakan dalam Konseling Pra tes

(disimpan konselor)

Formulir Persetujuan Tes HIV


Saya yang bernama dibawa ini telah menerima informasi dan konseling yang menyangkut halhal sebagai berikut:
a. Informasi dasar HIV dan AIDS
b. Kegunaan dari tes HIV
c. Keuntungan dan tantangan yang saya peroleh setelah tes HIV
d. Pencegahan HIV dan peningkatan kualitas hidup dengan HIV
Saya secara sukarela menyetujui untuk menjalani pemeriksaan darah HIV dengan ketentuan
bahwa hasil tes akan tetap rahasia dan terbuka hanya kepada saya. Saya menyetujui untuk
diambil darah untuk pemeriksaan HIV dan kemudian mendiskusikan kembali hasil tes dan caracara untuk meningkatkan kualitas hidup.
Saya dengan ini menyetujui tes HIV.
Tanda Tangan/Cap Jempol
(Nama Klien)

Tanda Tangan
(Nama Konselor)

36

(Diberikan kepada klien untuk pemeriksaan ke laboratorium)

Formulir Rujukan Permintaan Pemeriksaan Anti HIV


Tanggal

Kode. Klien

Sudah menandatangani persetujuan pemeriksaan :


Klien memiliki risiko tertular HIV :
Klien menunjukan gejala AIDS :

Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak

Menyetujui pemeriksaan darah,

Nama Terang Dokter :


(Kartu kunjungan klien untuk ditunjukkan saat konseling pasca tes HIV)

Formulir Konseling Pasca Tes HIV


(Di beberapa layanan kesehatan menggunakan kartu pendaftaran pasien)
Tanggal

Kode. Klien

:
Tanda Tangan:
Nama Dokter:

37

(Formulir Hasil Pemeriksaan Tes HIV)

No Rekam Medis Pasien : --

LAPORAN TES HIV ANTI BODI


Kode Klien : ____________________
LAPORAN LABORATORIUM
Nama Tes
1.

Tanggal : __/__/__

Hasil
Reaktif

Non Reaktif

Reaktif

Non Reaktif

Reaktif

Non Reaktif

2.
3.

HASIL AKHIR
Non Reaktif

HIV Reaktif

_________________________
Tanda tangan yang berwenang
Lokasi serta alamat dan nomor telepon harus disertakan dibawah ini.
Salinan dari laporan ini tidak boleh diberikan kepada klien

38

FORMULIR KTHIV

RAHASIA

Nomor Registrasi
Alamat _______________________________________

Kota/Kab :

Umur

Tahun
Status Perkawinan: 1. Menikah
Laki-laki

2. Perempuan

2. Belum/Tidak Menikah

2. II

3. III

Umur anak terkecil ______ tahun

4. Tidak hamil

2.Waria

7. Pasangan Risti

Status kehamilan:

1. PS, [ 1. langsung 2. Tidak Langsung ]

3. Penasun, Lamanya
................Bln/Thn

6. Pasien TB

1.

9. Tidak tahu

Kelompok Risiko (boleh diisi lebih dari satu):


Lamanya .......... Bln/Thn

Jenis Kelamin:

Pendidikan Terakhir _____________

Jumlah anak kandung ______ orang


1. Trimester I

3. Cerai

4. Gay

5. Pelanggan PS

8. WBP
9. Lainnya .................... .

Pekerjaan:

1. Tidak Bekerja

Tanggal Konseling Pre Tes HIV


Status Pasien

2. Bekerja, Jenis Pekerjaan :


__ __ /__ __ /__ __
1. Baru 2. Lama
1. Ingin tahu saja 2. Mumpung gratis 3. Untuk
bekerja

Alasan Tes HIV

4. Ada gejala tertentu

menikah

6.Merasa

rujukan ................................
(window period)

5. Akan
berisiko

7.

8.Tes ulang

9. dirujuk dari LSM 10.

Lainnya :...........................
39

Tanggal Konseling Pre Tes HIV


Mengetahui Adanya Tes
Dari

Pernah

__ __ /__ __ /__ __
1. Brosur
2. koran
Teman

HIV

sebelumnya

4. Dokter

6. Petugas Outreach

Lay Konselor
1. Ya,
tes

3.TV

7. Poster

5.
8.

9. Lainnya
Dimana ......................

Kapan : ................. hr/Bln/Thn


Hasil 1. Non Reaktif 2. Reaktif 9.
tidak tahu
2. Tidak

Kajian Tingkat Risiko


Hubungan seks vaginal berisiko

1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2. Tidak

Hubungan seks anal berisiko

1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2. Tidak

Bergantian peralatan suntik

1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2. Tidak

Transfusi darah

1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2. Tidak

Transmisi Ibu ke Anak


Lainnya (sebutkan)

1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn


2. Tidak
..
kapan .................

Periode jendela (window periode)

hr/Bln/Thn
1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

Kesediaan Untuk Tes

1. Ya

2. Tidak

2. Tidak

Tes Antibodi HIV


Tanggal Tes HIV
Jenis Tes HIV
Hasil Tes R1
Hasil Tes R2
Hasil Tes R3
Kesimpulan Hasil Tes HIV

__ __ /__ __ /__ __
1. Rapid Tes
2. EIA
1. Non Reaktif
Nama Reagen :
2. Reaktif
1. Non Reaktif
Nama Reagen :
2. Reaktif
1. Non Reaktif
Nama Reagen :
2. Reaktif
1. Non Reaktif
2. Reaktif

3.

Indeterminate

Konseling Pasca Tes


Tanggal Konseling Pasca Tes
Tindak Lanjut

__ __ /__ __ /__ __
1. Rujuk ke MK 2. Rujuk ke RS

(boleh diisi lebih dari satu)

Rehab

3. Rujuk ke

4. Rujuk ke LSM
40

Tanggal Konseling Pre Tes HIV

__ __ /__ __ /__ __
5. Datang kembali karena masa jendela

6.

Rujuk ke dokter

8.

Rujuk ke klinik TB

7. Rujuk ke klinik IMS

9. Rujuk ke klinik Metadon

10. Rujuk ke layanan LJSS


Terima hasil

ARV
1. Ya

2. Tidak

Skrining Gejala TB

1. Ya

2. Tidak

Nama Konselor
Status Klinik
Jenis Pelayanan

1. Klinik Utama
1. Klinik Menetap

11. ODHA rujuk

2. Klinik Satelit
2. Klinik Bergerak

41

KEGIATAN MATERI INTI III


PAJANAN OKUPASIONAL
Tugas Fasilitator
1. Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok.
2. Fasilitator

meminta

peserta

mendiskusikan

kasus

di

dalam

kelompok

dan

mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas berdasarkan pertanyaan berikut:


a. Apa saja masalah-masalah yang dihadapi klien?
b. Bagaimana strategi pemecahan masalah dikaitkan dengan alur penatalaksanaan pajanan
okupasional yang tepat (sesuai urutan) dan penerapan Konseling dan Tes HIV

Kasus 1
Perempuan, 30 tahun, bidan, menikah 10 tahun dan memiliki anak 2 orang, 7 dan 5 tahun. Klien
datang untuk pemeriksaan darah HIV setelah terpajan ketika membantu proses kelahiran.
Matanya terpercik darah dalam proses itu pada dua hari yang lalu. Klien dan suami memegang
teguh perkawinan monogami. Klien sangat cemas dan berusaha untuk mengetahui status HIV
pasiennya.
Suaminya memprihatinkan kejadian isterinya dan semakin lama kecemasan istrinya semakin
meningkat. Klien tidak menderita gangguan psikologis sebelumnya. Keluarganya akan
mendukung meskipun jika hasilnya reaktif. Namun yang ia kuatirkan justru dari koleganya
(kebanyakan rekan sekerjanya mengetahui proses pajanan tersebut).
Kasus 2
Perempuan, 35 tahun, perawat, belum menikah. Klien tertusuk jarum infus ketika sedang
memasang infus satu jam yang lalu. Ia sangat tertekan karena pasiennya Odha. Tusukan jarum
mengenai kulit, tidak dalam dan klien saat itu tidak menggunakan sarung tangan.
Klien takut dilarang bekerja sampai hasil laboratoriumnya diperoleh. Klien tidak ingin
seorangpun mengetahui kejadian ini. Sementara peraturan rumah sakit mengharuskan setiap
orang yang terkena pajanan melapor dengan cara mengisi formulir. Klien takut petugas

42

laboratoriuam tidak dapat menjaga kondfidensialitas. Klien juga takut teman kerja menghindari
bergaul dengannya.
Kasus 3
Perempuan, 22 tahun, mahasiswa keperawatan, belum menikah dan sedang praktek di RS. Ketika
sedang membantu memandikan pasien Odha yang dirawat, klien tertusuk jarum bekas pasien
yang tertinggal di pinggir tempat tidur. Tusukan jarum mengenai

lengannya yang tidak

terlindung. Klien takut tertular HIV dan kuatir tidak dapat meneruskan praktek karena diketahui
pihak perguruan tinggi tidak menerapkan kewaspadaan umum.
KEGIATAN MATERI INTI IV
MANAJEMEN PENCEGAHAN BUNUH DIRI
Tugas Fasilitator
1. Memberikan penjelasan ulang secara singkat penggunaan pedoman penilaian risiko
bunuh diri.
2. Fasilitator membagi peserta dalam dua kelompok dan meminta salah satu peserta dalam
kelompok untuk membacakan kasus secara bergantian.
3. Fasilitator meminta peserta dalam kelompok mendiskusikan kasus sesuai dengan
panduan penilaian bunuh diri yang pertama selama 20 menit.
4. Fasilitator meminta perwakilan peserta maju untuk menyampaikan hasil diskusi
kelompok, menyimpulkan dan mengarisbawahi inti dari proses materi penilaian risiko
dan strategi manajemen bunuh diri.

43

Panduan Penilaian Risiko


Ya
1. Apakah saudara berfikir untuk bunuh diri?
2. Apakah saudara sudah mempunyai rencana bunuh diri?
3. Apakah saudara mempunyai alat yang akan digunakan untuk bunuh

Tidak

diri?
4. Sudahkah saudara memutuskan waktu untuk bunuh diri?
5. Apakah saudara pernah mencoba bunuh diri sebelumnya?
a. Direncanakan?
b. Tidak direncanakan?
c. Menggunakan alkohol/NAPZA sebelum melakukan tindakan
bunuh diri?
6. Jika saudara pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya,

Apakah ada pengaruhnya terhadap usaha bunuh diri sekarang?


7. Besarkah pengaruh bunuh diri sebelumnya dengan usaha bunuh diri
sekarang?
Gejala Depresi Jika Ada
1. Gejala-gejala neuro-vegetatif
a. Perubahan Pola Tidur
b. Perubahan Selera Makan
c. Kelelahan/kurang energi
d. Seksualitas
2. Perubahan Suasana Hati dan Motivasi
a. Ketidak bahagiaan yang berkepanjangan
b. Sulit menyelesaiakan pekerjaan
c. Sulit menyelesaikan kegiatan rutin
d. Menarik diri dari teman-teman dan kegiatan sosial
LEMBAR KASUS MATERI INTI IV
MANAJEMEN PENCEGAHAN BUNUH DIRI
Kasus 1
Seorang ibu, 30 tahun, mempunyai dua orang anak balita, datang untuk konseling pra tes di
puskesmas PMTCT. Klien menemui konselor setelah mengetahui suaminya HIV positif. Klien
mengetahui suaminya HIV positif satu minggu lalu dari surat pemutusan hubungan kerja
dimana suaminya bekerja. Suaminya hingga saat ini tidak pernah bicara dengan klien dan
sangat tertutup. Klien sangat marah dengan suami dan cemas akan status dirinya. Selama
konseling ia mengatakan bahwa ia akan bunuh diri kalau hasilnya positif. Sejak klien
44

mengetahui suaminya positif, ia telah mencoba bunuh diri dengan cara meminum racun tikus
yang dicampur dengan gerusan pil KB. Namun ketika klien akan meminum, anaknya menangis
dan klien memutuskan untuk menghentikan tindakannya demi anaknya. Klien takut anaknya
hidup dengan suaminya jika Klien mati akibat bunuh diri. Dalam pengakuannya kepada
konselor, Klien mengatakan jikan hasil positif HIV, akan bunuh diri setelah menyerahkan
anaknya kepada orangtuanya. Namun jika hasil negatif, klien akan melindungi diri dengan
meminta cerai dan kembali bekerja agar bisa mendukung hidupnya dan anak.
Kasus 2
Laki-laki, 20 tahun, HIV positif. Klien menceritakan bahwa sudah lima kali merencanakan
bunuh diri namun usaha tersebut selalu gagal karena pertolongan dari masyarakat sekitar yang
melihatnya. Hidupnya tidak berarti dan orangtua selalu menyalahkannya sebagai anak yang
nakal dan tidak memiliki tanggungjawab hidup. Orangtua sudah mengatakan berkali-kali bahwa
mereka tidak peduli akan nasib klien.Teman yang menjaganya mengatakan bahwa dua jam lalu
klien baru saja melakukan tindakan bunuh diri dengan menantang truk yang melaju dengan
kecepatan tinggi di jalan toll. Usaha ini gagal karena ada petugas yang menyelamatkannya.
Klien kemudian dibawa ke rumah sakit dan baru bicara ketika konselor datang. Sejak klien
positif HIV tidak ada keluarga bersedia bersamanya dan berhubungan lagi. Ia mengatakan
kepada konselor bahwa ia sangat kecewa ketika usaha bunuh dirinya 2 jam lalu. Sekarang ia
merasa menjadi beban bagi kelompok dukungan sebayanya. Ia merasa mengakhiri kehidupan
adalah sebuah penyelesaian yang paling baik

45

KEGIATAN MATERI INTI V


KONSELING LANJUTAN DAN BERKESINAMBUNGAN
Pokok Bahasan 2. Kepatuhan Minum Obat pada Konseling Adherence
1. Fasilitator bertanya kepada peserta apa-apa saja yang membuat peserta sulit patuh minum
obat
2. Fasilitator menerangkan cara menggunakan form-form adherence dalam proses konseling
sehingga peserta dapat memahaminya.
3. Fasilitator membagi kasus pada setiap kelompok. Kelompok diminta melakukan diskusi atas
kasus tersebut. Mengunakan kasus 1-6
4. Fasilitator memfasilitasi presentasi kelompok di depan kelas atau melalui kegiatan peran sebagai
konselor-klien

KASUS ADHERENCE
Kasus 1
Anda/ klien laki-laki 45 tahun, tamat SMA, pekerjaan supir. Anda di diagnosis terinfeksi HIV
AIDS 2 tahun yang lalu.

Seminggu yang lalu anda ke dokter karena batuk-batuk. Hasil

pemeriksaan CD4 anda adalah 100. Dokter menyarankan anda mulai memakai ARV dan dokter
mengatakan bahwa obatnya harus diminum seumur hidup. Anda datang kembali ke konselor
yang dulu memberi konseling HIV dan pernah mengatakan hal yang sama mengenai obat yang
harus diminum seumur hidup. Anda ingin mengetahui lebih banyak mengenai pengobatan ARV.
Istri anda juga positif HIV dan anda mempunyai seorang anak laki-laki usia 10 tahun yang
belum diketahui status HIVnya.
Tugas :
a. Identifikasi hambatan klien
b. Diskusikan langkah-langkah yang dapat mendukung klien dalam kepatuhan berobat

Kasus 2
Anda/ klien laki-laki 36 tahun, tamat SMA, pekerjaan pramusaji. Anda didiagnosis terinfeksi
46

HIV AIDS 3 tahun yang lalu. Teman di tempat kerja dan keluarga tidak tahu tentang status ini.
Anda selalu sarapan pagi dan makan bersama keluarga istri, anak dan mertua perempuan yang
tinggal satu rumah. Seminggu yang lalu anda kedokter karena diare yang bertambah sering serta
badan terasa lemas dan tidak bergairah untuk kerja. Hasil pemeriksaan CD4 adalah 150. Dokter
menyarankan memakai ARV, anda datang kembali ke konselor yang dulu memberi konseling
HIV dan pernah mengatakan hal yang sama. Anda mengatakan bahwa teman anda yang samasama dulu satu kelompok pemakai putau suntik, seorang yang berbadan ideal dan pemberani,
tidak tahan terhadap obat ARV, selalu mual dan tidak nafsu makan. Anda takut akan efek
samping ini namun ingin minum ARV untuk pengobatan. Anda ingin mengetahui lebih banyak
mengenai pengobatan ARV.
Tugas :
a. Identifikasi hambatan klien
b. Diskusikan langkah-langkah yang dapat mendukung klien dalam kepatuhan berobat
Kasus 4 :
Seorang laki-laki 24 tahun baru mengetahui dirinya HIV positif, ingin segera untuk
memulai terapi ARV, saat ini ia sudah berhenti menggunakan napza lebih kurang 3
minggu, hasil Lab. Belum ada, pemeriksaan fisik secara lengkap dari dokter belum
dilakukan, keluhan yang disampaikan akhir-akhir ini sering kali sariawan dan mulut
bercak-bercak putih.
Tugas :
a. Identifikasi hambatan klien
b. Diskusikan langkah-langkah yang dapat mendukung klien dalam kepatuhan
berobat
Kasus 5 :
Seorang perempuan 22 tahun, mantan PSK, keluarga sudah mengetahui tentang HIV
yang dideritanya, ingin segera menjalankan terapi ARV karena akan segera menikah, dan
ingin segera memiliki anak, Keluarga akan mendukung semua proses pengobatan yang
akan dijalaninya. Ia mangatakan selama ini tidak secara rutin menggunakan kondom,
hasil lab. Ro thorax, dan pemeriksaan fisik oleh dokter sudah lengkap. Keluarga
47

mendukung seluruh proses tetapi keluarga belum memahami betul tentang HIV/AIDS
dan proses pengobatan bagi dirinya.
Tugas

:
a. Identifikasi hambatan klien
b.

Diskusikan langkah-langkah yang dapat mendukung klien dalam


kepatuhan berobat

Kasus 6 :
Seorang ibu RT 26 tahun HIV positif, memiliki 2 orang anak , kedua anaknya HIV
negatif, CD4 6 bulan terakhir 550, ia sudah menjalankan terapi ARV selama 2 tahun dan
merasa sudah cukup sehat sehingga berhenti minum ARV selama kurang lebih 2 bulan
disebabkan bosan dan ia mendapat informasi dari teman dekatnya sesama HIV positif
bahwa bila CD4 sudah normal, maka ia boleh berhenti minum ARV.
Tugas

:
a. Identifikasi hambatan klien
b.

Diskusikan langkah-langkah yang dapat mendukung klien dalam


kepatuhan berobat

Formulir Penapisan Pra ART


Nama/kode klien:

______________________

Tanggal Lahir: ________________

Instruksi:
Alat bantu ini ditujukan untuk digunakan bersama-sama dengan formulir konseling Lanjutan Pasca tes
HIV untuk hasil tes positif.
Informasikan hal berikut ini kepada klien:
Banyak klien mengalami kesulitan untuk minum obat. Saya ingin menanyakan beberapa pertanyaan
yang akan membantu layanan klinik VCT kami dalam rangka merencanakan terapi Anda. Mohon
disimak pertanyaan saya dan jawablah dengan hati-hati. Saya benar-benar ingin memastikan bahwa
48
Anda akan memperoleh terapi terbaik yang dapat kami berikan.

BAGIAN 1
Konsumsi narkoba dan alkohol1 (lingkari salah satu)
1. Apakah saat ini Anda mengkonsumsi Narkoba dan/atau alkohol?

YA/TIDAK

Jika ya, tanyakan yang mana (beri tanda sesuai dengan jawaban):
Solvent

Narkotik

Alkohol

Analgesik

Ganja

Obat penenang

Heroin

Opium

Lain-lain

Jika

klien

menjawab

lain-lain,

catat

jenisnya:

____________________________________________________
2.Berapa banyak Anda menggunakannya (jumlah dan frekuensi)? Tanyakan pertanyaan ini untuk
setiap obat
Narkoba/alko
hol

yang sudah disebutkan oleh klien.


Jumlah

Frekuensi

Narkoba/alko

Jumlah

Frekuensi

hol

Jika klien menggunakan narkoba dan alkohol setiap hari. Isi pertanyaan di sini lalu rinci lebih lanjut mengenai
narkoba dan alkohol tersebut

2. Jika Anda tidak setiap hari menggunakan narkoba/alkohol,

YA/TIDAK
49

apakah Anda kadang-kadang memakai dalam jumlah besar?

Penapisan informal untuk kemungkinan adanya gangguan kognitif terkait HIV


Memori dan konsentrasi (lingkari salah satu)
1. Seberapa baik Anda dapat mengingat apa yang baru saja dikatakan orang kepada Anda
ketika ia sedang berbicara kepada Anda?
Sangat baik

Rata-rata, dengan sedikit kesulitan

Kebanyakan lupa
2. Apakah ada perubahan dalam hal seberapa baik Anda mengingat pembicaraan?
Jauh lebih baik

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

3. Seberapa baik Anda mengingat peristiwa dari beberapa tahun yang lalu (memori jangka
panjang)?
Sangat baik

Rata-rata, dengan sedikit kesulitan

Kebanyakan lupa
4. Apakah ada perubahan dalam hal mengingat peristiwa beberapa tahun lalu?
Jauh lebih baik

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

5. Ketika keluarga atau teman Anda berbicara pada Anda, bisakah Anda mengikuti
perkataan mereka atau apakah Anda lupa apa yang mereka katakan bahkan ketika mereka
masih berbicara dengan Anda?
Mengikuti dengan baik

Rata-rata, dengan sedikit kesulitan

Tidak dapat

mengikuti
50

6. Apakah ada perubahan dalam hal mengikuti perkataan orang lain?


Jauh lebih baik

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

Keterampilan motorik halus (lingkari salah satu):


1. Apakah Anda memiliki kesulitan melakukan keterampilan yang halus dengan tangan
Anda (seperti sering menjatuhkan barang atau tidak mampu mengambil barang yang
berukuran sangat kecil)?
Tidak ada masalah

Rata-rata, dengan sedikit kesulitan

saya mengalami

masalah (ceroboh)
2. Apakah ada perubahan dalam hal keterampilan halus?
Jauh lebih baik

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

Kefasihan berbicara/verbal (lingkari salah satu):


1. Apakah Anda memiliki masalah ketika mencoba mengatakan apa yang ingin Anda
katakan kepada orang lain (misalnya tidak dapat menemukan kata yang tepat atau
mengatakan kata yang salah)?
Tidak ada masalah Rata-rata, dengan sedikit kesulitan

saya mengalami

masalah (ceroboh)
2. Apakah ada perubahan dalam hal menggunakan kata?
Jauh lebih baik

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

Suasana hati (Mood) dan halusinasi (lingkari salah satu):


1.

Apakah Anda mudah tersinggung atau merasa frustasi akhir-akhir ini?


Tidak masalah

Sedang, sedikit frustasi dan tersinggung

Mudah

tersinggung atau frustasi


2.

Apakah ada perubahan dalam hal ini (mudah tersinggung dan frustrasi)?
Jauh lebih baik

3.

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

Apakah Anda cemas, atau merasa gugup, akhir-akhir ini?


51

Tidak cemas
4.

Kadang-kadang cemas seperti orang lain

Apakah ada perubahan dalam hal ini (cemas dan gugup)?


Jauh lebih baik

5.

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

Apakah Anda merasa tertekan (sedih, kurang motivasi) akhir-akhir ini?


Tidak merasa tertekan

6.

Sangat cemas

Tidak lebih dari orang lain

Sangat tertekan

Apakah ada perubahan dalam hal ini (tertekan, sedih kurang motiavsi)?
Jauh lebih baik

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

7. Apakah Anda merasakan gejala manik (sangat, sangat aktif, tidak dapat beristirahat, sulit
tidur, berbicara dengan sangat cepat, menghabiskan banyak uang tanpa memperoleh
sesuatu yang berarti)
Tidak sama sekali

Kadang kadang

Sering

8. Apakah ada perubahan dalam hal ini (gejala manik)?


Jauh lebih baik

Tidak ada perubahan

Jauh lebih parah

9. Apakah Anda pernah mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang tidak dapat
didengar atau dilihat orang lain? (Ini tidak berlaku dalam kondisi klien yang sedang
berada dalam pengaruh narkoba/alkohol atau sedang mengalami sakaw)
Tidak sama sekali

Kadang kadang

Sering

Terima kasih atas partisipasi Anda dalam wawancara ini.

_____________________

______________________

_____________
Nama petugas/ konselor:

Tanda tangan:

Tanggal:

52

HAMBATAN

Cek

di Keterangan

sini ( )
INDIVIDUAL
Pemahaman
o Komunikasi
o
o

(budaya,

ketidakpercayaan, takut, malu) (1)


Hambatan bahasa (2)
Tingkat
pendidikan
rendah,

kemampuan baca terbatas (3)


o Pengetahuan terbatas/keyakinan keliru
tentang HIV (4)
oDAFTAR
KurangnyaCEK
kesadaran
atau kurangnya
HAMBATAN
KEPATUHAN MINUM OBAT ART
kepercayaan terhadap efektifitas ART
(5)
Motivasi dan daya ingat
o Pelupa (6)
o Depresi/gangguan psikiatrik (7)
o Pemakaian alcohol (8)
o narkoba aktif (8)
o Tidak mampu menetapkan tujuan
jangka panjang (9)
Dukungan dan logistik
o Tidak nyaman buka status HIV (10)
o Kondisi hidup sulit (11)
o Kondisi hidup tak stabil dan kurang
o
o

dukungan sosial (12)


Kesulitan logistik (13)
Masalah logistik (traveling, jadwal

kerja padat,dll.) (13)


LAYANAN KESEHATAN
Petugas Kesehatan
o Sikap negatif atau menghakimi (14)
o Terlalu sibuk (15)
Sistem/struktur pelayanan
o Kesulitan transportasi (jarak, waktu,
o
o

biaya) (15)
Jam buka klinik (15)
Biaya pengobatan

terjangkau (15)
o Biaya
pemeriksaan

(dokter)
lab

tidak
tidak

terjangkau (15)
o Stok obat tidak memadai (15)
o Data kelahiran/perumahan terbatas
(15)
OBAT - OBATAN
o Rumitnya regimen obat (16)
o Frekuwensi dosis (17)
o Jumlah pil terlalu banyak (18)

53

PENJELASAN :
a.
b.
c.
d.

Berikan tanda cek () pada jenis hambatan yang teridentifikasi


Gali informasi sebanyak mungkin dengan menerapkan ketrampilan mikro konseling
Lakukan secara urut dan sistimatis agar tidak ada yang terlewatkan
Berikan keterangan pada kolom keterangan berkaitan dengan jenis hambatan yang

teridentifikasi
e. Tambahkan jenis hambatan pada kolom bila terindentifikasi jenis hambatan yang tidak ada
dalam daftar di atas

Formulir
54

Peserta Program Akses Diagnosis dan Terapi ARV


Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: .......................................................................................

Jenis Kelamin

: .......................................................................................

Tempat/ Tgl Lahir

: .......................................................................................

Pendidikan

: .......................................................................................

Status Perkawinan

: .......................................................................................

Tanggal Konfirmasi Tes +

: .......................................................................................

CD4 Terakhir

: .......................................................................................

Alamat Lengkap

: .......................................................................................

No Telp

: .......................................................................................

Setelah mendapatkan penjelasan tentang indikasi penggunaan, manfaat, efek samping


dan lama pengobatan dari dokter mengenai obat antiretroviral, maka bersama ini saya
mengajukan permohonan untuk mengikuti program akses terapi ARV
Saya mengerti program akses terapi obat antiretroviral adalah program untuk
mempermudah akses pengobatan terhadap penyakit saya, sedangkan pengobatan tetap akan
dilaksanakan pada dokter yang menangani saya.
Mengetahui

Bogor, 201
Yang mengajukan permohonan

Dr. .

Nama jelas

STATUS MENTAL MINI


55

(Mini Mental State)


NILAI (N) :
ORIENTASI
(

) Sekarang ini (tahun),(musim),(bulan),(tanggal),(hari) apa?

(N 5)

) Kita dimana? (negara),(propinsi),(kota),(rumah sakit),(lantai/kamar)

(N 5)

REGISTRASI
(

) Sebutkan 3 buah nama benda; setiap 1 detik pasien diminta mengulangi


ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap benda yang benar.
Ulangi lagi sampai Pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat
jumlah pengulangan.

(N 3)

ATENSI DAN KALKULASI


(

) Kurangi 100 dengan 7 nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar.


Hentikan setelah 5 jawaban atau eja terbalik kata WAHYU
( Nilai 1 diberi pada huruf yang benar, sebelum kesalahan ; UYAHW (n.2)
(N 5)
MENGENAL KEMBALI

) Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda diatas

(N 3)

BAHASA
(

) Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan


(contoh ; buku, pensil , spidol)

) Pasien diminta mengulangi kata-kata namun,tanpa,bila

) Pasien diminta melakukan perintah : Ambil kertas itu dengan tangan


anda dan lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai

(N 2)
(N 1)
(N 3)
56

) Pasien diminta membaca dan melakukan perintah kalimat :


Pejamkan Mata Anda

(N 1)

) Pasien diminta menulis spontan

(N 1)

) Pasien diminta menggambar bentuk dibawah ini

(N 1)

________________________________________________________________________
JUMLAH NILAI : 30

1 Fasilitator membagi kasus pada setiap kelompok. Kelompok diminta melakukan


diskusi atas kasus tersebut. Mengunakan kasus 7-9
2. Fasilitator memfasilitasi presentasi kelompok di depan kelas atau melalui kegiatan
peran sebagai konselor-klien

.
ADIKSI
Kasus 7
Perempuan, 19 tahun, sudah berhenti menggunakan Napza suntik 6 bulan lalu. Ia belum
pernah tes HIV tapi diketahui mengidap Hepatitis C. Ia bercerita akan menikah dengan
pacarnya yang juga sesama pecandu. Pacarnya ini HIV positif dan masih menyuntik bersama
kelompoknya. Mereka selama ini berhubungan seks tanpa menggunakan kondom. Ia ingin
sekali menikah tetapi bingung karena orangtua belum tahu pacarnya HIV.

57

Kasus 8
seorang pengguna napza suntik laki-laki 25 tahun, menggunakan bermacam-macam
Napza mulai dari Alkohol, shabu dan ganja serta heroin secara bergantian selama 4 tahun, saat
ini. Pasien sering mengeluh curiga, cemas dan gelisah, sudah 3 bulan ini ia hanya Mengkonsumsi
ganja sehari 2 linting. Klien bercerita bahwa ia juga sering kali menggunakan jarum sunti secara
bergantian dan berhubungan seks dengan sesama pengguna tanpa menggunakan kondom

Kasus 9
Seorang perempuan 18 tahun berhenti mengunakan heroin 5 bulan lalu karena Takut tertular HIV
dan Hepatitis C dan IMS, riwayat penggunaan jarum secara bergantian, hubungan seks tanpa
kondom kerap dilakukan dahulu. saat ini ia
Hanya minum alkohol (bir) bila malam menjelang tidur dan jumlahnya 3 gelas,
Merokok tetap dilakukan 1 bungkus sehari, kondisi fisik dan jiwa tak ada kelainan

58

Pokok Bahasan 5. Konseling Keluarga dan Pasangan


GAMBAR SIMBOL GENOGRAM

Gambar 1 Simbol untuk Jenis Kelamin

Gambar 2 Simbol untuk Anak dan Kelahiran

59

Gambar 3 - Garis-garis Hubungan Emosionl

TUGAS EVALUASI DIRI DENGAN JOHARI WINDOWS


Diskusi Kelompok (3 orang)
Setelah Anda mengetahui tentang 4 area pada Johari Windows, kini cobalah untuk mengevaluasi
diri Anda berdasarkan keempat area tersebut. Tahapan dalam melakukan tugas ini:
1. Renungkan selama kira-kira 10 menit, kebiasaan, nilai dan ciri-ciri kepribadian Anda.
Tulisakan hal-hal tersebut pada selembar kertas.
2. Setelah itu tempatkan masing-masing kebiasaan, nilai dan ciri kepribadian pada kotak
yang sesuai dalam Johari Windows.
3. Tanyakan kepada teman dalam kelompok Anda, apa pendapat mereka tentang diri Anda.
Tuliskan pada area yang sesuai pada Johari Windows.
4. Terakhir, ceritakan pengalaman Anda saat mengerjakan tugas ini, bergantian dengan
anggota kelompok lainnya.
Kasus Konseling Keluarga dan pasangan
Kasus 10.
Joe merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara dan satu-satunya anak laki di keluarganya. Sejak
kecil ia sangat disayang oleh ibunya. Ia tidak dekat dengan kakak-kakaknya karena dianggap
anak yang cengeng, malas belajar dan manja. Ayah Joe merupakan pengusaha kaya yang jarang
60

berada di rumah dan tidak memiliki hubungan yang dekat dengan anak-anaknya. Saat SMP, Joe
mulai tertarik minum alkohol dan berpacaran dengan beberapa perempuan. Kebiasaannya ini
terus berlanjut saat ia SMA. Karena kebiasaannya itu, ia sering konflik dengan ibunya karena
nilai-nilainya sangat buruk. Hanya kakaknya yang tertua yang masih sering mengobrol
dengannya dan mendengarkan curhat Joe. Ibu Joe kemudian datang untuk berkonsultasi
dengan psikolog dengan harapan Joe dapat lebih rajin belajar dan memikirkan masa depan
karena tidak lama lagi ia akan kuliah.

Kasus 11
Rad adalah pengguna narkoba selama lebih dari 4 tahun. Dua minggu yang lalu ia terdeteksi
HIV positif sehingga merasa sangat shok dan cemas. Ia tidak berani memberitahu kondisinya
tersebut kepada orangtua karena ayahnya adalah pemuka agama yang cukup dikenal masyarakat.
Rad lebih bingung lagi bagaimana menjelaskan kepada pacarnya yang juga mantan pengguna
narkoba. Selama ini pacarnya sudah sangat baik kepadanya dan membantu Rad untuk berusaha
berhenti sebagai pecandu. Rad juga merasa sangat bersalah kepada orangtuanya, pesimis
terhadap masa depan, dan ingin mengakhiri hidupnya.

Kasus 12
Mei merupakan seorang wanita yang masih berduka karena suaminya meninggal beberapa
bulan yang lalu. Belum lagi kondisi emosinya pulih, ia harus menerima kenyataan bahwa ia
tertular virus HIV dari suaminya. Setelah keluarganya tahu mengenai kondisinya, mereka
menjauh dari Mei. Kini Mei harus menghidupi seorang anaknya sendiri (perempuan, usia 6
tahun). Mei termasuk wanita yang tangguh karena sejak kecil hidup berkekurangan dalam
keluarga miskin. Setelah menikah Mei ikut membantu suaminya mencari nafkah. Mei tahu
bahwa beberapa kali suaminya berselingkuh, tetapi ia tetap bertahan demi anaknya. Ketika
suaminya sakit, ia juga masih merawatnya walaupun merasa marah dan sakit hati terhadap
perlakuan suami terhadapnya. Walaupun sepanjang kehidupannya ia banyak mengalami
pengalaman buruk, tetapi Mei tetap percaya bahwa Tuhan akan membantunya melewati
kesulitan yang dihadapinya.

61

Pokok Bahasan 6. Konseling menjelang Kematian, duka cita dan berkabung


1. Fasilitator membagi peserta menjadi 3 kelompok masing-masing kelompok membahas kasus
13-15 dibawah ini
2. Setiap kelompok mempresentasi kan hasil diskusi kelompoknya dalam forum besar
3. Fasiltator membahas kasus bersama-sama peserta
Kasus 13
Klien anda adalah seorang ibu usia 25 tahun, suaminya meninggal 2 minggu yang lalu karena
HIV. Hasil tes HIV ibu ini ia tidak terinfeksi HIV/non reaktif. Sebelum suaminya meninggal, ia
tahu suaminya mempunyai hubungan seksual dengan laki-laki. Ia menyatakan pernikahan
mereka hanyalah untuk status sosial saja. Ia mengatakan sekarang ia sedih dan marah silih
berganti. Ia mengatakan suaminya telah membohonginya dalam kehidupan seksual dan tidak
mencintainya. Ia ingin mempunyai anak dan ia merasa tidak ada kesempatan baginya untuk
menikah lagi karena tidak ada lagi laki-laki yang menyayanginya. Keluargan-pun menjauh sejak
suaminya sakit-sakitan. Ia mempunyai usaha rumah makan/restoran yang ia kelola bersama
suaminya, sebelum suaminya sakit.
Tugas :
a. Identifikasi tanda-tanda berduka
b. Identifikasi tanda spesifik dari kedukaannya
c. Diskusikan aktivitas yang bisa menolong ibu ini melewatkan waktu berdukacita dan
berkabungnya
d. Bagaimana Konselor membantu mengelola kondisi ibu saat ini

Kasus 14
Klien anda adalah seorang anak perempuan usia 10 tahun. Ia dirawat di bangsal anak rumah
62

sakit. Ayahnya telah meninggal 2 tahun yang lalu. Ibunya baru keluar dari perawatan karena
mengalami diare dan Tuberculosis paru. Seorang anak lain yang satu ruangan dengan klien
anda meninggal dunia kemarin. Klien anda selalu bertanya apakah ia akan meninggal dunia juga
dan ia merasa takut. Klien anda tidak tahu bahwa ia terinfeksi HIV sama seperti ayah dan
ibunya.
Tugas:
a. Diskusikan bagaimana menceritakan tentang kematian pada klien anda/seorang anak usia 10
tahun.
b. Bagaimana anda sebagai konselor mengemukakan bahwa anda akan mendukungnya melewati
proses/masa-masa yang ia takutkan ini

Kasus 15
Klien anda seorang ayah berusia 40 tahun, anak satu-satunya laki-laki usia 17 tahun meninggal
dunia seminggu yang lalu karena infeksi HIV. Ia menyalahkan dirinya karena tidak bisa
melindungi anaknya dari pergaulan pecandu Napza. Ia sangat menyayanginya dan selalu
memberi uang walaupun ia tahu uang itu untuk membeli putau. Ia juga mengatakan bahwa
dirinya peminum alkohol, sering mabuk dan juga pemakai putau. Ia juga merasa bersalah pada
istrinya yang begitu baik dan setia yang sekarang sedang amat berduka.
Tugas :
a. Diskusikan bagaimana membantu klien anda mengatasi rasa bersalah
b. Diskusikan apa strategi klien untuk membantu istrinya
c. Apa dukungan anda pada klien dalam hal perilaku peminum alkohol dan pemakai putau?
d. Berperan sebagai seorang konselor yang memberi konseling dukacita dan berkabung

KEGIATAN MATERI INTI VI


PENGEMBANGAN PROGRAM LAYANAN KONSELING DAN TES HIV
PADA KELOMPOK BERISIKO
Tugas Fasilitator
1. Fasilitator membagi peserta menjadi 5-7 kelompok.
63

2. Fasilitator membagi kasus pada setiap kelompok. Kelompok diminta mendiskusikan tugas selama
15 menit.
3. Fasilitator memfasilitasi presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas.

Kasus 1

PMTCT

Seorang bidan memberitahu pasangan laki-laki dan perempuan bahwa mereka segera memiliki
bayi karena perempuan telah hamil sepuluh minggu. Laki-laki, 24 tahun terkejut dan tidak siap
memiliki anak. Laki-laki ini menyadari bahwa ia memiliki status reaktif HIV sejak 2 tahun lalu
dan belum membicarakan kepada siapapun. Pasangannya, 18 tahun bingung karena masih duduk
di sekolah menengah atas dan akan mengikuti ujian nasional 3 bulan lagi. Dia kuatir ketahuan
hamil sehingga tidak bisa mengikuti ujian nasional dan diusir dari rumah orangtua. Bidan
menyarankan agar mereka berdua segera menikah agar bayi memiliki status resmi. Laki-laki
tersebut bingung dan takut karena banyak faktor seperti kemungkinan pasangan tertular HIV
karena tidak pernah menggunakan kondom sejak mereka berhubungan seks 1 tahun lalu. Ketika
pasangannya tidak berhenti menangis, laki-laki itu memutuskan akan mencari hari yang tepat
untuk menjumpai konselornya kembali bersama pasangannya.

Kasus 2

PMTCT

TKI-Perempuan, 23 tahun, pulang dari negara tempatnya bekerja dan sedang hamil 5 bulan.
Tubuhnya memiliki gejala lesi pada kulit, bercak pada mulut, diare kronik dan batuk kering yang
menetap. TKI ini berasal dari daerah dan pernah di periksa kesehatan secara umum di klinik
penampungan TKI Indonesia. Atas saran koordinator wilayah kepulangan TKI, perempuan ini
diminta untuk langsung dirawat di RS Umum daerah dengan memberitahu keluarganya.
Perempuan ini menolak dan melarikan diri hingga akhirnya ditemukan tidak berdaya di tempat
umum. Seorang petugas kebersihan membawa perempuan ini ke RS. Dokter penyakit dalam
yang menanganinya curiga jika perempuan TKI ini reaktif HIV lalu mendiskusikan sejumlah
rencana penanganan dengan konselor HIV sebelum dilakukan
64

penanganan medis yang lebih dalam.

Kasus 3

PMTCT

Pekerja seks umur 21 tahun, dinyatakan reaktif HIV di klinik IMS-KTHIV. Dia bingung
karena dua hari lalu dia mendapatkan dirinya hamil dari pemeriksaan kehamilan oleh bidan.
Kepada sahabat dekatnya, Ia menceritakan bahwa Mami pelindungnya akan mengusirnya dan
pasangannya tidak akan mengakui anaknya. Sahabat menyarankannya menemui konselor
KTHIV

kembali

dan

mencoba

mencari

alternatif

lainnya.

Klien

mencoba

mempertimbangkannya namun memiliki rencana lain menemui dukun yang terbiasa


menggugurkan kandungan.

Kasus 4

Pekerja Seks

Laki-laki, 23 tahun, telah menikah. Istri dan anak-anak tinggal di kampung. Ia bekerja sebagai
buruh pabrik di kota dan menyewa rumah kecil bersama beberapa temannya. Biasanya
terutama pada waktu libur kerja ia dan teman-teman satu rumah bekerja sebagai pemijat plusplus dengan menerima tamu lali-laki ataupun perempuan untuk berkencan. Pemakaian kondom
hanya terjadi bila tamunya menghendaki. Sebulan sekali ia pulang kampung menengok
keluarga. Sudah dua kali ia terkena penyakit kencing nanah namun selalu sembuh setelah ke
dokter. Kali ini ia periksa ke klinik sebuah LSM dan diketahui terkena Herpes di sekitar
kelaminnya. Di klinik tersebut ia ditawari tes HIV.

Kasus 5

Laki-laki berhubungan seks dengan Laki-laki (LSL)

Laki-laki, lajang 20 tahun. Bekerja sebagai sales. Ia tinggal di asrama yang disediakan
perusahaan. Penghuni asrama semua laki-laki. Selama ini ia berhubungan seks secara oral
dengan beberapa teman lelaki sesama penghuni asrama tanpa kondom. Pacarnya kost di dekat
asrama dan mereka sering berhubungan seks vaginal tanpa kondom. Ia bercerita pernah satu
kali dipaksa melakukan seks anal tanpa kondom oleh salah seorang manajernya (laki-laki).
Setelah hubungan seks anusnya berdarah. Setelah menjalani tes HIV, hasil tesnya Reaktif. Ia
cemas sekali karena sekarang pacarnya hamil dan ia dituntut orangtua pacar untuk segera
menikahi anaknya.
65

Kasus 6

Waria

Seorang waria, 26 tahun, pemilik sebuah salon. Ia sudah 2 tahun hidup bersama laki-laki yang
juga memiliki keluarga (istri dan anak-anak) di kota lain. Ia dirawat karena TB dan Hepatitis di
rumah sakit. Ia disarankan dokter untuk tes HIV dan ternyata hasil tesnya Reaktif. Sekarang ia
sedang bingung dan cemas bagaimana memberitahu pasangannya karena laki-laki ini adalah
tempatnya bergantung, menyewakan rumah dan memberinya modal untuk menjalani bisnis
salon. Ia takut diusir dan ditinggalkan. Ia tidak mau kembali lagi menjadi pekerja seks jalanan.
Ia juga tahu pasangannya sering selingkuh dengan teman-teman waria lain

Kasus 7

Warga Binaan

Laki-laki, 58 tahun, menjadi warga binaan karena terkait kasus korupsi. Seminggu lagi ia akan
bebas setelah sekitar 3 tahun menjadi warga binaan Lapas. Ia ikut program KTHIV di Lapas
karena rasa ingin tahu dan bebas biaya. Pada saat konseling pra tes ia mengaku tidak pernah
melakukan semua perilaku berisiko terinfeksi HIV selama menjadi warga binaan Lapas.
Perilaku berisiko terjadi justru sebelum masuk ke Lapas. Ia dulu sering berhubungan seksual
tanpa kondom dan berganti-ganti pasangan karena kesepian menjadi duda. Ia mengaku punya
rencana akan pergi ke rumah bordil dan berhubungan seks sepuas-puasnya segera setelah
bebas. Hasil tes HIV reaktif. Ia ketakutan nanti jika bebas tidak bisa pulang ke rumah karena
ditolak anak-anak dan kerabat

66

KEGIATAN MATERI INTI VII


ADAPTASI DAN MODEL LAYANAN KONSELING DAN TES HIV
Tugas Fasilitator
1. Fasilitator membagi peserta menjadi 3 kelompok
2. Fasilitator membagi tugas pada setiap kelompok. Kelompok diminta mendiskusikan tugas selama
15 menit.
3. Fasilitator memfasilitasi presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas.

Kegiatan 1
Persiapan untuk mengembangkan Layanan konseling dan tes HIV di Rumah Sakit sementara
untuk pengungsi: Sumber Daya, Hambatan dan Strategi.
Kegiatan 2
Persiapan untuk mengembangkan Layanan konseling dan tes HIV untuk Kelompok Penasun : Sumber
Daya, Hambatan dan Strategi.

Kegiatan 3
Persiapan untuk mengembangkan Layanan konseling dan tes HIV bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) :
Sumber Daya, Hambatan dan Strategi

Catatan :
Pembahasan Strategi : Model layanan dapat digabungkan antara model layanan mandiri dengan
kegiatan bergerak (mobile) sesuai kebutuhan. Misal, sebuah klinik mandiri yang dikelola LSM:
1) dapat melayani perempuan usia subur setiap hari kerja di klinik dan 2) menjangkau para ibu
hamil di daerah dekat lokalisasi Pekerja Seks bekerja sama dengan Puskesmas terdekat. Sumber
dana, sumber daya manusia, sarana dan fasilitas, perlengkapan dan peralatan membutuhkan
koordinasi antar lembaga yang efektif.
67

KEGIATAN MATERI INTI VIII


PENGEMBANGAN SISTEM RUJUKAN DAN JEJARING
Tugas Fasilitator
1. Fasilitator membagi peserta menjadi 3 kelompok
2. Fasilitator membagi kasus pada setiap kelompok. Kelompok diminta mendiskusikan tugas
selama 15 menit.
3. Fasilitator memfasilitasi presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas.

Kegiatan 1
Membuat standar prosedur operasional (SPO) dan alurnya guna memastikan rujukan tepat
dijalankan dalam layanan konseling dan tes
Kegiatan 2
Merancang surat rujukkan dan kesepakatan bersama kerjasama antara kedua belah pihak untuk
merujuk klien.

Kegiatan 3
Merancang dan memperagakan secara simulasi di depan kelas tentang proses rujukan yang
efektif dan sesuai prosedur.

68

KEGIATAN MATERI PENUNJANG II


RENCANA TINDAK LANJU
Tugas Fasilitator :
1. Peserta dibagi ke dalam kelompok.dapat berdasarkan asal instansi atau kota.
2. Masing-masing kelompok diminta mempersiapkan informasi dan data tentang tempat
layanan konseling dan tes HIV dan data konseling dan tes HIV provinsi/kota/kabupaten
masing-masing
3. Masing-masing kelompok memilih seorang ketua kelompok yang akan memfasilitasi
jalannya diskusi dalam kelompok dan pembagian tugas penyelesaian RTL bersama.
4. Peserta akan mendapat formulir isian penyusunan RTL kemudian mengerjakan tugas
menyusun RTL.
5. Untuk menghemat waktu penugasan pengerjaan membuat RTL dapat dilakukan sebagai
pekerjaan rumah yang diberikan satu hari sebelumnya.
6. Rancangan RTL akan dipresentasi oleh salah seorang anggota kelompok di depan kelas
besar untuk mendapatkan komentar masukkan. Waktu untuk presentasi setiap kelompok
10-15 sudah termasuk waktu untuk diskusi. Durasi presentasi dapat disepakati bersama
tergantung pada alokasi waktu yang tersedia.
7. Setelah semua kelompok presentasi, maka RTL nya diperbaiki dan akan di fotocopy
sebanyak 2 kali satu berkas untuk dibawa pulang peserta dan satu berkas untuk panitia
pelatihan sebagai bahan dokumenasi.
8. Format isian RTL adalah sebagai berikut:

69

RENCANA TINDAK LANJUT


Provinsi/Kabupaten/Kota

Nama Instansi

Kegiatan Pokok
Nama :

Waktu

Tempat

Biaya

Pelaksanaan

Keterangan

Tujuan :
Nama :
Tujuan :
Nama :
Tujuan :
Nama :
Tujuan :
Nama :

70

Tujuan :

71

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR


VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (KTHIV)
Pengisian formulir dilakukan oleh konselor KTHIV yang bertugas melakukan konseling pra
tes dan konseling pasca tes.
Formulir terdiri dari 2 bagian
A. Kepala Formulir
Pada bagian pertama, kanan atas terdapat nomer register dimana pengisiannya mengikuti
nomer register baru yang akan diterangkan lebih lanjut dibawah ini.
B. Badan Formulir
Badan formulir merupakan tabel yang akan dibahas secara terperinci di bawah ini. Pada
baris pertama dan kedua adalah data demografi dan bagian ketiga adalah bagian dimana
konselor menulis proses dan hasil konseling.
1. Nomer Registrasi (10 digit), Pojok kiri atas :
10 digit harus terisi tidak boleh kosong. Cara penulisan sesuai petunjuk berikut:
4 digit pertama : ditulis 4 huruf pertama nama klien (Catatan: jika nama hanya terdiri
dari 3 huruf maka digit ke-empat ditulis angka nol),
contoh : ANI ANI0,
JOKO JOKO,
HASAN HASA
2 digit kedua : ditulis 2 angka terakhir tahun kelahiran klien. Jika klien tidak
tahu/lupa tahun kelahirannya tulis "00"
2 digit ketiga : ditulis 2 angka bulan kelahiran klien. Jika klien tidak tahu/lupa bulan
kelahirannya tulis "00"
2 digit keempat : ditulis 2 angka tanggal kelahiran klien. Jika klien tidak tahu/lupa
tanggal kelahirannya tulis "00"
Contoh penulisan kode, Pojok kiri sebagai berikut : ARIE770128 (Pojok Kiri atas).
Nama klien: Arie, Tahun kelahiran: 77, Bulan : 01, Tanggal lahir: 28
Catatan : Apabila klien tidak dapat menyebutkan tanggal lahir maka gunakan umur
1

2. Alamat :
Tulis alamat lengkap dengan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) atau
keterangan tempat tinggalnya untuk mempermudah kegiatan penanganan lebih lanjut.
Apabila dimungkinkan ditambahkan informasi no telp klien.
3. Kab/kota :
Isi asal Kab/Kota klien berasal, bersumber dari informasi KTP
4. Umur :
Tulis umur sesuai dengan umur klien dalam tahun kelahiran
5.

Status Perkawinan :
Lingkari angka 1 "Menikah": bila klien masih terikat tali perkawinan
Lingkari angka 2 "Tidak Menikah" bila klien belum pernah menikah
Lingkari angka 3 "Pernah Nikah" bila klien pernah terikat tali perkawinan tapi
sekarang sudah tidak lagi (janda, duda)
6. Jenis kelamin :
Lingkari angka sesuai jawaban klien
Lingkari angka 1 "Laki-laki" bila seksualitasnya Laki-laki
Lingkari angka 2 "Perempuan" bila seksualitasnya Perempuan
7. Pendidikan terakhir :
Tulis pendidikan terakhir klien. Apabila klien klien putus sekolah maka tetap dicatat
berdasarkan jenjang pendidikannya, contoh kelas 3 SD maka dicatat pendidikannya
SD.
8. Jumlah anak kandung
Jumlah anak kandung yang dimiliki klien dengan pasangan seksnya (tidak termasuk
anak angkat)
9. Umur anak terkecil
Diisi umur anak kandung terkecil yang dimiliki klien
10. Status Kehamilan (khusus klien perempuan) :
Lingkari angka Trimester I jika kehamilan berumur antara bulan pertama hingga
bulan ketiga.
Lingkari angka Trimester II jika kehamilan berumur antara bulan ketiga hingga
keenam.
Lingkari angka Trimester III jika kehamilan berumur antara bulan keenam hingga
kesembilan.
2

11. Kelompok Risiko :


Pilih jawaban yang sesuai dengan nomor pada pilihan yang tersedia
1. Pekerja seks (PS) berdasarkan jenisnya dibagi menjadi dua
1.1 PS Langsung adalah pekerja seks yang menjajakan seks dan tanpa
mempunyai profesi/pekerjaan lain. Biasanya ditandai dengan lokasi kerja di
lokalisasi/resosialisasi maupun di jalanan
1.2 PS Tidak Langsung adalah wanita yang berprofesi ganda yakni bekerja di
tempat-tempat hiburan seperti bar, diskotek, karaoke, pub, warung minum,
warung remang-remang, panti pijat, dll dan juga melakukan transaksi seksual.
2. Waria (wanita-pria) adalah mereka yang secara fisik menunjukkan identitas
sebagai pria, namun secara psikis merasa sebagai wanita
3. Penasun (pengguna Napza suntik) : jelas
4. Gay adalah pria yang suka berhubungan seks dengan sesama pria dengan
melakukan seks anal (receptive/dianal maupun penetrative/menganal), meskipun
mungkin juga berperilaku biseksual (melakukan seks baik dengan laki-laki
maupun dengan wanita).
5. Pelanggan PS adalah pria/wanita berperilaku risiko tinggi yang menjadi pelanggan
atau berpotensi sebagai pelanggan dari WPS, PPS (pria pekerja seks) dan/atau
waria.
a. Umumnya adalah pria yang memiliki mobilitas tinggi dan memiliki uang;
yaitu pekerja musiman, migran lokal yang karena pekerjaannya harus tinggal
terpisah dari istri/pasangan dan keluarga, pekerja yang sering melakukan
perjalanan jarak jauh (sebagai contoh pekerja transportasi laut dan darat jarak
jauh)..
b. Sebagian diantaranya adalah laki-laki dari masyarakat umum pada usia aktif
seksual.
6. Penderita TB : Jika klien adalah klien Tb dan mengikut pengobatan TB, Kelompok
ini digolongkan menjadi kelompok berisiko karena OI terbesar penyakit AIDS
adalah TB
7. Pasangan Kelompok Risti seseorang yang menjadi berisiko karena memiliki
pasangan kelompok berisiko tinggi meliputi:
a. Pasangan WPS langsung
b. Pasangan WPS tidak langsung
3

c. Pasangan PPS
d. Pasangan MSM
e. Pasangan waria
8. Warga Binaan Penjara: Apabila klien adalah penghuni Lembaga Pemasyarakatan
atau Rumah Tahanan
9. Lainnya : Jika tipe kelompok risiko klien tidak termasuk dalam kategori tersebut
diatas
12. Pekerjaan
Pilihlah jawaban apabila klien berstatus memiliki pekerjaan kemudian tuliskan
pekerjaan klien ketika statusnya bekerja.
13. Tanggal Konseling Pretest HIV:
Tuliskan terlebih dahulu bulan, tanggal dan tahun sesuai saat klien datang ke klinik
untuk konseling pra tes
14. Status Pasien :
Tulis angka 1. Baru jika kunjungan klien untuk pertama kali melakukan kegiatan
KTHIV atau pernah melakukan kegiatan KTHIV namun belum pernah mengetahui
status HIVnya, angka 2 Lama Apabila klien datang untuk mengkonfirmasi hasil
test sebelumnya
15. Alasan tes
Lingkari dalam kolom tersebut latar belakang klien mengikuti KTHIV.Keterangan
dapat ditulis sesuai dengan penjelasan klien kenapa perlu mengikuti KTHIV
berdasarkan pilihan
1. Ingin tahu saja, cukup jelas
2. Mumpung gratis, cukup jelas
3. Untuk bekerja, cukup jelas
4. Ada gejala tertentu, apabila pasien merasa dirinya memiliki gejala yang
mengarah ke penyakit HIV AIDS
5. Akan menikah, cukup jelas
6. Merasa berisiko, apabila pasien merasa dirinya memiliki risiko penularan
HIV
4

7. Rujukan , dapat diisi dengan sumber rujukan klien kelayanan KTHIV dapat
berupa rujukan dari dalam atau diluar istitusi
8. Tes ulang (window period), apabila pasien diminta melakukan test ulang
karena penegakan diagnosis belum bisa dilakukan pada test sebelumnya
9. Dirujuk dari LSM, apabila klien datang karena hasil pendampingan mitra
LSM
10. Lainnya : ............................
16. Mengetahui adanya tes dari :
Lingkari dalam kolom tersebut sumber informasi klien terhadap keberadaan layanan
tes HIV
1. Brosur
2. koran
3. TV
4. Dokter
5. Teman
6. Petugas Outreach
7. Poster
8. Lay Konselor
9. Lainnya
17. Pernah Tes Sebelumnya
Lingkari jawaban dalam kolom berdasarkan pengakuan klien apakah pernah
melakukan Tes HIV sampai tahu hasilnya sebelumnya
17.1 Dimana : dimana melakukan tes HIV sebelumnya
17.2 Kapan : kapan tes HIV itu dilaksanakan
17.3 Hasil : hasil dari pemeriksaan sebelumnya
18. Kajian Tingkat Risiko
Lingkari 1. Ya, jika klien melakukan kegiatan yang berisiko, serta isi dengan kapan
terakhir melakukan kegiatan berisiko tersebut, adapaun risikonya sebagai berikut
18.1 Hubungan seks vaginal berisiko
18.2 Hubungan seks anal berisiko
18.3 Bergantian peralatan suntik
5

18.4 Transfusi darah


18.5 Transmisi Ibu ke Anak
18.6 Lainnya
19. Periode Jendela
Lingkari 1.Ya, jika klien melakukan test dalam waktu windows period sehingga
konselor wajib menuliskan tanggal kapan waktu periode jendelanya. 2. Tidak
apabila klien masuk tidak dalam waktu jendelanya.
20. Kesediaan untuk tes
Lingkari 1.Ya jika klien pada hari bersangkutan memutuskan dan siap melakukan test
HIV dengan ditandatangani Inform Concent sebagai syarat dari tindakan medis yang
akan dilakukan terkait dengan pengambilan darah
21.Tes Antibodi HIV (diisi ketika pasien selesai menjalani pasca tes)
21.1 Tanggal tes HIV : diisi dengan tanggal dilaksanakannya test HIV
21.2 Jenis tes : lingkari 1 jika test yang digunakan dengan menggunakan rapid test
dengan 3 reagen, lingkari 2 jika test yang dilakukan menggunakan metode Elisa
21.3 Hasil tes R1 : adalah hasil yang diperoleh dari pengujian menggunakan rapid test
1 hasil pemeriksaan dikode dengan angka 1 untuk hasil Non Reaktif 2 Untuk
hasil Reaktif, kemudian cantumkan nama reagen yang digunakan
21.4 Hasil tes R2 : idem
21.5 Hasil tes R3 : idem
21.6 Kesimpulan hasil : kesimpulan hasil ditentukan dari hasil pemeriksaan
laboratorium
22. Tanggal Konseling Pasc tes: diisi dengan tanggal dilaksanakannya konseling Pasca
tes HIV
23. Tindak Lanjut
Lingkari tindak lanjut apabila hasil laboratorium sudah dibuka dengan klien, tindak
lanjut dapat berupa :
1. Rujuk ke MK apabila klien dianjurkan dirujuk ke tempat pelayanan
Manajemen Kasus.
6

2. Rujuk ke RS bila klien dianjurkan segera mengunjungi RS karena klien


membutuhkan perawatan di rumah sakit
3. Rujuk ke Rehab bila klien dianjurkan dirujuk ke sarana rehabilitasi
4. Rujuk ke LSM jelas
5. Datang kembali karena masa jendela jelas
6. Rujuk ke dokter bila klien datang dan dirujuk ke dokter lainnya
7. Rujuk ke klinik IMS bila klien membutuhkan penanganan IMS
8. Rujuk ke klinik TB bila klien membutuhkan perawatan TB
9. Rujuk ke klinik Metadon bila pasien membutuhkan perawatan Methadon
karena faktor resikonya
10. Rujuk ke layanan LJSS bila pasien memerlukan layanan LJSS
11. ODHA rujuk ARV kondisi pasien sudah layak memperoleh ARV
24. Terima Hasil
Apabila klien menerima hasil tes saat sembuka hasil bersama konselornya
25. Skrining Gejala TB
Lingkari angka 1. Ya apabila klien yang mengakses layanan KTHIV/PITC
dilakukan skrining TB, skrining TB yang dimaksud adalah hanya menanyakan gejala
TB (assesment). Klien yang diskrining khusus, klien yang tidak dalam keadaan sakit
TB. Lingkari 2. Tidak, apabila klien tidak dilakukan skrining meskipun ia tidak
dalam keadaan sakit TB
26. Nama Konselor
Diisi dengan nama konselor yang melakukan konseling dan ditandai dengan
tandatangan pada kolom tandatangan
27. Status Klinik :
Lingkari pada kolom yang sesuai
Lingkari 1 "Klinik Utama" pada kolom yang sesuai jika kegitan KTHIV dilakukan
di klinik utama
Lingkari 2 "Satelit" pada kolom yang sesuai jika kegiatan KTHIV di lakukan di
klinik satelit (klinik yang dibentuk oleh klinik utama untuk memperluas jangkauan
KTHIV)
7

28. Jenis Pelayanan


Lingkari pada kolom yang sesuai
Lingkari 1 Klinik menetap pada kolom yang sesuai jika kegiatan KTHIV
dilakukan di layanan KTHIV baik Utama maupun Satelit
Lingkari 2 "Klinik Bergerak" pada kolom yang sesuai jika kegiatan KTHIV
dilakukan dalam kegiatan mobil KTHIV.

MATERI DASAR I: KEBIJAKAN TENTANG PENGENDALIAN HIV-AIDS DI


INDONESIA
DESKRIPSI SINGKAT
Indonesia adalah salah satu dari negara di Asia yang memiliki kerentanan HIV akibat dampak
perubahan ekonomi dan perubahan kehidupan sosial.Saat ini epidemi AIDS dunia sudah memasuki
dekade ketiga, namun penyebaran infeksi terus berlangsung yang menyebabkan negara kehilangan
sumber daya dikarenakan masalah tersebut. Materi dasar dalam pelatihan konseling dan tes HIV akan
menggambarkan kebijakan Pemerintah RI dalam penanganan HIV dan membantu peserta memahami
arti dari epidemiologi. Program HIV AIDS dikelola pemerintah dan masyarakat merupakan kebijakan
yang terpadu untuk mencegah penularan HIV dan memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV.
Berdasarkan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap kegiatan
dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Peraturan
Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan
AIDS di seluruh Indonesia.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM:


Setelah mengikuti pelatihan peserta memahami situasi epidemi dan kebijakan serta strategi program
pengendalian HIV dan AIDS

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah selesai mengikuti sesi peserta latih mampu menjelaskan :
1. Situasi epidemi HIV di Indonesia
2. Tujuan program
3. Kebijakan program nasional
4.

Strategi program

5. Target program
6. Kegiatan Program

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :

1. Situasi epidemologi HIV


2. Tujuan program Kebijakan
3. Kebijakan program nasional
4. Strategi program
5. Target Program
6. Kegiatan program

METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1. Curah pendapat
2. Ceramah dan Tanya Jawab (CTJ)
3. Diskusi Kelompok

MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :
1. Komputer
2. LCD
3. Bahan tayang (slide powerpoint)
4. Modul
5. Whiteboard/filpchart + spidol

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan mulai
dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran, sebaiknya dengan menggunakan
bahan tayang.

10

2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Kebijakan Penanggulangan HIV AIDS di


Indonesia.

Sesi 2 : Pembahasan materi


Pokok Bahasan 1 : Situasi Epidemi HIV-AIDS
1. Fasilitator memandu kegiatan MDI: Simulasi Penularan HIV
2. Fasilitator menyampaikan materi dengan menggunakan tayangan power
point.
3. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
Kegiatan Materi Dasar I : Simulasi Penularan HIV

Pokok Bahasan 2 : Tujuan program kebijakan


1. Fasilitator menyampaikan materi dengan menggunakan tayangan power point
2. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas

Pokok Bahasan 3 : Kebijakan Program Nasional


1. Fasilitator kembali melanjutkan dengan penjelasan mengenai Kebijakan
program.
2. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi kebjiakan program dan
permasalahannya.

Pokok Bahasan 4 : Strategi Program


1. Fasilitator kembali melanjutkan dengan penjelasan mengenai strategi program.
2. Fasilitator melakukan proses tanya jawab mengenai bentuk apa saja yang dapat
dipakai sebagai strategi efektif untuk program penanggulangan HIV AIDS
diwilayah peserta.
Pokok Bahasan 5.Target Program
1. Fasilitator kembali melanjutkan dengan penjelasan mengenai Target program
2. Fasilitator melakukan proses tanya jawab mengenai target apa saja
3. Yang diharapkan dari program Penanggulangan HIV AIDS di wilayah kerja peserta

11

Pokok Bahasan 6. Kegiatan Program


1. Fasilitator kembali melanjutkan dengan penjelasan mengenai Kegiatan program
2. Fasilitator melakukan proses tanya jawab mengenai Kegiatan apa saja yang telah
dilaksanakan di wilayah kerja peserta
Sesi 3 : Langkah-langkah pembelajaran :
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai?.
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta.

URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1 : Situasi Epidemi HIV - AIDS

Epidemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di dunia.Pada
tahun 2007 jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 33.2 juta (30.636.1 juta).
Setiap hari, lebih 6800 orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 meninggal karena AIDS, yang
disebabkan terutama kurangnya akses terhadap pelayanan pengobatan dan pencegahan HIV.
Kecenderungan epidemik baik pada tingkat global maupun regional, secara umum membentuk 3 pola
epidemi, yaitu :
1. Epidemi meluas (generalized epidemic), HIV sudah menyebar di populasi (masyarakat) umum.
Bila prevalensi HIV lebih dari 1% diantara ibu hamil.
2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic), HIV menyebar di kalangan sub populasi
tertentu (seperti kelompok LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya). Bila prevalensi lebih
dari 5% secara konsisten pada sub populasi tersebut.

12

3. Epidemi rendah (low epidemic), HIV telah ada namun belum menyebar luas pada sub populasi
tertentu. Infeksi yang tercatat terbatas pada sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi,
misalnya pekerja seks, penasun, dan LSL. Prevalensi HIV dibawah 5% pada sub populasi
tertentu.
Perkiraan kematian akibat AIDS seluruh dunia pada akhir tahun 2011 sekitar 3.5 juta, dengan jumlah
kematian sebesar sekitar 1,7 juta jiwa dimana 70% kematian tersebut terjadi di sub Sahara Afrika.
Penurunan kematian telah terjadi sebesar 32% dalam 7 tahun terakhir sebagian disebabkan oleh
perluasan pelayanan pengobatan ARV

Situasi epidemi HIV dan AIDS di Indonesia


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan laporan triwulan mengenai jumlah
kasus HIV dan AIDS yang tercatat di Kabupaten/Kota dan telah melakukan analisis dari data tersebut
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang epidemi HIV di Indonesia. Walaupun data
laporan kasus HIV dan AIDS yang dikumpulkan dari daerah memiliki keterbatasan, namun bisa
disimpulkan bahwa peningkatan yang bermakna dalam jumlah kasus HIV yang ditemukan dari tahun
2009 sampai dengan 2012 berkaitan dengan peningkatan jumlah layanan konseling dan tes HIV pada
periode yang sama. Sebagai contohnya, tahun 2009 dilaporkan 9.793 kasus HIV baru dan tahun 2012
dilaporkan 21.511 kasus HIV baru.
Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada populasi kunci tahun 2007 dan 2011
(Kemenkes, 2007 dan 2011) menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada pengguna napza suntik
(penasun) turun dari 52,4% pada tahun 2007 menjadi 42,4% tahun 2011. Prevalensi HIV pada waria,
wanita pekerja seks langsung (WPSL) dan wanita pekerja seks tidak langsung (WPSTL) tampak stabil
atau sedikit berkurang, dari 24,3% menjadi 23,2% (waria), dari 9,8% menjadi 9,3% (WPSL), dan dari
4% menjadi 3,1% (WPSTL).
Namun demikian, meningkatnya prevalensi HIV pada lelaki yang seks dengan lelaki (LSL)
dari 5,3% menjadi 12,4%, dan pelanggan WPS dari 0,1% menjadi 0,7% meningkatkan kekhawatian.
Model matematik dari epidemi HIV di Indonesia (Asian Epidemic Model) menunjukkan proyeksi
jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang meningkat pesat sampai dengan tahun 2016 jika
tidak dilakukan percepatan upaya pencegahan dan pengobatan.

Penyebaran geografis ODHA

13

Pada tingkat nasional, Indonesia berada pada tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated
epidemic). Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006, prevalensi HIV berkisar antara 21% - 52%
pada penasun, 1% - 22% pada WPS, dan 3% - 17% pada waria. Sejak tahun 2000 prevalens HIV
mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Namun demikian, dua
provinsi paling timur di Indonesia, Provinsi Papua dan Papua Barat, memiliki karakteristik epidemi
populasi umum pada tingkat rendah dengan prevalensi HIV pada populasi umum 2,4% (STHP,
Kemenkes, 2007). Perkiraan prevalensi HIV di provinsi-provinsi di Indonesia cukup bervariasi,
berkisar antara kurang dari 0.1% sampai 4% (lihat Gambar 1).Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
risiko infeksi HIV maupun beban terkait HIV ini berbeda di antara provinsi-provinsi di Indonesia.

Gambar 1.

Perkiraan prevalensi HIV berdasarkan provinsi, tahun 2012

14

Status Kemajuan Terapi ARV


Indonesia telah mencapai kemajuan pesat dalam upaya perluasan akses untuk pengobatan/terapi ARV
(ART).Saat ini, terdapat lebih dari 30.000 pasien yang masih menerima ART. Namun demikian,
dengan menggunakan kriteria pemenuhan syarat (eligible), cakupan ART pada tahun 2012 adalah
sekitar 17%, dibandingkan dengan perkiraan kebutuhan. Pedoman ART untuk orang dewasa, begitu
pula Pedoman PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak) telah diperbarui pada tahun 2012
untuk disesuaikan dengan pedoman ART dari WHO.Pedoman nasional ART untuk anak-anak pada
saat ini sedang diperbarui.Data hasil analisis kohort pada pasien yang menerima terapi ARV dapat
dilihat secara terinci pada Lampiran 1-6.
Pemodelan epidemi HIV mutahir
Pemodelan versi terakhir jumlah infeksi baru sampai dengan tahun 2025, dipaparkan Menteri
Kesehatan pada bulan Oktober 2012.Pemodelan ini menunjukkan peningkatan perkiraan jumlah LSL
dan pelanggan WPS dari tahun ke tahun.Hal ini pada gilirannya mempengaruhi bertambahnya jumlah
perempuan dan lelaki dari populasi umum serta pelanggan WPS yang terinfeksi (lihat Gambar 2).

15

Gambar 2. Jumlah Peningkatan Infeksi Baru Menurut Populasi Kunci

Keterangan:
TG = Waria; TG Client = Pelanggan waria; MSM = LSL, FSW = WPS; FSW Client = Pelanggan WPS, IDU
= penasun, General men = lelaki dari populasi umum, General women = perempuan dari populasi

POKOK BAHASAN 2 :
Tujuan Program
Memahami tujuan program sangat penting bagi seorang manajer dan pengelola program untuk
mengarahkan dan memprioritaskan kegiatan yang memiliki dampak besar terhadap pencapaian tujuan
program.Tujuan program secara umum juga dapat menjadi kompas jalannya suatu program dan
indikator dalam melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan program. Pada tingkat nasional tujuan
program dirumuskan sebagai berikut:

Tujuan Umum
Mencegah dan mengurangi penularan HIVdengan memaksimalkan manfaat perluasan akses
ARV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV
dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.

Tujuan Khusus
1. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru;
2. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaanyang berkaitan
dengan AIDS;
3. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA;
4. Meningkatkan kualitas hidup ODHA; dan

16

5. Mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS padaindividu,
keluarga dan masyarakat.
6. Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, dukungan dan
pengobatan bagi ODHA yang terpadu dengan upaya pencegahan.

POKOK BAHASAN 3 : Kebijakan Program Pengendalian HIV dan AIDS Sektor


Kesehatan
Sebagian besar kasus HIV dan AIDS terjadi pada kelompok perilaku risiko tinggi yang merupakan
kelompok yang dimarginalkan, maka program-program pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dan norma-norma masyarakat yang berlaku
disamping pertimbangan kesehatan.Penularan dan penyebaran HIV dan AIDS sangat berhubungan
dengan perilaku berisiko, oleh karena itu penanggulangan harus memperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku tersebut.
Respon pemerintah dan tututan masyarakat tehadap akses dan ketersediaan layanan harus
mendapatkan perhatian dan komitmen yang memadai agar dapat berkesinambungan sesuai dengan
kebutuhan.Berikut ini penjelasan kebijakan Program Pengendalian HIV dan AIDS bidang kesehatan
baik kebijakan secara umum dan kebijakan operasional program yang bersifat khusus.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor 21 Tahun
2013TentangPenanggulangan HIV dan AIDS, dengan terjadinya peningkatan kejadian HIV dan AIDS
yang bervariasi mulai dari epidemi rendah, epidemi terkonsentrasi dan epidemi meluas, perlu
dilakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara terpadu, menyeluruh dan berkualitas.

A. Kebijakan Umum
Permenkes No 21 Tahun 2013 mengatur Penanggulangan HIV dan AIDS dengan
menerapkan prinsip sebagaiberikut :
1. Memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan;
2. Menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilandan kesetaraan
gender;

17

3. Kegiatan diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanandan


kesejahteraan keluarga;
4. Kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional,provinsi dan
kabupaten/kota;
5. Kegiatan dilakukan secara sistimatis dan terpadu, mulai dari peningkatanperilaku hidup
sehat, pencegahan penyakit, pengobatan, perawatan dandukungan bagi yang terinfeksi
HIV (ODHA) serta orang-orang terdampakHIV dan AIDS;
6. Kegiatan dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah berdasarkankemitraan;
7. Melibatkan peran aktif populasi kunci dan ODHA serta orang-orang yangterdampak HIV
dan AIDS; dan
8. Memberikan dukungan kepada ODHA dan orang-orang yang terdampakHIV dan AIDS
agar dapat mempertahankan kehidupan sosial ekonomiyang layak dan produktif.

B. Kebijakan Operasional
1.

Tugas dan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi :
a. membuat kebijakan dan pedoman dalam pelayanan promotif, preventif, diagnosis,
pengobatan/perawatan, dukungan, dan rehabilitasi;
b. bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan
serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan;
c. menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam
penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional;
d. mengembangkan sistem informasi; dan
e. melakukan kerjasama regional dan global dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS.

2.

Tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dalam penanggulangan HIV dan
AIDS meliputi :
a. melakukan koordinasi penyelenggaraaan berbagai upaya pengendalian dan
penanggulangan HIV dan AIDS;

18

b. menetapkan situasi epidemik HIV tingkat provinsi;


c. menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi dengan
memanfaatkan sistem informasi; dan
d. menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan rujukan
dalam melakukan Penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan kemampuan.
3.

Tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penanggulangan


HIV dan AIDS meliputi :
a. melakukan penyelenggaraaan berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan
HIV dan AIDS;
b. menyelenggarakan penetapan situasi epidemik HIV tingkat kabupaten/kota;
c. menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan rujukan
dalam melakukan penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan kemampuan; dan
d. menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi dengan
memanfaatkan sistem informasi.

POKOK BAHASAN 4 :

Strategi Program Pengendalian HIV dan AIDS

Sektor Kesehatan
Strategi merupakan langkah langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Secara
umum strategi yang dipergunakan dalam melakukan kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS
meliputi:
1.

Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui


kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan,
fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia;

2.

Memprioritaskan komitmen nasional dan internasional;

3.

Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;

19

4.

Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu,
dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan
promotif;

5.

Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, daerah


tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan;

6.

Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;

7.

Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan
bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;

8.

Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang


HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan
bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan

9.

Meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel, transparan,


berdayaguna dan berhasilguna.

POKOK BAHASAN 5 :

Target Umum Program Pengendalian HIV dan AIDS

Sektor Kesehatan
Scaling up program dijabarkan lebih lanjut menjadi beberapa sasaran kunci, yang juga sejalan dengan
upaya mewujudkan universal access, yaitu sebagai berikut: 100% ODHA yang ditemukan dan
memenuhi syarat pengobatan menerima ARV dan 95% ODHA patuh minum ARV selama 1 tahun

POKOK BAHASAN 6 : Kegiatan Program Pengendalian HIV dan AIDS Sektor


Kesehatan
Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas :
1. Promosi Kesehatan;
2. Pencegahan Penularan HIV;
3. Pemeriksaan Diagnosis HIV;
4. Pengobatan, Perawatan Dan Dukungan;

20

5. Rehabilitasi.
Kegiatan tersebut di atas diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat dalam bentuk layanan
komprehensif dan berkesinambungan. Layanan komprehensif dan berkesinambungan merupakan
upaya yang meliputi semua bentuk layanan HIV dan AIDS yang dilakukan secara paripurna mulai dari
rumah, masyarakat sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan yang pelaksanaannya sesuai dengan
Pedoman Layanan Komprehensif dan Berkesinambungan.

Kegiatan Teknis Program


1. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan
komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta
diskriminasi.Promosi kesehatan tersebut diberikan dalam bentuk advokasi, bina
suasana, pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat sesuai dengan kondisi
sosial budaya serta didukung kebijakan publik.Pelaksanaannya oleh tenaga kesehatan
dan tenaga non kesehatan terlatih dengan sasaran pembuat kebijakan, sektor swasta,
organisasi kemasyarakatan dan masyarakat.
Sasaran masyarakat diutamakan pada populasi sasaran dan populasi kunci, yang
meliputi:
a. Pengguna napza suntik ;
b. Wanita Pekerja Seks (WPS) langsung maupun tidak langsung ;
c. Pelanggan/ pasangan seks WPS ;
d. Gay, Waria, dan Laki pelanggan/ pasangan Seks dengan sesama Laki (LSL) ;
e. Warga Binaan Lapas/Rutan.
Promosi kesehatan dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelayanan kesehatan
maupun program promosi kesehatan lainnya, yang meliputi :
1. Iklan layanan masyarakat ;
2. Kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko penularan
penyakit ;

21

3. Promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda;


4. Peningkatan kapasitas dalam promosi pencegahan penyalahgunaan napza dan
penularan HIV kepada tenaga kesehatan, tenaga non kesehatan yang terlatih;
5. Program promosi kesehatan lainnya.
Promosi kesehatan yang terintegrasi pada pelayanan kesehatan tersebut di atas
diutamakan pada pelayanan sesuai dengan Pedoman Teknis Promosi Kesehatan
Penanggulangan HIV dan AIDS :
a. Kesehatan Peduli Remaja ;
b. Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana ;
c. Pemeriksaan asuhan antenatal ;
d. Infeksi menular seksual ;
e. Rehabilitasi Napza ; dan
f.

Tuberkulosis.

2. Pencegahan Penularan HIV


Pencegahan penularan HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup
aman dan tidak berisiko yang meliputi upaya sebagai berikut :
a. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual yang merupakan berbagai
upaya untuk mencegah seseorang terinfeksi HIV dan/atau penyakit IMS lain yang
ditularkan melalui hubungan seksual. Upaya pencegahan tersebut dilaksanakan
terutama di tempat yang berpotensi terjadinya hubungan seksual berisiko dan dilakukan
dengan 4 (empat) kegiatan yang terintegrasi meliputi :
1) Peningkatan peran pemangku kepentingan ;
2) Intervensi perubahan perilaku ;
3) Manajemen pasokan perbekalan kesehatan pencegahan ; dan
4) Penatalaksanaan IMS.

22

b. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual ; yang ditujukan untuk
mencegah penularan HIV melalui darah dan meliputi hal sebagai berikut :
1) Uji saring darah pendonor ;
2) Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yangmelukai tubuh;
dan
3) Pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik yang terdiri dari; a)
program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahanperilaku serta
dukungan psikososial;b)mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu
opiate menjalani program terapi rumatan;c) mendorong pengguna napza suntik
untuk melakukan pencegahanpenularan seksual; dan d) layanan konseling dan tes
HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya; dilaksanakan melalui 4 (empat)
kegiatan yang meliputi :
1) Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif ;
2) Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV ;
3) Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya
; dan
4) Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV
beserta anak dan keluarganya.
3. Pemeriksaan diagnosis HIV.
Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV berdasarkan prinsip konfidensialitas,
persetujuan, konseling, pencatatan, pelaporan dan rujukan. Pemeriksaan diagnosis HIV
tersebut dilakukan melalui pendekatan KTS atau TIPK.
4. Pengobatan, perawatan dan dukungan ; dan
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak pengobatan dan perawatan
ODHA. Bila tidak mampu memberikan pengobatan dan perawatan, wajib merujuk ODHA
ke fasilitas pelayanan kesehatan lain yang mampu atau ke rumah sakit rujukan ARV. Dalam

23

perawatan setiap orang terinfeksi HIV wajib mendapatkan konseling pasca pemeriksaan
diagnosis HIV, diregistrasi secara nasional dan mendapatkan pengobatan.Pengobatan HIV
bertujuan untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi
oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup pengidap HIV.
Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilaksanakan dengan pilihan
pendekatan sesuai dengan kebutuhan: Perawatan berbasis fasilitas pelayanan kesehatan dan
Perawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home Based Care).
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan terhadap setiap pola
transmisi penularan HIV pada populasi kunci terutama pekerja seks dan Pengguna Napza
Suntik yang bertujuan untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif secara
ekonomis dan social.

Kegiatan Manajemen Program


a. Perencanaan dan pengembangan program
b. Pengorganisasia dan Pelaksanaan Program
c. Pemantauan dan Penilaian Program
d. Pengembangan SDM Program
e. Manajemen Logistik
f.

Informasi Strategis Program

24

MATERI DASAR II
INFORMASI DASAR HIV AIDS DAN PEMERIKSAAN HIV

I.

DESKRIPSI SINGKAT
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS.
Pengetahuan terkait dengan informasi HIV AIDS merupakan dasar bagi seorang
konselor konseling dan tes HIV. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi
seumur hidup. Kebanyakan orang dengan HIV/AIDS (Odha) tetap asimtomatik (tanpa
tanda dan gejala dari suatu penyakit ) untuk jangka waktu panjang dan dapat
menularkan kepada orang lain.
Orang dengan HIV AIDS sangat rentan tertular infeksi lain seperti IMS, Hepatitis dan
TB. Dimana Infeksi ini dapat berdiri sendiri maupun bersifat ko-infeksi terhadap HIV,
pengetahuan ini oenting dipahami karena infeksi-infeksi tersebut sangat mempengaruhi
kualitas hidup Odha maupun meningkatkan angka kematian pada Odha secara
signifikan.
25

Salah satu prinsip untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV melalui
pemeriksaan darah yang disebut dengan tes HIV. Tes HIV dalam Konseling dan Tes
HIV dilaksanakan setelah klien memberikan persetujuan (informed consent) untuk tes
HIV. Diagnosis infeksi HIV yang lazim digunakan berdasarkan atas penemuan antibodi
HIV dalam darah orang yang terinfeksi. Ketepatan hasil pemeriksaan darah akan
dipelajari dalam bab ini yang akan menambah pengetahuan konselor akan informasi
dasar HIV dan Tes HIV. WHO merekomendasikan tiga strategi pemeriksaan untuk
memaksimalkan ketepatan dan menekan biaya.
II.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu memahami informasi dasar HIV AIDS, infeksi
lain terkait HIV dan pentingnya tes HIV sebagai diagnostik klinis

III.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu :
1. Menjelaskan informasi dasar HIV AIDS, IMS, hepatitis dan TB sebagai Infeksi terkait
HUIV
2. Memahami pentingnya pelaksanaan pemeriksaan HIV dan strategi tes HIV

IV.

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
1. Informasi Dasar HIV AIDS, IMS, Hepatitis dan TB
2. Pelaksanaan pemerikasaa HIV (Tes Darah) dan strategi tes HIV

V.

METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1. Curah pendapat
2. Ceramah Tanya Jawab (CTJ)

VI.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :
26

1.
2.
3.
4.
5.
VII.

Komputer
LCD
Bahan tayang (slide powerpoint)
Modul
Whiteboard/filpchart + spidol

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


POKOK BAHASAN 1. Informasi Dasar HIV dan AIDS , IMS, Hepatitis dan TB
Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran
sebaiknya menggunakan bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Informasi Dasar HIV dan
AIDS, IMS, Hepatitis dan TB
Sesi 2 : Pembahasan materi
1. Fasilitator

memberikan

apresiasi

atas

disampaikan dan melanjutkan dengan

berbagai

pendapat

yang

penjelasan tentang Informasi

dasar HIV dan AIDS , IMS, hepatitis dan TB


2. Fasiilitator menjelaskan materi tersebut diatas dengan menggunakan
tayangan Power Point
3. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
4. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan :
Kegiatan Materi Dasar 2 . Informasi dasar HIV AIDS dan Tes HIV
Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang
ditetapkan sudah tercapai.
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta.

URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 1. Informasi Dasar HIV AIDS, IMS, Hepatitis dan TB.
A. Informasi dasar HIV AIDS
27

a. Pengetahuan Dasar HIV AIDS


HIV atau Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan
AIDS. Sedangkan AIDS adalah suatu gejala berkurangnya kemampuan pertahan diri
yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh disebabkan oleh virus HIV.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome
Acquired : Tidak diturunkan dan dapat menularkan kepada orang lain
Immune

: Sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit

Deficiency : Berkurangnya kurang atau tidak cukup


Syndrome : Kumpulan tanda dan gejala penyakit.

Infeksi HIV tidak segera menghabiskan/menghancurkan sistem kekebalan tubuh


tetapi akan terus bereplikasi dan menginfeksi. Ini bisa bertahun-tahun lamanya
sampai akhirnya sistem kekebalan tubuh hancur dan tubuh tidak dapat melawan
infeksi-infeksi lain yang menyerang tubuh. Pada saat kekebalan tubuh melemah dan
tidak sanggup lagi melawan infeksi yang menyerang tubuh dan infeksi-infeksi
tersebut berkumpul maka disebut AIDS. Sesudah virus HIV memasuki tubuh
seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel
orang tersebut (terutama sel T CD4 dan makrofag). HIV akan mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV
Window Period/Masa Jendela
Window period atau disebut juga Masa Jendela adalah periode antara
masuknya HIV hingga terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui
pemeriksaan laboratorium. Periode ini sekitar 12 minggu. Selama masa
jendela, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif, namun
pasien sangat infeksius, mudah menularkan HIV kepada orang lain. Hampir
50-70% orang mengalami masa infeksi akut pada masa jendela ini yakni
berupa demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam
kulit, sakit kepala dan batuk.

28

29

CMV / MAC

Starting ARV

TB

= Tuberculosis

HZV
OHL
OC
PPE
PCP
CM
CMV
MAC

= Herpes Zooster
= Oral Hairy Cell Leukoplakia
= Oral candidiasis
= Papular Pruritic Eruption
= Pneumocystis carinii pneumonia
= Cryptococcal meningitis
= Cytomegalovirus retinitis
= Mycobacterium avium complex

Orang yang terinfeksi HIV tetap dapat terlihat sehat tanpa gejala dan tanda untuk
jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Sesudah suatu
jangka waktu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak diri secara
cepat dan diikuti dengan perusakan limfosit CD4 dan sel kekebalan lainnya
sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya kekebalan tubuh yang progresif
(progressive immunodeficiency syndrome). Progresivitas tergantung pada beberapa
faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau diatas 40 tahun, infeksi lainnya, dan
faktor genetik. Cepatnya perkembangan AIDS dipengaruhi oleh muatan virus dalam
plasma (viral load) dan jumlah sel T CD4.

30

b. Cara Penularan HIV


1) Kontak seksual atau hubungan seksual dengan penetrasi atau sanggama
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penetrasi atau Sanggama berarti kontak seksual dengan
penetrasi vaginal, anal, dan oral seksual antara dua individu. Risiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang
terinfeksi HIV. Kontak seksual langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina)
masuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV.
2) Pajanan oleh darah terinfeksi, produk darah atau transplantasi organ dan
jaringan serta penggunaan jarum suntik bergantian pada penasun:
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak di lakukan uji saring
untuk antibodi HIV. Pajanan HIV pada organ dapat terjadi dalam proses
transplantasi jaringan / organ di pelayanan kesehatan.
3)

Penularan dari ibu-ke-anak:


Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan, dan sesudah lahir. Risiko penularan tanpa intervensi, sangat
bervariasi di satu negara dengan negara lain dan umumnya diperkirakan antara
25-40% di negara berkembang dan 16 - 20% di Eropa dan Amerika Utara.

c.

Kegiatan yang Tidak Menularkan HIV


Perlu dicatat bahwa HIV TIDAK ditularkan dari orang ke orang melalui kegiatan
sebagai berikut :
1) Bersalaman
2) Berpelukan
3) Bersentuhan atau berciuman.
4) Penggunaan toilet bersama
5) Penggunaan kolam renang bersama
6) Penggunaan alat makan atau minum secara bersama
7) Gigitan serangga seperti nyamuk.

31

d. Tahapan Klinis HIV AIDS


1) Tahap Pertama Perjalanan Virus : Infeksi HIV Akut
a) Pada saat virus menginfeksi tubuh kadar replikasi virus di dalam darah sangat
tinggi sementara itu selsel Antibody HIV belum terbentuk, sehingga
mengakibatkan penekanan pada Limfosit T helper (CD4) yang digunakan oleh
virus untuk mereplikasi diri secar progresif.
b) Penurunan kekebalan tubuh akibat HIV, terjadi karena HIV menyerang sel
CD4 yang merupakan regulator bagi sistem pertahanan tubuh yang bersifat
humoral, sehingga proses pengenalan dan destruksi dari benda asing tidak
terjadi.
c) Sebesar 50-70% orang yang terinfeksi HIV pada tahap awal ini biasanya
menunjukkan gejala seperti flu, demam, nyeri otot dan sendi, dan
pembengkakan kelenjar getah bening yang muncul rata-rata pada minggu ke 2
4 setelah terpapar HIV dan menghilang rata-rata dalam waktu 2 minggu.
d) Orang yang terinfeksi dalam tahap ini adalah sangat infeksius dan umumnya
tidak menyadari apalagi hasil tes antibodi HIVnya adalah negatif, oleh karena
itu PENCEGAHAN menjadi sangat penting.
2) Masa tanpa gejala (asimtomatik) / stadium 1
a) PENCEGAHAN pada tahap ini adalah sangat penting bukan saja karena dapat
menularkan kepada orang lain akan tetapi juga dapat terinfeksi ulang Virus
HIV lain dan infeksi-infeksi lainnya.
b) Kadar virus umumnya rendah dan kekebalan tubuh melalui penghitungan sel
kekebalan tubuh CD4 tinggi seperti orang yang tidak terinfeksi HIV.
c) Sering terjadi Limfadenopati Generalisata Persisten
3) Stadium 2
Perjalanan virus yang terlihat pada tahapan ini adalah: Berat badan menurun <
10% tanpa sebab, Infeksi saluran napas atas berulang, Herpes zooster, Keilitis
angularis,Sariawan berulang (2 atau lebih dalam 6 bulan), Erupsi pruritik papular,
Dermatitis seboroik, dan Infeksi fungal pada kuku
4) Stadium 3
Sistem kekebalan tubuh mulai terganggu dan kadar virus mulai meningkat. Mulai
muncul gejala-gejala penyakit terkait HIV seperti ;
a) Berat badan menurun >10% tanpa sebab, Diare kronis tanpa sebab > 1
bulan
32

b) Demam tanpa sebab (intermiten atau konstan) > 1 bulan


c) Kandidiasis Oral (thrush)
d) Oral hairy leukoplakia
e) TB paru
f) Infeksi bakteri berat (antara lain pnemonia, meningitis)
g) Ginggivitis atau stomatitis ulseratif nekrotikans akut
h) Anemia, netropenia, trombositopenia
5) Stadium 4
Sistem kekebalan tubuh mulai sudah berkurang sehingga mulai timbul infeksi
oportunistik yang serius seperti :
a) Kanker kulit (sarkoma kaposi)
b) Infeksi usus yang menyebabkan diare berkepanjangan
c) Infeksi otak yang menyebabkan gangguan mental, sakit kepala
d) Kehilangan berat badan total (wasting syndrome)
e) Recurent severe bacterial pneumonia
f) Cronic herpes simplex lebih dari 1 bulan (oralabial, genital, anorectal dll)
g) Kandidiasis esofagus (termasuk trakea, bronkus dan paru)
h) TB ekstra paru
i) Infeksi cytomegalovirus (misalnya retinitis)
j) Toksoplasma susunan syaraf pusat
k) Ensefalopati HIV
l) Kriptokokus ekstra paru, termasuk meningitis
m) Infeksi mikrobakteria non tuberkulosis diseminata
n) Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
o) Kriptosporidiosis kronik
p) Isosporiasis kronik
q) Mikosis diseminata (histoplasmosis ekstra paru, coccidiomymosis)
r) Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
s) Invasive cervical carcinoma
t) Atypical disseminated leishmaniasis
u) Nefropati karena HIV
v) Kardiomiopi karena HIV

33

Semakin tinggi viral load dan semakin rendah jumlah CD4 maka
semakin cepat progresivitas menjadi AIDS. Kematian dapat
disebabkan oleh infeksi oportunistik.

e. Infeksi Oportunistik (IO)


Infeksi Oportunistik (IO) muncul ketika sistem kekebalan tubuh menurun,
Sebenarnya kuman penyebab infeksi ini sangat biasa dalam tubuh kita namun tidak
menyebabkan penyakit karena dilindungi oleh sistem kekebalan tubuh. Ketika sistem
kekebalan tubuh menurun maka dapat terjadi infeksi oportunistik.
a) Infeksi oportunistik

Infeksi oportunistik bisa disebabkan oleh berbagai virus, jamur dan bakteri

Infeksi dapat terjadi pada berbagai bagian tubuh termasuk kulit, paru-paru,
mata dan otak

Infeksi oportunistik dapat disembuhkan

Infeksi oportunistik bahkan dapat dicegah sebelum muncul dengan terapi


pencegahan yaitu terapi profilaksis (contohnya kotrimoksasol)

Profilaksis dapat digunakan untuk mencegah timbulnya infeksi oportunistik

Beberapa jenis infeksi oportunistik yang paling umum di Indonesia


(Kementerian Kesehatan RI, 2010)
TB (Tuberculosis) paru
Diare kronis
Berbagai jamur seperti jamur di mulut (oral candidiasis)
Dermatitis Oro-faringeal
Limfadenopathy Generalisata Persisten

B. HIV dan IMS


Infeksi Menular Seksual (IMS-Sexually transmitted infections-STI) di negara
berkembang merupakan masalah besar dalam bidang kesehatan masyarakat. Di Asia
Tenggara terdapat hampir 50 juta IMS setiap tahun. IMS dapat menyebabkan individu
menjadi rentan terhadap infeksi HIV. IMS dalam populasi merupakan faktor utama
pendorong terjadinya pandemi HIV di negara berkembang. Proporsi infeksi baru HIV
dalam populasi IMS, lebih tinggi pada awal dan pertengahan epidemi HIV. Penularan
34

infeksi melalui hubungan seksual diikuti dengan perilaku yang menempatkan individu
dalam risiko tertular HIV, seperti berganti-ganti pasangan seksual, pasangan berisiko
tinggi, dan tidak konsisten menggunakan kondom. Pencegahan terhadap IMS akan
melindungi diri tertular HIV.
C. Hepatitis Virus
Menurut WHO, dalamA Strategy for Global Action, tahun 2012, virus hepatitis B
telah menginfeksi 2 milyar orang didunia, lebih dari 350

juta orang diantaranya

merupakan pengidap virus hepatitis B kronis, 150 juta penderita hepatitis C kronis, 350
ribu diantaranya meninggal karena hepatitis C setiap tahunnya, antara 850.000 - 1,05
juta penduduk didunia meninggal dunia setiap tahun yang disebabkan oleh infeksi
hepatitis B dan C.
Di Indonesia, berdasarkan hasil RISKESDAS 2007, tergolong negara dengan
endemisitas tinggi, sehingga Indonesia merupakan negara dengan pengidap hepatitis
terbesar nomor 2 diantara negara negara SEARO. Diperkirakan 9 diantara 100 orang
Indonesia terinfeksi Hepatitis B. Estimasi penderita Hepatitis B & C diperkirakan 25
juta, 50 %nya (12.500.000) diperkirakan akan menjadi chronic liver disease, dan 10
%nya menjadi liver fibrosis dan kemudian akan menjadi liver cancer (1,25 juta).
Berdasarkan kondisi tersebut diatas maka setiap konselor wajib mempelajari infeksi
Hepatitis baik sebagai mono inifeksi maupun sebagai ko-infeksi HIV
a) Hepatitis A
1. Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus hepatitis A (VHA), merupakan RNA virus. Virus
Hepatitis A bersifat termostabil, tahan asam dan tahan terhadap empedu. Virus ini
diketahui dapat bertahan hidup dalam suhu ruangan selama lebih dari 1 bulan.
Pejamu infeksi VHA hanya terbatas pada manusia dan beberapa binatang primata.
Virus dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur sel primer monyet kecil atau
secara invivo pada simpanse.
2. Cara Penularan
Virus Hepatitis A ditularkan secara fecal-oral. Virus ini masuk kedalam saluran
pencernaan melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja penderita VHA.
Virus kemudian masuk ke hati melalui peredaran darah untuk selanjutnya
menginvasi sel-sel hati (hepatosit), dan melakukan replikasi di hepatosit. Jumlah
virus yang tinggi dapat ditemukan dalam tinja penderita sejak 3 hari sebelum
muncul gejala hingga 1-2 minggu setelah munculnya gejala kuning pada
35

penderita. Ekskresi virus melalui tinja pernah dilaporkan mencapai 6 bulan pada
bayi dan anak.

Sebagian besar kasus kemungkinan tidak menular lagi pada

minggu pertama setelah ikterus. Eksresi kronis pada VHA tidak pernah
terlaporkan
Infeksi Hepatitis A sering terjadi dalam bentuk Kejadian Luar biasa (KLB)
dengan pola common source, di mana umumnya sumber penularan berasal dari
air minum yang tercemar, makanan yang tidak masak, makanan yang tercemar,
dan sanitasi yang buruk. Selain itu, walaupun bukan merupakan cara penularan
yang utama, penularan melalui transfusi atau penggunaan jarum suntik bekas
penderita dalam masa inkubasi juga pernah dilaporkan.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala awal infeksi virus Hepatitis A sangat bervariasi dan bersifat
tidak spesifik. Demam, kelelahan, anoreksia (tidak nafsu makan) dan gangguan
pencernaan (mual, muntah, kembung) dapat ditemukan pada awal penyakit.
Dalam waktu 1 minggu, beberapa penderita dapat mengalami gejala kuning
disertai gatal (ikterus), buang air kecil berwarna seperti teh, dan tinja berwarna
pucat. Infeksi pada anak berusia dibawah 5 tahun umumnya tidak memberikan
gejala yang jelas dan hanya 10% yang akan berkembang menjadi ikterus. Pada
anak yang lebih tua dan dewasa gejala yang muncul biasanya lebih berat, dan
ikterus terjadi pada lebih dari 70% penderita.
4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari.
5. Diagnosis
Disamping gejala dan tanda klinis yang kadang tidak muncul, diagnosis Hepatitis
A dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan IgM-antiHAV serum
penderita.
6. Pencegahan
Hepatitis A memang seringkali tidak berbahaya, namun lamanya masa
penyembuhan dapat memberikan kerugian ekonomi dan sosial. Penyakit ini juga
tidak memiliki pengobatan spesifik yang dapat mengurangi lama penyakit, maka
dalam penatalaksanaan Hepatitis A, tindakan pencegahan adalah yang paling
diutamakan. Pencegahan Hepatitis A dapat dilakukan baik dengan pencegahan
non-spesifik (perubahan perilaku) maupun dengan pencegahan spesifik
(imunisasi).
36

6.1. Pencegahan Non-Spesifik


Pengubahan perilaku untuk mencegah Hepatitis A terutama dilakukan dengan
meningkatkan sanitasi. Petugas kesehatan bisa meningkatkan hal ini dengan
memberikan edukasi yang sesuai, antara lain:
a. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) secara benar pada 5 saat kritis, yaitu:
1. sebelum makan
2. sebelum mengolah dan menghidangkan makanan
3. setelah buang air besar dan air kecil
4. setelah mengganti popok bayi
5. sebelum menyusui bayi
b. Pengolahan makanan yang benar, meliputi:
1. Menjaga kebersihan

Mencuci tangan sebelum memasak dan keluar dari toilet

Mencuci alat-alat masak dan alat-alat makan

Dapur harus dijaga agar bersih

2. Memisahkan bahan makanan matang dan mentah

Menggunakan alat yang berbeda untuk keperluan dapur dan untuk


makan

Menyimpan bahan makanan matang dan mentah di tempat yang


berbeda

3. Memasak makanan sampai matang

Memasak makanan pada suhu minimal 85 0C, terutama daging,

ayam, telur, dan makanan laut


Memanaskan makanan yang sudah matang dengan benar

4. Menyimpan makanan di suhu aman

Jangan menyimpan makanan di suhu ruangan terlalu lama

Memasukan makanan yang ingin disimpan ke dalam lemari


pendingin

Jangan menyimpan makanan terlalu lama di Kulkas

5. Menggunakan air bersih dan bahan makanan yang baik

Memilih bahan makanan yang segar (belum kadaluarsa) dan


menggunakan air yang bersih

Mencuci buah dan sayur dengan baik

6. Membuang tinja di jamban yang saniter


37

Menyediakan air bersih di jamban


Memastikan sistem pendistribusian air dan pengelolaan limbah

berjalan dengan baik


6.2. Pencegahan Spesifik (Imunisasi)
Pencegahan spesifik Hepatitis A dilakukan dengan imunisasi. Proses ini bisa
bersifat pasif maupun aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan
Hepatitis A immuno globulin. Tindakan ini dapat memberikan perlindungan
segera tetapi bersifat sementara. Hepatitis A immuno globulin diberikan
segera setelah kontak atau utuk pencegahan sebelum kontak dengan 1 dosis
secara intra muscular. Efek proteksi dapat dicapai bila Hepatitis A immuno
globulin diberikan dalam kurun 2 minggu setelah terpajan.
Imunisasi aktif, memberikan efektifitas yang tinggi pada pencegahan
Hepatitis A. Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine).
Vaksin ini relatif aman dan belum ada laporan tentang efek samping dari
vaksin kecuali nyeri ditempat suntikan. Vaksin diberikan dalam 2 dosis
dengan selang 6 12 bulan secara intramuscular didaerah deltoid atau lateral
paha. Saat ini vaksin yang tersedia di Indonesia adalah Havrix, Vaqta,
Avaxim.
1. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
a. Pengobatan : tidak spesifik, utamanya meningkatkan daya tahan
tubuh (istirahat dan makan makanan yang bergizi), rawat inap hanya
diperlukan bila penderita tidak dapat makan dan minum serta terjadi
dehidrasi berat
b. Disinfeksi serentak terhadap bekas cairan tubuh dari penderita
c. Isolasi tidak diperlukan
d. Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh penderita
e. Pencatatan dan pelaporan

b)

Hepatitis B
1. Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis B
merupakan virus DNA dan sampai saat ini terdapat 8 genotip VHB yang telah
38

teridentifikasi, yaitu genotip AH. VHB memiliki 3 jenis morfologi dan


mampu mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HbcAg, dan HBxAg.
Virus Hepatitis B yang menginfeksi manusia bisa juga menginfeksi simpanse.
Virus ini juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun virus
tersebut tidak bisa menginfeksi manusia.
2. Cara Penularan
Virus Hepatitis B dapat ditemukan di cairan tubuh penderita seperti darah dan
produk darah, air liur, cairan serebrospinalis, peritonea, pleural, cairan
amniotik, semen, cairan vagina dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak
semuanya memiliki kadar virus yang infeksius. Secara umum, penularan bisa
terjadi secara vertical maupun horizontal. Untuk saat ini, penularan HBV yang
utama diduga berasal dari hubungan intim dan transmisi perinatal. Transmisi
horizontal adalah penularan dari satu individu ke individu lainnya. Selain lewat
hubungan seksual tidak aman, transmisi horizontal Hepatitis B juga bisa terjadi
lewat penggunaan jarum suntik bekas penderita Hepatitis B, transfusi darah
yang terkontaminasi virus Hepatitis B, pembuatan tato, penggunaan pisau
cukur, sikat gigi, dan gunting kuku bekas penderita Hepatitis B. Sementara itu,
berpelukan, berjabatan tangan, atau berciuman dengan penderita Hepatitis B
belum terbukti mampu menularkan virus ini.
Penularan secara vertikal adalah penularan yang terjadi pada masa perinatal
yaitu penularan dari ibu kepada anaknya yang baru lahir, jika seorang ibu
hamil karier Hepatitis B dan HBeAg positif maka bayi yang di lahirkan 90%
kemungkinan akan terinfeksi dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25% dari
jumlah tersebut akan meninggal karena Hepatitis kronik atau kanker hati.
Transmisi perinatal ini terutama banyak terjadi di negara-negara Timur dan
negara berkembang. Infeksi mungkin terjadi selama proses persalinan dan
diduga tidak berhubungan dengan proses menyusui
3. Tanda dan gejala
Seseorang yang terinfeksi VHB bisa mengalami Hepatitis B akut. Penderita
yang mengalami Hepatitis B akut akan mengalami gejala prodormal yang sama
dengan Hepatitis akut umumnya, yaitu kelelahan, kurangnya nafsu makan,
mual, muntah, dan nyeri sendi. Gejala-gejala prodormal ini akan membaik
ketika peradangan hati, yang umumnya ditandai dengan gejala kuning timbul.
Walaupun begitu, 70% penderita Hepatitis akut ternyata tidak mengalami
39

kuning. Sebagian dari penderita Hepatitis B akut lalu akan mengalami


kesembuhan spontan, sementara sebagian lagi akan berkembang menjadi
Hepatitis B kronik. Kemungkinan menjadi Hepatitis B kronik ini menurun
seiring bertambahnya usia saat terinfeksi dengan angka yang mencapai 90%
pada neonatus dan 5% pada orang dewasa. Hepatitis kronis umumnya tidak
menimbulkan gejala apa-apa. Sekitar 0,1-0,5% penderita dengan Hepatitis akut
akan berkembang menjadi Hepatitis fulminan. Penyebab dan factor resiko
Hepatitis fulminan ini sampai sekarang masih kurang dipahami.
4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi VHB berkisar antara 30180 hari dengan rata-rata 6090 hari.
Lama masa inkubasi tergantung banyaknya virus yang ada dalam tubuh
penderita, cara penularan dan faktor pejamu. Jumlah virus dan usia merupakan
faktor penting yang berhubungan dengan keparahan akut atau kronik Hepatitis
B.
5. Diagnosis
Sampai saat ini terdapat beberapa indikator laboratoris yang bisa digunakan
untuk menilai infeksi Hepatitis B. Pada infeksi akut, antibodi terhadap HBcAg
adalah yang paling pertama muncul, diikuti dengan munculnya HBsAg dan
HBeAg serum. Bila penderita mengalami kesembuhan spontan setelah
Hepatitis B akut, maka akan terjadi serokonversi HBsAg dan HBeAg, di mana
kadar kedua penanda tersebut tidak akan dapat terdeteksi lagi di serum
sementara anti-HBs dan anti-HBe justru mulai terdeteksi. Sebaliknya, pada
Hepatitis B kronik, HBsAg dan HBeAg akan terus terdeteksi di serum
penderita. Pada penderita dengan Hepatitis B kronik, HBV DNA sebaiknya
diperiksa untuk memantau perjalanan penyakit. Pada beberapa jenis virus
mutan, HBeAg bisa tidak terdeteksi di serum walaupun proses peradangan hati
masih terjadi dan kadar HBV DNA serum masih tinggi.
Terdapat beberapa istilah berkaitan dengan diagnosis penderita dengan
Hepatitis B yang perlu dipahami. Seseorang dikatakan menderita Hepatitis B
kronik bila didapati HBsAg positif dalam minimal 6 bulan, kadar DNA HBV
serum >20.000 IU/ml (105 kopi/ml) bila HBeAg positif atau 2.000-20.000
IU/ml (104-105 kopi/ml) bila HBeAg negatif, kenaikan yang menetap pada
kadar ALT/AST, serta ditemukannya Hepatitis kronik dengan nekroinflamasi
menengah hingga berat pada biopsi hati. Istilah karier inaktif diberikan jika
40

penderita memenuhi kriteria HBsAg positif dalam minimal 6 bulan, HBeAg


negatif dengan anti-HBe positif, kadar DNA HBV serum < 2.000 IU/ml (<10 4
kopi/ml), kadar ALT/AST yang normal, serta hasil biopsi hati menunjukkan
gambaran Hepatitis yang jelas. Diagnosis Resolved Hepatitis B jika memenuhi
kriteria terdapat riwayat Hepatitis B akut maupun kronik atau anti HBc positif
dengan atau tanpa anti HBs, HBsAg negatif, tidak terdeteksinya DNA HBV
dalam darah, serta kadar ALT yang normal.
Evaluasi awal pada setiap penderita yang diketahui menderita Hepatitis B
kronik harus mencakup :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Riwayat penyakit hati dan karsinoma sel hati pada keluarga
3. Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, ALT/AST, PT
4. Pemeriksaan replikasi HBV: HBeAg, anti-HBe, kadar DNA HBV
5. Pemeriksaan untuk memastikan tidak adanya koinfeksi: anti HCV, anti HDV
(untuk daerah endemik), serta anti HIV untuk penderita berisiko
6. Pemeriksaan AFP untuk penilaian kadar awal pada penderita dengan risiko
tinggi kanker hati (usia di atas 40 tahun atau riwayat keluarga kanker hati)
serta ultrasonografi
7. Pertimbangkan dilakukannya biopsi hati untuk melihat kerusakan hati yang
terjadi (untuk penderita yang telah memenuhi kriteria Hepatitis B kronik)
6. Pencegahan
Seperti pada penyakit infeksi lainnya, pencegahan infeksi Hepatitis B bisa
berupa pencegahan non-spesifik maupun pencegahan spesifik.
6.1. Pencegahan Non-Spesifik
Pencegahan non-spesifik infeksi Hepatitis B dapat dilakukan dengan
menerapkan pencegahan universal yang baik dan dengan melakukan
penapisan pada kelompok resiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan
universal, seperti menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan
cairan tubuh penderita, penanganan limbah jarum suntik yang benar,
sterilisasi alat dengan cara yang benar sebelum melakukan prosedur
invasif, dan mencuci tangan sebelum menangani penderita dapat
mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga medis, salah satu
kelompok yang paling berisiko tertular Hepatitis B. Selain itu, penapisan
pada kelompok risiko tinggi (orang yang lahir di daerah dengan
41

endemisitas HBV tinggi, orang dengan pasangan seksual multipel,


homoseksual, semua wanita hamil, penderita HIV dan Hepatitis C,
pengguna jarum suntik, penderita hemodialisis, penderita dengan terapi
imunosupresan, serta orang dengan kadar ALT/AST yang tinggi dan
menetap) sebaiknya dilakukan. Penderita yang terbukti menderita
Hepatitis B sebaiknya diberi edukasi perubahan perilaku untuk memutus
rantai infeksi Hepatitis B.
Edukasi yang bisa diberikan mencakup:
1. Perlu dilakukan imunisasi pada pasangan seksual
2. Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual dengan
pasangan yang belum diimunisasi
3. Tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur
4. Menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang lain
5. Tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma
6.2. Pencegahan Spesifik (Imunisasi)
Bagi orang yang tidak diimunisasi dan terpajan dengan Hepatitis B,
pencegahan postexposure berupa kombinasi HBIG (untuk mencapai kadar
anti-HBs yang tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin Hepatitis B (untuk
kekebalan jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan.
Untuk pajanan perinatal (bayi yang lahir dari ibu dengan Hepatitis B),
pemberian HBIG single dose, 0,5 mL secara intra muskular di paha harus
diberikan segera setelah persalinan dan diikuti 3 dosis vaksin Hepatitis B
(imunisasi), dimulai pada usia 12 hari setelah persalinan. Untuk mereka
yang mengalami inokulasi langsung atau kontak mukosa langsung dengan
cairan tubuh penderita Hepatitis B, maka profilaksis yang digunakan
adalah

HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera

mungkin. Penderita lalu harus menerima imunisasi Hepatitis B, dimulai


dari minggu pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah
kontak seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus
diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan
imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada
waktu bersamaan, namun di lokasi injeksi yang berbeda
Pencegahan spesifik pre-exposure dapat dilakukan dengan memberikan
vaksin Hepatitis B pada kelompok risiko tinggi. Vaksin Hepatitis B yang
tersedia saat ini merupakan vaksin rekombinan HBsAg yang diproduksi
dengan bantuan ragi. Vaksin diberikan sebanyak 4 kali dengan cara injeksi
42

intra muscular (di deltoid, bukan gluteus) pada 0, 2,3 sdan 4 bulan.
(program imunisasi nasional). Indonesia telah memasukkan imunisasi
Hepatitis B dalam program imunisasi rutin Nasional pada bayi baru lahir
pada tahun 1997.
Imunisasi Hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi
Hepatitis B selama lebih dari 20 tahun. Keberhasilan imunisasi dinilai dari
terdeteksinya anti-HBs di serum penderita setelah pemberian imunisasi
Hepatitis B lengkap (3-4 kali). Tingkat keberhasilan imunisasi ditentukan
oleh factor usia penderita, dengan lebih dari 95% penderita mengalami
kesuksesan imunisasi pada bayi, anak dan remaja, kurang dari 90% pada
usia 40 tahun, dan hanya 65-70% pada usia 60 tahun. Penderita dengan
sistem imun yang terganggu juga akan memberikan respon kekebalan
yang lebih rendah. Bayi dari ibu dengan HBsAg (-) tidak akan terpajan
virus Hepatitis B selama proses persalinan, namun risiko bayi tersebut
untuk terpajan virus Hepatitis B tetap tinggi, mengingat endemisitas
penyakit ini di Indonesia. Seperti telah disebutkan di atas, infeksi virus
Hepatitis B pada anak memiliki risiko perkembangan kea rah Hepatitis B
kronis yang lebih besar. Maka setiap bayi yang lahir di Indonesia
diwajibkan imunisasi Hepatitis B. Vaksin yang digunakan adalah vaksin
rekombinan yang mengandung HBsAg yang diproduksi ragi.
Vaksin ini diberikan secara intramuscular pada saat bayi lahir dan
dilanjutkan minimal pada bulan ke-1 dan ke-6. Namun panduan imunisasi
yang berlaku di Indonesia menyarankan pemberian imunisasi pada saat
bayi lahir, pada bulan ke-2, bulan ke-4, dan bulan ke-6. Pemberian
imunisasi dilakukan oleh tenaga medis terlatih di masing-masing daerah.

7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar


a.

Monitoring

secara

berkala

terhadap

penderita

yang

belum

memerlukan pengobatan.
b.

Pegobatan dengan Interferon, Lamivudin, Adefovir, Telbivudin,


Entecavir, atau Tenofovir bagi penderita yang telah memenuhi kriteria
terapi, yaitu: penderita dengan kadar DNA HBV >20.000 IU/ml (10 5
43

kopi/ml) pada HBeAg positif atau

>2.000 IU/ml (104 kopi/ml) pada

HBeAg negatif yang disertai peningkatan ALT >2 kali di atas batas atas
normal atau gambaran biopsi yang menunjukkan adanya tanda inflamasi
atau fibrosis derajat sedang.
c.

Disinfeksi terhadap bekas cairan tubuh dari penderita.

d.

Isolasi tidak diperlukan

e.

Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh penderita

f.

Pencatatan dan pelaporan

c) Hepatitis C
1. Etiologi
Edukasi yang bisa diberikan mencakup:
1. Tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur.
2. Menutup luka yang terbuka agar darah tidak tersentuh orang lain.
3. Penderita yang menggunakan obat-obatan terlarang injeksi sebaiknya diminta
berhenti, dan bila tidak bisa, penderita diminta tidak menggunakan jarum
suntik dan alat-alat lain yang berhubungan dengan darah secara bergantian dan
untuk membuang jarum bekas ke tempat khusus yang mencegah orang lain
tertusuk secara tidak sengaja.
4. Tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma.
5. Penderita perlu diberitahu bahwa risiko penularan VHC lewat hubungan
seksual sebenarnya cukup rendah dan penggunaan barier untuk pasangan
monogamy sebetulnya tidak begitu diperlukan, namun penderita dengan
pasangan multipel sebaiknya disarankan untuk menghentikan kebiasaan
tersebut.

2. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar


a. Pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan memberikan Pegylated interferon
alfa dan Ribavirin.

Lama pemberian terapi ditentukan berdasarkan genotip

virus, pada genotip 1 dan 4 diberikan selama 48 minggu, sementara pada


genotip 2 dan 3 diberikan selama 24 minggu. Pemantauan jumlah virus perlu
dilakukan untuk melihat respon terhadap terapi dengan interferon.
b. Disinfeksi terhadap bekas cairan tubuh dari penderita.
c. Isolasi tidak diperlukan

44

d. Pencegahan sekunder dan tersier bila seseorang terpajan cairan tubuh penderita
Hepatitis C dapat berupa :
1)

Edukasi

dan

konseling

untuk

2)

mendapatkan pilihan pengobatan yang tepat.


Imunisasi Hepatitis A dan B untuk

mencegah terjadinya ko-infeksi dengan Hepatitis A dan B.


3)
Pemeriksaan secara berkala
memantau kemungkinan perkembangan penyakitnya.
4)
Apabila terbukti

positif

untuk

terinfeksi

Hepatitis C, maka penderita harus diterapi sesuai jenis genotip virus.


5). Pencatatan dan pelaporan
d) Hepatitis D
1. Etiologi
Penyebab Hepatitis D adalah virus heptitis delta (VHD) yang ditemukan pertama
kali pada tahun 1977, berukuran 35-37 nm dan mempunyai antigen internal yang
khas yaitu antigen delta. Virus ini merupakan virus RNA dengan defek, artinya
virus ini tidak mampu bereplikasi secara sempurna tanpa batuan virus lain, yaitu
virus Hepatitis B. Hal ini dikarenakan VHD tidak mampu mensintesis protein
selubungnya sendiri dan bergantung ada protein yang disintesis VHB, termasuk
HBsAg. Maka dari itu, infeksi VHD hanya bisa terjadi pada penderita yang juga
terinfeksi VHB pada saat bersamaan atau sudah terinfeksi kronik oleh VHB.
Genom VHD terdiri dari 1.700 pasangan basa yang merupakan jumlah psangan
basa terkecil untuk virus pada hewan.

2. Cara penularan
VHD ditularkan dengan cara yang sama denganVHB, yaitu lewat pajanan
terhadap caian tubuh penderita Hepatitis D. Cara penularan yang paling utaa
diduga melalui jalur parenteral.
3. Tanda dan gejala
Perjalanan penyakit Hepatitis D mengikuti perjalanan penyakit Hepatitis B.
Artinya, bila Hepatitis B yang diderita penderita bersifat akut dan lalu sembuh,
VHD juga akan hilang seluruhnya. Namun bila VHD menginfeksi penderita yang
sudah menderita Hepatitis B kronik, maka penderita tersebut juga akan menderita
Hepatitis D kronik. Gejala infeksi Hepatitis D sama persis dengan Hepatitis B,
45

namun kehadiran virus ini terbukti mempercepat proses fibrosis pada hati,
meningkatkan risiko kanker hati, dan mempercepat dekompensasi pada keadaan
sirosis hati.
4. Masa Inkubasi
Rata-rata 2-8 minggu
5. Diagnosis
Semua penderita Hepatitis B sebaiknya dihimbau untuk menjalani pemeriksaan
Hepatitis D. Pemeriksaan awal dilakukan dengan mencari anti-HDV di serum.
Apabila positif, pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa HDV RNA.
Penderita yang HDV RNA-nya positif saja yang dianjurkan untuk menjalani
terapi Hepatitis D. Perlu diingat bahwa karena infeksi VHD memiliki cara
penularan yang sama dengan VHB, VHC, dan HIV, maka pemeriksaan untuk
virus-virus ini juga perlu dilakukan.
6. Pencegahan
Mengingat infeksi VHD hanya bisa terjadi pada orang dengan Hepatitis B, maka
pencegahan infeksi VHD sama persis dengan pencegahan infeksi VHB. Imunisasi
terhadap VHB telah terbukti efektif menekan prevalensi Hepatitis D di beberapa
daerah di Eropa.
7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
a.

Pengobatan : sampai saat ini hanya terapi berbasis Interferon yang


terbukti cukup efektif sebagai terapi Hepatitis D

b.

Disinfeksi terhadap bekas cairan tubuh dari penderita.

c.

Isolasi tidak diperlukan

d.

Imunisasi pasif terhadap Hepatitis B pada orang yang terpajan cairan


tubuh penderita

e.

Pencatatan dan pelaporan

e) HEPATITIS E
1. Etiologi
Penyebab Hepatitis E adalah virus Hepatitis E (VHE), sebuah virus RNA
berbentuk sferis, baru pada tahun 1983 virus ini berhasil diidentifikasi.
2. Cara penularan
VHE ditularkan melalui jalur fecal oral. Air minum yang tercemar tinja
merupakan media penularan yang paling umum. Penularan secara perkutan dan
46

perinatal juga pernah terdokumentasi. Berbagai penelitian terbaru juga


menunjukkan kemungkinan transmisi secara zoonotic dari babi, rusa, dan hewanhewan pengerat.
3. Tanda dan gejala
Infeksi Hepatitis E selalu bersifat akut dan gejala infeksi ini bervariasi dari
subklinis sampai fulminan. Kemungkinan Hepatitis fulminan karena infeksi VHE
saat ini tercatat 0,5-3%. Kemungkinan ini terutama meningkat pada ibu hamil di
mana angka kematian mencapai 20%. Gejala yang mungkin muncul pada
Hepatitis E akut tidak berbeda dengan Hepatitis akut lainnya, yaitu lemas,
penurunan nafsu makan, demam, nyeri perut, mual, muntah, dan kuning. Bila
dibandingkan dengan Hepatitis A, Hepatitis E akut cenderung lebih parah secara
klinis, dengan risiko koagulopati dan cholestasis terjadi pada kurang lebih 50%
penderita. Masa penularan Hepatitis E yang pasti masih belum diketahui, namun
HEV DNA dapat ditemukan dalam tinja penderita sejak awal penyakit dan bisa
bertahan sampai 1-6 minggu setelah gejala mulai mucul.
4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi Hepatitis E berkisar antara 15-64 hari, dengan rata-rata masa
inkubasi bervariasi antara 26-42 hari pada KLB yang berbeda.
5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi terhadap VHE atau EV rNA
di serum atau feses penderita. Antibodi yang bisa dideteksi saat ini mencakup
IgM, IgG, dan IgA.
6. Pencegahan
Sampai saat ini vaksin terhadap VHE masih belum ditemukan. Maka pencegahan
Hepatitis E lebih ditekankan pada upaya-upaya peningkatan higiene lingkungan.
Tindakan-tindakan yang bisa diambil kurang lebih serupa dengan pencegahan
non-spesifik untuk Hepatitis A.
Studi pada populasi telah menunjukkan bahwa orang-orang yang pernah
menderita Hepatitis E sebelumnya cenderung tidak terkena lagi pada wabah
berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekebalan terhadap Hepatitis E yang
didapat dari infeksi sebelumnya kemungkinan beraku untuk seumur hidup.
7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
a.

Pengobatan: tidak spesifik, utamanya meningkatkan daya tahan tubuh


(istirahat dan makan makanan yang bergizi), rawat inap hanya diperlukan bila
penderita tidak dapat makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat

b.

Disinfeksi serentak terhadap bekas cairan tubuh dari penderita


47

c.

Isolasi tidak diperlukan

d.

Pencatatan dan pelaporan

f) TB (Tuberculosis)
Tiga IO utama di kawasan Asia Tenggara adalah tuberculosis (TB), pneumocystis
carinii pneumonia dan extra pulmonaryvcryptococcosis (biasanya meningitis).
Pencegahan dan terapi IO mempunyai dampak menguntungkan dalam progresivitas
infeksi HIV. HIV mempercepat epidemi TB dan dapat mengaktifkan progresivitas
TB baik bagi mereka yang mempunyai TB yang didapat maupun infeksi M.
tuberculosis yang laten. Risiko berkembangnya TB pada Odha (PLWHA) dengan
komorbiditas M. tuberculosis bervariasi antara 5-15%. Sekitar 60% Odha teraktivasi
TB nya selama hidup dibandingkan dengan mereka yang HIV negatif, hanya 10%.
HIV meningkatkan kambuhnya TBi yang disebabkan oleh reaktivasi endogen (true
relapse) atau eksogen. Meningkatnya kasus TB pada Odha akan meningkatkan
penularan TB pada populasi umum, baik terinfeksi HIV maupun tidak. Sekitar
sepertiga dari 42 juta Odha didunia pada akhir tahun 2000 mempunyai ko-infeksi
dengan M. tuberculosis. Sub-Saharan Afrika adalah negara dengan prevalensi infeksi
TB/HIV tertinggi. Klien yang mempunyai gejala gangguan saluran pernapasan
(misalnya batuk lebih dari 3 minggu), Narapidana di lembaga pemasyarakatan,
petugas kesehatan atau orang yang kontak dengan penderita HIV-positif di rumah
dengan kasus index infectious TB lebih besar risiko untuk mendapatkan infeksi TB.
Pokok Bahasan 2. Tes HIV
Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai

dengan

perkenalan.

Sampaikan

tujuan

pembelajaran

sebaiknya

menggunakan bahan tayang.


2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Tes HIV
Sesi 2: Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan penjelasan tentang Tes HIV
2. Fasiilitator menjelaskan materi tersebut diatas dengan menggunakan tayangan
Power Point
4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
48

5. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan :


Kegiatan Materi Dasar 2 . Keuntungan dan Kerugian Tes HIV
Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas keterlibatan
aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Tes HIV
a. Diagnosis Infeksi HIV
Diagnosis infeksi HIV didasarkan atas penemuan antibodi dalam darah orang yang
terinfeksi. Tersedia bermacam-macam assay antibodi HIV. Assay ini dapat secara
luas diklasifikasikan kedalam tiga kelompok:
1) ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay): antibodi HIV dideteksi dengan
teknik penangkapan berlapis. Jika terdapat antibodi dalam tes serum ini, ia
terperangkap dalam lapisan antara antigen HIV, yang melekat dalam tes, dan
enzim yang ditambahkan kedalam tes. Kemudian dilakukan pencucian secara
seksama untuk melepaskan enzim yang tak terikat. Reagen pewarna
ditambahkan, setiap enzim yang terikat akan dikatalisasi sehingga terjadi
49

perubahan warna pada reagen. Adanya antibodi HIV akan mengubah warna
tersebut. Berdasarkan standar laboratorium Kementerian Kesehatan RI, tes
ELISA bukan sebagai tes konfirmasi.
2) Western blot: antibodi HIV dideteksi dengan cara reaksi berbagai protein
virus. Protein virus dipisahkan berbentuk pita-pita dalam gel elektroforesis
berdasarkan berat molekulnya. Protein ini kemudian dipindahkan kedalam
kertas nitroselulose dalam bentuk

tetesan (blotted). Kertas kemudian

diinkubasikan dalam serum pasien. Antibodi HIV spesifik untuk protein HIV
akan mengikat kertas nitroselulose secara tepat pada titik target migrasi
protein. Ikatan antibodi dideteksi dengan teknik colouriometric.
3) Rapid test: berbagai macam rapid test tersedia dan digunakan berdasarkan
bermacam-macam teknik termasuk aglutinasi partikel, lateral flow membrane;
aliran membran dan sistem assay comb atau dipstick. Rapid test sekarang
lebih banyak digunakan terutama pada tempat pelayanan kesehatan yang kecil
dimana hanya memproses beberapa sampel darah setiap hari. Rapid test lebih
cepat dan tidak memerlukan alat khusus. Rapid test, hanya memerlukan waktu
10 menit. Sebagian besar immuniassay noda darah atau agglutinasi tidak
membutuhkan alat atau pelatihan khusus dan hanya menyita waktu 10-20
menit. Sebagian besar rapid test mempunyai sensitivitas dan spesifisitas diatas
99% dan 98%. Hanya tes yang direkomendasikan WHO untuk memastikan
tingginya sensitivitas dan spesifisitas.
Dalam kebijakan operasional Kementerian Kesehatan RI dalam peningkatan
layanan konseling dan tes HIV, menegaskan bahwa Rapid tes memiliki keuntungan
utama:
1) Memberikan hasil pada hari yang sama sehingga mengurangi angka drop out
untuk mengetahui sero status HIV klien
2) Klien lebih mudah menerima hasil dari konselor yang sama sehingga pre tes
dan pasca tes dilakukan oleh orang yang sama
Dalam Pedoman Pengelolaan Program HIV AIDS di Indonesia ditekankan
tentang 3 Strategi Tes di Indonesia
1) Keamanan transfusi dan transplantasi (untuk keamanan resipien)
2) Surveilans (untuk mengetahui besarannya di populasi)
3) Diagnosis HIV ( termasuk untuk layanan Konseling dan Tes HIV dan
50

perawatan klinis untuk mengetahui status individu)


Diagnosis HIV Pada Bayi Baru Lahir (BBL)
Hasil tes antibodi HIV HIV tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi
HIV pada BBL yang tertular dari ibunya. Hal ini karena antibodi ibu masih ada
pada BBL sampai usia sekitar 18 bulan. BBL harus dites pada usia 18 bulan.
Apabila ingin mengetahui status HIV pada BBL sebelum 18 bulan dapat
menggunakan tes antigen (contohnya p24 antigen HIV)
b. Karakteristik Tes HIV
Biological assays tidak tepat 100%. Masing-masing biological assay mempunyai
potensi menghasilkan false positive atau false negative. Ketepatan pemeriksaan
dengan assay tertentu ditentukan oleh karakteristik berikut ini: sensitivitas;
spesifisitas dan nilai prediksi. Oleh karena itu perlu dipahami konsep cara kerja
ketika menyampaikan hasil tes atau mengembangkan program tes.
1) Sensitivitas:

Menggambarkan kemampuan akurasi sebuah tes sehingga

ditemukan true case. Tes dengan sensitivitas tinggi akan memberikan hasil
false negative yang sangat kecil. Tes dengan sensitivitas tinggi digunakan
ketika dibutuhkan hasil absolut dengan sangat sedikit false negative seperti
pada pelayanan transfusi darah.
2) Spesifisitas: Menggambarkan kemampuan ketepatan tes sebagai true noncase. Tes dengan spesifisitas tinggi akan memberikan hasil false positive
sangat rendah. Tes dengan spesifisitas tinggi digunakan ketika kebutuhan hasil
absolut dengan sangat sedikit false positive seperti, pada penentuan
diagnosis klinis individu dengan infeksi HIV.
3) Nilai Prediksi:

Probabilitas ketepatan assay untuk mendeterminasi status

infeksi HIV individu bervariasi tergantung prevalensi infeksi dalam populasi.


Hasil false negative akan sangat kecil pada populasi dengan prevalensi
rendah dimana hasil false positive akan lebih umum pada populasi dengan
prevalensi rendah. Sebaliknya,

hasil false negative

akan lebih biasa

dijumpai di negara-negara dengan prevalensi tinggi dan hasil false positive


jarang dijumpai pada negara-negara yang prevalensinya tinggi. Dengan kata
lain dalam populasi dengan prevalensi tinggi seseorang dengan tes positif lebih
mempunyai kemungkinan betul terinfeksi. Sebaliknya, pada negara dengan
51

prevalensi rendah seseorang dengan hasil tes negatif lebih mempunyai


kemungkinan betul negatif.
c. Algoritma Tes HIV
Ketepatan hasil meningkat jika kedua assay antibodi HIV digunakan, karena hasil
false positive mungkin terjadi pada keduanya. Keuntungan dari pengulangan
ketepatan tes HIV harus mempertimbangkan biaya. UNAIDS dan WHO
merekomendasikan tiga strategi pemeriksaan untuk memaksimalkan ketepatan dan
menekan biaya.
1) Algoritma tes HIV satu: Semua darah dilakukan tes dengan rapid Tes HIV,
satu kali. Semua hasil positif dinyatakan terinfeksi dan semua hasil negatif
tidak terinfeksi. Strategi ini digunakan pada dua setting utama: pelayanan
transfusi & transplantasi dan surveilans. Pada setting pertama assay tertentu
yang digunakan haruslah mendeteksi HIV-1/HIV-2 dengan sensitivitas tinggi.
Lembaga transfusi akan mengembalikan hasil yang reaktif atau intermediat
dianggap sebagai infeksius dan dibuang darahnya. Ketika digunakan untuk
surveilans maka assay yang digunakan tidak sesensitif untuk transfusi dan
transplantasi karena harus dipastikan keamanannya.
2) Algoritma tes HIV dua: Semua darah yang diperiksa pertama kali harus
menggunakan satu rapid test. Semua serum yang ditemukan reaktif dengan tes
yang pertama harus diperiksa kedua kalinya dengan assay yang berbeda dari
pemeriksaan pertama, dalam kasus ini digunakan metodologi yang berbeda
dan/atau target peptid yang berbeda. Serum yang reaktif pada kedua assay
dinyatakan terinfeksi HIV sementara serum yang non-reaktif pada kedua
assay dinyatakan negatif. Adanya perbedaan hasil ( misalnya. Assay pertama
hasilnya positif dan yang kedua hasil assaynya negatif) harus diulang dengan
assay yang sama. Jika hasil tetap berbeda setelah pengulangan, serumnya
dinyatakan indeterminate. Strategi ini digunakan untuk menegakkan diagnosis
klinis HIV. Namun dapat juga digunakan untuk program surveilans pada
populasi yang prevalensinya rendah. Strategi pengulangan pemeriksaan
direkomendasikan untuk surveilans pada negara-negara dengan prevalensi
rendah karena nilai prediksi postifnya rendah pada tes tunggal . Semua sampel
darah untuk program surveilans yang tetap menunjukkan perbedaan hasil
52

setelah diulang dinyatakan indeterminate. Hasil indeterminate harus


dilaporkan dan dianalisa secara terpisah dalam laporan tahunan surveilans.
3) Algoritma tes HIV tiga: Sama dengan strategi dua diharapkan bahwa
pemeriksaan ke tiga dilakukan pada semua sampel darah positif yang
dideteksi. Oleh karena itu semua spesimen concordant positive dan semua
spesimen discordant diperiksa ulang dengan assay ke tiga. Ketiga tes dalam
strategi ini

harus didasarkan atas preparat antigen dan metodologi yang

berbeda. Semua sampel dengan hasil indeterminate pada tes ketiga


dinyatakan indeterminate.
Untuk memilah tes yang digunakan dalam ketiga strategi haruslah dipilih tes
yang paling sensitif diikuti dengan tes lebih sensitif dan lebih spesifik pada tes
berikutnya. Algoritma tes HIV ini digambarkan dalam skema tes HIV.

d. Bagan Tes Menggunakan Strategi III


A1 (Pemeriksaan I)

A1 +

A1 Laporkan Negatif

A2 (Pemeriksaan II)

A1 + A2 +

A1 + A2 Ulangi A1 dan A2
53

A1 + A2 +

A1 + A2 -

A1 - A2 Laporkan Negatif

A3 (Pemeriksaan III)

A1+ A2+ A3+

A1+ A2+ A3 -

Laporkan Positif

A1+ A2- A3+

Indeterminate

A1+ A2- A3-

Risiko
Tinggi

Risiko
Rendah

Indeterminate
Dianggap
Negatif

Keterangan:
A1, A2 dan A3 merupakan tiga jenis pemeriksaan antibodi HIV yang berbeda.
1) Spesimen darah yang tidak Reaktif sesudah tes cepat pertama dikatakan
sebagai sero negatif, dan kepada klien disampaikan bahwa hasilnya negatif.
Tidak dibutuhkan tes ulang.
2) Spesimen darah yang sero-Reaktif pada tes cepat pertama membutuhkan tes
ulang dengan tes kedua yang mempunyai prinsip dan metode reagen yang
berbeda.
3) Bila hasil tes pertama Reaktif dan hasil tes kedua Reaktif maka dikatakan
hasilnya positif. perlu dilanjutkan dengan testing cepat ketiga.
4) Apabila ketiganya Reaktif maka dikatakan positif.
5) Apabila dari ketiga tes cepat salah satu hasilnya non Reaktif maka dikatakan
tidak dapat ditentukan/indeterminate.
54

6) Bila setelah tes kedua salah satunya non Reaktif dan dilanjutkan dengan tes
ketiga hasilnya juga non Reaktif maka dikatakan hasilnya tidak dapat
ditentukan/indeterminate.
7) Hasil yang dikatakan positif tidak diperlukan tes konfirmasi pada laboratorium
rujukan.
8) Hasil yang tidak dapat ditentukan/indeterminate perlu dilakukan konfirmasi
dengan WB (Western Blot).
9) Bila tetap indeterminate setelah dua belas bulan maka dapat dikatakan
hasilnya negatif.

e. Contoh Alur Penatalaksanaan Tes HIV dalam VCT


Pelayanan Satu Hari One Day Service

Form rujukan tes HIV dan Informed Consent

Konseling Pra tes HIV

Pendaftaran / Administrasi

Klien

Konseling
Pasca tes HIV

Pengambilan
sampel darah

Pemeriksaan Laboratorium (satu atap atau rujukkan

Penyerahan hasil tes darah

55

1) Konselor menyiapkan perlengkapan untuk konseling


2) Konselor memanggil klien (dengan menyebutkan nomer registrasi) dan
mempersilahkan masuk keruangan dan melakukan konseling Pra tes HIV
3) Bila klien menyetujui untuk ditest, konselor memberikan form informed consent
kepada klien dan meminta tanda tangannya setelah klien membaca isi form tes
HIV.
4) Konselor atas nama dokter memberikan surat rujukkan pengambilan darah.
5) Konselor mengisi dokumen klien dengan lengkap dan mengisi form rujukan ke
laboratorium.
6) Klien membawa surat rujukkan pada bagian laboratorium internal maupun
rujukkan
7) Proses pengerjaan darah di laboratorium, satu jam
8) Konselor mendapatkan hasil dari laboratorium
9) Konselor memulai konseling Pasca Tes HIV

56

Formulir Persetujuan Tes HIV


Saya yang bernama dibawa ini telah menerima informasi dan konseling yang menyangkut
hal-hal sebagai berikut:
e. Informasi dasar HIV dan AIDS
f. Kegunaan dari tes HIV
g. Keuntungan dan tantangan yang saya peroleh setelah tes HIV
h. Pencegahan HIV dan peningkatan kualitas hidup dengan HIV
Saya secara sukarela menyetujui untuk menjalani pemeriksaan darah HIV dengan
ketentuan bahwa hasil tes akan tetap rahasia dan terbuka hanya kepada saya. Saya
menyetujui untuk diambil darah untuk pemeriksaan HIV dan kemudian mendiskusikan
kembali hasil tes dan cara-cara untuk meningkatkan kualitas hidup.
Saya dengan ini menyetujui tes HIV.
Tanda Tangan/Cap Jempol
(Nama Klien)

Tanda Tangan
(Nama Konselor)

g. Formulir Permintaan Tes HIV Dari Konselor Kepada Petugas Laboratorium


Formulir Permintaan Pemeriksaan Tes HIV
Tanggal

Kode. Klien

Sudah menandatangani persetujuan pemeriksaan :


Klien memiliki risiko tertular HIV :
Klien menunjukan gejala AIDS :

Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak

Menyetujui pemeriksaan darah,

Nama Terang Dokter

h. Formulir Hasil Tes HIV


57

Formulir Hasil Pemeriksaan HIV


Kode Klien : ____________________

Tanggal : __/__/__

LAPORAN LABORATORIUM
Nama Tes
1.

Hasil

_________________________________

Reaktif

Non Reaktif

Reaktif

Non Reaktif

Reaktif

Non Reaktif

2.
_________________________________
3.
_________________________________

HASIL AKHIR
_________________________
Tanda tangan yang berwenang

58

MATERI DASAR III:


PERAN KONSELING DAN TES HIV DALAM PENCEGAHAN, PERAWATAN,
DUKUNGAN DAN PENGOBATAN
DESKRIPSI SINGKAT
Sampai dengan akhir tahun 2012 jumah kasus HIV yang dilaporkan menunjukkan
kecenderungan yang terus meningkat.Dari hasil kajian eksternal yang dilakukan telah
terlaporkan banyak kemajuan program yang nyata seperti misalnya jumlah layanan
pemeriksaan tes HIV bertambah secara nyata.Demikian juga layanan perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV hingga berjumlah lebih dari 300 layanan yang tersebar di
seluruh provinsi dan aktif melaporkan kegiatannya.
Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV-AIDS,
sehingga tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat
internasional yang diikuti kebijakan nasional. Tes HIV merupakan pintu masuk yang
terpenting pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Setelah
sekian lama ketersediaan tes antibody HIV di Indonesia, dan dengan peningkatan
cakupan tes HIV di Indonesia ternyata masih juga belum cukup menjangkau masyarakat
untuk mengetahui status HIV mereka. Konseling dan Tes HIV (KTHIV) akan mendorong
seseorang dan pasangan untuk mengambil langkah pencegahan penularan infeksi HIV.
Selanjutnya tes HIV akan memberikan kesempatan untuk mendapatkan layanan
pencegahan termasuk pencegahan penularan dari ibu ke anak dan merupakan komponen
penting untuk intervensi pengobatan ART sebagai salah satu upaya pencegahan seperti
pengobatan dini pada pasangan serodiskordan, sehingga perlu sekali untuk meningkatkan
cakupan tes HIV pada pasangan. Di tingkat komunitas perluasan jangkauan layanan
KTHIV akan menormalisasi KTHIV itu sendiri dan mengurangi stigma dan diskriminasi
terkait dengan status HIVdan tes HIV.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM:


Setelah mengikuti pelatihan peserta memahami peran pemeriksaan dan konseling HIV dalam
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV.

59

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah selesai mengikuti sesi peserta latih mampu:
1. Menjelaskan berbagai tujuan dan latar belakang pemeriksaan HIV
2. Menjelaskan prinsip dasar tes dan konseling HIV
3. Menjelaskan Pendekatan pemeriksaan HIV yang digunakan di Indonesia
4. Mengenal model KTHIV
5. Menjelaskan alur tes HIV diagnostic

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:
1. Tujuan dan latar belakang pemeriksaan HIV
2. Prinsip Dasar Tes dan Konseling HIV
3. Pendekatan Pemeriksaan HIV
4. Model Layanan Tes dan Konseling HIV
5. Alur Pemeriksaan Dan Konseling HIV

METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1. Curah pendapat
2. Ceramah Tanya Jawab (CTJ)

MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :

60

1. Komputer
2. LCD
3. Bahan tayang (slide powerpoint)
4. Modul
5. Whiteboard/filpchart + spidol

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan mulai
dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran, sebaiknya dengan menggunakan bahan
tayang.
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait pemeriksaan dan konseling HIV

Sesi 2: Pembahasan Materi


Pokok Bahasan 1: Tujuan dan latar belakang pemeriksaan HIV
1. Fasilitator melakukan curah pendapat tentang berbagai alasan melakukan
pemeriksaan HIV
2. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan penjelasan tentang berbagai alasana pemeriksaan HIV

Pokok Bahasan 2: Prinsip Dasar Tes dan Konseling HIV


3. Fasilitator menyampaikan materi dengan menggunakan tayangan power
point
4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas

Pokok Bahasan 3: Pendekatan Pemeriksaan HIV


3. Fasilitator kembali melanjutkan dengan penjelasan pemeriksaan HIV
4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi

61

Pokok Bahasan 4: Model Layanan Tes dan Konseling HIV


3. Fasilitator kembali melanjutkan dengan penjelasan model
layanan pemeriksaan HIV yang digunakan di Indonesia
4. Fasilitator melakukan proses tanya jawab model yang
sekirannya efektif di daerahnya.
Pokok Bahasan 5. Alur pelaksanaan pemeriksaan HIV untuk diagnosis
4. Fasilitator kembali melanjutkan dengan penjelasan mengenai
Alur pemeriksaan HIV sebagai diagnosis
5. Fasilitator melakukan proses tanya jawab mengenai materi
Sesi 3: Refleksi
3. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang
ditetapkan sudah tercapai?.
4. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta.
URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 1: Tujuan dan Latar Belakang Pemeriksaan HIV
Konseling dan Tes HIV (KTHIV), adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV di
tubuh seseorang yang dapat diselenggarakan di layanan kesehatan formal atau klinik yang terletak di
momunitas.
Ada berbagai alasan melakukan pemeriksaan HIV, seperti misalnya:

Orang atau pasangan yang ingin mengetahui status HIV nya

Pada ibu hamil yang masuk dalam program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
(PPIA)

Penegakan diagnosis klinis demi keperluan pasien

Survei, surveilans, penelitian dan sebagainya

Penapisan darah donor transfusi atau organ tubuh

62

Tatalaksana profilaksis pasca pajanan (PPP) setelah terjadinya tusukan pada kecelakaan
kerja okupasional.

Kasus perkosaan

Perintah pengadilan dari terdakwa dalam kasus kejahatan seksual

dan sebagainya

Namun pada dasarnya ada 3 jenis tujuan pemeriksaan HIV, yaitu:


1. Penapisan darah donor
2. Survei, surveilans untuk kepentingan program
3. Penegakan diagnosis klinis
Strategi pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk ketiga tujuan tersebut berbeda satu sama
lain. Seperti pada uji penapisan darah donor hanya dilakukan dengan Strategi I, pada surveilans
dilaksanakan dengan strategi II dan untuk diagnosis dilaksanakan dengan strategi II atau III tergantung
pada tanda klinis dan prevalensi di wilayah atau area tempat tinggal pasien atau klien.

Tabel 1. Penggunaan Strategi Pemeriksaan HIV berdasarkan Tujuan dan Prevalensei Setempat
Kondisi

Tujuan Pemeriksaan

Donor

darah

Klinis
&

Prevalensi Setempat

yang
terpilih

Semua prevalensi

>10%

<10%

II

Simtomatik

>10%

II

Asimtomatik

<10%

III

transplantasi
Surveilans

Diagosis

Strategi

Pemeriksaan HIV dan konseling merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan. Seperti telah diketahui bahwa:

Semakin dini diketahui status HIV positif memaksimalkan kesempatan ODHA


menjangkau pengobatan, maka akan sangat mengurangi kejadian penyakit terkait HIV

63

dan menjauhkan dari kematian, serta dapat mencegah terjadinya penularan dari ibu ke
bayinya.

Bila mendapat pengobatan yang efektif maka akan mengurangi (hingga 96%)
kemungkinan seseorang dengan HIV akan menularkan kepada pasangan seksualnya.

Bagi yang ternyata HIV negatif dapat mempertahankan diri agar tetap negatif melalui
upaya pencegahan berbasis bukti seperti: perilaku seksual yang aman, penggunaan
kondom, sirkumsisi, perilaku menyuntik yang aman, mengurangi pasangan seksual.

Sesuai dengan kebijakan dan strategi nasional Indonesia telah mencanangkan konsep
akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting to zero, yaitu zero
infeksi baru, zero diskriminasi dan zero kematian oleh karena AIDS.

Bagan 1. Peran Konseling dan Tes HIV sebagai pintu masuk menuju Pencegahan, Perawatan,
Dukungan, dan Pengobatan

64

65

Penerimaan status, Perawatan diri, Komunikasi perubahan perilaku, dan pencegahan positif
Peningkatan kualitas hidup dan perencanaan masa depan:
pengasuhan
anakPPIA, akses kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual
Memfasilitasi
rujukan

Konseling dan Pemeriksaan HIV


Manajemen dini pemeriksaan infeksi oportunistik dan informasi pengobatan HIV (ART)
Konseling lanjutan

Pendidikan dan informasi masyarakat: untuk Normalisasi HIV-AIDS


Dukungan dan Perawatan di rumah, komunitas dan masyarakat

Memfasilitasi informasi dan rujukan terkait dukungan psikososial dan akses ekonomi

Pokok Bahasan 2: Prinsip Dasar Tes Dan Konseling Hiv


Semua pemeriksaan HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5
komponen dasar yang disebut 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and
connection/linkage to prevention, care, and treatment services) tetap diterapkan dalam
pelaksanaannya.Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes
HIV.
a. Orang yang diperiksa HIV harus dimintai persetujuannya untuk pemeriksaan
laboratorium HIV. Mereka harus diberikan informasi atau pemahaman tentang proses
KTHIV, layanan yang tersedia sesuai dengan hasil pemeriksaannya nanti, dan hak
mereka untuk menolak pemeriksaan HIV tanpa mengurangi kualitas layanan lain yang
dia butuhkan. Pemeriksaan HIV secara mandatori tidak pernah dianjurkan, meskipun
dorongan datang dari, petugas kesehatan, pasangan, keluarga atau lainnya.

66

b. Layanan pemeriksaan HIV harus diperlakukan secara konfidensial, artinya bahwa


semua isi diskusi antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes
laboratoriumnya tidak akan disingkap kepada pihak lain tanpa persetujuan klien.
c. Layanan pemeriksaan harus dilengkapi dengan informasi pra-tes dan konseling pascates yang berkualitas baik.
d. Penyampaian hasil pemeriksaan yang akurat. Pemeriksaan harus dilaksanakan dengan
jaminan mutu laboratorium sesuai dengan strategi tes, norma dan standar yang diakui
secara internasional sesuai dengan tingkat epidemi setempat. Hasil pemeriksaan harus
dikomunikasikan kepada klien secara pribadi, kecuali klien tersebut menolak.
e. Klien harus dihubungkan atau dirujukan ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan
dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.
Dengan mengikuti prinsip dasar di atas dalam pelaksanaan Konseling dan Tes HIV dengan
rujukan ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan maka akan mampu mengurangi
angka kejadian infeksi baru HIV, kesakitan dan kematian terkait AIDS. Manfaat tersebut akan
bertambah bila akses Konseling dan Tes HIV ditingkatkan terutama bagi kelompok rentan dan
kelompok kunci, pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak serta pemberian terapi ARV bagi yang
membutuhkannya.
Pemeriksaan mandatori hanya dilakukan pada keadaan seperti di bawah ini:
1. Penapisan HIV dan penyakit infeksi lain yang menular melalui darah pada darah donor
untuk transfusi dan pembuatan produk darah.
2. Penapisan donor sebelum tindakan yang melibatkan pertukaran cairan tubuh atau bagian
organ tubuh seperti misalnya, inseminasi buatan, transplantasi kornea atau organ lain.
3. Pemeriksaan HIV di kalangan TNI sesuai ketentuan yang berlaku.

Pokok Bahasan 3: Pendekatan Pemeriksaan HIV


Ada 2 jenis pendekatan dalam KTHIV, yaitu
1. Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling yang disingkat dengan
TIPK

67

2. Konseling dan tes HIV secara sukarela yang disingkat dengan KTS
Tes HIV atas inisiatifpemberi layanan kesehatan dan konseling (TIPK) yaitu pemeriksaan HIV yang
dianjurkan atau ditawarkan oleh petugas kesehatan kepada pasien pengguna layanan kesehatan
sebagai komponen standar layanan kesehatan di fasilitas tersebut.Tujuan umum dari Konseling dan
Tes HIV tersebut adalah untuk menemukan diagnosis HIV secara lebih dini dan memfasilitasi pasien
untuk mendapatkan pengobatan lebih dini pula.Sebagian lagiuntuk memfasilitasi pengambilan
keputusan klinis atau medis terkait pengobatan yang dibutuhkan dan yang tidak mungkin diambil
tanpa mengetahui status HIV nya.
Konseling dan tes HIV atas insiatif klien ataukonseling dan tes HIV sukarela (KTS) adalah
layanan pemeriksaan HIV yang menuntut peran aktif dari klien untuk mencari layanan tersebut baik di
fasilitas kesehatan atau layanan pemeriksaan HIV berbasis komunitas.Layanan semacam biasanya
menekankan penilaian pengelolaan risiko infeksi HIV dari klien yang dilakukan oleh seorang
konselor, membahas perihal keinginan klien untuk menjalani pemeriksaan HIV dan strategi untuk
mengurangi risiko tertular HIV.KTS dilaksanakan di berbagai macam tatanan seperti fasilitas layanan
kesehatan, layanan KTS mandiri diluar institusi kesehatan, layanan bergerak, dan layanan di
komunitas, dan lainnya.Konseling dan Pemeriksaan HIV atas inisiatif klien ini bertujuan untuk:

a. Pencegahan penularan HIV dengan menyediakan informasi tentang perilaku


berisiko, penularan dan membantu orang dalam mengembangkan keterampilan
pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek lebih
aman.
b. Menyediakan dukungan psikologis, misalnya dukungan yang berkaitan dengan
kesejahteraan emosi, psikologis, sosial dan spiritual seseorang yang terinfeksi HIV
atau virus lainnya.
c. Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi dan perawatan melalui
pemecahan masalah kepatuhan berobat
Sesi ini akan membahas pemeriksaan HIV untuk keperluan diagnosis dengan pendekatan
kesehatan masyarakat guna meningkatkan cakupan pengobatan ARV baik sebagai pencegahan
maupun pengobatan dalam kerangka perawatan HIV yang berkesinambungan. Bahasan mencakup
model layanan pemeriksaan HIV baik konseling dan tes HIV sukarela (KTS), atau tes HIV atas
inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling (TIPK), juga model lain yang dikembangkan di
Indonesia untuk memperluas layanan pemeriksaan HIV. Perlu ditekankan bahwa KTHIV merupakan
pintu masuk terpenting pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan dan
menjadi salah satu mata rantai dalam jejaring Layanan HIV/IMS Komprehensif Berkesinambungan
yang terus dikembang di Indonesia.

68

Pokok Bahasan 4: Model Layanan Tes Dan Konseling HIV


Di Indonesia perlu dikembangkan model layanan KTHIV yang mampu menjangkau sasaran
yang lebih luas dengan lebih cepat.Maka kecuali menggunakan paduan model pendekatan tersebut,
tempat layanan yang dikembangkan dengan lebih luas dapat diharapkan mampu menjangkau populasi
kunci dan memfasilitasi diagnosis HIV sebanyak mungkin dan sedini mungkin untuk dapat
dilanjutkan dengan pengobatan ARV.
Berdasarkan tempat layanannya maka pemeriksaan HIV dapat diselenggarakan di:
1. Terintegrasi di fasilitas layanan Kesehatan di mana pendekatan TIPK lebih dominan,
baik yang menetap maupun yang bergerak.
2. Di suatu klinik mandiri yang terletak di komunitas dengan layanan kesehatan yang
sangat terbatas yang cenderung dengan pendekatan KTS.
3. Sementara di Indonesia terkembang juga layanan pemeriksaan HIV untuk kelompok
tertentu yang diatur dengan pertaturan tertentu seperti: di kalangan TNI/POLRI;
layanan bagi WBP di lapas/ rutan; layanan di tempat kerja; layanan bagi tenaga kerja
migran.
Apapun model dan pendekatan yang diterapkan pemeriksaan HIV selalu mengikuti alur atau
algoritma yang sudah ditentukan dan harus disertai dengan sistem jaminan dan perbaikan mutu yang
tidak hanya diterapkan pada pemeriksaan laboratorium saja tetapi juga perlu untuk proses
konselingnya.

Pemeriksaan dan Koseling HIV di Fasilitas Layanan Kesehatan


Pemeriksaan HIV di layanan kesehatan menerapkan dua model yang saling melengkapi
yaitu TIPK dan KTS. Semula pemeriksaan HIV ditawarkan ketika seorang petugas kesehatan
menduga adanya infeksi HIV pada seorang pasien yang simtomatik atau ketika seseorang
diidentifikasi memiliki risiko terinfeksi HIV. Di luar tatanan klinik, pemeriksaan HIV ditawarkan
secara lebih luas melalui konseling dan tes HIV secara sukarela atau atas inisiatif klien (KTS). Namun
demikian cara tersebut belum cukup untuk mencapai cakupan pemeriksaan HIV yang memadai, baik
dalam hal penegakan diagnosis sedini mungkin maupun target cakupan pegobatan ARV. Atas dasar
situasi tersebut Indonesia saat ini lebih menekankan penawaran pemeriksaan HIV di fasilitas layanan
kesehatan sebagai pendekatan yang rutin.Dengan demikian upaya untuk menjamin klien mendapatkan

69

manfaat diagnosis dan intervensi dini dapat diperoleh, terutama untuk populasi kunci atau untuk
penduduk di wilayah epidemi yang menyeluruh.
Penawaran pemeriksaan HIV secara rutin di layanan kesehatan akan menormalkan
(destigmatisasi) pemeriksaan HIV dan tidak hanya mengandalkan motivasi individu dalam mencari
layanan pemeriksaan tersebut karena motivasi masyarakat untuk mencari layanan mungkin rendah
mengingat masih adanya ketakutan akan stigma dan diskriminasi. Meskipun demikian, penting untuk
ditekankan bahwa sekalipun berdasarkan inisiatif petugas, pemeriksaan HIV tidak boleh
dikembangkan menjadi pemeriksaan mandatori atau memeriksa klien tanpa menginformasikannya.
Perubahan paradigma tersebut perlu terus didorong perluasan pelaksanaannya, terutama di
layanan kesehatan yang banyak melayani pasien dengan masalah TB, IMS, layanan PTRM, LASS
bagi penasun, layanan bagi populasi kunci lain (seperti PS, LSL, Waria) dan di KIA, karena pasienpasien tersebut memiliki risiko tinggi untuk tertular HIV.
Pada situasi/ wilayah tertentu, seringkali pemeriksaan HIV atas inisiatif petugas kesehatan
dan konseling tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, misalnya klien tidak
mengetahui adanya layanan atau klien enggan datang ke layanan kesehatan.Dalam situasi seperti
tersebut, perlu dikembangkan upaya yang dapat memperluas cakupan melalui kegiatan penjangkauan
yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat atau komponen masyarakat lainnya.
Layanan pemeriksaan HIV atas inisiatif petugas kesehatan dan konseling di fasilitas layanan
kesehatan meliputi penawaran pemeriksaan HIV bagi ibu hamil, bagi pasien TB, IMS, PTRM, LASS,
kesehatan anak dan tatanan klinik lain serta layanan kesehatan bagi populasi kunci. Pemeriksaan HIV
atas inisiatif petugas kesehatan dan konseling bagi ibu hamil merupakan strategi penting untuk
pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA). Di samping itu pemeriksaan diagnostik HIV secara
rutin sangat dianjurkan bagi semua pasien yang terdiagnosis atau suspek TB di Indonesia, untuk
mendorong pemberian ARV kepada pasien HIV dengan TB sedini mungkin terutama TB masih
menjadi penyebab kematian terbanyak pada ODHA.
Secara teknis, berikut ini adalah penjelasan penerapan pemeriksaan HIV atas inisiatif petugas di
fasilitas layanan kesehatan didasarkan atas tingkat epideminya.
Di tingkat epidemi meluas maka TIPK diterapkan pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak)
pengunjung fasilitas kesehatan, termasuk di layanan medis dan bedah; IMS; layanan untuk
hepatitis; TB; baik di fasyankes pemerintah maupun swasta; rawat jalan dan rawat inap; layanan
medis bergerak atau melalui penjangkauan; layanan antenatal; KB; kesehatan anak; layanan bagi
populasi kunci; kesehatan reproduksi

70

Di tingkat epidemi terkonsentrasi maka TIPK diterapkan pada

dewasa, remaja, dan anak pengunjung semua fasilitas layanan kesehatan dengan tanda
dan gejala atau kondisi klinis/medis yang diduga terkait dengan infeksi HIV, termasuk
TB;

anak yang terpajan oleh HIV, atau anak yang terlahir dari ibu ternfeksi HIV serta bayi dan
anak yang simtomatis.

TIPK harus diterapkan juga di layanan IMS; hepatitis; TB; antenatal dan layanan bagi
populasi kunci (misalnya: LSL, waria, PSK dan penasun)

Pemeriksaan dan Koseling HIV (KTHIV) Mandiri


Konseling dan Tes HIV dengan pendekatan konseling dan tes sukarela (KTS) secara mandiri
biasanya merupakan layanan pemeriksaan HIV berbasis klinik yang terletak di tigkat komunitas
sehingga lebih dekat menjangkau masyarakat yang membutuhkannya. Layanan tersebut menyediakan
layanan konseling yang lebih komprehensif, hasil pemeriksaan yang cepat (pada hari yang sama),
dikelola dan terhubung dengan layanan berbasis komunitas.
Model KTS mandiri merupakan pionir layanan pemeriksaan HIV di Indonesia, yaitu pada
kurun waktu tahun 1990 2000.Saat itu, ketersediaan layanan pemeriksaan HIV masih sangat terbatas
dan pengobatan ARV juga belum tersedia secara luas.Pada periode selanjutnya, model tersebut
dikembangkan pada tatanan klinik.Model layanan ini menekankan kesukarelaan klien untuk datang
mencari layanan dengan persetujuan (informed consent) secara tertulis sebagai standar
etiknya.Meskipun KTS banyak memiliki keterbatasan, khususnya karena sangat mengandalkan
motivasi individu, namun masih dianggap penting sebagai salah satu paket layanan dalam jejaring
layanan HIV yang komprehensif dan berkesinambungan (LKB). KTS Mandiri juga masih sangat
dibutuhkan untuk memberikan layanan di komunitas.
Strategi layanan terdiri dari 3 komponen:

konseling pra-tes dan pasca-tes,

persetujuan (informed consent) tertulis dan

jaminan konfidensialitas.

71

Pemeriksaan dan Koseling HIV Bergerak


Layanan Konseling dan Tes HIV dapat diberikan di berbagai tatanan di komunitas, baik
dengan cara menjangkau klien potensial dan mendorong mereka datang ke layanan, atau dengan
menyelenggarakan layanan ke tempat mereka berada (bergerak/mobile). Model layanan bergerak ini
dapat bersifat sementara/temporer tapi dilaksanakan secara berkala/reguler di tempat komunitas
berada, seperti di tempat hiburan, bar, karaoke, sekolah, tempat kerja, di lokasi pekerja seks atau
tempat nongkrong populasi kunci. Dapat pula diselenggarakan terkait dengan suatu perayaan atau
pertunjukan.Model ini perlu dukungan dan berkoordinasi secara kuat dengan layanan penjangkauan
(outreach) dan pendukung sebaya (PE peer educator).Model tersebut harus pula terkait di dalam
LKB yang dikembangan di Indonesia.
Layanan bergerak terdiri dari tim konselor, dokter, petugas laboratorium, dan petugas
administrasi, dengan membawa surat tugas dari institusi kesehatan setiap kali penyelenggaraan. Untuk
layanan bagi komunitas yang terpencil atau sulit dijangkau, hendaknya diselenggarakan selama 2 hari
setiap triwulan.Tes HIV dilakukan dengan tes cepat setelah sesi informasi atau konseling pra-tes dan
persetujuan klien. Hasil pemeriksaan sedapat mungkin dikomunikasikan pada hari yang sama dan
diikuti dengan rujukan ke layanan PDP.
Layanan Konseling dan Pemeriksaan HIV dalam Tatanan Khusus
Ada kelompok mayarakat khusus yang memiliki risiko relatif lebih besar untuk tertular HIV
mengingat pekerjaan ataupun keberadaan kelompok tersebut seperti misalnya kalangan TNI/POLRI;
lingkungan kerja tertentu; warga binaan pemasarakatan di Lapas atau Rutan; tenaga kerja migran.Di
samping itu kelompok khusus yang perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut meskipun tidak terkait
dengan faktor risiko yang disandangnya.Layanan yang disediakan lebih kepada penyediaan akses
tindak lanjut pasca pemeriksaan seperti bagi donor darah yang tersaring reaktif pada uji saring
pengamanan darah donor di UTD.

Pokok Bahasan 5:Alur Pemeriksaan Dan Konseling HIV


Alur dari pemeriksaan HIV berlaku baik untuk pemeriksaan HIV yang diinisiasi oleh petugas
maupun yang sukarela. Proses konseling HIV tersebut di fasilitas layanan kesehatan tergambar pada
Bagan 2 di bawah.

Bagan 2.

Alur Pemeriksaan HIV

72

Sesi informasi pra-pemeriksaan dapat dilaksanakan secara kelompok, pasangan atau individual dan
diikuti dengan sesi individual singkat.Pemberian konseling pada pemeriksaan HIV ditekankan pada
konseling pasca-tes untuk memastikan ODHA mengakses pengobatan ARV pada waktu yang tepat dan
tetap menjalani perawatan secara patuh.Konseling tersebut harus selalu dilakukan dengan bahasa yang
mudah dipahami oleh klien.

MATERI INTI I
KONSELING HIV DALAM STRATEGI KOMUNIKASI
PERUBAHAN PERILAKU
I.

DESKRIPSI SINGKAT
73

Konseling HIV menggunakan strategi komunikasi perubahan perilaku untuk


mendukung klien melakukan perubahan.Dalam komunikasi kita mengenal pemahaman
akan tahap dan proses perubahan perilaku yang membantu individu untuk berubah.
Melalui perubahan perilaku, diharapkan klien bertanggung jawab untuk melindungi
dirinya agar tidak tertular HIV, menerapkan pencegahan positif dan meningkatkan
kualitas hidup. Materi ini akan mempelajari tentang bagaimana seorang konselor
melakukan konseling, mempertimbangkan aspek tata nilai dalam konseling,
menerapkan strategi komunikasi perubahan perilaku, penularan HIV, model perubahan
perilaku dan pencegahan positif.
II.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM :


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu memahami
komunikasi

III.

perubahan

perilaku

dan melakukan strategi

dalam

proses

konseling

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS :


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu memahami dan melakukan :

IV.

Orientasi konseling dalam berkomunikasi dengan klien

Pengelolaan tata nilai dalam konseling

Prinsip komunikasi perubahan perilaku

Edukasi penularan HIV

Model perubahan perilaku

Pemecahan masalah

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
1. Orientasi Konseling
2. Tata Nilai Konseling
3. Prinsip Komunikasi Perubahan Perilaku
4. Penularan HIV
5. Model Perubahan Perilaku
6. Pemecahan Masalah

V.

METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1. Curah pendapat
2. Ceramah Tanya Jawab (CTJ)
3. Diskusi kasus
74

VI.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :
1. Komputer
2. LCD
3. Bahan tayang (slide powerpoint)
4. Modul
5. Whiteboard/filpchart + spidol
6. Materi Kasus

VII.

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Pokok Bahasan 1. Oientasi Konseling
Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan

mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran

sebaiknya menggunakan bahan tayang


2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait orientasi konseling
Sesi 2: Pembahasan materi
1.

Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang


disampaikan dan melanjutkan dengan

penjelasan tentang orientasi

konseling
2. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian
materi Orientasi konseling
Fasilitator menjelaskan secara rinci mengenai langkah- langkah

3.

tahapan komunikasi untuk dalam oientasi konseling


Fasilitatator melakukan kegiatan Tanya jawab terkait materi diatas

4.

Kegiatan Materi Inti I : LK kasus orientasi Konseling


Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang
ditetapkan sudah tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta.
VIII. URAIAN MATERI
Pokok Bahasan
75

1.

Orientasi Konseling dalam Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku


Konseling merupakan proses penerapan strategi komunikasi dalam membantu
seseorang untuk belajar menyelesaikan masalah interpersonal, emosional dan
memutuskan hal tertentu.
Peran seorang konselor dalam konseling yaitu membantu dan memfasilitasi klien
untuk dapat membangun kemampuan diri dalam pengambilan keputusan bijak dan
realistik, menuntun perilaku mereka dan mampu mengemban konsekuensi dari
pilihannya dan memberikan informasi yang terkini.
Prinsip Dasar Konseling Dalam Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku
1) Spesifik atas kebutuhan atau masalah dan lingkungan setiap klien
2) Proses timbal-balik yang saling kerjasama dan menghargai
3) Memiliki tujuan dan fokus kepada klien
4) Membangun otonomi dan tanggung jawab diri terhadap klien
5) Memperhatikan situasi interpersonal
6) Kesiapan untuk berubah
7) Menyediakan informasi terkini
8) Mengembangkan rencana perubahan perilaku atau rencana aksi
9) Mengajukan pertanyaan, menyediakan informasi, mengulas informasi, dan
mengembangkan rencana aksi

Konseling BUKAN ....


Membacakan

renungan

atau

membaca

puisi,

berdoa

bersama,

memberikan nasihat dari awal hingga akhir, interogasi nilai pribadi dan
diskusi hal tidak terkait

Perbedaan Konseling dan Penyuluhan Kelompok


Konseling

Penyuluhan Kelompok

Rahasia dan kepercayaan menjadi syarat Tidak bersifat rahasia


kenyamanan
Dilakukan secara bertatap muka oleh Kelompok kecil atau besar
konselor dan klien atau konselor dengan
76

klien berserta pasangannya


Memiliki keterlibatan emosi
Lebih netral
Mengarah pada tujuan khusus
Mengarah pada tujuan umum
Membangkitkan motivasi untuk perubahan Meningkatkan
pengetahuan
perilaku dan sikap
Berorientasi pada masalah
Berbasis kebutuhan klien

pemahaman
Orientasi pada isi
Berbasis
kebutuhan

dan

kesehatan

masyarakat

Dalam proses konseling pra tes HIV, penyuluhan kelompok yang beranggotakan 510
orang menjadi strategi untuk meningkatkan jumlah klien yang hendak mengikuti prates
HIV. Setelah itu, jika ada anggota kelompok yang ingin berproses terpisah (sendiri),
tetap harus difasilitasi. Dengan demikian, maka dua kegiatan yang berbeda namun
dapat diterapkan secara harmoni dalam proses prates HIV.
Konseling HIV AIDS
Konseling HIV AIDS merupakan strategi komunikasi perubahan perilaku yang bersifat
rahasia dan saling percaya antara klien dan konselor. Tujuan konseling yaitu untuk
meningkatkan kemampuan klien menghadapi tekanan dan pengambilan keputusan
terkait dengan HIV AIDS. Proses konseling HIV AIDS termasuk konseling pra tes HIV,
konseling penilaian risiko, konseling pasca tes HIV dan konseling perubahan perilaku.
Konseling ini menggunakan teknik keterampilan komunikasi berfokus pada kebutuhan
klien (fisik, psikososial dan spiritual seseorang). Penting untuk diketahui bahwa
mungkin ada masalah lain terkait dengan HIV seperti penyesuaian diri klien dengan
masalah klien yang belum terselesaikan di masa lalu. Seperti misalnya masalah
orientasi seksual, identitas seksual, perasaan tidak nyaman sebagai pekerja seks dan
ketergantungan Napza atau masalah keluarga lainnya.
Konseling HIV AIDS merupakan proses strategi komunikasi dengan tiga tujuan umum:
1

Menyediakan dukungan psikologis, misalnya: dukungan yang berkaitan dengan


kesejahteraan emosi, psikososial dan spiritual seseorang yang terinfeksi HIV.

Pencegahan penularan HIV dengan menyediakan informasi tentang perilaku


yang tidak berisiko dan membantu orang dalam mengembangkan keterampilan
pribadi untuk melindungi diri dari penularan HIV, reinfeksi HIV serta memiliki
perilaku yang berkualitas.
77

Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, psikososial dan ekonomi melalui


mekanisme rujukan dan keterkaitan dengan layanan dukungan, perawatan dan
pengobatanHIVAIDS.
Proses Konseling Dalam Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku
I.

Tahap Satu, Tahap Pembuka untuk Membangun Rapport


Membangun hubungan baik dan meningkatkan kepercayaan klien
a) Meyakinkan kerahasiaan dan mendiskusikan batas kerahasiaan
b) Mengizinkan ventilasi untuk ekspresi perasaan dan pikiran klien
c) Menggali masalah, meminta klien menceritakan kisah mereka
d) Memperjelas harapan klien untuk konseling
e) Menjelaskan hal-hal yang dapat konselor tawarkan dan cara kerjanya
f) Pernyataan dari konselor tentang komitmen mereka untuk bekerjasama
dengan klien.

II.

Tahap Dua, Identifikasi Masalah


a) Definisi masalah, pemahaman peran konselor dan keterbatasannya serta
kebutuhan klien
b) Mengemukakan peran dan batas hubungan dalam konseling
c) Memapankan dan mengklarifikasi tujuan dan kebutuhan klien
d) Membantu menetapkan prioritas, tujuan dan kebutuhan klien
e) Melakukan pengambilan riwayat secara rinci dan menceritakan riwayat
secara spesifik
f) Mengggali keyakinan, pengetahuan dan perhatian klien

III.

Tahap Tiga, Pemecahan Masalah


a) Proses konseling dukungan tindak lanjut
b) Melanjutkan ekspresi pikiran dan perasaan
c) Mengenali berbagai alternatif
d) Mengenali keterampilan penyesuaian diri yang sudah ada
e) Mengembangkan keterampilan penyesuaian diri
f) Mengevaluasi alternatif pemecahan masalah dan dampaknya.
g) Memungkinkan perubahan perilaku
h) Mendukung dan mempertahankan kerjasama dengan klien terkait
masalahnya
i) Memonitor perkembangan klien
78

j) Rencana alternatif yang dibutuhkan


k) Rujukan sesuai kebutuhan
IV.

Tahap Empat, Mengakhiri Sesi


a) Menutup atau mengakhiri relasi
b) Klien bertindak sesuai rencana
c) Klien menangani dan menyesuaikan diri dengan fungsi sehari-hari
d) Ketersediaan sistem dukungan yang dapat diakses
e) Kenali strategi memelihara perubahan yang sudah terjadi
f) Diskusi dan rencanakan pengungkapan status
g) Interval perjanjian diperpanjang
h) Ketersediaan sumber dan rujukan yang diketahui serta dapat diakses
i) Meyakinkan klien tentang pilihan untuk kembali mengikuti konseling
sesuai kebutuhan

2.

KONSELOR DAN KONSELING


Konseling psikologi dilakukan oleh profesi psikologi yang fokus pada
memfasilitasi orang dan fungsi interpersonalnya sepanjang masa dalam hidupnya.
Tugas konselor adalah memberi perhatian pada emosi, sosial, vokasional, edukasi,
terkait kesehatan, perkembangan dan organisasi

(American Psychology

Association ). Seorang konselor HIV dilatih melalui modul pelatihan terstandar


(Kementrian Kesehatan 2013) yang membantu orang terkait HIV dan masalahnya .
Konselor akan membantu denbgan cara positif melakukan klarifikasi masalah,
menggali opsi , membangun strategi dan meningkatkan kesadaran diri . Di
Indonesia, dalam upaya membantu program HIV AIDS, dilatihlah konselor HIV
dengan latar belakang pendidikan yang tidak harus berprofesi psikologi. Dalam hal
ini ,

konselor HIV adalah orang yang dilatih untuk menolong orang yang

mengalami berbagai masalah psikologi terkait HIV. Masalah dapat terjadi ketika
seseorang menghadapi kejadian penting , merasa diri terancam atau tak mampu
menghadapinya, sehingga terjadi gejolak emosional. Gejolak emosional dapat
dimanifestasikan dalam gangguan mood (perasaan, suasana hati) , gangguan fungsi
tubuh (makan, minum, tidur, seks, gerak) dan kemampuan berpikir.
Dalam hal HIV atau sakit terkait HIV, informasi tentang penyakit
merupakan bagian penting. Melalui pemahaman akan sakitnya, diharapkan dapat
membuat pasien mengerti

alasan untuk melakukan perubahan perilaku yang


79

melindunginya dari sakit berkelanjutan atau menghentikan penularan pada orang


yang terkait dengannya. Penyampaian informasi dilakukan dalam proses konseling
.Informasi HIV yang disampaikan termasuk didalamnya kausa, pemeriksaan ,
penularan, pencegahan dan terapi , serta jejaring layanan kesehatan dan rujukan.
Terapi dalam konseling atau terapi psikologi mempunyai 3 kategori yakni
terapi perilaku untuk mengubah perilaku dengan pendekatan pikiran dan perasaan
pasien/klien, pendekatan psikodinamik dan pendekatan humanistik . Dalam hal
konseling HIV digunakan pendekatan integratif melalui pemahaman alur pikir dan
perasaan klien 'sekarang dan disini' guna meraih kehidupan kesehatan yang lebih
baik. Konseling integratif yang dilakukan konselor HIV menggunakan kombinasi
banyak teknik (dalam modul telah di komposisikan)

melalui pintu masuk

keprihatinan terhadap HIV. Disini tidak dilakukan terapi psikologi dengan


pendekatan terapi psikoanalisa, tetapi lebih bersifat singkat (brief therapy) dan
bilamana pendekatan lebih mendalam diperlukan, dapat dirujuk pada psikolog
klinis ataupun psikiater.
Langkah dalam konseling

telah diformulasikan dalam materi inti II :

Penatalaksanaan Konseling dalam Tes HIV; dan materi inti V: Konseling Lanjutan
dan Berkesinambungan Guna memahami konseling, berikut ini dijabarkan secara
ringkas beberapa terapi psikologi yang mempunyai pendekatan yang berbeda-beda,
sesuai dengan tipe pendekatannya.

A. Terapi Kognitif dan Terapi Perilaku


Terapi perilaku berdasar pada cara pikir (kognitif) klien dan /atau

cara

bersikap/berperilaku. Terapi ini memungkinkan orang mengubah perilakunya,


membuat dirinya mampu menghadapi masalah spesifik , dalam hal ini HIV
AIDS.
1.
Terapi Perilaku
Terapi perilaku fokus pada pembelajaran individu atau dikondisikan untuk
mengubah perilaku dan cara mengubah perilaku. Pendekatan ini
mengasumsikan bahwa perilaku dapat dipelajari, dan juga dapat dihapus
(atau direkondisi-Teori Pavlov) karena itu pasien dilatih menghadapi isu
yang memerlukan perubahan perilakunya.
2. Terapi Kognitif

80

Terapi kognitif mengolah pikiran dan persepsi, dan cara memengaruhi


perasaan dan perilaku. Dengan menilai kembali (reassessment) pikiran
negatif. Melalui menilai kembali pikiran individu negatif akan belajar
lebih fleksibel, cara pikir positif, yang akan memengaruhi pikiran
3. Cognitive Behavioural Therapy (CBT)
Cognitive Behavioural Therapy (CBT) mengombinasi terapi kognitif dan
perilaku. Pendekatan berfokus pada pikiran, emosi , perasaan fisik dan
tindakan, serta mengajarkan klien bahwasanya orang satu dan lainnya
saling memengaruhi. CBT berguna untuk menghadapi beberapa isu ,
termasuk depresi, anxietas dan fobia.

B. Terapi psikoanalitik dan psikodinamik


Terapi psikoanalitik dan psikodinamik berbasis pada pikiran dan persepsi alam
nirsadar individu yang dikembangkan sejak masa kanak dan cara memengaruhi
perilaku dan pikiran sekarang.
1. Psikoanalisis
Psikoanalisis dikembangkan oleh Sigmund Freud dan fokus pada alam
nirsadar individu, berakar jauh kedalam pikiran yang seringkali berawal dari
masa kanak . Melalui asosiasi bebas, mimpi atau fantasi, klien dapat belajar
cara menginterpretasi memori atau pikiran yang telah dikubur dalam-dalam
yang kalau muncul akan menyebabkan individu terancam.

2. Teori Psikoanalitik
Berbasis psikoanalisis, terapi psikoanalitik juga fokus pada cara pikir
nirsadar individu yang memengaruhi mereka.
3. Terapi Psikodinamik

81

Terapi Psikodinamik dikembangkan dari Terapi Psikoanalitik dan mencari


pikiran nirsadar yang memengaruhi perilaku masa kini. Terapi psikodinamik
biasanya fokus pada masalah yang KINI dan berupaya menyiapkan solusi
cepat
C. Terapi Humanistik
Terapi humanistik fokus pada perkembangan, pertumbuhan dan bertanggung
jawab pada diri sendiri. Terapi ini membantu individu mengenali kekuatan,
kreativitas dan pilihan individu pada DISINI dan KINI.
1.

Konseling terpusat pada Orang (juga disebut konseling "clientcentred")


Konseling terpusat pada orang berfokus pada rasa diri berharga. Menjadi
individu yang merasa berharga, tanpa dihakimi , akan membantu individu
untuk menerima diri mereka , dan menghubungkan kembali dengan diri
mereka sendiri.

2.

Terapi Gestalt
Terapi Gestalt dapat diartikan secara kasar sebagai 'keseluruhan' dan fokus
pada keseluruhan pengalaman individu, termasuk pikiran, perasaan dan
aksi mereka. Meningkatkan kesadaran diri pada DISINI dan KINI sebagai
kunci dari Terapi Gestalt.

3.

Analisis Transaksional
Analisis transaksional berdasar pada teori bahwa manusia mempunyai tiga
status ego: Orangtua, Dewasa, dan Kanak. Dengan mengenali status ego,
analisis

transaksional

berupaya

mengidentifikasi

cara

individu

berkomunikasi dan cara diri berubah.


4.

Psikologi dan psikosintesis transpersonal


Psikologi transpersonal berarti "dibalik orangnya " dan mencari orang
yang masuk dalam tubuh, umur, tampilan, budaya dsb individu yang kita
82

hadapi. Psikosintesis tujuannya menemukan kesadaran yang lebih tinggi


tingkat kesadaran spiritualnya.
5.

Terapi eksistensial
Terapi eksistensial fokus pada penggalian arti isu tertentu melalui
perspektif filosofi, sebagai ganti pendekatan berdasar teknik .

D. Terapi lainnya
Meski pada umumnya terapi psikologi terbagi dalam tiga kategori diatas,
masih ada beberapa terapi lainnya.
1. Terapi Keluarga/ Sistemik
Terapi Keluarga, atau Terapi Sistemik, merupakan pendekatan konseling
dengan keluarga dan mereka yang berhubungan dekat, tanpa memandang
adanya hubungan darah atau tidak. Perubahan dilihat dalam sistem
interaksi setiap orang dalam keluarga.
2. Terapi Seni/Psikoterapi Seni
Terapi seni digunakan materi seperti kuas, cat, lilin, kertas dsb. Alat-alat
ini digunakan untuk mengomunikasikan isu, emosi dan perasaan dan dapat
mendorong tilikan diri terhadap konflik yang muncul.
3. Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR)
EMDR merupan bentuk psikoterapi yang dikembangkan tahun 1980 oleh
psikolog Amerika Dr Francine Shapiro. EMDR digunakan untuk menerapi
trauma

peikologik

seperti

kecelakaan,

bencana,

perkosaan

dan

pembunuhan.

83

4. Integratif
Konseling integratif berarti mencampur tipe terapi spesifik. Pendekatan ini
tidak terikat pada tipe terapi psikologi tertentu. Konseling integrative
dipraktikan dalam konseling HIV yang diyakini dapat menolong
klien/pasien dalam hampir semua situasi.

Rujukan
1. America Psychological Association Division 17 : What is Counseling Psychology,
2013
2. Counselling Directory: Types of Therapy, Coliseum, Riverside , Camberley, Surrey,
2013
3. State Government of Victoria, Better Health Channel : Counsellors, 2013
Pokok Bahasan 2. Tata Nilai
Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa
berkenalan

peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum

mulai dengan

perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran

sebaiknya menggunakan bahan tayang


2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Tata Nilai Konseling
Sesi 2 : Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan penjelasan tentang Tata nilai dalam proses konseling
2. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian materi tata
nilai Konseling
3. Fasilitator menjelaskan hubungan antara Tata nilai dalam konseling dengan
kualitas Konselor
4. Fasilitatator melakukan kegiatan Tanya jawab terkait materi diatas
5. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan :
a. Kegiatan materi inti 1
b. Kegiatan kedua : mengisis prioritas
c. Kegiatan ketiga : Daftar kata-kata
d. Kegiatan keempat : pernyataan kontroversi
84

6. Fasilitator kembali menjelaskan prinsip CBT (cognitive behavior Therapy)


dalam konseling dengan menggunakan gambar dalam tayangan power point
7. Fasilitator mengajak peserta untuk mempelajari bagaimana tata nilai konselor
dapat mempengaruhi diri dalam ketidak nyamanan
8. Fasilitator menjelaskan bagaimana melakukan debrif dan melepaskan atau
mengurangi ketidak nyamanan dalam konseling dengan berbagai cara (minta
peserta untuk membaca kembali materi Tata Nilai)
Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta
URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 2. Tata Nilai Konseling Sikap, Tata Nilai dan Keyakinan
Kita semua dipengaruhi oleh sikap, tata nilai dan keyakinan yang berkembang di masyarakat
dan budaya tempat kita hidup. Masyarakat dan budaya memberikan kontribusi pada
perkembangan sikap, tata nilai dan keyakinan pribadi. Bingkai sikap, tata nilai dan
kepercayaan merupakan pedoman perilaku kita dari hari ke hari, mempengaruhi interpretasi,
pengungkapan dan respon kita terhadap setiap peristiwa, secara spesifik terikat budaya
setempat dan bervariasi pada setiap wilayah, negara, dan kelompok.
Konselor membutuhkan pengembangan kesadaran diri akan sikap, tata nilai, dan kepercayaan
yang dianut. Konselor perlu mempertimbangkan dan menilai kembali sikap, tatanilai dan
keyakinannya yang mungkin berdampak padahidupnya dan secara khusus terkait dalam
melaksanakan pekerjaan sebagai konselor. Konselor membutuhkan pemahaman dalam
merespon perbedaan opini ketika berhadapan dengan klien yang mempunyai perbedaan opini
dengan dirinya. Konselor mungkin saja akan bekerja dengan mereka yang berbeda latar
belakang suku, budaya dan kepercayaan. Konselor membutuhkan pengenalan dan penerimaan
akan setiap perbedaan sikap, tata nilai dan keyakinan yang berbeda dari klien.
Kesulitan dan konflik yang terkait dengan sikap, tata nilai dan keyakinan antara klien dan
konselor perlu didiskusikan atau dikonsultasikan kepada supervisor atau konselor yang lebih
berpengalaman atau teman seprofesi konselor lainnya.
85

Konseling BUKAN memaksa orang untuk menyetujui dan mengikuti standar


kehidupan tertentu sesuai dengan HARAPAN konselor

Pertanyaan tata nilai konselor kepada diri sendiri :


1Klien telah berhubungan seksual berganti-ganti pasangan. Bagaimana saya sebagai
konselor memandang hal tersebut?
2Klien sudah terinfeksi HIV, apakah saya sebagai konselor punya rasa takut? Apakah saya
memandang penularan sebagai hal yang manusiawi atau dosa?
3Dapatkah saya menjaga diri saya agar tidak memasukkan tata nilai saya kepada klien?
Apakah saya memilih bersikap profesional untuk menghargai pilihan klien?
4Klien lebih muda dari saya dan memiliki budaya bergaul yang berbeda dengan saya.
Apakah saya bisa membantunya?
5Seberapa jauh saya bisa mengelola diri saya agar tidak terlibat dalam permasalahan klien?
Respon emosi dan perilaku seseorang terhadap suatu situasi dipengaruhi oleh persepsinya
terhadap situasi tersebut. Pikiran kita terkondisi dari keadaan sosial dan perilaku kita. Pikiran
dan keyakinan kita dibangun dalam suatu kurun waktu dan dipengaruhi oleh pengalaman
masa lalu, budaya, agama, pola asuh dan kawan sebaya.
Pada gambar di bawah ini akan diterapkan konsep dan cara pandang yang dapat disesuaikan
dalam situasi konseling sehingga memunculkanrespon yang sesuai. Konselor dapat
menerapkan pada diri sendiri atau konselor mencoba melihat cara pandang dua orang yang
memiliki cara pandang berbeda. Satu kondom yang sama, dapat dimaknai berbeda. Satu
orang memandang kondom sebagai bentuk program pencegahan HIV yang efektif dan
melindungi masyarakat lainnya.Satu orang lagi memandang kondom sebagai bentuk
dukungan kepada perilaku seksual berganti pasangan dan lambang ketidaksetiaan. Akibatnya
terjadi perbedaan, satu orang memandang positif dan orang lain memandang negatif.
Meskipun kondom yang dilihat ke dua orang itu adalah kondom yang sama, namun pikiran
individu yang melihatnya berbeda.

86

PRINSIP

COGNITIVE

BEHAVIOUR

Penyebab tidaksuka?

Triad Kognisi

Apa yang kita katakan, pikiran

Lensa: Pengalaman, religi, dan keyakinan

Situasi, peristiwa,
Orang, Obyek

THERAPY

Respon emosional dan

Tidak peduli, tidak setuj


Berganti-ganti asangan
Lambang ketidaksetiaan

Peduli, setuju dan menjadikan KONDOM


Alat yang EFEKTIF untuk CEGAH HIV AIDS

KONDOM

Teori ini merupakan cara pikir cognitive behavioural therapy (CBT). Kita dapat mengubah
respon emosi dan perilaku kita terhadap suatu situasi, orang maupun kejadian dengan cara
mengubah atau menantang pikiran kita. Pada dasarnya bukan mengubah sistem tatanilai
intitetapi lebih memodifikasi intensitas respon.
Contoh gambar di atas dapat memodifikasi pikiran negatif terhadap kondom (misalnya karena
mempunyai pengalaman ketidaksetiaan) menjadi alat pencegahan dalam HIV AIDS.
87

Pokok Bahasan 3. Komunikasi Perubahan Perilaku dalam Konseling


Sesi 1 : Pengkondisian
a. Fasilitator menyapa
berkenalan

peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum

mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran

sebaiknya menggunakan bahan tayang


b. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Komunikasi Perubahan
perubahan perilaku dalam konseling HIV
Sesi 2 : Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan meminta seluruh peserta melakukan :
Kegiatan Materi Inti I : Kegiatan Kelima Melatih Kebiasaan Terkait dengan Olah raga
dalam Komunikasi Perubahan Perilaku
2. Fasiilitator meminta peserta secara bergantian memberikan alasan-alasan

atas

pilihan peserta dan akan mengingatkan perubahan perilaku bukan suatu yang
mudah.
3. Fasilitator menjelaskan tentang perubahan Perilaku dengan menggunakan
tayangan Power Point
4. Fasilitatator membantu peserta untuk belajar memahami proses tahapan- tahapan
perubahan pada klien dan tujuan nya dengan meminta peserta membacakan materi perubahan perilaku secara bergantian dan menjelaskan secara
rinci dalam menilai kemampuan klien untuk dapat melakukan Perubahan
Perilaku
Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
88

2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas


keterlibatan aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Prinsip Komunikasi Perubahan Perilaku
Deskripsi Singkat
Konselor harus mampu berkomunikasi dengan baik agar tercapai perubahan perilaku yang
diharapkan. Apa yang terjadi jika seseorang dengan HIV tetap menggunakan Napza suntik
bergantian tanpa disterilkan terlebih dahulu? Apa yang terjadi jika seseorang dengan HIV
tetap berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom?
Seorang konselor memiliki peran dalam membantu klien mengenali perilaku yang merugikan,
mengerti alternatif yang tersedia, dapat berperilaku sesuai pengetahuan perilaku yang sehat
dan menerima dukungan yang diperlukan untuk mempertahankan perubahan perilaku.
Tantangan sebagai konselor adalah Perubahan Perilaku
Hal ini sulit namun harus dilakukan untuk memperoleh perilaku yang
tidak berisiko

a. Tahapan Perubahan Perilaku


1) Perubahan perilaku adalah sebuah proses yang bertahap. Memahami tahapan
membantu penguatan proses konseling. Penting diketahui bahwa tidak ada perubahan
yang mutlak, sesuai yang diperkirakan.
2) Seorang klien dapat berubah-ubah tahapannya naik atau turun, sampai pada suatu saat
klien dapat berhasil mengubah perilaku.
3) Tahapan ini adalah alat konselor untuk menilai klien sampai tahapan di mana klien
berubah perilakunya.
Tahapan perubahan perilaku menurut The Centres for Disease Control HIV
Preventionand Couselling Guidelines of1993 dan dipadukan dengan teori spiral
perubahan perilaku Prochaska, De Clemente, dkk 1994 adalah sebagai berikut:
1) Pengetahuan terkait dengan pra kontemplasi
2) Bermakna bagi diri sendiri terkait dengan kontemplasi
3) Menimbang untung rugi terkait dengan persiapan
89

4) Membangun kapasitas diri terkait dengan persiapan


5) Ujicoba dan percobaan penerapan terkait dengan tindakan
6) Perubahan perilaku terkait dengan rumatan.

Sumber : Prochaska, 1992

Sumber : Ali, R & Marsden, J., 2007


Keterangan gambar :
1) Precomtemplation/Pra-perenungan. Pada tahap pra kontemplasi, klien belum
memiliki pengetahuan tentang perilaku berisiko mereka. Konselor perlu
90

menumbuhkan kesadaran diri klien agar memahami risiko akibat perilakunya,


meskipun saat itu mereka belum mau mengubah perilakunya. Gunakan
pertanyaan terbuka untuk penilaian. Klien belum menyadari adanya akibat
dariperbuatannya. Belum berkeinginan atau belum berminat untuk berubah.
a) Saya tidak perlu berubah karena perilaku saya bukan suatu kesalahan
b) Apa untungnya menggunakan kondom?
2) Contemplation/Perenungan. Pada tahap kontemplasi ini klien menyadari
informasi dan makna bagi dirinya berkaitan dengan perilaku yang rentan pada
dirinya. Seringkali klien mengetahui fakta bagaimana infeksi HIV terjadi, tetapi
belum mengetahui bagaimana mereka melindungi dirinya agar tidak terinfeksi
HIV.
Respon klien terhadap risiko terinfeksi HIV adalah sebagai berikut:
a) Mengenali bahwa perilaku mereka berisiko terinfeksi HIV.
b) Tidak dapat menerima atau memahami bahwa perilaku mereka dapat
menyebabkan terinfeksi HIV.
c) Memahami risiko dan merasa tidak berdaya, putus asa dan merasa tidak
mampu mengubah perilaku.
3) Preparation/Persiapan. Pada tahapini klien perlumelakukan persiapan dua
langkah.
a) Persiapan, tahap pertama. Dalam tahap pertama persiapan, klien akan
menimbang untung rugi dan mendorong perubahan perilaku. Melihat pro
dan kontra tersebut perlu menjadi bahan pertimbangan antara klien masih
ingin mendapat perilaku yang diinginkan dan klien belum sepenuhnya
mengutamakan perilaku aman. Bantulah klien mengekspresikan rasa
kehilangan ketika perilaku lama ditinggalkan.

Klien telah bertekad dan telah berencana untuk membuat


perubahan diri secepatnya, yang akan berguna untuk

masa

mendatang.
Klien telah memahami dan mengakui adanya masalah, dapat
mengambil keputusan untuk menetapkan mau berubah, mau

memulai upaya pencegahan masuknya virus HIV.


Klien membuat hubungan awal dengan beberapa orang yang dia
yakini dapat membantunya.

91

Konselor perlu menilai keputusan klien untuk berubah. Mulailah


terlebih dahulu dengan menanyakan apa saja keuntungan bilaakan
mengubah perilaku saat ini, kemudian dengan menanyakan apa
kerugiannya. Lanjutkan dengan menanyakan apa keuntungannya
bilatidak akan mengubah perilaku saat ini, kemudian lanjutkan
dengan menanyakan apa kerugiannya.

Berubah

Tidak Berubah

Ajak klien menilai pilihannya. Gunakan alat bantu kartu di bawah ini
untuk membantu menilai motivasi klien untuk mengubah perilaku
berisikonya. Setelah itu, klien dapat memutuskan bersedia berubah atau
tidak mau berubah perilakunya.
Keuntungan
Keuntungan pertama

Kerugian
Kerugian pertama

Keuntungan kedua, dst

Kerugian kedua, dst

b) Persiapan, tahap ke dua. Dalam tahap persiapan ke dua, konselor mengajak


klien membangun kapasitas diri (capacity building). Hal merupakan
persiapan untuk perubahan perilaku, termasuk meningkatkan keterampilan
praktis dan dukungan manajemen risiko/biaya yang harus ditanggung
sebagai akibatnya.
Strategi konseling untuk membangun kapasitas diri termasuk:
Memberikan ketrampilan praktis, spesifik, dan mampu dikerjakan.
Melakukan permainan peran

yang mengacu pada perubahan

perilaku dan penguatan.


Mendemonstrasikan penggunaan kondom dan juga mencari tahu
alasan-alasan mengapa klien tidak bersedia mengenakan kondom.
Menegosiasikan suatu rencana perubahan dan kontrak perilaku
yang akan dilakukan.
Mendiskusikan dengan klien tentang hambatan-hambatan yang ada
dan cara untuk mengatasinya.
92

Membantu klien melakukan inventarisasi semua dukungan sosial


yang akan diperoleh bila ia berubah.
Gunakan alat ukur untuk membantu mengukur kesiapan klien berubah.
Alat bantu ini dipergunakaan saat seorang yang mempunyai risiko
penularan HIV telah mengambil keputusan untuk melakukan perubahan
perilaku. Pada alat ukur di bawah ini, lingkari angka (dari 0 = paling
rendah ke 10 = paling tinggi) yang paling cocok dengan perasaan klien
saat ini.

Seberapa penting perubahan ini bagi Anda? (Masukkan perilaku


target di sini, misalnya perilaku pemakaian kondom atau perilaku
konsumsi alkohol atau obat lain)

Seberapa yakin Anda bisa berubah?

Seberapa realistis Anda kemungkinan tidak kembali ke kebiasaan


lama dalam jangka panjang?

Beberapa pertanyaan untuk dipertimbangkan:

Apa yang menyebabkan Anda berada di skor Anda sekarang dan tidak
berada di skor 10?

Apa yang Anda perlukan agar dapat meraih skor lebih tinggi?

Apa yang membuat perubahan ini penting bagi Anda atau mengapa
Anda tidak berada di titik nol?

Dukungan apa yang diperlukan untuk perubahan Anda, jika Anda


memilih untuk melakukannya?

93

4) Action/Tindakan. Dalam tahap tindakan ini, klien mencoba menerapkan


langkah perubahan perilaku ke depan. Strategi konseling dalam masa uji coba
tersebut antara lain:
a) Merencanakan cara menghadapi hambatan yang mungkin akan dihadapi
klien.
b) Membuat kerangka ulang jika terdapat kegagalan yang dialami klien.
c) Klien - konselor harus ingat bahwa model perubahan perilaku ada
kemungkinan berkali-kali untuk mengalami kegagalan.
Meskipun pelaksanaan uji coba tidak selalu berhasil namun sekecil apapun
perubahan perilaku dapat dipertimbangkan sebagai keberhasilan dan yang
harus didukung oleh konselor..
5) Maintenance/Rumatan/Memelihara.
Memelihara/mempertahankan perubahan perilaku seksual merupakan tahap
rumatan yang aman sepanjang waktu secara alamiah dan berkesinambungan.
Diharapkan perubahan perilaku dapat berubah seiring dengan perubahan
kehidupan seseorang. Dalam tahap rumatan klien mencapai sasaran misalnya
abstinensia/suntikan bersihdan bekerja keras untuk tetap mempertahankannya,
menghindarkan diri dari teman-teman yang masih menyuntik. Klien melatih
diri dengan cara

memakai kondom dengan berbagai variasi dan

mempertahankan keberlanjutannya. Bila klien mengalami 'slip atau relaps


(kembali pada perilaku semula) klien tidak panik karena klien yakin ia sudah
dibekali keterampilan untuk mengatasi diri. Klien akan segera mengubah diri
dengan mengakui kesalahannya dan mengambil langkah perbaikan.
KEWASPADAAN

Kembali (kambuh) pada perilaku yang kurang aman dapat menyebabkan


perilaku aman sebelumnya tidak berlaku sehingga menyebabkan terinfeksi
HIV.

Jumlah perilaku berisiko tinggi dan infeksi-infeksi baru akan meningkat jika
intervensi dihentikan. Berlangsungnya pengurangan risiko tergantung pada
program-program perubahan perilaku yang berkelanjutan, dorongan dan
dukungan konselor.

94

Pokok Bahasan 3. Prinsip Penularan HIV


Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa
berkenalan

peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum

mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran

sebaiknya menggunakan bahan tayang


2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait prinsip Penularan HIV
Sesi 2 : Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan bertanya kepada seluruh peserta mengenai pemahaman
penularan HIV dalam kehidupan Sehari-hari
2. Fasilitator kemudian penjelasan tentang Prinsip Penularan HIV dengan Menggunakan tayangan Power Point
3. Fasilitatator melakukan kegiatan Tanya jawab terkait materi diatas
4. Fasilitator mengajak seluruh perserta untuk melakukan :

KEGIATAN INTI I : PERMAINAN PENULARAN HIV


Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta
URAIAN MATERI
a. Gambaran Tentang Perilaku Berisiko
Perilaku berisiko yang menjadi jembatan dari penularan HIV adalah :
1) Seks vaginal dengan penetrasi, tidak menggunakan kondom dan berganti-ganti
pasangan atau berhubungan seks dengan pasangan yang HIV tanpa menggunakan
kondom.
2) Seks anal dengan penetrasi dan tidak menggunakan kondom, ejakulasi di dalam,
berganti-ganti pasangan atau berhubungan seks secara anal dengan pasangan yang
HIV tanpa menggunakan kondom.
3) Tertusuk jarum suntik yang mengandung virus HIV.
95

4) Menggunakan jarum suntik dan semprit bersama pengguna napza suntik.


5) Air susu ibu dengan kandungan virus HIV yang digunakan untuk menyusui bayi.

b. Empat Prinsip Penularan HIV


Penularan HIV dapat terjadi, jika prinsip-prinsip penularanterjadi bersamaan. Empat prinsip
penularan HIV adalah:
Exit (Keluar)

: Virus harus keluar dari dalam tubuh orang yang


terinfeksi HIV

Survive (Hidup)

: Virus harus tetap bertahan hidup

Sufficient (Cukup)

: Jumlah virus harus cukup untuk menginfeksi

Enter (Masuk)

: Virus masuk ke dalam tubuh melalui aliran darah

Bila salah satu prinsip penularan tidak terjadi maka


tidak akan terjadi penularan !!!

Pokok Bahasan 5.Komunikasi Model Perubahan Perilaku


Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa
berkenalan

peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum

mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran

sebaiknya menggunakan bahan tayang


2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait model perubahan perilaku
Sesi 2 : Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan
dan melanjutkan dengan penjelasan tentang komunikasi model perubahan
perilaku
2. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian materi
diatas
3. Fasilitator menjelaskan secara rinci mengenai langkah- langkah model
perubahan perilaku dan prinsip Harm reduction (pengurangan dampak buruk)
penularan HIV
4. Fasilitatator melakukan kegiatan Tanya jawab terkait materi diatas
5. Fasilitator meminta peserta membaca uraian materi terkait program LASS
96

6. Fasilitator

mengajak

seluruh

peserta

untuk

melakukan

Kegiatan Materi Inti I : Tehnik Pemasangan Kondom laki-laki danPerempuan


Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta
URAIAN MATERI
Model Perubahan Perilaku
a. Model Penghilangan Risiko Terbaik adalah Abstinensia-Tidak Melakukan
Dengan berpuasa tidak melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan maka
kemungkinan risiko tidak terjadi. Ketika seseorang tak lagi menggunakan Napza
dengan jarum suntik maka risiko penularan HIV tak ada. Contoh adalah pesan kepada
anak muda: No sex, no drugs.
PRO
Beberapa

KONTRA
memerlukan Model ini agak sulit diikuti meski menjamin

individu

ultimatum dan model ini sebagai langkah 100% bebas terinfeksi. Kebanyakan klien
awal untuk kehidupan yang lebih baik. sukar berhenti dan mengubah perilaku
Prinsip

ini

detoksifikasi,

digunakan
klien

dalam

dihentikan

pusat dengan

cepat.

dari tinggalkan

Perilaku

adalah

yang

mereka

perilaku

yang

NAPZA, kemudian selama masa itu menyenangkan mereka. Model ini tidak
diajak berdialog tentang perilaku mereka. membiarkan alternatif lain masuk, dan kita
harus menutup semua akses ketergantungan.
b. Model Pengurangan Risiko Gunakan Kondom atau Gunakan Jarum Baru pada
Program Harm Reduction
Model ini tetap menerima bahwa ada orang yang berhubungan seks berganti pasangan
dengan menggunakan kondom agar dapat mengurangi risiko penularan. Kalau klien
97

memiliki pasangan tetap, terapkan keuntungan memiliki satu pasangan dan gunakan
kondom untuk melindungi diri anda dan pasangan. Pada program konseling
pengurangan dampak buruk diterapkan kepada para pengguna napza suntik.
Pertimbangan seperti ini muncul mengingat bahwa ada orang yang tidak mampu
mengelola dengan baik untuk mengurangi perilaku berisikonya. Konselor akan
menawarkan alternatif penggunaan kondom atau dengan jarum steril pada pengguna
napza suntik.
Model ini mengajarkan bahwa risiko adalah bagian hidup seseorang dan
memprioritaskan risiko individu terhadap infeksi HIV, sehubungan dengan kondisi
kesehatan, status pekerjaan, dan penggunaan narkoba.

Harm reduction dirancang

dengan memperhatikan risiko yang terdapat pada setiap pilihan perilaku. Dalam model
ini terjadi perubahan perilaku secara bertahap dalam waktu yang panjang. Setiap
perubahan perilaku positif dianggap baik dan makin mendekatkan diri pada perilaku
yang sehat. Konselor bersama klien bekerjasama untuk mengenali perilaku berisiko,
memahami

alasan

mengapa

klien

terus

melakukan

perilaku

berisiko

dan

mengembangkan strategi untuk mengenali apa yang dapat klien mulai lakukan menuju
perilaku sehat.
Beberapa konselor merasa ada dilema karena model ini tetap membuat klien dapat
terinfeksi. Model bisa bergantian sesuai dengan kebutuhan klien dan kurun waktu yang
diperlukan. Isu terpenting bagi konselor HIVAIDS adalah mengetahui model-model ini.
Meskipun bukan suatu hal yang mutlak tetapi dapat dijadikan sebagai alat intervensi
yang tepat bagi klien sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya.
c. Unsur Penting Konseling Perubahan Perilaku untuk Kondom dan Menyuntik
yang Aman
1)

Penilaian risiko dan kerentanan. Klien perlu menilai risiko


kemungkinan dirinya terinfeksi HIV dan beberapa hambatan dalam penggunaan
kondom atau menyuntik yang aman.

2)

Penjelasan kondom, penggunaan kondom dan menyuntik yang


aman.Pencegahan/pesan

penggunaan

harus

ditekankan

guna

memotivasi

kebutuhan, kepercayaan, kepedulian dan kesiapan klien.


98

3)

Keterampilan menggunakan kondom dan menyuntik yang aman.


Cara menyuntik yang betul perlu diperhatikan dan diperkuat. Keterampilan berpikir
kritis, mengambil keputusan dan komunikasi dapat ditingkatkan dengan
mengemukakan keuntungan penggunaan kondom dan menyuntik yang aman serta
kemampuan bernegosiasi dalam penggunaannya.

4)

Membuat Rencana. Dalam konseling pra tes, klien didorong


merencanakan untuk menggunakan kondom atau menyuntik yang aman dan
mempertahankannya.

5)

Sumber Daya Manusia.

Konselor harus mampu memberi saran

sesuai kemampuan dana dan daya yang tersedia tanpa meninggalkan segi kualitas
kondom. Langkah untuk menggunakan cara menyuntik yang aman. Jika mungkin
memberikan akses penyediaan bahan habis pakai (kondom, jarum suntik, bahan
dan alat suntik lainnya) sesuai kemampuan.
6)

Penguatan Dan Komitmen. Dalam konseling pasca tes, konselor


harus meninjau kembali perencanaan klien untuk menggunakan kondom atau
menyuntik yang aman dan secara berkala klien diminta hadir di klinik.

7)

Lingkungan

yang

Mendukung.

Ciptakan

lingkungan

yang

mendukung untuk penggunaan kondom dan menyuntik yang aman, termasuk


pilihan jenis kondom dan suntikan, sediakan bahan KIE (leaflet, brosur) dan
layanan konseling rujukan/ hotline service.
Tantangan terbesar kesehatan masyarakat dalam menurunkan penyakit HIV AIDS
dan IMS lainnya adalah memotivasi penggunaan kondom. Perempuan dan laki-laki
dengan alasan tertentu tidak menggunakan kondom karena berbagai alasan.
Misalnya takut pada reaksi pasangan, penolakan pasangan, kurangnya rasa percaya
terhadap kondom, kurangnya akses terhadap kondom atau menurunnya
kenikmatan.
8)

Cara Menggunakan Kondom Laki-laki


1) Periksa batas kadaluwarsa yang tertera pada bungkus kondom.
2) Tekan bungkus kondom dengan jari, pastikan bungkusnya utuh.
3) Buka bungkus pada tempat bertanda untuk merobek. Pastikan kuku atau jari
tidak merusak kondom.
4) JANGAN membuka bungkus dengan benda tajam seperti silet atau gunting
sebab memungkinkan robeknya kondom.
5) Ketika penis ereksi, pasanglah kondom.
99

6) Pastikan bagian bergulung atau cincin kondom di sisi luar. Tekan dan pegang
puncak kondom dengan ibu jari untuk menekan udara keluar.
7) Letakkan puncak kondom pada kepala penis dan gunakan tangan lain. Dorong
gulungan kondom menyusuri batang penis sampai pangkal.
8) Gunakan kondom selama sanggama. Setelah ejakulasi, ketika penis masih
ereksi, pegang

dan tarik penis keluar, jaga kondom tidak menumpahkan

ejakulatnya.
9) Bungkus kondom dengan kertas toilet, buanglah sesegera mungkin sehingga
tak terjangkau siapapun. JANGAN masukkan kondom ke dalam lubang toilet.
10) Kondom tidak boleh digunakan ulang. Kondom digunakan satu kali saja
d. Cara Menggunakan Kondom Perempuan
1)

Lakukan pemeriksaan tanggal kadaluwarsa.

2)

Tekan bungkus kondom dengan jari untuk memastikan bungkusnya


utuh. Gunakan kondom 10 menit sebelum memulai hubungan seksual.

3)

Buka bungkus pada tempat bertanda untuk merobek. Koyak


bungkusnya, dan pastikan kuku atau jari saudara tidak merusak kondom. Lihat
kondom, apakah masih utuh. JANGAN membuka bungkus dengan benda tajam
seperti silet atau gunting sebab memungkinkan kondom robek.

4)

Seka bagian dalam kondom agar lubrikan terpencar, kalau perlu


tambahkan lubrikan lagi.

5)

Temukan posisi tepat agar dapat memasang kondom dengan nyaman.

6)

Pegang ujung bagian tertutup kondom. Cincin dalam terletak pada


ujung kondom yang tertutup. Pilin cincin kondom antara ibu jari dan jari tengah .

7)

Buka bibir vagina dengan tangan lain, masukkan kondom di antara


kedua bibir vagina.

8)

Gunakan telunjuk untuk mendorong kondom ke dalam sampai jari


menyentuh tulang kemaluan di dalam vagina.

9)

Pastikan cincin luar (bagian terbuka dari kondom) berada berlawanan


dengan cincin dalam.

10)

Pegang penis dan masukkan ke dalam kondom, pastikan letaknya


benar.

11)

Jika selama sanggama terdengar bunyi akibat penis belum betul


posisinya dalam kondom, maka hentikan sanggama, dan pasang kondom baru.
100

12)

Ketika sanggama selesai dan penis sudah dicabut, pilin cincin luar
agar cairan tak tumpah. Tarik kondom keluar dari vagina dan bungkus kondom
dalam kertas dan buanglah di tempat sampah. JANGAN masukkan dalam lubang
WC.

e. Akses LASS
A.

LAYANAN ALAT SUNTIK STERIL

ntang dampak buruk Napza dan HIV DAN AIDS, rujukan kepada layanan medis, hukum dan sosial dalam ra

1. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman pelaksanaan LASS meliputi beberapa aspek di dalamnya,
termasuk pendekatan untuk mengurangi dampak buruk Napza, penasun serta
penyelenggaraan administratif dan teknis program LASS.
1. Pengurangan dampak buruk Napza yang dimaksud merupakan suatu tatanan
intervensi kesehatan untuk menanggulangi epidemi HIV dan AIDS pada populasi
penasun di Indonesia.
2. Penasun merupakan pusat dari intervensi ini dan diposisikan sebagai individu yang
membutuhkan akses layanan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya sebagai warga negara Indonesia sekaligus sebagai komponen kunci
keberhasilan program melalui keterlibatan aktif di dalam penyelenggaraannya.

101

Penyelenggaraan program LASS

membutuhkan

acuan

baik dalam aspek

administratif maupun prosedural teknis pelaksanaannya, sehingga terdapat kejelasan


pembagian peran dan fungsi dari semua komponen yang terlibat didalamnya untuk
memastikan tercapainya tujuan menurunkan angka

infeksi HIV maupun angka

kesakitan dan kematian akibat AIDS pada penasun.


2. Tujuan
1. Menyediakan dan mendistribusikan peralatan menyuntik steril kepada Penasun, dan
menghentikan beredarnya jarum suntik bekas pakai yang berpotensi menularkan HIV.
2. Memastikan penggunaan jarum suntik steril pada sebanyak mungkin praktek
Penyalahguna Napza secara suntik.
3. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan Penasun mengenai menyuntik yang lebih
aman.
4. Mendekatkan Penasun kepada layanan-layanan lainnya dalam upaya meningkatkan
kualitas hidup fisik, mental dan sosial dari penasun.
3. Sasaran
Pengguna Napza suntik yang masih belum mampu berhenti menyuntik.
4. Pelaksana
1. Puskesmas yang memiliki layanan pengurangan dampak buruk Napza
2. Organisasi Masyarakat Sipil yang meyelenggarakan kegiatan pengurangan dampak buruk
Napza.

Pelaksana program LASS adalah sebuah tim yang terdiri dari :


1. Koordinator Program, bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program pada
berbagai macam bentuk. Koordinator bertugas memonitor dan melakukan supervisi
kepada petugas lapangan LASS dan melakukan koordinasi dengan koordinator
program lainnnya.
2. Petugas Pelaksana, bertugas melaksanakan layanan LASS di Puskesmas dan Drop-in
Center LSM dari mulai pendaftaran sampai dengan Penasun keluar dari tempat
pelayanan. Petugas pelaksana akan merekam dan menyimpan data yang didapat
selama layanan LASS dilaksanakan menggunakan formulir baku yang tersedia.
Petugas bertanggung jawab terhadap penyediaan dan penyimpanan jarum suntik steril
dan pengelolaan jarum suntik bekas pakai.

102

3. Petugas Lapangan, bertugas mempromosikan program LASS kepada para Penasun di


lapangan, memberikan layanan LASS kepada Penasun yang masih belum dapat
berkunjung ke Puskesmas atau LSM secara mandiri dan membantu perubahan
perilaku kepada Penasun yang didampingi.
5. Prinsip - Prinsip Pelaksanaan
1. Model layanan program LASS:
a) Menetap (fixed site); Program menyediakan tempat khusus untuk pendistribusian
jarum suntik steril dan pengumpulan jarum bekas pakai, seperti; drop in center
(DIC) atau Puskesmas. Tempat tersebut dapat juga menyediakan layanan lain ,
seperti; layanan kesehatan dasar , pengelolaan kasus dan layanan konseling & tes
HIV bagi Penasun maupun pasangannya.
b) Bergerak (mobile) ; Program LASS dilakukan oleh petugas lapangan LASS
dengan mendatangi tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Panasun dengan
membawa tas yang berisi paket alat suntik steril, media informasi, tabung,
penjepit, dan formulir pencatatan yang dibutuhkan pada waktu yang telah
ditetapkan.
c) Satelit; adalah model layanan Program menyediakan LASS di lokasi dimana
Penasun biasa berkumpul sebagai perpanjangan dari lokasi menetap. Pelaksana
Program LASS bersama dengan relawan yang sudah dilatih bertanggung jawab
untuk datang dan bekerja di tempat dan waktu yang ditentukan.
2. Waktu layanan:

Lembaga pelaksana

program harus menentukan waktu yang tepat dimana

Penasun dapat mengkases LASS. Petugas lapangan LASS harus rutin dan teratur
datang di tempat dan waktu dimana pertemuan (kontak) dengan Penasun dapat
dilakukan, informasi, edukasi dan rujukan layanan dapat diberikan.

Keterbatasan jam pelayanan LASS harus dapat diantisipasi dengan metode satelit
layanan yang beroperasi diluar kedua waktu layanan menetap dan bergerak
dengan mempertimbangkan rutinitas penasun di wilayah kerja program untuk
menjamin ketersediaan akses LASS

3. Proses pendaftaran klien program LASS :

Memperkenalkan program LASS kepada Penasun

103

Menyiapkan kartu identitas klien program LASS yang berisi informasi penasun
yang berkaitan dengan program LASS. Proses registrasi klien LASS sepenuhnya
dilakukan untuk tujuan terselenggaranya kegiatan intervensi yang akuntibel dan
sistimatis tanpa melanggar asas kerahasiaan klien yang merupakan prinsip
pelaksanaan LASS.

Pemberian paket materi pencegahan dan pengambilan jarum suntik bekas pakai

4. Usia Klien :
Penasun dari beragam usia mungkin akan mengakses program LASS. termasuk ,
diharapkan dapat mengurangi risiko kaum muda terinfeksi HIV dan virus lain yang
ditularkan melalui darah. Klien dengan usia di bawah 18 tahun harus dinilai terlebih
dahulu dan jika dimungkinkan mendapatkan proses konseling. Hal ini bertujuan agar
pemberian jarum suntik ini tepat sasaran kepada orang yang sesuai dengan persyaratan
peserta program LASS yang telah ditentukan tanpa mengabaikan hak-hak anak, sesuai
dengan undang-undang perlindungan anak yang berlaku
5. Pendistribusian Jarum dan Alat Suntik Steril :
Pendistribusian materi pencegahan penularan HIV & AIDS dalam LASS dilaksanakan
dengan pemberian paket materi pencegahan kepada klien yang sudah terdaftar dalam
program. Paket materi pencegahan terdiri dari alat dan jarum suntik steril, kapas
beralkohol, dan media informasi tentang HIV & AIDS dan Napza dalam bentuk leaflet
atau brosur. Jumlah alat dan jarum suntik steril yang di distribusikan kepada penasun
harus mencukupi kebutuhan.
6. Pengamanan dan Pemusnahan Jarum Bekas:
a) Mempromosikan pengembalian jarum suntik bekas pakai. Jelaskan bahwa jarum
suntik bekas pakai yang dibuang secara sembarangan akan meninbulkan masalah
lingkungan dan akan menjadi alasan kuat ditutupnya program LASS.
b) Menyediakan tempat/wadah untuk menampung jarum suntik bekas pakai yang
dikembalikan oleh Penasun maupun yang ditemukan di lapangan.
c)

Penasun langsung memasukkan jarum suntik bekas pakai ke tempat /wadah


khusus tahan tusukan

d) Apabila ada jarum suntik yang dikembalikan dan menurut laporan bersih dan
tidak dipakai, harus tetap dibuang.
e) Wadah penyimpanan jarum bekas pakai tidak boleh terlalu penuh dan disegel.
104

f) Wadah tersebut harus langsung dibawa ke fasilitas yang memiliki incinerator


g)

Jika telah dimusnahkan, maka laporan tentang pemusnahan akan diarsipkan

h) Jika lembaga pelaksana LASS tidak memiliki incinerator,

maka dapat

bekerjasama dengan fasilitas yang memilikinya


j) Taati Kewaspadaan Universal untuk menghindari kejadian yang tidak
diinginkan.

7. Kecelakaan Tertusuk Jarum


Penanganan :
a) Siram bagian yang tertusuk dengan air yang mengalir (air kran)
b) Jangan dipaksa agar luka mengeluarkan darah
c) Luka jangan dihisap atau disedot dengan mulut
d) Bilaslah dengan sabun dan air
e) Pakailah antiseptic dan kemudian tutuplah dengan perban (tensoplast)
f) Carilah bantuan medis untuk melakukan penilaian risiko infeksi dan jika
memungkinkan memberikan perawatan termasuk memberikan Profilaksis Pasca
Pajanan (post exposure prophylaxis/PEP)
8. Pelaporan Insiden
Apabila terjadi insiden di lokasi LASS, petugas harus membuat laporan dengan
menggunakan Formulir Pelaporan Insiden. Laporam insiden meliputi kejadian over
dosis Penasun pada waktu mereka berada di lokasi LASS, luka tertusuk jarum atau
luka lain yang dialami Penasun atau petugas di lokasi kerja, atau apabila ada kejadian
yang timbul karena keberadaan polisi di dekat lokasi dimana petugas lapangan
memberikan layanan.
6. Sarana :
1. Identitas Program LASS; dikembangkan untuk menjamin adanya pemahaman
masyarakat luas terhadap kegiatan ini sebagai kegiatan pemberian layanan kesehatan
yang resmi Pemerintah . Logo ditempatkan di kartu identitas petugas lapangan dan
pada Puskesmas , LSM atau lokasi lainnya pada tempat yang mudah dilihat sesuai
kebutuhan.
2. Kartu Identitas Petugas; semua staf pelaksana program LASS, terutama petugas
lapangan LASS harus membawa kartu identitas saat bekerja dan pada saat berada di
105

lapangan. Kartu tersebut dapat dibuat oleh lembaga dengan sepengetahuan pihak
pemerintah yang terkait (KPA dan Dinas Kesehatan setempat)
3. Kartu identitas klien; Penasun sebagai Klien yang menerima layanan ini akan
mendapatkan kartu yang menunjukkan bahwa Penasun sedang mengikuti program
LASS. Kartu ini berisi informasi singkat mengenai program LASS, lembaga
pelaksana dan kode klien (bukan nama dan alamat lengkap). Kartu tersebut disediakan
oleh lembaga yang memberikan layanan dengan sepengetahuan pihak pemerintah
setempat.
4. Peralatan yang harus disediakan:
a) Jarum suntik steril berikut tabungnya dengan model dan jenis yang biasa diapakai
oleh Penasun di daerah tersebut.
b) Kapas beralkohol, digunakan untuk membersihkan permukaan kulit yang akan
disuntikan,untuk membersihkan peralatan menyuntik lainnya serta dapat pula
digunakan untuk membersihkan tangan. Paling sedikit disediakan 2 kapas
beralkohol untuk setiap jarum suntik dan tabung yang diberikan.
c) Alat penyaring, dalam bentuk sejenis kapas atau bahan berserat lain yang
berfungsi untuk memisahkan sisa Napza yang tidak larut ketika dicampurkan
dengan air sehingga tidak ikut masuk kedalam tabung suntik.
d) Media informasi terkait dengan HIV & AIDS dan Napza, berupa brosur, buklet,
stiker atau yanglainnya.
e) Tabung atau wadah untuk menampung jarum suntik bekas pakai yang ditemukan
dilapangan atau yang dikembalikan oleh Penasun ke Puskesmas atau DIc LSM
f) Penjepit (pincer) yang digunakan untuk mengambil jarum suntik bekai pakai yang
ditemukan dilapangan
g) Sarung tangan (hand gloves) yang digunakan oleh petugas LASS agar terhindar
dari risiko tertusuk jarum ketika menerima atau mengambil jarum suntik bekai
pakai.
h)

kemasan atau pembungkus paket materi pencegahan yang akan di distribusikan


kepada penasun.Formulir untuk mencatat kode dan jumlah penasun yang
mengakses LASS serta jumlah jarum maupun medua informasi yang diberikan.

7. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring untuk program LASS berfokus terhadap aksesi dan distribusi jarum serta alat
suntik steril, melalui prosedur pelaporan petugas penyelenggara program LASS.
106

Sementara evaluasi layanan dilakukan dengan mengembangkan survey perilaku tahunan,


dilakukan secara berkala pada peserta program untuk melihat kecenderungan perubahan
perilaku dalam satu tahun terakhir. Komponen indikator utama yang dapat digunakan
dalam Monitoring dan Evaluasi program LASS adalah sebagai berikut:

Indikator Monitoring dan Evaluasi LASS


Monitoring
Evaluasi
Masukan
Proses
Luaran
Hasil
1. Jumlah sumber 1. Jumlah jarum per 1. Jumlah penasun 1. Proporsi penasun
daya

manusia

penasun

per

yang telah dilatih

minggu

untuk
menyelenggarak
an

program

LASS
2. Tersedianya
pendanaan untuk
program LASS
3. Adanya

yang

yang menyuntik

yang

mendapatkan alat

dengan

diperbolehkan
2. Jam operasional

suntik dan jarum

meminjam jarum

steril
di tempat umum
layanan LASS di 2. Jumlah alat suntik 2. Proporsi penasun
fasilitas

kesehatan
3. Jumlah

layanan
hari

operasional LASS
di

fasilitas

dan jarum steril

yang meminjam

yang terdistribusi

jarum

untuk

penasun

setiap

penasun dalam 1

5.

bergerak

program LASS
satelit
Tersedianya 5. Jumlah
fasilitas

untuk

penyelenggaraan
LASS

LASS

dan

yang

dikenal.
3. Proporsi penasun

tahun
kebijakan
layanan kesehatan 3. Jumlah
jarum
4. Distribusi layanan
Pemerintah
bekas pakai yang
LASS
yang
untuk program
dikembalikan
beroperasi dengan
LASS
penasun
4. Tersedianya
metode menetap,
4.
supalai material

dari

yang
meminjamkan
jarum

kepada

penasun lain.
Proporsi penasun
yang
menggunakan

rujukan
dari

petugas lapangan

jarum steril pada


penyuntikan
terakhir
5. Proporsi penasun
yang

selalu

menggunakan
107

jarum steril pada


setiap
penyuntikan
dalam 1 minggu
terakhir
6. Persentase
jumlah

penasun

yang

tidak

berbagi

jarum

dalam
penyuntikan

bulan terakhir
Pokok Bahasan 6. Pemecahan Masalah
Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan

perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran

sebaiknya

menggunakan bahan tayang


2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait pemecahan Masalah
Sesi 2 : Pembahasan Materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan bertanya kepada seluruh peserta mengenai pemahaman
permasalahan pada klien yang berbeda-beda
2. Fasilitator kemudian mengajak peserta mendiskusikan apa saja yang dapat
permasalahan pada klien dengan panduan pada uraian materi pemecahan
masalah
3. Fasilitator menjelaskan dan mengajarkan perserta bagaimana memfasilitasi dan
menggali prioritas masalah klien dan tahap-tahap penyelesaiannya.
4. Fasilitator mengajak seluruh perserta untuk melakukan :
Kegiatan Materi Inti I : studi kasus pemecahan masalah
Sesi VI : Refleksi

108

1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang


pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta
URAIAN MATERI
Pemecahan Masalah
a. Peran Konselor dalam pemecahan masalah
Konselor membantu klien mengenali masalahnya yaitu dengan:
1)Membantu klien mengenali sumber-sumber yang mereka miliki untuk mengatasi
masalahnya.
2)Memfasilitasi mereka sebuah metode sistematis untuk menghadapi atau
mengurangi dampak masalahnya sekarang.
3)Meningkatkan kemampuan mereka dalam mengendalikan masalah.
4)Memberikan mereka cara mengatasi masalah dengan metode pemecahan masalah.

Pemecahan masalah bukanlah:

Mengatakan pada klien apa selera dan pilihan konselor

Mengatakan persepsi konselor kebaikan dan keburukan dari setiap pilihan


yang ada

Konselor menetapkan sebuah pilihan klien

Konselor mengambil alih semua masalah

Membuat klien memiliki rasa ketergantungan

Membuat klien merasa rendah diri

b. Lagkah-langkah pemecahan masalah:


a. Gambaran masalah
Konselor membantu menggambarkan masalah dan tujuan klien. Menentukan
gambaran masalah paling prioritas dan berpikir fokus pada isu yang dihadapi.

109

b) Pilihan untuk curah pendapat.Curah pendapat merupakan cara klien


mengemukakan sebanyak mungkin pilihan pemecahan masalah. Klien
kemudian memikirkan sejumlah ide dan potensi pilihan yang dapat
dilakukan. Tidak ada pilihan yang diabaikan pada tahap ini. Semua pilihan
digali dari klien dan klien diminta mempertimbangkan keuntungan dan
kerugiannya.
c) Evaluasi kritis terhadap pilihan-pilihan melalui self talk: Evaluasi kritis
terhadap pilihan dapat dilanjutkan konselor dengan memfasilitasi klien untuk
fokus pada masalah utama/prioritas terlebih dahulu untuk diselesaikan.
Pilihan terbaik yang diputuskan klien harus melalui proses pertimbangan
untung dan rugi dari setiap pilihan terlebih dahulu.
d) Self Talk merujuk pada percakapan internal dengan diri sendiri, yang
berpengaruh pada bagaimana kita merasa dan berperilaku.
e) Sebagai contoh, suatu pagi anda terjebak dalam kemacetan saat terburu-buru
pergi bekerja. Self-talk anda pesimistik dan anda mungkin berpikir, Seluruh
hari saya berantakan. Jika saya tidak pergi kerja tepat waktu, saya tidak akan
pernah mendengar informasi yang lengkap. Akhirnya, bos saya akan berpikir
bahwa saya bukan pekerja yang baik dan pasti akan mengabaikan saya untuk
promosi yang telah saya tunggu sepanjang tahun. Kemudian anda akan
memulai hari anda dalam suasana hati yang buruk dan merasa tidak
termotivasi, bahwa tidak ada gunanya bekerja keras karena tidak akan
dipromosi.
f) Di sisi lain, anda dapat mempunyai self-talk yang lebih positif dan berpikir,
"Saya hanya terlambat tidak lebih dari 20 menit. Saya kira saya dapat makan
siang dengan cepat dan tidak usah membeli keluar. Jika saya dapat
menyelesaikan laporan saya sebelum akhir hari dan dapat meyakinkan bahwa
tidak ada kesalahan, saya mungkin tetap

mempunyai kesempatan untuk

promosi tersebut." Self talk adalah evaluasi mental/penilaian terhadap


perilaku dan kinerja kita. Dengan kata lain adalah suatu percakapan yang
terjadi dalam pikiran kita setelah kita melakukan sesuatu.

110

g) Setelah klien memutuskan pilihan terbaik yang paling sanggup ia jalani,


maka konselor mengajak klien membuat rencana strategi pelaksanaan (5W
= What, When, Who, Where, Why; 1H = How) sampai klien percaya diri
untuk bertindak. Bila masih cukup waktu, ajak klien untuk menyelesaikan
masalah prioritas ke dua, ke tiga dan seterusnya. Bila tidak cukup waktu
maka agendakan pertemuan kedua. Jadwalkan dengan klien kapan akan
bertemu lagi dan minta klien menentukan masalah penting yang mana yang
akan diselesaikan. Prinsip client-centered harus dipakai sepanjang proses.
h) Menentukan pilihan klien. Klien diminta mengulang kembali informasi
yang telah diberikan pada langkah sebelumnya dan menentukan pilihan.
Pengambil keputusan adalah klien, bukan konselor.
i) Membuat rencana tindak lanjut. Rencana tindak lanjut secara rinci akan
memudahkan langkah menghadapi masalah.

Walaupun solusi yang telah

disepakati sangat baik, solusi itu tidak akan bermanfaat jika tidak
dilaksanakan. Kebanyakan orang gagal dalam melaksanakan sebuah solusi
karena kurangnya perencanaan. Konselor harus memastikan klien terbantu
mengembangkan rencana tindak yang dapat dilaksanakan.
j) Fasilitasi pengembangan keterampilan dan strategi. Konselor perlu
memastikan klien

mempunyai

ketrampilan

yang

dibutuhkan,

misal

menggunakan keterampilan komunikasi. Konselor dapat melakukan role play


(bermain peran) bersama klien memerankan apa yang harus dilakukannya
pada pasangan. Langkah demi langkah klien dilatih keterampilannya,
sehingga klien percaya diri melakukan sesungguhnya. Misal konselor
bertindak sebagai pasangan klien, klien bertindak atas dirinya sendiri,
menerapkan pengungkapan diri dan mengantisipasi respon pasangan.
Contoh kasus.Seorang ibu rumah tanggga, mantan pekerja seks baru saja
mengetahui dirinya terinfeksi HIV. Dia bingung dan khawatir untuk membuka
status pada pasangannya.

111

Contoh kasus.Seorang ibu rumah tanggga, mantan pekerja seks baru saja mengetahui dirinya terinfeksi HIV. Dia bingung dan
khawatir untuk membuka status pada pasangannya.
Prioritas

Pilihan

masalah

pemecahan

Evaluasi Pilihan
Kelebihan

Kekurangan

masalah
Bingung

sebenarnya

Rencana Tindak

Ketrampilan

masalah yang

Lanjut

dan Strategi

dipilih

dan Mengatakan yang Klien

khawatir

Pemecahan

merasa Klien

pasangan

yang

takut Mengatakan yang Mencari

dibutuhkan
waktu Berlatih peran

akan pasangan akan sebenarnya kepada dan kondisi yang membuka status

membuka status

menghargai

ke pasangan

kejujurannya

menceraikannya pasangan

tepat

untuk dengan konselor

memberitahu
pasangan

Langkah sukses diawali dari rencana yang baik. Jika perencanaan tidak dapat terwujud, maka akan
ada kesempatan untuk mencari pilihan-pilihan lain dan kesempatan untuk menganalisa mengapa
rencana awal tak dapat dilaksanakan. Rencana bagus dapat gagal karena

respon-respon

psikologis/perilaku dari orang lain atau keadaan lingkungan yang tidak dapat diduga sebelumnya.

112

MATERI INTI II
PENATALAKSANAAN KONSELING DALAM TES HIV

I. DESKRIPSI SINGKAT
Penerapan penatalaksanaan konseling dalam tes HIV memuat sejumlah prinsip yang harus
dimiliki oleh seorang konselor dan petugas kesehatan. Konseling pra tes HIV akan
menjelaskan bagaimana seorang konselor perlu membuat keseimbangan antara pemberian
informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien. Agar jumlah klien
meningkat, konselor perlu melakukan modifikasi pra tes dengan penyuluhan
kelompok.Penatalaksanaan ini merupakan komponen penting seorang konselor dalam
membangun kepercayaan dengan klien. Sebagai komponen pokok konseling, konselor
penting memahami penatalaksanaan konseling dalam tes HIV. Pada pelaksanaan pokok
konseling, seorang konselor HIV terlatih harus menguasai keterampilan dasar konseling, tata
nilai dan orientasi konseling. Tata nilai akan mempermudah konselor memahami situasi dan
kondisi klien. Keterampilan dasar konseling mempermudah proses komunikasi dengan klien
dan orientasi konseling menjadi model pendekatan kepada klien. Pada Konseling dan Tes
Sukarela HIV (Voluntary Counseling and Testing) seorang konselor harus bersikap
profesional. Tata nilai dalam pedoman etik konseling menjadi dasar pelaksanaan konseling.
Tes HIV memunyai peran penting dalam program pencegahan yang berbasis bukti (evidence
based) dan dalam mengembangan akses pada perawatan, dan pengobatan antiretroviral yang
berkualitas.
Sejak awal epidemi HIV/AIDS tes HIV sudah digunakan dalam kegiatan surveilans guna
memantau kecenderungan epidemic tersebut. Dengan terus berkembangnya epidemic HIV,
maka kebutuhan akan tes HIV bagi individu yang ingin mengetahui status HIVnya semakin
meningkat pula. Namun demikian masih banyak orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui
statusnya, sehingga tes dan konseling HIV menjadi unsur penting pada program layanan
pencegahan, perawatan, dan pengobatan. Penyebaran HIV akan dapat dikurangi apabila

113

ODHA menyadari status mereka sedini mungkin dan mendaptkan bantuan untuk mencegah
penularan infeksi ke orang lain.
Untuk mencapai target Universal Access, maka tes dan konseling HIV harus dilaksanakan
lebih luas dan dalam skala besar dalam tatanan perawatan klinis. Bersamaan dengan
perluasan layanan konseling dan tes HIV baik secara sukarela (KTS/VCT) yang
mengandalkan pasien yang datang secara sukarela juga diharapkan kemampuan petugas
kesehatan untuk dapat menginisiasi penawaran tes HIV kepada pasien yang datang ke
layanan Kesehatan. Dengan adanya 2 jenis pilihan untuk melakukan tes HIV maka
diharapakan akan terjadi Peningkatan akses KTHIV sehingga secara signifikan akan
meningkatkan jumlah orang yang mengetahui status mereka.
Dengan Penawaran tes HIV kepada Pasien yang datang ke layanan Kesehatan Jangkauan
terhadap tes dan konseling HIV telah diperluas hingga ke layanan ibu hamil, klinik TB dan
klinik IMS dan lainnya. Pada tes dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan (PITC), maka
para pengunjung layanan kesehatan yang mungkin dapat mengambil manfaat karena
mengetahui status HIVnya, secara rutin ditawari untuk menjalani tes dan konseling HIV
dengan pendekatan option-out. Pendekatan PITC tersebut, setiap pertemuan pasien dengan
petugas dianggap sebagai:

Peluang bagi seseorang yang belum pernah tahu status HIVnya untuk
mengetahuinya

Peluang bagi seseorang yang pernah menjalani tes HIV dengan hasil negative
untuk mengulang tes HIV dengan frekwensi yang logis.

Peluang bagi seseorang yang ingin menentukan arah kehidupannya atau


keluarganya sehubungan dengan status HIVnya

Peluang bagi petugas kesehatan untuk memberikan layanan perawatan dan


pencegahan terbaik sesuai dengan status HIV bagi pasiennya

114

II.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu melakukan Pemberian Informasi HIV
dan Proses konseling HIV
III. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu:
1. Menerapkan peran pemberian informasi HIV dalam Penawaran Tes HIV
2. Melakukan modifikasi penyuluhan kelompok pada konseling pra tes
3. Melakukan konseling pasca tes HIV

III. POKOK BAHASAN


Dalam materi inti ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:
1. Pemberian Informasi dalam Penawaran Tes HIV
2. Konseling pra tes :
2.1. .Mikro Konseling dan Etika dalam Konseling
2.Penilaian Risiko Klinis dan Konseling Pra tes
3. Penyululuhan Kelompok dalam konseling Pra tes
4. Konseling Pasca Tes HIV

IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
2.

Curah pendapat

3.

Ceramah Tanya Jawab (CTJ)

115

4.

bermain peran

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :
1.

Komputer

2.

LCD

3.

Bahan tayang (slide powerpoint)

4.

Modul

5.

Whiteboard/filpchart + spidol

6.

Skenario

Pokok Bahasan 1. Pemberian Informasi HIV dalam Penawaran Tes HIV


Model Pemberian Informasi HIV dalam penawaran tes HIV dirancang untuk dokter,
perawat, dan bidan di layanan kesehatan primer dan sekunder, untuk meningkatkan
ketrampilan dalam meng inisiasi atau menawarkan tes dan konseling HIV. Proses ini
merupakan bagian dari model layanan HIV yang terintegrasi didalam suatu sistem layanan
seperti KIA, Klinik IMS, Klinik TB, dan Klinik Napza. namun juga dapat digunakan dalam
layanan kesehatan bagi populasi berisiko tinggi

Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya

116

menggunakan
bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Pemberian Informasi dalam
Penawaran Tes HIV (PITC)

Sesi 2: Pembahasan materi


1.. Fasilitator menjelaskan pemahaman PITC sebagai model dari konseling dan
tes HIV yang diinisiasi oleh petugas kesehatan
2. Fasilitator menjelaskan materi dengan menggunakan tayangan power point
3. Dalam proses ini fasilitator menekankan penting pemberian informasi HIV dan
penawaran rutin tes HIV kepada pasien yang datang berobat ke layanan Kesehatan
4. Fasilitator meminta peserta membaca kunci pokok Pemahaman PITC
dalam uraian materi
5.Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan kegiatan dengan membagi kelompok
yang terdiri dari 8-10 0rang da melakukan diskusi untuk menjawab pertanyaan
sebagai berikut :
a. Jika anda adalah pasien yang sedang mempertimbangkan diri untuk menjalani
test HIV, apa perlu diketahui tentang keuntungan tes

117

b. Jika anda adalah pasien yang sedang mempertimbangkan diri untuk menjalani
test HIV, maka pikirkan kemungkinan adanya hal buruk / risiko menjalani tes
HIV
6. Fasilitator membagi peserta secara berpasangan dan melakukan simulasi tehnik
pemberian informasi HIV dan penawaran tes HIVkepada pasien yang datang
pelayanan Kesehatan dengan menggunakan naskah pada panduan kegiatan
peserta Modul inti 2. Pemberian Informasi dan tes HIV oleh petugas Kesehatan

7. Fasilitator kembali mengajak peserta melakukan :

Kegiatan Materi Inti 2


Simulasi Pemberian Informasi HIV pada PITC dengan EPT

5. Fasilitator mengajak berdiskusi dengan peserta dan EPT hasil dari simulasi dan
menanggapi semua tantangan dan kendala ketika menjalankan simulasi
6. Fasilitator menekankan kembali prinsip 5C dalam PITC

118

URAIAN MATERI
Provider-Initiated HIV Testing and Counselling (PITC)
Adalah suatu tes HIV dan konseling atau tepatnya pemberian informasi selama 5-10 menit
yang diinisiasi oleh petugas kesehatan kepada pengunjung sarana layanan kesehatan sebagai
bagian dari standar pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk membuat keputusan
klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa
mengetahui status HIV seseorang seperti misalnya ART.

Seperti halnya VCT, PITC pun harus mengedepankan 5C yaitu 5 komponen dasar
yang disebut informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and
connection/linkage to prevention, care, and treatment services) . PITC dikenal
sebagai pelayanan konseling dan tes HIV yang diinisiasi oleh petugas kesehatan
secara aktif kepada klien atau pasien. PITC akan memperkuat konseling dan tes yang
merupakan pintu masuk semua layanan tersebut di atas. Di Indonesia, PITC adalah
bagian dari pendekatan konseling dan tes HIV serta diperuntukkan bagi pasien rawat
inap atau rawat jalan di rumah sakit, puskesmas dan klinik kesehatan. PITC akan
melakukan identifikasi kepada pasien yang memiliki gejala TB, IMS, Hepatitis atau
IO yang lain. Petugas kesehatan terdiri dari dokter, perawat, bidan dan harus
bekerjasama dengan konselor untuk layanan konseling lanjutan bila dibutuhkan.
Konselor VCT harus berkoordinasi dengan petugas kesehatan untuk peningkatan
kualitas konseling untuk memenuhi kebutuhan pasien.

119

Pedoman pelaksanaan PITC di sarana kesehatan merekomendasikan Tes HIV sebagai


berikut:
1. Ditawarkan kepada semua pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis
yang mungkin mengindikasikan infeksi HIV, tanpa memandang tingkat
epidemic daerahnya.
2. Sebagai bagian dari prosedur baku perawatan medis pada semua pasien yang
datang di sarana kesehatan di daerah dengan tingkat epidemic yang meluas.
3. Ditawarkan dengan lebih selektif kepada pasien di daerah dengan tingkat
epidemi terkonsentrasi atau rendah.
Persyaratan penting bagi penerapan PITC tersebut adalah adanya lingkungan yang
memungkinkan. PITC sendiri harus disertai dengan paket layanan pencegahan, pengobatan,
perawatan dan dukungan yang terkait HIV. Juga dilengkapi dengan mekanisme rujukan pada
konseling pasca tes HIV yang efektif kepada semua pasien serta rujukan padan dukungan
medis dan psikososial bagi mereka yang HIV positif. Harus dipastikan bahwa PITC dengan
menggunakan pendekatan model option-out dalam mendapatkan persetujuan pasien (contoh:
kami sarankan anda untuk menjalani tes HIV. Bila anda tidak keberatan, kami akan
laksanakan segera) tidak mengesampingkan kesukarelaan pasien dalam mengambil
keputusan untuk tes HIV dan tidak berubah menjadi tes HIV mandatori.
Konseling pra-tes sebagai komponen KTS disederhanakan tanpa sesi konseling dengan paket
edukasi yang lengkap, namun tetap diupayakan agar tersedia layanan edukasi dan dukungan
emosional di tatanan klinis bila diperlukan.
Cara meminisiasi tes HIV pada pasien.
1. Memberikan informasi penting tentang HIV/AIDS
2. Menjelaskan bahwa konfidensialitas akan terjaga dan jelaskan prosedurnya
3. Memastikan kesediaan pasien untuk menjalani tes HIV dan minta persetujuannya

120

4. Informasi tambahan bila diperlukan dapat diberikan melalui rujukan untuk konseling
tambahan.
Pendekatan PITC dapat merupakan jalan keluar dalam mengatasi keterbatasan waktu
petugas kesehatan di tatanan klinis dan menyediakan anjuran yang jelas dan langsung
tentang cara intervensi.
Banyak tantangan bagi petugas kesehatan untuk menawarkan dan melaksanakan tes HIV
pada pasien yang datang ke sarana kesehatan mengingat konsekuensi dan dampak masalah
yang terkait dengan hasil tes HIV tersebut bagi pasien maupun petugas. Diantara tantangan
tersebut adalah:

Waktu: salah satu tugas penting tenaga kesehatan adalah menyadari adanya
keterbatasan waktu dari dokter dalam memberikan pelayanan medis karena
kesibukannya; juga perjalanan penyakit akan makin lanjut dengan berjalannya waktu.
Menanggapi masalah tersebut, disarankan agar melakukan langsung PITC begitu
berhadapan dengan pasien yang diperkirakan terkait HIV.
Sumber Daya Manusia: Pilihan melakukan konseling dan menawarkan tes oleh
petugas kesehatan membuat petugas kesehatan lainnya seperti konselor dan dokter
ahli dapat bekerja secara berkesinambungan mencegah kecepatan penularan.
Stigma: Salah satu alasan penting yang menyebabkan para petugas kesehatan
menolak menawarkan tes HIV adalah ketidak nyamanan pasien. Jika pasien merasa
terstigma karena ditawari tes HIV, maka akan sangat mengganggu hubungan antara
petugas kesehatan dengan para pasiennya. Di lain pihak, jika pelayanan tersebut
secara rutin ditawarkan kepada seluruh atau hampir seluruh pasien di dalam suatu
lingkungan tertentu, maka prosedur dan penawaran prosedurnya akan dianggap
biasa.
Beragamnya kebutuhan pasien: Ada beberapa petugas kesehatan yang mungkin
akan menolak menawarkan tes HIV ketika pasien memiliki banyak masalah medis
atau psikologik lainnya. Dalam hal tersebut petugas kesehatan merasa terbebani.

121

Untuk mengatasi hal tersebut dapat diperbantukan perawat konselor (termasuk


konselor umum) untuk memberikan dukungan emosi, layanan sosial terkait dan
perawatan tambahan lainnya yang berada di luar ruang lingkup praktik para petugas
kesehatan. Melihat perubahan positif dalam perilaku pasien merupakan salah satu
tanda keberhasilan, yang juga akan membantu petugas kesehatan merasa nyaman.
Perasaan terbebani petugas kesehatan dapat diringankan melalui kerjasama dengan
konselor. Dengan demikian pasien bukan hanya diobati sakitnya tetapi juga didukung
mental emosionalnya.

122

ALUR DALAM PITC

Kontak awal antara petugas dan pasien


Petugas menginformasikan pentinya tes HIV
KIE untuk pasien (optional)
Edukasi diberikan selama pasien
menunggu giliran, pilih salah satu cara:

Edukasi kelompok

Banyak
pasien
tertentu
juga
mengidap HIV
Diagnosis HIV untuk kepentingan
perawatan medis
Sekarang tersedia obat untuk HIV
Informasi tentang kebijakan UPK

Semua pasien tertentu akan dites

Pasien menolak Tes HIV

Tes Cepat HIV


Tes Cepat HIV dilaksanakan oleh Petugas
atau di Laboratorium

Petugas mengulang informasi tentang pentinya


tes HIV
Bila masih menolak juga

Sarankan sebagai alternatif untuk ke

Petugas menyampaikan hasil tes


kepada pasien

123

Pasien dengan hasil tes HIV negatif

Pasien dengan hasil tes HIV positif

Petugas memberikan hasil tes


negatif
Berikan pesan tentang pencgahan
secara singkat
Sarankan untuk ke klinik KTS untuk
konselin pencegahan lebih lanjut
Anjurkan agar pasangannya mau
menjalani tes HIV karen ada
kemungkinan dia positif

Rujukan
Beri informasi tentang klinik KTS terdekat

Petugas informasikan hasil HIV positf


Berikan dukungan kepada pasien dalam
menanggapi hasil tes
Informasikan perlunya perawatan dan
pengobatan HIV
Informasikan
cara
pencegahan
penularan kepada pasangan
Sarankan agar pasangan di tes HIV

Rujukan

Berikan surat rujukan ke PDP


Informasikan sumber dukungan yang
ada di masyarakat

Pokok Bahasan 2. Konseling Pra tes HIV


2.1.Mikro Konseling dan etika dalam Konseling
Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya

124

menggunakan
bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait materi mikro konseling dan etika
dalam Konseling

Sesi 2: Pembahasan materi


1. Fasilitator mengajak peserta mengikuti :
Kegiatan Materi Inti II. Kegiatan Materi Inti II : Kegiatan Pertama Konselor
Klien
2. Fasilitator mengajak peserta mendiskusikan hasil proses kegiatan konselorKlien
3. Kemudian fasilitator menerangkan materi dari uraian materi mikro konseling
dengan
membahas uraian materi mikro konseling dan penting nya pemahaman mikro
konseling proses konseling
4. Fasilitator kembali mengajak peserta melakukan :
.
Kegiatan Materi Inti II : Kegiatan Kedua Membuat Pertanyaan
6. Fasilitator kemudian memjelaskan mengenai kegunaan berbagai jenis bentuk
pertanyaan dalam proses konseling

125

7. Fasilitator kembali meminta peserta membaca secara bergantian materi mikro


konseling dan menjelaskan secara rinci tehnik-tehnik dalam konseling
8. Fasilitator meminta peserta membaca materi mengenai etika konseling dalam
uraian
materi tentang etika konseling meminta peserta secara bergantian untuk
membaca
materi tentang Etika dalam Konseling
9. Fasilitator mengajak peserta berdiskusi dari hasil pembacaan materi diatas

Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan
aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI

126

Mikro Konseling dan Etika dalam Konseling


a. Mikro Konseling
Keterampilan mikro konseling adalah komponen komunikasi efektif yang
penting dalam rangka mengembangkan relasi saling mendukung antara
klien-konselor. Setiap konselor perlu memiliki dan mengembangkan
keterampilan mikro dalam konseling.

1) Keterampilan dasar konseling terdiri dari:


a) Mendengar aktif
b) Megajukan pertanyaan
c) Menciptakan suasana hening dan nyaman
d) Perilaku non verbal
2) Mendengar Aktif
Faktor penting yang menjadi dasar dari keterampilan mendengar aktif
adalah Empati.
Empati adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang
konselor yang memungkinkan dirinya untuk memahami klien. Sikap
empati dikembangkan dalam rangka membina hubungan baik dengan
klien, memfasilitasi rasa aman dan rasa percaya kepada konselor serta
lingkungannya.

Empati

disampaikan

dengan

menggunakan

keterampilan mendengarkan.
a) Mendengar Aktif terdiri dari

Bagaimana konselor melakukan kontak mata dengan klien


untuk menunjukkan sikap menghargai kepada klien,
termasuk pertimbangan budaya.

Bagaimana

konselor

memberikan

perhatian

dengan

anggukan kepala.

127

Bagaimana konselor menanggapi proses dengan satu-dua


kata yang menunjukkan penerimaan lanjutan. Misalnya
dengan, Hmm... Baik... Oke

Bagaimana konselor fokus dengan klien selama proses


konseling. Konselor tidak perlu melakukan kegiatan lain
seperti menerima telepon, memainkan ballpoint atau
merapikan rambut terus menerus.

Bagaimana konselor mengatur proses konseling tanpa


melakukan interupsi.

Bagaimana konselor tidak mengambil alih pembicaraan


dan menceritakan tentang dirinya sendiri.

Bagaimana

konselor

parafrasing,

refleksi

menerapkan
perasaan,

teknik

bertanya,

klarifikasi

ataupun

merangkum dengan tepat tanpa menyudutkan klien.


b) Mengajukan Pertanyaan
Keterampilan mengajukan pertanyaan adalah bagian penting dalam
konseling. Hal ini dapat membantu konselor mengerti situasi klien
dan menilai kondisi klinis terkait. Ketika bertanya, lakukan hal-hal
berikut:

Tanyakan hanya satu pertanyaan pada satu waktu

Pandanglah wajah klien

Ajukan pertanyaan secara singkat dan jelas

Gunakan pertanyaan yang bertujuan

Gunakan pertanyaan yang dapat membantu klien berbicara


tentang perasaan dan perilakunya

128

c) Terdapat tiga jenis pertanyaan utama


Pertanyaan tertutup
Jenis pertanyaan dengan jawaban yang terbatas. Sebagian
besar klien memberikan respon dengan jawaban satu kata.
Sudah tahukah anda bagaimana mendapatkan jarum baru
agar tidak tertular dari HIV?

Pertanyaan terbuka
Jenis pertanyaan dengan jawaban yang berkembang dan
membuka kesempatan klien mendiskusikan dengan lebih
banyak. Pertanyaan terbuka umumnya dimulai dengan
pertanyaan Apa, Dimana, Bagaimana, Kapan.
Apa yang anda ketahui tentang HIV AIDS?

Pertanyaan mengarahkan
Pertanyaan mengarahkan adalah pertanyaan dalam proses
konseling yang menuntun klien untuk memberikan jawaban
yang konselor harapkan agar mencapai tujuan konseling.
Kondom itu penting. Anda akan menggunakannya,
bukan?
d) Menciptakan suasana hening dan nyaman
Alasan pentingnya menciptakan suasana hening dan nyaman yaitu:

Memberi waktu pada klien untuk berpikir tentang apa yang


akan dikatakan

Memberi kesempatan kepada klien untuk dapat merasakan


perasaannya sendiri

Memberi waktu pada klien untuk mengatasi kebimbangan


atas pilihan

129

Memberi kebebasan pada klien untuk memilih melanjutkan


atau menghentikan proses konseling

e) Perilaku non-verbal
Sebagian besar komunikasi dilakukan secara non verbal. Konselor
perlu sadar akan apa yang dikomunikasikannya kepada klien
melalui perilaku non verbal. Ingat, cara mengatakan lebih
bermakna dari pada apa yang dikatakan.

PERILAKU NON VERBAL

BAHASA TUBUH

Postur tubuh
Gerakan tubuh
Ekspresi wajah
Orientasi tubuh
Kedekatan tubuh/jarak
Kontak mata
Menjadi cermin (mirroring)
Menghilangkan jarak/pembatas

PARALINGUISTIK

Hembusan nafas
Bersungut-sungut
Perubahan tinggi nada
Perubahan keras suara
Kelancaran suara
Senyum terpaksa

130

Beberapa contoh teknik dalam konseling


Refleksi Pikiran
Refleksi Perasaan
Paraphasing

Menurut pendapat anda, kondom adalah alat yang ampuh

untuk pencegahan HIV


Anda sangat kecewa pada pacar anda karena dia yang

menularkan HIV pada anda.


Anda sudah menggunakan

kondom

setiap

kali

berhubungan seks karena anda menyadari bahwa perilaku


seks anda termasuk dalam perilaku berisiko.

b. Etika dalam Konseling


Etika dalam melakukan konseling merupakan kerangka dasar tata nilai konseling.
Konselor perlu memahami hal ini agar dapat bekerja secara profesional. Standar
ini harus diikuti oleh konselor. Seorang konselor bertanggung jawab melayani
klien dan memelihara hal-hal yang berkaitan dengan konfidensialitas, masalah
dan kebijakan hukum. Dilema terhadap etika akan muncul ketika terjadi konflik
antara kepentingan klien dan masyarakat. Contohnya, klien yang tak pernah mau
mengubah perilaku berisiko atau klien yang menolak menerima hasil tes HIV.

1) Prinsip dalam proses konseling

131

Di dalam proses konseling, konselor perlu menerapkan prinsip sebagai


berikut:
a) Konselor memastikan bahwa klien tidak mengalami tekanan fisik
dan psikologis selama konseling.
b) Konselor tetap mempertahankan hubungan kerjasama dengan klien
untuk kepentingan klien dan bukan atas besarnya imbalan.
Pelecehan seksual, ketidakadilan, diskriminasi, stigmatisasi dan
keterangan yang bersifat menghina tidak boleh dilakukan.
c) Konselor bertanggung jawab atas keamanan dirinya, efektivitas,
kompetensi dan bersikap profesional.
d) Konselor bertanggung jawab kepada masyarakat dan harus
menyadari aturan perundangan dalam masyarakat. Konselor
memastikan tetap bekerja dalam jalur sesuai hukum yang berlaku.
e) Konselor perlu memastikan bahwa dirinya telah menerima
pelatihan keterampilan dan teknik konseling yang memadai.
f) Konselor bekerja sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
dirinya dan merujuk klien ke tempat yang tepat ketika persoalan
berada diluar keterbatasannya.
g) Konselor secara teratur meningkatkan keterampilan konseling dan
memelihara kompetensinya.
h) Konselor tidak mengambil alih tanggung jawab klien atas tindakan
dan akibat yang dilakukan klien.

2) Konseling Supervisi
a) Setiap konselor perlu mengenali batas kompetensi dan hanya
bekerja atas dasar keterampilan dan wewenang yang ada padanya
sesuai pelatihan dan praktek yang telah diperolehnya.

132

b) Konselor perlu memonitor kompetensi dan keterbatasan melalui


konseling supervisi atau dukungan melalui pandangan konselor
lainnya.
c) Konselor membantu konselor lainnya dan perlu memberikan
perhatian perbaikan ketika terjadi kesalahan.
d) Konselor bertanggung jawab kepada klien dan institusi tempat
pelayanan konseling sesuai standar profesi.
e) Konselor mendorong klien untuk mengendalikan hidupnya dan
menghargai kemampuan klien mengambil keputusan serta
perubahan sesuai keyakinan dan tata nilai.

3) Situasi khusus dalam dilema etik konseling


a) Pemberitahuan pada pasangan. Pada situasi dimana orang yang
terinfeksi HIV tidak mau mengubah perilaku dan terus berisiko
sehingga dapat mengancam kehidupan orang lain, konselor dapat
merujuk ke dukungan sebaya. Menurut kebijakan UNAIDS dan
WHO, ketika orang terinfeksi HIV menolak memberitahu
pasangannya maka petugas kesehatan mempunyai otoritas
memutuskan berdasarkan kasus per kasus sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
b) Keputusan untuk mengungkapkan status. Hal ini berdasarkan
kriteria bahwa orang yang terinfeksi HIV sudah beberapa kali
dikonseling.

Setelah

konseling,

Odha

tidak

menunjukkan

perbaikan perilaku atau Odha menolak memberitahu atau


memberikan

persetujuan

pemberitahuan

kepada

pasangan.

Penularan jelas terjadi kepada pasangan misalnya melalui


hubungan seksual atau penggunaan jarum suntik bersama.
133

c) Pengungkapan kepada staf medik. Hal ini dipandang perlu jika


petugas kesehatan hanya akan menggunakan informasi tersebut
untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya.
d) Keselamatan publik. Pengungkapan status diperlukan jika
keselamatan fisik diri klien dan orang lain secara serius mengalami
ancaman.
e) Dipersyaratkan oleh hukum. Pengungkapan status dilakukan
atas perintah pengadilan, misalnya pada saat klien melakukan
pemerkosaan.
f) Klien

tidak

mampu

bertanggungjawab.Pengungkapan

dilakukan jika konselor yakin bahwa klien tidak lagi mampu


bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya.
g) Berdasarkan undang-undang RI No 29 tahun 2004 tentang praktek
kedokteran, pasal 48 ayat (2) rahasia kedokteran dapat dibuka
untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan
aparatur penegak hukum, permintaan pasien sendiri atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
4) Perawatan Diri Konselor
Konselor harus memahami bahwa ia dapat menjadi tumpahan perasaan
stres dan emosional dari klien. Konselor biasanya berusaha memahami
dan menjadi ikut terbebani secara emosional. Konselor, seperti juga
petugas kesehatan lain, mempunyai masalah sendiri dalam hidup.
Menghadapi masalah kematian pada kliennya dapat berdampak pada
kondisi fisik, mental dan spiritual konselor. Keadaan tersebut membuat
klien kehilangan banyak energi dan waktu dan harapan. Perlu dibuat
suatu

keseimbangan

personal

dan

profesional

dalam

upaya

134

mempertahankan kesehatan dan melanjutkan pekerjaan sebagai


konselor.
Kelompok dukungan untuk konselor perlu dilembagakan dan
didukung oleh petugas lainnya. Konselor juga perlu diberi cukup
waktu untuk istirahat dan "merawat diri jika diperlukan. Bertemu dan
berdiskusi (de-brief) dengan kelompok sebaya (sesama konselor)
merupakan salah satu bentuk dukungan yang efektif untuk menjaga
kualitas kerja konselor.

a) Beban kerja dan kebutuhan konselor

Konselor perlu memahami tugas dan peran secara jelas serta


harapan yang ingin dicapainya. Apabila hal tersebut telah
dipahamai, maka konselor dapat membantu klien memperjelas
tugas, peran dan harapan mereka. Pada banyak situasi, konselor
mempunyai komitmen tinggi dalam menjalankan tugas. Namun
demikian, konselor menghadapi tekanan pekerjaan, kurangnya
dukungan dan perasaan terasing sehingga membawa kepada
kejenuhan.
Oleh karena itu konselor perlu :

Meminta pertolongan ketika membutuhkan

Mengetahui keterbatasan diri dan mampu bersikap asertif


(tegas)

Memisahkan antara pribadi dan profesi

Menggunakan supervisi atau dukungan sebaya untuk


mendiskusikan keprihatinan mereka tentang pekerjaan

Mewaspadai perasaan bias diri sendiri dan stereotipi-nya

135

Belajar asertif dan membatasi diri pada klien dan petugas


lain

Meminta umpan balik tentang pekerjaannya

Konselor dapat bekerja dengan memberikan respon buruk ketika ia


tidak mengatasi masalahnya sendiri. Perilaku bolos kerja, menunda
dan menghindari tugas serta menurunnya hasil kerja dapat menjadi
manifestasi konselor yang mengalami kejenuhan.
b) Strategi merawat diri sendiri
Konselor dapat melakukan perawatan diri setelah menjalankan
tugas yang cukup melelahkan. Merawat diri agar tetap berkualitas
dan mencegah kejenuhan dapat dilakukan melalui :

Menjalankan aktivitas secara aktif dan pasif :


-

Aktif melepaskan kejenuhan dengan melakukan


kegiatan fisik yang intensif. Contohnya seperti jogging,
fitnes, berenang dll. Kegiatan fisik berguna untuk
mengurangi rasa marah dan frustrasi.

Pasif berguna untuk menurunkan rasa cemas, lelah,


ketegangan dll. Contohnya dengan melakukan meditasi,
sholat/dzikir, yoga, relaksasi dll.

Berbicara dengan teman sejawat atau supervisor (dengan


melindungi konfidensialitas klien)

Mencatat semua keberhasilan-keberhasilan yang telah


dicapai selama ini

Menulis jurnal atau harian

Memanfaatkan strategi-strategi perawatan diri lainnya

136

c) Dukungan bagi Konselor


Konselor perlu berhubungan dengan sesama kelompok konselor,
keluarga, supervisor dan sebagainya untuk melihat apakah
kebutuhan dukungan sudah terpenuhi.

2. 2. Penilaian Risiko Klinis dan Konseling Pra Tes HIV

Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan

mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran

sebaiknya menggunakan bahan tayang


2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Penilaian risiko klinis dalam
konseling Pra tes HIV
Sesi 2: Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan penjelasan tentang tujuan dari penilaian risiko klinis dalam
konseling pra tes HIV
2. Fasiilitator menjelaskan kembali tentang masa jendela dan hubungannya dengan
penilaian risiko klinis
3. Fasilitator meminta peserta untuk membaca materi Penilaian risiko klinis

137

4. Fasilitator mengajarkan peserta bagaimana cara menggunakan form penilaian


risiko klinis dan bagaimana proses konseling yang dibutuhkan dalam melakukan
penilaian risiko klinis
5. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan :

Kegiatan Materi inti 2 :


pembahasan Kasus dengan mengunakan form penilaian risiko klinis

6. Fasilitator mengajak peserta untuk membahas materi Konseling Pra tes HIV dan
menayangkan komponen penting dalam konseling pra tes dan pasca tes HIV dalam
bentuk tayangan Power Point (piramida kkomponen penting proses konseling HIV)
7. Fasilitator kembali mengingatkan peserta akan materi sebelumnya mengenai mikro
konseling dan menjelaskan bagaimana mikro konseling menjadi ketrampilan
komunikasi dalam konseling pra tes
8. Fasilitator juga mengingatkan sebagian besar proses komunikasi dalam konseling
pra tes digunakan untuk menggali penilaian risiko klinis
9. Fasilitator meminta peserta untuk membaca uraian materi tentang konseling pra tes
10. Kemudian Fasilitator akan mengingatkan 3 kunci dalam konseling pra tes dan
elemen penting dalam penilaian risiko

138

11. Fasillitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan :

Kegiatan materi inti 2


ROLE PLAY KONSELING PRA TES
12. Fasilitator membahas kendala-kendala yang timbul pada peserta ketika
melakukan kegiatan proses konseling pra tes (gunakan cek list konseling pra tes)
Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan
aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Penilaian Risiko Klinis dan Konseling Pra Tes
Penilaian Risiko Klinis
139

Komponen utama dalam konseling pre-tes adalah melakukan penilaian lengkap tentang
risiko penularan. Konselor hendaklah melakukan penilaian risiko penularan yang
sesungguhnya terjadi dan bukan hanya atas persepsi klien maupun asumsi konselor.
1. Pentingnya penilaian risiko klinis pada proses konseling pra tes HIV adalah:
a) Mendorong peningkatan kewaspadaan akan infeksi menular seksual dan
HIV karena klien menunjukkan sikap, perilaku, keyakinan dan
pengetahuan yang berbeda-beda tentang penularan HIV.
b) Memberi kesempatan untuk konseling dan edukasi atas aktivitas tidak
berisiko.

c) Pemeriksaan kesehatan lain yang diperlukan. Klien yang berisiko


perlu diperiksa lebih lanjut untuk kemungkinan tertular IMS,
Hepatitis, TB dan infeksi lainnya. Konselor dalam hal ini akan
membantu merujuk klien ke tempat yang tepat.
d) Umpan balik diberikan kepada klien agar memahami bahwa
aktivitasnya mempunyai risiko tertentu. Banyak klien yang
mengurangi atau melebihkan risikonya ketika memberi informasi
kepada konselor. Konselor perlu memberi umpan balik realistis
atas setiap risiko dan menyiapkan mental klien untuk menerima
hasil tes reaktif (positif) maupun non reaktif (negatif).
1) Prinsip Penilaian Risiko
a) Menjamin konfidensialitas
b) Kepekaan budaya karena melakukan dialog yang sangat pribadi
dan sensitif terkait dengan perilaku seksual secara eksplisit
c) Konseling dilakukan individu per individu secara terpisah. Jangan
mengambil riwayat penyakit bersama orang lain, kecuali
sebelumnya sudah disepakati dan mendapat izin klien.
d) Pastikan klien memahami istilah yang digunakan
e) Gunakan bahasa sederhana, jelas dan mudah dimengerti
140

f) Gunakan empat prinsip penularan HIV


g) Mulailah menggali informasi dari

aktivitas

yang

dapat

menimbulkan ketidaknyamanan lebih rendah


h) Berikan informasi secara rinci
i) Penjelasan tentang masa jendela
j) Mendiskusikan semua praktek perilaku dengan semua orang yang
pernah berhubungan berisiko dengan klien
k) Gunakan alat peraga atau gambar jika diperlukan

2. Konseling Pra Tes HIV


1) Keterampilan konselor dalam konseling HIV
Keterampilan komunikasi perlu digunakan dalam teknik konseling
agar konselor dapat membuat keseimbangan antara pemberian
informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien.
a) Layanan

VCT

harus

melindungi

klien

dengan

menjaga

konfidensialitas. Konselor harus membangun kepercayaan klien


sebagai dasar utama bagi terjaganya konfidensialitas.
b) Penggunaan keterampilan konseling dasar sangat penting untuk
membina

hubungan baik (rapport) dan menunjukkan adanya

layanan yang berfokus pada klien.


c) Konselor perlu memiliki SOP proses konseling yang dapat
digunakan ketika diperlukan. Panduan ini termasuk didalamnya
lembar periksa sesuai prosedur.

2) Panduan konseling pra tes HIV


Tahapan dalam konseling pra tes yaitu:
a) Pengkondisian. Sambut klien dengan ramah dan profesional.
b) Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir.

141

c) Perkenalan dan berilah arahan dengan jelas tentang diri konselor.


Selamat siang, nama saya Susanti, konselor di klinik ini. Senang
dapat bertemu dengan anda. Nama anda...atau ingin dipanggil
dengan nama.....? Mari, silahkan duduk...
d) Jelaskan makna dan arti konfidensialitas
e) Jelaskan kerangka proses VCT, waktu yang dibutuhkan dan
prosedur tes. Proses ini akan kita laksanakan selama 30-45 menit.
Setelah konseling ini akan ada prosedur pengambilan darah dan
hasilnya akan disampaikan melalui proses konseling setelah
pemeriksaan darah selesai dilakukan.
f)

Katakan kepada klien bahwa konselor perlu melakukan


pencatatan.
Selama proses konseling, mungkin ada banyak hal-hal penting
yang harus saya ingat. Oleh karena itu, saya minta ijin untuk
membuat beberapa catatan terkait diskusi kita. Catatan ini sematamata digunakan untuk kepentingan pelayanan pada diri anda.
Contoh data terkait:

Data demografi dan Informasi layanan

Latar belakang kunjungan

Fakta dasar tentang HIV dan AIDS

Pengetahuan dan pemahaman klien tentang HIV AIDS,


IMS, TB dan penyakit terkait HIV

g) Catat data yang penting dan diperlukan ke dalam formulir VCT.


Kombinasikan informasi tentang risiko dan penilaian risiko diri
sendiri.
h) Percakapan tentang

faktor risiko menjadi komponen utama

dalam konseling pra tes. Konselor melakukan penilaian faktor

142

risiko klien seperti perilaku seksual, penggunaan napza suntik,


aktivitas okupasional dan penerimaan produk darah dan organ.
i)

Penjelasan tes HIV (pemeriksaan darah) dalam proses konseling


pra tes HIV. Isi penjelasan antara lain mengenai manfaat, prosedur
dan waktu yang diperlukan untuk tes HIV serta terangkan makna
Hasil Tes.
Pemeriksaan darah anda akan dilakukan dengan mengambil darah
dari vena di lipat siku sejumlah kurang lebih 10ml. Setelah itu
darah akan diperiksa di laboratorium selama sekitar 1 jam. Hasil
pemeriksaan darah adalah reaktif dan non reaktif. Hasil reaktif
artinya sudah ditemukan infeksi HIV pada tubuh anda. Sebaliknya,
hasil non reaktif artinya belum ditemukan infeksi HIV pada tubuh
anda.

j)

Jelaskan informasi penting lainnya, antara lain:

Ketersediaan terapi antiretroviral

Dukungan layanan manajemen kasus

Dukungan kelompok sebaya

Terjaga informasi hasil tes (konfidensialitas)

Informasikan bahwa pasien mempunyai hak untuk menolak


menjalani tes-HIV

Informasikan bahwa penolakan untuk menjalani tes-HIV tidak


akan mempengaruhi akses pasien terhadap layanan kesehatan
lainnya

Menilai sistem dukungan yang dimiliki klien

143

k) Persetujuan melakukan tes HIV (informed consent)


Persetujuan untuk melakukan tes HIV (informed consent) harus
selalu diberikan secara individual, pribadi antara konselor dengan
klien. Konselor perlu mempersiapkan formulir persetujuan tes,
rujukan permintaan tes dan pengambilan hasil tes.

3 KUNCI dalam Konseling Pra Tes

Informasi yang tepat

Penilaian Risiko dan Perubahan Perilaku

Menggunakan Pertanyaan sebagai teknik memperoleh data

Elemen penting dalam penilaian risiko:

Dialog tentang fakta dasar HIV AIDS

Dialog tentang kemungkinan tertular infeksi lain dengan cara penularan yang sama
seperti HIV ; IMS, Hepatitis

Dialog faktor risiko dan masa jendela

Dialog keuntungan dan kerugian melakukan tes HIV

Dialog tentang kondom dan penggunaannya

Dialog tentang pengurangan dampak buruk pada penasun

Dialog pengurangan risiko dan upaya pengurangan risiko

Dialog tentang pasangan

Diskusikan tentang pengurangan risiko dan tes bagi pasangan dan bermain peran
terkait dengan pengurangan risiko dan tes bagi pasangan.

Dampak hasil tes pada diri sendiri, pasangan dan keluarga

Dialog untuk mengetahui bagaimana perasaan klien dalam menerima hasil tes

Motivasi klien untuk tes saat itu juga dan perolehan hasil pada hari yang sama

144

Jika klien TIDAK bersedia menerima hasil tes, tariklah suatu dugaan (klien menutupi
perilaku berisikonya, takut hasil reaktif, takut mendapatkan stigma dan diskriminasi,
klien belum siap dll)

Penjajagan keinginan bunuh diri

Menyimpulkan rencana pengurangan risiko yang telah disepakati


.FORMULIR PERSETUJUAN TES HIV

Saya yang bernama dibawa ini telah menerima informasi dan konseling yang menyangkut
hal-hal sebagai berikut:
i. Informasi dasar HIV dan AIDS
j. Kegunaan dari tes HIV
k. Keuntungan dan tantangan yang saya peroleh setelah tes HIV
l. Pencegahan HIV dan peningkatan kualitas hidup dengan HIV
Saya secara sukarela menyetujui untuk menjalani pemeriksaan darah HIV dengan ketentuan
bahwa hasil tes akan tetap rahasia dan terbuka hanya kepada saya. Saya menyetujui untuk
diambil darah untuk pemeriksaan HIV dan kemudian mendiskusikan kembali hasil tes dan
cara-cara untuk meningkatkan kualitas hidup dengan HIV AIDS.
Saya dengan ini menyetujui tes HIV.
Tanda Tangan/Cap Jempol
Nama Klien

Tanda Tangan
Nama Konselor

145

Menilai Sistem Dukungan

Mencari tahu siapa saja yang mengetahui bahwa klien datang ke layanan VCT

Mencari tahu apakah pasangan juga mengetahui

Mencari tahu kepada siapa klien biasa mencurahkan isu pribadinya

Mencari tahu kepada siapa klien akan menyampaikan hasil tes HIV (reaktif atau
non reaktif) seperti kepada kerabat dekat, pasangan dan lainnya. Mencari tahu
alasan menyampaikan hasil, bagaimana, kapan dan dimana hal itu akan
dilakukan

Komponen Penting dalam Konseling

146

Pra Tes HIV dan Pasca Tes HIV

Pelaksanaan Konseling Lanjutan Terkait dengan Perawatan, D

Pelaksanaan Konseling Pasca Tes

Pelaksanaan Konseling Pra Tes H

Keterampilan Penilaian Risiko Klini

Keterampilan Konseling Komunikasi Peruba

Keterampilan Menerapkan Konselin

Keterampilan Konseling Menggali Latar


dan Alasan mengikuti VCT

Pengetahuan Dasar HIV AIDS dan T

FORMULIR VCT
RAHASIA

Nomor Registrasi
Alamat ________________________________
Umur

Tahun

Kota/Kab :

Status Perkawinan 1. Menikah

2. Belum/Tidak Menikah
147

3. Cerai

Jenis Kelamin:

1. Laki-laki

2. Perempuan

Pendidikan

Terakhir _______________
Jumlah anak kandung _______ orang
Status kehamilan:

1. Trimester I

Umur anak terkecil ________ tahun

2. II

3. III

Kelompok Risiko (boleh diisi lebih dari satu):


Langsung ] Lamanya .......... Bln/Thn

4. Tidak hamil

9. Tidak tahu

1. PS, [ 1. langsung 2. Tidak

2.Waria

3. Penasun, Lamanya ..........

Bln/Thn
4.Gay 5.Pelanggan PS
7. Pasangan Risti
Pekerjaan:

8. WBP

6. Pasien TB

9. Lainnya .................... .

1. Tidak Bekerja

2. Bekerja, Jenis Pekerjaan :

Tanggal Konseling Pre Tes HIV __ __ /__ __ /__ __


Status Pasien 1. Baru 2. Lama
1. Ingin tahu saja 2. Mumpung gratis 3. Untuk
bekerja 4. Ada gejala tertentu
menikah

Alasan Tes HIV

6.Merasa berisiko 7.

rujukan ................................
(window period)

Mengetahui Adanya Tes


Dari

Pernah tes HIV


sebelumnya

5. Akan
8.Tes ulang

9. dirujuk dari LSM 10.

Lainnya :...........................
1. Brosur 2. koran 3.TV 4. Dokter
Teman

6. Petugas Outreach

5.

7. Poster

8.

Lay Konselor 9. Lainnya


1. Ya,
Dimana ......................
Kapan : ................. hr/Bln/Thn
Hasil 1. Non Reaktif 2. Reaktif 9.
tidak tahu
2. Tidak

Kajian Tingkat Risiko


Hubungan seks vaginal berisiko 1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2. Tidak

148

Tanggal Konseling Pre Tes HIV __ __ /__ __ /__ __


Hubungan seks anal berisiko 1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn
Bergantian peralatan suntik

2. Tidak

1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2. Tidak

Transfusi darah 1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

2. Tidak

Transmisi Ibu ke Anak


Lainnya (sebutkan)
Periode jendela (window periode)

1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn


2. Tidak
..
kapan .................
hr/Bln/Thn
1. Ya, kapan ................. hr/Bln/Thn

Kesediaan Untuk Tes 1. Ya

2. Tidak

2. Tidak

Tes Antibodi HIV


Tanggal Tes HIV __ __ /__ __ /__ __
Jenis Tes HIV
1. Rapid Tes
2. EIA
1. Non Reaktif
Hasil Tes R1
Nama Reagen :
2. Reaktif
1. Non Reaktif
Hasil Tes R2
Nama Reagen :
2. Reaktif
1. Non Reaktif
Hasil Tes R3
Nama Reagen :
2. Reaktif
1. Non Reaktif
2. Reaktif
Kesimpulan Hasil Tes HIV
Indeterminate
Konseling Pasca Tes
Tanggal Konseling Pasca Tes __ __ /__ __ /__ __
1. Rujuk ke MK 2. Rujuk ke RS
Rehab
Tindak Lanjut
(boleh diisi lebih dari satu)

3.

3. Rujuk ke

4. Rujuk ke LSM

5. Datang kembali karena masa jendela


Rujuk ke dokter

7. Rujuk ke klinik IMS

Rujuk ke klinik TB

2. Tidak

Skrining Gejala TB 1. Ya

2. Tidak

8.

9. Rujuk ke klinik Metadon

10. Rujuk ke layanan LJSS


ARV
Terima hasil 1. Ya

6.

11. ODHA rujuk

149

Tanggal Konseling Pre Tes HIV __ __ /__ __ /__ __


Nama Konselor
Status Klinik
1. Klinik Utama
Jenis Pelayanan 1. Klinik Menetap

2. Klinik Satelit
2. Klinik Bergerak

Kegiatan Materi Inti II :


Kegiatan Keempat Penatalaksanaan Konseling Pra Tes HIV
Daftar Cek Minimal Konseling Pra Tes HIV

YA

TIDA
K

Membangun rapport dan kepercayaan klien


Menjelaskan kerangka proses layanan VCT: sesi konseling,
waktu yang dibutuhkan, prosedur tes dan konfidensialitas
(KONTRAK)
Latar belakang mengikuti konseling pra tes HIV
Diskusi tentang HIV AIDS, penularan, penilaian risiko,
pengurangan risiko, kondom, jarum suntik jika penasun dan
informasi tes
Diskusi tentang keuntungan dan kerugian melakukan tes HIV
Penggalian sistim dukungan dan rujukan
Pelaksanaan tes HIV : informed consent (persetujuan setelah
mendapat informasi), administrasi lainnya dan pemeriksaan
darah untuk tes HIV
Membahas rencana lebih lanjut

Pokok Bahasan 3. Penyuluhan kelompok dalam konseling Pra Tes HIV

150

Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya
menggunakan
bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait materi penyuluhan kelompok dalam
konseling pra tes HIV

Sesi 2: Pembahasan materi


1. Fasilitator mengajak peserta berdiskusi apa perbedaan konseling kelompok dan
Penyuluhan kelompok
2..Kemudian fasilitator menerangkan materi dari uraian materi penyuluhan kelompok
dan kegunaan nya dalam proses konseling pra tes HIV
3. Fasilitator membaca materi dan prinsip dalam penyuluhan kelompok
4. Fasilitator kembali mengajak peserta secara berkelompok melakukan :

151

Kegiatan Materi inti 3 :


Model penyuluhan kelompok dalam konseling pra tes HIV

URAIAN MATERI
Penyuluhan Kelompok dalam Konseling Pra Tes HIV
Penyuluhan kelompok dalam pra tes HIV merupakan strategi konseling pra
tes yang paling efektif. Di banyak tempat, tuntutan konseIing sangat tinggi
sementara sumber dana dan daya terbatas. Kondisi ini seringkali membuat
klien masuk dalam daftar tunggu yang panjang atau menunggu lama di ruang
tunggu. Menghadapi hal ini, maka dilakukan pengurangan waktu untuk
konseling individual dengan cara penyuluhan kelompok. Beberapa informasi
kelompok dapat diberikan dengan menggunakan video atau oleh tim terlatih
di tempat layanan ketika jumlah konselor terbatas.
Penyuluhan kelompok diawali dengan pembentukan kelompok. Kelompok
terbentuk ketika orang bergabung dalam satu tempat yang memiliki kesamaan
latar belakang. Misalnya kelompok pecandu di pusat rehabilitasi, kelompok
ibu hamil di puskesmas, kelompok pekerja seks di lokalisasi atau warga
binaan di lapas.
a. Berikut materi dalam penyuluhan kelompok
1) Informasi dasar tentang HIV AIDS
2) Informasi dasar tentang cara penularan dan mengurangi risiko HIV
3) Demonstrasi dan diskusi tentang penggunaan kondom atau cuci jarum

152

4) Keuntungan dan isu potensial berkaitan dengan konseling


5) Prosedur tes HIV dan penyampaian hasil tes HIV
6) Informasi rujukan dan dukungan
b. Penyuluhan kelompok menuju konseling pra tes HIV
Peserta penyuluhan kelompok yang tertarik untuk tes HIV diarahkan
untuk masuk dalam konseling pra tes HIV. Materi yang didiskusikan yaitu:
1) Penilaian risiko individual dan umpan balik risiko individual
2) Eksplorasi dan pemecahan masalah untuk mengurangi hambatan
penurunan risiko
3) Eksplorasi akan apa yang klien lakukan jika hasil tes reaktif atau non
reaktif dan cara adaptasi
4) Informed consent
c. Proses konseling dan tes HIV melalui penyuluhan kelompok
1) Kelompok yang terbentuk akan mengikuti kegiatan penyuluhan
dengan materi yang sudah distandarkan.
2) Setelah mengikuti penyuluhan maka peserta dapat diarahkan untuk
konseling pra tes HIV.
3) Pelaksanaan konseling pra tes HIV secara cepat untuk lebih
memantapkan peserta mengambil keputusan tes HIV.
4) Pemeriksaan tes HIV
5) Konseling pasca tes HIV secara individual dan bukan kelompok untuk
semua hasil tes
Penyampaian hasil tes apapun tidak boleh diberikan melalui penyuluhan
kelompok. Semua hasil konseling disampaikan secara individual dalam
pasca tes konseling, mengingat sifat konfidensialitas dan status mereka
yang berbeda-beda.
153

154

Pokok Bahasan 5. Konseling Pasca Tes HIV


Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya
menggunakan
bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait materi konseling pasca tes HIV
Sesi 2: Pembahasan materi
1. Fasilitator meminta peserta untuk memberi pendapatnya mengenai apa saja yang
menjadi fokus utama ketika membuka hasil tes HIV
2. Kemudian fasilitator meminta peserta secara bergantian menbaca uraian materi
tentang konseling Pasca Tes
3. Fasilitator menjelaskan bagaimana cara penanganan respon emosi klien ketika
membuka hasil (terangkan tahap-tahap fase penerimaan)
4. Fasilitator meminta seluruh peserta untuk kembali melakukan :
Kegiatan Inti 2
Role Play konseling Pasca Tes HIV
5. Fasilitator mengajak peserta mendiskusikan hasil dari kegiatan role play

155

Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan
aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Konseling Pasca Tes HIV
a. Gambaran Umum Konseling Pasca tes
Konseling pasca tes HIV membantu klien memahami dan menyesuaikan
diri dengan hasil tes. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil

156

tes, memberikan hasil tes dan menyediakan informasi yang dibutuhkan.


Jika perlu merujuk klien ke fasilitas layanan lainnya.
Pada konseling pasca tes, konselor mengajak klien mendiskusikan strategi
untuk mencegah penularan HIV. Dasar keberhasilan konseling pasca tes
HIV dibangun pada saat konseling pra tes. Bila konseling pra tes berjalan
baik, maka akan memudahkan proses berikutnya. Hal ini karena hubungan
baik dan saling percaya sudah terbangun antara konselor dan klien.
Hubungan profesional akan memudahkan terjadinya perubahan perilaku
dimasa datang dan memungkinkan pendalaman akan masalah klien. Klien
yang menghadapi hasil tes biasanya sangat tegang dan mereka yang
menerima

hasil tes reaktif

(HIV positif)

seringkali mengalami

ketidakseimbangan emosi.
Penting Diperhatikan
Konselor yang memberikan konseling pra tes dan konseling pasca tes
HIV sebaiknya orang yang sama

a. Kunci Utama dalam Menyampaikan Hasil Tes


1) Periksa ulang hasil tes klien dan lakukan hal ini sebelum bertemu klien
untuk memastikan kebenarannya.
2) Sampaikan hasil secara langsung secara tatap muka. Hasil harus
disampaikan langsung kepada klien. Pastikan klien adalah pemilik
hasil tersebut.
3) Wajar dan profesional ketika memanggil klien kembali dari ruang
tunggu.
4) Hasil tes tertulis dan bertandatangan petugas penanggungjawab
layanan.

157

5) Jika ada permintaan hasil tes dari klien sendiri dan/atau pihak ketiga,
semua hasil tes hendaknya dijaga dari berbagai kepentingan.
6) Ketika klien akan memberitahu hasil tes pada pasangan, hendaknya
dibuatkan janji untuk dapat disampaikan dalam pertemuan bersama
klien (konseling pasangan).
b. Penyampaian Hasil Tes Non-Reaktif (HIV Negatif)
Ingat akan semua kunci tersebut diatas. Selain itu diskusikan hal-hal
berikut:
1) Informasikan tentang masa jendela
2) Tekankan informasi tentang penularan dan rencana penurunan risiko
3) Buatlah ikhtisar dan gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk perilaku
seks aman dan penggunaan jarum suntik yang aman
4) Amati kembali reaksi klien
c. Penyampaian Hasil Tes Reaktif (HIV Positif)
Seorang konselor seharusnya menciptakan konseling yang nyaman,
empati dan menerima untuk memberikan kesempatan pada klien
mendiskusikan perasaan dan pikiran mereka. Waktu yang cukup perlu
diberikan pada klien untuk memfokuskan diri dan mengeluarkan reaksi
emosionalnya dan menerapkan mekanisme manajemen emosi. Besarnya
dukungan yang tersedia bagi klien merupakan sesuatu yang penting untuk
dipelajari. Jika tidak ada dukungan yang dimiliki klien, maka harus ada
upaya rujukan pada layanan konseling lanjutan, layanan manajemen kasus
atau kelompok pendukung dan penjelasan tentang hal yang dapat
difasilitasi oleh layanan VCT di tempat konselor bekerja. Konselor
berkewajiban membantu klien menyusun rencana selanjutnya yang
realistis dan memastikan bahwa klien dapat mengatasi masalahnya.
Klien dengan hasil reaktif memerlukan informasi terkait dengan
pencegahan positif. Tawarkan konseling lanjutan atau konseling

158

tindak lanjut agar mempermudah klien menyesuaikan diri dengan status


positifnya serta bagaimana mereka memelihara diri dan meningkatkan
kualitas hidup.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menyampaikan hasil reaktif yaitu:
1) Periksa data secara rinci dan perhatikan komunikasi non verbal saat
memanggil klien memasuki ruang konseling. Pastikan klien siap
menerima hasil dan tekankan kerahasiaan
2) Lakukan secara jelas dan langsung. Misal Kita perlu mendiskusikan
hasil tes anda. Hasil pemeriksaan tes HIV anda adalah reaktif.
Artinya anda terinfeksi virus HIV
3) Sediakan waktu hening yang cukup untuk menyerap informasi
tentang hasil.
4) Periksa pengetahuan dan pemahaman klien tentang hasil tes. Dengan
tenang bicarakan arti hasil tes.
5) Galilah ekspresi dan ventilasikan emosi atau membutuhkan
penanganan khusus. Bagaimana risiko bunuh diri?

Lengkapi

penilaian bunuh diri dan manajemennya.


6) Rencana nyata: Adanya dukungan dan orang dekat (siapa, apa,
bagaimana, kapan, mengapa), Keluar dari klinik, pulang ke rumah,
Apa yang akan dilakukan klien dalam 48 jam, Strategi mekanisme
penyesuaian diri, orang terdekat dan etiknya, tanyakan apakah klien
masih ingin bertanya.
7) Beri kesempatan klien untuk mengajukan pertanyaan dikemudian
hari.
8) Rencanakan tindak lanjut atau rujukan jika diperlukan.
Hasil Tes Reaktif (HIV Positif)
Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil tes dan artinya bagi klien

Galilah ekspresi dan ventilasikan emosi

Rencana nyata setelah selesai sesi konseling

Memberi tahu (membuka status) kepada siapa

Pencegahan infeksi pada diri sendiri dan orang lain

159

e. Penanganan Respon Emosional Klien


Sebagian klien mungkin menunjukkan respon emosi yang mencolok
ketika menerima hasil tes reaktif. Konselor perlu mensikapi hal tersebut
dan memberi kesempatan klien menyalurkan emosinya. Pastikan bahwa
klien merasa dipahami dan mendapatkan dukungan.
Respon emosi mencolok yang mungkin muncul:
Menangis

Biarkan klien menangis dan beri kesempatan menumpahkan


kesedihannya. Sediakan tisu. Konselor memberikan respon atau
komentar sesuai dengan kebutuhan.
Melihat situasi sulit ini, saya bisa memahaminya. Apakah anda
ingin berbagi tentang perasaan itu?

Marah

Biarkan dahulu klien menunjukkan kemarahannya. Setelah reda


kita mulai proses berikutnya.

Tak Berespon

Pelajari reaksi apakah ada penyangkalan dan waspadai


kecenderungan bunuh diri

Menyangkal

Konselor harus memberi kesempatan klien memahami kesulitan


penerimaannya akan informasi hasil. Biarkan klien berbicara
tentang perasaannya.

160

Kegiatan Materi Inti II :


Kegiatan Kelima Penatalaksanaan Konseling Pasca Tes HIV
Daftar Cek Konseling Pasca Tes HIV

YA

TIDA
K

Menyampaikan hasil tes dengan singkat dan jelas


Memberikan waktu hening yang cukup untuk memahami arti hasil tes
Menangani reaksi emosi klien dari hasil tes
Membahas kemungkinan memberitahu status HIV kepada pihak lain
Membahas rencana penurunan risiko
Membahas tindak lanjut dukungan, perawatan dan pengobatan
Membahas sumber dukungan yang tersedia
Merangkum rencana tindak lanjut jangka pendek dan jangka panjang

161

Gejala fisik, gejala psikologis atau aspek lainnya yang

Konseling pra tes dalam k


pemberian informasi faktual H

Beri waktu untuk pengambilan k

Menolak tes, tidak dilanjutkan pemeriksaan


Menerimadar
te

Sampaikan hasil tes dengan hati-hati, nilai kemampuan mengelola perasaan terhadap hasil tes, sediakan w

HIVHIV
Negatif
Positif
Konseling
Konseling
perubahan
penerimaan
perilaku
status
Berikan
materi
KIE
Informasi
pemeriksaan
kesehatan terkait IO, ART, d
Sarankan
Konseling
pemeriksaan
peningkatan
ulang
kualitas
setelah
hidup
12 minggu
termasuk pen
Rujuk ke layanan perawatan, dukungan dan pengo
Konseling lanjutan

STANDAR PELAYANAN KONSELING DAN TES HIV

162

A. MATERI INTI III


1. PAJANAN OKUPASIONAL

I.

DESKRIPSI SINGKAT
Tenaga kesehatan, petugas sosial dan penjangkau dalam program harm
reduction serta petugas lainnya mungkin berisiko terhadap pajanan okupasional
terhadap HIV dan infeksi lainnya. Mereka penting memperoleh pengetahuan
tentang pajanan okupasional dan proses yang harus dijalani ketika terpajan.
Mereka yang secara nyata terpajan risiko harus dinilai untuk mendapat
profilaksis pasca pajanan (PPP) / post exposure prophylaxis (PEP) pada kasus

163

pajanan HIV. PPP harus dilakukan dalam waktu 2 - 4 jam pertama dimungkinkan
sampai 72 jam. Semakin cepat profilaksis diberikan, efektifitasnya semakin baik.

II.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mengikuti pelatihan ini peserta mampu menerapkan tatalaksana
konseling Pasca pajanan.

III.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu :
a. Menjelaskan kaitan antara pajanan okupasional dan penularan HIV
b. Melakukan proses konseling dan tes HIV dalam penanganan pajanan
okupasional
c. Memahami pentingnya konseling dan dukungan untuk petugas yang terpajan

IV.

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
Tatalaksana konseling pasca pajanan Okupasional :
a. Kaitan antara pajanan Okupasional dan Penularan HIV
b. Konseling dan Tes HIV dalam Penanganan Pajanan Okupasional
c. Konseling dan Dukungan untuk Petugas Terpajan

V.

METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1. Curah pendapat
2. Ceramah Tanya Jawab (CTJ)
3. studi Kasus

164

VI.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

VII.

Komputer
LCD
Bahan tayang (slide powerpoint)
Modul
Whiteboard/filpchart + spidol
Materi Kasus

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Pokok Bahasan : Tatalaksana konseling pasca pajanan Okupasional
Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa

peserta dengan ramah dan hangat. Apabila

belum berkenalan mulai dengan

perkenalan. Sampaikan tujuan

pembelajaran sebaiknya menggunakan bahan tayang.


2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Tatalaksana Pajanan
Okupasional

Sesi 2: Pembahasan materi


1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan
dan melanjutkan dengan

penjelasan tentang Tata Laksana Konseling

Pasca Pajanan menggunakan alur layanan Pasca Pajajan dalam bentuk


tayangan Power Point
2. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian materi
tentang kaitan antara pajanan Okupasional dan Penularan HIV

165

3. Diskusikan hasil bacaan tersebut lanjutakn materi Konseling dan Tes HIV
dalam Penanganan Pajanan Okupasional dan dukungan untuk petugas
terpajan
4. Fasilitator meminta peserta melakukan :

Kegiatan Materi Inti III : Konseling Pajanan Okupasional


Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang

pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang

ditetapkan sudah tercapai.


2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Pajanan Okupasional dan Penularan HIV
Beberapa hal terkait pajanan okupasional:
a. Tenaga kesehatan, petugas sosial, penjangkau dalam program harm reduction
dan petugas lainnya mungkin dalam risiko pajanan okupasional terhadap HIV
dan infeksi lainnya.
b. Mereka penting memperoleh pengetahuan tentang pajanan okupasional dan
proses yang harus dijalani ketika terpajan.

166

c. Mereka yang secara nyata terpajan, risiko harus dinilai untuk mendapat
profilaksis pasca pajanan pada kasus pajanan HIV. PPP harus dilakukan dalam
waktu 2 - 4 jam pertama dimungkinkan sampai 36 jam kemudian. Semakin
cepat profilaksis diberikan, efektifitasnya semakin baik.
d. Seringkali mereka juga mengalami krisis untuk tes dan menganggap tes lebih
prioritas daripada konseling.
e. Mereka juga sering tes tanpa konseling atau informed consent sehingga banyak
yang menerima informasi tidak tepat disamping berbagai kesulitan potensial
yang mereka hadapi ketika menerima PPP dan konfidensialitas yang tidak
terjaga.
f. Perkiraan umum risiko infeksi HIV sesudah pajanan melalui kulit atau mukosa
kurang dari 0.3% dalam beberapa studi meskipun studi dengan kontrol
menunjukkan risiko lebih tinggi sedangkan risiko tertinggi lewat pajanan
percutan.
g. Sebagian besar pajanan terjadi pada tenaga kesehatan dan petugas penjangkau
HR sesudah kontak dengan darah orang terinfeksi HIV.
Pertolongan
Pertama
h. Sebagai tambahan pada penilaian
risiko pajanan,
mereka yang terpajan harus
melakukan pemeriksaan untuk HBV, HCV dan VDRL (pemeriksaan untuk
sifilis).
Penilaian Risiko Pajanan

1. Tes HIV dan Pertimbangan Khusus


a. Tes awal HIV yang dilakukan setelah seseorang terpajan merupakan data
dasar untuk memonitor serokonversi setelah mengalami pajanan.
b. Tes awal ini hanya dapat memberikan gambaran mengenai kasus pajanan
Konseling Profilaksis Pasca Pajanan

dan status HIV sebelumnya.


c. Data dasar diatas penting dimana mereka perlu mendapatkan informasi
dan penilaian risiko individu. Pelaksanaan tes dasar dapat dilakukan di
tempat lain selain di tempat kerja.
Konseling Pra Tes HIV
2. Konseling dan Tes HIV dalam Pananganan Pajanan Okupasional
Alur manajemen pajanan okupasional
Tes Dasar HIV, tes serologi lain dan Konseling Pasca Tes HIV

167
Dokumentasi Formal

MANAJEMEN KONSELING DAN TES HIV DALAM


PENANGANAN PAJANAN OKUPASIONAL
1. Pertolongan Pertama. Apa yang dilakukan? Jika tidak tertulis pada Pertolongan
Pertama, maka lakukan segera sesudah pajanan.

Misalnya untuk tusukan jarum, darah yang menetes atas luka dicuci
dengan air bersabun lembut (sabun mandi)

Misal semburan darah ke dalam mata, cuci mata dengan air steril segera.

2. Penilaian Risiko Pajanan dan umpan balik atas risiko (ESSE)

Gunakan empat prinsip penularan (Exit, Survive, Sufficient, Enter)

Misal jelaskan apakah itu sebuah bor berongga atau semburan darah dari
luka, kedalaman luka, durasi pajanan dan sebagainya.

3. Konseling Profilaksis Pasca Pajanan termasuk informed consent untuk ARV

168

Formulir A : Di isi oleh tenaga Formulir B : Diisi petugas Instalasi


Bukti
intervensi
kesehatan
yang
terpajan
dan Gawat
Darurat/poliklinik,
tindasan
Diskusikan
samping
yang diserahkan
mungkin pada tenaga kesehatan yang
menyerahkan
formulirefek
pada
instalasi
Gawat Darurat/poliklinik
dengan(delay
terpajan
untuk
diserahkan pada atasan
Masa jendela yang tertunda
window
periode)
tembusan
Panitia PIN
keKepatuhan
berobat

langsung dengan tembusan ke panitia


PIN

4. Konseling Pra tes semua konseling pra tes secara umum :

Pendidikan pengurangan risiko pajanan okupasional dikemudian hari

Prosedur tes untuk menggambarkan masa jendela

5. Pemeriksaan darah-Rapid tes HIV, serologi VDRL, TPHA, Hepatitis B dan


Hepatitis C dilanjutkan Konseling Pasca Tes.
6. Dokumentasi formal dengan memperhatikan konfidensialitas

LAPORAN PAJANAN
Petunjuk Pengisian
Formulir dibuat 2 ( dua ) rangkap
FORMULIR B
Setiap kotak dapat di isi
Diperiksa dokter gawat darurat

Menolak diperiksa dokter Gawat

Dirujuk

ke

dokter

pribadi

atau

perusahaan
Memilih untuk mencari pertolongan

169

Darurat

dokter pribadi

Untuk perhatian
Panitia

Infeksi

Nasional

Poliklinik

Lain lain ________________

Pasien sumber darah/bahan infeksius


Nama

: ...................................................................................................

Ruang rawat

: ...................................................................................................

Pemantauan pajanan (jelaskan) : ....................................................................................


.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
Tanggal pemberitahuan atasan langsung tenaga yang terpajan : ...................................
Tenaga

Tanda tangan petugas :

_______________________
______________________________

170

3. Konseling dan Dukungan untuk Petugas Terpajan


Pengalaman yang dialami oleh petugas yang terpajan sama dengan klien
lainnya, seperti pengalaman kepatuhan dalam pengobatan, ketakutan bahwa
rekan kerja akan melihat meminum obat dan asumsi mereka mempunyai
status HIV. Efek samping obat membuat orang sulit bekerja. Banyak petugas
kesehatan bekerja dalam waktu yang lama dan padat.
Tenaga kesehatan yang menangani pasien AIDS menyebabkan perhatian
berlebihan pada dirinya sendiri. Jika petugas kesehatan tersebut hamil, sangat
mungkin terjadi kecemasan akan dampak rejimen obat terhadap janinnya.
Konselor harus memberikan intisari tahapan pajanan dengan penuh kepekaan
dan tidak menghakimi. Hal ini akan membantu petugas kesehatan untuk
melindungi diri dari pajanan dikemudian hari.

171

MATERI INTI IV
MANAJEMEN PENCEGAHAN BUNUH DIRI
ENDAHULUAN
I.

DESKRIPSI SINGKAT
Materi

bunuh

diri

adalah

bagian

dari

konseling

lanjutan

dan

berkesinambungan yang penting untuk diketahui oleh konselor. Konselor dalam


penanganan klien terkait dengan penerimaan status HIV perlu mengetahui situasi
psikologis klien (misalnya bunuh diri) agar dapat membantu klien. Bunuh diri adalah
tindakan membunuh diri sendiri. Ada beberapa istilah bunuh diri yang kita kenal
seperti para suicide, ide bunuh diri

atau percobaan bunuh diri. Bunuh diri

berhubungan dengan kebutuhan yang tidak terpenuhi, perasaan keputusasaan, ketidak


berdayaan, konflik ambivalen antara keinginan hidup dan tekanan yang tidak dapat
ditanggung, menyempitnya pilihan yang dirasakan, dan kebutuhan untuk meloloskan
diri. Orang yang bunuh diri menunjukkan penderitaan. Terdapat alat bantu yang dapat
digunakan konselor untuk menilai tindakan bunuh diri. Tema utama pada klien
terinfeksi HIV adalah belum bisa menerima status diri, menyalahkan diri sendiri,
masalah harga diri, dan masalah kematian. Konseling bunuh diri yang adekuat akan
membantu klien keluar dari masalahnya dan bunuh diri bukan pilihannya.
II.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM :


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami dan menerapkan

manajemen Pencegahan Bunuh diri


III. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS :
Setelah mengikuti materi ini, peserta diharapkan mampu:
1. Memahami beberapa alasan bunuh diri
2. Melakukan penilaian risiko bunuh diri
3. Menerapkan strategi managemen pencegahan bunuh diri
172

IV.

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
1. Beberapa alasan Bunuh Diri Terkait HIV AIDS
2. Penilaian Risiko Bunuh Diri
3. Strategi Manajemen Pencegahan Bunuh Diri

V.

METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1. Curah pendapat
2. Ceramah dan Tanya Jawab (CTJ)
3. Studi Kasus

VI.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajarandisampaikandenganmenggunakan media danalatbantu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

VII.

Komputer
LCD
Bahan tayang (slide powerpoint)
Modul
Whiteboard/filpchart + spidol
Materi studi Kasus

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran
sebaiknya menggunakan bahan tayang.
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Bunuh diri.

Sesi 2: Pembahasan materi


1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan
dan melanjutkan dengan penjelasan tentang manajemen bunuh diri.

173

2. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian materi


Manajemen Pencegahan bunuh diri.
3. Fasilitator menjelaskan secara rinci

mengenai

langkah-

langkah

komunikasi untuk pencegahan dan menjelaskan bagaimana cara mengisi 2


model instrumen untuk penilaian risiko bunuh diri.
4. Fasilitator melakukan kegiatan Tanya jawab terkait materi diatas
5. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan :
Kegiatan MateriInti IV :Manajemen Pencegahan Bunuh Diri
Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang
ditetapkan sudah tercapai.
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta.

174

URAIAN MATERI
1. Alasan Bunuh Diri terkait HIV AIDS
Ada dua periode krisis dimana seseorang memiliki kecenderungan
melakukan usaha bunuh diri dalam perjalanan hidupnya karena terinfeksi HIV.
Periode pertama pada saat mengetahui status HIV dan periode kedua pada saat
penyakit berkembang lebih lanjut dan menyerang sistim saraf pusat sebagai
komplikasi HIV.Tindakan bunuh diri merupakan tanggapanyang impulsif
berkaitan dengan kekacauan emosionalnya. Impulsif adalah reaksi emosi
langsung yang muncul akibat ketidakseimbangan emosi.
a. Faktor pencetus bunuh diri diantaranya:
1) Kondisi

ekonomi

seperti

kehilangan

pekerjaan,

kehilangan

kemampuan mendapatkan penghasilan dan merasa menjadi beban bagi


keluarga atau mereka yang merawatnya menjadi pelengkap dari situasi
impulsif.
2) Penyesuaian diri, dalam stadium lanjut, orang akan mengalami isu-isu
penyesuaian diri yang berkaitan dengan tahap penyakit, adanya
kerusakan dalam fungsi pikiran, dan kemungkinan komplikasi yang
menyebabkan perubahan-perubahan dalam struktur otak.
b. Faktor lain yang berkontribusi atas risiko bunuh diri antara lain:
1) Konseling Pra tes dan Pasca tes yang tidak memadai
2) Rasa tidak nyaman akibat stigma dan diskriminasi
3) Rasa tidak percaya diri karena belum menerima status HIV
4) Memiliki gangguan perasaan yang telah ada sebelumnya (depresi,
kecemasan atau mania)
5) Ketidakberdayaan atau putus asa
6) Penyakit yang muncul pada masa perkembangan HIV menuju AIDS
7) Memiliki gangguan psikiatrik masa sekarang seperti gangguan jiwa
berat/ Skizofrenia, gangguan Mood/ gangguan ketidakstabilan emosi

175

8) Pencetus psikososial yang mengancam ketidakstabilan emosi, misal


putusnya hubungan dengan pasangan.
Kecenderungan bunuh diri dapat dikatakan sebagai krisis emosi karena klien
merasa sangat terancam, terperangkap pada situasi yang tidak terduga, tidak
memiliki kendali diri dan tidak ada penyelesaian dan semua usaha terasa tidak
memiliki arti.
c. Pada situasi fase krisis bunuh diri terdapat tahapan sebagai berikut:
1) Terpukul (reaksi)
2) Tersingkir atau mundur
3) Menarik diri
4) Penyesuaian untuk belajar menerima dan beradaptasi
Gambaran krisis karena seseorang tidak dapat menerima realitas yang
terjadi pada diri sendiri akan reda dalam kisaran masa antara 1-4 minggu.
Seseorang dengan situasi ini ingin orang lain menolongnya dan lebih
menerima intervensi orang dari luar lingkungannya.
d. Klasifikasi Bunuh Diri
1) Kekerasan:Kekerasan merupakan cara yang dipilih klien untuk
mempersingkat hidup dengan melukai tubuhnya. Cara yang digunakan
seperti: membakar diri, menembak, memotong bagian tubuh,
mengantung

diri,

terjun

dari

ketinggian,

atau

merencanakan

kecelakaan.
2) Tanpa Kekerasan:Tindakan bunuh diri ini dilakukan klien tanpa
perlu melukai tubuhnya. Cara yang digunakan seperti minum obat
sampai over dosis, meracuni diri, menghisap gas dalam ruang tertutup,
dan menyumbat jalan nafas hingga mati lemas.
3) Pasif: Cara ini dipilih klien karena sifat bunuh diri terlihat lebih
tenang sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dari orang lain.
Contoh bunuh diri pasif adalah menolak terapi atau menolak
perawatan.
176

e. Hal-hal terkait manajemen bunuh diri


1) Klien yang menolak berbicara
Seorang klien mungkin akan menolak untuk mendiskusikan usaha
bunuh diri, pikiran bunuh diri atau rencana bunuh diri. Hal ini karena:
a) Ketakutan jika rencana bunuh diri akan dihalangi karena
mendapatkan perlindungan atau tindak lanjut dari intervensi
konselor, keluarga atau teman.
b) Malu karena mempunyai pikiran atau pernah berusaha untuk
bunuh diri
c) Takut akan kemungkinan dicap sebagai sakit jiwa karena dirujuk
ke psikiater atau Rumah Sakit Jiwa dan mendapatkan obat atau
pada beberapa kasus perlu mendapatkan rehabilitasi medik.
d) Tidak yakin dengan proses jaminan kerahasiaan dalam konseling.
Jika sungguh-sungguh melakukan bunuh diri, maka konselor akan
berupaya melakukan pencegahan yang berarti rencana bunuh diri
tidak bisa dipertahankan.
e) Mereka mungkin bersifat menentang danmanipulatif
Dengan mempertimbangkan klien menolak bicara, seorang konselor
dapat memberikan dukungan kepada klien untuk kesediaan membantu
dan menjaga konfidensialitas konseling. Pendekatan dengan cara tidak
menghakimi sangatlah diperlukan. Jika klien tetap menolak untuk
bicara, pastikan klien mendapatkan rujukkan layanan yang tepat.
2) Klien yang berulangkali berusaha bunuh diri
Klien ini merasa kesepian, terasing dan berusaha menarik perhatian
setelah mengetahui status HIV. Barangkali juga klien merasa terancam
dan usaha bunuh diri dimaksud untuk memanipulasi. Disatu sisi, klien
tidak mampu menyesuaikan diri dengan status kesehatan yang dimiliki
karena ancaman atas stigma dan diskriminasi kepada orang dengan
HIV AIDS. Meski demikian setiap ancaman bunuh diri harus
177

ditanggapi secara serius. Konselor perlu memahami bahwa klien


berada dalam suasana tertekan dan tak mampu mengatasi krisis
emosinya.
3) Klien pengguna Alkohol
Banyak pengguna alkohol mempunyai kecenderungan bunuh diri.
Konselor seringkali sulit memberikan bantuan kepada klien pengguna
alkohol karena perilaku ini membuat mereka menolak semua bentuk
bantuan atau intervensi dari orang lain. Klien pengguna alkohol
biasanya menyangkal bahwa dirinya adalah pengguna alkohol.
Penyalahgunaan alkohol meningkatkan keberanian seorang klien
untuk melakukan bunuh diri.
2. Penilaian Risiko Bunuh Diri
Ketika klien marah atau depresi, konselor harus mengali informasi adakah
pikiran bunuh diri dalam pikiran klien. Jangan takut untuk mengajukan beberapa
pertanyaan dalam konseling kepada klien karena kegiatan ini bertujuan
membantu klien berhadapan dengan situasi.
Banyak ancaman bunuh diri karena masalah dalam keluarga. Keluarga
tidak dapat mendukung klien dengan status HIV AIDS sehingga menimbulkan
perasaan tidak berdaya dan perasaannya bisa menjadi lebih buruk. Klien yang
marah harus diberi kesempatan menyalurkan kemarahannya. Ketika klien
mengatakan tidak pernah marah, maka sangat berbahaya karena kemarahannya
disangkal serta tidak realistik mengakui kemarahan. Kemarahan yang terpendam
dapat terjadi dengan berbagai macam reaksi. Kemarahan adalah hal yang wajar
dan semua orang didunia pernah memiliki rasa marah.
Setiap Ancaman atau Usaha Bunuh Diri adalah kegiatan yang mengancam
hidup manusia sehingga harus diselamatkan dan ditangani serius

178

a. Panduan Penilaian Risiko Bunuh Diri


Penilaian ini menggunakan pendekatan konseling dan dilakukan sebelum
terjadi tindakan bunuh diri dan sesudah tindakan bunuh diri digagalkan
karena proses intervensi yang tepat. Konseling yang baik adalah bagian
dari terapi. Intervensi konseling ini seringkali dapat mengubah pikiranpikiran untuk tidak melakukan bunuh diri. Pada kebanyakan kasus klien,
sebagian besar kasus menimbulkan krisis dan membutuhkan perhatian
sangat serius sehingga perlu ditemani oleh kerabat atau seseorang yang
dipercayai. Konselor harus berdialog dengan klien terlebih dahulu untuk
mendapatkan gambaran penyebab rencana bunuh diri. Perasaan tidak
berdaya, tidak bersedia bersikap jujur dan tidak terbuka tentang dirinya
menjadi penghambat konselor melakukan konseling dengan klien.
Kadangkala klien ditemukan dalam kondisi pingsan sehingga konselor
perlu menunda sesi konseling penilaian risiko bunuh diri. Pastikan
sebelum memulai konseling klien dapat diajak untuk berdialog sehingga
konselor dapat melakukan intervensi secara maksimal.
Panduan risiko bunuh diri terdiri dari panduan klasifikasi penilaian risiko
bunuh diri dan penentuan risiko bunuh diri
1) Panduan pertama
Berikan tanda pada kolom ya atau tidak sesuai jawaban klien dan
tanyakan lebih dalam. Setiap Jawaban Ya memiliki arti risiko bunuh
diri makin besar.

179

Panduan Penilaian Risiko


Ya
1
Apakah saudara berfikir untuk bunuh diri?
2
Apakah saudara sudah mempunyai rencana bunuh diri?
3
Apakah saudara mempunyai alat yang akan digunakan untuk
4
5

Tidak

bunuh diri?
Sudahkah saudara memutuskan waktu untuk bunuh diri?
Apakah saudara pernah mencoba bunuh diri sebelumnya?
Direncanakan
Tidak direncanakan?
Menggunakan alkohol/Napza sebelum melakukan tindakan
bunuh diri?
Jika saudara

pernah

melakukan

usaha

bunuh

diri

sebelumnya, apakah ada pengaruhnya terhadap usaha bunuh


7

diri sekarang?
Besarkah pengaruh bunuh diri sebelumnya dengan usaha

bunuh diri sekarang?


Panduan Penilaian Risiko
1
Gejala-gejala neuro-vegetatif
a. Perubahan pola tidur
b. Perubahan selera makan
c. Kelelahan/kurang energi
d. Masalah seksualitas
2
Perubahan suasanan hati dan motivasi
a. Ketidakbahagiaan yang berkepanjangan
b. Sulit menyelesaikan pekerjaan
c. Sulit menyelesaikan pekerjaan rutin
d. Menarik diri dari pergaulan dan kegiatan sosial

Ya

Tidak

2) Panduan Kedua
Berisi daftar pertanyaan dan membutuhkan penggalian lebih lanjut
sehingga dapat mengungkapkan realitas subjektif yang dihadapi setiap
orang yang berisiko.
Catatan Konselor

180

Daftar Pertanyaan Panduan Penilaian Risiko


1

Mengapa saudara berpikir untuk bunuh diri

sekarang ?
Apa yang dirasakan sulit saat ini?

Apa yang akan saudara lakukan untuk

mengatasikesulitan?
Bagaimana kesulitan ini mempengaruhi

saudara?
Bagaimana

kesulitanseperti ini di masa lalu?


Apa yang membuat saudara berfikir bahwa

saudara

menyelesaikan

usaha bunuh diri yang akan anda lakukan


7

dapat berhasil?
Kapan kesulitan ini mulai terasa?

Siapa

masalahsaudara?
Kondisi untuk bertahan hidup

10

Pertolongan

11

butuhkan?
Siapa yang ingin anda beritahu/tidakingin

12

andaberitahu tentang kesulitan anda?


Bagaimana cara saudara menjaga diri

13

saudarasendiri?
Apa saja yang dapat mengubah pikiran

14

saudara?
Bagaimana

saja

yang

seperti

jika

terpengaruh

apa

anda

yang

dapat

oleh

anda

terus

meneruskan hidup?

181

Hasil dari pengisian kedua panduan penilaian risiko ini dapat digunakan
konselor melihat secara cepat tingkat risiko bunuh diri dan membantu
melengkapi penentuan penilaian bunuh diri.
3) Penentuan Tingkat Risiko
Konselor perlu mempelajari penentuan tingkat risiko berikut agar dapat
mengukur secara rinci tingkat risiko klien dengan melengkapi panduan
penilaian risiko bunuh diri. Menilai tingkat risiko merupakan hal penting
untuk menentukan langkah selanjutnya
Indikator Penentuan Risiko Bunuh Diri
Risiko Tinggi

Risiko Rendah

Memiliki pemikiran bunuh diri saat ini Memiliki pemikiran bunuh diri dengan
dengan cara yang mematikan

menggunakan

cara

yang

kurang

Klien menyampaikan rasa putus asa

mematikan
Masih dapat mengungkapkan perasaan

dan harapan
Tidak memiliki kemampuan menerapkan Klien dapat mengembangkan respon
pemecahan masalah dan penyesuaian diri
Beberapakali

memiliki

usaha

penyesuaian diri dari krisis di masa

lalu
yang Tidak memiliki cara yang mematikan

mematikan
dan ragu untuk memulai
Usaha dilakukan ketika tidak ada orang Masih ada oranglain tidak jauh dari
didekatnya
Klien menyatakan
kembali

dengan

akan
usaha

tempat bunuh diri


mengulangi Klien menunjukkan perasaan menyesal
yang

lebih dan tidak mempunyai alasan kuat

mematikan
melakukan bunuh diri lagi
Kondisi kesehatan menurun dan tidak Kondisi kesehatan membaik
memiliki
kehidupannya

pilihan

dan

memulihkan memiliki pilihan dan harapan untuk


hidup

182

Klien tertekan

Klien lebih mampu mengungkapkan


perasaannya

183

MATRIKS PENILAIAN RISIKO BUNUH DIRI


Rincian
1.

Risiko rendah

Rencana

bunuh diri

Risiko menengah

b. Ketersediaan
Alat

Tidak

e. Terdapat
Intervensi

ditangan
Memiliki

dalam 24 jam

Meramu

Senjata,
terjun

kulit

jalan ramai, atau memotong

mengantungkan diri ditiang

nadi

atau pohon

Ada

Tidak pernah

orang

masa

sebelumnya

lain tapi tidak diketahui


Pernah
diselamatkan

Tidak ada

namun

bisa

dan

riwayat

Reaksi sedang

ketinggianatau

siapapun
Lebih
dari dua kali

ancaman bunuh diri berulang


Tidak terlalu bereaksi

dari

Ada orang

dilakukan

Segera

obat keras, pasang badan di

lain dan diketahui

3. Stres

Alat

n obat sakit dasar atau melukai

2. Usaha bunuh diri

rencana waktu
Menggunaka

Memiliki
rencana yang matang

Memiliki

Tidak punya

alat

rencana waktu

d. Cara

Rencana
ada namun tidak khusus

memiliki alat

c. Waktu

Risiko Tinggi

Ada rencana
tetapi tidak jelas

a. Rinci

pada

Nama:__________________________Tanggal :_______________

Kondisi
bunuh diri cukup bervariasi

dengan intensitas sering


Reaksi berat akan
kehilangan
184


4. Gejala
a. Perilaku

Sesekali pikiran bunuh diri muncul

Aktivitas harian berjalan terus

b. Depresi

tanpa perubahan

Lebih dari satu kali


pikiran bunuh muncul

Aktivitas

harian

5.
Sumber-sumber
6. Aspek-

Dapat mengekpresikan emosi

membantu secara konsisten


Dapat

aspekkomunikasi

menetap

Mood terganggu
Keluarga dan teman
bersedia, namun tidak bersedia

mengekpresikan
mengacam

akan

Pikiran bunuh diri

menerima bantuan orang lain

emosi

krisis

sosial/personal belakangan ini


Menolak bantuan

mulai tergantu

Terdapat bantuan dan bersedia

Banyak

Gangguan

berat

pada fungsi sehari-hari

Terabaikan

dan

Diri

melakukan

Ekspresi

Bunuh

tidak

bersedia

dan

dikendalikan

kembali
7.

Gaya hidup

8. Status medik
Jumlah

Rutin seperti sediakala


Tergolong Sehat

Tidak

mulai menganggu keseharian


Kesehatan Menurun

stabil

dan

Berubah ekstim
Penyakit kronis dan BB turun

185

3. Strategi Manajemen Pencegahan Bunuh Diri


Tujuan strategi menajemen bunuh diri adalah perilaku-perilaku bunuh diri
yang erat kaitannya dengan ketidakstabilan emosi, hubungan interpersonal,
depresi dan penyalahgunaan obat. Cara yang paling aman adalah memberikan
rasa aman dengan tujuan mengganti bunuh diri dengan penyelesaian masalah
yang lebih adaptif atau dapat disesuaikan oleh klien. Pada kebanyakan perilaku
bunuh diri, jika konselor melakukan pendekatan pemecahan masalah terstruktur
dan tepat maka bunuh diri tidak akan terjadi. Klien akan selamat karena terbukti
konselor sangat membantu.
a. Prioritas strategi manajemen bunuh diri yaitu:
1) Pertama, lakukan manajemen prioritas mengurangi perilaku bunuh diri
sehingga mengurangi usaha bunuh diri dimasa depan.
2) Kedua,konselor bekerjasama dengan para medis, pekerja sosial dan
keluarga untuk memberikan situasi yang nyaman sehingga tidak
terjadi risiko besar dimasa depan.
3) Ketiga, individu bersangkutan kemudian belajar bahwa ketika muncul
perilaku tertentu, mereka akan membicarakannya dengan konselor
atau orang yang dipercaya yang dapat membantu mereka menerapkan
pemecahan masalah lebih tepat sehingga usaha bunuh diri ini menjadi
semakin berkurang sejalan dengan pertambahan usia.
b. Prinsip manajemen krisis bunuh diri
1) Bertindak dengan tenang Membantu klien menenangkan emosi
dengan hangat, teguh, dan cara terstruktur agar merasa terlindungi
oleh konselor.
2) Dengarkan dan amati Membuat klien merasa didengar, diterima dan
dengan demikian dapat lebih mudah mengatasi keputusasaannya.
3) Ukur tingkat keparahan gangguan dan risiko kerusakan kepada diri
dan orang lain. Saat yang tepat menggunakan pedoman penilaian
risiko bunuh diri.
4) Nilai kekuatan dan kemampuan penyesuaian diri klien
5) Bantu menggali dan mengklarifikasi masalah yang membebani klien.
6) Bantu penyelesaian masalah dengan perencanaan yang tepat.
7) Spesifik pada ketersediaan diri anda tawarkan perjanjian lebih lanjut
sesuai kebutuhan dan mapankan rencana kedaruratan bersama klien
jika ia membutuhkan bantuan lanjutan.
c. Langkah Konseling Manajemen Bunuh Diri
186

Bersumber pada tahapan konseling pemecahanan masalah secara rinci


sebagai berikut:
1) Tetapkanlah masalah
2) Curah pendapat untuk berbagai pilihan pemecahan masalah
3) Analisis pilihan-pilihan pemecahan masalah (untung/rugi)
4) Tetapkanlah satu pilihan dan bagilah atau uraikan dalam langkahlangkah pelaksanaan yang dapat diikuti.
d. Tahap Pra Usaha Bunuh Diri
1) Tentukan kegawatan masalah dari hasil analisi penilaian risiko dan
periksalah apakah klien perlu dirujuk.
2) Kerjasama dengan petugas manajemen kasus HIV AIDS atau petugas
sosial yang membantu penyiapan rujukan.
3) Libatkan keluarga, teman atau tim yang mempermudah mobilisasi
sistem dukungan bagi klien
4) Siapkan kontrak untuk tidak melakukan bunuh diri (lisan atau tertulis)
untuk memastikan bahwa dalam jangka pendek klien tidak
melakukannya lagi.
e. Langkah selanjutnya untuk individu berisiko tinggi bunuh diri
adalah:
1) Pastikan pengawasan yang ketat dan tepat kepada klien, Jangan
tinggalkan klien sendiri walaupun sesaat. Rujuk pada psikiater atau
spesialis kesehatan jiwa guna perawatan terpadu rehabilitasi mental.
2) Keluarga dan teman mungkin dapat mengawasi dengan baik dan
memadai.
f. Langkah selanjutnya untuk individu berisiko rendah bunuh diri:
1) Pastikan individu mempunyai akses 24 jam ke pelayanan perawatan
klinis yang baik.
2) Jauhkan semua alat yang dapat dipakai untuk bunuh diri, Misalnya
tombak tradisional yang runcing, keris, pedang, tablet, bahan kimia,
mobil (ambil kuncinya), pisau, tali, dan senjata tajam lainnya. Jika
individu membutuhkan obat, pastikan ia bahwa aksesnya hanya pada
jumlah terbatas. Mintalah keluarga atau teman untuk mengawasinya .
3) Memperbaiki kembali harapan. Sampaikan pandangan bahwa semua
masalah dapat diselesaikan dan dorong agar motivasi hidup kembali

187

muncul. Gunakan metode pemecahan masalah berstruktur sebagai


ketrampilan penting bagi individu untuk dipelajari.
4) Intervensi lingkungan. Dorong klien berpartisipasi aktif dalam situasi
sekarang. Bantu yang bersangkutan untuk menyelesaikan setiap
konflik-konflik dengan orang lain dengan memberikan kontribusi
kepada masalah klien. Bantu yang bersangkutan untuk kemudian
mengatur waktu antara sesi terapi dan memastikan sesi sesering
mungkin, teratur, dan terencana
5) Selalu lakukan penilaian lanjutan
g. Tahap Pasca Usaha Bunuh Diri
1) Tangani masalah fisik klien
2) Periksa besarnya risiko dan tingkat risiko
3) Penerapan rencana jangka pendek dan jangka panjang untuk masa
depan
h. Konseling lanjutan jangka panjang untuk menyelesaikan situasi
krisis dalam bunuh diri.
Prinsip konseling krisis lanjutan:
1) Singkat
2) Terarah dan membutuhkan terapis yang aktif dan berproses bersama
klien
3) Berhadapan dengan jejaring klien, keluarga, dan sosial
4) Berfokus pada masalah klien sekarang
5) Berorientasi realitas - memungkinkan klien mempunyai persepsi
kognitif jelas akan situasinya.
6) Membantu klien lebih mengembangkan mekanisme adaptif untuk
penyesuaian diri ke masalah dan krisis masa depan.

i. Penanganan medik sesudah usaha bunuh diri gagal


Setelah melakukan usaha bunuh diri kesehatan fisik individu
harus dimonitor secara ketat oleh seorang dokter. Paramedis harus
mendapatkan informasi terkait dengan riwayat bunuh diri klien agar

188

mengetahui terapi pengobatan yang akan diberikan lebih lanjut kepada


klien.
Jika ditemukan adanya gangguan somatik(nyeri, sakit, rasa badan
tidaknyaman secara fisik tanpa sebab organik)konsultasikan ke dokter
atau paramedis)

MATERI INTI V
KONSELING LANJUTAN DAN BERKESINAMBUNGAN
I. DESKRIPSI SINGKAT
Salah satu peran Konselor VCT adalah melakukan konseling lanjutan dan
berkesinambungan yang membantu klien positif HIV untuk memperoleh hidup yang
berkualitas. Dalam materi ini akan dipelajari tentang bagaimana konselor dapat
membantu dan mengenali masalah psikososial yang biasa dialami klien positif terkait
189

dengan penerimaan diri, Adherence dalam pengobatan ARV, adiksi,

pasangan,

keluarga, nutrisi dan terapi perawatan serta mendeskripsikan kelanjutan perawatan.


Konselor juga perlu mengenali hubungan antara pengungkapan status, stigma dan
diskriminasi dan rujukan yang tepat dan hidup sehat bagi orang yang terinfeksi HIV.
II. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM :
Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu memahami fungsi dan arti dari konseling
lanjutan berkesinambungan meliputi pemberian informasi dalam pencegahan positif,
menerapkan konseling adherence, konseling adiksi, konseling penerimaan status,
konseling

keluarga

dan

konseling

dukacita.

III. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS :


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu:
1.

Memberikan informasi dalam menerapkan fungsi Pencegahan Positif

2.

Melakukan konseling adherence dalam kepatuhan minum obat

3.

Melakukan konseling bagi klien dengan status reaktif untuk menerima status

4.

Melakukan konseling Dasar Adiksi Napza

5.

Melakukan konseling bagi klien dengan pasangan dan keluarga

6.

Melakukan konseling dukungan menjelang kematian, dukcita dan berkabung

IV. POKOK BAHASAN :


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
1.

Pemberian Informasi Pencegahan Positif

2.

Konseling adherence dalam kepatuhan minum obat

3.

Konseling Penerimaan dan pembukaan Status

4.

Konseling Dasar Adiksi Napza

5.

Konseling Pasangan dan Konseling Keluarga

6.

Konseling Dukungan Menjelang Kematian, Duka Cita dan Berkabung

V. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1.

Curah pendapat

2.

Ceramah Tanya Jawab (CTJ)

3.

Main peran

190

VI.

MEDIA DAN ALAT BANTU

Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :


1.

Komputer

2.

LCD

3.

Bahan tayang (slide powerpoint)

4.

Modul

5.

Whiteboard/filpchart + spidol

6.

Skenario

VII. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


POKOK BAHASAN 1. Pencegahan Positif
Sesi 1: Pengkondisian
1.Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya menggunakan
bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Pencegahan Positif
Sesi 2: Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan penjelasan tentang Pencegahan positif (Positif prevention)
2. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian materi
Pencegahan positif
3. Fasilitator melakukancurah pendapat tentang pemahaman dan arti dari Pencegahan
positif
4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan
aktif seluruh peserta

191

Uraian Materi :
Pencegahan Positif
Perkembangan terapi ARV mampu menunjukkan adanya perbaikan kualitas hidup
orang terinfeksi HIV. Penggunaan ARV sebagai cara pencegahan penularan HIV dari
ibu ke anak telah membuka harapan baru bagi orang yang terinfeksi HIV. Namun hal
ini menjadi tantangan baru bagaimana memenuhi kebutuhan pencegahan bagi orang
yang terinfeksi HIV dan pasangannya.
Pencegahan positif lebih dimaksudkan/ditekankan pada orang yang terinfeksi HIV
(HIV positif) dan pasangannya Pada hakekatnya pencegahan positif bertujuan untuk
meningkatkan harga diri, kepercayaan diri dan kemampuan orang yang terinfeksi
HIV. Pencegahan positif harus diimplementasikan dalam suatu kerangka etis yang
menghargai hak dan kebutuhan akan hubungan seks dan pilihan kesehatan reproduksi
orang yang terinfeksi HIV serta didukung oleh peraturan yang melindungi hak - hak
orang yang terinfeksi HIV.
a. Prinsip Panduan Umum Pencegahan Positif
1) Pencegahan Positif didasarkan pada perspektif dan realita orang yang terinfeksi
HIV. Pencegahan positif seharusnya mengakui bahwa orang yang terinfeksi HIV
mempunyai hak untuk memilih apakah ia akan atau tidak akan berhubungan seks.
Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang rinci tentang seks sehingga dapat
membuat keputusan tentang bagaimana melakukan hubungan seks yang aman.
2)

Pencegahan Positif difokuskan pada komunikasi, informasi, dukungan dan

perubahan kebijakan, tanpa stigmatisasi pada orang yang terinfeksi HIV dari latar
belakang yang berbeda-beda.
3)

Pencegahan Positif membutuhkan keterlibatan dan partisipasi bermakna orang

yang terinfeksiHIV. Ini dapat dilakukan dengan memberi dukungan dan dorongan
agar mereka turut mendiskusikan, menentukan dan memutuskan setiap komponen
program dan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya. Oleh
karena itu perlu menjalin jejaring dan kemitraandengan pemerintah maupun
lembaga penyedia pelayanan.

192

4)

Pencegahan Positif perlu untuk memasukkan organisasi layanan HIV,

kelompok dukungan dan LSM ke dalam program HIV. Dalam hal ini sangatlah
penting untuk menyediakan informasi tentang seks aman, infeksi ulang, pilihan
kesehatan produksi, dampak pengobatan ARV, menyuntik yang aman tersedia pada
setiap organisasi pelayanan HIV termasuk rumah sakit, PKM, klinik, KB, LSM
dan kelompok dukungan
5)

Pencegahan Positif menjunjung hak asasi manusia, termasuk hak hidup sehat,

privasi, konfidensialitas, informed consent dan bebas dari diskriminasi. Di


samping

itu

juga memenuhikewajiban

dan tanggungjawab untuk

tidak

mencelakakan orang dengan cara tidak menularkanHIV.


6)

Pencegahan Positif mengakui penularan HIV diperbesar oleh ketidaksetaraan

gender, jabatan,seksualitas, pendidikan dan tingkat ekonomi.


7)

Pencegahan Positif menuntut tanggung jawab bersama dalam upaya

menurunkan tingkatpenularan. Keterbukaan, informasi dan komunikasi tentang


seksualitas dan hubungan seks bisamenjadi cara untuk menurunkan penyebaran
HIV lebih lanjut kepada pasangan atau orang lain.
b. Pentingnya Pencegahan Positif
1)Mendukung orang yang terinfeksi HIV untuk meningkatkan martabat dan percaya
diri dalammengambil keputusan-keputusan pilihan terbaik untuk kesehatan dan
kesejahteraannya.
2) Mencegah infeksi HIV baru
a) Semua penularan HIV berawal dari satu orang yang terinfeksi
b)

Mencegah penularan HIV pada seorang yang terinfeksi HIV mempunyai

potensi mencegah penularan yang multipel/berganda dibanding mencegah


penularan

pada

satu

orang

yang

tidakterinfeksi

HIV

karena

hanya

berpotensi mencegah penularan pada satu orang


c)

Perawatan saja kurang berdampak pada penularan akan tetapi lebih

berdampak bila dibarengi dengan pencegahan


d) Orang yang terinfeksi HIV masih aktif secara seksual
e)

Dengan berkeluarga berencana dan menggunakan kontrasepsi akan


mengurangi penularan dariibu ke anak

3) Meningkatkan kesehatan dan mengurangi sakit serta perawatan RS


a) Penularan dikalangan Odha dan/atau pemakai ARV dapat membawa
penularan HIV yangresisten ARV

193

b) Persediaan jenis ARV tertentu terbatas


c) Penularan ARV yang resisten membawa perubahan lini ARV yang lebih mahal
4) Mencegah penularan HIV yang resisten ARV
a)Mencegah terjadinya infeksi ulang HIV
b) Mencegah penularan HIV terkait kondisi yang membutuhkan perawatan
seperti misalnya IMS
5) Mendukung dan memberdayakan orang yang terinfeksi HIV dalam menentukan
dan
membuat keputusan yang terkait dengan kebutuhan dan kesehatannya.
c. Pencegahan Positif dan Komunikasi Perubahan Perilaku
Program pencegahan positif merupakan bagian dari komunikasi perubahan perilaku.
Ada 3 pesan kunci yang perlu dikomunikasikan dalam rangka perubahan perilaku,
yaitu:
1) Mencegah terjadinya penularan HIV dari orang yang terinfeksi HIV kepada
pasangan atau oranglain.
2) Mencegah penularan ulang HIV dan penularan infeksi lainnya di kalangan orang
yang terinfeksiHIV
3) Meningkatkan kualitas hidup terkait dengan rencana masa depan (termasuk
berkeluarga dankeluarga berencana)
Ketiga pesan kunci tersebut harus dilandasi pada kerangka pemberdayaan dan hak
asasi manusia orang yang terinfeksi HIV.
1)

Pencegahan penularan HIV kepada orang lain


a) Pilihan pencegahan HIV

Terdapat empat pilihan utama yang HARUS dilakukan untuk pencegahan HIV
bagi orang denganHIV:
Pilihan 1: Tidak mempunyai pasangan seks dan berhenti menggunakan napza suntIk
bergantian
Pilihan 2: Hanya berhubungan seks terlindung dengan satu pasangan dan
ataumenggunakan napza bukan suntik (substitusi)
Pilihan 3: Berhubungan dengan banyak pasangan dan selalu memakai kondom dan
atau selalu menggunakan jarum suntik baru
Pilihan 4: Melakukan aktivitas seksual tanpa penetrasiatau menggunakan Jarum
Suntik yang sudah didekontaminasi (bleaching)

194

b) Membuka status HIV kepada pasangan dan/atau orang lain

Membuka status HIV adalah hak orang yang terinfeksi HIV dan harus

dihargai.
Alasan dan tujuan membuka status HIV
Membuka status HIV kepada siapa
Dampak membuka status HIV
Cara mengungkapkan buka status HIV

c) Konseling kepada pasangan sero diskordan dan tes HIV


d) Informasi dan edukasi tentang seksualitas dan menyuntik yang aman
e)Konseling tentang kesehatan seksual
f)PMTCT termasuk konseling menyusui yang aman
g) Pertukaran jarum dan rumatan metadon
2) Mencegah infeksi ulang HIV, IMS dan infeksi lainnya :
Mencegah infeksi ulang HIV, IMS dan infeksi lainnya dapat dilakukan dengan,
a) Konseling Kepatuhan berobat
b) Pilihan pencegahan HIV
c) Profilaksis Co-trimoxazole
d) Pencegahan infeksi jamur
3)

Meningkatkan kualitas hidup

a)

Pengobatan ARV

b)

Konseling Kepatuhan berobat

c)

Konseling KB

d)

Nutrisi dan pola hidup sehat

e)

Pemeriksaan kesehatan secara rutin dan pengobatan IO

f)Dukungan dan konseling psikososial dan psikoseksual


g)

Konseling TB, pencegahan, skrining dan pengobatan.

e. Peran Konselor dalam Pencegahan Positif


Peran konselor dalam pencegahan positif secara umum sama dengan peran konselor
dalam memfasilitasi perubahan perilaku klien dengan status negatif atau non reaktif.
Komponen yang membedakan lebih pada peran bagaimana konselor memahami
perjalanan seseorang yang sudah terinfeksi HIV menuju AIDS. Konselor akan
membantu dan memfasilitasi klien untuk dapat membangun kemampuan diri dalam
pengambilan keputusan bijak dan realistik, menuntun perilaku mereka dan mampu
mengemban konsekuensi dari pilihannya dan memberikan informasi yang terkini.

195

Implementasi pencegahan positif kedalam program kegiatan dapat dibagi atas 4 tema
dan 15 strategi.
1)

Tema Pencegahan Positif

a)Promosi kesehatan dan dukungan pada tingkat individu


b)Akses dan peningkatan pelayanan
c)Mobilitas masyarakat
d)Advokasi dan perubahan
2)

Strategi Pencegahan Positif

a)Promosi kesehatan dan dukungan pada tingkat individu

Informasi, pendidikan dan pengurangan risiko


Konseling pasca tes dan lanjutan
Konseling bagi pasangan sero diskordan
Isu membuka status HIV

b)Akses dan peningkatan pelayanan

Konseling dan tes HIV


Perawatan dan terapi
Penyediaan suplai dan komoditas pencegahan (kondom pria-wanita, pelicin
berbahan

dasar

air,

jarum suntik)
Pengembangan jejaring dan rujukan

c)Mobilitas masyarakat

Pengembangan kelompok dukungan sebaya


Pelatihan pendidik dan konselor sebaya
Penguatan pencegahan positif melalui perawatan berbasis rumah dan

manajemen kasus
Penguatan pencegahan positif melalui HR dan LJSS

d)Advokasi dan perubahan

Melibatkan orang terinfeksi HIV dalam berbagai komponen dan tingkat

program
Advokasi pencegahan HIV
Menciptakan lingkungan (peraturan dan kebijakan) yang mendukung
pencegahan

positif

Pokok Bahasan 2. Konseling Adherence dalam Kepatuhan minum Obat


DESKRIPSI SINGKAT
Odha yang akan mengikuti terapi ARV memiliki perilaku dan kebiasaan yang berbeda
dan Terapi ARV

memungkinkan mereka hidup dalam kehidupan yang lebih


196

berkualitas dan produktif disebabkan Adherence yang tepat membuat Odha tidak
akan masuk kedalam fase Aids lebih cepat. Banyak orang berpikir bahwa membuat
perubahan hanya masalah membuat keputusan, tapi jika hal ini semudah itu mengapa
rumah sakit penuh orang yang mempunyai gaya hidup yang tidak sehat yang telah
membuat mereka sakit? Kenyataannya adalah, membuat perubahan yang terarah dan
bertujuan merupakan hal yang sukar.
Sistem dukungan akan mempengaruhi pola rumatan pada kepatuhan bila selalu ada
pendukung baik dari pasangan, keluaga maupun konselor dan kelompok
pendampingan dan peers group.
TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM :
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami dan menerapkan konseling
Adherence
TUJUAN

PEMBELAJARAN

KHUSUS

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:


1. Menjelaskan tentang kepatuhan minum obat
2. Menerapkan Tahap-tahap konseling adherence
SUB

POKOK

BAHASAN

Dalam pokok bahasan ini akan dibahas Sub pokok bahasan sebagai berikut:
1. Kepatuhan minum Obat
2. Tahap-tahap Konseling Adherence dalam kepatuhan minum obat

Sesi 1:

Pengkondisian

1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai
dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya menggunakan bahan
tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait adherence
Sesi 2:

Pembahasan

materi

1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan


melanjutkan
dengan

penjelasan tentang Pentingnya adherence dalam kepatuhanan minum obZat

197

2. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan kegiatan :


ALASAN SESEORANG TIDAK PATUH MINUM
OBAT
3. Fasilitator menjelaskan materi tetang kepatuhan minum obat dengan menggunakan
tayangan

power point sub pokok bahasan 1.mengenai Kepatuhan minum Obat

4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas


5. Fasilitator kembali menjelaskan kepada peserta materi pada sub pokok bahasan 2.
mengenai
tahap -tahap konseling kepatuhan minum obat
6. Fasilitator meminta peserta bergantian menbaca materi tentang tahap-tahap
konseling
kepatuhan minum obat
6. Fasilitator menjelaskan cara menggunakan form-form Adherence
7. Fasilitator mengajak dan menfasilitasi peserta untuk Tanya jawab mengenai materi
diatas
8. Fasilitator mengajak peserta mengikuti :
Kegiatan Materi Inti V.

ROLE PLAY KONSELING

Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan
materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah tercapai?.
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan

aktif

seluruh peserta
URAIAN MATERI
Subpokok bahasan 1. Konseling Adherence dalam Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan berobat adalah kemampuan klien untuk melakukan pengobatan sesuai
petunjuk medik.Artinya dosis, waktu dan cara pemberian tepat. Pengobatan yang
harus dilakukan untuk jangka panjang adalah hal yang biasa pada setiap penyakit
kronis, termasuk HIVAIDS. Pengobatan termasuk pemberian ARV, profilaksi atau
pengobatan untuk infeksi oportunistik. Pengobatan yang bermacam-macam
menghasilkan suatu rejimen kompleks yang harus diikuti oleh klien. Misalnya,
pengobatan ARV diberikan dalam bentuk kombinasi dua atau lebih jenis ARV.Bagi

198

klien, ketidak patuhan berobat mengakibatkan kegagalan pengobatan yang


menyebabkan resistensi dan terjadi kegagalan imunologik sehingga keadaan klinis
memburuk.Bila terjadi resistensi terhadap pengobatan maka pengobatan menjadi
tidak efektif atau berhenti bekerja sehingga diperlukan upaya baru untuk melawan
infeksi dengan obat lain atau obat yang sama dengan dosis berbeda atau
kombinasi, sementara persediaan jenis obat terbatas. Disamping itu mereka yang
resisten akan sulit untuk diobati. Dari sudut pandang ekonomi kesehatan, ketidak
patuhan berobat meningkatkan biaya berobat dengan mahalnya harga obat
pengganti dan lamanya perawatan di rumah sakit. Peningkatan kepatuhan berobat
akan memberi dampak besar bagi kesehatan masyarakat. Laporan WHO
mengatakan akan mudah dan murah melakukan intervensi kepatuhan berobat
secara konsisten dan hasilnya sangat efektif.Dalam terapi antiretroviral, kepatuhan
berobat merupakan kunci sukses suatu pengobatan.
WHO

merekomendasikan

kepatuhan

berobat

dipromosikan

sebagai

penyederhanaan rejimen, sesedikit mungkin jumlah obat, diberikan tidak lebih


dari dua kali sehari. Konseling lanjutan dan strategi konseling merupakan alat
untuk dapat meningkatkan kepatuhan pada rejimen pengobatan.
Faktor keberhasilan bagi kepatuhan berobat meliputi: tindak lanjut, karakteristik
hubungan antara petugas kesehatan dan pasien, pendidikan dalam manajemen diri
sendiri, program manajemen farmasi, perawat, apoteker/asisten apoteker dan
petugas kesehatan profesional non medik lainnya membuat protokol intervensi,
konseling, intervensi perilaku, dan tindak lanjut.
a. Karakteristik hubungan antara petugas kesehatan dan pasien
1)

Bina hubungan secara umum

2)

Kualitas informasi yang disampaikan

3)

Keterampilan bahasa dan komunikasi

4)

Cara mendengarkan

5)

Waktu konsultasi

6)

Setting klinik

7)

Cara bertukar informasi, misalnya tanya jawab

8)

Sikap pasien dan petugas kesehatan, petugas kesehatan sering membuat


pasien merasa rendah diri sehingga pasien merasa dikendalikan

199

Pada tempat yang tidak memungkinkan dokter-pasien melakukan konsultasi,


konselor dapat membantu mendukung dengan cara melakukan penilaian pra
terapi, memonitor kepatuhan, pendidikan pasien dan konseling guna mengatasi
kesultan akan kepatuhan yang terjadi

b. Edukasi Pasien
Ketika dokter menulis resep, penting diingat bahwa pasien harus
memahami:
1) Jenis pengobatan
2) Manfaat obat
3) Lamanya pengobatan
4) Efek samping yang mungkin terjadi banyak pasien berhenti minum
obat karena menderita efek samping yang sebelumnya tidak
diantisipasi
5) Bagaimana cara minum obat yang benar
6) Konsultasi rutin

Medikasi yang benar mereka mengambil medikasi yang cocok untuk penyakitnya.
Ketika mereka mencampur obatnya dalam satu wadah atau kemasan untuk pagi, dan
malam misalnya, mereka harus paham betul nama obat, warna dan bentuk, dosis, agar tak
terjadi kebingungan.
Cara yang benar bahwa obat betul masuk tubuh sesuai anjuran, yakni dengan cara
ditelan, atau dikunyah, dihisap, dioles di kulit, disuntikkan dan sebagainya . Beberapa
medikasi harus masuk pada saat lambung kosong, artinya 30 menit sebelum makan atau
1 jam sesudah makan. Ada obat yang harus dimakan bersama makanan, artinya
bersamaan dengan makan atau makanan kecil.
Jumlah yang benar dosis yang ditelan harus tepat, jangan melebihi aturan, atau kurang
dari aturannya. Ada pendapat salah mengatakan makin banyak diminum cepat sembuh,
atau untuk menghemat obat maka dimakan sedikit kurang dari ketentuan dosis.
Waktu yang tepat mereka harus minum obat pada jam yang ditentukan, misalnya setiap
empat jam. Lebih baik jika dituliskan waktu minum obat agar tidak membingungkan
misalnya pukul 08.00, 12.00, 16.00 atau 20.00

200

c. Strategi Perilaku
Beberapa saran untuk membantu mengatur pengobatan adalah sebagai
berikut :
1) Membuat jadual pengobatan. Gunakan kalender atau buku harian
untuk membantu penggunaan obat sesuai aturan seperti kapan
diminum dan bagaimana caranya. Misalnya mulai minggu pertama
tulis dosis lalu beri tanda pada kalendar kalau hari itu obat sudah
diminum.
2) Bagi obat dalam jumlah harian atau mingguan. Dapat juga dimasukkan
dalam wadah kemudian diberi label. Petugas kesehatan dapat
membantu pada awalnya.
3) Minumlah obat pada jam yang sama setiap hari (sesuaikan dengan
petunjuk)
4) Minum obat dimasukkan dalam jadual rutin harian klien seperti
sesudah makan atau akan pergi kerja atau pulang kerja (sesuaikan
dengan petunjuk)
5) Rencanakan kapan membeli obat lagi, sehingga persediaan tak sampai
kosong dan dosis terlewati.
6) Jika bepergian, jangan lupa bawa obat dan bawa cadangan juga untuk
menjaga bila hilang.
7) Minum obat dijadikan prioritas setiap hari.
8) Membangun keterampilan dan mendorongnya untuk minum obat lebih
teratur, menggunakan alat bantu manajemen diri sendiri. Buat klien
merasa senang dan sebagai individu tampil beda. Gunakan dukungan
sosial, konseling, kunjungan rumah dan mintalah bantuan anggota
keluarga.

Sub pokok bahasan 2.


Tahapan dalam melakukan konseling Adherence

201

Konseling Adherence merupakan salah satu mata rantai dalam proses pemberian
ARV, sebelum akhirnya pasien mendapatkan comprehensive treatment plan ,
peresepan ARV dan pasien pulang dengan membawa ARV dan akan memulai
pengobatan untuk seumur hidup. Karakteristik dari virus HIV yang selalu bermutasi,
mudah terjadinya resisten pada pengobatan ARV jika pasien tidak minum dengan
benar ( mendapatkan ARV yang tepat, rejimen yang tepat, dosis yang adekuat serta
cara minum obat yang benar), terbatasnya pilihan ARV yang ada di Indonesia serta
pendanaan yang terbatas, maka Adherence mutlak harus di evaluasi sebelum
seseorang di putuskan dinyatakan memenuhi syarat secara medis dan non medis.
Alur pasien di layanan rumah sakit terbagi 2 yaitu untuk pasien baru dan pasien lama.
Pemberian konseling pada pasien lama dan baru mempunyai tujuan yang berbeda,
dimana pada pasien baru akan dilakukan hal sebagai berikut :
1. Testing HIV
2. Pemeriksaan

klinis

untuk

mencari

infeksi

oportunistik,

pemberian

kotrimoksasol profilaksis dan penentuan stadium


3. Konseling Adherence
4. Peresepan ARV
Pada pasien lama atau pasien yang telah mendapatkan ARV, pada setiap kunjungan
dilakukan:
1. Pengkajian cara pasien minum obat dan memastikan obat yang diberikan
diminum
2. Evaluasi efek samping
3. Pemeriksaan fisik oleh dokter untuk memastikan tidak lagi dijumpai infeksi
oportunitik
4. Bantuan psikologis atau sosial lainnya jika dibutuhkan dan rumah sakit
mempunyai sarana dan jaringan kerja
5. Evaluasi penyebab drop out pada pasien lama yang drop out atau putus obat
Keterlibatan sesama odha pada konseling, dapat dipertimbangkan pada pasien lama
yang mengalami putus obat, keterlibatan tersebut dapat berupa bantuan evaluasi
aspek non medis yang tidak dapat dijangkau oleh petugas kesehatan, misal untuk
mendapatkan informasi apakah pasien masih sering menggunakan napza.

202

ALUR PELAYANAN UNTUK PASIEN BARU YANG AKAN MENDAPAT ARV


Pasien sudah mendapatkan
konseling dan mau di lakukan
testing

Rujuk ke lab untuk


dilakukan testing HIV

Reaktif

Dokter melakukan
pemeriksaa fisik,
pengobatan IO,
pemberian kotrimoksasol
dan menentukan stadium

Non reaktiReaktif

Kembali ke konselor
untuk perubahan
perilaku

Konseling adherence
dalam 4 tahap

203

Eligible untuk
mendapatkan
ARV

Tidak eligible
untuk
mendapatkan

Kembali ke
dokter untuk
peresepan ARV

Kembali ke dokter
untuk kotri
profilaksis

ALUR PASIEN LAMA YANG TELAH MENDAPAT ARV

Pasien HIV +,sudah


mendapat ARV, datang
untuk follow up ARV

Pendaftaran Mencari catatan


medik

Perawat

Memeriksa tanda vital


Melakukan pengecekan obat yang diminum
Informasi pencegahan penularan

Informasi tentang ARV secara umum

Dokter

Konselor

Cek pengobatan yg diterima


Pemeriksaan fisik lengkap
dan diagnosis
Konseling singkat ttg ARV
dan adherence
Pengobatan OI jika ada
Kotrimoksasol profilaksis

Informasi pencegahan
penularan

Evaluasi hambatan
adherence
Evaluasi psiko-sosial
Re-konseling
adherence
Buat perencanaan pada
pasien yg tidak patuh
Informasi pencegahan
penularan

Manajer
kasus/Pekerja
sosial

Kunjungan
rumah bagi
yg tidak
ambil ARV
Evaluasi
masalah204
sosial

Farmasi

Pengkajian resep

Informasi ttg cara minum obat dan efek


samping

Rujuk ke dokter/konselor jika ragu pasien


adhere

Meihat semua tantangan diatas, maka pemberian konseling Adherence dilakukan


dalam beberapa tahap agar pasien atau keluarga pasien mengerti rencana pengobatan,
mengambil keputusan dengan sadar untuk memulai pengobatan dan dapat membantu
tenaga kesehatan untuk patuh minum obat untuk seumur hidup
Posisi konselor Adherence dalam hal ini adalah berada pada tahap akhir sebelum
pasien mendapatkan resep dan obat ARV. Jika kita melihat pada alur layanan diatas,
pasien bisa diasumsikan telah melewati banyak tahap yaitu
1. Evaluasi perilaku dan konseling oleh konselor
2. Pemberian informasi HIV, pencegahan dan konseling oleh konselor
3. Pemeriksaan kesehatan baik fisik maupun mental oleh team medis
4. Penjelasan mengenai infeksi oportunistik yang diderita, pengobatan dan
pemberian kotrimoksasol untuk profilaksis oleh dokter
5. Penjelasan untuk perawatan di rumah oleh perawat
6. Penjelasan singkat oleh dokter untuk semua hal yang berkaitan dengan
rencana pemberian ARV termasuk didalamnya penentuan rejimen, evaluasi
interaksi obat, penjelasan efek samping dan cara minum obat

205

Konseling Adherence di lakukan sebagai tahap akhir sebelum pasien mendapatkan


resep dan obat ARV, dengan penekanan untuk evaluasi non medis yang akan
berdampak terhadap Adherence. Pada posisi ini, konselor tetap melakukan evaluasi
singkat! dengan melakukan assesmen untuk kondisi kejiwaan, personality dan Napza,
evaluasi tersebut HANYA untuk memastikan bahwa pasien secara mental tidak
sedang dalam kondisi depresi, cemas, Napza. Jika ditemukan maka konselor harus
merujuk kembali kepada team yang berkompetensi untuk menanggulangi hal ini dan
tidak diijinkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Jika pasien mempunyai keluarga dan diterima oleh keluarga, pada tahap ini konselor
harus mempersiapkan keluarga untuk membantu minum obat. Jika pasien tidak
mempunyai keluarga atau ditolak, konselor harus mampu melihat jejaring yang
tersedia di tempat konselor bekerja dan menghubungkan pasien dengan jejaring
tersebut untuk membantu minum obat dalam satu periode tertentu dan batasan yang
bisa dilakukan oleh jejaring. Sangat tidak mungkin sebuah jejaring mendampingi
pasien selamanya.
Tahapan dan kegiatan yang dilakukan dalam pemberian konseling Adherence adalah

Tahap pertama
Pada pertemuan pertama konselor melakukan kegiatan sbb
1. Pengkajian di catatan medis untuk melihat apa saja tindakan yang telah
diberikan dan melihat rencana dokter untuk memberikan ARV
2. Melakukan pengkajian singkat dan cepat untuk kondisi mental, personaliti dan
kemungkinan pasien masih menggunakan Napza
3. Mengkaji pengertian dan persepsi pasien tentang penyakit yang diderita dan
informasi yang pernah diterima dari team lain
4. Mengkaji persepsi keluarga tentang kondisi yang diderita oleh pasien. Jika
keluarga pasien terlihat keberatan untuk merawat, dilakukan konseling untuk
merubah persepsi pihak keluarga dan persiapan untuk melihat jejaring mana
yang dapat diperkenalkan kepada pihak pasien dan keluarga jika selama sesi
keluarga masih keberatan untuk membantu pasien.
5. Tidak mengulangi semua rangkaian proses agar pasien tidak bosan
6. Meyakinkan pasien untuk aspek konfidensialitas tidak akan keluar dari system
pelayanan kesehatan.

206

Pengkajian cepat untuk evaluasi mental, personality dilakukan dengan cara

anamnesa sederhana , atau menggunakan STATUS MINI MENTAL (Mini Mental


State). Gangguan jiwa yang diderita bisa disebabkan karena efek Napza
(Narkotika,Alkohol,Psikotropika,dan Zat Aditif lainnya), karena penyakit infeksi
oportunistik dan karena beban mental yang disebabkan oleh status HIV yang
disandang
Gangguan jiwa yang sering terjadi dan perlu dianalisa adalah :
1. Anxietas, tampilan gejalanya adalah Perasaan tegang dan tak nyaman yang
sulit diterangkan karena tak dapat diidentifikasi ,mungkin berkembang jadi
Serangan Panik
2. Depresi, tampilan gejalanya adalah murung, rendah diri, merasa tidak mampu,
merasa tidak berharga, menyalahkan diri sendiri, pesimistik, pola tidur
abnormal dan sering terbangun, sulit konsentrasi, bangun tidur pagi rasanya
malas
3. Gangguan afektif adalah gangguan suasana perasaan pada pasien seperti
depresi berat, kecemasan, rasa senang berlebihan
4. Dual diagnosis yaitu didapat
a. gangguan jiwa diikuti penyalahgunaan zat
b. enyalahgunaan zat dengan gejala sisa patologis
c. diagnosis primer yang dual
d. ,keadaan beberapa etiolgi sekaligus
5. Schizofrenia, tampilan gejalannya waham, pikiran kacau, persepsi terganggu,
emosi tidak serasi, gangguan persepsi
6. Paranoid, tampilan gejalanya adalah Mudah curiga, meragukan kesetiaan
orang lain, merasakan ada ancaman tersembunyi dari pihal lain, sangat sensitif
7. Anti sosial, tampilan gejalanya adalah Suka melanggar norma-norma sosial,
suka berbohong, impulsif, agresif, nekad, tidak bertanggung jawab, tidak
menyesal
8. Obsesif kompulsif, tampilan gejalanya adalah : Selalu memikirkan hal-hal
yang rumit, aturan-aturan, memperlihatkan sifat perfeksionistik untuk
menyelesaikan sesuatu
9. Gangguan Kepribadian/personaliti yang terbagi menjadi personaliti histrionik
( datar, atensi emosional), personaliti narsisitik ( fantasi dan ide besar bahwa
diri merasa penting), Ambang ( identitas, emosi dan relasi tidak stabil).

207

Hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan gangguan jiwa adalah bahwa :
1. Gangguan jiwa yang terjadi harus dibedakan dengan memang disebabkan
karena faktor psikologis atau gangguan jiwa yang disebabkan karena
penggunaan obat psikotropika atau keduanya
2. Gangguan jiwa harus dibedakan dengan tanda gejala putus obat ( withdrawel
syndrom )
Tujuan dari pengenalan gangguan jiwa ini adalah untuk dapat membuat strategi guna
membantu pasien minum obat, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah
dengan melibatkan keluarga atau orang yang dekat dengan pasien. Jika tidak
memiliki keluarga, maka pasien harus dirujuk untuk penanganan gangguan jiwa.
Secara umum sulit untuk membedakan gangguan jiwa yang timbul karena obat Napza
dengan faktor psikologi karena tampilan gejalanya sama.Jika pasien didapat masih
aktif menggunakan Napza, maka konselor merujuk kepada unit psikiatri atau dokter
yang telah terlatih untuk penanganan Napza.
Selain gangguan jiwa, hal yang dapat mengganggu Adherence ialah pengaruh Napza.
Napza bisa menyebabkan gangguan dalam Adherence dengan cara
1. Penggunaan dari beberapa jenis Napza jangka panjang akan menyebabkan
kerusakah otak dan gangguan jiwa
2. Efek kecanduan, pada kondisi withdrawal, pasien akan lebih mencari Napza
daripada ARV
Narkotika yaitu :
1. Opiat ; madat, candu, morfin, heroin
2. Canabis ; Ganja, hashis
3. coca ; kokain
Alkohol yaitu :
Minuman yang berasal dari peragian dan mengandung ethanol, dalam jumlah tertentu
akan menyebabkan mabuk dan bila diminum dalam waktu relatif lama akan
menyebabkan kerusakan hati dan pada beberapa kondisi mengakibatkan gangguan
kepribadian.
Obat psikotropika terbagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Golongan Amphetamin : Ektasy (XTC), Inex, shabu
2. Golongan Obat tidur: Pil BK, Mogadon, Dll
3. Golongan Obat penenang: Lexotan, Valium, dll
Zat Aditif yaitu :
1. Inhaler (thiner, lem dll)

208

2. Nikotin (rokok)
3. Kafein (kopi, teh )
Napza dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Golongan depresan : Heroin, Zat Aditif/obat-obat penenang
2. Golongan stimulan : Cocain, derivat Amphetamin (shabu, ekstasy)
3. Golongan halusinogen : Alkohol, ganja, LSD, Kecubung, jamur
Dampak psikotropika dan Halusinogen yang tersering adalah gangguan perilaku
sampai dengan gangguan kepribadian atau gangguan jiwa organik
Dampak narkotika yang tersering adalah infeksi Hepatitis C, HIV

dikarenakan

sebagian besar pengguna , biasa menyuntikan heroin secara bergantian dan tentu saja
gannguan perilaku.
Beberapa cara pemakaian Napza yang lazim dilakukan pengguna napza :
1. disuntik ; Heroin, shabu, penenang
2. dihisap : ganja/canabis, shabu, heroin
3. dihirup : Halusinogen (LSD), cocain
4. ditelan : obat tidur, obat penenang, LSD, ektasy
5. ditempelkan : stimulantia, analgetik kuat
6. dimakan : jamur, bunga kecubung, pinang
Beberapa hal yang harus selalu diingat adanya interaksi dan efek samping tumpang
tindih antara ARV dan napza, seperti :
1. EVP meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri
2. NVP berisiko terjadinya hepatotoksisitas pada ODHA dengan ko-infeksi
HCV/HBV
3. Kenaikan konsentrasi zidovudine 40% bila diberi bersama-sama dengan
methadone
4. Penurunan didanosine 60% dengan penggunaan bersama methadone
5. Penggunaan methadone dengan rifampisin menurunkan kadar methadone 50%
6. NVP, EVP dapat mengakibatkan putus zat opiat yang hebat pada beberapa
kasus karena penurunan efek methadone
Jika dalam kajian awal didapat data bahwa pasien masih dalam kondisi psikotik,
depresi, cemas, gangguan maladaptif maupun gangguan kepribadian lainnya
termasuk penggunaan napza aktif maka pasien direncanakan untuk dirujuk kepada
team yang berkompetensi yang tersedia di tempat konselor bekerja.

209

Jika dalam kajian awal pasien tidak didapat gangguan jiwa dan dievaluasi dapat
melanjutakan ke tahap kedua maka pada akhir sesi, konselor membuat jadwal untuk
kunjungan berikut dan memberikan gambaran apa yang akan dilakukan pada tahap
kedua.
Tahap kedua
Pada pertemuan kedua, konselor melakukan kegiatan
1. Pengkajian lebih dalam tentang persepsi pasien mengenai HIV, penularan dan
cara pencegahan untuk tidak menularkan kepada orang lain.
2. Menjelaskan rencana pemberian ARV yang telah ditetapkan oleh dokter dan
rencana pemeriksaan laboratorium sehubungan dengan terapi ARV
3. Menjelaskan semua aspek yang berhubungan dengan ARV termasuk
didalamnya rejimen yang akan diberikan, dosis, cara minum obat, interaksi
dengan makanan, logistic pasien jika hendak bepergian, efek samping yang
mungkin timbul dan tindakan yang harus diambil oleh pasien/keluaga pasien
jika timbul efek samping.
4. Analisa aspek sosial lain yang dapat menghambat Adherence dan solusinya
jika memungkinkan
5. Memberikan informasi tentang hepatitis B, C jika pasien menderita ko- infeksi
hepatits B maupun Hepatitis C
Tahap ke tiga
Pada pertemuan ketiga, konselor meminta pasien dan keluarga pasien untuk
mengulang apa yang sudah didapat pada pertemuan pertama dan kedua. Jika sudah
benar, maka tahap berikutnya adalah memberikan kesempatan untuk bertanya tentang
sehubungan dengan penyakit dan rencana pengobatan. Informasi dasar mengenai
kewaspadaan universal dapat diajarkan pada pertemuan ini untuk mengurangi
ketakutan dari keluarga pasien untuk tertular HIV.
Konselor pada pertemuan ketiga ini, jika pada pertemuan pertama dan kedua berhasil
menggali informasi, mendapatkan kepercayaan, pasien mau terbuka, akan bisa
menentukan apakah pasien akan direkomendasikan untuk mendapatkan ARV atau
tidak.
Tahap ke 4

210

Pada pertemuan terakhir, konselor kembali menjelaskan ulang seluruh rencana


pemberian ARV, efek samping, cara minum obat dan evaluasi terakhir ( jika memang
ini dianggap pertemuan terakhir) untuk semua aspek non medis yang dapat
menghambat Adherence dan yang dapat di atasi oleh konselor dan system layanan
yang ada di tempat konselor bekerja baik layanan kesehatan maupun pelayanan
sosial.
Konselor harus mengambil keputusan apakah pasien memenuhi syarat non medis
untuk ARV. Jika memenuhi syarat, maka konselor melaporkan secara verbal dan
tertulis kepada dokter agar ARV dapat diresepkan dan di berikan kepada pasien.
Jika tidak memenuhi syarat, konselor perlu melaporkan secara verbal dan tertulis
dengan informasi detail apa yang menyebabkan pasien tidak memenuhi syarat disertai
dengan rekomondasi apa yang seharusnya dilakukan oleh team dan konselor
termasuk bagian dari team tersebut.
Pada kasus anak, terutama pada anak dibawah12 tahun, konselor melakukan kajian
terhadap orang tua atau pengampu. Aspek yang di kaji dan tahapan adalah sama
seperti orang dewasa yang akan mendapatkan ARV.
Jika dalam kajian, konselor mendapatkan bukti bahwa orang tua atau pengampu tidak
dapat bertanggung jawab untuk konseling Adherence ( adherence), maka hal ini harus
dibawa kepada tim medis untuk dirundingkan bersama dalam upaya mencari solusi
yang tepat. Meminta keluarga dekat yang lain dapat merupakan salah satu solusi.
Pada kasus ibu hamil yang akan mendapatkan ARV untuk tujuan pengobatan,
konselor juga memberikan dan melengkapi informasi yang mungkin telah diberikan
mengenai

ASI dan PASI.

Proses persalinan.

Imunisasi pada anak.

Pemberian ARV untuk profilaksis pada bayi.

Pemberian kotrimoksasol.

Rencana tindak lanjut sampai anak mencapai usia 18 bulan untuk dilakukan
testing HIV.

Pada pasien yang rajin dan rutin mengambil dan minum obat, harus diingatkan secara
teratur oleh semua petugas kesehatan untuk tetap patuh minum obat. Menyediakan
waktu untuk berkomunikasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan.

211

Pada pasien yang mengalami putus obat (drop out), konseling Adherence harus
dilakukan secara lebih teliti sebelum diputuskan untuk memberikan ARV kembali.
Pada kasus putus obat, evaluasi dilakukan dengan metoda 5 A yaitu
1. Asses (mengkaji)
2. Advice (menyarankan)
3. Agree ( menyetujui)
4. Assistance ( membantu)
5. Arrange (menata)
Pada kasus putus obat, terutama jika pasien berasal dari kelompok berisiko seperti
penasun, jika pada daerah tersebut ada kelompok sebaya, dan jika konselor
mempertimbangkan perlunya keterlibatan kelompok sebaya, untuk menggali
informasi lebih jauh sebelum dilakukan evaluasi dan diberikan ARV kembali,
konselor dapat meminta kelompok sebaya untuk mengevaluasi pasien drop out. Hasil
evaluasi, analisis dan rekomendasi diberikan secara tertulis kepada konselor di rumah
sakit untuk menjadi bahan pertimbangan.
Evaluasi pada kasus putus obat, lebih ditekankan untuk melihat
1. Motivasi diri pasien
2. Masalah psikologi dan sosial
3. Menilai kemungkinan pasien relaps dalam penggunaan napza
Jika dalam evaluasi, konselor mendapatkan bukti bahwa pasien belum dapat minum
obat secara teratur dan terus menerus, maka penundaan pemberian ARV untuk kedua
kalinya dapat dipertimbangkan dan direkomendasikan.
Jika ARV ditunda untuk diberikan, maka kotrimoksasol diberikan kembali untuk
tujuan profilaksis.
Pengobatan ARV yang diberikan mengacu kepada Pedoman Terapi ARV Nasional
Kementerian Kesehatan RI

Informed Consent dalam konseling Adherence


Semua pasien sebelum menjalani terapi ARV harus memberikan persetujuan
tertulisnya.
Aspek penting didalam persetujuan tertulis itu adalah sebagai berikut:

212

1. Pasien telah diberi penjelasan cukup tentang, keuntungan, risiko dan dampak
sebagai akibat dari tindakannya dan pasien menyetujuinya.
2. Pasien mempunyai kemampuan menangkap pengertian dan mampu
menyatakan persetujuannya (secara intelektual dan psikiatris).
3. Pasien tidak dalam paksaan untuk memberikan persetujuan meski konselor
memahami bahwa mereka memang sangat memerlukan ART
4. Untuk pasien yang tidak mampu mengambil keputusan bagi dirinya karena
keterbatasan dalam memahami informasi maka tugas konselor untuk berlaku
jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi sehingga pasien
memahami
5. dengan benar dan dapat menyatakan persetujuannya.

Referensi :
1. Manual for primary care providers: effectively caring for active substance
User
2. Delivering HIV care and Treatment for people who use drugs
3. International Harm Reduction development Program, Open society Institute
4. Sperry, L.dkk. 2nd.ed. Health Promotion and Health Counseling. Effective
Counseling and Psychotherapeutic Strategies.Boston: Pearson Education,
Inc.28-29.
Buku Pedoman Nasional Terapi AntiRetroviral , Kementerian Kesehatan RI,
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan penyehatan Lingkungan
5.

Buku Pedoman surveilens HIV/AIDS , Kementrian Kesehatan RI, Direktorat


JendralPengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

6.

Buku Pedoman TB-HIV, Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jendral


Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

213

POKOK BAHASAN 3. KONSELING PENERIMAAN DAN PEMBUKAAN


STATUS
Tujuan Pembelajaran umum :
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1. Memahami tentang penerimaan status pada Klien
2. Memahami tentang pembukaan status dari klien
SUB POKOK BAHASAN :
Dalam pokok bahasan ini akan dibahas Sub pokok bahasan sebagai berikut:
1. Konseling penerimaan Status
2. Konseling pembukaan Status
Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya menggunakan
bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Penerimaan dan Pembukaan Status
Sesi 2: Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan penjelasan tentang Penerimaan dan Pembukaan Status
2. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian materi
Penerimaan dan Pembukaan Status

214

3.Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas


Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan
aktif seluruh peserta
URAIAN MATERI
Konseling

Penerimaan

dan

Pembukaan

Status

Sub pokok bahasan 1.Konseling Penerimaan Status


Ketika penyakit terus berlanjut, klien positif HIV atau kita lebih mengenalnya
sebagai orang dengan HIV harus menyadari bahwa virus HIV akan berada
dalam tubuhnya untuk selamanya. Progresivitas HIV menjadi AIDS
membangkitkan reaksi psikologis dan berdampak pada gaya hidup mereka
sampai suatu saat dapat mencetuskan krisis.
Penerimaan status HIV sangat penting agar klien dapat merencanakan kualitas
hidupnya dimasa datang dengan baik.
Konselor akan membantu klien untuk:
1) MenerimastatusHIVagardapatmeneruskankehidupandanmerencanakanpeningka
tankualitashidup
2) Terhubung dengan Odha lain
3) Memulai perawatan, dukungan dan pengobatan
4) Mengurangi perasaan terisolasi
5) Menerima diri sendiri (Self-acceptance) secara bertahap dan akhirnya kembali
pada kehidupan yang wajar termasuk mendapatkan kehidupan seksual yang
sehat dan aman
Melalui kemampuan menerima status diri, maka klien lebih mudah masuk pada
peningkatan kapasitas diri untuk membuka status kepada orang atau lembaga
yang diyakini tepat, memotong mata rantai penularanmelalui komitmen diri
dan mendapatkan kenyamanan dalam situasi dan kehidupan yang dijalani.
Dipastikan dengan menerima status diri, klien akan lebih mudah mendapatkan

215

akses kesehatan, psikososial lanjutan dan dukungan ekonomi melalui program


pemberdayaan.

Sub pokok Bahasan 2. Membuka Status HIV


Membuka status kepada orang dan layanan yang tepat merupakan bagian
penting dari pemberdayaan diri. Beberapa latar belakang orang membuka
status HIV diantaranya untuk:
1)

Mengurangi rasa terisolir

2)

Meningkatkan penerimaan diri (self-acceptance)

3)

Mendapatkan kehidupan seks yang aman dan sehat

4)

Merencanakan mempunyai anak dengan aman

5)

Merencanakan masa depan dan keluarga

6)

Mendapatkan pengobatan ARV, pelayanan manajemen kasus, rujukan


kepada kelompok dukungan dan layangan lanjutan lainnya
Walaupun seorang dengan HIV memutuskan untuk tidak membuka statusnya,
sangatlah penting bagi klien positif untuk mampu melindungi kesehatannya
dan pasangan seksnya atau teman menyuntik bersama. Membuka status HIV
harus dilakukan berdasarkan kesadaran dan pilihan atas keputusan sendiri.
Membuka status merupakan bagian penting dalam mendorong komunitas
untuk bertindak dalam memutus rantai penularan HIV. Membuka status dapat
membantu orang lain untuk mulai menerima HIV sebagai bagian dari
kehidupannya, menilai pikirannya serta perbuatannya masing-masing.
Membuka status dapat membantu mereka dengan HIV untuk merencanakan
masa depan.Membuka status adalah kegiatan penting untuk mengenali siapasiapa saja yang akan diberitahu dan siapa yang tidak perlu mendapatkan
informasi.
Ada berbagai tipe orang yang mungkin akan mendapatkan informasi tentang
status HIV, yaitu:

1)

Lingkaran Dalam Orang yang kita percayai dan akan membantu kita
dalam kondisi apapun.

216

2)

Lingkaran Menengah Orang yang tidak terlalu dekat tetapi penting


membuka status agar kita mendapatkan layanan dan dukungan yang
diperlukan. Mungkin saja sangat penting, penting atau tidak penting bagi
anda untuk membuka status HIV kepada orang-orang tersebut.

3)

Lingkaran Pendukung Pendukung ini dapat diberikan oleh orang dan


layanan pendukung yang klien dengan HIV rasakan bahwa dukungan yang
diberikan mampu meningkatkan kapasitas dirinya. Misalnya, organisasi
Orang dengan HIV atau organisasi pendukung orang dengan HIV lainnya.

ODH
A

Membangun penerimaan diri adalah hal vital bagi kesejahteraan dan kesehatan
seksual pada orang yang terinfeksi HIV. Hal ini karena membantu membangun lebih
banyak dukungan dan gambaran komunitas yang nyata. Setiap orang mengetahui
situasi yang sesungguhnya berkaitan dengan HIV, memahami perilaku yang
mempunyai risiko dan yang tidak dan dapat mengambil tindakan untuk melindungi

diri dari Pendukung:


infeksi-infeksi
lainnya
ngkaran dalam: keluarga,
Lingkaran
sahabat,
ataupun orang
Karena
yangstatus
diyakini
HIV,
Odha
Odha menjadi mengenal dukungan yang lu

POKOK BAHASAN 3.KONSELING DASAR ADIKSI NAPZA


Deskripsi Singkat

Lingkaran Menengah : Konselor, Petugas Kesehatan dan Atasan

217

Kondisi HIV-AIDS pada pengguna Napza atau sebaliknya, riwayat


penggunaan Napza pada orang dengan HIV-AIDS seringkali menimbulkan tantangan
yang tidak sedikit. Beberapa hal yang secara spesifik terkait dengan kedua kondisi
tersebut adalah:
1. Kedua penyakit termasuk dalam kategori kronis yang berarti merupakan
penyakit yang bersifat jangka panjang
2. Gangguan penggunaan Napza adalah perilaku berisiko yang utama dalam
infeksi HIV
3. Diagnosis HIV bagi mereka yang berada dalam proses pemulihan gangguan
penggunaan Napza seringkali merupakan stressor yang sangat signifikan yang
dapat mendorong yang bersangkutan kembali pada penggunaan Napzanya
Kondisi HIV-AIDS dan gangguan penggunaan Napza membutuhkan perawatan fisik
dan konseling kejiwaan yang ekstensif.
Tantangan terbesar dalam melaksanakan konseling adiksi Napza dengan
komorbiditas HIV-AIDS adalah sikap resistensi petugas. Pada umumnya petugas
sering memandang pasien dengan gangguan penggunaan Napza (pengguna Napza)
sebagai individu yang manipulatif, sulit diajak bekerjasama, serta susah melakukan
perubahan perilaku apalagi mempertahankan perilaku positifnya. Sekalipun tidak
sepenuhnya salah, pada kenyataannya hubungan kolaboratif dengan pengguna Napza
dapat dilakukan dalam banyak situasi, termasuk dalam proses konseling. Tidak
sedikit pengguna Napza yang dapat berhenti dari perilaku penggunaan Napzanya dan
bekerja secara produktif. Resistensi petugas dapat tercermin dari perilaku petugas
yang tidak kondusif bagi proses konseling itu sendiri. Di lain pihak, resistensi petugas
juga sering memancing timbulnya respons negatif dari klien dalam hal ini khususnya
adalah pengguna Napza. Untuk itu setiap petugas yang bekerja dalam isu HIV-AIDS
perlu memahami teknik dan strategi bekerja dengan pengguna Napza.

Tujuan Pembelajaranumum :
Pada akhir sesi, peserta mampu melakukan konseling dasar adiksi Napza, khususnya
intervensi singkat.
Tujuan Pembelajaran Khusus:
1. Menjelaskan ruang lingkup konseling dasar adiksi Napza
2. Menjelaskan pengetahuan dan ketrampilan dasar untuk intervensi singkat

218

3. Menjelaskan tujuan intervensi singkat


4. Menjelaskan tahapan intervensi singkat
Sub Pokok Bahasan :
Dalam Pokok Bahasan ini akan dibahas Sub pokok bahasan sebagai berikut:
Sub pokok bahasan 1. Ruang lingkup konseling dasar adiksi Napza
Sub Pokok bahasan 2. Pengenalan derajat masalah penggunaan Napza
Sub Pokok bahasan 3. Pengetahuan dan ketrampilan dasar untuk intervensi singkat
Sub Pokok bahasan 4. Tujuan intervensi singkat
Sub Pokok bahasan 5. Komponen intervensi singkat
Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan

perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya

menggunakan
bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Konseling dasarAdiksi Napza
dan permasalahnnya
Sesi 2: Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan penjelasan tentang Ruang lingkup konseling dasar adiksi
Napza mengunakan tayangan Power point kemudian peserta diminta membuka
bersama-sama uraian materi sub pokok bahasan 1.
2. Fasilitator melakukancurah pendapat tentang pemahaman dan arti dari ruang
lingkup Konseling dasar Adiksi Napza
3. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
4. Fasilitator melanjutkan memberikan materi Pengenalan derajat masalah
penggunaan Napza dan menerangkan tahap demi tahap cara penilaian tersebut
5. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan kegiatan derajat penggunaan Napza
peserta membuka materi sub pokok bahasan 2.
6. Lanjutkan kegiatan ke sub Pokok Bahasan 3 mengenai Pengetahuan dan
ketrampilandasar untuk intervensi singkat, facilitator tidak lupa meminta peserta
untuk membuka dan membaca uraian materi tersebut
7. Fasilitator melanjutkan kegiatan ke sub pokok bahasan 4 mengenai Tujuan
intervensi
singkat dengan mengunakan tayangan Power point

219

8. Ajak peserta untuk berdiskusi mengenai tujuan intervensi singkat dan kegunaannya
dalam penanganan Adiksi Napza
9. Fasilitator kembali melanjutkan ke sub pokok bahasan tentang tujuan komponen
intervensi singkat, peserta diminta membuka sub.pokok bahasan 5
10. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan kegiatan :
ROLE PLAY KONSELING ADIKS DASAR
Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan
aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Sub Pokok Bahasan 1. Ruang Lingkup Konseling Dasar Adiksi Napza
Mempelajari konseling adiksi Napza membutuhkan waktu yang cukup lama,
yang tidak mungkin dikuasai hanya dengan 10 jam pelatihan. NAADAC (Asosiasi
Profesional Adiksi) di Amerika Serikat yang juga diadopsi oleh Colombo Plan di Asia
mengklasifikasi beberapa tingkatan (level) konselor adiksi profesional, yaitu level I
hingga level III. Sebagai gambaran, sertifikasi level I dapat ditempuh oleh mereka
yang memiliki 270 jam pelatihan dalam bidang gangguan penggunaan Napza,
setidaknya 3 tahun bekerja dengan supervisi di bidang terapi gangguan penggunaan
Napza, bekerja sebagai konselor adiksi dan lulus ujian sertifikasi level I. Hal ini
didasari oleh kenyataan bahwa kecuali dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater),
tidak ada satu profesipun yang mempelajari gangguan penggunaan Napza secara
intensif dalam kurikulum dasar mereka. Pada umumnya ilmu ini merupakan ilmu
tambahan dalam bentuk pelatihan maupun kursus singkat.

220

Atas dasar gambaran di atas, yang akan dipelajari dalam konseling dasar adiksi
Napza dalam modul ini lebih kepada intervensi singkat yang dapat diberikan oleh
semua petugas kesehatan terlatih kepada klien HIV-AIDS dengan riwayat gangguan
penggunaan Napza. Definisi intervensi singkat bervariasi, kadangkala berarti
nasehat sederhana, di lain waktu berarti intervensi minimal, bisa juga disebut
sebagai konseling singkat atau konseling jangka pendek. Heather (1994)
mengatakan bahwa intervensi singkat dapat dipandang sebagai suatu rangkaian
prinsip intervensi yang berbeda - tapi tetap menggunakan teknik dasar terapi
konvensional. Jangka waktu sesi intervensi singkat berkisar dari 5 menit hingga 1
jam, dengan waktu rata-rata umumnya adalah 15 menit.
Tujuan utama intervensi singkat adalah untuk meningkatkan kesadaran klien
terhadap adanya korelasi antara masalah yang saat ini dialami dengan penggunaan
Napzanya. Selain itu juga untuk memberikan rekomendasi pada klien untuk
perubahan perilaku berisiko dalam konteks yang alamiah dan dikendalikan oleh klien
yang bersangkutan.
Intervensi singkat umumnya bekerja dengan baik jika terapi yang lebih spesifik
dan mendalam tidak tersedia, klien tidak bersedia untuk dirujuk, atau jika klien
resisten atas suatu terapi. Intervensi singkat juga sesuai untuk klien dengan riwayat
penggunaan Napza yang bersifat ringan hingga sedang. Apabila klien memiliki
riwayat ketergantungan Napza maka intervensi singkat tidak bisa terus menerus
digunakan untuk membantu pemulihan. Klien perlu dirujuk untuk mengikuti terapi
rehabilitasi Napza yang sesuai dengan kebutuhannya. Gambar berikut ini
memperjelas bagaimana posisi intervensi singkat dalam kaitannya dengan derajat
keparahan penggunaan Napza.

Derajat keparahan penggunaan Napza dan tingkatan perawatan

Tidak
pakai

Ringan
Sedang
Signifikan

221

Berat

Terapi Napza
Intervensi Singkat
Pencegahan primer

Sub Pokok Bahasan 2


Pengenalan Pola Penggunaan Masalah Penggunaan Napza
Gambardi atas menunjukkan bahwa kita perlu mengenali sejauhmana
masalah penggunaan Napza dialami oleh klien. Permenkes No. 37 Tahun 2013
tentang Tata Cara Wajib Lapor 2013 menunjukkan bagaimana proses asesmenuntuk
melihat derajat keparahan penggunaan Napza seseorang. Asesmen tersebut
menggunakan

formulir

Addiction

Severity

Index

(ASI)

yang

telah

dimodifikasi.Untuk dapat mengaplikasikan formulir tersebut dibutuhkan pelatihan


khusus.Sementara tidak semua klinik HIV memiliki petugas terlatih di bidang Napza.
Untuk itu cara yang paling praktis diterapkan adalah melalui skrining. Skrining dapat
menggunakan Alcohol Smoking and Substance Use Involvement Screening Test
(ASSIST) atau menggunakan ASI Lite, yang hanya mengkaji pola penggunaan Napza
seseorang.
ASSIST sangat ideal diterapkan di puskesmas, klinik atau rumah sakit umum,
dimana profesional di bidang adiksi kemungkinan besar sangat terbatas atau bahkan
tidak tersedia. Instrumen ini hendaknya diaplikasikan saat petugas menjumpai pasien
dengan penyakit kronis yang proses pemulihannya mungkin dipersulit oleh
penggunaan Napzanya. Kondisi lain yang sesuai untuk penerapan ASSIST adalah
remaja yang dibawa keluarganya untuk keluhan reproduksi, Infeksi Menular Seksual
atau kesulitan belajar. Formulir ASSIST sebagaimana yang tertera pada lampiran
modul ini. Penerapannya memakan waktu seputar 10 30 menit, bergantung pada
seberapa jauh keterlibatan klien terhadap jenis zat-zat yang dipertanyakan.
Alternatif lain adalah penggunaan ASI Lite yang merupakan bagian dari ASI
versi lengkap, yang berarti juga menjadi bagian dari formulir asesmen wajib lapor
versi Indonesia. Formulir ASI Lite sebagaimana yang tertera pada lampiran modul

222

ini. Penerapan ASI Lite tidak dianjurkan bila konselor belum mengenal klien. Waktu
yang dibutuhkan untuk pengisiannya adalah sekitar 15 30 menit. Pertanyaan 30 hari
terakhir menggambarkan penggunaan Napza terkini (pengguna aktif), sementara
penggunaan sepanjang hidup menggambarkan derajat keseriusan klien dalam
penggunaan zatnya.
Apapun cara yang digunakan untuk mengetahui pola penggunaan tidak
menjadi masalah. Yang terpenting adalah konselor dapat memperoleh gambaran
umum tentang derajat masalah yang dialami klien terkait pola penggunaan Napzanya.
Dengan demikian dapat disusun suatu strategi untuk perubahan perilaku yang
diinginkan. Pada kondisi dimana klien tampak mengalami gangguan penggunaan
Napza yang serius, disarankan konselor melakukan rujukan pada institusi penerima
wajib lapor (IPWL) pecandu narkotika yang memiliki layanan rehabilitasi medis
sesuai dengan kebutuhan klien.

Sub Pokok Bahasan 3


Pengetahuan dan ketrampilan dasar untuk intervensi singkat
Sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu, sikap dan pengetahuan konselor
merupakan salah satu penentu keberhasilan proses konseling (dalam hal ini intervensi
singkat). Penelitian menunjukkan bahwa sikap dan pengetahuan konselor yang tepat
berpengaruh pada keluaran yang baik, diantaranya klien termotivasi untuk menjalani
terapi, klien berpartisipasi dengan baik selama dalam terapi, klien bertahan lebih lama
dalam terapi dan klien berpartisipasi pada program pasca terapi / rehabilitasi (Brown
dan Miller, 1993; Miller dkk, 1993).
4 keterampilan utama yang dibutuhkan bagi konselor untuk menunjang proses
konseling atau intervensi singkat yang baik adalah:
1. Sikap memahami dan penerimaan;
2. Menguasai keterampilan konseling;
3. Fokus pada rencana jangka pendek;
4. Pengetahuan kerja tentang tahap-tahap perubahan.
Sikap memahami dan penerimaan
Hal yang paling umum dilakukan untuk memberi pesan bahwa konselor
memahami dan menerima klien adalah kemampuan untuk menjadi pendengar

223

aktif.Intervensi singkat dari sudut pandang terminologi berarti terbatas dalam waktu,
dimana hal ini tentu meningkatkan kesulitan dalam menerapkan keterampilan
mendengar aktif. Teknik mendengar aktif yang mutlak ditampilkan dalam berbagai
keterbatasan adalah:

Tidak menghakimi (non-judgmental) terhadap apapun yang diutarakan /


dialami klien

Memberi peluang bicara

Menghargai kondisi klien apapun latar belakangnya, karena klien seringkali


memiliki pengetahuan dan pengalaman lapangan yang berharga yang belum
tentu diketahui oleh konselor

Ketrampilan Konseling
Ketrampilan dasar konseling yang sangat diperlukan sebagaimana telah
disebutkan adalah mendengar aktif, yaitu kemampuan untuk membaca isi, perasaan
dan arti pernyataan klien secara akurat. Dalam perkataan lain disebut sebagai refleksi
(reflective listening) atau parafrase. Tabel berikut ini memberi gambaran ringkas
tentang tahapan mendengar aktif:

Tahapan Mendengar Aktif


1. Dengarkan apa yang klien katakan
2. Susunlah pernyataan reflektif menggunakan bahasa / kata-kata kita sendiri
3. Ujilah akurasi pernyataan reflektif kita. Lihat, dengar dan tanyakan klien bila
perlu untuk memverifikasi akurasi isi, perasaan atau arti pernyataan klien
Konselor yang telah terlatih akan menerapkan ketiga tahapan di atas secara otomatis,
alamiah, lancar dan cepat. Mendengar aktif dapat mengurangi resistensi klien,
mendorong klien untuk lebih terbuka dan menolong klien untuk mengingat apa yang
telah dikatakan selama intervensi.
Ketrampilan

konseling

berikutnya

adalah

menggali

dan

mengatasi

ambivalensi.Sikap ambivalensi seperti kita ketahui, merupakan hal yang lumrah


terjadi pada pengguna Napza, khususnya yang berada dalam tahap kontemplasi. Kaji
apa yang menjadi dasar keragu-raguan klien, tanyakan manfaat dan kerugian
mempertahankan dan merubah perilaku lama yang berisiko. Saat penggalian manfaat
dan kerugian ini, konselor hendaknya mendengarkan dengan seksama, membuat
kesimpulan dengan bahasa konselor sendiri, dan kembali bertanya kepada klien untuk
klarifikasi, termasuk menanyakan hal-hal lain yang dianggap penting bagi klien.
224

Sub Pokok Bahasan 4


Tujuan Intervensi Singkat
Tujuan utama berbagai jenis terapi rehabilitasi termasuk intervensi singkatbagi pengguna Napza adalah mengurangi risiko dampak buruk dari penggunaan
Napza yang berkelanjutan. Tujuan yang paling ideal adalah menghentikan
penggunaan Napza secara total (abstinens), tetapi tujuan terapi bagi setiap orang
tidaklah sama, ditentukan oleh pola penggunaannya, konsekuensi yang dialaminya
dan seting dimana intervensi singkat diberikan.

Tujuan Intervensi Singkat terkait Seting


Seting
Tujuan
Berbagai fasilitas Memfasilitasi program terapi Napza rujukan (mis. petugas
layanan sosial

mengidentifikasi penyalahgunaan klien melalui skrining dan


menyarankan mereka untuk mencari asesmen atau terapi
lanjutan);
Mempengaruhi klien untuk melakukan perubahan pada perilaku
penyalahgunaan Napza secara langsung dengan memberi saran
agar menurunkan pola penggunaan yang berisiko atau

menetapkan rencana untuk berhenti dari penggunaan Napzanya.


Lingkungan netral Menilai perilaku penggunaan Napza dan memberi saran suportif
(mis.
merespons
media)

individu

tentang pengurangan risiko (mis. inisiatif kesehatan masyarakat

iklan

untuk melakukan skrining secara acak pada menapis orang yg


sedang belanja di mall dan memberikan umpan balik serta

saran).
Fasilitas kesehatan Memfasilitasi terapi Napza yang bersifat rujukan
Program
terapi Intervensi berguna sebagai tindakan pengganti sementara bagi
Napza

klien / klien yang sedang dalam daftar tunggu atas suatu


layanan terapi Napza yang spesifik;
Bertindak sebagai pengantar motivasional untuk dapat melibatkan
klien agar berpartisipasi lebih intensif (mis. intervensi untuk
menolong klien berkomitmen pada terapi rawat inap jika hasil
asesmen menunjukkan bahwa mereka sesuai untuk rawat inap

225

tapi klien menganggap lebih tepat rawat jalan);


Memfasilitasi perubahan perilaku terkait penyalahgunaan Napza
dan masalah-masalah yang terkait.
Sumber: Bien et al, 1993 dalam NIDA, 2006
Yang selalu perlu diingat adalah klien dengan gangguan penggunaan Napza
seringkali merasa ambivalen dalam menjalani program terapi / rehabilitasi.Kunci
keberhasilan intervensi singkat tergantung pada perumusan perubahan perilaku yang
bersifat tunggal dan dapat diukur, dimana perubahan ini dapat membantu klien
memperoleh sukses kecil tetapi signifikan. Klien yang berhasil melakukan perubahan
kecil pada umumnya akan berupaya untuk lebih sukses lagi. Konselor perlu
mengenyampingkan tujuan akhir untuk sementara waktu, dan fokus pada tujuan
perilaku tunggal yang obyektif. Tujuan intervensi singkat bervariasi, tergantung pada
tahap pemulihan klien dan kesiapan untuk berubah. Namun demikian perlu diketahui
bahwa intervensi singkat berguna pada setiap tahap pemulihan.
Secara khusus, intervensi singkat yang dilakukan pada program terapi Napza,
misalnya program metadon, sangat berguna untuk hal-hal berikut ini:

Menurunkan tingkat drop out

Meningkatkan keterlibatan klien terhadap program terapi

Meningkatkan kepatuhan klien untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan

Meningkatkan keterlibatan klien pada kegiatan kelompok

Mengakomodasi ketidakpatuhan klien atas peraturan program terapi

Menurunkan potensi agresivitas atau kekerasan yang mungkin ditampilkan klien

Contoh tujuan intervensi


Belajar menetapkan jadwal dan prioritas waktu;

Memperluas sistem pendukung pemulihan;

Bersosialisasi dengan orang-orang yang telah pulih atau belajar untuk


bersenang-senang tanpa menggunakan Napza;

Memulai mengembangkan keterampilan atau pelatihan bagi mereka


yang tidak punya pekerjaan/kegiatan;

Menghadiri pertemuan AA atau NA;

Belajar menerima kesalahan orang lain, belajar memaafkan orang


lain atau diri sendiri;
226

Bertahan dan konsisten dengan prinsip sekarang dan saat ini (just
for now).
Intervensi singkat umumnya dilakukan dengan cara tatap muka, dengan atau

tanpa materi-materi tambahan yang tertulis seperti manual panduan diri, buku kerja
atau buku harian kontrol diri. Beberapa intervensi ditujukan pada permasalahan
kesehatan yang spesifik, tidak terkait dengan perilaku penyalahgunaan Napzanya.
Sebagai contoh, intervensi mungkin diarahkan untuk menolong klien agar terhindar
dari penularan HIV dengan mendorongnya mengikuti program layanan jarum suntik
steril. Contoh lain adalah bertanya pada klien tentang upaya untuk berhenti
menggunakan Napza, untuk melihat sejauh mana mereka dapat berhenti atas dasar
keinginannya sendiri, mendorong klien untuk secara ajeg datang pada kelompok
tolong diri (AA, NA).
Berikut adalah tujuan intervensi singkat bagi klien pada masing-masing
tahapan:
Situasi klien
Tujuan intervensi singkat yang disarankan
Mereka yang tidak Walaupun tidak membutuhkan intervensi secara khusus,
menggunakan

kelompok ini dapat diberikan informasi tentang Napza dengan

Napza

harapan dapat mencegah penggunaan Napza di masa-masa yang

Pengguna
atau sedang

akan datang.
ringan Memberi edukasi tentang dampak penggunaan yang berisiko
tinggi dan masalah potensial yang mungkin terjadi saat
penggunaan meningkat. Intervensi singkat dapat meningkatkan
tilikan diri klien terhadap konsekuensi terkait dengan

Pengguna
berisiko

penyalahgunaan Napza.
yang Kelompok ini mungkin

belum

sampai

pada

tahapan

menyalahgunakan Napza, namun pola penggunaan mereka


dapat berisiko untuk sampai pada tahap penyalahgunaan.
Intervensi singkat pada kelompok ini mengarah pada tahapan
penggunaan, mendorong kondisi abstinensia atau penggunaan
yang terkontrol dan edukasi tentang konsekuensi atau risiko

Penyalahguna

perilaku penggunaan Napza.


Kelompok ini memenuhi syarat sebagaimana DSM IV. Tujuan
utama intervensi singkat pada kelompok ini adalah untuk
mencegah peningkatan penggunaan Napza, memfasilitasi
tinjauan tentang konsekuensi atas perilaku berisiko, mendorong
klien untuk mempertimbangkan asesmen atau terapi dan
227

Pecandu

mendorong kondisi penggunaan yang sedang atau abstinensia.


Pada tahap ini, intervensi difokuskan pada upaya untuk
mendorong

klien

masuk

pada

program

terapi,

untuk

mempertimbangkan kondisi abstinensia atau kembali pada


terapi apabila kambuh. Tujuan intervensi bagi pecandu adalah
untuk merekomendasi perubahan perilaku yang optimal dan
perlunya mengikuti perawatan dengan berkesinambungan.
Perlu dicatat bahwa beberapa pecandu mungkin berada pada
tahap yang dapat mengancam jiwanya atau mengalami
konsekuensi serius seperti terancam kehilangan pekerjaan,
tersangkut pemidanaan atau kehilangan keluarga.
Intervensi singkat pada pecandu lebih sebagai manajemen
kasus, dimana puskesmas melacak kemajuan klien pada
penyediaan layanan terapi Napza rujukannya.

Sub

Pokok

Bahasan

Komponen Intervensi Singkat


Intervensi singkat terdiri dari 5 langkah utama yang mencakup FRAMES dan tetap
konsisten diterapkan berapapun jumlah pertemuan dilakukan:
1. Memperkenalkan masalah dalam konteks kesehatan klien;
2. Skrining, evaluasi, dan asesmen;
3. Memberikan umpan balik;
4. Berbicara tentang perubahan dan menetapkan tujuan;
5. Menyimpulkan dan menyelesaikan sesi.
Contoh Menyingkirkan Hambatan Untuk Berubah
Klien anda, Dewi, kembali mengalami infeksi menular seksual akibat berhubungan
seks dengan beberapa teman laki-lakinya. Hasil asesmen menunjukkan bahwa Dewi
tidak sanggup meminta pasangan seksnya untuk menggunakan kondom karena ia
selalu berada dalam pengaruh alkohol dan atau shabu. Anda melakukan intervensi
singkat terhadap Dewi di Klinik anda. Selama sesi berlangsung Dewi
mengungkapkan manfaat yang ia terima dari perilaku minum alkohol dan
penggunaan shabu. Dalam situasi seperti ini konselor dapat bertanya perspektif
Dewi tentang korelasi yang ada antara perilaku penggunaan Napzanya dengan

228

praktek perilaku seks yang tidak aman. Pertanyaan ini dapat menggiring Dewi
untuk berpikir lebih jauh tentang alasan menggunakan Napzanya. Dengan
eksplorasi yang sistematis tentang alasan menggunakan atau tidak menggunakan
Napza, kita dapat membantu Dewi untuk menimbang perubahan perilaku yang
konstruktif.
FRAMES
Feedback (umpan balik) diberikan pada klien tentang risiko-risiko personal
atau hendaya yang mungkin dihadapi;

Responsibility (tanggung jawab) untuk berubah adalah tanggung jawab


klien, bukan konselor;

Advice (saran) untuk berubah diberikan oleh konselor;

Menu (berbagai pilihan) atas pilihan terapi atau kelompok tolong diri
diberikan kepada klien;

Emphatic (empati) digunakan selama proses konseling dilakukan;

Self-efficacy (kemantapan diri) klien dibangkitkan dalam proses konseling.

Contoh-contoh kalimat pada intervensi singkat


Komponen
Kalimat pada seting UGD, Kalimat pada klinik Napza,
Memperkenalkan

Puskesmas
atau RSKO
saya dari unit Napza. Dokter apakah anda bersedia untuk

masalah

anda

tadi

meminta

saya berdiskusi tentang kesulitan-

mampir untuk membicarakan kesulitan yang anda hadapi


tentang apa yang dilakukan dalam melakukan kontrak yang
pada

unit

Napza

disini. bisa

membantu

pemulihan

Maukah anda bicara secara anda?


singkat? Apapun yang kita
bicarakan bersifat rahasia atau
ini memang hal yang berat
bagi anda. Mungkinkah kita
berbincang-bincang

dalam

beberapa menit saja tentang


Skrining,
Evaluasi,
Asesmen

penggunaan valium anda?


menggunakan skala tidak siap, menyadari bahwa lingkungan
dan ragu-ragu dan siap, seberapa rumah

tidak

mendukung

besar keinginan anda untuk sehingga membuat kontrak kita

229

berhenti

menggunakan tidak

anda

jalankan,

valium?

menggunakan skala 1 sampai

Klien: saya nggak yakin

10, seberapa siap anda untuk

salah satu yang membuat mencari

jalan

keluar

agar

emosi anda mudah meledak kontrak kerja kita bisa anda


dan melukai orang lain seperti lakukan?
kemarin,

adalah

karena Klien: mm...4 kayaknya.

penggunaan valium anda.


menurut

saya

anda

apa yang menghambat anda

perlu untuk mencari jalan keluar

untuk bicara lebih lanjut pada lain?


petugas dari unit Napza disini,
agar anda dapat menghindari
diri dari hal-hal yang lebih
Menyediakan

buruk.
melihat frekuensi penggunaan bisakah

umpan balik

valium anda, serta menyadari pada saya apa yang anda

anda

menceritakan

bahwa anda sering merasa rasakan ketika anda tidak bikin


sesak nafas dan gelisah hebat kontrak?
bila

valiumnya

dihentikan, pemulihan itu membutuhkan

maka anda sudah masuk dalam upaya yang konsisten, termasuk


kategori ketergantungan. Hal diantaranya komitmen untuk
ini dapat mengganggu sistem mengerjakan kontrak. Apakah
pernafasan

dan

kesadaran ada

kesulitan

dalam

anda.
menjalankan kontrak tersebut?
Berbicara tentang minum valium rata-rata 3 kali
ini
kontrak
tidak
perubahan

dan tablet dengan frekuensi lebih dilakukan karena situasi rumah

menetapkan

dari 3 kali seminggu, kemudian yang

kacau.

tujuan

keterlibatan anda pada tawuran mengantisipasi

Anda

perlu

situasi-situasi

setelah anda minum valium, seperti itu agar rencana kontrak


tentu ini dapat merugikan anda dapat tetap dilakukan, atau kita
dan orang lain. Rasanya anda ubah kontraknya yang lebih
perlu merubah kebiasaan itu. realistis menurut anda
Perubahan

yang

bagaimana

Menyimpulkan

yang anda inginkan?


walaupun anda katakan anda anda telah melakukan hal

dan mengakhiri

belum

siap

untuk

berhenti yang positif. Saya rasa anda

230

minum penenang, saya senang sudah menunjukkan kemajuan.


karena anda berencana untuk Kita
menggunakan
diberikan

obat

dokter

bertemu

lagi

minggu

yang depan untuk melihat sejauh


daripada mana

kemajuan

ini

dapat

valium yang anda beli sendiri dipertahankan.


tersebut.
Intervensi Singkat Bagi Pecandu
Secara umum intervensi singkat lebih sering diterapkan pada pengguna Napza yang
bukan pecandu, mengingat kompleksitas yang dihadapi dalam tata laksana pecandu.
Namun beberapa penelitian menunjukkan hasil positif atas penerapan intervensi singkat
bagi pecandu. Pusat kajian alkohol di Amerika Serikat (NIAAA) mengkaji beberapa
penelitian terkait memotivasi pecandu alkohol untuk mengikuti program terapi.
Kelompok yang menerima konseling singkat, 65 % diantaranya patuh menjalani sesi-sesi
yang telah dirancang baginya, sementara kelompok kontrol hanya 5% yang patuh
menjalani sesi yang dirancang. Pada penelitian yang lain, diterapkan 1 jam wawancara
motivasional untuk pecandu opiat yang mengikuti program terapi rumatan metadon
(PTRM) (Saunders et al, 1995). Masing-masing klien dievaluasi pada minggu pertama,
bulan ketiga dan bulan keenam. Kelompok yang menerima 1 jam wawancara
motivasional lebih sedikit yang drop out dari sesi pertemuan yang dirancang,
menunjukkan komitmen yang lebih kuat untuk abstinens, bertahan pada PTRM lebih
lama dan bagi mereka yang akhirnya drop out dari PTRM tidak cepat mengalami
kekambuhan.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi singkat melalui wawancara
motivasional memperkuat resolusi klien untuk tidak menggunakan opiat ilegal dan
berpartisipasi secara penuh pada program terapi.

231

POKOK BAHASAN 5. KONSELING PASANGAN DAN KELUARGA


Deskripsi Singkat
HIV/AIDS kini merupakan penyakit yang semakin luas persebarannya. Pada
awalnya penyakit ini lebih banyak terjadi pada pelaku seks bebas dan pengguna
NAPZA. Namun kini mereka yang tidak terlibat dalam kedua kegiatan resiko tinggi
tersebut juga bisa terkena HIV/AIDS yang dibawa oleh pasangan. HIV/AIDS adalah
sebuah kondisi yang secara kontinyu menyebabkan munculnya rasa takut,
kesalahpahaman, kesalahan informasi dan munculnya diskriminasi.ODHA biasanya
mengasingkan diri, dikeluarkan dari pekerjaan atau disingkirkan oleh keluarga,
menolak untuk melakukan perawatan, dsb.Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh
ODHA, tetapi juga pasangan dan keluarganya. Beberapa masalah yang mungkin
muncul dalam hubungan pasangan/keluarga karena HIV/AIDS adalah:
1) Munculnya stigma, isolasi dan diskriminasi
2) Ketakutan akan HIV dan meninggal karena AIDS
3) Informasi mengenai fakta dan mitos mengenai HIV/AIDS
4) Pengaruh budaya mengenai seks di luar perkawinan, orientasi dan perilaku
seksual, jumlah pasangan seksual, dan penggunaan alat kontrol kehamilan
5) Menghindari untuk membicarakan hal terkait HIV/AIDS, yang disebabkan
karena perilaku seksual dan penggunaan NAPZA, karena menimbulkan
adanya perasaan malu, bersalah dan penolakan.
6) Adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh pasangan
7) Ketidaksediaan

untuk

mengungkap

status

HIV

positif

kepada

pasangan/keluarga

Ketika salah satu anggota keluarga didiagnosa menderita HIV/AIDS, masalah


yang dihadapi tidak hanya terbatas pada penyampaian hasil dan saran-saran untuk
perawatan diri. Penderita juga harus melakukan tindakan pencegahan agar pasangan
atau anggota keluarga lainnya tidak tertular penyakit tersebut. Selain masalah fisik,
banyak pula masalah-masalah psikologis yang terkait, seperti misalnya proses
berduka (grieving process), emosi-emosi negatif yang intens (marah, sedih, rasa
bersalah, depresi, dsb), trauma, dan konflik. Masalah juga muncul ketika penderita
harus memberitahu pasangan dan/atau anggota keluarga lain mengenai kondisinya.

232

Untuk dapat membantu penderita HIV/AIDS, juga pasangan dan keluarganya, untuk
mengatasi stres, mengambil keputusan yang tepat, serta beradaptasi terhadap kondisi
krisis, dibutuhkan konseling lanjutan oleh konselor yang sudah berpengalaman dan
memiliki keterampilan yang memadai untuk melakukan konseling tersebut.
Konseling HIV/AIDS bagi pasangan dan keluarga ditujukan untuk
memberikan dukungan psikologis, yaitu dengan mendengarkan keluhan dan
pengungkapan masalah klien yang berkaitan dengan HIV/AIDS secara empatik.
Selanjutnya pasangan dan keluarga dibantu untuk memecahkan masalah, yaitu
dengan mendiskusikan alternatif-alternatif solusi serta mempertimbangkan dampak
negatif dan positif dari setiap alternatif. Klien juga dibantu untuk dapat menerima
masalah yang tidak bisa dipecahkan dari sudut pandang yang lebih positif. Klien juga
belajar ketrampilan untuk menjalin komunikasi dan interaksi yang lebih positif
diantara

pasangan

dan

anggota

keluarga.Dengan

demikian

mereka

dapat

mengembangkan pola interaksi dengan pasangan dan keluarga secara lebih efektif
dan bermanfaat untuk mengatasi masalah-masalah selanjutnya.
TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM :
Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu memahami teknik dan tahapan-tahapan
dalam konseling keluarga dan pasangan terkait HIV AIDS
TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS :
Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menerapkan teknik dan tahapan-tahapan
dalam konseling keluarga dan pasangan, serta mengintegrasikan ketrampilan yang
dipelajari dalam membahas kasus-kasus HIV/AIDS :

1.
2.
3.
4.
5.

Memahami diri melalui teknik Johari Windows


Menerapkan pendekatan ABC untuk situasi krisis
Memahami konsep-konsep penting dalam pendekatan Teori Sistem
Menerapkan genogram untuk memahami interaksi dalam keluarga
Memahami dan menerapkan teknik-teknik dalam pendekatan Berfokus Solusi

C. SUB POKOK BAHASAN


Dalam Pokok Bahasan ini akan dibahas sub pokok bahasan sebagai berikut:
1. Johari Windows dan manfaatnya bagi konselor
2. Pendekatan ABC untuk situasi krisis
3. Pendekatan Teori Sistem

233

4. Penggalian pola interaksi keluarga menggunakan Genogram


5. Pendekatan Berfokus Solusi
Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila ini pertemuan
pertama dengan fasilitator, dapat dimulaidengan

perkenalan. Sampaikan

tujuan pembelajaran sebaiknya menggunakan bahan tayang


2. Menggali pengalaman peserta, terkait dengan konseling keluarga dan
pasangan, selama berperan sebagai konselor HIV/AIDS
Sesi 2: Pembahasan materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan
dan
melanjutkan dengan penjelasan mengenai pentingnya mengenali diri dalam
melakukan proses konseling.
2. Fasilitator meminta peserta untuk membuka uraian materi pada sub pokok
bahasan 1mengenai Johari Window. Fasilitator memberikan penjelasan
bagaimana melakukan proses mengenali diri melalui Johari WIndow
danmanfaatnya. Fasilitator meminta peserta bersama-sama berlatih melakukan
evaluasi diri, berdasarkan penilaian diri sendiri dan umpan balik dari orang
lain berdasarkan diagram yang telah dijelaskan.
Fasiilitator menerangkan sub pokok bahasan 1 dengan tayangan Power point
3. Fasilitator mengajak peserta masuk kedalam pembelajaran ke sub pokok
bahasan 2 mengenai bagaimana tehnik pendekatan ABC untuk situasi krisis,
dalam hal ini adalah status HIV Positif.
4. Fasilitator melakukan curah pendapat tentang pemahaman peserta mengenai
konseling keluarga dan pasangan
5. Fasilitator kembali melanjutkan materi sub pokok bahasan 3 tentang
Pendekatan Teori Sistem secara terstruktur
6. Fasilitator menjelaskan mengenai perbedaan konseling individual dan
konseling keluarga
7. Fasilitator melanjutkan materi pada penggalian pola interaksi keluarga dengan
menggunakan Genogram pada sub pokok bahasan 4.
8. Mengajak peserta berlatih bagaimana cara menggunakan Genogram
9. Fasilitator kembali melanjutkan materi ke sub pokok bahasan 5

tentang

teknik konseling keluarga dengan pendekatan berfokus solusi.


10. Diskusikan bersama peserta mengenai 5 sub pokok diatas untuk pemahaman
dan tujuan serta manfaat konseling keluarga dan pasangan ini dalam layanan

234

HIV

AIDS

Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Sub Pokok Bahasan 1. Johari Windows
Dalam melakukan proses konseling, seorang konselor perlu memahami siapa
dirinya. Pemahaman diri bisa dilihat dari bagaimana cara konselor memandang orang
lain dan bagaimana orang lain memandang diri konselor. Pemahaman diri di sini
bukan hanya sebatas mengenali Siapa Saya?. Yang penting dalam pemahaman diri
bagi seorang konselor adalah apa dampak dari atribut/karakteristik/kepribadian yang
konselor miliki saat berhadapan dengan orang lain. Pemahaman diri dan penerimaan
terhadap segala kekurangan dan kelebihan akan membantu konselor untuk mengenali
perbedaan dan keunikan pada setiap klien.
Inisiatif untuk melakukan eksplorasi terhadap diri sendiri sebaiknya berasal dari
masing-masing

individu.

Proses

mengenali

aspek-aspek

dalam

diri

dapat

menimbulkan adanya reaksi penolakan, ketidakpercayaan, keraguan terutama ketika


aspek tersebut tidak sesuai dengan apa yang ideal menurut diri konselor, sehingga
merupakan respon yang wajar saat proses pengenalan diri menjadi proses yang
menyakitkan atau tidak menyenangkan. Meskipun demikian, dengan mengidentifikasi
kekurangan dan kelebihan, seorang konselor justru dapat meningkatkan konsep
dirinya yang dapat meningkatkan keberhargaan dirinya. Adanya pemahaman terhadap
diri sendiri nantinya akan mempermudah konselor dalam membantu klien
memunculkan konsep diri yang positif, terutama pada kasus HIV/AIDS dimana
235

konsep diri dan keberhargaan diri menjadi sangat rendah.


Salah satu cara untuk memahami diri sendiri adalah dengan menggunakan
Johari Windows yang dibuat berdasarkan apa yang diketahui oleh diri dan orang lain,
serta apa yang tidak diketahui oleh diri sendiri dan orang lain. Untuk selanjutnya,
Johari Window bisa dipergunakan untuk mengembangkan keterampilan untuk
pengembangan pribadi, terutama kemampuan berempati yang diperlukan oleh
seorang konselor.

Berikut adalah diagram dari Johari Window:

1. Area Publik (The Public Self). Area ini adalah bagian dalam diri yang
kita perlihatkan kepada orang lain. Hal ini melibatkan fakta mengenai
latar belakang serta keterbukaan terhadap pikiran dan perasaan. Orang
dengan area publik yang besar biasanya terlihat lebih santai dan terbuka.
Proses konseling bisa dilihat sebagai proses untuk membuka area publik
dari klien dengan cara membuat klien bisa membicarakan masalahnya

236

secara jujur dan terbuka.


2. Area Tersembunyi (The Private Self / Hidden Area). Ini adalah bagian
dari diri yang hanya diketahui oleh diri sendiri. Hal ini melibatkan
pikiran, perasaan dan kebutuhan yang takut diungkapkan karena
dampaknya ketika berhubungan dengan orang lain. Hal ini sebenarnya
merupakan hal yang wajar dalam sebuah hubungan, karena kita tidak
mungkin memberitahukan semua pikiran dan perasaan kita, terutama
ketika hal tersebut bisa melukai orang lain. Namun, kita dapat berlatih
untuk memperkecil area pribadi dan memperbesar area tersembunyi ini.

Dalam konseling, seorang konselor dengan area tersembunyi besar bisa


berpura-pura menjadi seseorang yang berbeda.Mereka bisa lebih banyak
diam, lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara dan lebih banyak
melihat ketimbang melakukan sesuatu.
Ada dua konsep yang erat hubungannya dengan wilayah ini :
a) Over disclose, yaitu sikap yang terlalu banyak mengungkapkan
sesuatu sehingga hal-hal yang seharusnya disembunyikan juga
diutarakan. Misalnya : mengalami masalah yang sama dengan klien,
sehingga lebih banyak bercerita tentang dirinya ketimbang
mendengarkan.
b) Under disclose,yaitu sikap yang terlalu menyembunyikan sesuatu
yang seharusnya dikemukakan. Misalnya : dalam proses konseling,
klien ODHA terkadang sulit untuk mengungkapkan apa yang
dirasakan karena ia sudah memiliki stigma tertentu terhadap
konselor. Jika konselor tidak bisa peka terhadap kekhawatiran klien
dan tetap diam, proses konseling bisa terhambat klien menjadi
tertutup.
3. Area Buta (The Blind Self). Ada beberapa hal yang diketahui oleh orang
lain, namun dengan beberapa alasan, kita tidak mengetahui hal tersebut.
Dalam hubungannya dengan orang lain, kita bisa berpikir bahwa kita
adalah orang yang menawan, namun, orang lain mungkin melihat kita
sebagai orang yang palsu atau artifisial. Dalam sesi konseling, konselor
dengan area buta yang besar seringkali tidak menyukai umpan balik
237

karena takut hal itu dapat merusak self-image yang sudah mereka bentuk.
Sebagai bentuk pertahanan diri, ia suka memiliki pikiran irasional,
berbicara berlebihan, dan kurang bisa mendengarkan orang lain untuk
menghindari orang lain melihat area buta tersebut. Hal ini membuat
konselor terlihat kurang terbuka terhadap masukan, hanya melihat dari
sudut pandanganya sendiri, dsb. Ketika berhadapan dengan klien yang
memiliki area buta yang besar, konselor seringkali mengalihkan,
menantang atau melakukan konfrontasi untuk membuktikan bagaimana
konselor salah menilai mereka.
4. Area Gelap (The Undiscovered Self / Unknown Self). Ini adalah area
yang tidak ketahui oleh diri dan juga orang lain. Orang yang menutup diri
atau jarang berhubungan dengan orang lain seringkali memiliki area gelap
yang besar. Konselor maupun klien yang memiliki area buta yang besar
sering memiliki masalah komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari sering
terjadi kesalahan persepsi maupun kesalahan perlakuan kepada orang lain
karena tidak saling mengenal baik kelebihan, kekurangan dan juga
statusnya.
Sub Pokok Bahasan 2. Intervensi Krisis model ABC
Seseorang mengalami situasi krisis saat ia mengetahui bahwa ia mengidap
HIV positif karena ia memikirkan adanya ketidakstabilan, ancaman kematian,
membayangkan masalah kesehatan, penolakan sosial dan perubahan pola hidup di
masa yang akan datang. ODHA mulai merasa bahwa sumber daya untuk
memecahkan masalah hilang, timbul emosi-emosi negatif, dan ia tidak dapat melihat
pilihan lain yang tersedia untuk membantu proses coping. Situasi krisis adalah
kondisi dimana:
-

adanya stressor atau tantangan hidup yang membuat individu perlu

menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap peristiwa yang tidak terduga


adanya gangguan akut terhadap fungsi individu karena tekanan eksternal

dan/atau internal.
Individu mengalami peristiwa yang menimbulkan ketidakstabilan emosi.

Fase Krisis Pada Penderita HIV/AIDS


Fase I: Arousal
Mengetahui status HIV positif dapat menimbulkan emosi yang intens. Pada awalnya,

238

ODHA akan mencoba untuk mengkaji masalah-masalah yang mereka hadapi. Namun,
karena adanya krisis, maka berdampak pada berbagai area seperti masalah personal,
pekerjaan, sosial dan ekonomi, dan pada jangka waktu tertentu mengakibatkan
adanya stres akut. Situasi yang intens dapat mengganggu kemampuan individu untuk
menghadapi situasi krisis dengan cara yang adaptif.Mereka gagal untuk memecahkan
masalah karena mereka tidak terbiasa, keterampilan coping terbatas dan kurangnya
dukungan.
Fase II: Ketidakteraturan (Disorganization)
Ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dari situasi
krisis menimbulkan intensitas emosi semakin meningkat, perasaan tidak berdaya,
putus asa, tidak aman dan tidak mampu berbuat apa - apa. Individu merasa tidak
mampu mengatasi situasi krisis dan menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi.Muncul kebingungan dan gejala yang berhubungan dengan stres bisa
mengganggu fungsi fisik, emosional, sosial dan perilaku. Perilaku coping yang baik
menjadi semakin sulit terbentuk dan muncul gejala stress lain yang ditandai adanya
gangguan tidur, gelisah, dan perasaan tidak aman (insecure).
Fase III: Mengambil langkah panik untuk coping
Dalam situasi krisis, kemampuan untuk berpikir secara rasional tertutupi oleh adanya
penolakan (denial), keinginan untuk menyakiti diri (percobaan bunuh diri, melukai
diri sendiri),

pemecahan masalah yang buruk, ketidakmampuan untuk membuat

keputusan. Usaha coping dilakukan dengan tidak terarah.Upaya untuk mengatasi


situasi krisis menggunakan langkah-langkah yang membuat ODHA membatasi diri
dan tidak sesuai.Misalnya, mengasingkan diri untuk menghindari stigma dari
masyarakat ketimbang mencari bantuan.
Fase IV : Kegagalan untuk memecahkan masalah
Upaya memecahkan masalah yang terus-menerus gagal membuat klien merasa
lelah.Adanya langkah-langkah pemecahan masalah yang tidak tepat dan tidak
realistis, menjadikan masalah menjadi semakin besar dan semakin kompleks.ODHA
tidak mampu memanfaatkan layanan yang tersedia, yaitu untuk pengobatan infeksi
HIV, perawatan dan dukungan.
Kristi Kanel, yang mengembangkan model ABC, menyatakan bahwa ada tiga
aspek yang menandai adanya krisis, yaitu (1) terjadinya peristiwa pemicu (2) persepsi
terhadap peristiwa yang menyebabkan adanya tekanan (3) metode coping yang biasa

239

digunakan gagal untuk menyelesaikan masalah, yang membuat kondisi psikologis,


emosional dan perilaku lebih buruk daripada sebelum munculnya peristiwa pencetus.
Dalam mengatasi situasi krisis, terdapat 3 tahapan dalam melakukan intervensi yang
dikenal sebagai ABC, yaitu:
A: Ketrampilan Dasar Memberikan Perhatikan
Tahap awal dalam situasi krisis adalah menciptakan hubungan terapeutik
secepat mungkin dengan klien.Keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan ini
biasa dikenal dengan kemampuan mendengar aktif. Membangun rapport dengan cara
mendengar aktif merupakan dasar dari hubungan terapeutik. Tanpa adanya ini, tahap
B dan C tidak akan bisa tercapai. Untuk mendengar aktif diperlukan keterampilan
melakukan observasi dan pada saat yang sama mengetahui bagaimana konselor perlu
bereaksi terhadap cerita tersebut, misalnya melakukan paraphrase, memberikan katakata yang mendukung, memberikan umpan balik, dsb. Dalam tahap ini konselor perlu
melakukan:
1) Menghormati klien dan fokus terhadap krisisnya. Seringkali ODHA sudah
memiliki persepsi sendiri tentang bagaimana persepsi orang lain terhadap
dirinya.
2) Normalisasi apa yang dirasakan, yakinkan pada klien bahwa apapun yang ia
rasakan merupakan sesuatu yang bisa dipahami. Hindari merendahkan
maupun meremehkan emosi-emosi yang dirasakan oleh klien atau
mengatakan bahwa yang mereka rasakan atau lakukan atau pikirkan adalah
tidak rasional.
3) Berkomunikasi menggunakan cara verbal dan nonverbal, sesuai dengan
kondisi.
4) Gunakan sentuhan jika memungkinkan. Sentuhan bisa membuat klien merasa
nyaman tetapi pada beberapa orang juga bisa menjadi sumber kecemasan.
5) Dengarkan klien terlebih dahulu. Pada masa krisis, klien butuh untuk
mengungkapkan apa yang ia rasakan terlebih dahulu sebelum selanjutnya
konselor melakukan pendekatan secara kognitif atau mencari solusi.
6) Lakukan reflective listening ketika klien sudah siap untuk mencari solusi.
B: Identifikasi Permasalahan dan Interaksi yang bersifat Terapeutik
Fase selanjutnya adalan mengidentifikasi masalah.Pendekatan yang paling
baik adalah menunggu sampai klien berada dalam kondisi stabil atau tenang.
Pendekatan sistematik dalam melakukan identifikasi permasalahan bisa dilakukan
dengan cara:
1) Identifikasi peristiwa pemicu. Pada kasus konseling HIV/AIDS, peristiwa

240

pemicu biasanya adalah hasil tes positif.


2) Gali penghayatan, kognisi dan persepsi terhadap status HIV Positif. Hal ini
bisa dilakukan dengan menanyakan pertanyaan berikut:
a. Apa yang klien pikirkan mengenai hasil tes HIV/AIDS yang didapat?
b. Apa arti HIV positif bagi klien?
c. Bagaimana klien memaknai peristiwa tersebut?
d. Apa yang muncul dalam pikiran klien saat membayangkan tentang hasil
tes yang positif?
e. Apa persepsi klien mengenai hal tersebut?
Melakukan reframing merupakan kekuatan dari seorang konselor, akan tetapi
reframing tidak dapat dilakukan jika konselor belum mengetahui kondisi
kognitif klien saat ini.
3) Identifikasi emosi dan fungsi umum
Untuk melakukan identifikasi terhadap stresor dan persepsi klien terhadap
stresor, konselor perlu menggali fungsi umum klien dan bagaimana peristiwa
pemicu mempengaruhi klien.
a. Apa yang klien rasakan?
b. Emosi apa yang dirasakan oleh klien sejak peristiwa krisis?
c. Identifikasi gangguan fungsi pada beberapa area-area perilaku, sosial,
akademik dan pekerjaan.
4) Identifikasi masalah lain seperti keinginan bunuh diri, kekerasan dalam
keluarga, riwayat penggunaan obat.
Dalam fase Identifikasi Masalah ini beberapa hal yang dapat dilakukan oleh konselor
adalah:
1) Pernyataan edukatif
Berikan informasi yang akurat dan faktual.Seringkali kondisi klien memburuk
karena kurangnya informasi atau adanya kesalahan informasi yang
dipersepsikan sebagai kebenaran.Memberikan informasi mengenai seberapa
banyak yang menderita HIV dan reaksi wajar yang menyertainya bisa
membantu meredakan ketegangan.
2) Pernyataan yang memberikan dukungan
Konselor bisa mengatakan bahwa yang dirasakan oleh klien merupakan hal
yang normal.Hindari menggunakan katakata Semuanya akan menjadi lebih
baik.
3) Pernyataan yang menguatkan
Beberapa situasi krisis bisa menyebabkan adanya perasaan tidak berdaya pada
penderitanya. Klien diberi penguatan bahwa ia memiliki pilihan dan didorong
untuk memiliki kontrol lagi dalam hidupnya. Gunakan pernyataan yang

241

memberikan harapan seperti Kamu terkena HIV dan kamu tidak bisa
merubah itu. Tapi kamu bisa memilih bagaimana kamu menjalani sisa hidup
kamu
4) Reframing
Restrukturisasi kognitif dari suatu peristiwa krisis menjadi peristiwa yang
memiliki harapan untuk diselesaikan.
C: Coping (teknik mengatasi stres)
Tahap akhir adalah melihat perilaku coping (cara-cara mengatasi stres)
sebelum saat sesudah peristiwa krisis. Cara coping klien sebelum peristiwa krisis
bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah saat ini dan masalah yang akan
dihadapi nantinya. Untuk melakukan ini konselor perlu menanyakan bagaimana cara
klien menyelesaikan permasalahan di masa lalu.Setiap cara, baik itu membantu atau
tidak, perlu dicatat sehingga klien bisa melihat mana cara yang berhasil dan mana
yang tidak.
Jika klien tidak bisa mengidentifikasi perilaku coping, konselor perlu menyemangati
klien untuk mencoba menemukannya.

Sub Pokok Bahasan 3. Pendekatan Teori Sistem


a. Pengertian keluarga
Berdasarkan teori sistem, keluarga didefinisikan sebagai suatu kesatuan yang
hidup, berkesinambungan dan terorganisir, terdiri dari anggota-anggota yang saling
berhubungan secara terus menerus dan memiliki pola tertentu. Dengan demikian,
perubahan pada salah satu anggota keluarga akan berpengaruh terhadap perubahan
pada anggota lainnya. Konsep organisasi (organization) dan kesatuan (wholeness)
sangat penting untuk memahami bagaimana kerja sistem.Di dalam suatu sistem,
setiap bagian saling berinteraksi secara teratur dan dapat diramalkan.Setelah
bergabung, masing-masing elemen membentuk suatu kesatuan yang sifatnya lebih
dari sekedar kumpulan sejumlah elemen.
Setiap anggota keluarga perlu dipahami berdasarkan interaksinya dengan
anggota keluarga lain. Perkembangan dan tingkah laku individu tidak dapat
dilepaskan dari interaksinya dengan anggota keluarga. Bila salah satu anggota
keluarga memiliki masalah, hal ini akan berdampak pula pada keseluruhan interaksi
dalam keluarga. Dengan adanya pola interaksi yang baik, saling dekat secara
emosional, dan kerjasama yang baik, maka masalah-masalah yang ada dapat diatasi
242

dengan efektif. Namun sebaliknya, bila pola interaksi keluarga tergolong maladaptif
maka masalah yang muncul akan memperburuk interaksi secara keseluruhan.
Simtom/masalah yang muncul pada individu dapat dipandang sebagai
ekspresi dari kebiasaan dan pola interaksi dalam keluarga. Dengan demikian masalah
individu dapat: a) memiliki fungsi atau tujuan dalam keluarga, b) terus berlanjut
karena dipertahankan oleh proses-proses dalam keluarga, c) mencerminkan
ketidakmampuan keluarga dalam mencapai produktivitas, terutama pada masa
transisi, d) merupakan simtom yang turun temurun dari generasi sebelumnya. Dengan
demikian, cara terbaik untuk mengatasi simtom/masalah yang dihadapi individu
adalah dengan memahami pola interaksi dalam keluarga dan mengubahnya menjadi
interaksi yang lebih adaptif.
b. Family Rules
Interaksi dalam keluarga biasanya mengikuti pola-pola yang menetap
berdasarkan struktur keluarga. Pola-pola tersebut memungkinkan anggota keluarga
untuk mengetahui apa yang diperbolehkan, dilarang, diharapkan dalam hubungan
keluarga. Dalam setiap keluarga terdapat aturan-aturan tidak tertulis yang membantu
mengarahkan dan menstabilkan fungsi keluarga sebagai suatu kesatuan.Aturan yang
berlaku berkaitan erat dengan nilai-nilai yang dianut keluarga, yang biasanya
merupakan hal yang turun temurun.
Bila meminta sesuatu pada ibu, tunggu saat moodnya baik
Istri harus taat pada suami dan suami punya hak untuk mengambil keputusan yang
tidak bisa diganggu gugat

c. Family Homeostasis
Homeostasis keluarga adalah usaha-usaha regulasi dalam keluarga untuk
mempertahankan stabilitas dan menghindari perubahan.Setiap keluarga biasanya
memiliki rentang perubahan yang bisa diterima. Perubahan yang terlalu besar atau
terjadi tiba-tiba akan memperoleh reaksi yang bertentangan. Mekanisme homeostasis
tidak selamanya tepat dan efektif untuk memperoleh keseimbangan dalam keluarga.
Dalam mempertahankan homeostasis, usaha untuk kembali ke kondisi semula
tidak selamanya tepat dan justru dapat menghambat potensi dan kemampuan keluarga
untuk membentuk ikatan yang lebih kuat (resiliensi). Dalam proses konseling,
pasangan dan keluarga perlu didukung untuk beradaptasi dan mencari solusi terhadap
masalah sehingga akan tercapai keseimbangan baru.
d. Family Subsistem

243

Subsitem adalah bagian-bagian dari keseluruhan sistem keluarga yang


memiliki fungsi tertentu.Dalam setiap subsistem terdapat kekuatan yang berbeda,
dibutuhkan ketrampilan khusus, dan meliputi tanggung jawab tertentu.Setiap anggota
keluarga menjadi bagian dari subsistem yang berbeda. Sebagai contoh, seorang
perempuan

dapat berperan sebagai anak, istri, ibu, kakak dan sepupu. Dengan

demikian ia perlu belajar untuk berintaraksi dalam berbagai situasi dan memiliki
tanggungjawab yang berbeda-beda. Subsistem yang menetap dalam setiap keluarga
adalah pasangan, orangtua, dan saudara sekandung.
e. Family Boundaries
Dalam setiap keluarga terdapat garis-garis batas yang tidak nyata namun
memberi batas antar anggota keluarga dan antara keluarga dengan lingkungan luar.
Garis batas atau boundaries ini berfungsi untuk memberi batas diantara anggota
keluarga, menentukan siapa yang termasuk orang dalam dan orang luar,
mengatur keluar masuknya informasi. Boundaries muncul dalam bentuk aturanaturan, baik yang tertulis maupun tidak.Keluarga dapat berfungsi secara efektif bila
boundaries yang ada jelas dan fleksibel. Boundaries berkaitan erat dengan family
rules, seperti yang terlihat pada contoh di bawah ini:
Anak-anak harus meminta ijin kepada orangtua sebelum pergi ke luar rumah
Suami dan istri punya privasi terhadap barang-barangnya
Masalah keluarga harus diselesaikan secara intern, tanpa melibatkan orang lain
f. Pola Komunikasi Keluarga
Salah satu tokoh terapis keluarga yang banyak membahas tentang komunikasi
dalam keluarga adalah Virginia Satir yang mengembangkan Experiential Family
Therapy. Menurutnya, gaya komunikasi dalam keluarga mencerminkan perasaan dan
harga diri masing-masing anggota. Pada keluarga yang tidak harmonis terjadi
komunikasi disfungsional, yaitu yang komunikasi yang tidak jelas, tidak langsung,
terdistorsi dan tidak lengkap. Dari pengamatannya, Satir menemukan 5 gaya
komunikasi yang dilakukan anggota keluarga saat menghadapi masa stres. Gaya
komunikasi ini tampil dalam ungkapan verbal dan juga bahasa tubuh dalam
kehidupan sehari-hari.
a) Placater: lemah, cenderung menurut pada orang lain, banyak meminta maaf,
mencoba menyenangkan semua pihak
b) Blamer: mendominasi, mencari kesalahan orang lain, merasa paling benar
c) Super-reasonable: kaku dalam berpikir, tampak tenang, rasional, berusaha
tidak terlibat secara emosional

244

d) Irrelevant: sering mengalihkan pembicaraan, tidak bisa fokus pada


pembicaraan, tidak berani mengambil posisi/memberikan pendapat pada
masalah tertentu
e) Congruent communicator: ekspresif, bertanggung jawab atas pendapatnya,
menyampaikan pendapat secara jelas.
Perbedaan Konseling Individual dan Konseling Keluarga
Dalam konseling yang menggunakan sudut padang teori sistem, proses
penggalian dan identifikasi masalah menjadi berbeda dengan konseling individual.
Proses wawancara lebih difokuskan pada interaksi, nilai dan aturan penting, serta
boundaries antar pasangan dan antar anggota keluarga. Dalam tabel di bawah ini
dapat

dilihat

perbedaan

diantara

konseling

individual

dengan

konseling

pasangan/keluarga:
Konseling Individual
Konseling Pasangan/Keluarga
Memfokus pada diagnosis yang akurat Melakukan eksplorasi terhadap pola interaksi,
berdasarkan ICD-10 atau DSM

aturan, boundaries dalam keluarga


Konseling melibatkan seluruh anggota keluarga

Proses

konseling

hanya

melibatkan atau minimal 2 orang (pasangan, orangtua dan

individu yang bermasalah


Memfokus

pada

anak)

penyebab,

proses Memfokus pada hubungan diantara anggota

terjadinya simtom, aspek emosi, proses keluarga


kognitif yang berkaitan dengan simtom
Membantu

individu

untuk

dan

bagaimana

hubungan

tersebut

membuat masalah berkelanjutan

mengatasi Mendorong kerjasama dalam keluarga dalam

masalahnya sendiri

mengatasi masalah dan menciptakan pola interaksi


yang lebih baik

Sub Pokok Bahasan 4. Genogram


Genogram merupakan suatu format untuk menggambarkan silsilah atau pohon
keluarga yang mencakup pula informasi-informasi tentang anggota keluarga dan
bentuk-bentuk hubungan mereka minimal dalam tiga generasi.Genogram sering
digunakan oleh para konselor/terapis karena dapat memperlihatkan struktur keluarga

245

secara jelas.Disamping itu genogram juga dapat membantu anggota keluarga untuk
memandang keluarga dan masalah mereka secara berbeda. Beberapa manfaat dari
genogram:

Menjalin hubungan dengan klien/keluarga


Pembuatan genogram merupakan salah satu cara pembentukan rapport, khususnya
dengan anggota keluarga yang kurang kooperatif, karena konselor menunjukkan
minat terhadap keseluruhan sistem keluarga.Konselor dapat pula memperlihatkan
genogram yang dibuatnya kepada keluarga atau menggambar genogram di papan
tulis. Cara ini biasanya akan menimbulkan suasana lain terhadap proses terapi.

Memperjelas pola-pola interaksi dalam keluarga


Fungsi ini adalah yang utama dalam pembuatan genogram.Selama konselor
mengumpulkan informasi dalam melengkapi genogram, secara kontinyu konselor
menyusun dugaan-dugaan tentang keadaan keluarga.Dari genogram juga dapat
dilihat pola repetitif antar generasi.Dengan memahami pola interaksi, pasangan
dan keluarga dapat melihat perilaku mereka dalam konteks keluarga besar.

Mengubah sistem keluarga yang kaku


Keluarga yang datang untuk terapi biasanya mengadopsi pandangan tersendiri
tentang masalah mereka dan tentang apa yang harus diubah. Seringkali pandangan
tersebut bersifat kaku dan mengkambing-hitamkan seseorang.Wawancara yang
dilakukan untuk

membuat genogram dapat

membantu keluarga untuk

membicarakan isu-isu emosional dan interpersonal disekitar masalah sehingga


mengubah persepsi mereka tentang masalah.

Memberi arti baru pada isu-isu keluarga


Genogram merupakan alat yang penting untuk memberi arti baru (reframing) pada
tingkahlaku dan hubungan antar anggota, serta menormalisasi persepsi klien
terhadap dirinya sendiri. Adanya interpretasi baru mengenai pengalamanpengalaman keluarga memungkinkan pemikiran tentang berbagai kemungkinan
baru dimasa depan.
Genogram memiliki simbol-simbol tersendiri untuk menjelaskan jenis kelamin,

garis hubungan antar anggota keluarga, bentuk interaksi diantara dua orang atau
lebih, jenis masalah yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga (lihat
Lampiran 1). Pembuatan genogram meliputi 3 tahapan :
a) Pembuatan struktur keluarga
Dasar dari genogram adalah penggambaran dari hubungan secara biologis
dan hukum dari para anggota keluarga, dari satu generasi ke generasi

246

berikutnya. Untuk itu terapis perlu mengenal simbol-simbol yang


digunakan dalam pembuatan genogram
b) Merekam informasi tentang keluarga
Hal-hal yang secara khusus perlu digali adalah informasi demografis
(nama, usia, tahun kelahiran atau meninggal, perkawinan, dsb.); informasi
tentang kesehatan (data-data tentang kesehatan, kondisi emosional,
tingkahlaku khusus, dsb.); dan kejadian-kejadian khusus dalam keluarga.
c) Hubungan-hubungan dalam keluarga
Untuk menunjukkan hubungan antar anggota keluarga digunakan garisgaris yang berbeda sebagai simbol.Bila pola hubungan sangat kompleks,
sebaiknya dibuat genogram tersendiri.

Sub Pokok Bahasan 5. Pendekatan Berfokus Solusi (Solution Focused


Apporach)
a. Asumsi-asumsi dari Pendekatan Berfokus Solusi
1.

Klien memiliki sumber-sumber dan kekuatan untuk mengatasi masalah


Pada umumnya klien memiliki kemampuan untuk mengatasi masalahnya,
namun karena tekanan dan stres yang dihadapi maka klien tidak mampu
memanfaatkan potensi-potensinya untuk memecahkan masalah.Jadi tugas
konselor adalah mengidentifikasi kekuatan klien dan mendukung perubahan.

2.

Perubahan sifatnya konstan


Bila kita percaya bahwa perubahan terjadi terus menerus, kita akan melihat
terjadinya perubahan. Jadi percakapan dalam terapi seharusnya ditujukan
untuk menggali perubahan yang telah terjadi, bukan terus mendengarkan
uraian tentang masalah.Amatlah penting untuk memfokuskan pada hal-hal
yang mengarah pada perubahan, walau kecil sekalipun, dan menganggapnya
berharga.Selanjutnya, perbesar perubahan tersebut.

247

3.

Untuk mengatasi masalah tidak diperlukan pengetahuan yang banyak tentang


masalah tersebut
Terapis kesulitan membantu klien bukan karena kurangnya informasi, tetapi
karena informasi yang berlebih mengenai masalah.Sementara pengetahuan
mereka tentang solusi amat minim.Karena itu amat penting untuk menggali
usaha-usaha/keberhasilan klien dalam memecahkan masalah. Bila klien
mengetahui apa yang berbeda antara terjadinya masalah dengan tidak, maka ia
akan dapat mengulangi keberhasilannya dimasa depan.

4.

Yang dibutuhkan adalah perubahan yang kecil; perubahan pada sebagian


sistem akan mempengaruhi perubahan pada sistem lainnya
Bila klien berada dalam lingkaran kegagalan, maka akan berkembang
perasaan tidak berdaya. Sebaliknya bila mengalami perubahan positif, maka
akan muncul rasa optimis. Perubahan dapat disamakan dengan bola salju yang
menggelinding makin lama makin besar.Perubahan juga bersifat menular. Bila
salah satu anggota keluarga berubah (misalnya suami menjadi lebih terbuka),
akan mengakibatkan perubahan pada orang lain (istri lebih toleran).

5.

Klien mendefinisikan tujuan terapi


Pendekatan ini tidak percaya adanya satu cara yang benar untuk menjalani
kehidupan. Apa yang dapat diterima pada keluarga tertentu, belum tentu cocok
bagi keluarga lain. Disamping itu pengalaman menunjukkan bahwa banyak
klien yang kecewa dengan terapi karena tujuan dan arah terapi ditentukan oleh
terapis. Jadi disini klienlah yang berperan dalam menentukan apa yang ingin
diubah.

6.

Perubahan atau pemecahan masalah secara cepat adalah mungkin


Setelah pertemuan pertama, biasanya klien akan memperoleh pandangan baru
yang lebih optimistik dan produktif mengenai situasi yang dihadapi. Maka
pada

pertemuan

kedua

biasanya

sudah

terjadi

perubahan

yang

signifikan.Jumlah sesi pada pendektan ini berkisar hanya 4-5 sesi. Yang
penting adalah kerjasama terapis dan klien dalam menciptakan realitas baru.
7.

Tidak ada satu cara benar dalam melihat sesuatu, pandangan yang berbeda
tetap valid dan cocok dengan fakta
Tidak ada istilah benar dan salah dalam mempersepsi suatu hal.Tetapi diantara
persepsi yang berbeda-beda tersebut ada yang bermanfaat dan ada yang
tidak.Bagaimana seseorang berusaha mengatasi masalahnya tergantung pada
persepsinya terhadap masalah tersebut.Contoh : anak membolos bisa

248

dipersepsi sebagai kemalasan, stres dengan situasi sosial, self-esteem rendah


atau ekspresi dari stres dalam keluarga. Kadang-kadang yang perlu dilakukan
oleh klien adalah mengubah persepsi terhadap apa yang dihadapi.
8.

Fokus terapi pada apa yang mungkin dan dapat diubah, bukan yang tidak
mungkin dan tidak dapat diselidiki
Terapi jangka panjang seringkali berusaha untuk mengubah hal-hal yang
relatif stabil, seperti kepribadian.Pada pendekatan ini, tujuan terapi
dirumuskan secara kongkrit dan sesuai dengan waktu terapi.Jadi dipilihlah
situasi sosial yang paling mungkin diubah.Contoh : bukan mengubah
kepribadian penderita borderline, tetapi berusaha membantu klien untuk
memperoleh pekerjaan, membentuk hubungan persahabatan atau mencegah
tindakan bunuh diri.

b. Teknik-teknik
Dalam Pendekatan Berfokus Solusi, penggunaan bahasa yang tepat sangat penting
sebab wawancara dilihat pula sebagai intervensi. Beberapa teknik khusus yang
digunakan adalah :
a) First session formula task
Mulai sekarang sampai dengan pertemuan kita selanjutnya, saya ingin Anda
melakukan observasi terhadap hal-hal apa yang ada atau terjadi dalam diri
Anda/hubungan dengan pasangan/perkawinan/keluarga, yang Anda inginkan
untuk tetap ada atau terjadi
Tugas ini diberikan kepada semua klien pada akhir sesi pertama dengan tujuan
untuk mengubah fokus klien dari hal-hal yang negatif menjadi berpikir dan
mengharapkan hal-hal positif.
b) Presuppositional questioning
Pertanyaan ini ditujukan untuk mengarahkan persepsi klien kepada
pemecahan masalah. Dasar pembuatan pertanyaan ini adalah : berupa

249

pertanyaan terbuka dan menghindari pertanyaan yang dapat dijawab dengan


ya atau tidak. Contoh:
Usaha-usaha apa saja yang telah kamu lakukan untuk mengatasi masalah
ini?
(bukan Apakah Anda telah melakukan usaha-usaha tertentu?)
Perubahan apa saja yang telah terjadi sejak selama sebulan terakhir inii?
(bukan Apakah terdapat perubahan selama sebulan terakhir ini?)
c) Exceptions to the Problem
Betapapun buruknya masalah yang dihadapi klien, selalu ada hari-hari atau
waktu tertentu saat mana masalah tidak muncul atau tidak seburuk
biasanya.Karena itu, terapis harus menggali saat-saat klien merasa lebih
bahagia atau lebih optimis terhadap pemecahan masalah. Contoh pertanyaan
yang dapat diajukan :
Sejak awal semester ini, kapan kamu merasa lebih bersemangat untuk
belajar?
Bagaimana keadaan itu dapat terjadi?
Bagaimana reaksi teman-teman kamu terhadap perubahan tersebut?
d) Normalization
Untuk mengurangi pandangan negatif dan perasaan tidak berdaya pada klien,
terapis dapat mendeskripsikan masalah yang dihadapi klien sebagai sesuatu
yang wajar atau terjadi pada banyak orang, dan bukan sesuatu yang
patologis.Normalisasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Contoh:
Karena ibu tidak terbiasa terbuka pada orangtua maupun kakak, wajar saja
bila ibu juga sulit terbuka dengan suami
Masalah yang Anda hadapi sangat sulit diatasi sehingga wajar jika Anda saat
ini merasa putus asa.

REFERENSI
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont:

250

Thomson Brooks/Cole
Goldberg, H. & Goldberg, I. 2008.Family Therapy: An overview. 7th ed. Belmont:
Thomson Brooks/Cole
Kanel, K. 1999. A guide to crisis intervention. Pacific Grove: Brooks/Cole)
Nichols, N.P & Schwartz, R.C. 2010.Family Therapy: Concepts and methods. 9thed.
Boston: Allyn and Bacon.

POKOK BAHASAN 6. Konseling Dukungan Menjelang Kematian, Duka Cita


dan
Berkabung
I. Deskripsi Singkat
Dalam menghadapi kematian terkait perjalanan infeksi HIV dapat terjadi
konflik yang tidak dapat dihindarkanseperti rasa kegagalan, ketakutan, putus
asa dan marah.Namun dapat juga kematian dihadapi tanpa konflik dan timbul
perasaan damai dan sukacita.
Kematian mungkin memiliki berbagai arti psikologis, baik untuk orang yang
hampir meninggal maupun bagi masyarakat. Sebagai contoh, beberapa orang
memandang kematian sebagai hukumanyang sepantasnya diterima untuk apa
yang dianggap sebagai gaya hidup tidak bermoral atau memalukan.
Perubahan perilaku yang harus diperhatikan dalam kasus-kasus terminal
adalah

reaksi

terhadap

kematian.

Teori

yang

terkennal

dibuat

olehElizabethKubler-Roos yaitu : shock denial anger bargaining


depression acceptance.
TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM :
Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu memahami Konseling Dukungan
Menjelang Kematian, Duka Cita dan Berkabung
TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS :
Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menerapkan

Konseling Dukungan

menjelang kematian, Dukacita dan Berkabung

251

POKOK BAHASAN :
Konseling dukungan menjelang kematian, dukacita dan berkabung
Sesi 1: Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum berkenalan
mulai dengan

perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya

menggunakan
bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Konseling Dukungan Menjelang
Kematian,Duka cita dan Berkabung
Sesi 2: Pembahasan Materi
1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang disampaikan dan
melanjutkan dengan penjelasan tentang Konseling Dukungan Menjelang Kematian,
Duka Cita dan Berkabungdengan meminta peserta membaca secara bergantian
UraIn materi pokok bahasan diatas
2. Fasilitator meminta peserta melakukan aktifitas dengan mencoba melakukan
latihanlatihan komunikasi dengan kalimat-kalimat pertanyaan dalam uraian materi
tersebut
secara bergantian
2. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
3. fasilitator mengajak peserta untuk melakukan :
Kegiatan Materi Inti V.Pokok Bahasan 6.
Konseling dukungan menjelang Kematian , duka cita dan berkabung

Sesi 3: Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan
aktif seluruh peserta

252

URAIAN MATERI
Dalam menghadapi kematian terkait perjalanan infeksi HIV dapat terjadi konflik
yang tidak dapat dihindarkanseperti rasa kegagalan, ketakutan, putus asa dan
marah.Namun dapat juga kematian dihadapi tanpa konflik dan timbul perasaan
damai dan sukacita.
Kematian mungkin memiliki berbagai arti psikologis, baik untuk orang yang
hampir meninggal maupun bagi masyarakat. Sebagai contoh, beberapa orang
memandang kematian sebagai hukumanyang sepantasnya diterima untuk apa yang
dianggap sebagai gaya hidup tidak bermoral atau memalukan.
Perubahanperilakuyangharusdiperhatikandalamkasus-kasusterminaladalah
reaksiterhadapkematian.Teori yang terkenal dibuat oleh Elizabeth Kubler-Roos
yaitu : shock denial anger bargaining depression acceptance.
a. Tahapan penyesuaian seseorang terhadap suatu stresor:
1) Stadium1.Goncangan

dan

Penyangkalan

(Shock

Denial).Saatdikatakanbahwamerekaakanmeninggal,
klienmengalamireaksiawalgoncangan emosi. Klien mungkin tampak
bingung pada awalnya dan selanjutnya menolak untuk mempercayai
diagnosis atau menyangkal bahwa semuanya itu adalah salah. Dalam
kasus seperti ini konselor harus berkomunikasi dengan klien dan
keluargaklien

tentang

prognosis(ramalan

informasi

kondisi

dasar

perjalanan

mengenai

penyakit)

dan

penyakit,
pilihan

pengobatan. Konseling dilakukan secara langsung dengan tetap


menghormati klien atau keluarganya.
2) Stadium 2 - Kemarahan (Anger).Klien menjadi frustrasi, mudah
tersinggung dan marah karena mereka sakit. Suatu respon yang sering
adalah, "Mengapa saya?" Mereka mungkin menjadi marah kepada
Tuhan,teman atau anggota keluargam bahkan sangat mungkin
menyalahkan dirinya sendiri.Kemarahan dapat dialihkan kepada
keluarga dan konselor. Klien dalam stadium kemarahan sulit untuk
diobati.Mungkin seorang konselor mempunyai kesulitan untuk

253

memahami bahwa kemarahan tersebut merupakan reaksi emosional


yang dapat diperkirakan. Konselor yangbenar-benar menjadi sasaran
kemarahan dapat menarik diri dari klien atau memindahkan klien ke
konselor lain.
Respon yang empatik dapat membantu menghilangkan kemarahan
klien dan dapat membantu memusatkan kembali pada perasaan yang
ada (seperti rasa sedih, ketakutan dan kesepian) yang mendasari
kemarahan tersebut. Konselor harus mengenali bahwa kemarahan
dapat mencerminkan keinginan klien untuk dikendalikan

karena

mereka merasa benar-benar di luar kendali.


3) Stadium 3 - Perundingan (Bargaining).Klien mungkin berusaha
untuk berunding dengankeluarga, teman atau bahkan dengan
Tuhan.Sebagai balasan kesembuhan, mereka akan memenuhi satu atau
banyak janji yang dibuatnyaseperti memberikan derma dan beribadah
dengan teratur.
Aspek lain dari perundingan adalah klien percaya bahwa dengan ia
menjadi baik (patuh, tidak bertanya-tanya, bergembira) maka konselor
dan keluarga akan menjadi lebih baik terhadapnya.
4) Stadium 4 - Depresi (Depression).Di dalam stadium keempat,klien
menunjukkan tanda klinis depresi - penarikan diri, gerakan melambat,
gangguan tidur, putus asa dan kemungkinan ide bunuh diri. Depresi
mungkin merupakan reaksi terhadap efek penyakit pada kehidupan
mereka (seperti kehilangan pekerjaan, kesulitan ekonomi, tidak
berdaya, tidak mempunyai harapan dan isolasi dari teman dan
keluarga). Jika gangguan depresi berat dan ide bunuh diri timbul,
pengobatan dengan obat antidepresan perlu diberikan atau dirujuk ke
ahlinya.Semua orang merasakan suatu derajat kesedihan saat
menunggu kematiannya sendiri dan kesedihan yang normal tidak
memerlukan intervensi

obat.Tetapigangguan depresi berat dan ide

bunuh diri yang aktif dapat diturunkan derajatnya dan tidak boleh
dianggap sebagai suatu reaksi normal terhadap ancaman kematian.
Seseorang yang menderita akibat gangguan depresi berat mungkin
tidak mampu mempertahankan harapan. Harapan dapat mempertinggi
martabat dan kualitas hidup pasien.

254

5) Stadium 5 - Penerimaan (Acceptance). Klien menyadari bahwa


kematian tidak dapat dihindaridan mereka menerima bahwa kematian
dialami semua orang.

Perasaan mereka dapat terentang dari suatu

suasana hati yang netral sampai suasana hati gembira.Di dalam situasi
yang ideal, pasien menguasai perasaan mereka mengenai kematian
yang tidak dapat dihindari dan mampu untuk berbicara tentang
kematian pada orang yang tidak mengetahuinya. Orang

yang

mempunyai kepercayaan agama yang kuat dan yakin akan kehidupan


setelah kematian dapat menemukan ketenangan dalam kepercayaan
rohani mereka, tidak merasa takut pada kematian.
b. Reaksi Terhadap Kematian
Reaksi terhadap kematian tidak sama, kemampuan anak untuk mengerti
kematian mencerminkan kemampuan mereka untuk mengerti tiap konsep
yang abstrak. Anak-anak prasekolah dibawah usia 5 tahun percaya bahwa
segala sesuatu bahkan suatu benda mati, adalah hidup dan menurut mereka
kematian adalah perpisahan yang mirip dengan tidur. Antara usia 5 dan 10
tahun, anak-anak mempunyai perasaan yang berkembang mengenai kematian, yaitu kematian itu tidak dapat dihindari. Mereka takut bahwa
orangtuanya akan meninggal dan dengan demikian mereka akan
ditelantarkan.

Pada

usia

kira-kira

atau

10

tahun,

anak-anak

mengkonseptualisasikan kematian sebagai sesuatu yang dapat terjadi pada


seorang anak, seperti juga pada orangtua. Pada masa pubertas, anak mampu
untuk mengkonseptualisasikan kematian sebagai hal yang tidak dapat dihindari.Pada orang dewasa, reaksi bisa berbeda-beda dan tidak selalu khas.
c. Duka Cita dan Berkabung
Istilah dukacita, berkabung dan kehilangan digunakan pada reaksi
psikologis dari seorang yang mengalami kehilangan yang bermakna.
Dukacita(grief) adalah perasaan subyektif yang dicetuskan atas kematian
seseorang yang dicintai. Kehilangan(bereavement) adalahsuasana duka
pada

orang

yang

ditinggalkan.Berkabung(mourning)

adalahproses

meredanya dukacita yang tampak dalam perilaku dan kebiasaan yang


berbeda pada masyarakat. Ekspresi dukacita memiliki rentang emosi yang
luas tergantung pada norma dan budaya (sebagai contohnyabeberapa

255

budaya mendorong atau membutuhkan pengungkapan emosi yang kuat,


sedangkan budaya lain mengharapkan yang berlawanan)
d. Karakteristik Dukacita
Dukacita awal seringkali dimanifestasikan sebagai keadaan terguncang
yang mungkin diekspresikan sebagai perasaan mati rasa dan suatu perasaan
kebingungan. Ketidak mampuan untuk mengerti apa yang terjadi, mungkin
terjadi dalam waktu singkat. Keadaan tersebut diikuti oleh ekspresi
penderitaan dan ketegangan seperti berkeluh kesah dan menangis. Perasaan
kelemahan, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan dan kesulitan
berkonsentrasi, kesulitan bernafas dan berbicara, gangguan tidur termasuk
kesulitan tertidur, terbangun saat malam hari dan terbangun lebih awal.
Sikap menyalahkan diri sendiri juga sering ditemukan. Pikiran yang
menyalahkan diri sendiri biasanya berpusat pada suatu kelalaian atau
perbuatan/ sikap yang telah dilakukan terhadap orang yang telah
meninggal.
Beberapa karakteristik dukacita adalah:
1) Lama Dukacita.Karena orang sangat bervariasi dalam ekspresinya
tentang dukacita, kemungkinan tanda, gejaladan fase berkabung dan
kehilangan adalah tidak sama dan lamanya bervariasi.
2) Dukacita yang Ditunda, Ditekan atau Disangkal.Dukacita yang
ditunda, ditekan atau disangkal adalah tidak adanya ekspresi duka
pada saat

menghadapi kematian. Pengaruh keluarga dan budaya

mempengaruhi bagaimana orang yang berkabung menunjuk reaksinya


di dalam masyarakat. Terdiam membisu yang dilakukan oleh satu
kelompok sangat berbeda secara dramatis dengan tangisan, ratap dan
pingsan yang diterima oleh kelompok lain bagai suatu norma. Karena
itu, mengukur besar dukacita orang lain dari penampilan luar mungkin
sulit kecuali telah mengerti latar belakang orang tersebut.
3) Dukacita pada anak-anak.Menghadapi anak yang berduka, konselor
harus mengenali kebutuhan anakuntuk menemukan seseorang yang
akan

menggantikan

orangtuanya.Anak

mungkin

mengalihkan

kebutuhannya akan orangtua kepada beberapa orang dewasa lainnya


daripada pada satu orang dewasa.Jika tidak ada orang yang

256

konsisten,masalah

psikologis

yang

berat

pada

anak

dapat

terjadisehingga mereka tidak lagi mencari atau mengharapkan


keintimandi dalam semua hubungan. Kepentingan menangani reaksi
dukacita pada anak-anak dianggap mendesak karena meningkatnya
kasus gangguan depresi dan usaha bunuh diri pada orang dewasa yang
di dalam masa anak-anak awalnya mengalami kematian orangtua.
Pertanyaan apakah anak harus menghadiri pemakaman adalah
pertanyaan yang sering dan tidak ada jawaban yang pasti. Sebagian
besar ahli anak setuju jika anak menunjukkan keinginan untuk pergi
kepemakaman, keinginannya harus dihormati. Jika anak menolak atau
enggan untuk pergi, hal itu juga harus dihormati. Pada sebagian besar
keadaan, kemungkinan lebih baik mendorong anak untuk menghadiri
pemakaman sehingga ritual tidak dilapisi fantasi atau misteri yang
menakutkan dan menyimpang.
4) Dukacita pada Orangtua. Reaksi orangtua terhadap kematian anak
atau bayi, stadiumnyamirip dengan yang digambarkan oleh Kubler
Ross dalam penyakit terminal (goncangan, penyangkalan, kemarahan,
tawar menawar, depresi dan penerimaan).Kematian seorang anak
seringkali merupakan pengalaman emosional yang lebih kuat
dibandingkan dengan kematian seorang dewasa. Manifestasi dukacita
mungkin juga dirasakan sepanjang hidupnya.Ketegangan dalam
menghadapi kematian anak dapat menyebabkan suatu perkawinan
yang sebelumnya telah memiliki konflikmengalami kehancuran.
Orangtua mungkin saling menyalahkan satu sama lainatas penyakit
anaknya,khususnya

jika

penyakit

anak

disebabkan

oleh

orangtua.Konselor harus sadar akan pola pertikaian tersebut.


e. Intervensi Keluarga
Langkah pertama bekerja di dalam keluarga klienyang hampir meninggal
adalah mengembangkan suatu ikatan dengan mereka. Hal tersebut dapat
dicapai dengan mengizinkan anggota keluarga berbicara mengenai
kehidupan mereka sendiri dan tekanan-tekanan perasaan yang dialami.
Konselor harus mencoba menilai sampai derajat mana anggota keluarga
menginginkan pengarahan atau bantuan dan sampai derajat mana mereka
lebih menyukai rasa mandiri. Pada saat stres yang berat seperti ancaman

257

kematian pada anggota keluarga, konflik keluarga dapat membesar.


Konselor dapat membantu keluarga memfokuskan kembali perhatian dalam
menghadapi stres daripada mereka saling menyalahkan dan berdebat.
Membuka saluran komunikasi di antara anggota keluarga dapat membantu
anggota keluargauntukberbicara denganklien yang hampir meninggal
tentang ancaman kematian. Ketakutan mungkin terjadi karena merasa
terlalu takut.Hal ini akan mengacaukan diri mereka sendiri atau
mengacaukanklien. Sebaliknya, klien yang hampir meninggal mungkin
enggan untuk membicarakan ancaman kematian pada dirinya sendiri
karena merasa takut membebani keluarga.Di dalam situasi tersebut
konselor dapat membiarkan masing-masing pihak mengetahui apa perasaan
pihak lain dan dapat mendorong diskusi atau bahkan mengungkapkan topik
ini jika semua pihak menginginkannya.
Kunci komunikasi yang harus dipahami oleh konselor pada proses konseling
Dukungan menjelang Kematian, dukacita dan berkabung
KEMATIAN BUKAN SESUATU TANG PERLU DITAKUTKAN, TETAPI PERLU
DIBICARAKAN, DITERIMA DAN DIPERSIAPKAN

Bereavement adalah kehilangan sesuatu yang berharga. Kehilangan yang


paling besar ialah karena kematian.

Bereavement period adalah masa

berkabung

Grief adalah rasa duka yang muncul karena kehilangan. Hal ini dapat tejadi
sebelum kehilangan itu terjadi (anticipatory grief) atau setelah kehilangan
terjadi.

Mourning adalah tindakan pada saat kehilangan.

Hal ini meliputi atau

dipengaruhi oleh adat kebiasaan, kultur dan kepercayaan.


Pasien dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa dapat mengalami kehilangan
berbagai aspek bukan hanya sejak mereka memasuki stadium lanjut, tetapi bahakan
sejak didiagnosa penyakit tersebut ditegakkan. Rasa kehilangan meliputi: kehilangan
integritaa sebagai individu, kepastian, kontrol, kebebasan, otonomi, peran, harapan,
masa depan, mimpi dan, body image, rasa percaya diri, martabat, jaminan, harta dan
bahkan dunianya.
Rasa kehilangan tersebut menimbulkan duka dan rasa duka yang muncul pada
seseorang dapat bersifat normal atau patologis.

258

Rasa duka yang normal biasanya diekspresikan dalam bentuk gangguan tidur, tingkat
aktifitas dan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari hari. Intensitas dari rasa
duka biasanya akan berkurang dengan berjalannya waktu. Bentuk lain dari rasa duka
dapat juga muncul dalam bentuk:

Gangguan afektif: sedih, kecewa, marah, cemas, rasa bersalah

Gejala fisik: perubahan nafsu makan, berat badan

Perubahan tingkah laku: menarik diri, disorganisasi

Gangguan kognitif: daya ingat, mimpi, halusinasidan konsentrasi.

Rasa duka yang patologis, adalah sbb:

Reaksi emosi yang ekstrim, rasa tidak mampu mengatasi masalah dan tanpa
diselingi oleh periode emosi yang normal.

Stres yang berkepanjangan tanpa menunjukkan perbaikan setelah 1 2 tahun

Gangguan berat pada tidur, fungsi sosial dan kemampuan bekerja

Rasa duka bisa dialami oleh pasien HIV AIDS sendiri atau oleh keluarganya. Bagi
keluarga, tingkat rasa duka tersebut dipengaruhui oleh :

Siapa pasien bagi mereka

Kedekatan hubungan antara pasien dan keluarga

Cara atau kondisi saat meninggal

Kejadian sejak pasien sakit

Kepribadian pasien dan keluarga

Aspek sosial keduanya

Dukungan yang perlu pasien dan keluarga dapat berupa


A. Kenali dan mengerti
Mulailah dengan kalimat: Anda kelihatan sangat sedih...
Jangan lanjutkan, diamlah.....jangan bertanya apapunSilent..............
Dukungan berupa: Hadir dan mendengarkan
B. Affirm adaptive coping
Katakan: Sangat baik anda dapat secara terbuka mengekspresikan perasaan
anda tentang perubahan yang tejadi dalam hidup anda karena penyakit ini.
Rasa sedih ini normal, dan saya berharap anda secara bertahap dapat
beradaptasi dengan perubahan peran.
Berbicara tentang kematian sebaiknya dilakukan pada saat kondis pasien masih baik
terutama kondisi kognitifnya, karena kita akan juga membicarakan tentang WASIAT.
Jangan paksa pasien untuk berbicara tentang kematian.

Membicarakan tentang

kematian sebaiknya dimulai dengan hal hal sbb:


259

Pancing, tema apa pasien akan berdiskusi

Jangan menghindar bila psien mulai bicara tentang kematian

Yakinkan pasien bahwa dukungan akan selalu tersedia

Diskusi mungkin menegenai: tempat kematian, ritual, pemakaman dll

BAGAIMANA BILA PASIEN MINTA DISUNTIK MATI?


BAGAIMANA MENJAWAB PERTANYAAN 2 SBB:

Kenapa ini terjadi pada diri saya? Apa dosa saya?

Kenapa Tuhan tidak mendengar doa saya?

Apakah ini hukuman Tuhan?

Apa yang telah saya perbuat sehingga saya menderita seperti ini?

Apa arti hidup saya?

Apa yang akan terjadi kalau saya tidak ada?

Konseling dengan pasien yang menghadapi kematian perlu memperhatikan


hal2 sbb:

Pentingnya kehadiran sesorang yang mampu menjalin hubungan dan


berkomunikasi dengan baik

Pentingnya mendengarkan secara aktif, bukan saja ucapan verbal tetapi juga
non verbal

Pentingnya kemampuan untuk dapat memahami, berempati dan mengasihi


ditengah penderitaan sehingga tercipta TRUST.

Perlunya menggarisbawahi prestasi dan martabat yang dicapai

Pentingnya terus mendukung harapan yang masih ingin dicapai

TAK

SEORANGPUN

MAMPU

MENJAWAB

PERTANYAAN-

PERTANYAAN TERSEBUT DAN PASIEN TAHU KITA TIDAK TAHU


JAWABANNYA.

MEREKA TIDAK INGIN JAWABAN, HANYA INGIN DIDENGARKAN

Pertanyaan dibawah dapat dipakai konselor dalam konseling dengan pasien


dalam stadium terminal

Apa yang dokter jelaskan tentang kondisi anda?

Apa arti semua informasi itu untuk anda?

260

Menurut anda apa yang akan terjadi di waktu yang akan datan?

Mohon ceritakan hari2 yang menyenangkan belakangan ini.

Apakah akhir akhir ini merasakan hari yang tidak menyenangkan? Apa yang
membuat hal tsb?

Menurut anda, bagaiman perjalanan penyakit ini selanjutnya?

Apa yang membuat anda takut dengan penyakit ini?

Jika kondisi anda memburuk, apakah anda ingin dibawa ke RS?

Apa yang ingin anda capai saat ini?

Apa yang dapat saya lakukan agar anda dapat mencapai hal tsb?

Jika sesuatu terjadi, apa yang anda kuatirkan?

Apakah anda memiliki wasiat

Apakah anda memiliki gejala yang sangat mengganggu?

Apa yang dapat saya lakukan agar anda bisa merasa lebih nyaman?

SUFFERING IS NOT A PROBLEM TO BE SOLVED, IT IS NOT A QUESTION


TO BE ANSWERED BUT IT IS A MYSTERY THAT DEMANDS A PRESENCE

MATERI INTI VI
PENGEMBANGAN PROGRAM LAYANAN KONSELING DAN TES HIV
PADA KELOMPOK BERISIKO
I.

DESKRIPSI SINGKAT
Pengembangan program pelayanan konseling dan tes HIV pada materi ini
akan menekankan pada materi : program Pencegahan Penularan dari Ibu ke
Anak/bayi (PPIA) atau dikenal dengan PMTCT (Prevention of Mother to

261

Child Transmission), pekerja seks, pengguna Napza melalui alat suntik,


remaja dan anak, Gay Waria dan Laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki
(GWL), dan penghuni lembaga pemasyarakatan.
II.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM :


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menerapkan konseling dalam
program layanan konseling pada kelompok berisiko

III.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS:


Setelah mengikuti pelatihan, peserta mampu
1. Melakukan konseling pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA)
2. Melakukan konseling kepada pekerja seks
3. Melakukan konseling kepada kelompok GWL
4. Melakukan konseling kepada warga binaan lapas dan rutan

IV.

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
1. Konseling dan tes HIV dalam layanan pencegahan penularanHIV dari
ibu ke anak (PPIA)
2. Konseling dan tes HIV pada perempuan pekerja seks
3. Konseling dan tes HIV pada kelompok GWL
4. Konseling dan tes HIV pada warga binaan lapas dan rutan

V.

METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :

VI.

1.

Curah pendapat

2.

Ceramah dan Tanya Jawab (CTJ)

3.

Studi Kasus

MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Komputer
LCD
Bahan tayang (slide powerpoint)
Modul
Whiteboard/filpchart + spidol
Materi Studi Kasus
262

VII.

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


POKOK BAHASAN 1.Konseling dan tes HIV dalam layanan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA)

Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran
sebaiknya menggunakan bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait PPIA
Sesi 2 : Pembahasan materi
1. Fasilitator

memberikan

apresiasi

atas

berbagai

pendapat

yang

disampaikan dan melanjutkan dengan penjelasan tentang Pencegahan


Penularan HIV dari Ibu ke anak
2. Fasiilitator meminta peserta menerangkan arti dari prong-prong pada
system layanan PPIA
3. Fasilitator menjelaskan secara rinci mengenai program layanan PPIA
dan tujuan Konseling dalam layanan PPIA
4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
5. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan :
Kegiatan Materi Inti VI :Pembahasan Kasus PPIA dalam Konteks TKHIV
Sesi 3 : Refleksi
1.

Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama


tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang
ditetapkan sudah tercapai

2.

Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas


keterlibatan aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 1. Konseling dan Tes HIV dalam Layanan Pencegahan
Penularan
HIV Dari Ibu Ke Anak (PPIA) atau Prevention Mother to Child
Transmission (PMTCT)
a. Alur Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak/bayi

263

HIV Negatif
Perempuan
VCT

Pertahankan

2. hamil
Cegah kehamilan tidak direncanakan/dikehe
Tidak

HIV Positif

3.Cegah bayi terinfeksi


Hamil

4.Perawatan, Dukungan dan Pengobat

b. Strategi pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (Prevention Mother


to Child Transminssion/PMTCT)
Tabel Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak
MODEL WHO
4 PRONG UNTUK PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Strategi
Kegiatan Utama
Prong I :
Intervensi perubahan perilaku pada populasi umum dan
Pencegahan

primer

Infeksi

pasangannya

HIV pada perempuan usia


subur

Pemberian informasi, pendidikan, konseling dan tes HIV,


pelayanan pencegahan HIV

Penatalaksanaan IMS yang baik

Menurunkan risiko transfusi darah yang tidak aman

Merespon

faktor

kontekstual

yang

meningkatkan

kerentanan perempuan, misalnya stigma dan diskriminasi

Promosi kondom: praktek seksual aman

Meningkatkan keikutsertaan pasangan dalam diskusi


seks aman pada konseling dan tes HIV

(Melaksanakan konseling pada pasangan baik HIV non


reaktif maupun reaktif atau sero diskordan menunjukkan
strategi intervensi primer yang sangat efektif)
Meningkatkan jumlah perempuan yang tahu status

Prong II :
Pencegahan kehamilan yang
tidak

diinginkan

serologinya - Informasi-edukasi-konseling pencegahan

pada
264

perempuan terinfeksi HIV

HIV dan pendekatan pencegahan penularan dari ibu


kepada anak.

Konseling

perempuan

dan

pasangannya

guna

memungkinkan mereka memilih kehamilan di masa


datang.

Promosi kondom sebagai alat untuk menarik KB

Rujukan pelayanan konseling keluarga berencana dan


lainnya yang diperlukan (pengetahuan tentang berbagai
pelayanan konseling di sekitar mereka, kecuali KB
hormonal).

Berikan penekanan untuk menggunakan alat KB lainnya


di samping kondom.

Informasi lengkap dan rujukan yang tepat bagi


perempuan

Prong III:
Pencegahan penularan

HIV

HIV

yang

ingin

menghentikan

kehamilannya.
Pastikan perempuan HIV mempunyai akses ke sistem
pelayanan antenatal dan PMTCT

dari perempuan terinfeksi HIV


ke bayi

Sediakan pelayanan antiretroviral

pada perempuan

hamil terinfeksi HIV dan bayinya, disertai konseling


kepatuhan berobat dan dukungan

Pertolongan persalinan yang aman

Konseling dan dukungan bagi pemberian makanan bayi


aman

Prong

IV:MTCT

Plus

Pelayanan medik dan keperawatan: konseling dan tes

Menyelenggarakan perawatan

HIV, infeksi oportunistik , terapi pencegahan, HAART

dan

dan pelayanan paliatif

dukungan

untuk

perempuan terinfeksi HIV dan


keluarganya

Dukungan psikososial: konseling, dukungan spiritual,

Hak azasi dan bantuan hukum: partisipasi ODHA,

konseling lanjutan dan dukungan masyarakat

pengurangan stigma dan diskriminasi

Dukungan sosioekonomi : dukungan materi, kredit usaha


kecil dan makanan

265

c. Penularan HIV pada perempuan usia subur


Sejak tahun 2000, Indonesia telah dikategorikan sebagai negara dengan tingkat
epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung prevalensi HIV lebih
dari 5% pada beberapa populasi tertentu (contohnya pengguna Napza
suntik/penasun)
Kecenderungan infeksi HIV pada perempuan dan anak terus meningkat
sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif tidak hanya untuk
mencegah penularan HIV pada perempuan tetapi juga pencegahan penularan
dari ibu ke anak. Sebagian besar (90%) infeksi HIV pada anak disebabkan
penularan dari ibu yang terinfeksi HIV (Mother to Child Transmission/MTCT).
Pendekatan yang komprehensif berarti bukan hanya memfokuskan pada ARV
profilaksis, namun secara lebih dini program harus menekankan pengurangan
jumlah perempuan yang terinfeksi HIV. Mengurangi jumlah perempuan/ibu
yang mengidap HIV adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi MTCT.
Infeksi HIV tidak akan ditularkan pada anak-anak bila calon orang tuanya tidak
mengidap HIV
Strategi pencegahan yang utama mencakup komponen-komponen berikut :
1) Perilaku yang aman dan bertanggung jawab
Perubahan perilaku berisiko menjadi perilaku aman (seks dan penggunaan
Napza) melalui tersedianya dukungan (kondom, alat suntik steril) dapat
membantu mencegah penularan HIV bila digunakan secara tepat dan
konsisten. Program-program yang mempromosikan pemakaian kondom
untuk mencegah HIV juga perlu difokuskan pada pemakaian kondom
untuk PMTCT.
2) Menyediakan diagnosa dini dan pengobatan IMS
a) Diagnosa dini dan perawatan IMS dapat mengurangi sekitar 40%
insiden HIV dalam masyarakat umum. Layanan perawatan IMS
memberi peluang untuk menyediakan informasi tentang infeksi HIV,
MTCT dan rekomendasi untuk melakukan tes dan konseling.
b) Layanan konseling dan tes HIV perlu disediakan untuk semua
perempuan usia subur karena intervensi PMTCT tergantung pada
perempuan yang mengetahui status HIV nya.
c) Konseling memberi kesempatan untuk perempuan yang tidak
terinfeksi HIV untuk mempelajari cara melindungi diri sendiri dan

266

bayinya dari infeksi HIV. Hal ini juga dapat dijadikan motivasi yang
kuat untuk menerapkan praktek-praktek seks yang aman, mendorong
pasangan melakukan tes serta membahas perencanaan keluarga
d) Penularan HIV dari ibu ke anak (Mother to Child Transmission,
MTCT)
Tabel berikut di bawah ini menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan
bayi memiliki risiko tertular HIV dari ibunya
FAKTOR RISIKO MTCT
Bukti kuat
Maternal

Bukti terbatas
Status gizi ibu

Tingginya muatan virus

Defisiensi vitamin A

Karakteristik virus

Anemia

Penyakit lanjut

IMS

Menurunnya kekebalan tubuh

Chorio-amnionitis

HIV yang diperoleh selama kehamilan

Seks tak aman

Pemberian ASI

Banyak pasangan seks

Merokok

Obstetrik

Injecting drug use (IDU)


Invasive Obstetrical Procedures

Kelahiran per vaginam versus opersi

Monitoring

sesar

Episiotomi

Robeknya selaput ketuban

dalam

jangka panjang

Perdarahan intra partum

Cara dan lama persalinan

Bayi

Persalinan dengan alat (vacum/forceps


dll)

Lesi kulit dan/atau

lapisan mukosa

Prematur

(sariawan mulut) termasuk saluran

ASI

cerna

Infeksi neonatal

Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi sebagai berikut :


1) Penularan HIV selama kehamilan

267

HIV tidak menular melalui plasenta ke janin. Plasenta melindungi bayi dari
HIVtetapiperlindungan menjadi tidak efektif bila ibu :
a) Mengalami infeksi viral yang lain, bakterial dan parasit (terutama
malaria) pada plasenta selama kehamilan
b) Terinfeksi HIV selama kehamilanmembuat meningkatnya muatan
virus pada saat itu
c) Mempunyai daya tahan tubuh yang sangat menurun berkaitan dengan
AIDS
d) Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tak langsung
berkontribusi untuk penularan dari ibu kepada anak
2) Penularan HIV selama proses kelahiran
Bayi yang terinfeksi dari ibu, mempunyai risiko lebih tinggi pada saat
dilahirkan.Kebanyakan bayi tertular HIV pada proses kelahiran, didapat
melalui proses menelan atau mengaspirasi darah ibu atau sekresi
vagina.Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke
anak selama proses melahirkan adalah :
a) Lama robeknya selaput ketubanseringkali dalam bentuk ketuban
pecahdini (KPD)
b) Chorioamnionitis akut (disebabkan tidakditerapinya IMS atau infeksi
lainnya)
c) Teknik invasif saat melahirkan yangmeningkatkan kontak bayi
dengandarah

ibu

misalnya,

episiotomi,

EF(ekstraksi

forceps),

EV(ekstraksi vacum).
d) Anak pertama dalam kelahiran kembar.
3)

Penularan HIV setelah persalinan (saat pemberian ASI)


HIV berada dalam ASI, tetapi konsentrasi virus lebih rendah dari pada
dalam darah. Risiko penularan melalui ASI tergantung dari :
a) Pola pemberian ASI, yaitu bayi yangmendapatkan ASI secara
eksklusifakan kurang berisikodibanding dengan pemberian susu
kombinasi (ASI dan susu formula)
b) Patologi payudara seperti mastitis,robekan puting susu,perdarahan
puting susu daninfeksi payudara lainnya
c) Lamanya pemberian ASI, yaitusemakin lama maka semakin besar
kemungkinaninfeksi
d) Status kekebalan tubuh ibu seperti kondisi AIDSstadium lanjut

268

e) Status gizi ibu yang buruk


4) Waktu penularan HIV selama pemberian ASI :
a) Penularan dapat terjadi selama masa menyusui
b) Sekitar 70% penularan pasca kelahiran terjadi pada 4-6 bulan pertama
c) HIV dideteksi di kolostrum dan susu ibu tetapi risiko relatif dari
penularan tak pernah pasti
d) Risiko bersifat kumulatif (makin panjang masa pemberian ASI, makin
besar risiko). Risiko keseluruhan dari penularan melalui ASI adalah
sebesar 10% diatas 24-36 bulan pemberian ASI.
d. Pelaksanaan Prong 3 dalam PMTCT
1) Penggunaan ARV profilaksis
ARV dapat mengurangi konsentrasi virus dalam jaringan, cairan dan air
susu ibu sehingga memperkecil kemungkinan penularan virus selama
dalam rahim, saat persalinan dan pasca melahirkan/menyusui. Pada tahun
1984 didapatkan hasil yang baik pada penggunaan ARV untuk
Prevention of Mother To Child dalam hal mengurangi penularan HIV.
Berdasarkan hal tersebut kemudian diadopsi standar pelayanan bagi
perempuan terinfeksi HIV di hampir semua negara.
2) Persalinan yang aman
Pilihan bagi ibu mengacu pada persalinan yang aman dan terjangkau.
konseling dan dukungan medis membantu ibu memilih persalinan normal
atau persalinan dengan operasi sesar (elektif, terencana).
3) Pemberian makanan untuk bayi
a) Kebanyakan perempuan HIV hidup dalam kondisi terabaikan dan sulit
mendapatkan akses air bersih dan sanitasi. Juga ada keterbatasan
kemampuan untuk memberikan subsitusi ASI yang aman. Penelitian
untuk pemberian ASI yang aman merupakan prioritas tinggi. Hasil
sebuah penelitian menunjukkan anak dengan ASI eksklusif akan
berkurang risiko tertular HIV dari pada mereka yang diberi ASI dan
makanan lainnya. Tetapi hasil ini harus dikonfirmasikan dengan hasil
penelitian lain. Penelitian lainnya dengan ARV sedang dilakukan,
untuk mengetahui apakah anak dapat disusui namun tidak tertular HIV.
b) Pilihan

pemberian

ASI

pada

bayi

dari

ibu

HIV

harus

didokumentasikan secara tertulis. Secara umum, kesimpulan dari

269

pedoman UN/WHO tentang pemberian makanan pada bayi adalah


sebagai berikut :

Untuk ibu dengan HIV Negatif atau status tak diketahui


Pemberian ASI eksklusif tetap dipromosikan serta tersedia
dukungan selama 6 bulan

Untuk ibu dengan HIV Positif


Subsitusi ASI (susu formula atau susu sapi diencerkan steril)
jikatersedia

dapat

menggunakan

makanan

pengganti

(terjangkau, terus menerus ada dan aman).


Jika tidak, maka pemberian ASI eksklusif direkomendasikan
sampai 6 bulan pertama kehidupan bayi dengan catatan ibu
dan bayi dalam terapi ARV sesuai pedoman nasional.

Budaya setempat senantiasa diperhatikan, juga situasiperempuan


secara individual dan adanya risiko makanan pengganti (daoat
meningkatkan risiko infeksi lain).
Risiko penularan HIV AIDS pada bayi didapat dari ibu dengan
HIV AIDS dapat terjadi pada saat dikandung, dilahirkan ataupun
dari pemberian ASI. ASI merupakan makanan utama bayi.
Kebijakan yang mendasari perlunya ASI diberikan adalah :
Sebagai prinsip dasar, di semua lapisan masyarakat, tanpa
memandang tingkat infeksi HIV, pemberian ASI harus dilindungi,
dipromosikan

dan

pemberianmakanan

didukung
bayi:

terus

menerus.

kebijakan,

hasil

(HIV

dan

kolaborasi

UNAIDS/WHO/UNICEF, 1997).
c) Beberapa butir pertimbangan akan perlunya ASI diberikanatau tidak,
maka :

Semua perempuan hamil dan yang baru melahirkanyang terinfeksi


HIV perlu mendapat konseling tentang risiko dan keuntungan dari
pilihan pemberian makanan bayi yang tersedia.

Bila seorang perempuan tidak mengetahui status HIVnya, maka


disarankan menyusui bayinya.

Tingkat penularan HIV dengan menyusui adalah 5-20%. Artinya :


diantara 10 ibu HIV positif dan semuamenyusui, 1-2 bayi bisa
terinfeksi HIV.

270

d) Bila bayi tidak menyusu, maka diperlukan makanan pengganti ASI.


Makanan pengganti ASI adalah suatu proses pemberian makanan
pada bayi yang tidak mendapat ASI dengan memberikan suatu
makanan yang mengandung semua sumber gizi yang diperlukan
seorang anak sampai waktunya anak tersebut dapat mengkonsumsi
makanan keluarga. Dalam memberikan makanan pengganti ASI
(PASI) tersebut, pertimbangkan apakah:

dapat diterima

layak dimakan/diberikan

terjangkau

dapat terjaga kesinambungannya

aman

Termasuk air bersih untuk mengolah PASI dan membersihkan


peralatan,

pengetahuan

tentang

cara

mempersiapkan

makanan

pengganti ASI dengan benar, tenaga dan waktu untuk mendapatkan


susu pengganti serta bahan bakar untuk mempersiapkan makanan
tersebut. Ibu yang terinfeksi HIV dapat dianjurkan untuk tidak
menyusui sama sekali bila pertimbangan diatas tidak terpenuhi. Di
daerah

dimana

tingkat

kematian

bayi

akibat

infeksi

tinggi,

menggunakan makanan pengganti ASI mungkin tidak cukup aman.


Bila tidak menggunakan makanan pengganti ASI, dianjurkan
memberikan ASI eksklusif selama bulan-bulan pertama.
Pemberian ASI eksklusif adalah hanya memberikan ASI (termasuk ASI
perah) tanpa memberikan makanan atau minuman lainnya, termasuk
air, dengan perkecualian pemberian vitamin, suplemen dan obatobatan dalam bentuk sirup.

e) Pengurangan risiko penularan HIV


Untuk

mengurangi

risiko

penularan

HIV,

begitu

keadaan

memungkinkan pemberian ASI harus segera dihentikan, dengan


mempertimbangkan :

Sosial budaya

Kondisi ibu

271

Risiko yang bisa timbul akibat pemberian makanan pengganti,


termasuk risiko infeksi selain HIVserta kemungkinan kurang gizi
Bila ibu yang terinfeksi HIV memilih untuk tidak menyusui
bayinya atau berhenti menyusui setelah beberapa bulan, ia perlu
dibimbing dan diberi dukungan secara khusus hinggapaling tidak
telah melewati dua tahun pertama kehidupan anaknya untuk
meyakinkan makanan pengganti cukup tersedia.
Ibu menyusui dengan HIV positif perlu diajarkan teknik
menyusui yang benar, demi mencegah puting dan payudara
lecet.Bila sampai terjadi hal ini, harus segera diobati.

f) Rangkuman pemberian makanan pada bayi

Pemberian ASI eksklusif terus dianjurkan pada semua lapisan


masyarakat. Bila seorang perempuan HIV negatif atau tidak tahu
status HIV-nya, dianjurkan pemberian ASI eksklusif.

Perempuan yang HIV positif perlu informasi dan konseling untuk


pengambilan keputusan yang tepat sesuai keadaannya.

Dalam menentukan pemilihan makanan pengganti ASI harus


dipertimbangkan bahwa makanan pengganti tersebut cukup
aman/bersih, terjangkau, tersedia, dan dapat diterima.

Para ibu perlu dukungan terus menerus dan informasi agar dapat
mengambil keputusan

dalam menentukan pemberian makanan

bagi bayinya.
f.

Nutrisi sebagai bagian penting dalam Pelaksanaan Prong 4 dalam PPIA


a) Fungsi Makanan
Makanan berfungsi sebagai bahan bakar tubuh, perbaikan sel yang rusak,
pertumbuhan dan fungsi pertahanan diri. Seseorang dengan HIV AIDS
mungkin membutuhkan makanan yang lebih banyak. Tubuh menyimpan
nutrien dan makanan berfungsi sebagai bahan bakar tubuh, perbaikan sel
yang rusak, pertumbuhan dan fungsi pertahanan diri. Seseorang dengan
HIV AIDS mungkin membutuhkan makanan yang lebih banyak. Tubuh
menyimpan nutrien dan tenaga dari makanan dalam bentuk lemak dan otot
tubuh. Tubuh akan menggunakan tenaga untuk tubuh tetap berfungsi dan
mengatasi infeksi serta perbaikan tubuh setelah sakit. Bila persediaan ini

272

tidak diganti dengan makan lebih banyak, berat badan akan turun dan otot
melemah sehingga tubuh kurang dapat mengatasi infeksi.
b) Mengurangi asupan makanan
Seseorang dengan HIV AIDS dalam keadaan tertentu mengurangi asupan
makanan, yakni bila
1) jamur merata di mulut, sakit pada mulut atau tenggorokan
2) sulit menelan
3) mual, muntah, diare
4) tidak nafsu makan
5) gangguan pada lidah sehingga cita rasa makanan yang berbeda
6) lelah, depresi, apatis dan faktor psikologis lainnya
7) tidak cukup uang atau kemampuan untuk mendapatkan makanan
8) kesulitan membeli, menyiapkan makanan dan memakannya
9) kurangnya kesadaran mengenai pentingnya gizi, khususnya pada saat
baru sembuh
c) Gangguan Penyerapan makanan
Makanan yang masuk sistem pencernaan akan mengalami proses yaitu
dihancurkan lalu dilumatkan dan diolah oleh enzym menjadi nutrien yang
akan diserap melalui usus dan masuk kepembuluh darah yang selanjutnya
dipakai tubuh. Bila ada kerusakan mukosa usus akibat infeksi yang merusak
sel usus, maka penyerapan akan berkurang.
Odha mungkin tidak dapat menyerap makanan dengan baik dan tubuh
mereka tidak dapat menggunakan nutrisi dalam makanan secara optimal.
Hal tersebut mengakibatkan kurangnya penyerapan nutrisi dari makanan
yang mereka makan.
Diare merupakan cerminan tingginya gerak peristaltik usus yang tidak
memberi kesempatan cukup untuk proses absorbsi makanan. Bila tubuh
tidak dapat menyerap nutrisi dengan baik, maka tidak akan didapat nutrisi
yang dibutuhkan dan mengakibatkan gangguan fungsi tubuh.
d) Beberapa perubahan terkait metabolisme, yaitu :
1) Tubuh memproses makanan secara salah, dalam hal metabolisme
karbohidrat akan dapat berakibat meningginya kadar gula darah.
2) Pemecahan dan pengambilan tenaga dari otot secara berlebihan akan
merusak otot tubuh yang mengakibatkan bengkak pada kaki dan
tubuh.
3) Penggunaan lemak yang berbeda dari biasanya akan meningkatkan
kadar lemak dalam darah.

273

4) Tubuh tidak dapat memproduksi cairan tubuh seperti air liur dan cairan
pencernaan untuk memecah makanan menjadi nutrien sehingga
penyerapan makanan berkurang.
e) Makanan dan Obat
Obat ARV dan anti tuberkulosis seringkali membuat sistem cerna
terganggu sehingga gizi dan asupan makanan mengalami hambatan. Selain
itu infeksi HIV dapat mengganggu fungsi pencernaan. Secara umum, obatobatan akan bekerja lebih efektif pada orang dengan gizi baik. Beberapa
obat mungkin perlu dimakan bersama dengan makanan atau cairan atau
saat lambung kosong. Oleh karena itu makanan menjadi penting dalam
pengobatan.
f) Gizi mempengaruhi kualitas hidup
Kebutuhan gizi dan dampaknya bervariasi tergantung pada stadium dari
infeksi HIV. Pada stadium manapun, gizi merupakan faktor penting dalam
perawatan Odha. Bila asupan gizi baik, maka sangat mungkin berdampak
pada :
1) Kualitas hidup yang lebih baik
2) Tetap aktif dan mampu memelihara kesehatannya sendiri
3) Mengurangi seringnya jatuh sakit dan sembuh lebih cepat akibat
infeksi
4) Mempertahankan selera makan dan berat badan
Makanan juga merupakan sumber energi. Asupan yang memadai membuat
setiap Odha akan dapat beraktivitas lebih baik termasuk untuk mencari
nafkah maupun tugas sehari-hari. Anak dengan HIV yang mempunyai gizi
baik akan :
1) Tidak terhambat untuk sekolah, sehingga mendapat pendidikan dan
pengetahuan lebih baik
2) Mempunyai cukup tenaga untuk bermain dan tumbuh-kembang lebih
baik
Status gizi yang buruk akan memperburuk sistem kekebalan tubuh
sehingga berakibat makin banyaknya infeksi oportunistik yang menguasai
tubuh.

274

g) Konseling Gizi
Konseling gizi memberikan pengetahuan pada Odha

tentang fungsi

makanan untuk melawan penyakit dan meningkatkan kekebalan tubuh. Isi


konseling meliputi:
1) Memperbaiki kebiasaan makan
2) Menggunakan bahan makanan dengan memperhatikan gizi
3) Mencegah turunnya berat badan atau malnutrisi
4) Mempercepat kesembuhan dari infeksi yang berkaitan dengan HIV
5) Memberikan perawatan yang lebih baik untuk kebutuhan gizi tertentu
seperti pada anak-anak, ibu dan orang dengan penyakit lainnya
KUNCI Konseling Gizi
Makan sehat dan seimbang membantu anda hidup sehat lebih lama
Makanan membantu untuk pertumbuhan, perkembangan dan
produktivitas

h) Keamanan Makanan
Makan makanan yang bersih dan aman adalah penting bagi setiap orang.
Infeksi dari air dan makanan dapat mengakibatkan seseorang menderita
sakit. Karena itu, pencegahan infeksi melalui makanan dan air sangat
penting.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1) Lebih baik mencegah infeksi daripada mengobatinya.
2) Diskusikan dengan klien anda tentang cara-cara menjaga kebersihan
dan keamanan makanan di rumah, seperti :
a) Jagalah kebersihan tangan, peralatan makan dan tempat
penyiapan/pengolahan makanan
b) Pisahkan makanan mentah dan makanan yang telah dimasak
c) Masak makanan sampai matang
d) Jaga makanan pada temperatur yang aman
e) Pergunakan air dan makanan yang bersih
f) Sering membersihkan mulut, kumur-kumur dengan air garam
yang hangat, gunakan air masak yang bersih

275

g) Pergunakan teh kayumanis sebagai obat kumur/pencuci mulut


( sendok teh kayumanis untuk secangkir air masak, tutup dan
biarkan dingin)
h) Tambahkan kuah daging, saus atau puding kedalam makanan
untuk membuat lebih lunak, tetapi tidak kental atau terlalu
berkuah
i) Minum dengan menggunakan sedotan plastik
j) Makanan lunak atau dihaluskan
k) Hindari makanan mentah, seperti panggangan atau sayur
lalapan
l) Hindari makanan yang terlalu kental, seperti selai kacang
m) Hindari makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin
n) Hindari minuman ber-alkohol
o) Hindari makanan pedas, asin atau makanan asam yang dapat
merangsang pencernaan anda
p) Disarankan minum susu
Tenaga dari makanan dalam bentuk lemak dan otot tubuh. Tubuh akan
menggunakan tenaga agar tetap berfungsi dan mengatasi infeksi serta
perbaikan sel setelah sakit. Bila persediaan ini tidak diganti dengan makan
lebih banyak, berat badan akan turun dan otot melemah sehingga tubuh
kurang dapat mengatasi infeksi. Bayi dan anak-anak membutuhkan
makanan untuk tumbuh dan berkembang. Bila anak dengan HIV AIDS
tidak mendapatkan gizi yang baik, terjadi pertumbuhan yang terganggu dan
dampak lainnya.
g. Dampak konseling dan tes HIV bagi perempuan
Ketika seseorang tahu bahwa konseling dan tes HIV akan memberikan mereka
gambaran tentang status dirinya, maka beberapa orang tidak akan datang
menjangkau pelayanan tersebut karena tidak mau mengetahui statusnya.
Kebanyakan perempuan hamil yang terinfeksi dari pasangannya tidak menyadari
dirinya telah terinfeksi ketika menjalani tes. Mereka akan sangat terkejut, dan
tidak dapat menguasai diri. Kebanyakan orang yang tidak mau diperiksa karena
takut kerahasiaannya akan terbuka, takut jika hasil tes reaktif sehingga mereka
menunda pemeriksaan atau dapat menjadi korban kekerasan.

276

Pada perempuan yang teridentifikasi HIV positif sebelum atau selama hamil,
konseling yang berkaitan dengan tes akan membantu mereka dapat membuat
keputusan akan perlunya intervensi lanjutan seperti profilaksi ARV dan pemilihan
pemberian makanan pada bayinya. Konseling dan tes HIV membantu perempuan
tersebut merencanakan masa depannya dan keluarganya, juga membantu untuk
mengambil

langkah

selanjutnya

dalam

memelihara

kesehatannya,

tidak

menularkan HIV, berhubungan dengan kelompok dukungan pelayanan dan


membuat keputusan akan hubungan seksualnya serta cara membesarkan
anak(UNAIDS, 1999).
Program konseling dan tes HIV untuk orang hamil akan menguntungkan jika
menyertakan pasangan perempuan tersebut. Konflik dan kekerasan diantara
pasangan sesudah pengungkapan status HIV terbukti ada dalam beberapa studi.
Konseling dan tes HIV dan dukungan konseling lanjutan dapat meminimalisasi
konflik, masalah kekerasan dan penundaan.
Jika pelayanan konseling dan tes HIV tidak ada, maka kebanyakan perempuan tak
mempunyai jalan untuk menolong dirinya, mengetahui status, sampai mereka
terjatuh dalam kondisi AIDS atau sampai mereka melahirkan bayi yang terinfeksi
HIV. Dengan demikian mereka mempunyai keterbatasan kesempatan menentukan
masa depan diri dan keluarganya.
1) Manfaat Tes HIV Bagi Perempuan Hamil :
a) Memahami hasil tes akan menurunkan stres
b) Jika perempuan HIV positif, menginginkan anak, maka dilakukan
perencanaan kehamilan sampai kelahiran anak dengan pemberian ARV
selama kehamilan-proses kelahiran, memilih cara melahirkandan cara
pemberian makanan
c) Hidup Positif

Gejala dapat segera diidentifikasi dan terapi segera.

Klien dapat juga dililindungi dari infeksi selanjutnya.

Klien dapat memperbaiki status kesehatan dengan sanitasi yang baik,


dietsehat dll.

d) Rencana kedepan dalam keluarga dapat disusun dengan lebih mudah


e) Membuat pilihan tentang perilaku seksual dan mengasuh anak di masa
datang.

277

2) Dampak hasil tes reaktif dan tantangan yang harus didiskusikan antara lain :
a) Stres dan perasaan ketidakpastian : Klien HIV positif mungkin tidak
berhasil mengatasi hasil tes HIV reaktif misalnya klien menjadi cemas,
menunggu perkembangan tanda dan gejala HIV AIDS, menjaga rahasia.
b) Klien mungkin menghadapi stigma jika informasi diungkapkan kepada
keluarga dan teman.
c) Membangun dan membina relasi, terutama hubungan perkawinan.
d) Pembatasan akses untuk

perumahan, asuransi jiwa dan kesempatan

bekerja.
h. Isu gender, HAM, stigma dan diskriminasi pada perempuan terinfeksi HIV
1) Perempuan sering mendapatkan status HIV melalui kejadian tak terduga,
sesudah suami/pasangan/anak menunjukkan gejala, sehingga perempuan
mengalami beban krisis ganda. Di beberapa kasus, perempuan HIV positif
selain dirnya terinfeksi HIV juga dicap sebagai perempuan amoral (juga
menjadi sumber wabah).
2) Perempuan selalu disalahkan dalam hal penularan infeksi di dalam keluarga
sehingga menimbulkan konflik dengan suami. Hal ini dapat menimbulkan
kekerasan dalam rumah tangga.
3) Infeksi pada perempuan dapat merupakan indikasi bahwa ia atau pasangannya
mempunyai mitra seks lain dan membuka hal ini merupakan aib dalam
keluarga.
4) Ketakutan terhadap stigma sosial, tersingkir dan perasaan terisolasi, kesepian
sehingga status tetap dirahasiakan.
5) Ketakutan akan tindak kekerasan membuat perempuan sulit membuka diri
pada pasangannya.
6) Kesejahteraan perempuan terinfeksi HIV sangat memprihatinkan. Perempuan
biasanya lebih mendahulukan kebutuhan anaknya dan menganggap rendah
kepentingan dirinya sendiri.
7) Perempuan terinfeksi mungkin akan tabah dalam mengambil keputusan
tentang hidupnya, meski menyakitkan. Keputusan itu termasuk :
a) Apa perlu mencegah kehamilan dan memilih kontrasepsi?
b) Apa hubungan seksual perlu diteruskan dan apakah kondom perlu
digunakan?
c) Bagaimana jika ingin memiliki keturunan?

278

d) Apa perlu meminum profilaksis antiretroviral atau tidak?


e) Apa perlu memberikan ASI atau tidak?
f) Apa perlu membuka status HIV pada pasangannya?
g) Siapa yang akan merawat anaknya setelah ia meninggal?
8)

Ada beberapa laporan bahwa insiden depresi pasca melahirkan


meningkat pada perempuan HIV positif.

i.

Dukungan konselor dalam menangani reaksi

psikologis perempuan

terinfeksi HIV :
1) Perempuan memerlukan bantuan konseling
Konselor dan pendampingan dibutuhkan bagi perempuan yang baru saja
mengetahui status HIV mereka untuk menyesuaikan diri dengan reaksi
emosional berikut :
a) Marah kepada orang yang menulari dirinya
b) Sedih akan kehilangan status dan kesehatan, mengubah citra diri dan
seksualitas.
c) Adanya kemungkinan tidak memperoleh anak dan/atau meninggalkan
anak hidup sendirian.
d) Rasa bersalah berkaitan dengan kesakitan anaknya dan beban keluarga
untuk merawat orang sakit.
e) Depresi pasca melahirkan
2) Keprihatinan perempuan terkait faktor budaya dan sosio-ekonomi
Tuntutan pasangan, budaya dan sosio-ekonomi membuatperempuan:
a) Meminta izin pasangan laki-lakinya untuk menjalani tes
b) Kurangnya perlindungan terhadap HIV (penggunaan kondom)
c) Kurangnya pengendalian atas keputusan pemberian makanan pada bayi
d) Kurangnya kontrol berkaitan dengan keluarga berencana
Terbukti perempuan terinfeksi HIV mempunyai banyak keprihatinan dan
karena itu membutuhkan banyak dukungan dari anggota keluarga, temanteman, profesional dan masyarakat. Mereka perlu dibantu untuk dapat
melindungi diri dari HIV dan oleh karena itu perlu dibahas masalah dampak
yang menyakitkan, misalnya penularan kepada anaknya.
Konseling untuk memberikan informasi dengan pemahaman dalam masalah
sosial, kepedulian, pengetahuan akan situasi rumah tangga, kemampuan

279

berkomunikasi, dan kemampuan dukungan emosional terhadap pilihan yang


berkaitan dengan anak, suami dan seluruh keluarga.
3) Peran konselor dalam membantu ibu HIV terkait PPIA
a) Diskusikan dukungan terhadap kehidupan bagi perempuan HIV untuk
melakukan hidup sehat sebagai berikut :

Menghindari risiko lebih lanjut terinfeksi

jenis virus lainnya.

Perlindungan diri sendiri merupakan motivator kuat untuk


melakukan seks aman. Motivator kuat lainnya adalah rasa
tanggung jawab untuk tidak menularkan virus. Kedua hal ini
memberikan kontribusi untuk pencegahan infeksi HIV.

Memeriksakan IMS untuk mendapatkan terapi

Memperoleh dukungan gizi , manajemen stres dan olahraga

Mendapatkan layanan medis sesegera mungkin untuk terapi infeksi


oportunistik

Mendapatkan rujukan untuk pelayanan medik dan sosial

b) Pertimbangkan apakah pasangan seksual atau ayah bayi perlu


ditawarkan konseling dan tes HIV
c) Konseling

untuk

mengungkapkan

status

dan

memperoleh

dukungan.Perempuan HIV positif juga memerlukan kesempatan untuk


mempertahankan pasangan agar tidak tertular.
d) Diskusikan perencanaan masa depan,

memutuskan keberlangsungan

perkawinan dan pengasuhan anakserta menyiapkan anak dan keluarga


menghadapi hari-hari akhir kehidupan.
j.

Mengembangkan layanan konseling dan tes HIV di klinik ibu dan anak
(KIA)
1) Strategi yang efektif
a) Memperkenalkan layanan konseling dan tes HIV dan manfaat dari tes
HIV pada populasi perempuan berusia subur.
b) Konseling dan tes HIV dapat diperkenalkan pada klinik keluarga
berencana untuk perempuan yang mempertimbangkan kehamilan
c) Memperbaiki kualitas pelayanan konseling dan tes HIV di KIA
d) Mengadopsi pelayanan konseling dan tes HIV dengan strategi bisa
berhenti kapan klien mau berhenti (option out), konseling dan tes HIV

280

ditawarkan sebagai bagian dari paket rutin perempuan hamil di klinik


KIA.

Jika

perempuan

tersebut

ingin

berhenti

sewaktu-waktu

diperkenankan. Ketika perempuan butuh masuk dalam layanan kembali


(option in) tanyakan pelayanan apa yang ia perlukan dalam
kesempatan ini .
2)

Keuntungan pelayanan konseling dan tes HIV di klinik Ibu dan anak
(KIA):
a) Membuat konseling dan tes HIV sebagai pelayanan rutin di KIA
(ditawarkan pada semua klien KIA) dapat membantu mengurangi
stigma berkaitan dengan konseling dan tes HIV dan infeksi HIV.
b) Konseling dan tes HIV ditawarkan di setiap KIA lebih dapat diterima
oleh kebanyakan perempuan dari pada di pusat rawat jalan untuk lakilaki dan perempuan.
c) Pelayanan konseling dan tes HIV berbasis klinik KIA dapat mencapai
persentasi tinggi perempuan hamilterutama jika rutin ditawarkan.
d) Perempuan hamil yang tidak menyadari risiko diri dan pasangannya
mempunyai kesempatan mendapatkan penilaian risiko dalam proses
konseling dan tes HIV.
e) Melanjutkan pelayanan dalam sistem kesehatan ibu dan anak dapat
menunjang integrasi program HIV AIDS seperti PPIA, terapi IMS,
Hepatitis, TB dan infeksi lainnya, KB, dukungan gizi dan rujukan ke
layanan yang dibutuhkan.

3) Pengurangan waktu dan biaya dalam konseling pra tes di pusat


pelayanan yang jumlah kliennya banyak
Pra tes individual sangat menyita waktu dan tak dapat dijalankan

pada

tempat pelayanan yang kliennya banyak. Alternatif yang dapat dipikirkan


adalah, mengawali dengan pendidikan

kesehatan pada kelompok besar

sebelum dilakukan konseling pra tes. Pada sesi ini disampaikan informasi
dasar tentang HIV dan penularannya, strategi pengurangan penularan,
prosedur tes, dan keuntungan/kerugian umum melaksanakan tes. Pemberian
informasi dalam kelompok akan mengurangi waktu konseling individual.,
karena pembicaraan tentang hal yang disebut diatas telah diberikan saat
pemberian informasi, sehingga konseling dapat langsung menuju pada

281

penilaian risiko individu, kesiapan individu untuk tes serta isu tentang
dampak penularan terhadap individu dan pengurangan risikonya.
4) Sistem option in dan option out
Perempuan yang datang ke layanan KIA, KB mendapatkan informasi HIV
AIDS. Setelah perempuan mendapatkan informasi tersebut, ada dua pilihan
yang dapat diambil :
a) Option in, suatu pilihan klien untuk menyatakan persetujuannya secara
jelas atas pelaksanaan tes HIV setelah menerima informasi pra tes.
b) Option out, klien ditawari tes HIV secara rutin dan yang bersangkutan
dapat menolak tes HIV setelah menerima informasi pra tes.
Pokok Bahasan 2. Konseling danTes HIV pada Perempuan Pekerja Seks
Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran
sebaiknya menggunakan bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait PPIA
Sesi 2 : Pembahasan materi
1. Fasilitator

memberikan

apresiasi

atas

disampaikan dan melanjutkan dengan

berbagai

pendapat

yang

penjelasan tentang risiko

penularan HIV pada perempuan


Pekerja Seksual
2. Peserta diminta untuk membaca uraian materi pokok bahasan 2 secara
bergantian
3. Fasiilitator meminta peserta mendiskusikan hambatan apa saja dalam
program pencegahan risiko penularan HIV pada Perempuan pekerja
seks
4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan
sudah tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta

282

URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 2. Penularan HIV pada pekerja seks dan pencegahannya
a.

Pekerja seks merupakan kelompok luas


bermacam-macam orang sehingga sulit membuat suatu generalisasi tentang
perilaku

dan sikap mereka terhadap pencegahan HIV dan pelayanannya.

Misalnya, selain pekerja seks mungkin mereka juga menggunakan Napza


melalui alat suntik, seorang isteri,pekerja sambilan (misalnya mereka
mempunyai pekerjaan tetap dan melakukan pekerjaan seks sambilan atau
bekerja ke negara lain), pelajar/mahasiswa, kelompok minoritas dari semua
identitas gender (laki-laki, waria, perempuan). Mereka bisa pekerja secara
paruh waktu atau purna waktu. Intervensi konseling dan tesHIV efektif
membutuhkan

pemahaman

melakukanpekerjaan

seks,

bahwa

pekerja

tetapi

berbagai

seks

bukan

dimensi

hanya

kehidupan

mempengaruhinya, pasangannya, orang tuanya dan keluarganya.


b. Pekerja seks dan risiko tertular HIV
Pekerja seks rentan terhadap penularan HIV mengingat banyaknya orang yang
berhubunganseks dengannya dan biasanya mereka juga mempunyai
kemungkinan tinggi menularkan IMS. Pekerja seks merasa dirinya tak
berdaya untuk bernegosiasi dalam hal praktek seks aman karena berkaitan
dengan pendapatan yang mereka peroleh. Pada beberapa kasus, pekerja seks
menerima penghasilan lebih tinggi ketika ia melakukan hubungan seks dengan
laki-laki tanpa kondom.
Penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara hubungan

yang

bermuatan emosional dengan negosiasi seks aman.Ketika mereka berhadapan


dengan pelanggan baru, mereka lebih mudah dapat bernegosiasi menggunakan
kondom dalam hubungan seks. Tetapi ketika pelanggan tersebut telah menjadi
pelanggan tetap bahkan menjadi kekasih,

dimana muatan emosi telah

mewarnai hubungan keduanya, maka mereka seringkali mengabaikan


penggunaan kondom.
Pada beberapa situasi, ada tumpang tindih risiko pada pekerja seks yang juga
pengguna Napza suntik (penasun). Ini membutuhkan penerapan simultan
strategi prevensi dua disiplin, pengurangan dampak buruk untuk penasun dan
pengurangan penularan infeksi melalui hubungan seksual, mengingat ada dua
sumber risiko.

283

Pekerja seks mempunyai kebutuhan konseling dan tesHIV dan intervensi


psikososial tertentu yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka satu per
satu agar dampaknya menjadi efektif. Bermacam kepentingan harus dipikirkan
yakni melindungi pekerja seks dari penularanHIV dan IMS serta melindungi
pelanggannya dan pasangannya dari penularan yang sama. Terdapat
peningkatan bukti bahwa target program menurunkan penularan infeksi HIV
dalam kelompok ini dimungkinkan, efektif dan berhasil menurunkan risiko
serta menurunkan tingkat infeksi.
Hanya sedikit penelitiantentang konseling dan tesHIV khusus untuk pekerja
seks. Kebanyakan dari penelitian ini menunjukkan bahwa konseling dan
tesHIV dapat diterima dan perubahan perilaku seksual ternyata mengurangi
penularan. Namun, pada beberapa setting dimana faktor sosial dan ekonomi
sangat menekan, maka pekerja seks sulit melaksanakan praktek seks aman.
Perlu diketahui bahwa melalui konseling dan tesHIV terjadi peningkatan
edukasi tentang penggunaan kondom. Program pendidikan sebaya sangat
efektif untuk pekerja seks laki-laki dan perempuan.
c. Pelayanan menjangkau pekerja seks
Bermacam-macam jenis pelayanan konseling dan tesHIV dan psikososial
dilakukan pada pekerja seks, tergantung pada lingkungannya. Semua cara
pencegahan dan pemberian pelayanan haruslah disesuaikan dengan situasi
yang berbeda-beda mengingat tidak ada satu jenis pendekatan pelayanan
sesuai dengan semua keadaan pekerja seks, pasangannya, dan pelanggannya.
Mengingat anonimitas pelayanan kepada pekerja seks, dimana mereka tak
ingin dikenali pekerjaannya (di beberapa negara pekerjaan ini dianggap
melanggar hukum) maka

kepada mereka didorong untuk mengakses

pelayanan yang mereka pikir lingkungannya dapat memberikan rasa aman.


Bagi pekerja seks yang menjalankan aktivitas dari jalanan, fasilitas
penjangkauan lebih dapat diakses, sementara pekerja seks dengan pelayanan
tempat-tempat tertentu

seperti klab malam, bar, karaoke, diperlukan

pelayanan yang sesuai.


Pada beberapa situasi akan sangat membantu jika dilakukan pengintegrasian
pelayanan ke dalam fasilitas kesehatan yang ada dan pelayanan masyarakat
lainnya. Penting bagipekerja seks mengakses pelayanan kesehatan seksual,
namun masih banyak pertanyaan dan pendapat yang belum terselesaikan

284

apakah pelayanan akan diintegrasikan dalam pelayanan IMS di fasilitas


kesehatan atau khusus tersendiri untuk kelompok rentan ini.
Tantangan tertentu termasuk pelayanan dan program yang dirancang khusus
kepada mereka yang sulit dijangkau, pekerja seks terselubung, seperti pekerja
seks dengan status isteri/suami, pengungsi, migran tanpa kartu pengenal atau
rumah bordil beroperasi tanpa izin. Di kota-kota yang tidak memiliki program
lokalisasi khusus untuk pekerja seks, seperti di Jakarta, kebanyakan pekerja
seks tidak bekerja di bordil, akibatnya sulit dijangkau sebagai sasaran
pencegahan karena keberadaan mereka tersebar di masyarakat.Pekerja seks
tak selalu tidak menikah dan sering tak dapat dikenali.
1) Pilihan pelayanan menjemput bola pada populasi pekerja seks termasuk :
a) Penjangkauan misalnya pelayanan dilakukan mendekati tempat
pekerja seks atau kliennya
b) Konseling dan tesHIV tak terkait dengan institusi manapun
c) Klinik IMS
d) Lembaga pemasyarakatan
e) Pusat rehabilitasi sosial
f) Pengungsi/migran di tempat penampungan
g) Konseling dan tesHIV terintegrasi pada pelayanan kesehatan umum
Pelayanan penanggulangan Napza dan alkohol
h) Pelayanan kesehatan terhadap gay dan lesbian
i) Klinik perempuan
PencegahanHIV akan efektif bila dilakukan dalam pelayanan kepada
pekerja seks, klien mereka dan para pasangannya. Pencegahan bukan
sekedar pemberian informasi namun juga berbagai elemen lain.
2) Elemen penting pencegahan HIV antara lain :
a) Informasi dengan pesan perubahan perilaku
b) Penggunaan kondom dan alat pelindung lainnya
c) Pelayanan kesehatan seksual
d. Konseling pencegahan
Konseling memainkan peran penting dalam mengembangkan keterampilan
komunikasi dan negosiasi guna keberhasilan praktek seks aman. Program
pencegahan melibatkan :
1) Penjaja seks
285

2) Pasangan atau mereka yang mempunyai hubungan pribadi dengannya


3) Pemilik bordil agar mendukung dan menekankanpenggunaan kondom
Dalam beberapa hal khusus, pesan perubahan perilaku penting dalam
mengantarkan pesan penggunaan kondom secara konsisten dan tidak
menghakimi pekerja seks dan pelanggannya. Aktivitas seks aman seringkali
sukar dijalankan oleh pekerja seks ketika mereka berhadapan dengan orang
yang telah dekat dengannya seperti pasangannya dan pelanggan dekatnya,
sehingga dengan mereka ini risiko IMS dan HIV nya tinggi. Ketika muatan
emosi mewarnai relasi antara pekerja seks dan pasangan/pelanggan dekatnya,
maka nilai komersial tersingkirkan dan demikian juga kemampuan negosiasi
seks aman.
Konseling dimaksud sebagai sarana pendekatan kepada pekerja seks secara
holistik bukan semata menggarap sisi aktivitas kerja profesional pekerja seks
misalnya

strategi

bagaimana

mempengaruhi

pelanggan

agar

setuju

penggunaan kondom kepada semua orang yang berhubungan seksual


dengannya sekarang dan dalam jangka waktu panjang. Beberapa pekerja
seksual dapat melakukannya secara efektif kepada pelanggannya, tetapi tidak
dapat melakukannya kepada mereka yang telah menjalin hubungan dekat
dengannya.
e. Pekerja seks terinfeksi HIV
Konseling pada pekerja seks terinfeksi HIV akan membantu mereka
dalam :
1) Memutuskan akan mengungkapkan status atau tidak
2) Strategi untuk mengungkapkan statusnya kepada pasangan
3) Melakukan dukungan dan perencanaan untuk masa depan
4) Rujukan ke program dukungan
5) Memilih kegiatan alternatif peningkatan pendapatan
f. Peran konseling dan tes HIV
1. Akses ke fasilitas tes HIV dan konseling
Program konseling dan tes HIV bertujuan mengubah perilaku berisiko
berkaitan dengan HIV AIDS pada Penasun. KIE merupakan kunci utama
membangun kesadaran dan akses ke klinik dan tempat tes dimana
pelayanan konseling dan tes HIV dapat diperoleh. Juga dapat digunakan

286

untuk membantu memfasilitasi proses belajar dalam melaksanakan


konseling dan tes HIV, termasuk langkah-langkah yang dibutuhkan untuk
mencegah penularan melalui jarum suntik dan menyebarkannya ke
pasangan seksual.
2. Konseling pengurangan risiko
Konseling untuk pengurangan perilaku risiko bertujuan membangun
komunikasi interpersonal yang membantu penasun memahami perasaan
dan pikiran mereka, sehingga dapat mengambil tindakan melindungi diri
sendiri dan pasangannya dari penularan. Konseling berbasis individu atau
kelompok untuk mengurangi risiko, disertai dengan edukasi serta
komunikasi, dapat juga membantu penasun dengan HIV positif untuk
bernegosiasi dengan pasangannya sehingga menurunkan risiko penularan
melalui hubungan seksual.
Pokok Bahasan 3. Konseling dan Tes HIV Untuk Kelompok Gay Waria dan
Laki
Laki Seks Dengan Laki Laki (GWL)
Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan
mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya
menggunakan bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta mengenai Konseling untuk
kelompok

Gay,

Waria dan GWL

Sesi 2 : Pembahasan materi


1. Fasilitator

memberikan

apresiasi

atas

berbagai

pendapat

yang

disampaikan dan melanjutkan dengan penjelasan tentang Konseling dan


tes HIV pada Gay,waria dan GWL
2. Peserta diminta untuk membaca uraian materi pokok bahasan 3.secara
bergantian

287

3. Fasiilitator meminta peserta mendiskusikan hambatan apa saja dalam


program
pencegahan risiko penularan HIV pada kelompok risiko diatas
4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang
ditetapkan sudah tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta
URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 3. GWL dan penularan HIV
GWL merupakan perpaduan dari kelompok yang berperilaku seksual dengan
berbagai identitas seksual. Istilah GWL diperkenalkan di Indonesia semenjak
pertemuan nasional HIV AIDS di Surabaya Februari 2007. Pengkategorisasian
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki dari berbagai identitas seksual
dirasakan tidak pernah tuntas karena setiap saat ada kategori baru. Namun untuk
kepentingan upaya penanggulangan HIV, maka disepakati istilah GWL di mana
penekanan utamanya adalah pada aktivitas nyata orang yang berkelamin laki-laki
melakukan hubungan seks tanpa menilai orientasi seksualnya.
a.

Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki


Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Laki-laki yang senantiasa berhubungan seks dengan laki-laki
2) Laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki, tetapi sebagian besar
hidupnya ia berhubungan seks dengan perempuan
3) Laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki juga dengan perempuan,
tanpa suatu preferensi khusus
4) Laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki dengan tujuan mendapatkan
uang, atau karena tak ada perempuan yang dapat ditemui, misalnya di
lapas, kamp peperangan
Menurut laporan komisi AIDS Asia ke sekjen PBB Ban Ki-moon, penularan
HIV di Asia terutama disebabkan oleh 3 faktor risiko yaitu hubungan seks
tanpa pelindung dengan pekerja seks, penggunaan jarum suntik bersama di

288

kalangan penasun dan hubungan seks tanpa pelindung di kalangan lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki.

Di Indonesia sub populasi GWL tidak

berbeda jauh dengan di negara Asia lainnya dan dinilai mempunyai risiko
yang cukup serius dalam penularan HIV. Keterbatasan dalam mendapatkan
data tentang perilaku seks sesama jenis ini masih ada terutama karena masih
kuatnya diskriminasi terhadap mereka yang berhubungan seks sesama jenis.
b.

Waria dan perilaku berisiko tertular HIV


Di kalangan waria ada beberapa kebiasaan yang berpotensi penularan HIV
antara lain :
a) Mencukur bulu dada, bulu ketiak, bulu kelamin dan bulu kaki bisa
menimbulkan abrasi (luka gores) dan berpotensi penularan HIV karena
luka terbuka bila terkena cairan darah atau cairan sperma.
b) Penggunaan jarum suntik tidak steril pada saat penyuntikan hormone atau
silikon.
c) Taping (menempelkan lakban), strapping (mengikatkan dengan kain) atau
tucking (melipat alat kelamin), menyebabkan kondisi yang hangat dan bisa
menimbulkan penyakit kulit, kulit merekah, dan dermatitis. Mengangkat
selotip (tape) dengan kasar dapa tmenyebabkan luka pada kulit sehingga
memudahkan virus masuk.
d) Pembedahan terutama bila baru saja menjalani opersi sehingga luka belum
sepenuhnya pulih membuka peluang masuknya virus.
e) Pembilasan anus akan melemahkan alur dari saluran anus dan
menghilangkan

bakteri

serta

lendir

yang

bermanfaat,

sehingga

memaparkan permukaan pori-pori (permukaan kulit) dan meningkatkan


risiko penularan HIV dan risiko untuk mendapat infeksi secara umum.
c.

Pelayanan konseling dan tes HIV untuk GWL


1) Pelayanan berdasarkan kebutuhan khusus GWL
Pada awalnya, VCT digunakan sebagai sarana untuk memahami adanya
aktivitas GWL dan membuat protokol yang sesuai. Protokol ini akan
dapat sejalan dengan aspek lain dari pelayanan VCT yang baik. Pelayanan
VCT untuk GWL seharusnya dapat :

289

a) Memahami berbagai perilaku seksual GWL dan kompleksitas relasi


dengan pasangan umum dan pasangan khususnya. (terutama jika
terdapat kedua jenis pasangan laki-laki dan perempuan).
b) Melaksanakan penilaian risiko seksual untuk HIV dan IMS dengan
daftar cek yang sesuai termasuk perilaku seksual yang mungkin
dilakukan.
c) Mengembangkan strategi agar klien mau mengungkapkan status HIV
nya baik kepada pasangan laki-laki dan perempuannya.
d) Menjawab masalah disfungsi seksual yang mungkin muncul dari
identitas dan/atau status HIV positif. Ini akan membuat kesulitan
untuk masuk dalam aktivitas seks aman.
e) Menjawab masalah yang berkaitan dengan keterbukaan mereka akan
preferensi seksualnya sebagai GWL kepada keluarga atau kawan (di
beberapa tempat hal ini bukan merupakan masalah, karena sesuai
dengan budaya, nilai individu dan keluarga).
f) Mempromosikan penggunaan kondom dan lubrikan untuk seks aman
g) Mempromosikan aktivitas seksual non penetratif ketika kondom
tidak dalam jangkauan atau sebagai alternatif seks penetratif.
h) Mengutarakan dan menyediakan informasi tentang penularan HIV
dengan faktor risiko yang terkait dengan GWL dan seks anal.
2) Hambatan konseling dan tes HIV pada GWL
a) Konselor kurang peka dan seringkali tak menyadari masalah
psikososial berkaitan dengan GWL.
b) Petugas kesehatan dan konselor juga sering menyangkal keberadaan
GWL atau memegang keyakinan bahwa GWL adalah hanya mereka
yang tergolong waria saja.
c) Sikap sungkan dan malu dari konselor untuk membicarakan aktivitas
seksual GWL atau aktivitas seksual pada umumnya.
d) Kurangnya pengetahuan tentang praktek seksual GWL.
e) Masih ada konselor yang tak setuju dengan aktivitas GWL dan
merefleksikan penolakan dalam moralitas dan religi.
f) Pada kasus-kasus tertentu konselor menginternalisasi homophobia
yang mungkin ia sendiri termasuk anggota GWL.

290

g) Kurangnya materi komunikasi informasi edukasi mengenai HIV dan


GWL bagi konselor untuk diberikan kepada klien.
h) Merasa asing dengan istilah gaul atau bahasa informal yang
digunakan kalangan GWL.
d.

Faktor penting dalam pelayan konseling dan tes


HIV untuk GWL
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pelayanan konseling dan tes
HIV pada GWL yaitu :
1)

Menjaga konfidensial.

2)

Petugas (terutama petugas penerima, perawat, konselor dan dokter)


tidak melakukan pendekatan menghakimi atas perilaku klien.

3)

Menyediakan materi edukasi yang sesuai di ruang tunggu, ruang


konseling dan ruang/meja dokter.

4)

Jam buka pelayanan disesuaikan dengan waktu mereka dapat


menjangkau, lewat tengah malam atau hari libur.

5)

Berlokasi di area yang mudah terjangkau seperti dekat dengan tempat


mereka saling bertemu atau tempat mereka melaksanakan hubungan seks.

6)

Menyediakan pelayanan HIV dan IMS yang terjangkau.

7)

Menyediakan kondom dan lubrikan berbasis air yang terjangkau.

Pokok Bahasan 4. Konseling dan Tes HIV Untuk Warga Binaan Lapas dan
Rutan
Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan
mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran sebaiknya
menggunakan bahan tayang
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkaitprogram layanan HIV
untuk warga binaan lapas dan Rutan
Sesi 2 : Pembahasan materi

291

1. Fasilitator

memberikan

disampaikan dan

apresiasi

atas

melanjutkan dengan

berbagai

pendapat

yang

penjelasan tentang risiko

penularan HIV didalam Rutan dan Lapas.


2. Peserta diminta untuk membaca uraian materi pokok bahasan 4.secara
bergantian
3. Fasiilitator meminta peserta mendiskusikan hambatan apa saja dalam
program
pencegahan risiko penularan HIV pada Warga Binaan Rutan dan Lapas
4. Fasilitator melakukan kegiatan tanya jawab terkait materi diatas
Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang
pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan
sudah tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan
aktif seluruh peserta
URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 4. Konseling dan Tes HIV Untuk Warga Binaan Lapas dan
Rutan
Lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) merupakan salah satu
tempat yang sulit untuk menjalankan program pencegahan dan perawatan efektif
bagi

warga

binaan

terkait

HIV

AIDS.

Hampir

diseluruh

dunia,

pemerintahmemberikan prioritas rendah terhadap masalah kesehatan masyarakat


di rutan/lapas. Penyebaran penyakit infeksi menular melalui darah dan hubungan
seks seperti HIV AIDS sangat mudah terjadi di rutan/lapas. Jika warga binaan
terinfeksi selama dalam penahanan maka akan sangat mudah terjadi peyebaran ke
masyarakat luas, karena kebanyakan mereka ditahan dalam waktu tertentu dan
kemudian kembali ke masyarakat.
Tahanan atau warga binaan mungkin telah melakukan praktek risiko tinggi atau
rentan

HIV

sebelum

proses

hukum

berjalan.

Penasun,

pekerja

seks,migran/pengungsi dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lebih


rentan mendapatkan infeksi HIV dari pada kelompok lain dan juga lebih rentan
pada tahanan atau warga binaan. Contoh penasun sering masuk lapas karena
penggunaan ilegal dan tindak kriminal akibat penggunaan Napza.
a. Penularan HIV di lapas dan rutan
292

1) Transmisi HIV dapat terjadi melalui :


a) Penggunaan bersama alat suntik
b) Aktivitas seksual berisiko, meliputi :

Warga binaan ke warga binaan (suka sama suka)

Warga binaan ke petugas lapas (sukarela atau secara paksa)

Warga binaan ke warga binaan (perkosaan)

c) Tato dan praktek ritual dengan alat tumpul


d) Pengendalian infeksi yang tidak berjalan baik pada pelayanan medik
rutan/lapas
2) Penggunaan bersama alat suntik
Sama halnya dengan di masyarakat umum, di lapas/rutan juga terjadi
penggunaan Napza dengan alat suntik. Sulitnya mendapat peralatan suntik,
ketatnya peraturan dan pengawasan, membuat mereka sering menggunakan
alat suntik bersama, dan sedikit sekali yang mensterilkan alat suntiknya.
Alat suntik di lapas/rutan masuk melalui jalur gelap, atau mereka
menciptakan sendiri alat untuk memasukkan Napza ke dalam tubuhnya,
dari peralatan seadanya.
3) Aktivitas seksual berisiko
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terjadi hubungan seksual di
lapas/rutan, baik antara para warga binaan atau antara warga binaan dengan
petugas. Sebagian besar pejabat lapas di banyak negara
menghindar atau menolak membicarakan tingginya kegiatan seksual di
lapas, termasuk penelitian HIV di lapas juga ditolak bila membicarakan
kegiatan seks di lapas, biasanya informasi masalah seks di lapas didapat
melalui mereka yang telah bebas atau sebelum masuk.
4) Tato dan praktek ritual dengan alat tumpul
Tato terjadi dimana-mana, juga di lapas/rutan. Kurangnya akses
mendapatkan alat steril dapat menyebarkan infeksi yang ditularkan melalui
darah pada mereka yang mengukir tatoo atau ritual dengan darah lainnya.
5) Buruknya pengendalian infeksi
Fasilitas pelayanan medik di lapas dan rutan sangat minim dengan petugas
kesehatan dan pendanaan termasuk obat-obatan. Di Indonesia dana
pengobatan seorang warga binaan sangat kecil, sehingga bila mereka sakit

293

sebagian besar menjadi tanggungan keluarga. Akibatnya infeksi sulit


dikendalikan dan mudah terjadi penyebaran, termasuk penyakit menular
melalui darah seperti HIV.
b. Strategi utama untuk perawatan dan pencegahan
WHO telah membuat suatu pedoman praktis untuk HIV AIDS di lapas yang
memuat strategi komprehensif untuk tes, pencegahan dan perawatan di lapas.
Pedoman ini memperhatikan hak asasi manusia dan pemahaman akan prinsip
perubahan perilaku dan intervensi perawatan yang telah diterapkan di banyak
negara dan menunjukkan keberhasilan. Berikut ini strategi utama yang
diambil dari pedoman WHO yang dapat diterapkan untuk memperbaiki
perawatan dan menurunkan penularan HIV di lapas.
1) Konseling dan tes HIV ditawarkan pada saat masukdan sebelum bebas
Idealnya warga binaan di tes HIV secara sukarela. Mereka masuk
kedalam program dengan persetujuan tertulis. Meski demikian, informed
consent di lapas amat jarang dilakukan dan banyak petugas lapas
menganggap bahwa para warga binaan telah kehilangan hak mengambil
keputusan sendiri untuk tes HIV. Konselor perlu meninjau kembali
kebijakan dan praktek yang ada di fasilitas lapas yang berkaitan dengan
tes HIV dan bekerja dengan manajemen lapas guna membangun
kebijakan tes yang memasukkan berbagai unsur praktek yang mungkin
dilakukan.
2) Program pendidikan sebaya
Prinsip pendidikan sebaya adalah untuk meningkatkan efektivitas
intervensi, seperti meningkatkan pengetahuan dan menggali perubahan
perilaku terutama untuk kelompok tertentu. Bila informasi atau
pendidikan

diberikan oleh petugas lapas, biasanya warga binaan

menyikapi dengan ketidak percayaan dan kecurigaan yang tinggi.


Program edukasi sebaya menunjukkan efektivitas dalam menyampaikan
informasi akurat tentang HIV AIDS. Program ini juga mengkhawatirkan
petugas lapas karena akan memberdayakan warga binaan. Oleh karena itu
perlu menanamkan rasa percaya dalam hubungan dengan semua tingkat
petugas dan manajemen lapas, terutama petugas penjaga karena mereka
paling bertanggung jawab akan terlaksananya program edukasi sebaya.

294

3) Program hidup sehat bagi Warga Binaan


Warga binaan atau tahanan memerlukan akses informasi hidup sehat
untuk mempertahankan kualitas hidup. Didalamnya termasuk informasi
dan saran akan makanan sehat, program berhenti merokok, dampak
penggunaan Napza illegal dan medikasi lainnya, perawatan kesehatan
dasar, kelompok dukungan, program detoksifikasi, olahraga, kesempatan
pendidikan dan berbagai pilihan dukungan kesejahteraan warga binaan.
4) Akses Kondom
Manajemen dan petugas lapas seringkali takut menyediakan kondom,
karena perilaku seks dengan sesama jenis merupakan pelanggaran hukum
di Indonesia. Seks seringkali dilakukan warga binaan dengan sesama
warga binaan atau petugas penjaga.
c. Konseling dan tes HIV di lapas dan rutan
Pelaksanaan layanan konseling dan testing HIV dilapas dan rutan untuk
penghuni lapas dan rutan dilakukan dengan beberapa model pendekatan yang
berbeda tergantung pada sumber daya dan fasilitasnya.
Di beberapa lapas dan rutan yang telah memiliki konselor dan petugas
laboratorium terlatih serta sarana pemeriksaan HIV maka pemeriksaan
dilakukan didalam lapas dan rutan. Namun bagi lapas dan rutan yang belum
memiliki sarana pemeriksaan atau petugas belum terlatih maka pemeriksaan
darah di rujuk ke sarana kesehatan terdekat. Sebagian besar lapas dan rutan
yang ada di Indonesia telah memiliki konselor terlatih yang bersertifikat,
jumlah konselor yang ada dilapas dan rutan juga bervariasi tergantung pada
jumlah SDM yang ada namun kebanyakan lapas hanya memiliki rata-rata 1-2
orang konselor. Konselor dilapas dan rutan biasanya merangkap sebagai
tenaga klinis yang tergabung dalam tim AIDS di lapas dan rutan.
Model layanan konseling dan testing HIV di lingkungan lapas dan rutan
menggunakan pendekatan, VCT dan PITC.
1) LayananVCT dilapas dan rutan ditawarkan melalui beberapa proses :
a) Pada saat pemeriksaan kesehatan pada warga binaan pemasyarakatan
(WBP) baru dan lama. Petugas kesehatan akan melakukan
pemeriksaan kesehatan secara umum dan akan melakukan rujukan
kepada konselor KTS yang berada di lapas dan rutan bagi WBP dan
tahanan yang dinilai memiliki risiko tinggi.

295

b) Saat edukasi HIV AIDS kelompok, petugas penyuluh akan


menginformasikan hal-hal terkait dengan manfaat testing HIV sejak
dini. Kegiatan ini dilakukan secara rutin di dalam lapas dan rutan.
WBP yang berniat untuk KTS akan mendatangi klinik kesehatan
untuk mendapatkan konseling dari konselor.
c) Konseling dan testing untuk HIV juga selalu ditawarkan kepada
seluruh WBP yang datang langsung ke klinik di lapas/ rutan. Petugas
kesehatan akan melakukan penilaian risiko dan harus mendapatkan
persetujuan dari klien WBP untuk melakukan pra konseling dan
testing HIV.
d) Pada saat 1-3 bulan sebelum WBP bebas. Pada tahap ini konseling
untuk WBP adalah prosedur yang wajib dilakukan, petugas akan
melakukan dan penilaian risiko kembali, proses ini sebagai upaya
untuk mengetahui tingkat penularan HIV yang terjadi di dalam lapas
dan rutan. Keputusan testing tetap menjadi tanggung jawab WBP dan
tahanan yang bersangkutan.
Bagi klien dengan hasil non reaktif namun dengan faktor risiko tinggi
dari seluruh proses di atas, maka tes dilakukan kembali setelah 3
bulan. Sedangkan bagi klien dengan hasil reaktif dirujuk ke dokter
klinik dan pada kasus tertentu dapat dirujuk ke rumah sakit rujukan
terdekat.
Apabila ada kasus pemindahan WBP, maka dokter dapat meminta
penundaan pemindahan akan tetapi bagi klien yg wajib dipindahkan
maka akan disertakan berkas kesehatan klien.

2) Penerapan konseling dan tes HIV yang efektif mencakup :


a)

Konseling pra dan pasca tes HIV

b)

Pelatihan dan supervisi pendidik sebaya

c)

Pendidikan dan pelatihan petugas lapas tentang pencegahan HIV

d)

Pengurangan risiko bunuh diri dan rujukan psikologis

e)

Konseling dan tes HIV untuk petugas yang mengalami pajanan


okupasional

f)

Konseling

sebelum

bebas

hukuman:

penguranganrisiko,

pengungkapan status kepada pasangan, rujukan terapi

296

g)

Demonstrasi pemakaian kondom dan cara menyuntik yang aman

3) Hal-hal yang penting diperhatikan dalam melakukan konseling dan tes


HIV untuk warga binaan :
a) Menggunakan konselor atau petugas terlatih dari organisasi luar
Lapas. Petugas Lapas, terutama mereka yang berhubungan langsung
dengan Warga Binaan tidak tepat untuk menjalankan konseling dan
tes HIV di Lapas tempatnya bekerja.
b) Konselor membutuhkan kemitraan dengan semua stakeholders
sebelum memulai kegiatan. Tanpa dukungan dari petugas dan
manajemen Lapas, intervensi tidak akan dapat dijalankan.
c) Melakukan penilaian risiko HIV dan IMS dengan menggunakan
checklist yang tepat termasuk semua perilaku seksual yang dijalani
dan kemungkinan pajanan non seksual seperti penggunaan jarum
suntik bersama, tato dan lain-lain.
d) Menyediakan materi KIE tentang penularan HIV dan teknik
pencegahannya. Konselor harus memberikan pemahaman akan
materi yang diberikan pada klien.
e) Pelayanan konseling melalui telpon perlu dipertimbangkan.

Kegiatan Materi Inti VI : Pengembangan Program Layanan Konseling dan Tes HIV
Pada Kelompok Berisiko

B. MATERI INTI VII


C. ADAPTASI DAN MODEL LAYANAN KONSELING DAN TES HIV
D.
I. DESKRIPSI SINGKAT
a. Berdasarkan kebutuhan klien dalam berbagai situasi, maka layanan
konseling dan tes HIV perlu diadaptasi ke model yang sesuai dengan kelompok
tertentu dalam masyarakat dan karakteristik layanan (misal tempat jauh atau sulit
dijangkau). Konseling dan tes HIV mempunyai dua pendekatan yaitu atas inisiasi
klien dan inisiasi petugas kesehatan. Terdapat dua model layanan yakni mandiri
dan terintegrasi di layanan kesehatan (pemerintah dan swasta). Dalam
pelaksanaannya, kegiatan layanan dilakukan secara menetap dan bergerak

297

(mobile). Layanan konseling dan tes HIV dapat dilakukan di berbagai tatanan
seperti Lapas dan Rutan, institusi TNI, institusi Polri, klinik TKI dan tempattempat kerja atau perusahaan.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


b. Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menerapkan adaptasi model
konseling dan tes HIV diberbagai tatanan

III. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


c. Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu:
1.

Melakukan adaptasi model konseling dan tes HIV

2.

Melakukan model layanan konseling dan tes HIV pada berbagai


tatanan

IV. POKOK BAHASAN


d. Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
1. Adaptasi Model Layanan Konseling dan Tes HIV
2. Model Layanan Konseling dan Tes HIV pada Berbagai Tatanan

V. METODE
e. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1. Curah pendapat
2. Ceramah dan Tanya Jawab (CTJ)
VI. MEDIA DAN ALAT BANTU
f. Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :
1.
2.
3.
4.
5.

Komputer
LCD
Bahan tayang (slide powerpoint)
Modul
Whiteboard/filpchart + spidol

298

VII. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


g. Pokok Bahasan 1. Adaptasi Layanan Konseling dan Tes HIV
Sesi 1: Pengkondisian
a. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran
sebaiknya menggunakan bahan tayang.
b. Menggali pendapat/pemahaman peserta

terkait

Adaptasi

layanan

konseling dan tes HIV.


Sesi 2: Pembahasan materi
a. Fasilitator

memberikan

apresiasi

atas

disampaikan dan melanjutkan dengan

berbagai

pendapat

yang

penjelasan tentang Adaptasi

Layana Konseling dan tes HIV.


b. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian
materi
tentang Adaptasi layanan Konseling dan Tes HIV.
c. Fasilitator meminta peserta melakukan :

Kegiatan Materi Inti VII : Adaptasi dan Model Layanan Konseling dan Tes HIV

Sesi 3: Refleksi
a. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang
ditetapkan sudah tercapai.
b. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta.

299

URAIAN MATERI

1. Adaptasi Model Layanan Konseling dan Tes HIV


Didalam membuat layanan konseling dan tes HIV, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a. Promosi layanan konseling dan tes HIV
Promosi layanan konseling dan tes HIV disesuaikan berdasarkan sasaran, tempat,
waktu dan metode yang digunakan dengan tujuan mengubah perilaku masyarakat
agar mau memanfaatkan pusat pelayanan konseling dan tes HIV tersebut.
Untuk dapat menjangkau masyarakat yang membutuhkan pelayanan konseling
dan tes HIV, maka perlu dibangun, dikembangkan dan diperkuat dengan cara :

300

1) Mempertimbangkan kebutuhan dan daya beli dalam berbagai lapisan


masyarakat antara lain dengan pengembangan sistem pendanaan subsidi
silang.
2) Membuat layanan yang bersahabat untuk berbagai usia, jenis kelamin dan
orientasi seks serta kelompok berisiko.
3) Mendirikan tempat layanan konseling dan tes HIV yang mudah dijangkau
namun tetap menjaga konfidensialitas.
4) Mempromosikan manfaat layanan konseling dan tes HIV secara edukatif
melalui berbagai media dengan memperhatikan budaya setempat.
b. Dua Pendekatan Layanan Konseling dan Tes HIV
1) Atas inisiasi klien (KTS/VCT)
2) Atas inisiasi petugas kesehatan (PITC)
c. Dua Model Layanan Konseling dan Tes HIV
Model layanan konseling dan tes HIV yakni mandiri dan terintegrasi di layanan
kesehatan (pemerintah dan swasta). Model mandiri dilakukan oleh klinik-klinik
yang dikelola oleh LSM atau Yayasan sedangkan model terintegrasi berada
dalam tatanan RS, Puskesmas dan Balai Kesehatan Masyarakat.

1) Model Layanan Mandiri


Layanan mandiri menawarkan konseling dan tes HIV bagi kelompok berisiko dan
masyarakat umum yang jauh dari fasilitas kesehatan. Banyak pelayanan mandiri
dikelola oleh LSM lokal atau internasional dan menjadikan konseling dan tes HIV
sebagai kegiatan utamanya. Keberhasilan pelayanan didukung oleh publikasi,
pemahaman masyarakat akan konseling dan tes HIV dan upaya untuk mengurangi
stigma berkaitan dengan HIV. Pelayanan konseling dan tes HIV yang berhasil,
didukung oleh kampanye informasi, edukasi dan komunikasi serta mobilisasi
masyarakat dan iklan.

a) Kekuatan Layanan Mandiri

Tersedianya konselor berdedikasi konselor bekerja purna waktu..

Keleluasaan jam kerja Pelayanan mandiri tidak bergabung dengan


pelayanan lain, maka ia dapat melakukan jam operasional yang
leluasa sesuai dengan kebutuhan klien jangkauannya, misalnya
malam hari atau hari libur.

Mandiri Layanannya mandiri sehingga membuat klien tanpa gejala


lebih nyaman mendatangi layananan tersebut.

301

Berhubungan dengan masyarakat Pelayanan mandiri berada di


tengah masyarakat dengan struktur manajemen luwes. Melalui cara
ini hubungan ke dan dari masyarakat serta kemitraan dapat ditindak
lanjuti dengan baik.

Memiliki jaringan dan rujukan - Pelayanan mandiri biasanya


memiliki jejaring dan rujukan biopsikososial seperti

kelompok

dukungan sebaya, jejaring pengobatan dan perawatan.


b) Kelemahan Layanan Mandiri

Pendanaan Kebanyakan pelayanan dilakukan oleh swasta yang


tergantung pada dukungan dana donor sehingga sulit untuk menjaga
kesinambungan layanan.

Berpotensi memunculkan stigma Pelayanan mandiri hanya


menyediakan layanan terkait HIV AIDS sehingga berpotensi
memunculkan stigma. Orang enggan datang karena takut dikenali
sebagai orang terinfeksi HIV.

Petugas yang jenuh (burn-out) Pada pusat pelayanan yang staf


purna waktu, kejenuhan seringkali tak terhindarkan sehingga
menimbulkan stres dengan merasa lelah secara emosional.

2) Model Layanan Terintegrasi


Layanan konseling dan tes HIV dapat terintegrasi pada layanan kesehatan
yang telah ada. Dalam pendekatan ini pasien yang mengunjungi layanan
KIA, KB, TB dan IMS dapat melakukan konseling dan tes HIV. Dengan
telah terjalinnya sistem rujukan Puskesmas dengan fasilitas kesehatan
lainnya, maka rujukan konseling dan tes HIV pun dapat dilakukan.
Dukungan staf konselor yang berdedikasi akan memberikan keberhasilan
pelayanan yang terintegrasi. Perlu dilakukan pertemuan teratur dan
pertemuan antar klinik untuk memastikan berjalannya jaringan dan rujukan
antar klinik. Komitmen pihak manajemen, perencanaan dan pengembangan
layanan konseling dan tes HIV akan membuat layanan dapat berkembang.
a) Kekuatan Layanan Terintegrasi

Biaya rendah Pelayanan konseling dan tes HIV yang terintegrasi


pada fasilitas kesehatan yang ada tidak membutuhkan ekstra dana
guna

menyiapkan

tempat

dan

perlengkapannya.

Pelayanan

302

terintegrasi membutuhkan pelatihan bagi staf pelayanan kesehatan


tersebut tanpa harus merekrut staf baru.

Mudah direplikasi/ditingkatkan Di banyak tempat, jejaring kerja


yang baik antar Puskesmas telah mapan. Jika layanan berhasil
diintegrasikan, maka akan mudah direplikasi atau ditingkatkan
karena infrastruktur dasarnya telah ada disana.

Stigma lebih kecil Puskesmas melakukan beberapa jenis pelayanan


kesehatan, karenanya akan mudah orang datang untuk konseling dan
tes HIV tanpa merasa malu.

Hubungan dengan intervensi medik Diagnosis infeksi yang


berkaitan dengan HIV, akses dan monitoring terapi serta intervensi
pencegahan dapat difasilitasi melalui jalur klinik yang telah ada.

Akses untuk perempuan Konseling dan tes HIV yang terintegrasi


mudah dikunjungi perempuan dibandingkan layanan konseling dan
tes HIV mandiri. Kunjungan perempuan ke Puskesmas merupakan
hal yang biasa bahkan mungkin rutin untuk pelayanan KB dan KIA.
Oleh karena itu, lebih mudah menawarkan konseling dan tes HIV
kepada mereka.

Akses untuk kaum muda Konseling dan tes HIV dapat dimasukkan
dalam layanan yang bersahabat bagi kaum muda dan dapat dimulai di
Puskesmas yang telah melakukan layanan kesehatan reproduksi dan
klinik remaja.

b) Kelemahan Layanan Terintegrasi

Peningkatan beban kerja Mereka yang bekerja di fasilitas kesehatan


telah mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Sebagian
besar petugas kesehatan di Puskesmas sangat sibuk melayani pasien
sehingga hanya sedikit waktu dan tenaga yang tersisa untuk
konseling. Diperlukan kesediaan waktu ekstra untuk konseling lebih
dalam. Keterbatasan waktu dan banyaknya pasien merupakan
kendala untuk mempertahankan layanan konseling.

Keterbatasan ruangan Konseling dan tes HIV membutuhkan ruang


bersifat pribadi yang orang lain tak dapat ikut mendengar dialog
dalam konseling. Bila Puskesmas terlalu kecil, maka sulit untuk
menyediakan ruang yang nyaman untuk konseling.

303

Laki-laki kurang mengakses Laki-laki biasanya tidak secara rutin


datang ke Puskesmas dan perempuan juga jarang didampingi
pasangannya ketika mengunjungi Puskesmas.

Keterbatasan waktu Keterbatasan waktu layanan membuat klien


yang dapat dilayani oleh konselor menjadi sedikit.

Kualitas konselor terbatas Dalam prakteknya dijumpai konselor


dengan keterampilan konseling yang masih terbatas sehingga
dibutuhkan peningkatan kompetensi.

d. Pelaksanaan Layanan Konseling dan Tes HIV


Di dalam pelaksanaannya, konseling dan tes HIV dilakukan dalam seting
menetap dan bergerak (mobile).
1) Kegiatan Layanan Menetap
Kegiatan layanan menetap dilakukan oleh sarana kesehatan dalam
gedung. Kegiatan layanan menetap dilakukan oleh sarana kesehatan dalam
gedung karena adanya kebutuhan masyarakat untuk mencari tempat layanan
yang tidak berpindah-pindah sehingga masyarakat dapat datang kapanpun
sesuai jadwal buka layanan.
Konseling dan tes HIV menetap terintegrasi dalam sarana kesehatan atau
sarana lainnya. Menetap artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan
kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana lainnya harus memiliki
kemampuan atau terhubung dengan layanan pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV AIDS.
a) Contoh pengembangan pelayanan konseling dan tes HIV di sarana
kesehatan dan sarana lain yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta:

Rumah Sakit.

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

Klinik Keluarga Berencana (KB)

Klinik KIA untuk mendukung program pencegahan penularan ibuanak (PMTCT)

Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)

Klinik Tuberkulosa (TB)

Poliklinik/balai pengobatan lainnya

b) Kekuatan Layanan Menetap

304

Koordinasi lebih mudah dijalankan karena semua aspek layananan


(petugas, prasarana, sarana dan fasilitas) berada di satu tempat.

Layanan ini juga menyediakan jadwal yang tetap dan berkelanjutan


sehingga masyarakat sewaktu-waktu dengan mudah dapat datang
mencari layanan.

c) Kelemahan Layanan Menetap

Masyarakat yang berada jauh dari tempat layanan akan sulit


mengakses secara rutin karena beberapa kendala seperti akses
transportasi, keterbatasan waktu dan biaya.

Petugas di layanan ini seringkali merangkap tugas/jabatan sehingga


pelayanan menjadi kurang optimal.
Kombinasi antara layanan menetap dengan jadwal rutin setiap hari dan
melakukan kegiatan layanan bergerak pada waktu-waktu tertentu
merupakan strategi yang sering digunakan oleh klinik konseling dan
tes HIV untuk menjangkau masyarakat lebih luas lagi.

2) Kegiatan Layanan Bergerak (Mobile)


Kegiatan layanan diluar gedung disebut layanan yang bergerak
(mobile). Kegiatan di luar gedung dilakukan oleh layanan kesehatan dengan
maksud mendekatkan akses layanan kepada mereka yang membutuhkan
sehingga jangkauan layanan diperluas. Layanan bergerak menyertakan dokter,
petugas laboratorium, konselor dan petugas administrasi dengan bekal surat
tugas dari institusi kesehatan yang menugaskannya. Hasil tes sebaiknya
dilakukan pada hari yang sama.
Bagi mereka yang tidak secara rutin mengunjungi fasilitas kesehatan,
maka pelayanan konseling dan tes HIV bergerak atau penjangkauan
masyarakat dapat dikembangkan. Unit konseling dan tes HIV keliling dapat
menggunakan mobil atau in situ pada tempat dan waktu yang yang telah
ditetapkan dan disosialisasikan sebelumnya. Pendekatan ini digunakan untuk
menjangkau masyarakat yang sulit dijangkau dan sulit datang di pelayanan
kesehatan formal. Pendekatan ini mampu membuka dan meningkatkan akses
di daerah terpencil.
Salah satu variasi model ini adalah tim konseling dan tes HIV
membuka pelayanan secara rutin di Puskesmas, sekolah, pesantren atau
kelompok lainnya. Diperlukan pemberitahuan yang luas kepada masyarakat
305

agar mereka dapat mengakses. Bila perlu sediakan peta, informasi dan jadwal.
Menggunakan tes cepat akan sangat membantu karena hasil diperoleh pada
hari yang sama.
a) Kekuatan Layanan Bergerak

Memperbaiki akses Unit Keliling mempunyai akses besar kepada


mereka yang rentan dan berisiko, di wilayah yang cukup luas dan
terjangkau petugas layanan.

Berhubungan dengan pelayanan permanen Begitu hubungan


terbangun, Unit Keliling dapat berjalan reguler kemudian pelayanan
dapat dialihkan ke fasilitas pelayanan yang lebih komprehensif dan
permanen.

b) Kelemahan Layanan Bergerak

Pasca tes lanjutan dan dukungan Unit Keliling cenderung terbatas


dalam memberikan pelayanan termasuk jumlah klien yang mampu
dilayani dan dukungan lanjutan bagi yang membutuhkan.

Keberlangsungan - Unit Keliling mengalami hambatan terkait sarana


dan prasarana terutama di daerah terpencil.

Rahasia Mereka yang datang ke layanan konseling dan tes HIV


biasanya mempunyai kebutuhan khusus dan sering dapat dikenali
oleh masyarakat sekitar.

Konfidensialitas Jika layanan diIakukan berpindah-pindah maka


setiap kali orang mengakses layanan maka konfidensialitas tidak
terjaga

2. Pokok Bahasan 2. Model Layanan Konseling dan Tes HIV pada Berbagai
Tatanan
Sesi 1: Pengkondisian
a. Fasilitator menyapa

peserta dengan ramah dan hangat. Apabila

belum berkenalan mulai dengan

perkenalan. Sampaikan tujuan

pembelajaran sebaiknya menggunakan bahan tayang.


b. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait layanan konseling dan
tes HIV diberbagai tatanan.
Sesi 2: Pembahasan materi

306

a. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang


disampaikan dan melanjutkan dengan penjelasan tentang Layanan
KTHIV di berbagai tatanan.
b. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari uraian
materi tersebut.
c. Fasilitatator melakukan kegiatan Tanya jawab terkait materi diatas.
Sesi 3: Refleksi
a. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi
bersama tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran
yang ditetapkan sudah tercapai.
b. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi
atas keterlibatan aktif seluruh peserta
URAIAN MATERI
Indonesia telah sepakat berkontribusi dalam pencapaian target universal
access. Oleh karena itu diperlukan perluasan pelayanan konseling dan tes HIV di
berbagai tatanan. Strategi ini merupakan salah satu pintu masuk ke berbagai layanan
dengan mendeteksi status infeksi HIV seseorang secara dini.
Tatanan layanan konseling dan tes HIV diantaranya:
a)

Layanan konseling dan tes HIV untuk pengungsi

b)

Layanan konseling dan tes HIV untuk pekerja migran (TKI)

c)

Layanan konseling dan tes HIV untuk TNI

d)

Layanan konseling dan tes HIV untuk anak dan remaja korban kekerasan
seksual

e)

Layanan konseling dan tes HIV untuk individu yang memiliki


keterbatasan fisik dan mental

f)

Layanan konseling dan tes HIV di dalam pengembangan layanan klinik


TB

g)

Layanan konseling dan tes HIV di dalam pengembangan layanan klinik


IMS

h)

Layanan konseling dan tes HIV di Tempat Kerja (Perusahaan)

1. Layanan Konseling dan Tes HIV untuk Pengungsi


Selama proses pengungsian dan di tempat pengungsian, pengungsi
mempunyai risiko tertular melalui transfusi darah, perilaku seksual yang tidak
aman dan prostitusi. Konseling dan tes HIV diberikan sesuai dengan bahasa dan

307

budaya kelompok sasaran. Pelayanan dapat diberikan terintegrasi di klinik


kesehatan bagi pengungsi. Sepuluh (10) butir kunci United Nations High
Commission on Refugees (UNHCR) tentang HIV AIDS :
a) Pengungsi (internasional maupun domestik) dan orang lainnya yang
menjadi keprihatinan UNHCR yang terinfeksi HIV berhak hidup
bermartabat, bebas dari segala stigma dan diskriminasi.
b) Pengungsi (internasional maupun domestik) dan orang lainnya yang
menjadi keprihatinan UNHCR mempunyai hak untuk mengakses
pelayanan HIV AIDS.
c) Terinfeksi HIV tidak akan menghambat akses untuk mengikuti prosedur
pencarian suaka bagi pengungsi dan tidak bisa dijadikan dasar pengusiran
warga negara keluar dari negaranya maupun penolakan pengungsi yang
memutuskan kembali ke negara asalnya.
d) Penahanan dan pencekalan orang yang terinfeksi HIV adalah pelanggaran
hak atas kebebasan bergerak/berpindah dan keamanan individu.
e) UNHCR dan juga negara-negara di dunia bisa menghargai privasi dan
menjamin konfidensialitas orang terinfeksi HIV dan juga yang tidak
terinfeksi.
f) UNHCR mendukung pengadaan layanan konseling dan tes HIV berkualitas
bagi semua orang, termasuk pengungsi di negara atau tempat mereka
berada atau ditempatkan.
g) UNHCR menentang tes HIV mandatori bagi pencari suaka, pengungsi dan
orang yang menjadi keprihatinan UNHCR karena tes HIV mandatori tidak
mencegah terjadinya penularan HIV.
h) Upaya mencapai jalan keluar atas permasalahan yang berlarut-larut, jangan
terancam oleh karena status HIV pengungsi atau keluarganya walaupun ada
beberapa negara ketiga yang mempunyai persyaratan tertentu terkait status
HIV dalam penempatan pengungsi.
i) UNHCR menghimbau agar adanya perlindugan atas kebutuhan perempuan
dan anak terkait HIV karena mempunyai dampak atas kesejahteraan
mereka mengingat masih kuatnya ketidak seimbangan dan kesetaraan
jender, kekerasan dan eksploitasi terhadap mereka.
j) Negara-negara di dunia dan UNHCR menjamin tersedia dan tersebarnya
informasi yang benar tentang HIV, termasuk kesehatan reproduksi yang
dapat diakses oleh pengungsi.

308

2. Layanan Konseling dan Tes untuk Pekerja Migran


Kelompok migran, khususnya TKI (Tenaga Kerja Indonesia) rentan
tertular HIV dan IMS karena tidak mengerti pesan seks yang aman. Hal ini
karena hambatan bahasa, kurangnya pelayanan kesehatan yang menyentuh
mereka dan status hukum ilegal sehingga mereka menjadi obyek pemerasan.
Layanan konseling dan tes diberikan sesuai dengan budaya kelompok migran
yang disasar, dalam bahasa yang mereka mengerti dan sesuai dengan kebutuhan
mereka. Sebaiknya, dilatih orang-orang di antara kaum migran untuk
memberikan konseling dan tes sukarela. Orang tersebut akan lebih dipercaya
oleh kelompok migran terutama karena kaum migran sering dianggap sebagai
orang asing.
Hampir di semua negara penempatan TKI mensyaratkan bahwa calon
TKI yang akan bekerja harus bebas dari HIV. Sarana kesehatan yang melakukan
skrining wajib menjalankan pemeriksaan medical check up kepada calon TKI.
Untuk melaksanakan pemeriksaan kesehatan calon TKI, sarana kesehatan harus
mendapatkan ijin penetapan sebagai Sarana Pelayanan Pemeriksa Kesehatan
Calon TKI dari Menteri Kesehatan.
Belum semua sarana pelayanan kesehatan TKI memiliki layanan
konseling dan tes HIV bagi calon TKI. Ketika mendapati calon TKI dengan
hasil tes reaktif maka yang bersangkutan perlu mendapatkan rujukan ke sarana
kesehatan yang telah memiliki layanan konseling dan tes HIV dan akses pada
penanganan berkelanjutan. Calon TKI yang diketahui terinfeksi HIV pada saat
medical check up dinyatakan unfit.
Jika ditemukan TKI purna penempatan yang menunjukkan tanda atau
gejala terkait infeksi HIV di poliklinik bandara dan kantor kesehatan pelabuhan
maka poliklinik bandara (BNP2TKI-Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) bersama dengan Kantor Kesehatan
Pelabuhan wajib melakukan rujukan ke layanan konseling dan tes HIV.
Rujukkan disertai surat tembusan ke Dinas Kesehatan dan BP3TKI (Balai
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) di 21
Propinsi di daerah tinggal TKI tersebut untuk dilakukan penanganan sesuai
program.

309

Model layanan konseling dan tes HIV untuk TKI mengikuti Pedoman
pelayanan konseling dan tes HIV berdasarkan keputusan SK MENKES RI No
029/ MENKES/SK/I/2008, yaitu:
a) Mekanisme/Alur Pelayanan Terpadu Pelayanan Poliklinik dan Pelayanan
Pendampingan Psikologis Setiap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri
yang kembali ke Indonesia dengan menggunakan pesawat, akan diarahkan
menuju Gedung Pendataan Kedatangan (GPK) Selapajang BNP2TKI untuk
dilakukan pendataan. Data yang diambil meliputi identitas TKI : Nama, Usia,
Asal daerah, Negara tempat bekerja, Nomor Paspor dan Nama PT yang
mengirimnya. Dalam proses pendataan TKI akan dikelompokkan menjadi TKI
sehat dan atau tidak bermasalah dan TKI sakit dan atau bermasalah. TKI yang
sehat dan atau tidak bermasalah, selanjutnya menjalani alur pelayanan
kepulangan ke daerah masing-masing. Bagi TKI yang sakit langsung dibawa ke
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Petugas KKP akan menghubungi pihak
poliklinik Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) Selapajang untuk datang ke
KKP agar menangani TKI tersebut dan segera merujuk pasien tersebut ke
pelayanan poliklinik.
b) Pelayanan Poliklinik

Disediakan fasilitas pelayanan kesehatan pemeriksaan fisik,


psikologis dan bila membutuhkan rawatan lebih lanjut dirujuk ke RS
Bhayangkara tingkat I RS Soekanto.
c) TKI bermasalah

TKI bermasalah dikategorikan berdasarkan kebutuhan akan


pendampingan psikologis. TKI yang tidak memerlukan pendampingan
psikologis dapat langsung datang ke bagian pengaduan. TKI yang
memerlukan pendampingan psikologis akan diarahkan oleh petugas
bagian pengaduan atau mendatangi Poli Pendampingan Psikologis.
Petugas Poli Pendampingan Psikologis

akan mencatat data-data TKI

seperti Nama, Usia, Asal daerah, Negara tempat bekerja, Nomor Paspor
dan Nama PT yang mengirim. Setelah itu, petugas akan melakukan tugas
pendampingan dan mempertimbangkan perlu atau tidak dirujuk ke
Poliklinik, kemudian melanjutkan proses ke bagian pengaduan untuk
melaporkan permasalahan yang ada.

310

3. Layanan Konseling dan Tes HIV di TNI


TNI dalam kehidupan sehari-hari dituntut untuk selalu siap ditugaskan
setiap saat di manapun. Untuk itu dibutuhkan status kesehatan anggota TNI
yang prima untuk mendukung pencapaian tugas pokoknya. Adanya infeksi
menular seksual (IMS) termasuk HIV dapat menurunkan status kesehatan
anggota dan lebih jauh dapat mempengaruhi kesiapannya dalam menjaga tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). TNI tergolong dalam
kelompok yang rawan tertular IMS termasuk HIV. Hal tersebut karena
mobilitasnya yang tinggi, sering jauh dari pasangan, umumnya muda usia dan
tergolong dalam kelompok yang aktif secara seksual. Untuk membatasi
penularan HIV di lingkungan TNI, dilakukan berbagai upaya penanggulangan
salah satunya melalui layanan konseling dan tes HIV yang tersebar di beberapa
fasilitas kesehatan TNI di seluruh Indonesia.
a) Pola layanan konseling dan tes HIV
Layanan konseling dan tes HIV di lingkungan TNI dilaksanakan pada
berbagai sasaran, mulai dari pemeriksaan untuk calon anggota, anggota
aktif dan keluarganya. Tujuan pemeriksaan juga bermacam-macam seperti
untuk kepentingan pengadaan anggota TNI (recruitment), pra dan purna
tugas operasi, persyaratan pendidikan pengembangan umum, persyaratan
nikah dan lain-lain.

Konseling dan tes

dilaksanakan

menggunakan

dengan

HIV di lingkungan TNI

berbagai

pendekatan

meliputi

konseling dan tes atas inisiasi klien (VCT), konseling dan tes atas inisiasi
petugas kesehatan (PITC), konseling dan tes atas perintah dinas/Mandatory
Testing & Counseling (MTC) dan tes untuk pencegahan penularan HIV
dari ibu kepada anaknya (PMTCT) serta penawaran rutin setiap kali
melaksanakan periksaan kesehatan/uji badan (Rikkes/ Ubad).
b) Tes Wajib
Untuk menjamin agar anggota TNI tetap sehat dan siap kapanpun negara
memerlukan, maka dinas mengadakan pemeriksaan dan tes HIV wajib
(Mandatory Testing and Counseling). Tes ini diberlakukan pada:

Seleksi calon anggota TNI


Prosedur tes wajib/mandatory dilakukan dengan menggunakan
strategi satu (satu kali tes) bagi calon anggota TNI.

311

Pemeriksaan

HIV

dilakukan

bersama

dengan

pemeriksaan

kesehatan lainnya sehingga tidak diberikan inform consent


tersendiri. Tidak dilakukan konseling secara khusus. Jika terdeteksi
adanya HIV Reaktif secara laboratorium maka yang bersangkutan
dinyatakan unfit dan tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota
TNI.
Hasil pemeriksaan tidak diinformasikan kepada yang bersangkutan
dan keputusan panitia tidak dapat diganggu gugat.

Pra dan Purna Tugas Operasi.


Pra Tugas Operasi. Pelaksanaan pemeriksaan HIV dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan kesehatan yang lain dengan
didahului edukasi kelompok. Apabila dikehendaki (ada anggota
yang ingin konseling lebih pribadi) maka dapat dilakukan konseling
perseorangan sesuai kebutuhan. Apabila hasil tes non reaktif, proses
selanjutnya sesuai dengan program pemberangkatan. Apabila hasil
menunjukkan reaktif, maka dinyatakan yang bersangkutan unfit dan
tidak diijinkan melaksanakan tugas operasi. Segera dilakukan
tindak lebih lanjut dan dirujuk ke fasilitas kesehatan yang ditunjuk.
Purna Tugas Operasi. Pemeriksaan terpusat dilakukan saat anggota
TNI tersebut baru datang/kembali dari penugasan. Didahului
dengan edukasi kelompok dan bila diperlukan dapat dilakukan
konseling perseorangan. Apabila hasilnya Reaktif, maka segera
dilakukan tindak lanjut sesuai dengan ketentuan atau dirujuk ke
tingkat yang lebih tinggi. Apabila hasilnya non Reaktif, anggota
tersebut

langsung

dikembalikan

ke

satuan

asal.

Lakukan

pemeriksaan ulang 3 bulan kemudian di fasilitas kesehatan setempat


(satuan asal anggota TNI tersebut) oleh petugas kesehatan yang
kompeten. Apabila hasilnya berubah menjadi reaktif, maka segera
dilakukan tindak lanjut sesuai dengan ketentuan atau dirujuk ke
tingkat yang lebih tinggi. Apabila hasilnya tetap non reaktif, tetap
diberikan edukasi tentang perilaku hidup sehat.

Seleksi Pendidikan Pengembangan Umum (Dikbangum) TNI


Pelaksanaan pemeriksaan HIV dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan kesehatan yang lain sesuai prosedur seleksi pendidikan.
Jika hasil tes reaktif, maka yang bersangkutan dinyatakan unfit serta

312

segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang ditunjuk. Jika anggota


tersebut telah menikah dan atau memiliki anak di bawah usia 5 tahun
maka pasangan dan anaknya juga di tes. Jika hasil tes non reaktif, maka
prosedur selanjutnya akan sesuai dengan program seleksi Dikbangum.

Pranikah bagi anggota TNI dan calon pasangannya


Pemeriksaan kesehatan pra nikah pada anggota TNI dan calon
pasangannya telah biasa dilakukan dan merupakan syarat pengajuan
permohonan menikah. Pelaksanaan pemeriksaan HIV ini dilaksanakan
bersamaan dengan pemeriksaan kesehatan lainnya. Jika hasil reaktif
pada salah satu atau kedua calon, maka sebelum dilakukan konseling
pranikah pasangan wajib membuka status kepada calon pasangan
dengan diketahui komandan atau kepala satuan kerjanya. Keputusan
untuk tetap menikah atau tidak diserahkan kepada pasangan tersebut.
Surat ijin menikah dari atasan atau komandan baru dikeluarkan setelah
pasangan tersebut menjalani konseling pranikah pasangan.

Pemeriksaan HIV atas dasar kepentingan dinas


Demi kesiapan anggota untuk dapat bertugas dengan baik, maka
atas perintah dinas dapat diadakan skrining dengan menggunakan
strategi satu. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pemberian edukasi
kelompok terlebih dahulu. Apabila anggota berkehendak melanjutkan
konseling secara pribadi maka dapat dilakukan konseling sesuai
kebutuhannya dan dilanjutkan dengan pengambilan sampel darah.
Apabila hasil reaktif, maka segera dilakukan tindak lanjut sesuai dengan
ketentuan atau dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi. Jika anggota tersebut
telah menikah dan atau memiliki anak berusia di bawah lima tahun,
maka pasangan dan anaknya juga dites.

c) Penawaran Rutin (Routine Offer)


Pada pemeriksaan kesehatan atau uji badan (rikkes/ubad) berkala
secara rutin ditawarkan pemeriksaan HIV oleh dokter petugas anamnese
kepada anggota yang sedang melaksanakan rikkes/ubad tersebut. Peserta
rikkes/ubad menandatangi informed consent sesuai dengan pilihannya
(setuju atau tidak setuju untuk diperiksa). Jika setuju maka akan diperiksa.
Hasil pemeriksaan HIV akan ditunjukkan kepada anggota bersangkutan
secara langsung. Apabila hasilnya reaktif, maka dilakukan rujukan ke
313

fasilitas kesehatan yang ditunjuk. Jika hasilnya non reaktif, namun


memiliki perilaku berisiko, maka diberikan edukasi untuk mengubah
perilaku berisikonya tersebut. Jika hasil non Reaktif tanpa perilaku berisiko
yang jelas, diberikan edukasi tentang perilaku hidup sehat agar tetap non
reaktif. Pada rikkes periode berikutnya tetap ditawarkan pemeriksaan lagi.
Bagi anggota TNI yang diperiksa dengan hasil non reaktif tetapi
disertai dengan faktor risiko maka perlu diulangi 3 bulan kemudian. Bila
tidak ada faktor risiko maka diberikan edukasi tentang perilaku hidup sehat
agar tetap non reaktif. Apabila hasilnya reaktif, maka segera dilakukan
tindakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan atau merujuk ke tingkat yang
lebih tinggi. Jika anggota tersebut telah menikah dan atau memiliki anak
berusia di bawah lima tahun, maka pasangan dan anaknya juga dites.

4. Layanan Konseling dan Tes HIV untuk Anak dan Remaja Korban
Kekerasan Seksual.
Pada setiap tahap konseling, hak anak perlu dihormati. Konselor
melakukan konseling berfokus pada anak dan remaja korban kekerasan seksual.
Kadang-kadang anak dan remaja perlu mendapat pendampingan pihak hukum.
Pada kondisi ini para petugas kesehatan perlu mendapatkan keterampilan
konseling anak dan remaja. Dalam melaksanakan pelatihan konseling untuk
anak dan remaja, ajaklah juga mendiskusikan sisi hukum serta hak anak dan
remaja. Jika anak menjadi korban kekerasan, konselor perlu merujuk kepada
ahlinya. Konselor harus tetap memberikan dukungan pada anak, remaja dan
keluarga atau pengampunya.
Sebagian besar peraturan hukum dibanyak negara mengatakan bahwa
setiap anak memerlukan persetujuan orang tua dalam melakukan tindakan
medik atau pernyataan persetujuan hanya dilakukan dengan pendampingan
orangtua. Pernyataan hukum ini juga berlaku bagi tes HIV yang ditawarkan
kepada remaja. Dalam melaksanakan tes HIV, pastikan konfidensialitas medik
merupakan hal amat penting dan hak untuk tetap menjaga konfidensialitas
tersebut sesuai dengan UN Convention on the Rights of the Child. Pertimbangan
hukum lainnya untuk konseling dan tes HIV bagi anak dan remaja termasuk
wajib pada kejadian kekerasan seksual (status perkosaan) dan mereka yang
dipekerjakan sebagai pekerja seks.
314

a) Masalah psikososial pada anak dan remaja yang dapat mempengaruhi


pelayanan konseling dan tes HIV, antara lain:

Keyakinan akan persepsi bahwa mereka tidak akan tertular atau tidak
akan berisiko

Rendahnya kemampuan negosiasi seks aman

Kesulitan mengungkapkan status pada orangtua, pasangan, teman dan


lain-lain

Disalahgunakan oleh petugas kesehatan

Tugas sesuai tahap perkembangan anak dan remaja

Besarnya pengaruh kawan sebaya

Kesadaran akan citra diri

b) Beberapa pertimbangan untuk melakukan konseling dan tes HIV yaitu:

Kenyamanan klien dengan konselor

Kematangan dan kesehatan anak dan remaja

Pada anak dan remaja, mereka seringkali tidak tahu akan arti stigma dan
diskriminasi yang disebabkan oleh HIV AIDS.

Anak yang mengetahui status HIVnya secara benar akan lebih


menguntungkan daripada tidak tahu sama sekali. Kadang-kadang jika
anak tidak diberitahu, dia akan senantiasa menduga-duga ketika orang
diseputarnya membicarakan dirinya atau memperlakukannya dengan
cara yang berbeda dari pada anak lain di rumah. Anak akan mempunyai
mekanisme diri untuk menghadapi kabar yang rumit dan pemberitahuan
yang tidak benar. Menghindar dari pemberitahuan status HIV anak
dalam keluarga akan mudah bagi orangtua untuk menghadapi, tetapi
akan membangkitkan pelbagai perasaan seperti cemas, bersalah dan
marah pada anak. Jika anak tidak dapat membicarakan ketakutannya,
akan berakibat lebih menimbulkan masalah.

Jika anak telah remaja atau berumur sekitar 13-18 tahun atau ketika
telah aktif secara seksual, mereka memerlukan pengetahuan dan
keterampilan untuk bertanggung jawab akan seks aman.

c) Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika menyampaikan informasi kepada


anak dan remaja:

Gunakan bahasa dan konsep sesuai dengan pemahaman dan tingkat usia

315

Pertama tanyakan apa yang mereka pikirkan dan diskusikan apa yang
mereka ketahui tentang HIV AIDS

Gunakan kata-kata dan gambar untuk menjelaskannya

Bicarakan langsung dan gunakan bahasa yang mereka pahami

Tanyakan apakah masih ada hal-hal yang belum jelas atau belum
dimengerti atau mereka ingin mengajukan pertanyaan

Minta mereka menggambarkan tentang diri dan perasaannya melalui


kegiatan menggambar. Gambar akan membantu untuk memperoleh
kerangka pikir dan reaksi mereka. Bicarakan perasaan anak kepada
keluarga sehingga keluarga dapat mendukung dan memahami apa yang
terjadi. Banyak yang dapat kita pelajari dari anak dan remaja dengan
mendengarkan ceritanya dan melihat hasil gambar mereka.

5. Layanan Konseling dan Tes HIV untuk Individu yang Memiliki


Keterbatasan Fisik dan Mental.
Orang yang mempunyai keterbatasan kemampuan dalam menerima
informasi, seperti gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan gangguan
mental serta retardasi mental akan sulit menjalani proses konseling. Mereka
memerlukan bantuan orang lain/persetujuan orang tua atau pengampu.
Konselor VCT di Yayasan Gaya Celebes memiliki pengalaman
melakukan konseling pada klien bisu dan tidak dapat baca tulis. Konselor
menggunakan alat bantu gambar dan bahasa tubuh (Abstrak Munas II PKVHI).
Diperlukan keterampilan khusus seperti bahasa isyarat dan materi KIE dalam
format huruf braille untuk klien dengan hambatan bicara dan penglihatan.
Konselor dapat didampingi oleh penerjemah atas seijin klien dengan
menandatangani surat persetujuan.
6. Layanan Konseling dan Tes HIV di dalam Pengembangan Layanan
Klinik TB.
TB merupakan infeksi oportunistik pada Odha, diperkirakan sekitar

50-75%

Odha di Indonesia menderita TB dalam hidupnya. Dampak TB pada HIV:

Infeksi TB dengan HIV mempercepat kondisi buruk pada diri seseorang


dan menurunkan angka harapan hidup pasien dengan infeksi HIV.

Satu dari tiga kasus kematian terkait AIDS di dunia disebabkan oleh TB.

316

DOTS (Directly Observed Treatment, Short Course) merupakan inti


program

pengendalian

TB.

DOTS

merupakan

strategi

yang

direkomendasikan oleh WHO dan mencapai angka kesembuhan 85% dan


70% deteksi kasus infeksi baru TB. Pengalaman secara langsung
memastikan klien mendapatkan obat tepat, tepat interval, dan tepat dosis.
a) Elemen DOTS:

Komitmen politik

Pemeriksaan mikroskopik sputum berkualitas baik

Kualitas obat yang baik dapat terus dijangkau secara


berkesinambungan.

Terapi diawasi langsung

Monitor dan akuntabilitas DOTS

Pengobatan untuk TB.

DOTS dikelola pemerintah dan terdapat di fasilitas kesehatan


pemerintah dan beberapa fasilitas kesehatan swasta. TB dapat diobati sama
efektifnya untuk orang dengan HIV dan dengan mereka yang tidak dengan
HIV. Memberikan terapi TB pada Odha akan memperbaiki kualitas hidup
dan mencegah penularan TB lebih luas kepada orang di sekitarnya
termasuk keluarga. Konseling dan tes HIV di tempat pemeriksaan TB
mikroskopik harus mempunyai hubungan rujukan dengan pemeriksaan TB
atau pusat DOTS. Jaga kerahasiaan catatan medik klien yang dirujuk oleh
layanan konseling dan tes untuk keperluan diagnosis TB dan hasilnya.
7. Layanan Konseling dan Tes HIV di dalam Pengembangan Layanan
Klinik IMS.
Infeksi Menular Seksual (IMS) berhubungan secara epidemiologis
maupun perilaku dengan HIV. Perilaku seksual berisiko akan menyebarkan
kedua macam infeksi ini. IMS dalam sebagian besar kasus terutama yang
membuat ulkus pada genital dan discharge, dilaporkan meningkatkan HIV.
IMS di negara berkembang merupakan masalah besar dalam bidang kesehatan
masyarakat. Di Asia Tenggara terdapat hampir 50 juta IMS setiap tahun.
Insiden IMS yang dapat diobati di kawasan ini bervariasi antara 7 - 9 kasus
per 100 perempuan usia produktif. Penanganan secara kesehatan masyarakat
telah dilakukan sejak belum adanya penularan HIV.

317

IMS dapat menyebabkan individu menjadi rentan terhadap infeksi HIV.


IMS dalam populasi merupakan faktor utama pendorong terjadinya pandemi
HIV di negara berkembang. Proporsi infeksi baru HIV dalam populasi IMS,
lebih tinggi pada awal dan pertengahan epidemi HIV. Pengendalian dan
pencegahan IMS merupakan prioritas strategis untuk menurunkan penularan
HIV. IMS dapat diobati di semua fasilitas kesehatan sampai tingkat
kecamatan, bahkan di beberapa kelurahan dan di wilayah aktivitas pekerja
seks terdapat klinik IMS.
Terapi IMS dapat dijadikan sarana untuk memberikan edukasi secara
individual akan risiko HIV. Cakupan penanganan kasus HIV akan lebih luas
apabila klinik IMS sekaligus mampu menjalankan konseling dan tes HIV atau
setidaknya mampu merujuk pasien IMS ke layanan konseling dan tes HIV.
Idealnya kedua hal itu dapat dijalankan secara seiring pada lokasi yang sama
dengan sistim optional-out service (pelayanan yang menawarkan konseling
dan tes HIV secara rutin namun tidak dilakukan tes HIV jika klien menolak
atau tidak menyetujui). Sebaliknya jika klien di layanan konseling dan tes
HIV memiliki gejala IMS maka dapat dirujuk ke layanan IMS untuk
mendapatkan pengobatan.
8. Layanan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja (Perusahaan)
Model layanan konseling dan tes HIV di tempat kerja diselaraskan
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Kepmennakertrans No. Kep.
68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di
tempat kerja. Pedoman pelayanan konseling dan tes HIV AIDS yang
digunakan dalam layanan konseling dan tes di tempat kerja mengacu kepada
pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan SK
MENKES RI No 1507 tahun 2005.
Pelaksanaan layanan konseling dan tes di tempat kerja sangat
dipengaruhi oleh fasilitas dan sumber daya yang tersedia di masing-masing
tempat kerja. Pada tempat kerja yang telah memiliki fasilitas layanan
konseling dan konselor terlatih, layanan konseling dilakukan di fasilitas
tersebut.
Pelayanan bersifat sukarela dan menggunakan prinsip 3C: Counseling,
Informed Consent, dan Confidensial. Tes HIV tidak boleh dilakukan sebagai

318

syarat rekrutmen dan promosi pekerja. Pendekatan kepada pasien/klien dapat


dilakukan melalui KTS maupun PITC.
a) Konseling dan tes HIV secara sukarela (KTS)
Pelayanan konseling dan tes yang dilakukan di tempat kerja pada
umumnya baru memberikan layanan konseling pra tes dan pasca tes.
Sedangkan tes HIV dilakukan pada layanan kesehatan rujukan.
Pendekatan

kepada

pekerja/buruh

dilakukan

melalui

kegiatan

komunikasi-informasi-edukasi (KIE). Kegiatan ini terutama dilakukan


jika tempat kerja tersebut memiliki risiko penularan HIV yang tinggi.
KIE dapat disampaikan dengan berbagai cara melalui berbagai media
baik secara langsung maupun tidak langsung. Petugas penyuluh baik
konselor

maupun

petugas

terlatih

HIV

AIDS

lainnya

akan

menginformasikan hal-hal terkait dengan manfaat tes HIV sejak dini.


Pekerja/buruh yang berminat untuk melakukan konseling akan
mendatangi klinik konseling dan tes HIV di tempat kerja.
Konseling dilakukan oleh konselor terlatih di ruangan yang telah
dipersiapkan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Setelah menjalani
konseling pra tes, pekerja/buruh dirujuk untuk melakukan pemeriksaan
darah (tes HIV) di layanan konseling dan tes HIV. Konseling pasca tes
dapat dilakukan di tempat kerja atau pada layanan konseling dan tes
HIV rujukan. Hal ini dilakukan dengan sepengetahuan konselor di
tempat kerja.
b) Tes dan Konseling HIV atas inisiasi petugas kesehatan
Tempat kerja yang telah memiliki Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kerja
dan petugas kesehatan yang terlatih dapat melakukan tes dan konseling
HIV sesuai pedoman yang berlaku.

E. MATERI INTI VIII


2. PENGEMBANGAN SISTEM RUJUKAN DAN JEJARING

I.

DESKRIPSI SINGKAT

319

Rujukan merupakan proses ketika petugas kesehatan atau pekerja masyarakat


melakukan penilaian bahwa klien mereka memerlukan pelayanan tambahan
lainnya. Rujukan merupakan alat penting guna memastikan terpenuhinya
pelayanan berkelanjutan yang dibutuhkan klien untuk mengatasi keluhan fisik,
psikologis dan sosial. Konsep pelayanan berkelanjutan menekankan perlunya
pemenuhan kebutuhan pada setiap tahap perjalanan infeksi dan seharusnya
dapat diakses di setiap tingkat layanan konseling dan tes HIV. Hal ini guna
memenuhi

kebutuhan

perawatan

kesehatan

berkelanjutan

(Puskesmas,

pelayanan kesehatan sekunder dan tersier) dan pelayanan sosial berbasis


masyarakat dan rumah.
Dikenal dua basis pelayanan yaitu berbasis layanan kesehatan dan masyarakat.
Layanan konseling dan tes HIV bekerja dengan membangun hubungan antara
masyarakat dan rujukan yang sesuai dengan kebutuhan klien. Selain itu dapat
pula dilakukan rujukan dari masyarakat ke pusat konseling dan tes HIV.
Contoh, ketika klien terdeteksi HIV dan berada dalam stadium dini, mereka
akan beruntung jika dirujuk pada kelompok sebaya dan sosial untuk mendapat
dukungan. Ketika mereka berada dalam stadium lanjut dengan infeksi
oportunistik, maka mereka perlu dirujuk pada pelayanan rujukan medik tersier.
Rujukan yang tepat untuk memastikan penggunaan pelayanan kesehatan yang
efisien dan meminimalisasi biaya.

II.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu :
Membuat konsep jejaring dan rujukan untuk Pelayanan HIV

III.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu :
1. Memahami Pembangunan Sistem Rujukan dan Jejaring di Wilayah
2. Membuat konsep sistim rujukan dan jejaring di wilayah

320

IV.

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
1. Pembangunan Sistem Rujukan dan Jejaring di Wilayah
2. Pengembangan Sistem Rujukkan dan Jejaring di Wilayah

V.

METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu :
1.
2.
3.
4.

VI.

Curah pendapat
Ceramah Tanya Jawab (CTJ)
Main peran
Diskusi Kelompok

MEDIA DAN ALAT BANTU


Pembelajaran disampaikan dengan menggunakan media dan alat bantu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

VII.

Komputer
LCD
Bahan tayang (slide power point)
Modul
Whiteboard/filpchart + spidol
Materi diskusi kelompok dan simulasi

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Pokok Bahasan 1. Pembangunan sistem rujukan di wilayah
Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila
belum
berkenalan

mulai dengan

perkenalan. Sampaikan tujuan

pembelajaran
sebaiknya menggunakan bahan tayang.
2. Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait membangun sistem
rujukan layanan

Sesi 2 : Pembahasan materi


321

1. Fasilitator memberikan apresiasi atas berbagai pendapat yang


disampaikan dan melanjutkan dengan

penjelasan tentang

rujukan layanan.
2. Fasiilitator meminta peserta membaca secara bergantian dari
uraian materi tentang rujukan layanan di wilayah.
3. Fasilitator menjelaskan secara rinci mengenai langkah dan tujuan
dari merujuk.
4. Fasilitatator melakukan kegiatan Tanya jawab terkait materi
diatas
5. Fasilitator mengajak peserta melakukan
Kegiatan Materi Inti VII : LK . Membangun sistem Rujukan dalam
layanan
Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi
bersama tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan
pembelajaran yang ditetapkan sudah tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan
apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
1. Pembangunan Sistem Rujukan dan Jejaring di Wilayah
a. Sistem Rujukan
Melakukan rujukan dalam konseling dan tes HIV adalah tindakan yang
penting. Hal ini mengingat keunikan setiap klien dengan berbagai
permasalahan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Selain itu hampir tidak ada
layanan yang memiliki semua pelayanan yang dibutuhkan. Melakukan
rujukan dalam sistem pelayanan kesehatan bukanlah hal yang luar biasa.
Rujukan merupakan proses ketika petugas kesehatan atau staf klinik
melakukan penilaian bahwa klien mereka memerlukan pelayanan tambahan
lainnya. Rujukan merupakan alat penting guna memastikan terpenuhinya
pelayanan berkelanjutan yang dibutuhkan klien untuk mengatasi keluhan
fisik, psikologis dan sosial.
Klien yang menerima hasil tes HIV reaktif dapat dirujuk untuk memperoleh
berbagai pelayanan seperti berikut :

322

1) Perawatan dan pengobatan spesialis


2) Perawatan berbasis rumah (home care)
3) Dukungan sosial
4) Dukungan pendampingan untuk pencegahan positif
5) Dukungan akses terkait dengan bantuan ekonomi
b. Rujukan Berdasarkan Kebutuhan Klien
Melakukan rujukan yang efektif tidak saja merujuk orang akan tetapi
mencakup isu sebagai berikut :
1) Apakah rujukan tersebut sesuai dengan kebutuhan orang yang dirujuk?
2) Apakah petugas yang memberi rujukan yakin bahwa orang yang dirujuk
sungguh memanfaatkan layanan rujukan yang ditawarkan?
3) Apakah pembuat rujukan terlebih dahulu menjelaskan kepada pasien atau
klien mengapa harus dirujuk?
4) Apakah ada permohonan persetujuan dari pasien untuk dirujuk?
5) Apakah pusat atau tempat rujukan yang dipakai dapat menjamin
konfidensialitas orang yang akan dirujuk serta mempunyai reputasi yang
baik dalam bidangnya juga tidak dibahas?
Rujukan yang efektif jika konselor merujuk klien sesuai kebutuhan. Perlu
diinformasikan tentang layanan rujukan dan bahwa klien yang menjalani
proses rujukan maka statusnya konfidensialitas melebar ke layanan
rujukan yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan beberapa pelayanan
mencatat nama dan setiap organisasi mempunyai pedomannya sendirisendiri. Pemberian informasi yang jelas akan membantu klien memahami
hal-hal terkait pelayanan rujukan yang dibutuhkan termasuk konseling
dukungan lanjutan.
Guna membantu proses fasilitasi dan membantu klien dalam masa transisi
ke pelayanan perawatan dan dukungan, maka konselor diharapkan lebih
dahulu menghubungi layanan rujukan yang dituju. Hal ini guna
memberitahu mengenai rencana rujukan dan menjadwalkan waktu
pertemuan dengan klien. Formulir rujukan harus dilengkapi oleh konselor
dan melepaskan informasi rahasia tercatat dalam catatan medik lengkap
yang diisi konselor. Konselor meminta klien untuk segera mau dirujuk
sesuai dengan kenyamanannya dan dapat menelpon konselor jika ada
pertanyaan. Dapatkan persetujuan resmi untuk hal ini seperti misalnya

323

menandatangani surat Release of information atau informed consent.


Konselor perlu menekankan bahwa pelayanan rujukan tetap bersifat
konfidensial.

Apabila

pelayanan

rujukan

tidak

menghargai

konfidensialitas akan menimbulkan dampak negatif dalam pelayanan


konseling dan tes HIV.
Periksa apakah pasien atau klien sungguh-sungguh memanfaatkan rujukan
yang ditawarkan dan diskusikan apakah pelayanan tersebut memang
cocok dan bermanfaat. Bila pasien atau klien tidak meneruskan pelayanan
tersebut, diskusikan apa yang membuat dia memutuskan demikian. Bahas
pilihan rujukan lainnya dan lakukan kembali prosedur merujuk.

c. Prinsip Dasar Dalam Melakukan Rujukan


Tujuan melakukan rujukan adalah membantu pasien atau klien dalam upaya
menuntaskan permasalahan yang dihadapinya. Terdapat beberapa prinsip yang
harus diperhatikan dalam melakukan rujukan. Prinsip-prinsip tersebut antara
lain sebagai berikut :
1) Client-centered, maksudnya rujukan dibuat berdasarkan kebutuhan klien
dan situasi serta kondisi permasalahan klien, bukan atas kepentingan
pembuat rujukan.
2) Informed consent, maksudnya rujukan dibuat setelah ada penjelasan
mengapa klien harus dirujuk, apa dampak dari rujukan tersebut serta
konsekuensi bila tidak dilakukan rujukan. Kemudian mendapatkan
persetujuan dari klien baik secara tertulis maupun lisan.
3) Confidentiality, maksudnya dalam membuat rujukan dibahas bahwa
kemungkinan besar ada sebagian dari data klien terpaksa harus dibuka ke
pihak lain demi penanganan selanjutnya. Kepada klien dijelaskan bahwa
data yang akan dibuka hanyalah data yang berhubungan dengan
kepentingan dan kebutuhan penanganan selanjutnya sedangkan data
lainnya tidak akan dibuka.
d. Merujuk dan Membangun Jaringan
Sebelum melakukan rujukan, alangkah baiknya pembuat rujukan mempunyai
suatu daftar dari tempat-tempat rujukan. Berikut beberapa hal yang perlu
dipersiapkan dalam menyusun daftar rujukan:
324

1) Mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang layanan-layanan


yang akan menjadi rujukan kita. Informasi yang dibutuhkan meliputi
antara lain :
a) nama lembaga/layanan
b) alamat (bila mempunyai lebih dari satu tempat layanan, daftarkan
semuanya)
c) no telpon, fax atau e-mail
d) jenis layanan yang disediakan
e) jam layanan
f) biaya untuk memperoleh layanan (apakah ada rentangan biaya dari
yang paling murah sampai paling mahal atau apakah ada layanan
yang cuma-cuma, apakah bersedia menerima kartu sehat, dsb)
g) tenaga profesional yang tersedia seperti misalnya pekerja sosial,
perawat, dokter, psikolog, psikiater dan lainnya
h) prosedur untuk mendapatkan pelayanan
i) reputasi para pemberi pelayanan rujukan
j) kredibilitas dan kompetensi layanan
2) Pengelompokan layanan berdasarkan wilayah, jenis, biaya pelayanan dan
sebagainya
3) Daftar rujukan perlu rutin diperbaharui dengan menghubungi tempattempat rujukan untuk mendapatkan informasi terkini dari rujukan
tersebut.
4) Menilai keberadaan layanan rujukan
a) Sebelum memasukkan suatu layanan rujukan ke dalam daftar rujukan
alangkah baiknya bila dilakukan suatu survey kecil tentang
keberadaan layanan tersebut seperti misalnya memeriksa apakah
layanan tersebut masih tersedia, alamat, nomor telpon atau e-mail
masih sama, jenis pelayanan dan lainnya
b) Melakukan

kunjungan

langsung

ke

tempat

layanan

dan

mewawancarai pihak-pihak yang memberikan pelayanan. Hal ini


akan memperkaya informasi kita terutama informasi yang tidak
tercetak atau diumumkan ke publik. Misalnya keramahan para
pemberi layanan, ciri-ciri fisik pemberi layanan, kenyamanan dan
suasana tempat layanan dan sebagainya. Informasi tidak tertulis ini

325

sangat bermanfaat saat menggambarkan kondisi yang lebih lengkap


tentang layanan kepada orang lain.
c) Pada saat kunjungan tanyakan kepada pemberi layanan apakah
tersedia sejumlah materi promosi layanan, seperti brosur. Poster,
kartu nama dan sebagainya yang dapat diperoleh secara cuma-cuma
untuk diperlihatkan kepada orang yang akan memanfaatkan rujukan.
5) Menyediakan Kartu Rujukan
Lembaga-lembaga tertentu membutuhkan surat rujukan atau surat
keterangan (misalnya bisa berupa kartu rujukan). Bahas dengan pasien
atau klien informasi apa saja yang tercantum dalam surat rujukan
tersebut. Beberapa rekam medis kemungkinan dibutuhkan untuk
memudahkan lanjutan pelayanan berikutnya.
6) Contoh buku rujukan (directory)
Buku rujukan yang dimiliki oleh tiap-tiap organisasi dapat mengikuti
format berikut ini :
Jenis Lembaga
Nama Lembaga
Nara-hubung
Pelayanan yang tersedia

2. Gratis : a.
b.
c. dst
3. Bayar : a.
b.
c. dst

Alamat
Jam Bukua
No Telefon / Fax
Email
Prosedur dan alur pelayanan

Mendaftar lebih dahulu di loket/registrasi

326

Pokok Bahasan 2. Pengembangan Sistem Rujukan dan Jejaring di Wilayah


Sesi 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran
sebaiknya menggunakan bahan tayang
2.

Menggali pendapat/pemahaman peserta terkait Pengembangan sistem


rujukan dan jejaring layanan

Sesi 2 : Pembahasan materi


1. Fasilitator
disampaikan

memberikan
dan

apresiasi

melanjutkan

atas

dengan

berbagai

pendapat

penjelasan

yang

bagaimana

mengembangkan sistem rujukan dan jejaring diwilayah


2. Fasilitator menjelaskan secara rinci mengenai langkah- langkah dengan
membuka
bersama-sama uraian materi tentang pengembangan sistem rujukan dan
jejaring
3. Fasilitatator melakukan kegiatan Tanya jawab terkait materi diatas
4. Fasilitator mengajak peserta melakukan :

Kegiatan Materi Inti VIII : Pengembangan Sistem Rujukan dan


Jejaring

Sesi 3 : Refleksi
1. Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi bersama
tentang pembahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang
ditetapkan sudah tercapai
2. Dilanjutkan dengan menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta

URAIAN MATERI
Pengembangan Sistem Rujukan dan Jejaring

327

a. Perlunya Memasarkan Layanan


Berbagai jenis pelayanan HIV AIDS saat ini seperti misalnya konseling dan tes
HIV, dukungan Odha, perubahan perilaku pengguna NAPZA, pengobatan ARV
dan lainnya tentu tidak akan berfungsi bila kelompok-kelompok khusus dan
masyarakat luas tidak memanfaatkan pelayanan-pelayanan tersebut. Namun
yang paling penting adalah apakah masyarakat mengetahui keberadaan layanan
HIV AIDS, termasuk konseling dan tes HIV terdekat di daerah mereka.
Begitu tersedia tempat layanan konseling dan tes HIV, maka selayaknya
masyarakat tahu apa peran dan fungsinya. Para koordinator layanan bersama
tim kerjanya perlu melakukan pemasaran sosial (untuk sosialisasi dan promosi
layanan) dan membuat masyarakat terdorong untuk memanfaatkan jenis-jenis
layanan yang tersedia. Pemasaran sosial ini dapat dilakukan secara edukatif
melalui berbagai media. Kebutuhan dan daya beli masyarakat juga sebaiknya
menjadi pertimbangan dalam pemasaran layanan ini.

b. Mencari dan menawarkan kerja sama


Tawarkan kerjasama apa yang bisa disepakati sehubungan dengan pemanfaatan
layanan rujukan tersebut. Bentuk promo barter adalah salah satu pilihan,
misalnya untuk mendapatkan layanan dengan cuma-cuma pihak yang merujuk
mempunyai kewajiban untuk turut mempromosikan layanan tersebut. Bentuk
paket layanan yang mencakup sejumlah layanan sekaligus atau pemanfaatan
layanan dalam jumlah yang besar dengan potongan biaya layanan dan
sebagainya. Melakukan tawar-menawar hingga mendapatkan layanan gratis
untuk orang-orang yang dirujuk.

c. Memutuskan layanan-layanan yang akan menjadi rujukan


Setelah melakukan identifikasi layanan menurut klasifikasi tertentu dan
penilaian masing-masing layanan, tentukan mana yang sebaiknya masuk dalam
daftar rujukan layanan (bisa didasarkan pada layanan yang paling diutamakan
dengan membubuhi tanda bintang). Setiap layanan yang telah dimasukkan
dalam daftar rujukan sebaiknya secara teratur ditinjau keberadaannya apakah
masih layak untuk dipertahankan sebagai layanan rujukan. Termasuk dalam hal
ini segala kesepakatan dan kerjasama yang pernah diputuskan. Apakah perlu

328

dilakukan

pembaharuan

bentuk

kerja

sama

dengan

kesepakatan-

kesepakatannya.

A.
B.

MATERI INTI IX

PENCATATAN LAYANAN KONSELING DAN TES HIV

I. Deskripsi Singkat
Seluruh proses penatalaksanaan pencatatan Konseling dan Test HIV (KT)
yang meliputi registrasi, pra konseling, tes HIV, dan pasca konseling dicatat
secara benar dan lengkap. Setiap petugas administrasi di layanan Konseling dan
Tes HIV harus memahami serta memiliki keterampilan dalam melakukan
pencatatan tersebut.
Pencatatan dan pelaporan layanan KT dilaksanakan oleh petugas
administrasi berwewenang terhadap kelengkapan data yang ada, proses
pencatatan dilakukan dengan bantuan formulir pencatatan yang telah
distandarkan oleh Kementerian Kesehatan, kegiatan pencatatan di layanan KT
saat ini dibantu oleh alat bantu pencatatan berupa aplikasi komputer, alat bantu
ini telah dibangun sejak tahun 2006 dan saat ini aplikasi ini sudah siap untuk
diimplementasikan ke setiap layanan VCT.
II.

Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran umum :
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan pencatatan layanan
Konseling dan Tes HIV.
Tujuan pembelajaran khusus :
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1.
2.
3.
4.

III.

Menjelaskan proses pencatatan


Mengisi formulir pencatatan layanan
Melakukan instalasi aplikasi sistim informasi
Melakukan proses data menjadi laporan

Pokok Bahasan
Dalam materi ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :
Pokok Bahasan 1. Proses pencatatan
a. Pengertian pencatatan

329

b. Ruang lingkup pencatatan


Pokok Bahasan 2. Pengisian Formulir Pencatatan layanan
a. Pengenalan formulir
b. Cara pengisian
Pokok Bahasan 3. Instalasi Aplikasi Sistim Informasi
a. Cara menyiapkan perangkat instalasi
b. Cara menyiapkan aplikasi
c. Cara pengoperasian aplikasi
Pokok Bahasan 4. Proses Data Menjadi Laporan
a. Input Data
b. Output Data
IV.

Metode
Metode yang digunakan dalam materi ini adalah :
1. CTJ
2. Curah pendapat
3. Latihan pengisian formulir
4. Latihan Instalasi SIHA (Sistem Informasi HIV AIDS)
5. Latihan menginput data
6. Latihan mengeluarkan laporan
7. Latihan Upload laporan ke SIHA online (website SIHA)

V.

Media dan Alat bantu


Alat Bantu yang digunakan adalah :
1. Bahan tayangan (Slide power point)
2. Laptop
3. LCD
4. Flipchart
5. White board
6. Spidol (ATK)
7. Modul
8. Formulir pencatatan
9. Flash Disk Aplikasi SIHA
10. Form laporan
11. Koneksi Internet

VI.

Langkah kegiatan pembelajaran


330

Pada sesi materi ini, peserta akan mempelajari 4 (empat) pokok bahasan.
Berikut ini merupakan panduan bagi fasilitator dan peserta dalam proses
pembelajaran. Pada sesi ini fasilitator akan memberikan sesi dalam bentuk bahan
tayang. Praktek akan dilakukan di setiap akhir pokok bahasan.
Sesi 1 Pengkondisian
Langkah-langkah pembelajaran:
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan mulai dengan perkenalan.
2. Sampaikan tujuan pembelajaran, sebaiknya dengan menggunakan bahan
tayang.
3. Menggali pendapat/pemahaman peserta tentang Pencatatan Layanan
Konseling dan Tes HIV.
Sesi 2 Pembahasan Materi: Proses pencatatan
Langkah - langkah pembelajaran:
1. Fasilitator menjelaskan pentingnya pencatatan, sehingga peserta bersedia
secara sukarela melakukan pencatatan yang baik dan benar.
2. Fasilitator

menerangkan paparan berupa gambar/grafik pentingnya

pencatatan.
3. Fasilitator menekankan bahwa pencatatan yang tidak tepat akan berakibat
pembuatan laporan yang salah dan berujung pada pengambilan keputusan
yang keliru (garbage in garbage out)
4. Fasilitator memberi contoh kejadian yang mudah diingat tentang
pencatatan yang salah dan akibat fatal yang ditimbulkannya.
5. Diskusi dan curah pendapat mengenai manfaat pencatatan di layanan.
6. Fasilitator membagikan formulir-formulir pencatatan Konseling dan Tes
HIV.
7. Fasilitator menjelaskan fungsi dan cara pengisian formulir-formulir
pencatatan Konseling dan Tes HIV.
8. Fasilitator menjelaskan cara validasi formulir
9. Fasilitator bersama-sama dengan peserta latihan mengisi formulirformulir pencatatan Konseling dan Tes HIV.
Sesi 3 Pembahasan Materi: Pengisian Formulir Pencatatan Layanan
Langkah - langkah pembelajaran:
1. Fasilitator memberikan contoh formulir yang ada di layanan VCT

331

2. Fasilitator menjelaskan definisi operasional dan cara pengisian formulir


layanan VCT
3. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk tanya jawab
4. Fasilitator menugaskan peserta mengisi formulir yang ada
5. Fasilitator memeriksa formulir yang telah diisi peserta secara acak,
kemudian menganalisis hasil isian.
6. Fasilitator menjelaskan tentang kesalahan yang sering dilakukan dalam
pengisian formulir
7. Fasilitator meminta peserta bermain peran untuk mengisi formulir
8. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta menanggapi hasil dari
bermain peran
9. Fasilitator memberikan kesimpulan tentang formulir pencatatan.
Sesi 4. Pembahasan Materi: Instalasi Aplikasi Sistim Informasi
Langkah - langkah pembelajaran:
1. Fasilitator

menjelaskan

spesifikasi

minimal

komputer

dengan

menggunakan slide presentasi


2. Fasilitator menyampaikan paparan tentang Aplikasi SIHA dan petunjuk
instalasi Aplikasi SIHA menggunakan slide presentasi.
3. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk tanya jawab.
4. Fasilitator membagikan Flashdisk yang berisi aplikasi SIHA.
5. Fasilitator bersama-sama dengan peserta praktek menginstal aplikasi
SIHA
6. Fasilitator menjelaskan fungsi dari setiap menu yang ada di aplikasi SIHA
bagian KTS dan TIPK, mulai dari Input data sampai edit daftar klien yang
sudah dientri menggunakan slide presentasi.
7. Fasilitator membagikan 20 lembar contoh formulir pencatatan Konseling
dan tes HIV yang sudah diisi.
8. Fasilitator memandu peserta praktek menginput data formulir pencatatan
Konseling dan Tes HIV ke dalam aplikasi SIHA.
Sesi 5. Pembahasan Materi: Proses Data Menjadi Laporan dan upload
Laporan ke SIHA Online
Langkah - langkah pembelajaran:
1. Fasilitator menjelaskan bentuk data yang tersedia.
2. Fasilitator menjelaskan cara membuat laporan dari aplikasi SIHA.
3. Fasilitator memandu peserta praktek membuat laporan KTS.

332

4. Fasilitator menjelaskan cara mengupload laporan bulanan KTS ke SIHA


online.
5. Fasilitator memandu peserta praktek mengupload laporan ke SIHA
online.
Sesi 6. Refleksi dan Rangkuman
Langkah - langkah pembelajaran
1. Fasilitator bersama-sama peserta melakukan refleksi tentang pembahasan
materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah tercapai?
2. Fasilitator menyimpulkan keseluruhan materi inti Pencatatan dan
Konseling Tes HIV
3. Fasilitator menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas
keterlibatan aktif seluruh peserta.
VII.

Uraian Materi
Pokok Bahasan 1. Proses pencatatan
a. Definisi Pencatatan
Pencatatan adalah proses entry data hasil kegiatan di unit pelayanan
kesehatan ke dalam kartu registrasi maupun formulir pencatatan yang
berkontribusi terhadap pengumpulan data rutin (facility based).

Judul
Janji menjamin kerahasiaan

Uraian
Ditandatangani oleh petugas VCT dan laboratorium
yang melaksanakan konseling dan tes Petugas ini
harus menjaga kerahasiaan hasil tes dan senantiasa

Log Kunjungan Klien VCT

melindungi klien dari pembukaan rahasia.


Formulir ini mengumpulkan informasi akan berapakali
klien berkunjung ke VCT, alasan utama datang dan
siapa yang melayani klien.Formulir ini direkatkan

Register Klien VCT Harian

pada catatan klinis klien


Informasi akan membantu mengetahui layanan mana
yang sangat diperlukan .Data dapat dikirim per bulan

Formulir Konselor VCT harian /

dalam bentuk laporan statistik


Formulir ini membantu menghitung jumlah klien

Data perilaku dokter untuk target

harian dalam kelompok target spesifik

intervensi VCT
Formulir Ringkasan

Membantu menelusuri data pelayanan VCT bulanan

Bulanan

333

VCT
Formulir Persetujuan Klien untuk

dan pengumpulan data perilaku untuk target intervensi


Formulir harus ditandatangani setelah klien menerima

Tes HIV

konseling pra-tes dan sebelum darahnya diambil untuk

Formulir

Pengambilan

Data

tes HIV. Formulir ini disimpan dalam catatan medik.


Formulir ini mengumpulkan informasi tentang klien

klien- Hasil dan Pencatatan

yang ingin membantu konselor menghubungkan risiko

Formulir Konseling Pasca Tes

klien dengan kebutuhan akan konseling


Pastikan informasi relevan telah diberikan oleh klien
tentang hasil tes HIV tertentu dan didiskusikan strategi

Formulir

Konseling

Tindak

Lanjut

untuk mengurangi penularan


Formulir ini mengumpulkan informasi klien sejak
kunjungan pertama di klinik lain . Ini untuk
memastikan bahan diskusi tentang penurunan perilaku

Formulir rujukan Klien

berisiko.
Formulir ini diberikan kepada klien kepada petugas

Persetujuan

yang berwenang di institusi rujukan


Klien menandatangani formulir persetujuan untuk

untuk

melepas

informasi

melaksanakan rujukan VCT ke institusi lain dan


melepaskan informasinya dari klinik VCT sekarang

Contoh Kuitansi untuk Layanan

ke klinik rujukan.
Bagi klien yang membayar, bukti pembayaran harus

VCT
Formulir

diterbitkan
Formulir ini diisi oleh konselor yang meminta tes

Permintaan

Pemeriksaan Laboratorium

HIV. Formulir permintaan pemeriksaan dan spesimen


dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Teknisi
laboratorium mengisi informasi penting tentang tes
dan hasil tes. Formulir dikirim kembali kepada

Laporan Harian/ Bulanan/ Tes

konselor.
Dilengkapi oleh teknisi laboratorium berdasarkan hasil

Laboratorium HIV
Register
Tahunan

tes HIV harian yang dikumpulkan


Dilengkapi oleh manajer laboratorium selama tahunan

Hasil

Laboratorium
Pokok Bahasan 2. Pengisian Formulir Pencatatan layanan
a. Pegenalan Formulir
Didalam layanan konseling dan tes HIV, terdapat beberapa formulir yang
digunakan untuk mencatat informasi tentang kegiatan konseling dan tes HIV.
Berikut ini beberapa formulir yang digunakan di layanan konseling dan tes HIV.
1) Formulir Jaminan kerahasiaan
334

Formulir ini berisi pernyataan/sumpah kerahasiaan petugas untuk


melindungi dan menjaga kerahasian semua klien/pasien yang datang ke
tempat layanan konseling dan tes HIV.

Pernyataan ini bertujuan untuk

menjaga hal-hal yang tidak diinginkan di layanan Konseling dan tes HIV
terutama tentang kebocoran informasi hasil tes HIV klien/pasien. formulir ini
ditandatangani oleh setiap petugas yang bertugas di layanan Konseling dan
tes HIV dengan diketahui oleh saksi dan penangung jawab layanan.
Formulir ini hendaknya dikoordinir dan disimpan dengan baik oleh
petugas admin. Proses penandatanganan dilakukan saat layanan konseling
dan

tes

mulai

beroprasi

atau

jika

ada

penambahan

staf

baru.

Penandatanganan hanya dilakukan satu kali selama petugas tersebut


melaksanakan tugasnya di layanan tersebut. Petugas admin harus
menekankan pentingnya kerahasian data kepada petugas yang akan
menandatangani formulir ini
FORMULIR I
FORMULIR SUMPAH KERAHASIAN
1. Saya mengerti bahwa, didalam tugas pelayanan saya, saya akan
berhubungan dengan informasi pribadi yang sensitif sifatnya mengenai
klien/pasien yang datang ke tempat layanan KT. Saya mengerti bahwa
informasi ini sangatlah rahasia dan saya bersumpah untuk melindungi
kerahasiaan dari semua klien/pasien yang datang ke tempat pelayanan.
2. Saya akan melindungi kerahasiaan dari para klien/pasien dengan tidak
mendiskusikan atau membuka identitas klien/pasien dan status HIV
dirinya dengan rekan ditempat kerja. Kasus klien/pasien yang akan
didiskusikan didalam forum yang formal dengan pengawasan dan tetap
tidak menggunakan identitas klien/pasien.
3. Saya akan melindungi kerahasian dari para klien/pasien dengan tidak
mendiskusikan atau membuka informasi apapun mengenai mereka
kepada orang-orang yang tidak diberi izin atau otoritas, termasuk fakta
bahwa mereka menghadiri pelayanan seperti ini.
4. Jika keterangan dari pekerjaan saya termasuk menangani hasil tes HIV,
saya mengerti bahwa hasil tes klien/pasien harus ditangi dengan amat
sangat rahasia. Saya mengerti bahwa adanya potensi bahaya sosial yang

335

mungkin terjadi kepada para klien/pasien yang hasil tesnya tidak


tertutup kepada orang-orang yang tidak mempunyai izin atau otoritas.
5. Saya mengerti bahwa kesengajaan membuka informasi apapun
mengenai klien/pasien didalam pelayanan ini dapat menyebabkan
pemutusan hubungan kerja atau tuntutan hukum kepada diri saya.

NAMA PETUGAS/STAFF VCT/LAB

NAMA DARI SAKSI

TANGGAL & TANDA TANGAN STAF

TANGGAL & TANDA TANGAN DARI SAKSI

______________________
NAMA DARI

TANGGAL & TANDA TANGAN

PENANGGUNG JAWAB LAYANAN

DARI PENANGGUNGJAWAB
LAYANAN

2) Formulir Surat Persetujuan Pasien/Informed Consent


Surat persetujuan pasien/informed consent bertujuan untuk meminta
persetujuan pasien atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter/petugas
kesehatan/konselor terhadap prosedur

pemeriksaan dan pengobatan yang

336

akan diberikan, dan tahu segala akibat yang mungkin timbul dari penyakit dan
tindakan medis yang akan dilakukan.
Formulir ini berisi pernyataan klien untuk bersedia menjalankan tes
HIV secara sukarela, Formulir ini ditandatangani ketika pasien hendak
melakukan pemeriksaan HIV. penandatanganan formulir ini tidak boleh
dilakukan pemaksaan kepada klien, apabila klien menolak konselor tidak
berhak melanjutkan pemeriksaan. Berikan kesempatan kepada klien untuk
membaca atau membimbingnya bila klien tidak bisa baca tulis dan hendaknya
petugas konselor menjelaskan isi dari formulir ini kepada klien.
Petugas admin bertugas menjamin keberadaan formulir ini, formulir
ini hendaknya dijadikan satu dengan map status klien sehingga memudahkan
konselor menyodorkannya saat klien tertarik untuk melakukan tes.
3) Formulir Persetujuan Untuk Tes HIV
Sebelum menanda tangani formulir persetujuan ini, harap mengatahui bahwa :

Anda mempunyai hak untuk berpartisipasi didalam pemeriksaan dengan

dasar kerahasiaan
Anda mempunyai hak untuk menarik persetujuan dari tes HIV sebelum
pemeriksaan tersebut dilangsungkan.

Saya telah menerima informasi dan konseling menyangkut hal-hal berikut ini:
a. Keberadaan dan kegunaan dari tesing HIV
b. Tujuan dan kegunaan dari tes HIV
c. Apa yang dapat dan tidak dapat diberitahukan dari tes HIV
d. Keuntungan serta resiko dari tes HIV dan dari mengatahui hasil tes HIV saya
e. Pemahaman dari positif, negatif, false negatif, false positif, dan hasil tes
intermediate serta dampak dari masa jendela.
f. Pengukuran untuk pencegahan dari pemaparan dan penularan akan HIV.
Saya dengan sukarela menyetujui untuk menjalani tes HIV pemeriksaan HIV
dengan ketentuan bahwa hasil tes tersebut akan tetap rahasia dan terbuka hanya
kepada saya seorang.
Saya menyetujui untuk menerima pelayanan konseling setelah menjalani tes HIV
pemeriksaan untuk mendiskusikan hasil hasil tes HIV saya dan cara-cara untuk
mengurangi resiko untuk terkena HIV atau menyebarluaskan HIV kepada orang lain
untuk waktu kedepannya.

337

Saya mengerti bahwa pelayanan kesehatan saya pada klinik ini tidak akan
mempengaruhi keputusan saya secara negatif terhadap tes HIV atau tidak menjalani
tes HIV atau hasil dari tes HIV saya.
Saya telah diberikan kesempatan untuk bertanya dan pertanyaan saya ini telah
diberikan jawaban yang memuaskan saya.

Saya, dengan ini mengizinkan tes HIV/pemeriksaan HIV


untuk dilaksanakan pada tanggal:

_________________

_________________

Tanda tangan atau Cap Jempol Klien/pasien

Tanda tangan Konselor

4) Formulir Rujukan Pasien Ke Laboratorium


Formulir rujukan pasien ke laboratorim bertujuan untuk merujuk pasien ke
layanan laboratorium untuk mendapatkan pemeriksaan laboratorium dalam
rangka menegakan diagnosis penyakit HIV dan AIDS. Formulir rujukan ini
berlaku untuk layanan VCT yang memiliki laboratorium sendiri ataupun
untuk melakukan rujukan ke laboratorium lainnya. Formulir ini akan
diserakahkan ke laboratorum
FORMULIR XI
Catatan Medis Klien/pasien : --
FORM PERMINTAAN UNTUK PEMERIKSAAN
HIV DI LABORATORIUM
Kode

Klien/pasien

Tanggal: __/__/__

_____________________
KLIEN/PASIEN SUDAH MENANDATANGANI IZIN INFORMASI
Ya
Tidak
I. Jenis Pemeriksaan

338

1. ________________ ___________ ___________

Nama Pemeriksaan
REAKTIF
2. ________________ ___________ ___________

NONREAKTIF

NON

Nama Pemeriksaan
REAKTIF
3. ________________ ___________ ___________

REAKTIF

NON

Nama Pemeriksaan
II. HIV 1*
Negatif
III. ADAKAH HASIL

REAKTIF

REAKTIF

Ya

Tidak

Tidak

Tidak Perlu

MERAGUKAN
Jika
Ya,
apakah

sampel

V1

darah Ya

dikumpulkan dengan diberi label nama


secara tepat?
IV. Nama dari Laboratorium yang
dirujuk
V. No. Label dari Contoh sampel yang
diambil
VI. Tipe dari tes/pemeriksaan yang
VIII.

diminta
Alasan untuk melakukan tes Kendali Mutu eksternal
ulang

IX.

Hasil

yang

diterima

laboratorium yang dirujuk

Konfirmasi kejanggalan tes


dari Reaktif
Non-reaktif

Intermediate
* Dalam area dimana juga terdapat HIV tipe 2, tambahkan 2 kotak dibawah baris ini.
Satu untukHIV tipe 2 dan satu untuk HIV tipe 1&2
KOMENTAR TAMBAHAN
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
_____________________
_______________________ ____________________
Petugas Lab/nama dokter

Tanda tangan

____ Tanggal

339

5) Formulir Kembalian Hasil Laboratorium


Berbeda dari tampilan hasil pemeriksan lab lainnya, khusus pemeriksaan
HIV diperlukan informasi yang lebih dalam mengenai jenis pemeriksaan
yang digunakan serta nama reagen yang digunakan, hal ini digunakan untuk
pemantauan mutu pemeriksaan.
FORMULIR XIII
Catatan Medis Klien/pasien : --
LAPORAN TES VCT ANTIBODI
Kode Klien/pasien : ____________________

Tanggal :

__/__/__
LAPORAN LABORATORIUM
Nama Tes
1. _________________________________
2. _________________________________
3. _________________________________

Hasil
Reaktif
Reaktif
Reaktif

Non Reaktif
Non Reaktif
Non Reaktif

HASIL AKHIR
Negatif
V1*
* Dalam area dimana juga terdapat HIV tipe 2, tambahkan 2 kotak di bawah baris ini.
Satu untuk HIV tipe 2 dan satu untuk HIV tipe 1 & 2.

NOTE :
Hasil tes Negatif tidak termasuk pemaparan terhadap HIV yang terjadi baru-baru ini
(Klien/pasien mungkin sedang dalam masa jendela dari infeksi HIV).
_________________________
Tanda tangan yang berwenang
Lokasi serta alamat dan nomor telepon harus disertakan dibawah ini
(Salinan dari laporan ini tidak boleh diberikan kepada klien/pasien)
6) Formulir Konseling dan Tes HIV
Formulir Konseling dan Tes HIV digunakan untuk mencatat segala informasi
klien/pasien pada saat melakukan Konseling dan Tes HIV. Formulir ini diisi

340

oleh konselor yang melakukan konseling. Formulir ini harus dijaga


kerahasiaannya, karena di dalam formulir ini ada informasi tentang
kesimpulan hasil tes HIV.

341

342

Formulit PITC

b. Cara pengisian formulir konseling dan tes HIV


Formulir konseling dan tes HIV dalam prakteknya akan diisi oleh
konselor, namun petugas Admin dapat melakukan validasi atas hasil pengisian
yang

dilakukan

oleh

konselor.

Seorang

petugas

administrasi

berhak

mengkonfirmasi hasil pengisian konselor supaya data yang dihasilkan


berkualitas. Agar proses tersebut berjalan dengan baik maka petugas admin perlu
mengetahui cara pengisian formulir konseling dan tes HIV

343

Berikut ini petunjuk pengisian formulir konseling dan tes HIV :


B.1. Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS)
1.

Nomer Rekam Medis


Nomor rekam medis disesuaikan dengan kebijakan masing-masing
layanan. Jika tidak ada kebijakan terkait nomer rekam medis di layanan,
nomer rekam medis dapat disamakan dengan nomer registrasi.

2.

Nomer Registrasi (10 digit):


10 digit harus terisi tidak boleh kosong. Cara penulisan sesuai petunjuk
berikut:
4 digit pertama

: Ditulis 4 huruf pertama nama klien (Catatan: jika nama


hanya terdiri dari 3 huruf maka digit ke-empat ditulis
angka nol) contoh : ANI ANI0, JOKO JOKO,
HASAN HASA

2 digit kedua

: Ditulis 2 angka terakhir tahun kelahiran klien. Jika


klien tidaktahu/lupa tahun kelahirannya tulis "00"

2 digit ketiga

: Ditulis 2 angka bulan kelahiran klien. Jika klien tidak


tahu/lupa bulan kelahirannya tulis "00"

2 digit keempat

: Ditulis 2 angka tanggal kelahiran klien. Jika klien


tidak tahu/lupa tanggal kelahirannya tulis "00"

Contoh penulisan kode, Pojok kiri sebagai berikut: Arie770128.


Nama klien : Arie,Tahun kelahiran : 77, Bulan: 01, Tanggal lahir : 28
Catatan: Apabila klien tidak dapat menyebutkan tanggal lahir maka
gunakan umur sebagai patokan pengisian kemudian gunakan tanggal 1
januari sebagai adjusment tanggal lahir, Apabila klien tidak dapat
menyebutkan tanggal lahir gunakan asumsi menurut pendapat kita dan
untuk tanggal tetap menggunakan 1 januari sebagai adjusment.
3.

Alamat:
Tulis alamat lengkap dengan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW)
atau keterangan tempat tinggalnya sesuai dengan kartu tanda pengenal
yang dimiliki pasien untuk mempermudah kegiatan penanganan lebih
lanjut. Apabila dimungkinkan ditambahkan informasi no telp klien.

4.

Kab/kota: Diisi Kab/Kota tempat klien tinggal

5.

Provinsi:
Diisi provinsitempat klien tinggal

344

6.

Jenis Kelamin:
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien

7.

Contreng () Lingkaran "Laki-laki" bila jenis kelamin Laki-laki

Contreng () Lingkaran "Perempuan" bila jenis kelamin Perempuan

Status Kehamilan (khusus klien perempuan):


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien

Contreng () Lingkaran "Trimester I" bila kehamilan berumur antara


bulan pertama hingga bulan ketiga

Contreng () Lingkaran "Trimester II" bila kehamilan berumur antara


bulan keempat hingga bulan keenam

Contreng () Lingkaran "Trimester III" bila kehamilan berumur antara


bulan ketujuh hingga bulan kesembilan

Contreng () Lingkaran "Tidak Hamil" bila klien telah memeriksakan


status kehamilannya dan dinyatakan negatif.

Contreng () Lingkaran "Tidak Tahu" bila klien belum memeriksakan


status kehamilannya

8.

Tanggal Lahir:
Tulis tanggal lahir klien berdasarkan dengan kartu tanda pengenal yang
dimiliki klien atau berdasarkan dengan pengakuan klien. Isikan sesuai
format 2 digit tanggal, 2 digit bulan, dan 4 digit tahun.
Catatan: Apabila klien tidak dapat menyebutkan tanggal lahir maka
gunakan umur sebagai patokan pengisian kemudian gunakan tanggal 1
januari sebagai adjusment tanggal lahir, Apabila klien tidak dapat
menyebutkan tanggal lahir gunakan asumsi menurut pendapat kita dan
untuk tanggal tetap menggunakan 1 januari sebagai adjusment.

9.

Pendidikan terakhir :
Jenjang pendidikan terakhir yang pernah dijalani oleh klien.
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien

Contreng () Lingkaran "Tidak Pernah Sekolah" bila klien tidak


pernah mengenyam pendidikan formal.

Contreng

()

Lingkaran

"SD/Sederajat"

bila

klien

pernah

mengenyam/lulus pendidikan SD/sederajat.

345

Contreng

()

Lingkaran

"SMP/Sederajat"

bila

klien

pernah

bila

klien

pernah

mengenyam/lulus pendidikan SMP/sederajat.

Contreng

()

Lingkaran

"SMA/Sederajat"

mengenyam/lulus pendidikan SMA/sederajat.

Contreng () Lingkaran "Akademi/Perguruan Tinggi/Sederajat" bila


klien

pernah

mengenyam/lulus

pendidikan

Akademi/Perguruan

Tinggi/sederajat.
Apabila klien putus sekolah maka tetap dicatat berdasarkan jenjang
pendidikannya, contoh kelas 3 SD maka dicatat pendidikannya SD.
10.

Status Perkawinan:
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran "Kawin": bila klien masih terikat pada ikatan


pernikahan yang syah menurut aturan Negara dan agama.

Contreng () Lingkaran "Belum Kawin" bila klien belum pernah


terikat pada ikatan pernikahan yang syah menurut aturan Negara dan
agama.

Contreng () Lingkaran "Cerai Hidup" bila klien putus dari ikatan


pernikahan yang sah menurut aturan Negara dan Agama dengan
keduannya masih hidup saat bercerai.

Contreng () Lingkaran "Cerai Mati" bila klien putus dari ikatan


pernikahan yang sah menurut aturan Negara dan Agama dikarenakan
salah satu pasangan meninggal dunia.

11.

Jumlah anak kandung:


Diisi jumlah anak kandung yang dimiliki klien dari hasil konstipasi
dengan pasangan seksnya (tidak termasuk anak anggkat)

12.

Umur anak terkecil (khusus klien perempuan):


Diisi umur anak kandung terkecil yang dimiliki klien. Isikan dalam satuan
tahun.

13.

Pekerjaan:
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Tidak bekerja apabila klien berstatus tidak


memiliki pekerjaan (tidak dapat menghasilkan uang).

346

Contreng () Lingkaran bekerja apabila klien berstatus memiliki


pekerjaan (dapat menghasilkan uang) kemudian tuliskan pekerjaan
klien.

14.

Kelompok Risiko:
Contreng () Lingkaran jawaban yang sesuai dengan pilihan yang tersedia
dan satu klien dapat memiliki lebih dari satu kelompok risiko.
a. Pekerja seks (PS), berdasarkan jenisnya dibagi menjadi dua

PS Langsung : adalah pekerja seks laki-laki/ perempuan yang


menjajakan seks dan tanpa mempunyai profesi/pekerjaan lain.
Biasanya ditandai dengan lokasi kerja di lokalisasi/resosialisasi
maupun di jalanan.

PS Tidak Langsung : adalah laki-laki/ perempuan yang berprofesi


ganda yakni bekerja di tempat-tempat hiburan seperti bar,
diskotek, karaoke, pub, warung minum, warung remang-remang,
panti pijat, dll dan juga melakukan transaksi seksual.

b. Gay adalah laki-laki yang Suka Hubungan seks dengan sesama Lakilaki

(LSL):

adalah

laki-laki

yang

melakukan

seks

anal

(receptive/dianal maupun penetrative/menganal) dengan sesama laklaki. meskipun berperilaku biseksual (melakukan seks baik dengan
laki-laki maupun dengan wanita).
c. Pelanggan PS: adalah pria/wanita berperilaku risiko tinggi yang
menjadi pelanggan atau berpotensi sebagai pelanggan dari WPS, PPS
(pria pekerja seks) dan/atau waria.

Umumnya adalah pria yang memiliki mobilitas tinggi dan


memiliki uang; yaitu pekerja musiman, migran lokal yang karena
pekerjaannya harus tinggal terpisah dari istri/pasangan dan
keluarga, pekerja yang sering melakukan perjalanan jarak jauh
(sebagai contoh pekerja transportasi laut dan darat jarak jauh).

Sebagian diantaranya adalah laki-laki dari masyarakat umum pada


usia aktif seksual.

d. Pasangan Kelompok Risti seseorang yang menjadi berisiko karena


memiliki pasangan kelompok berisiko tinggi meliputi:

Pasangan Wanita Pekerja Seks langsung

Pasangan Wanita Pekerja Seks tidak langsung

Pasangan Pria Berisiko Tinggi

347

Pasangan Pria Pekerja Seks

Pasangan LSL.

Pasangan waria

Pasangan penasun.

e. Waria (wanita pria) : adalah mereka yang secara fisik menunjukkan


identitas sebagai pria, namun secara psikis merasa sebagai wanita
f. Penasun (pengguna narkoba suntik): jelas
g. Lainnya : Jika tipe kelompok risiko klien tidak termasuk dalam
kategori tersebut diatas
15.

Status Kunjungan:
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Datang Sendiri apabila klien datang ke


layanan atas inisiatif sendiri.

Contreng () Lingkaran Dirujuk apabila klien datang ke layanan


dikarenakan dirujuk.

16.

Status Rujukan:
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran LSM apabila klien datang ke layanan


dikarenakan dirujuk oleh LSM.

Contreng () Lingkaran Tempat Kerja apabila klien datang ke


layanan dikarenakan dirujuk oleh tempat kerja klien.

Contreng () Lingkaran KLP Dukungan apabila klien datang ke


layanan dikarenakan dirujuk oleh kelompok dukungan.

Contreng () Lingkaran Pasangan apabila klien datang ke


layanan dikarenakan dirujuk oleh pasangan (suami/pacar) klien.

Contreng () Lingkaran Kader apabila klien datang ke layanan


dikarenakan dirujuk oleh kader.

Contreng () Lingkaran Lain-lain apabila klien datang ke


layanan dikarenakan dirujuk oleh selain pilihan di atas.

17.

Klien Pasien TB:


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien adalah klien TB dan


mengikuti pengobatan TB dan dianjurkan melakukan pemeriksaan
HIV.

348

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien adalah bukan klien TB


dan mengikuti pengobatan TB.

18.

Klien Warga Binaan Pemasyarakatan:


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya Apabila klien adalah penghuni


Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan.

Contreng () Lingkaran Tidak Apabila klien bukan penghuni


Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan.

19.

Pasangan tetap klien (Khusus klien perempuan):


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya apabila klien mempunyai pasangan


tetap.

Contreng () Lingkaran Tidak apabila klien tidak mempunyai


pasangan tetap.

20.

Pasangan Perempuan Klien (Khusus klien laki-laki):


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya apabila klien mempunyai pasangan


seks perempuan.

Contreng () Lingkaran Tidak apabila klien tidak mempunyai


pasangan seks perempuan.

21.

Status Kehamilan Pasangan Perempuan (Khusus klien laki-laki):


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya apabila klien mempunyai pasangan


perempuan dan pasangan perempuannya telah memeriksakan
kehamilan serta hasilnya positif.

Contreng () Lingkaran Tidak apabila klien mempunyai


pasangan

perempuan

dan

pasangan

perempuannya

telah

memeriksakan kehamilan serta hasilnya negatif.

Contreng () Lingkaran "Tidak Tahu" apabila klien mempunyai


pasangan

perempuan

dan

belum

memeriksakan

status

kehamilannya

349

22. Tanggal Lahir Pasangan Klien (Khusus klien yang memiliki pasangan
atau menjawab ya pada poin 19 atau 20):
Tulis tanggal lahir pasangan klien berdasarkan dengan kartu tanda
pengenal yang dimiliki klien atau berdasarkan dengan pengakuan klien.
Isikan sesuai format 2 digit tanggal, 2 digit bulan, dan 4 digit tahun.
Catatan: Apabila klien tidak dapat menyebutkan tanggal lahir maka
gunakan umur sebagai patokan pengisian kemudian gunakan tanggal 1
januari sebagai adjusment tanggal lahir.
23. Status HIV Pasangan Klien (Khusus klien yang memiliki pasangan
atau menjawab ya pada poin 19 atau 20):
Isikan status HIV pasangan sesuai jawaban klien.

Nomor 1 apabila klien mempunyai pasangan dan pasangan telah


tes HIV serta hasilnya positif.

Nomor 2 apabila klien mempunyai pasangan dan pasangan telah


tes HIV serta hasilnya negatif atau indeterminate.

Nomor 3 apabila klien mempunyai pasangan dan pasangan


belum pernah tes HIV atau pasangan telah tes HIV akan tetapi
tidak mengetahui hasilnya.

24. Tanggal Tes HIV Terakhir Pasangan (Khusus klien yang memiliki
pasangan atau menjawab ya pada poin 19 atau 20):
Tulis tanggal tes HIV terakhir pasangan klien berdasarkan jawaban klien
apabila pasangan klien pernah melakukan tes HIV. Isikan sesuai format 2
digit tanggal, 2 digit bulan, dan 4 digit tahun.
Catatan: Apabila klien tidak dapat menyebutkan tanggal tes terakhir maka
gunakan lama waktu tes (bulan atau tahun)sebagai patokan pengisian,
kemudian gunakan tanggal 1 untuk lama waktu tes dalam bulan dan 1
januari untuk lama waktu tes dalam tahun sebagai adjusment tanggal tes
terakhir.
25. Tanggal Konseling PraTes HIV:
Tuliskan tanggal sesuai saat klien datang ke klinik untuk konseling pra tes
HIV.Isikan sesuai format 2 digit tanggal, 2 digit bulan, dan 4 digit tahun.
26. Status Klien:
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

350

Contreng () Lingkaran Baru apabila kunjungan klien untuk


pertama kali melakukan kegiatan KTS atau pernah melakukan
kegiatan KTS namun belum pernah mengetahui status HIVnya.

Contreng () Lingkaran Lama apabila klien datang untuk


mengkonfirmasi hasil tes sebelumnya.

27. Alasan tes HIV:


Contreng () Lingkaran latar belakang klien mengikuti KTS. Keterangan
dapat ditulis sesuai dengan penjelasan klien kenapa perlu mengikuti KTS
berdasarkan pilihan

Ingin tahu saja, cukup jelas

Mumpung gratis, cukup jelas

Untuk bekerja, cukup jelas

Ada gejala tertentu, apabila klien merasa dirinya memiliki gejala


yang mengarah ke penyakit HIV/AIDS

Akan menikah, cukup jelas

Merasa berisiko, apabila klien merasa dirinya memiliki risiko


penularan HIV

Tes ulang (window period), apabila klien diminta melakukan tes


ulang karena penegakan diagnosis belum bisa dilakukan pada tes
sebelumnya

Lainnya, apabila alasan tes klien selain dari pilihan yang ada

28. Mengetahui adanya tes dari(pilih yang paling dominan):


Contreng () Lingkaran sumber informasi klien terhadap keberadaan
layanan tes HIV

Brosur

koran

TV

Dokter

Teman

Petugas Outreach

Poster

Lay Konselor

Lainnya

351

29. Pernah Tes Sebelumnya:


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien pernah melakukan Tes


HIV sampai tahu hasilnya sebelumnya.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien tidak pernah melakukan


Tes HIV.

Jika Klien menjawab ya, dilanjutkan ke pertanyaan:


a. Dimana : Tuliskan Nama Layanan atau Kabupaten/Kota tempat melakukan tes HIV
sebelumnya
b. kapan : Tuliskan lama periode waktu tes HIV itu dilaksanakan (bisa dalam harian,
bulanan atau tahuanan). misalnya 3 bulan yang lalu dituliskan 03 kemudian coret
keterangan waktu yang tidak sesuai : Hr/Bln/Thn
c. Hasil : Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Non-Reaktif jika hasil tesnya negatif


atau indeterminate.

Contreng () Lingkaran Reaktif jika hasil tesnya positif.

Contreng () Lingkaran Tidak Tahu jika hasil tesnya tidak


diketahui.

30. Kesediaan untuk tes:


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien pada hari bersangkutan


memutuskan dan siap melakukan tes HIV dengan ditandatangani
Inform Concent sebagai syarat dari tindakan medis yang akan
dilakukan terkait dengan pengambilan darah.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien tidak bersedia.

31. Kajian Tingkat Risiko:


a. Hubungan Seks Vaginal Berisiko
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien pernah melakukan seks


vaginal berisiko.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien tidak pernah melakukan


seks vaginal berisiko.

Jika jawaban Ya maka isi kapan terakhir melakukan seks vaginal


berisiko.

352

b. Bergantian Peralatan Suntik


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien pernah melakukan berbagi


alat suntik.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien tidak pernah


melakukan berbagi alat suntik.

Jika jawaban Ya maka isi kapan terakhir melakukan berbagi alat


suntik.
c. Transmisi Ibu Ke Anak
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien diperkirakan tertular HIV


melalui transmisi ibi ke anak.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien diperkirakan tidak


tertular HIV melalui transmisi ibu ke anak.

Jika jawaban Ya maka isi kapan klien diperkirakan tertular HIV


melalui transmisi ibu ke anak.
d. Periode Jendela
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien diperkirakan sedang


berada pada periode jendela.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien diperkirakan tidak


berada pada periode jendela.

Jika jawaban Ya maka isi kapan klien diperkirakan sedang berada


pada periode jendela.
e. Anal Seks Berisiko
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien pernah melakukan seks


anal berisiko.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien tidak pernah


melakukan seks anal berisiko.

Jika jawaban Ya maka isi kapan terakhir melakukan seks anal


berisiko.
f. Transfusi Darah
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

353

Contreng () Lingkaran Ya jika klien diperkirakan tertular HIV


melalui transfusi darah.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien diperkirakan tidak


tertular HIV melalui transfusi darah.

Jika jawaban Ya maka isi kapan klien diperkirakan tertular HIV


melalui transfusi darah.
g. Lainnya
Contreng () Lingkaran lainnya jika klien diperkirakan terpapar
risiko selain yang disebut di atas.
Isikan kajian risiko yang dimaksud dan kapan klien diperkirakan
terakhir terpapar risiko tersebut.
32. Tes Antibodi HIV (diisi ketika pasien selesai menjalani pasca tes):
a. Tanggal tes HIV : diisi dengan tanggal dilaksanakannya tes HIV.
Isikan sesuai format 2 digit tanggal, 2 digit bulan, dan 4 digit tahun.
b. Jenis Tes :
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Rapid Tes jika tes yang digunakan


dengan menggunakan rapid tes dengan 3 reagen.

Contreng () Lingkaran Elisa jika tes yang dilakukan


menggunakan metode elisa.

c. Hasil tes R1 : adalah hasil yang diperoleh dari pengujian


menggunakan rapid tes 1.
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Non Reaktif jika tes R1 nonreaktif.

Contreng () Lingkaran Reaktif jika tes R1 reaktif.

Cantumkan nama reagen yang digunakan pada pemeriksaan pertama.


d. Hasil tes R2 :

adalah hasil yang diperoleh dari pengujian

menggunakan rapid tes 2.


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Non Reaktif jika tes R2 nonreaktif.

Contreng () Lingkaran Reaktif jika tes R2 reaktif.

Cantumkan nama reagen yang digunakan pada pemeriksaan kedua.

354

e. Hasil tes R3 :

adalah hasil yang diperoleh dari pengujian

menggunakan rapid tes 3.


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Non Reaktif jika tes R3 nonreaktif.

Contreng () Lingkaran Reaktif jika tes R3 reaktif.

Cantumkan nama reagen yang digunakan pada pemeriksaan ketiga.


f. Kesimpulan

hasil

:Kesimpulan

hasil

ditentukan

dari

hasil

pemeriksaan laboratorium.

Contreng () Lingkaran Non Reaktif jika tes R1, R2 dan R3


semuanya negatif atau hasil tes elisa negatif.

Contreng () Lingkaran Reaktif jika tes R1, R2 dan R3


semuanya positif atau hasil tes elisa positif.

Contreng () Lingkaran Indeterminate jika tes R1, R2 dan


R3 tidak semuanya positif.

33. Tanggal Konseling PascaTes HIV:


Diisi dengan tanggal klien datang ke klinik untuk konseling pasca tes
HIV. Isikan sesuai format 2 digit tanggal, 2 digit bulan, dan 4 digit tahun.
34. Terima Hasil:
Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien menerima hasil tes saat


sembuka hasil bersama konselornya.

Contreng () Lingkaran Tidak jika klien tidak menerima hasil


tes saat sembuka hasil bersama konselornya.

35. Skrining Gejala TB:


Contreng () Lingkaran sesuai jawaban klien. skrining TB yang dimaksud
adalah hanya menanyakan gejala TB (assesment). Klien yang diskrining
khusus, klien yang tidak dalam keadaan sakit TB.

Contreng () Lingkaran Ya jika klien yang hasil pemeriksaannya


positif dilakukan skrining TB.

Contreng

()

Lingkaran

Tidak

jika

klien

yang

hasil

pemeriksaannya positif tidak dilakukan skrining TB.


36. Jumlah Kondom yang Diberikan:
Diisi dengan jumlah kondom yang diberikan kepada klien.

355

37. Tindak Lanjut:


Contreng () Lingkaran tindak lanjut apabila hasil laboratorium sudah
dibuka dengan klien, tindak lanjut dapat berupa:

Datang kembali karena masa jendela, jelas

Rujuk ke layanan Rehab, bila klien dianjurkan dirujuk ke sarana


rehabilitasi

Rujuk ke layanan PPIA, bila klien membutuhkan layanan PPIA

Rujuk ke layanan TB, bila klien membutuhkan perawatan TB

Rujuk ke layanan LASS, bila klien memerlukan layanan LASS

Rujuk ke layanan IMS, bila klien/pasien membutuhkan penanganan


IMS

Rujuk ke layanan PTRM, bila klien membutuhkan perawatan


Methadon karena faktor resikonya

Rujuk ke layanan PDP, bila klien memerlukan layanan PDP

Rujuk ke petugas pendukung.


o Contreng () Lingkaran Manajer Kasus, jika klien dirujuk ke
manajer kasus
o Contreng () Lingkaran LSM, jika klien dirujuk ke LSM, dan
isikan nama LSM tersebut
o Contreng () Lingkaran Kader, jika klien dirujuk ke kader

38. Nama Konselor


Diisi dengan nama konselor yang melakukan konseling
39. Status Klinik:
Contreng () Lingkaran yang sesuai

Contreng () Lingkaran Klinik Utama jika kegitan KTS


dilakukan di klinik utama.

Contreng () Lingkaran Klinik Satelit jika kegiatan KTS di


lakukan di klinik satelit (klinik yang dibentuk oleh klinik utama
untuk memperluas jangkauan KTS)

40. Jenis Pelayanan:


Contreng () Lingkaran yang sesuai

Contreng () Lingkaran Menetap jika kegitan KTS dilakukan di


klinik baik klinik uatama maupun satelit.

356

Contreng () Lingkaran Bergerak jika kegiatan KTS dilakukan


dalam kegiatan mobil VCT.

B.2. Formulir Tes HIV atas Inisiasi Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling (TIPK)
Pokok Bahasan 3. Instal Aplikasi Sistem Informasi HIV AIDS
A.

Menyiapkan Prangkat instalasi


Aplikasi Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) adalah suatu aplikasi yang
salah satu fungsinya dapat digunakan untuk menginput, mengolah dan
menganalisis data KTS, selain itu juga dapat digunakan untuk membantu
dalam pembuatan laporan bulanan KTS.
A.1. Proses Instalasi SIHA
Berikut ini adalah langkah-langkah instalasi SIHA :
1. Colokan flash disk yang diberikan oleh fasilitator ke dalam
laptop/komputer melalui lubang USB.
2. Buka folder Aplikasi SIHA 1.7.
3. Install aplikasi Xampp 1.7.3, detail instalasi akan dijelaskan
berikutnya.
4. Install aplikasi SIHA 1.7, detail instalasi akan dijelaskan
berikutnya.
5. Install aplikasi firefox portable, detail instalasi akan dijelaskan
berikutnya.
6. Restore Database, detail proses restore database akan dijelaskan
berikutnya.

1. Instalasi aplikasi Xampp 1.7.3


Penjelasan Xampp dan kegunaannya dalam aplikasi SIHA diserahkan ke
biztek.
a. Buka folder Aplikasi SIHA 1.7
b. Klik 2x pada file xampp-win32-1.7.3.exe
c. Pilih tempat folder yang digunakan untuk menginstall XAMPP setelah itu klik
Install

357

d. Tunggu sampai progress bar selesai

e. Ketik y kemudian tekan enter

358

f. Ketik y kemudian tekan enter

g. Ketik n kemudian tekan enter

359

h. Tekan Enter

i. Tekan Enter

j. Ketik x kemudian tekan enter


360

k. Buka Xampp Control Panel di Start

l. Centang kotak di samping kiri Apache dan Mysql

361

m. Klik Ok, jika muncul peringatan

n. Klik Start di samping kananApache dan Mysql, hingga muncul tulisan


Running

o. Klik

pada pojok kanan atas

p. Selesai
2. Instalasi Aplikasi SIHA 1.7
a. Buka folder Aplikasi SIHA 1.7
b. Klik 2x pada file APLIKASI_SIHA_VER(1.7).exe
362

c. Pilih folder htdocs pada tempat install XAMPP, setelah itu klik Install

d. Tunggu sampai progress bar selesai

e. Jika muncul tampilan program compatibility assistent, klik

pada

pojok kanan atas

363

f.

Selesai

3. Instalasi Firefox Portable


a. Buka folder Aplikasi SIHA 1.7
b. Klik 2x pada file FirefoxPortable_7.0.1_English.paf.exe
c. Klik next

d. Pilih folder tempat firefox portable akan diinstall, ganti menjadi


c:\FirefoxPortable, kemudian klik install

364

e. Klik finish
f. Buka folder tempat instalasi firefox portable, rename
menjadi
g. Copy SIHA.exe, Paste di desktop.
h. Buka SIHA.exe di desktop, klik

pada pojok kiri atas

i. Klik option seperti pada gambar berikut

j. Ketik localhost/sim_aids pada kotak Home Page, klik Ok.

365

k. Tutup Siha, Selesai


4. Restore Database
a. Buka SIHA.exe di desktop
b. Ketik alamat localhost/restore_db/uploaddb.php

c. Browse file sim_aids.sql di alamat c:/xampp/htdocs, klik open

366

d. Klik restore hingga muncul tulisan Berhasil Restore Database dari file
sim_aids.sql, silahkan di cek.

e. Selesai

A.2.

Proses Update Aplikasi SIHA


Pokok Bahasan 4.Proses data menjadi Laporan

A. Proses Input data


Sebelum memulai input data, hal pertama yang harus dilakukan adalah
mengetahui username dan password layanan. Username dapat diminta melalui
surat resmi kepada Subdit AIDS dan PMS, Kemkes RI.

367

Berikut adalah proses input data KTS di SIHA:


1. Buka aplikasi SIHA (SIHA.exe di desktop)
2. Masukkan username dan password layanan, klik Enter hingga muncul
tulisanSelamat Datang, username(Nama Layanan) [Group UPK]
3. Arahkan kursor ke menu Form layanan KT , klik Formulir KTS

4. Input data pada form yang tersedia

368

Masukkan semua informasi sesuai dengan yang ada di formulir konseling dan tes
HIV. Berikut ini beberapa petunjuk detail cara pengisian masing-masing
pertanyaan:

Tanggal Entry (harus diisi): diisi tanggal saat entry data. Klik pada form
isian, pilih tahun terlebih dahulu, kemudian bulan, dan terakhir klik pada
tanggal yang dimaksud.

No Rekam Medis (harus diisi): diisi nomor rekam medis klien sesuai
dengan yang tertulis di formulir KTS

No registrasi (harus diisi): diisi nomor registrasi klien sesuai dengan yang
tertulis di formulir KTS

Alamat: diisi alamat klien sesuai dengan yang tertulis di formulir KTS

Provinsi: klik pada form isian, kemudian pilih provinsi alamat klien sesuai
dengan yang tertulis di formulir KTS

Kabupaten (hanya bisa diisi setelah provinsi diisi):klik pada form isian,
kemudian pilih kabupaten/kota alamat klien sesuai dengan yang tertulis di
formulir KTS

369

Jenis kelamin (harus diisi): klik pada form isian, kemudian pilih jenis
kelamin klien sesuai dengan yang dicentang di formulir KTS

Tanggal Lahir (harus diisi): diisi tanggal lahir klien. Klik pada form isian,
pilih tahun terlebih dahulu, kemudian bulan, dan terakhir klik pada tanggal
yang dimaksud.
(Catatan: Jika tahun yang dimaksud tidak muncul, maka klik pada tahun
terakhir muncul, kemudian cari tahun yang dimaksud kembali. Contoh:
jika tanggal lahir tahun 1965, maka klik terlebih dahulu tahun 1975,
kemudian klik kembali pilihan tahun dan tahun 1965 akan muncul.

Pendidikan Terakhir: klik pada form isian, kemudian pilih pendidikan


terakhir klien sesuai dengan yang dicentang di formulir KTS

Status Perkawinan:klik pada form isian, kemudian pilih status perkawinan


klien sesuai dengan yang dicentang di formulir KTS

Status Kehamilan (hanya bisa diisi jika klien perempuan): klik pada form
isian, kemudian pilih status kehamilan klien sesuai dengan yang dicentang
di formulir KTS

Jumlah Anak Kandung: diisi jumlah anak kandung klien sesuai dengan
yang tertulis di formulir KTS

Umur Anak Terakhir (hanya bisa diisi jika klien perempuan): diisi umur
anak terkecil sesuai dengan yang tertulis di formulir KTS

Pekerjaan: klik pada form isian, kemudian pilih pekerjaan klien sesuai
dengan yang dicentang di formulir KTS

Kelompok Risiko (harus diisi): Centang kelompok risiko klien sesuai


dengan yang dicentang di formulir KTS.
(Catatan: dapat dicentang lebih dari satu pilihan)

Klien Punya Pasangan Tetap (hanya bisa diisi jika klien perempuan): klik
pada form isian, kemudian pilih status apakah klien mempunyai pasangan
tetapsesuai dengan yang dicentang di formulir KTS

Klien Punya Pasangan Perempuan (hanya bisa diisi jika klien laki-laki):
klik pada form isian, kemudian pilih status apakah klien mempunyai
pasangan perempuansesuai dengan yang dicentang di formulir KTS

Pasangan Perempuan Klien Hamil (hanya bisa diisi jika klien laki-laki
dan mempunyai pasangan perempuan): klik pada form isian, kemudian

370

pilih status kehamilan pasangan perempuan kliensesuai dengan yang


dicentang di formulir KTS

Status HIV Pasangan (hanya bisa diisi jika klien mempunyai pasangan):
klik pada form isian, kemudian pilih status HIV pasangan kliensesuai
dengan nomor pilihan di formulir KTS

Tanggal Tes HIV Terakhir Pasangan (hanya bisa diisi jika klien
mempunyai pasangan): diisi tanggal tes HIV terakhir pasangan klien. Klik
pada form isian, pilih tahun terlebih dahulu, kemudian bulan, dan terakhir
klik pada tanggal yang dimaksud.

Status Kunjungan: klik pada form isian, kemudian pilih status kunjungan
kliensesuai dengan yang dicentang di formulir KTS

Status Rujukan (hanya bisa diisi jika status kunjungan klien dirujuk):
klik pada form isian, kemudian pilih status rujukan kliensesuai dengan
yang dicentang di formulir KTS

Klien Pasien TB: klik pada form isian, kemudian pilih apakah klien
merupakan pasien TB sesuai dengan yang dicentang di formulir KTS

Klien WBP: klik pada form isian, kemudian pilih apakah klien merupakan
warga binaan pemasyarakatan sesuai dengan yang dicentang di formulir
KTS

Tanggal Konseling Pra Tes HIV: diisi tanggal klien datang untuk
konseling pra tes. Klik pada form isian, pilih tahun terlebih dahulu,
kemudian bulan, dan terakhir klik pada tanggal yang dimaksud.

Status Klien: klik pada form isian, kemudian pilih status kliensesuai
dengan yang dicentang di formulir KTS

Alasan Tes HIV: Centang alasan klien melakukan tes HIV sesuai dengan
yang dicentang di formulir KTS.
(Catatan: dapat dicentang lebih dari satu pilihan)

Mengetahu Adanya Tes HIV Dari: klik pada form isian, kemudian pilih
sumber klien mengetahu adanya tes HIV di klinik ini sesuai dengan yang
dicentang di formulir KTS

Pernah Tes HIV Sebelumnya: Centang apakah klien pernah melakukan tes
HIV sebelumnya sesuai dengan yang dicentang di formulir KTS.

5. Jika selesai input data di form, klik

di paling bawah. Jika berhasil

akan muncul tampilan

371

Catatan:
Jika klien baru sampai tahap tes dan datanya sudah dimasukkan kedalam SIHA,
maka apabila klien tersebut datang kembali untuk post-tes dilain hari/bulan,
lakukan edit data, bukan diisi dalam form yang baru. Masukkan informasi
tentang post tes seperti tanggal post tes, kesimpulan, dsb.

372

B. Proses Edit Data


Fasilitas ini berfungsi untuk melakukan perubahan pada data yang telah di input.
Perubahan data dapat dilakukan jika:
a. Terdapat kesalahan input pada saat input laporan
b. Data yang di input sebelumnya belum lengkap. Ketika data telah lengkap,
untuk melengkapi kekurangan data tersebut menggunakan fasilitas edit data
Berikut proses edit data:
1. Arahkan kursor ke menu Form layanan KT , klik KTS List

2. Cari data klien yang akan di edit. Jika data sudah banyak, dapat menggunakan
fasilitas Search

. Fasilitas ini hanya bisa

memfilter No. Rekam Medis, No registrasi dan Tanggal lahir.


3. Klik data kunjungan

pada data klien yang akan di

edit.
4. Klik edit pada bagian pojok kanan

5. Edit data pada form yang tersedia.


6. Jika selesai edit data di form, klik

di paling bawah. Jika berhasil

akan muncul tampilan

373

7. Selesai
C. Proses Pembuatan Laporan KTS (Untuk di Print)
1. Arahkan kursor ke menu Report Report KT , klik KT Edit

2. Pilih Bulan dan Tahun laporan yang akan di proses. Klik tombol load

374

3. Maka akan muncul tampilan laporan seperti berikut. Jika data yang
ditampilkan sudah sesuai, kemudian klik tombol save dibagian paling
bawah.

4. Arahkan kursor ke menu Report Report KT , klik KT View

5. Pilih Bulan dan Tahun laporan yang akan di proses. Klik tombol load

375

6. Maka akan muncul tampilan laporan seperti berikut.Jika data yang ditampilkan
sudah sesuai, kemudian klik tombol Excel dibagian paling bawah.

7. Muncul tampilan cara penyimpanan file, pilih open with microsoft excel

376

8. File dalam excel ini dapat di simpan ataupun di print


D. Proses Pembuatan Laporan KTS (Untuk di Upload)
1. Arahkan kursor ke menu Report Report KT , klik KT Edit

2. Pilih Bulan dan Tahun laporan yang akan di proses. Klik tombol load

377

3. Maka akan muncul tampilan laporan seperti berikut. Jika data yang
ditampilkan sudah sesuai, kemudian klik tombol save dibagian paling
bawah.

4. Arahkan kursor ke menu Report Report KT , klik KT View

378

5. Pilih Bulan dan Tahun laporan yang akan di proses. Klik tombol load

6. Maka akan muncul tampilan laporan seperti berikut. Jika data yang
ditampilkan sudah sesuai, kemudian klik tombol Export Table dibagian
paling bawah.

379

7. Muncul tampilan file untuk di download. Klik pada huruf yang berwarna
merah.

8. Muncul tampilan cara penyimpanan file, pilih save, pilih direktori tempat
file akan disimpan.
9. Selesai
E. Proses Upload Laporan ke Wesbite SIHA
1. Buka website siha.depkes.go.id
Login menggunakan username dan password UPK.

380

2. Pastikan versi aplikasi yang ada di laptop dan yang ada di website sama versinya.
Untuk mengeceknya bisa dilihat seperti tampilan berikut.

3. Jika versi aplikasi berbeda, maka download aplikasi yang terbaru terlebih dahulu.
Bisa dilihat di panduan update aplikasi. Setelah di update, lakukan ulang proses
pembuatan laporan KTS (untuk diupload). Dan ulangi dari langkah 1.
4. Jika versi aplikasi telah sama, Arahkan kursor ke menu Tools Import
Laporan , klik Import Laporan

381

5. Pilih/klik pada jenis layanan KT

6. Pilih file yang akan diupload dengan cara klik browse, kemudian open.
7. Klik import
8. Jika upload telah selesai akan muncul tulisan sebagai berikut
9. Untuk mengecek laporan yang telah masuk bisa menggunakan fungsi ceklis
laporan
10. Selesai

382

F. Mengecek Laporan yang sudah masuk ke website SIHA


1. Arahkan kursor ke menu Tools Import Laporan , klik Ceklis Laporan

2. Pilih tahun laporan yang akan di cek akan di cek. Default adalah tahun saat
ini. Jika ingin merubah tahun, klik pada

untuk tahun

sebelum tahun yang tampil. Dan klik pada

untuk

tahun setelah tahun yang tampil.

3. Jika laporan sudah masuk ke website SIHA, maka bulan laporan akan
bertanda centang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Pelayanan Konseling dan Tesing HIV/AIDS Secara Sukarela
2. Pedoman nasional monitoring dan evaluasi

383

384

PETUNJUK LATIHAN MATER INTI 3


PENCATATAN LAYANAN KONSELING DAN TES HIV
Tujuan:
Peserta mampu melakukan Proses pencatatan formulir yang ada di layanan
Konseling dan Tes HIV
Persiapan :
Fasilitator
1. Memberikan penjelasan latihan pencatatan kayanan konseling dan tes HIV
2. Menyiapkan alat/bahan yang akan digunakan pada latihan simulasi: formulir
yang ada di layanana Konseling dan tes dan petunjuk pengisian Formulir
3. Menunjuk empat orang peserta untuk bermain peran (sebagai klien, petugas
admin, petugas konselor dan petugas laboratorium)
4. Meminta peserta yang lain melakukan proses pencatatan dari adegan yang
diperankan empat orang yang bermain peran
5. Memberi panduan pengisian atas peran yang dimaikan
6. Mendiskusikan hasil pengisian yang dilakukan peserta lainnya
Peserta
1. Memahami dan melaksanakan penjelasan yang diberikan oleh fasilitator
2. Melakukan proses pencatatan

LEMBAR LATIHAN
SKRENARIO PERAN
Peserta 1 : Peserta pertama bertindak sebagai klien yang datang ke layanan VCT,
klien yang diperankan sebagai seorang penjaja seks wanita berusia 29
tahun ia menjalani kegiatan ini sejak usia 19 tahun, ia datang karena
merasa berisiko. Sehari sebelumnya ia mennyaksikan tayangan di

385

televisi mengenai HIV AIDS hatinya tergerak untuk mau mendatangi


klinik VCT, dia mengetahui layanan VCT dari temannya yang sudah
pernah datang ke layanan VCT ini, klien ini selain menjajakan seks ia
juga terlibat penggunaan narkoba suntik sejak satu tahun yang lalu.
Setelah menjalani pre konseling klien ini setuju untuk melaksanakan
test, seminggu kemudian dia datang kembali untuk menjalani post
konseling dan mengetahui status HIVnya sudah positif
Peserta 2 : Perserta ke dua berperan sebagai petugas admin, petugas admin
menyiapkan semua formulir yang ada dan melakukan proses
pencatatan dan pelaporan.
Peserta 3 : Peserta ke tiga berperan sebagai petugas konselor, peserta berperan
sebagai seorang konselor yang melakukan proses konseling kepada
klien yang diperankan oleh peserta ke 1.
Peserta 4 : Peserta ke empat akan berperan sebagai petugas labatorium, peserta
berperan sebagai petugas laboratorium yang memeriksa hasil
pemeriksaan klien dan mengisi formulir laboratorium.
Panduan diskusi dilakukan oleh (isi diskusi dapat dikembangkan oleh fasilitator
berdasarkan dinamika kelas yang terjadi:
-

Hal-hal apa aja yang harus diperhatikkan saat melakukan pencatatan

Apa yang dapat dilakukan untuk


MATERI INTI 4
SISTEM PELAPORAN DATA LAYANAN KONSELING DAN TES HIV

I.

DESKRIPSI SINGKAT
Sistem pelaporan layanan Konseling dan Tes HIV (Konseling dan Tes)
dibuat agar dapat melaporkan hasil dari kegiatan konseling di layanan VCT,
saat ini terdapat sebelas indikator yang wajib dilaporkan oleh setiap layanan
Konseling dan Tes yang ada di Indonesia , laporan layanan Konseling dan Tes
membantu kementrian kesehatan dalam melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap layanan Konseling dan Tes yang ada, selain itu data yang dilaporkan
juga dapat dijadikan bahan perencanaan berbasis data dalam merencanakan
program penanggulangan HIV di masa yang akan datang.

386

Pelaporan layanan Konseling dan Tes dimulai dari laporan bulanan dari
setiap layanan Konseling dan Tes yang ada ke dinas kesehatan di
kabupaten/kota tempat layanan tersebut berada, kemudian setiap bulannya
laporan tersebut dilaporkan kembali ke level provinsi dan pusat(subdit AIDS
dan PMS) kementrian kesehatan, setiap bulan laporan tersebut di berikan
umpan balik secara berjenjang untuk memantau kualitas pelaporan.

Dari

sebelas indikator yang ada terdapat satu indikator kunci yang dijadikan
indikator MDG

yaitu

jumlah orang yang diberi post tes konseling dan

menerima hasil
II.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan pembelajaran umum :
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu menerapkan sistem pelaporan
data layanan Konseling dan Tes HIV
Tujuan pembelajaran khusus :
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu :
1.
2.
3.
4.

III.

Menjelaskan konsep pelaporan


Menjelaskan definisi operasional variabel
Menjelaskan tentang indikator
Menerapkan sistem pelaporan data layanan Konseling dan Tes HIV

POKOK BAHASAN
Dalam sesi ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut
Pokok Bahasan 1 : Pelaporan
a.
b.
c.
d.

Pengertian dan ruang lingkup pelaporan


Tujuan dan manfaat pelaporan
Alur pelaporan
Format pelaporan

Pokok Bahasan 2 Definisi operasional variable


Pokok Bahasan 3 Indikator
a. Indikator program dan layanan
b. Indikator nasional dan Global
Pokok Bahasan 4: Sistem pelaporan data layanan Konseling dan Tes HIV
IV.

METODE
Metode yang digunakan dalam proses ini adalah
1. CTJ
2. Curah pendapat
3. Latihan mengisi variabel

387

4. Diskusi
V.

MEDIA DAN ALAT BANTU


Alat bantu yang digunakan adalah
1. Bahan tayang (Slide power point)
2. Laptop
3. LCD
4. Flipchart
5. White board
6. Spidol (ATK)
7. Modul
8. Lembar latihan
9. Panduan diskusi

VI.

LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Pada sesi materi ini, peserta akan mempelajari 4 (empat) pokok bahasan.
Berikut ini merupakan panduan bagi fasilitator dan peserta dalam proses
pembelajaran. Pada sesi ini fasilitator akan memberikan sesi dalam bentuk
power point. Penugasan akan diberikan pada setiap sesi pembelajaran
Sesi 1. Pengkondisian
Langkah-langkah pembelajaran:
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum
berkenalan mulai dengan perkenalan. Sampaikan tujuan pembelajaran
dengan menggunakan bahan tayang.
2. Fasilitator menggali pendapat/pemahaman peserta tentang konsep
pelaporan.
3. Fasilitator menuliskan kata kunci pendapat peserta pada kertas flipchart.
Sesi 2 Pembahasan materi konsep pelaporan
Langkah-langkah pembelajaran:
1.

Fasilitator menyampaikan paparan tentang konsep


pelaporan dengan menggunakan tayangan power point

2.

Fasilitator mengajak peserta berdiskusi mengenai


pelaporan. Minta setiap peserta untuk menuliskan pendapatnya dikertas
flipchart. Fasilitator membuat simpulan dari pendapat para peserta.
Kemudian fasilitator menjelaskan tentang pelaporan.

3.

Fasilitator meminta semua peserta menyampaikan


masalah penting yang muncul selama proses diskusi

388

4.

Fasilitator membuat simpulkan materi ini

Sesi 3. Pembahasan materi definisi operasional variabel


Langkah langkah pembelajaran :
1.

Fasilitator menyampaikan paparan tentang definisi


operasional variabel

2.

Fasilitator memberikesempatan kepada peserta untuk


tanya jawab mengenai definisi operasional (dalam proses ini fasilitator
tetap

perlu

mengklarifikasi

pendapat

peserta,

dengan

membandingkannya dengan materi yang telah disajikan)


3.
4.

Fasilitator membuat simpulan dari pendapat para


peserta.

5.

Fasilitator membagi peserta menjadi kelompok terdiri


dari 5 orang setiap kelompok.

6.

Fasilitator

membagikan

kepada

masing-masing

kelompok 1 set bahan latihan yang terdiri dari formulir pelaporan yang
masih kosong/ belum terisi dan formulir klien yang sudah terisi
7.

Fasilitator meminta kepada peserta untuk mengisi


formulir pelaporan berdasarkan formulir klien yang sudah terisi tersebut.

8.

Fasilitator
mempresentasikan

meminta

formulir

wakil

pelaporan

yang

kelompok
telah

diisi

untuk
oleh

kelompoknya.
9.

Fasilitator

memberi

kesempatan

kepada

peserta

kelompok lain untuk memberi masukan / memberi komentar terhadap


kelompok yang sedang presentasi
10.

Fasilitator memimpin tanya jawab mengenai kendala


yang dialami oleh peserta pada saat mengisi formulir pelaporan tersebut
dan upaya mengatasinya.

11.

Fasilitator membuat simpulan dari materi ini

Sesi 4.Pembahasan materi tentang indikator


Langkah-langkah pembelajaran :

389

1. Fasilitator menyampaikan paparan tentang indikator menggunakan


bahan tayang.
2. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk tanya jawab
(dalam proses ini fasilitator tetap perlu mengklarifikasi pendapat
peserta dengan membandingkannya dengan materi yang telah
disajikan)
3. Fasilitator membuat simpulan dari materi ini.
Sesi 5. Pembahasan materi tentang sistem pelaporan data layanan
Konseling dan Tes HIV
Langkah-langkah pembelajaran :
1.

Fasilitator

menyampaikan

paparan

tentang

sistem pelaporan data layanan Konseling dan Tes HIV menggunakan


bahan tayang.
2.

Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta


untuk tanya jawab (dalam proses ini fasilitator tetap perlu
mengklarifikasi pendapat peserta dengan membandingkannya dengan
materi yang telah disajikan)

3.

Fasilitator membuat simpulan dari materi ini.

Sesi 6. Refleksi dan Rangkuman


Langkah-langkah pembelajaran :
1. Fasilitator bersama-sama peserta melakukan refleksi tentang pokok
bahasan materi ini. Apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan sudah
tercapai?.
2. Fasilitator menyimpulkan keseluruhan materi inti: Sistem Pelaporan
Data Layanan Konseling dan Tes HIV
3. Fasilitator menutup sesi ini dengan memberikan apresiasi atas peran
aktif peserta.
VII.

URAIAN MATERI
Pokok bahasan 1. Konsep pelaporan
A. Pengertian dan ruang lingkup pelaporan
Setelah pelayanan VCT mengumpulkan data dan memasukkannya, maka
data perlu dianalisis dan kemudian melaporkannya. Pertanyaan khusus yang
perlu dijawab mengenai laporan termasuk :
1. Siapa yang bertanggung jawab menganalisis data dan menulis laporan?

390

2. Jika pengumpulan data sedang dilakukan, seberapa sering laporan perlu


dilakukan ?
3. Siapa yang perlu mendapatkan salinan pelaporan ?
4. Siapa stakeholders utama, siapa yang berminat akan hasilnya?
5. Bagaimana menggunakan data ? misalnya laporan kepada manajemen,
umpan balik kepada institusi rujukan, bahan diskusi, bahan tulisan ke
majalah ilmiah atau seminar/konferensi. 7
Pelaporan

membutuhkan

ketepatan

waktu.

Laporan

kepada

stakeholders yang menggambarkan situasi saat ini adalah penting agar dapat
diambil keputusan yang tepat guna mendapatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan..
Pengumpulan data, manajemen dan pelaporan pelayanan yang
tersedia akan dapat dilaksanakan jika tersedia anggaran untuk keseluruhan
proses pengumpulan data, manajemen dan pelaporan, misalnya ongkos
cetak, pengadaan barang-barang yang dibutuhkan, pelatihan petugas,
ketersediaan waKonseling dan Tesu dari petugas, ada petugas yang
memasukkan dan menganalisis data, ongkos cetak, untuk pelaporan dan
formulir dan sebagainya. Sebuah pelayanan harus dapat memastikan pospos anggaran untuk rencana yang akan diambil , bila tidak maka monitoring
dan evaluasi tak dapat diselenggarakan.
Hasil dari studi harus dibicarakan dengan seluruh stakeholders
pelayanan sehingga keputusan dapat diambil guna perbaikan pelayanan
pada target populasi.
B. Tujuan dan manfaat pelaporan
Tujuan pelaporan adalah
C. Alur pelaporan
Alur pelaporan berguna untuk memantau jalannya proses pelaporan,
alur ini didesain dengan konsep berjenjang agar setiap level dapat merespon
data yang masuk dan memberikan umpan balik (feed back) sebagai bagian
dari sistem pelaporan. Dalam modul ini akan dibahas alur pelaporan mulai
dari level layanan hingga ke tingkat pusat
Periode laporan
- Laporan bulanan dibuat mulai dari tingkat unit pelayanan VCT,
dimana laporan bulanan memuat data mulai tanggal 26 bulan
sebelumnya sampai dengan tanggal 25 bulan berjalan.

391

Contoh: laporan untuk bulan Desember 2010 adalah dari tanggal 26


November 2010 sampai dengan tanggal 25 Desember 2010. Laporan
dibuat dalam: Laporan Bulanan Konseling dan Testing Sukarela
(KTS/VCT), Form HA-UPK-1. Laporan yang dikirim terdiri dari a).
Laporan dalam bentuk hard copy/ kertas yang dilengkapi dengan
nama, tandatangan dan stempel untuk keabsahannya yang disampaikan
langsung atau dikirim melalui pos/ kurir atau dikirim melalui email
bentuk hasil scan, dan atau b). Laporan dalam bentuk file electronic
excel (softcopy)

Laporan dari unit pelayanan diterima oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten/ Kotapaling lambat tanggal 27 bulan berjalan.


Laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota diterima oleh Dinas

Kesehatan Propinsi paling lambat tanggal 1 bulan berikutnya.


Laporan dari Dinas Kesehatan Propinsi diterima oleh Subdit AIDS &
PMS Kemenkes paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya

Alur laporan adalah sesuai skema berikut, yaitu dari Unit Pelayanan ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota , Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota ke
Dinas Kesehatan Propinsi , Dinas Kesehatan Propinsi ke Kementrian
Kesehatan RI (Subdit AIDS & PMS).

392

Skema Alur Laporan


MENTERI KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN
DIRJENPP&PL
Principal Recipient

DINAS KESEHATAN PROPINSI


Sub Recipient

DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA


Sub - Sub Recipient

: Laporan
: Supervisi

Survei
- Berbasis Masyaraat
- Berbasis Sarana

Unit Pelayanan
Klinik
ART,IMS, MST di Rumah Sakit/Puskesmas
Unit VCT,
Pelayanan
Klinik
VCT,
ART,IMS, MST di Rumah Sakit/Puskesmas
Unit
Unit
Pelayanan
Pelayanan
Klinik
Klinik
MMT,
VCT,
IMS,
ART,IMS,
VCT, ART,
MST
PMTCT
di Rumah
di Rumah
Sakit/Puskesmas
Sakit/Puskesmas

D. Format pelaporan
Tiap layanan Konseling dan Tes HIV wajib melaporkan data hasil
kegiatannya sesuai format pelaporan yang tersedia setiap bulan ke Dinas
Kesehatan kabupaten/kota, laporan yang dikirimkan terlebih dahulu
ditandatangani oleh Penanggungjawab Unit Pelayanan serta dibubuhi
stempel dan nama jelasnya. Form yang digunakan pada unit pelayanan
adalah Laporan Bulanan Konseling dan Testing Sukarela (KTS/VCT), Form
HA-UPK-1.
Form yang digunakan pada Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota
adalah Laporan Bulanan Konseling dan Testing Sukarela (KTS/VCT), Form

393

HA-KAB/KOTA-1. Form yang digunakan pada Dinas Kesehatan Propinsi


adalah Laporan Bulanan Konseling dan Testing Sukarela (KTS/VCT), Form
HA-PROV-1
Pokok bahasan 2 Definisi operasional variable

POKOK BAHASAN 2: DEFINISI OPERASIONAL


No VARIABEL

Definisi Operasional
Adalah jumlah orang

Jumlah orang yang berkunjung


1

berkunjung bulan ini

ke

layanan

Sumber data
yang dari
variabel
VCT tanggal pre tes,

selama bulan berjalan


tes dan post tes
Adalah jumlah orang baru yang

Jumlah orang yang berkunjung ke layanan VCT untuk


baru
2

berkunjung tujuan Konseling dan Tesing HIV status

bulan ini
pada bulan ini
(baru/lama)
Jumlah orang yang Adalah jumlah orang baru yang
baru

berkunjung berkunjung ke layanan VCT untuk

bulan

ini

yang tujuan Konseling dan Tesing HIV

dirujuk
2a

pasien

oleh pada bulan ini yang dirujuk oleh status pasien dan

penjangkau LSM

penjangkau LSM.
alasan kunjungan
Adalah jumlah orang yang telah

Jumlah orang yang menandatangani informed consent


diberi
3

pretes dan mengikuti pre tes konseling

konseling

pada bulan ini


tanggal pretes
Adalah total semua orang yang
telah mengikuti pre tes konseling

Jumlah orang yang dan kemudian mau dan dilakukan


4

ditesing HIV

tesing HIV pada bulan ini


tanggal tes
Adalah jumlah orang yang telah
mengikuti pre tes konseling, post

Jumlah orang yang tes konseling dan mengetahui


diberi

post-tes hasil

konseling
5

menerima hasil

tesing

dan (menerima

hasil

dari

konselor

tesing)

pada

bulan ini
tanggal post tes
Adalah jumlah orang HIV yang

Jumlah orang yang baru di tesing dan hasilnya positif


6

HIV positif

pada bulan ini

kesimpulan hasil
394

Adalah jumlah ibu hamil yang di


Jumlah

ibu

hamil pre

tes

konseling

yang ditesing HIV dilakukan


7

tesing

dan
HIV

mau status kehamilan


serta dan tanggal post

dan menerima hasil


menerima hasil pada bulan ini
Jumlah ibu hamil

tes
status kehamilan

yang HIV positif dan Adalah jumlah ibu hamil yang dan tanggal post
8

menerima hasil
HIV positif pada bulan ini
Jumlah pasangan ibu Adalah jumlah pasangan
hamil

yang

tes
ibu status kehamilan

HIV hamil yang HIV positif pada dan

status

positif
bulan ini
pernikahan
Jumlah orang yang Adalah jumlah orang yang HIV
HIV positif dirujuk positif dirujuk ke PDP (CST) pada

10 ke PDP (CST)
bulan ini
Pokok bahasan 3 Indikator

tindak lanjut

A. Indikator program dan layanan (mas ewin & Dimas)


B. Indikator nasional dan Global
Pokok bahasan 4 Sistem Pelaporan Data Layanan Konseling dan Tes HIV
Pelaporan berguna untuk memantau jalannya program , pelaporan ini didesain
dengan konsep berjenjang dari Unit Pelayanan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota ,
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi , Dinas Kesehatan
Propinsi ke Kementrian Kesehatan RI (Subdit AIDS & PMS, agar setiap level dapat
merespon laporan yang masuk dan memberikan umpan balik sebagai bagian dari
sistem pelaporan. Dalam modul ini akan dibahas sistem pelaporan mulai dari level
layanan hingga ke tingkat pusat.
Periode laporan
-

Laporan bulanan memuat data mulai tanggal 26 bulan sebelumnya sampai


dengan tanggal 25 bulan berjalan.
Contoh: laporan untuk bulan Desember 2010 adalah dari tanggal 26

November 2010 sampai dengan tanggal 25 Desember 2010.


Laporan disampaikan tepat waktu (sesuai jadwal tiap bulan), lengkap (sesuai
jenis layanan yang disepakati), akurat (jumlah angka yang benar) dan sah

(Tandatangan dan Stempel) oleh penanggung jawab Unit Pelayanan.


Laporan dari unit pelayanan diterima oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kotapaling lambat tanggal 27 bulan berjalan.
Laporan bulanan yang dikirimkan terdiri dari:
a) Laporan dalam bentuk hard copy/ kertas yang dilengkapi dengan
nama,

tandatangan

dan

stempel

untuk

keabsahannya

yang

395

disampaikan langsung atau dikirim melalui pos/ kurir atau dikirim

melalui email bentuk hasil scan


b) Laporan dalam bentuk file electronic excel (softcopy).
Keterlambatan Laporan: bila terjadi keterlambatan laporan, maka Unit
Pelayanan harus segera mengirimkan laporannya pada kesempatan pertama
dengan menyertakan alasan keterlambatan laporannya.

Di Unit Pelayanan Konseling dan Tes HIV dilakukan proses sebagai berikut :
Data dari register pasien di-entry setiap hari, selanjutnya setiap bulan data dari
register direkapitulasi dalam format laporan bulanan
Validasi data laporan dilakukan oleh pimpinan klinik untuk memeriksa
kebenaran data yang dilaporkan sebelum ditandatangani dan dikirimkan
Analisa data dilakukan secara berkala oleh pimpinan klinik terhadap data
yang dicatat. Analisa dilakukan dengan membandingkan hasil pelayanan
(capaian) terhadap target serta menjelaskan alasannya.

Setiap bulan hasil layanan klinik dilaporkan ke Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota dengan menggunakan format laporan bulanan yang telah
ditentukan

Laporan bulanan Unit Pelayanan meliputi: Laporan Bulanan Konseling dan


Tesing Sukarela (Konseling dan TesS/VCT)

Data yang diterima Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dari Unit layanan


Konseling dan Tes HIV dilakukan proses sebagai berikut :

Setiap bulan tabel rekapitulasi di olah sebagai data kedalam format laporan.

Laporan

berbentuk: Laporan Bulanan Konseling dan Tesing Sukarela

(Konseling dan TesS/VCT)

Validasi data laporan dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan/ Kota untuk
memeriksa kebenaran data yang dilaporkan sebelum ditandatangani dan
dikirimkan

Analisa data dilakukan secara berkala oleh Kepala Dinas Kesehatan/ Kota
terhadap data yang diterima dari unit pelayanan. Analisa dilakukan dengan
membandingkan hasil pelayanan (capaian) terhadap target serta menjelaskan
alasannya.

Setiap bulan hasil layanan klinik se Kabupaten/Kota dilaporkan kepala Kepala


Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota

ke Kepala Dinas Kesehatan Propinsi

dengan menggunakan format laporan bulanan yang telah ditentukan

396

Data yang diterima Dinas Kesehatan Propinsi dari Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota dilakukan proses sebagai berikut :

Setiap bulan tabel rekapitulasi di olah sebagai data kedalam format laporan.

Laporan

berbentuk: Laporan Bulanan Konseling dan Tesing Sukarela

(Konseling dan TesS/VCT)

Validasi data laporan dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi untuk
memeriksa kebenaran data yang dilaporkan sebelum ditandatangani dan
dikirimkan

Analisa data dilakukan secara berkala oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
terhadap data yang diterima dari unit pelayanan. Analisa dilakukan dengan
membandingkan hasil pelayanan (capaian) terhadap target serta menjelaskan
alasannya.

Setiap bulan hasil layanan klinik se Propinsi dilaporkan ke Kementerian


Kesehatan dengan menggunakan format laporan

bulanan yang telah

ditentukan
Data yang diterima Kementrian Kesehatan /Subdit Aids Dan PMS dari Dinas
Kesehatan Provinsi dilakukan proses sebagai berikut :

Setiap bulan tabel rekapitulasi di olah sebagai data kedalam format laporan.

Laporan

berbentuk: Laporan Bulanan Konseling dan Tesing Sukarela

(Konseling dan TesS/VCT)

Validasi data laporan dilakukan oleh Subdit AIDS & PMS Kemenkes untuk
memeriksa kebenaran data yang dilaporkan

Analisa data dilakukan secara berkala oleh Subdit AIDS & PMS Kemenkes
terhadap data yang diterima dari unit pelayanan. Analisa dilakukan dengan
membandingkan hasil pelayanan (capaian) terhadap target serta menjelaskan
alasannya.

Setiap triwulan hasil layanan klinik se Indonesia dilaporkan ke Menteri


Kesehatan.

Umpan balik (feedback) : Subdit Aids Dan PMS melakukan umpan balik
secara berjenjang atas ketepatan dan kelengkapan laporan, hasil capaian,
analisa dan rekomendasi, serta memantau tindak lanjut dari rekomendasi
tersebut.

397

VIII. REFERENSI:
1. PEDOMAN NASIONAL MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM
PENGENDALIAN HIV dan AIDS, Ditjen P2 dan PL Kemenkes RI 2009
2. Pedoman Konseling dan Tes HIV , Ditjen P2 dan PL Kemenkes RI

PETUNJUK LATIHAN MATERI INTI 4


SISTEM PELAPORAN DATA LAYANAN KONSELING DAN TES HIV
TUJUAN
Peserta setelah mengikuti latihan ini mampu menjelaskan definisi dari setiap variable
dan mampu membuat laporan bulanan.
PERSIAPAN
Fasilitator:
Kegiatan dilakukan dengan melibatkan seluruh peserta
1.Fasilitator membagi peserta menjadi kelompok terdiri dari 5 orang setiap
kelompok
2.Fasilitator membagikan kepada masing-masing kelompok 1 set bahan latihan
yang terdiri dari formulir pelaporan yang masih kosong/ belum terisi dan
formulir klien yang sudah terisi
3.Fasilitator meminta kepada peserta untuk mengisi formulir pelaporan
berdasarkan formulir klien yang sudah terisi tersebut.
4.Fasilitator meminta wakil kelompok untuk mempresentasikan formulir
pelaporan yang telah diisi oleh kelompoknya
5.Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta kelompok lain untuk memberi
masukan / memberi komentar terhadap kelompok yang sedang presentasi.

398

LEMBAR LATIHAN
Penjelasan diskusi kelompok
1. Setiap kelompok mengisi formulir pelaporan yang masih kosong/ belum terisi
2. Setiap kelompok mempresentasikan formulir pelaporan yang telah diisi
sebagai hasil kerja kelompoknya

MATERI PENUNJANG I
3. MEMBANGUN KOMITMEN BELAJAR (BUILDING
LEARNING COMMITMENT)

h.

I. DESKRIPSI SINGKAT
Melakukan perkenalan dan pencairan suasana diantara peserta, fasilitator dan
panitia. Peserta, fasilitator dan panitia merumuskan kesepakatan tentang harapan
dan kekhawatiran peserta terhadap pelatihan, nilai, dan norma yang akan
disepakati bersama sebagai komitmen belajar dan aturan organisasi kelas. BLC
diterapkan untuk memfasilitasi perbedaan pendidikan, agama, sosial, budaya
serta suku bangsa peserta yang mengikuti pelatihan. Peserta, fasilitator dan
penyelenggara perlu membangun suatu kesepakatan agar proses belajar
berlangsung dalam suasana yang nyaman.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu:
1. Mengenal seluruh peserta, fasilitator dan panitia penyelenggara
2. Menjelaskan tujuan pelatihan yang diikutinya
3. Menguraikan harapannya dalam mengikuti pelatihan
4. Merumuskan kesepakatan tentang harapan dan kekhawatiran peserta terhadap
pelatihan, nilai, dan norma yang disepakati bersama sebagai komitmen
belajar.
5. Menetapkan aturan organisasi kelas.

399

III.

POKOK BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut :


1. Mengembangkan Suasana Pelatihan
2. Orientasi Pelatihan
3. Harapan Peserta
4. Norma dan aturan kelas

1. Mengembangkan Suasana Pelatihan


Mengingat bahwa setiap individu dalam suatu pelatihan berasal dari latar
belakang yang beranekaragam dari segi pendidikan, agama, sosial, budaya
serta suku bangsa maka dalam setiap pelatihan peserta, fasilitator dan
penyelenggara perlu membangun suatu kesepakatan agar proses belajar
berlangsung dalam suasana yang nyaman. Kegiatan pertama adalah
perkenalan. Peserta, fasilitator, dan penyelenggara saling berkenalan di
kelas besar dan dilanjutkan di kelas kecil. Proses ini akan diawali dengan
permainan untuk mencairkan situasi kelas agar berlangsung dalam suasana
belajar yang nyaman dan akrab
2. Orientasi Pelatihan
Orientasi pelatihan merupakan proses penjelasan pelatihan VCT yang
akan diikuti oleh seluruh peserta pelatihan. Fasilitator akan menjelaskan
orientasi maupun tujuan pembelajaran di dalam kelas besar dan kelas
kecil. Di dalam kelas kecil, peserta akan menyusun dan menyepakati
norma atau aturan selama pelatihan. Fasilitator memulai dengan
pembagian

tugas

pengorganisasian

selama

pelatihan.

Selanjutnya

fasilitator akan merumusan kesepakatan tentang harapan dan kekhawatiran


peserta terhadap pelatihan, nilai, dan norma yang disepakati bersama
sebagai komitmen belajar dan penetapan organisasi kelas.
Fasilitator akan menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya pelatihan
dan jadual pelatihan kepada seluruh peserta latih. Dalam hal ini fasilitator

400

juga menjelaskan beberapa kebijakan berkaitan dengan pelatihan antara


lain semua peserta diwajibkan berperan aktif dalam pelatihan dan
mengikuti pelatihan secara penuh. Fasilitator juga akan mendiskusikan
dampak bagi peserta yang tidak mampu mengikuti pelatihan secara penuh
yaitu ia akan tertinggal dan mengalami kesulitan untuk mengikuti sesi.
Dampak lainnya adalah jalannya proses pelatihan akan terganggu dengan
keluar masuknya peserta. Fasilitator menegaskan bahwa sertifikat hanya
diberikan kepada peserta yang mengikuti penuh pelatihan dan mencapai
nilai tes pasca pelatihan sekurangnya 60.
Fasilitator menjelaskan bahwa ada beberapa pembahasan sensitif terkait
orientasi seks, isu gender, Napza, infeksi menular seksual, isu seksualitas
dan status HIV. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman
dan jika ini terjadi peserta boleh mendiskusikan dengan fasilitator. Semua
hal yang dibahas perlu dijaga kerahasiaannya.
Semua peserta perlu menghargai perbedaan individual, karena peserta
datang dari latar belakang yang berbeda baik suku, agama, gaya hidup,
keyakinan, pengalaman pribadi dan keahlian. Penting mendengarkan
dengan empati dan menghargai kontribusi, opini, pengalaman peserta
lainnya.
Peserta dapat menggunakan kotak pertanyaan untuk mengajukan
pertanyaan secara tertulis. Peserta mengisi formulir evaluasi pada setiap
akhir sesi. Formulir yang telah diisi, dikumpulkan dalam kotak evaluasi.
Evaluasi akan membantu perbaikan kinerja pelatihan. Istirahat atau waktu
rehat harus diperhitungkan dengan cermat untuk tidak menyita waktu
pelatihan.
3. HarapanPeserta
Fasilitator akan

memfasilitasi

kegiatan

curah

pendapat

tentang

kebutuhan/harapan peserta yang akan diperoleh selama pelatihan serta halhal apa saja yang menjadi kehawatirannya. Fasilitator kemudian
menegaskan hal-hal yang dicakup dan tidak dicakup dalam pelatihan serta
mencocokkannya dengan harapan dan kebutuhan peserta.
4. Norma dan Aturan Kelas
Demi tercapainya suasana belajar yang nyaman, fasilitator memfasilitasi
curah pendapat tentang aturan main selama pelatihan berlangsung.Aturan
main kelas berisi hal-hal yang oleh dan tidak boleh dilakukan selama
pelatihan.Biasanya aturan main kelas berisikan hal mengenai ketepatan
waktu (mulai dan berakhir), terlambat menghadiri sesi, sibuk dengan HP,
menjaga kebersihan kelas, tidak merokok, tidak mengganggu peserta lain,
401

tidak menghargai sesame peserta dan sebagainya. Di samping itu juga


ditetapkan sanksi apa yang akan diberikan bila peraturan kelas dilanggar.
Aturan kelas kemudian disepakati bersama, diberlakukan bagi peserta dan
fasilitator maupun panitia dan dipasang di papan tulis/dinding kelas.
Selanjutnya dalam rangka memperlancar dan membuat proses pelatihan
efektif,

fasilitator

mendiskusikan

dengan

peserta

mengenai

pengorganisasian kegiatan dalam kelas. Seorang ketua kelas bila dirasakan


perlu dipilih dan bertuga suntuk menjadi penghubung antara peserta
dengan panitia maupun peserta berkaitan dengan kegiatan-kegiatan selama
pelatihan. Sebuah kota pertanyaan dan saran akan disediakan bagi peserta
yang merasa tidak nyaman bertanya dihadapan peserta lainnya atau untuk
menghemat waktu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab/dibahas
pada waktu yang luang atau pada suatu sesi tertentu bila berkaitan dengan
materi sesi tersebut. Pada awal pelatihan, fasilitator mengadakan tes
sebelum pelatihan dan pada akhir pelatihan. Pada akhir pelatihan
dilakukan evaluasi tentang penyelenggaraan pelatihan.

402

I.

DESKRIPSI SINGKAT
Menjelaskan secara singkat tentang Komunikasi Efektif, setelah mengikuti
penjelasan ini sebagai coordinator Jaminan Pelaksana

akan mampu

memahami Konsep Komunikasi, Komunikasi dengan pendekatan Neuro


Languistic Programming/NLP, memahami dan komunikasi Asertif. Penjelasan
tentang 3 (tiga) pilar komunikasi merupakan dasar dalam melakukan segala
bentuk komunikasi. Komunikasi merupakan tindakan untuk mengekspresikan
ide, perasaan dan memberikan informasi kepada orang lain.

II.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mengikuti penjelasan materi ini peserta mampu menerapkan

komunikasi efektif.

III.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah mengikuti penjelasan materi ini, peserta mampu :
1. Memahami konsep komunikasi

403

2. Menerapkan

komunikasi

dengan

pendekatan

Neuro

Languistic

Programming/NLP
3. Menerapkan komunikasi asertif

IV.

POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan untuk
semua jenjang sebagai berikut :
1. Konsep komunikasi
2. Komunikasi dengan pendekatan Neuro Languistic Programming/NLP
3. Menerapkan komunikasi asertif

V.

LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Berikut disampaikan langkah-langkah kegiatan dalam proses pembelajaran
materi ini.
Langkah 1. Pengkondisian
Langkah pembelajaran :
1. Fasilitator memperkenalkan diri, kemudian menyampaikan tujuan
pembelajaran serta waktu yang tersedia untuk materi ini.
2. Fasilitator menggali pendapat peserta mengenai modul/materi yang
diperlukan

dalam

pelatihan.

Peserta

diberi

kesempatan

untuk

menyampaikan pendapat, pengetahuan dan pengalamannya mengenai


permasalahan jabfung Widyaiswara
3. Fasilitator memandu peserta untuk menanggapi sehingga terjadi interaksi
yang dinamis antara fasilitator dengan peserta dan peserta dengan peserta.
Langkah 2. Penyampaian Materi
Langkah pembelajaran :
1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta mengenai pokok bahasan 1.
Fasilitator memberi kesempatan pada peserta untuk saling berbagi
pengalaman dengan peserta lainnya.
2. Fasilitator menyampaikan penjelasan mengenai, komunikasi, unsur-unsur
dalam komunikasi, bagaimana menerapkan komunikasi efektif Fasilitator

404

memberikan kesempatan pada peserta untuk menyampaikan pengalaman


berkomunikasi/miskomunikasi.
Langkah 3 : Penyampaian Materi
Langkah pembelajaran :
1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta mengenai pokok bahasan 2
tentang komunikasi dengan pendekatan NLP. Fasilitator memberi
kesempatan pada peserta untuk saling berbagi pengalaman dengan peserta
lainnya.
2. Fasilitator menyampaikan penjelasan mengenai, komunikasi dengan
pendekatan NLP, dimulai dengan penjelasan

tentang NLP, Pacing-

Leading, sistem representasi, tiga pilar komunikasi, public speaking.


Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk menyampaikan
pengalaman berkomunikasi dengan pendekatan NLP
3. Peserta mengisi instrumen sistem representasi asertif.

Langkah 4: Penyampaian Materi


Langkah pembelajaran :
1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta mengenai pokok bahasan 3
tentang penerapan komunikasi asertif. Fasilitator memberi kesempatan
pada peserta untuk saling berbagi pengalaman dengan peserta lainnya.
2. Fasilitator menyampaikan penjelasan mengenai, komunikasi asertif
Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk menyampaikan
pengalaman berkomunikasi asertif .
Langkah 5: Rangkuman dan Kesimpulan
Langkah pembelajaran :
1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta
terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran.
405

2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan.


3. Fasilitator membuat kesimpulan.

URAIAN MATERI
Pokok bahasan 1 : Konsep Komunikasi
A. Pengertian Komunikasi
Apakah Komunikasi itu?
Definisi yang paling sederhana, komunikasi berarti proses penyampaian suatu
pernyataan oleh seseorang kepada orang lain (Ruben dan Steward, 1996:16).
Beberapa ahli mendefinisikan komunikasi sebagai berikut:
John R. Wenburg dan William William Willmot: Komunikasi adalah suatu
usaha memperoleh makna
Steward L Tubbs dan Sylvia Moss: Komunikasi adalah proses pembentukan
makna di antara dua orang atau lebih.
Donald Byker dan Loren J. Anderson: Komunikasi (manusia) adalah berbagi
informasi antara dua orang atau lebih.
Para ahli tersebut mendefinisikan komunikasi sebagai proses, karena
komunikasi merupakan kegiatan yang ditandai dengan tindakan, perubahan,
pertukaran dan perpindahan.
Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan dasar
berkomunikasi bagi seorang pengendali diklat adalah :
1. Mampu saling memahami kelebihan dan kekurangan individu
2. Mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaan
3. Mampu saling menerima, menolong, dan mendukung
4. Mampu mengatasi konflik yang terjadi dalam komunikasi
5. Saling menghargai dan menghormati.
6. Mampu berkomunikasi dengan peserta, fasilitator dan penyelenggara.

B. Unsur-unsur komunikasi

406

Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa?


mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil
apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what effect?).
(Lasswell 1960).
Berdasarkan definisi tersebut di atas, terdapat 5 (lima) unsur yang harus ada
dalam komunikasi, yaitu :
1. Komunikator (Siapa yang menyampaikan/ mengatakan).
Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai
kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi, bisa
seorang individu, kelompok, organisasi, maupun suatu negara sebagai
komunikator.
2. Pesan (Menyampaikan/mengatakan apa).
Apa

yang

akan

disampaikan/dikomunikasikan

kepada

penerima

(komunikan), dari sumber (komunikator) atau isi informasi. Merupakan


seperangkat symbol verbal/non verbal yang mewakili perasaan, nilai,
gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 (tiga) komponen pesan yaitu makna,
simbol untuk menyampaikan makna, dan bentuk/organisasi pesan.
3. Media (Melalui saluran/Channel/Media apa).
Wahana/alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator (sumber)
kepada komunikan (penerima) baik secara langsung (tatap muka), maupun
tidak langsung (melalui media cetak/elektronik dll).
4. Komunikan (Kepada siapa pesan ditujukan)
Orang/kelompok/organisasi/suatu negara yang menerima pesan dari
sumber disebut tujuan (destination), pendengar (listener), khalayak
(audience), komunikan, /penafsir /penyandi balik (decoder).
5. Efek (Apa dampak/Efek yang ditimbulkannya).
Dampak/efek yang terjadi pada komunikan (penerima) setelah menerima
pesan dari sumber,seperti perubahan sikap, bertambahnya pengetahuan, dll.

407

Dalam proses komunikasi ada tiga unsur yang mutlak harus dipenuhi karena
merupakan suatu bentuk kesatuan yang utuh dan bulat. Bila salah satu unsur
tidak ada, maka komunikasi tidak akan pernah terjadi. Dengan demikian,
setiap unsure dalam komunikasi itu memiliki hubungan yang sangat erat dan
saling ketergantungan satu dengan lainnya. Artinya, keberhasilan komunikasi
ditentukan oleh semua unsur tersebut .

Unsur unsur komunikasi yaitu :


1. Komunikator/pengirim/sender.
Merupakan orang yang menyampaikan isi pernyataannya kepada
komunikan. Komunikator bias tunggal, kelompok, atau organisasi pengirim
berita. Komunikator bertanggung jawab dalam hal mengirim berita dengan
jelas, memilih media yang cocok untuk menyampaikan pesan tersebut, dan
meminta kejelasan apakah pesan telah diterima dengan baik. Untuk itu,
seorang komunikator dalam menyampaikan pesan atau informasi harus
memperhatikan dengan siapa dia berkomunikasi, apa yang akan
disampaikan, dan bagaimana cara menyampaikannya.
2. Komunikan/penerima/receiver.
Merupakan

penerima

pesan

atau

berita

yang

disampaikan

oleh

komunikator. Dalam proses komunikasi, penerima pesan bertanggungjawab


untuk dapat mengerti isi pesan yang disampaikan dengan baik dan benar.
Penerima pesan juga memberikan umpanbalik kepada pengirim pesan
untuk memastikan bahwa pesan telah diterima dan dimengerti secara
sempurna.
3. Saluran/media/channel .
Merupakan saluran atau jalan yang dilalui oleh isi pernyataan komunikator
kepada komunikan dan sebaliknya. Pesan dapat berupa kata-kata atau
tulisan, tiruan, gambaran atau perantara lain yang dapat digunakan untuk
mengirim melalui berbagai channel yang berbeda seperti telepon, televisi,
fax, photo copy, email, sandimorse, semaphore, sms, dan sebagainya .
Pemilihan channel dalam proses komunikasi tergantung pada sifat berita
yang akan disampaikan (Wursanto , 1994 ).

408

C. Komunikasi Yang Efektif


1.

Konsep Komunikasi Efektif


Komunikasi efektif bagi pengelola merupakan keterampilan penting karena
perencanaan, pengorganisasian, dan fungsi pengendalian dapat berjalan
hanya melalui aktivitas komunikasi. Dalam beberapa situasi di dalam
organisasi, kadangkala muncul sebuah pernyataan di antara anggota
organisasi, apa yang kita dapat adalah kegagalan komunikasi. Pernyataan
tersebut mempunyai arti bagi masing-masing anggota organisasi, dan
menjelaskan bahwa yang menjadi masalah dasar adalah komunikasi,
karena kemacetan atau kegagalan komunikasi dapat terjadi antar pribadi,
antar pribadi dalam kelompok, atau antar kelompok dalam organisasi.
Agar komunikasi dapat berjalan dengan efektif, ke 5 (lima) unsur
komunikasi di atas harus dipenuhi dengan jelas.
Pertanyaan Siapa mengatakan apa, kepada siapa, melalui media apa dan
dengan harapan menimbulkan efek yang bagaimana harus dapat dijawab
oleh seorang komunikator dalam mendesain rencana komunikasinya,
Dalam komunikasi perlu dipahami secara baik unsur-unsur yang ada mulai
dari komunikator, pesan, media, komunikan dan effek. Beberapa istilah
yang penting terkait hal tersebut diatas adalah Information over flow,
Information filter processing, dapat dijelaskan sbb:
Information over flow
Dengan semakin berkembangnya tehnologi, seorang komunikator yang
baik harus dapat menjawab tantangan dari berkelimpahan informasi
(Information over flow). Beragam jenis pesan dikirimkan dengan berbagai
jenis media pada saat yang hampir bersamaan, sehingga terlalu banyak
informasi yang diterima. Seseorang dalam satu waktu menerima orang di
sekitarnya, SMS, telepon/ponsel, e-mail, Iklan/berita radio, iklan/berita TV,
poster banner, leaflet yang disebarkan di jalan.
Information filter processing
Dengan banyaknya informasi yang masuk dalam satu waktu yang
bersamaan seperti yang diuraikan di atas menyebabkan seseorang secara
otomatis melakukan Information filter processing (pembatasan informasi

409

yang masuk). Secara disadari atau tidak disadari manusia, kemudian


membatasi informasi yang masuk ke dalam dirinya, berdasarkan :
a. Kepentingan dan kebutuhan
b. Minat dan ketertarikan
Dengan adanya Information over flow dan dengan didasari oleh
kepentingan dan kebutuhan serta minat dan ketertarikan informasi, secara
otomatis terjadi Information filter processing.
Oleh karena itu seorang komunikator dituntut semakin pintar dan kreatif
dalam menyampaikan informasinya agar informasi itu mendapatkan efek
yang diharapkan.
Artinya, komunikasi akan menjadi efektif apabila pesan yang disampaikan
oleh komunikator sesuai/ selaras dengan kepentingan dan kebutuhannya
serta menarik minat/ketertarikannya atas berita/pesan tersebut dan tentunya
diharapkan akan mendapatkan efek yang diharapkan.
Bila anda mencoba untuk terhubung dengan lingkungan orang-orang yang
lebih besar, anda perlu menjawab 5 pertanyaan dibawah ini :
a. Apakah anda menemukan kesamaan antara anda dengan lawan
komunikasi anda.
b. Apakah anda membuat mereka merasa nyaman?
c. Apakah anda membuat mereka merasa dimengerti ?
d. Apakah hubungan anda dengan jelas di definisikan
e. Apakah mereka merasakan emosi yang positif akibat berinteraksi
dengan anda?
1. Teknik Komunikasi Efektif
Dalam melakukan komunikasi efektif ada 14 (empat belas) point Tehnik
Komunikasi Efektif yang dapat diterapkan :

a. Berikan kesan bahwa anda antusias berbicara dgn mereka.


Ketika anda memberi mereka kesan bahwa anda sangat antusias
berbicara dengan mereka dan bahwa anda peduli kepada mereka, anda
membuat perasaan mereka lebih positif dan percaya diri. Mereka akan

410

lebih terbuka kepada anda dan sangat mungkin memiliki percakapan


yang mendalam dengan anda.
b. Ajukan pertanyaan tentang minat mereka.
Ajukan pertanyaan terbuka yang akan membuat mereka berbicara
tentang minat dan kehidupan mereka. Galilah sedetail mungkin
sehingga akan membantu mereka memperoleh perspektif baru tentang
diri mereka sendiri dan tujuan hidup mereka.
c. Beradaptasi dengan bahasa tubuh dan perasaan mereka
Rasakan bagaimana perasaan mereka pada saat ini dengan mengamati
bahasa tubuh dan nada suara. Dari sudut pandang ini, anda dapat
menyesuaikan kata-kata, bahasa tubuh, dan nada suara anda sehingga
mereka akan merespon lebih positif.
Salah satu cara terbaik untuk segera berhubungan dengan orang adalah
dengan menjadi jujur dan memberitahu mereka mengapa anda
menyukai atau mengagumi mereka. Jika menyatakan secara langsung
dirasakan kurang tepat, cobalah dengan pernyataan tidak langsung.
Kedua pendekatan tersebut bisa sama-sama efektif.
d. Tunjukkan rasa persetujuan: katakan pada mereka apa yg mereka
kagumi tentang mereka dan mengapa.
Salah satu cara terbaik untuk segera berhubungan dengan orang adalah
dengan menjadi jujur dan memberitahu mereka mengapa anda
menyukai atau mengagumi mereka.
e. Dengarkan dengan penuh perhatian apa yang mereka katakan
Jangan terlalu berfokus pada apa yang akan Anda katakan selanjutnya
selagi mereka berbicara. Sebaliknya, dengarkan setiap kata yang
mereka katakan dan responlah serelevan mungkin.
f. Berikan kontak mata yang lama
g. Kontak mata yang kuat mengkomunikasikan kepada orang lain bahwa
anda tidak hanya terpikat oleh mereka dan apa yang mereka katakan
tetapi juga menunjukkan bahwa anda dapat dipercaya
h. Ungkapkan diri anda sebanyak mungkin
i. Berikan kesan bahwa anda berdua berada dalam tim yang sama
j. Berikan senyuman terbaik anda.
k. Menawarkan saran yang bermanfaat
l. Beri mereka motivasi
m. Tampil dengan energi sedikit lebih tinggi dibanding orang lain.
n. Sebut nama mereka dengan cara yang menyenangkan ditelinganya
o. Tawarkan untuk menjalani hubungan selangkah lebih maju
Dengan kata lain bahwa masalah komunikasi dalam organisasi adalah
apakah anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan baik atau tidak
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing ?
Evaluasi :

411

1. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi


2. Jelaskan unsur-unsur komunikasi

412

Pokok bahasan 2: Komunikasi dengan Pendekatan Neuro Languistic


programming/NLP
A.

Komunikasi dengan pendekatan NLP


Dari semua pengetahuan dan ketrampilan yang anda miliki, pengetahuan dan
ketrampilan yang menyangkut komunikasi termasuk diantara yang paling penting
dan berguna. Melalui komunikasi intrapribadi anda berbicara dengan diri
sendiri, mengenal diri sendiri, mengevaluasi diri sendiri, meyakinkan diri sendiri
tentang ini dan itu, mempertimbangkan keputusankeputusan yang akan diambil,
dan menyiapkan pesanpesan yang akan anda sampaikan kepada orang lain.
Melalui komunikasi antarpribadi anda berinteraksi dengan orang lain, mengenal
mereka dan diri anda sendiri, dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang lain.
Apakah dengan kenalan baru, kawan lama, kekasih, atau anggota keluarga,
melalui komunikasi antar pribadilah anda membina, memelihara, kadangkadang
merusak (dan adakalanya memperbaiki) hubungan pribadi anda.
Melalui komunikasi kelompok kecil dan organisasi anda berinteraksi dengan
orang lain. Anda memecahkan masalah, mengembangkan gagasan baru, dan
berbagi pengetahuan dan pengalaman. Kehidupan kerja dan social anda sebagian
besar anda jalani dalam kelompok. Dari wawancara ketika melamar pekerjaan
sampai ke rapat dewan eksekutif, dari pertemuan minum kopi informal sampai ke
pertemuan formal yang membahas masalah masalah internasional, anda
berinteraksi dalam kelompok kecil. Melalui komunikasi terbuka, orang lain
member anda informasi dan membujuk anda, dan sebaliknya anda memberikan
informasi dan meyakinkan orang lain untuk melakukan sesuatu, untuk membeli,
untuk berpikir dengan cara tertentu, atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau
nilai.
Melalui komunikasi antarbudaya anda mengenal budayabudaya lain serta
kehidupan di lingkungan kebiasaan, peran, dan aturan aturan yang berbeda.
Barangkali yang paling penting, anda menjadi semakin memahami caracara
berpikir yang baru dan caracara berperilaku yang baru. Kerjasama antarbudaya
dimulai dengan pengertian bersama. Melalui komunikasi masa anda dihibur,
diberi informasi, dan dibujuk oleh mediabioskop, televise, radio, koran, dan
buku.

413

B.

Tiga Pilar Komunikasi


Percayakah Anda, bahwa komunikasi bukan hanya rangkaian kata? Kata dan
kalimat yang kita ucapkan justru hanya bagian kecil dari ekspresi kita sebagai
manusia.
Riset menunjukkan, dalam komunikasi tatap muka atau presentasi didepan
banyak orang ternyata menurut Mehrabion :
1. 55% kesan ditentukan oleh sikap tubuh (body language) Anda, ekspresi
wajah gerakan

badan dan kontak mata.

2. 38% ditentukan oleh intonasi suara (voice tone) Anda, kalimat yang sama
disampaikan dengan tone berbeda akan member arti (meaning) yang
berbeda.
3. 7% ditentukan oleh isi pesan (content) yang Anda ucapkan, dengan
perkataan lain sebagus apapun anda merangkai kata hanya akan member
efek 7% daalam komunikasi yang dilakukan.
Contoh :
Anda pernah mendengar pujian dari seseorang, yang meskipun katakatanya
manis, raut wajahnya sinis, sehingga anda merasa bahwa orang itu hanya basa
basi ? Mana yang lebih anda percayai: kalimatnya atau ekspresi wajahnya ?
Jadi komunikasi bukan hanya apa yang kita sampaikan, tetapi juga bagaimana
kita menyampaikannya. Ternyata menurut penelitian Mehrabion, cara kita
menyampaikannya jauh lebih berpengaruh daripada isi komunikasi itu sendiri.
Perselisihan antar orang semakin lama semakin sering terjadi. Dari mulai
operator telepon dengan prospek pelanggan, dendam anak terhadap orang tuanya,
sampai pada konflik kekeras kepalaan antar dua kepala negara yang berakhir
dengan perang berkepanjangan. Komunikasi yang uruk dapat berakhir dengan
pertikaian dan kebencian tetapi komunikai yang tepat dapat menggerakkan
seseorang pada potensi maksimalnya.

414

The meaning of the communication is the response that you get


C.

Pacing-Leading
Apa sebenarnya komunikasi? tepatnya, bagaimana cara kita berkomunikasi, agar
lawan bicara kita menangkap pesan kita lebih utuh?
Menurut NLP (Neuro Linguistic Programming) yang diajarkan Richard Bandler
penciptanya, ada dua hal yang harus kita pahami dalam komunikasi. Tujuan kita
berkomunikasi pada dasarnya membangun kepercayaan. Kalau kita sudah
percaya lawan bicara, selanjutnya komunikasi berjalan jauh lebih mudah.
Kalau kita membuka restoran dan pelanggan sudah percaya pada kita,
selanjutnya mereka menyukai kita dan kita lebih mudah menjual produk yang
kita hasilkan. Namun, dari mana datangnya suka pelanggan pada kita ? dari
kesamaan. Ambil contoh, bila ada tiga took yang menjual barang yang kualitas,
harga dan warnanya sama, mengapa anda cenderung membeli di salah toko
tersebut, apa yang mendorong anda membeli ditoko tersebut ? produknya atau
penjualnya ? jawabannya ialah penjualnya karena produknya sama. Dengan kata
lain, kalu produknya sama persis, pertimbangan orang membeli karena
menyukai penjualnya. Bila kita orang Indonesia dan kebetulan tidak mampu
berbahasa Inggris, mana yang lebih kita sukai berbicara dengan orang Inggris,
Australia atau Malaysia ? tentu saja orang Malaysia alasannya ada kesamaan
bahasa dan rumpun.
Contoh lain adalah tentang si Anak Emas ,mengapa ada istilah atau sebutan
Anak Emas yang diberikan samasama staf dilingkungan organisasi? di unit
manapun setiap petugas sudah mempunyai tugas dan fungsi yang jelas, kalau

415

begitu apa yang membedakan kualitas dari individu tersebut? Jawabannya, cara
berkomunikasi vertical atau horizontal terutama pada atasan yang bersangkutan.
Jadi, mengapa seseorang menyukai orang lain, kata kuncinya : Kesamaan.
Kesamaan dalam hal apa saja ? ingat, tiga kanal komunikasi ialah Kata
(Content/Isi Pembicaraan), Intonasi Suara (Voice Tone), dan fisiologis (Body
Language). Gunakan kata yang sama dengan lawan bicara kita misalnya lawan
bicara kita orang Sunda dan bila mampu berbahasa Sunda orang itu tentu lebih
menyukai. Kalau dia berdiri, usahakan kita juga dengan sopan berdiri. Kesamaan
tiga hal ini : Kata, Suara, dan Sikap Tubuh akan menimbulkan kesan yang baik
dan akhirnya timbul kepercayaan (Trust) orang itu kepada kita.
Dalam NLP, menyamakan ketiga hal diatas disebut dengan Passing, yang bias
diterjemahkan dengan longgar berarti: Memahami, Mengerti, Menyamakan atau
Menyesuaikan. Setelah timbuk keakraban (rapport) dan kepercayaan (trust)
barulah kita leading (mengarahkan kearah komunikasi yang kita inginkan).
Passing dan Leading inilah kunci komunikasi alami yang kita butuhkan dalam
keseharian kita.
Contoh:
Kadang orang tua terlalu cepat Leading tanpa mau Passing terlebih dahulu,
sehingga meski tujuannya baik caranya salah dan timbul keributan. Juga sebagi
pemimpin, Leader bertugas Leading. Namun, Leader yang baik dipercaya ialah
yang memahami (Passing) anak buah terlebih dahulu. Sama halnya ketika anda
berbicara dengan staf anda, tapi anda menggunakan kata dan kalimat yang
banyak istilah rumit, dan staf anda tidak memahami. Siapa yang salah ? staf anda
bodoh, atau anda yang tidak efektif karena tidak mau Passing (memahami)
keterbatasan dunia staf anda ?
Sekarang, alangkah indahnya dinegeri kita bila orang tua mau Passing lebih dulu
pada anakanaknya sebelum Leading kearah yang produktif dan bermanfaat.
Alangkah enaknya bila para bos dikantor mau Passing (katakata, intonasi dan
visiologis) pada anak buahnya, sebelum Leading mereka kearah visi dan misi
organisasi. Dan terakhir alangkah nikmatnya kita sebagi warga negara, apabila
para Elite (legislatif, eksekutif dan yudikatif) kita mau memahami harapan,
problem dan kesengsaraan rakyatnya.

416

Membangun Kepercayaan (Creating Trust)

Kata Kata (Isi)

Mutu Suara

Rapport (Keakraban)
Trust (Kepercayaan

Fisiologis

Leading (Mengarahkan)
Pacing (Menyesuaikan)

D.

Sistem Representasi (Representational Systems)


Apa itu sistem representasi ?
Karena dalam NLP (Neuro Linguistic Programming) kita lebih peduli bagaimana
orang merepresentasikan pengalaman subyektifnya (pengalaman indrawi) bukan
sensasi fisiologisnya, maka kita menyebut sistem visual, auditori, kinestetik dan
penciuman serta pengecapan sebagai sistem representasi. Umumnya orang
memiliki sistem representasi yang lebih disukai masingmasing atau setiap orang
berbedabeda sistem representasi yang disukainya (preference system)
Suatu sistem yang disukai seseorang hanyalah sebuah generalisasi atau
penyamarataan dari orang itu. Untuk seseorang, pada kejadian tertentu, sebuah
sistem akan mengambilalih sistem yang disukainya.
Mendeteksi sistem representasi
Bagaimana cara mengetahui sistem representasi, representasi mana yang sedang
digunakan seseorang? ada sekumpulan kata yang disebut sebagai predikat

417

(umumnya kata kerja, kata keterangan dan kata sifat), yang beberapa diantaranya
merefleksikan modalitas indrawi tertentu. Misalnya: saya dapat mengamatinya,
atau saya dapat mendengarnya, atau saya dapat menangkapnya.
Predikat dalam ketiga kalimat tersebut yakni mengamati, mendengar dan
menangkap, menunjukkan sistem representasi visual, auditori dan kinestetik.
Ketiga kalimat itu menunjukkan arti yang lebih kurang sama, yakni : saya tahu.
Kalimat itu merepresentasikan pengalaman subjektif yang berbeda terlepas dari
bagaimana tahu itu diperoleh. Orang pada kalimat pertama tahu dari gambaran,
orang pada kalimat kedua tahu dari suara dan yang ketiga dari perasaannya.
Cara mendeteksi sistem representasi seseorang biasanya melalui gaya
penuturannya, sbb:
1. Seseorang yang menceritakan detail dengan memberikan gambaran dan
warna-warna, maka sistem representasi cenderung VISUAL. Tipe visual lebih
peduli pada apa yang mereka lihat. Individu yang mempunyai tipe ini suka
menyela pembicaraan orang lain,bergerak cepat,makan cepat,penuh energi dan
berbicara dengan nada tinggi,mereka juga cepat mengambil keputusan.
Berkomunikasi

dengan

tipe

visual

ini,kita

harus

memvisualisasikan

keadaan,buat mereka melihat apa yang kita katakan,tandingi energi mereka.


2. Seseorang yang menceritakan detail dengan suara-suara dan bunyi, maka
sistem representasi cenderung AUDITORI. Tipe auditori lebih peduli pada apa
yang mereka dengar. Individu yang dengan tipe auditori banyak mendengar,
berbicara dan membuat keputusan berdasarkan analisis yang teliti.
Berkomunikasi dengan tipe Auditori, kita harus berbicara pelan dan
teratur,ubah-ubah warna suara. Jelaskan situasinya dengan detail dan picu
diskusi lebih lanjut dengan mengajukan pertanyaan.
3. Seseorang yang menceritakan dengan emosi yang melanda, lebih banyak
bercerita tentang perasaan-perasaan maka sistem representasi cenderung
KINESTETIK atau emosional. Tipe kinestetik lebih peduli pada apa yang
mereka rasakan. Tipe dengan dominasi kinestetik cenderung bernafas dalam
dan tenang, mereka lebih mengutamakan perasaan dan emosi. Berkomunikasi
dengan tipe kinestetik kita harus membuat mereka merasakan apa yang kita
katakan.

418

Latihan
Untuk menemukan sistem representasi kita, anda bisa mencoba melakukan
latihan dengan instrumen 1. (terlampir).

Pokok Bahasan 3 : Komunikasi asertif


Pemimpin dengan tipe asertif lebih mengedepankan kesamaan yang dimiliki oleh
semua orang. Mereka lebih menerapkan sifat inklusif dan akomodatif dari pada
eksklusif. Pada umumnya, mereka memiliki karakter sebagai berikut :
1.

Moto dan Kepercayaan


a.

Yakin bahwa diri sendiri berharga demikian juga orang lain.

b.

Asertif bukan berarti selalu menang, melainkan dapat menangani


situasi secara efektif.

c.
2.

"Aku punya hak. Demikian juga orang lain."


Pola Komunikasi

a.

Efektif, pendengar yang aktif.

b.

Menetapkan batasan dan harapan.

c.

Mengatakan pendapat sebagai hasil observasi bukan penilaian.

d.

Mengungkapkan diri secara langsung dan jujur.

e.

Memperhatikan perasaan orang lain.

3.

Karakteristik
a.

Tidak menghakimi.

b.

Mengamati sikap daripada menilainya.

c.

Mempercayai diri sendiri dan orang lain.

d.

Percaya diri.

e.

Memiliki kesadaran diri.

f.

Terbuka, fleksibel dan akomodatif.

g.

Selera humor yang baik.

h.

Mantap.

i.

Proaktif dan Inisiatif.


419

j.

Berorientasi pada tindakan.

k.

Realistis dengan cita-cita mereka.

l.

Konsisten.

m.

Melakukan tindakan yang sesuai untuk mencapai tujuan tanpa


melanggar hak-hak orang lain.

4.

Isyarat Bahasa Tubuh (Non-Verbal cues)


a.

Terbuka dan gerak-gerik alami.

b.

Atentif, ekspresi wajah yang menarik.

c.

Kontak mata langsung.

d.

Percaya diri.

e.

Volume suara yang sesuai.

f.

Kecepatan bicara yang beragam.

5.

Isyarat Bahasa (Verbal cues)


a.

"Aku memilih untuk .... ."

b.

"Apa opsi-opsi untukku ?"

c.

"Alternatif apa yang kita miliki?"

6.

Konfrontasi dan Pemecahan Masalah


a.

Bernegosiasi, menawar, menukar dan kompromi.

b.

Mengkonfrontir masalah pada saat terjadi.

c.

Tidak ada perasaan negatif yang muncul.

7.

Perasaan yang dimiliki


a.

Antusiame.

b.

Mantap.

c.

Rasa percaya diri dan harkat diri.

d.

Terus termotivasi.

e.

Tahu dimana mereka berdiri.

Jelas saat ini bahwa tipe asertif inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang.
Namun, ingatlah bahwa tidak ada seseorang yang memiliki karakter ini secara
sempurna. Artinya, dalam diri setiap orang pasti ada yang namanya sikap agresif,
pasif dan asertif.
Permasalahannya hanya pada porsi yang mendominasinya.

420

Gaya Komunikasi dengan Orang Asertif


Orang-orang asertif yang sangat akomodatif dan inklusif

tentu memerlukan

pendekatan yang tidak sama dengan orang-orang yang berkarakter agresif dan pasif.
Mereka lebih menyukai hal-hal yang tidak berat sebelah, yang mencakup ke dua
belah pihak. Hal ini diutamakan untuk mendapatkan keputusan yang lebih
komprehensif.
Dengan demikian, pendekatan yang harus dilakukan terhadap orang-orang dengan
karakter asertif ini adalah :
1.

Hargai mereka dengan mengatakan bahwa pandangan yang akan kita


sampaikan barangkali telah pernah dimiliki oleh mereka sebelumnya.

2.

Sampaikan topik dengan rinci dan jelas karena mereka adalah pendengar yang
baik.

3.

Jangan membicarakan sesuatu yang bersifat penghakiman karena mereka


adalah orang yang sangat menghargai setiap pendapat orang lain.

4.

Berikan mereka kesempatan untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran


dengan tenang dan runtun.

5.

Gunakan intonasi suara variatif karena mereka menyukai hal ini

6.

Berikan beberapa alternatif jika menawarkan sesuatu karena mereka tidak


suka sesuatu yang bersifat kaku.

7.

Berbicaralah dengan penuh percaya diri agar dapat mengimbangi mereka.


Dengan berpedoman pada hal-hal sederhana di atas, kemungkinan besar
komunikasi dengan orang asertif akan dapat dilangsungkan relatif lebih lama dan
terarah.
Mereka sangat menghargai kebersamaan dan kemampuan yang dimiliki oleh
setiap manusia. Jangan pancing mereka untuk membicarakan sesuatu yang tidak
fair. Misalnya, membicarakan seseorang yang tidak ada di tempat. Atau
membicarakan sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya. Mereka sangat cinta damai
namun tegas terhadap apa yang telah disepakati bersama. Tidak boleh main-main
dengan mereka untuk urusan ini. Mereka sangat serius dan tegas.

Public Speaking
Keberanian pembicara public modern

421

Pembicara Publik Modern umumnya memiliki 5 (lima) karakter, yaitu :


1.

Hasrat (passion).

2.

Energi

3.

Percaya diri

4.

Kemampuan untuk merasakan


kenikmatan saat tampil

5.

Kemampuan

untuk

berbagi

antusiame bersama audiens.

Public Speaking Tips :


1. Public Speaking bukan hanya milik selebriti, Publicspeaking adalah milik
semua orang.
2. Modal dasar public Speaking bukan hanya masalah bias bicara, tetapi untuk
melakukan tindakan nyata, mau melakukan latihan, mau terjun langsung
kelapangan.
3. Modal dasar lainnya adalah keberanian.
Teori public speaking tapi tanpa di praktikkan hanya menjadi sia-sia.
4. Public speaking tidak bias diwakilkan kepada orang lain,harus dialami
langsung dan mendapatkan pengalamannya.

Tehnik meningkatkan rasa percaya diri


1. Demam panggung
Demam panggung pasti akan dialami oleh siapa saja yang pernah naik
panggung, baik sebagai presenter hebat, artis, trainer, dosen, semua pasti
pernah mengalami dan merasakan, hal ini tidak mungkin dihindari walaupun
tingkat demam panggungnya berbeda-beda.

2. Menundukkan rasa takut


Ketakutan adalah reaksi spontan dari tekanan luar dan dalam diriyang dialami
seseorang untuk menghasilkan kemampuan yang lebih maksimal dari talenta
seseorang yang cenderung terpendam. Perasaan takut dialami oleh setiap

422

orang, bukan hanya individu tertentu, masalahnya adalah setiap orang punya
kemampuan berbeda dalam mengendalikan rasa takutnya
Tehnik menundukakan rasa takut antara lain adalah :
a. Tetapkan tujuan yg realistis
b. Kemampuan memvisualisasikan masa depan
c. Menghilangkan pikiran negative
d. Berpikir positif
e. Latihan
f. Berbicara dengan catatan kecil
g. Datang lebih awal
h. Bersosialisasi
i. Memvisualisasi kesuksesan
j. Kendalikan nafas anda
k. Jadi diri sendiri, dan kreatif.
l. Jaga makanan dan minuman
m. Cintai ketakutan itu, ubah untuk memicu kreatifitas anda
n. Transformasi energy rasa takut menjadi antusiasme
o. Fokus pada pesan dan audiens

3. Membangun rasa percaya diri


Selain rasa takut sebenarnya ada rasa lain yang ada dalam diri seseorang yaitu
rasa percaya diri yang dapat digunakan untuk mengusir rasa takut dan sudah
ada sejak kita lahir kedunia.
Untuk mengusirrasa takutsebenarnya tidak terlalu sulit, cukup mengundang
keberanian saja. Bagaimana kita dapat menetahui bahwa kita sudah
mempunyai rasa percaya diri ?
Anda mulai merasakan Rasa percayadiri itu muncul dalam diri anda, ketika
secara perlahan intuisi mengisyaratkan bahwa anda telah mampu tampil.
Jantung anda yang semula berdetak kencang menjadi kembali detak normal.
Keringat yang mengalir kembali berhenti. Ketika perasaan tenang telah
menguasai anda maka dapat disimpulkan bahwa benih-benih kepercayaan diri
mulai timbul.

423

Rasa percaya diri itu muncul ketika anda mulai dapat memperkirakan atau
menghitung kapan kesuksesan dapat kita raih. Dan anda sudah cukup
mempunyai persyaratan untuk mencapai sukses tersebut. Tepatnya anda telah
memiliki sumberdaya yang cukup untuk digunakan.
Ada 3 (tiga) hal yang penting untuk meningkatkan rasa percaya diri, yaitu:
1.

Melakukan pemetaan atau pengamatan.


Lakukan analisis situasi yang akan anda hadapi, siapa audiens,dari
kalangan mana berasal?, Berapa rata-rata usianya. Apa tujuan acara tsb ?,
Bila kita sudah mengetahui hal tersebut, maka persiapan kita perlu diatur
dan disesuaikan dengan situasi tersebut. Kuasai secara detail.

2.

Melakukan Latihan dan latihan


Tidak perlu bosan melakukan latihan-latihan, apabila perlu tampil
didepan cermin.

3.

Evalusi sukses dari penampilan terakhir


Ingat penampilan terakhir berbicara di depan umum, asosiakan diri anda
saat itu, apa yang terjadi. Apa yang menarik dan apa pula kekurangannya,
hal tersebut akan menambah dan meningkatkan kembali rasa percaya diri.

Persiapan dalam public speaking


1.

Mengelola vocal, kualitas suara,kecepatan


bicara, tempo bicara.
Pada pokok bahasan komunikasi yang efektif , disebutkan 3 (tiga ) pilar
komunikasi yaitu: Verbal: Kata-kata (7%), Vokal: Voice intonasi (38%)
dan Visual: bahasa tubuh (55 %). Suara yang digunakan untuk
menyampaikan kata-kata jauh lebih penting dari kata-kata itu sendiri.
Tehnik pernafasan, cara berdiri, volume lengkingan, tehnik pengaturan
tinggi rendahnya nada merupakan seni tersendiri.

2. Membangun tehnik non verbal (bahasa tubuh)


Sinyal yang paling jelas dalam komunikasi adalah bahasa Non verbal
(bahasa tubuh), berupa gerakan fisik, penampilan, peringai

seorang

pembicara. Pengaruh penampilan visual lebih penting disbanding efek


audio (suara). Ingat penelitian telah menunjukakan bahwa separo lebih
424

proporsi komunikasi ada di bahasa tubuh (55%). Dalam public speaking


keselutuhan tubuh kita merupakan perangkat yang efektif untuk
dimanfaatkan membantu komunikasi kita. Jadi bahasa tubuh kita harus
selaras (kongruen) dengan pesan yang disampaikan dan disertai Voice
intonasi yang selaras pula.
3. Persiapan naskah.
Penyusunan

naskah

pembicara

harus

betul-betul

sudah

melalui

penyaringan, agar proporsi 7 % kata-kata, benar- benar sudah terpilih.

Latihan bicara.

Latihan berbicara selama 7 menit. Masing-masing mempersiapkan topik cerita


dan latihan menyampaikan cerita dengan menggunakan 3 pilar komunikasi
mendapatkan masukan dari berbagai aspek.

Evaluasi
Melakukan simulasi berkomunikasi antara:

I.

Pengendali diklat dengan peserta

Pengendali diklat dengan fasilitator

Pengendali diklat dengan penyelenggara

RANGKUMAN
Yang dimaksud dengan komunikasi menurut definisi yang paling sederhana,
komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada
orang lain (Ruben dan Steward, 1996:16).
Dalam komunikasi dikenal ada 5 unsur yang meliputi 1) Komunikator, 2) Pesan,
3) Media, 4)Komunikan dan 5) Effek. Dalam komunikasi yang efektif perlu

425

diperhatikan bahwa adanya Information over flow dan dengan didasari oleh
kepentingan dan kebutuhan
otomatis

serta minat dan ketertarikan informasi,secara

terjadi Information filter processing.Oleh karena itu seorang

komunikator dituntut semakin pintar dan kreatif dalam menyampaikan


informasinya agar informasi itu mendapatkan efek yang diharapkan.
Melalui pendekatan Neuro Languistic programming/ NLP, menurut mehrabion
dikenal 3 (tiga) pilar dalam komunikasi yaitu 1) Verbal: Kata-kata (7%), Vokal:
Voice intonasi (38%) dan Visual: bahasa tubuh (55 %) komunikasi yang efektif
akan terjadi bila memperhatikan hal tersebut.
Sistem representasi dalam diri setiap orang yang paling dominan adalah Visual,
Auditori dan Kinestetik.
Dalam penerapan komunikasi asertif, karakter individu tipe komunikasi asertif
perlu memiliki 1) Moto dan Kepercayaan, 2) Pola komunikasi, 3)Karakteristik,
4) Isyarat bahasa tubuh,5) Isyarat bahasa, 6) Konfrontasi & pemecahan masalah,
7) perasaan yg dimiliki.
Karakter

yang harus dimiliki oleh seorang Pembicara Publik Modern pada

umumnya adalah hasrat (passion), nergi, percaya diri, kemampuan untuk


merasakan kenikmatan saat tampil, kemampuan untuk berbagi antusiame
bersama audiens.

II.

DAFTAR PUSTAKA
1. Charles Bonar Sirait,The Power of Public Speaking, kiat sukses berbicara di
depan public, Kompas Gramedia,2010
2. Dr.Ibrahim Elfiky,Terapi Komunikasi Efektif ,dengan metode praktis
NLP,2009.
3. Firti Rasmita SE, dkk, Pintar Soft Skill Membentuk Pribadi Unggul, B.Media,
Desember 2009.
4. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul Pelatihan Fasilitator Desa Siaga,
Jakarta 2010.
5. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul Pelatihan Fasilitator Desa Siaga,
Jakarta 2010.
6. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul NLP , Jakarta 2011.
7. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul Peningkatan Kapasitas pejabat
struktural UPT/UPTD , Jakarta 2011.

426

8. Kementrian kesehatan RI, Kurikulum Modul Peningkatan Kapasitas pejabat


struktura Puskesmas , Jakarta 2011.
9. Lembaga Administrasi Negara, Modul diklat Kepemimpinan III, Jakarta, 2008
10. Haryanto S, Drs, MPH, Human Relation, LAN, Bahan Diklat Spama,1999.
11. Anne Rufaidah, DR, Komunikasi Efektif, LAN, Bahan diklat Spama,1999.

MATERI PENUNJANG III


4. RENCANA TINDAK LANJUT (RTL)
5.
I. DESKIRPSI SINGKAT
Setelah mengikuti sesi-sesi pelatihan, peserta ditugaskan untuk membuat
rencana tindaklanjut (RTL) mengenai apa yang akan dilakukan sebagai
implementasi dari pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh. RTL yang
dibuat berkaitan dengan penatalaksanaan layanan konseling pra dan pasca tes.
Umumnya RTL dibuat secara sistimatis untuk jangka pendek 3- 6 bulan dan
jangka panjang dalam periode 6 bulan-1 tahun. RTL lanjut berisi program kerja
dan pelaksanaannya. RTL mengikuti suatu format tertentu seperti misalnya
menggunakan Gantt Chart yang secara rinci mencantumkan kegiatan, waktu
pelaksanaan, tempat, pelaksana, biaya. Tujuan suatu RTL umumnya sebagai
panduan dalam melaksanakan kegiatan serta acuan penilaian/evaluasi hasil
capaian kegiatan.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu:
1. Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup RTL

427

2. Menjelaskan langkah-langkah penyusunan RTL


3. Menyusun RTL untuk kegiatan yang akan dilakukan

III. POKOK BAHASAN


Dalam sesi ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:
1. Ruang lingkup RTL
2. Langkah-langkah penyusunan RTL
3. Formulir RTL
1.

Pengertian dan Ruang Lingkup RTL


Suatu pelatihan yang adekuat biasanya diikutiolehkegiatan tindaklanjut.
Kegiatan yang akan dilakukan disusun dalam suatu rencana tindak lanjut
(RTL). Tujuan dari RTL antara lain sebagai berikut :

a. Menerapkan pengetahuan/teori dan ketrampilan yang diperoleh dari


pelatihan ke dalam suatu rangkaian kegiatan/praktek.
b. Menjadi panduan dalam melaksanakan kegiatan
c. Menjadi acuan evaluasi hasil capaian kegiatan
Umumnya RTL dibuat secara sistematis untuk jangka pendek 3- 6 bulan
dan jangka panjang dalam periode 6 bulan-1 tahun. Selanjutnya suatu
RTL mengikuti suatu format tertentu (lihat lampiran)

2.

Langkah-langkah Penyusunan RTL


Langkah-langkah dalam menyusun suatu RTL dilakukan sebagai berikut:
a. Judul kegiatan
Judul kegiatan ditentukan berdasarkan permasalahan dan bersifat
umum sehingga berbagai kegiatan pokok dapat tercakup dalam judul
tersebut.
b. Latar belakang dan permasalahan
Latar belakang berisi uraian tentang berbagai informasi dan data yang
menjadi latar belakang permasalahan sehingga perlu dilakukannya
kegiatan.Permasalahan

dirumuskan

dengan

mengikuti

prinsip

S.M.A.R.T (Spesific, Measureable, Applicable, Realistic, Time


bound) yakni harus sepesifik dan bukan bersifat umum, dapat diukur,

428

dapat diterapkan, realistis atau masuk akal dan jelas kerangka


waktunya
c. Tujuan dan sasaran kegiatan
Tujuan menjelaskan apa yang akan dicapai sedangkan sasaran
biasanya menjelaskan kepada siapa atau apa dari suatu kegiatan yang
akan dituju.
d. Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan
Mencantumkan setiap kegiatan utama yang akan dilakukan. Dalam
suatu RTL tidak menutup kemungkinan dicantumkan kegiatankegiatan pendukung.
e. Waktu pelaksanaan
Mencantumkan kapan kegiatan akan dilaksanakan. Bila belum
mempunyai tanggal pasti kapan kegiatan-kegiatan tersebut akan
dilaksanakan dapat dicantumkan minggu ke berapa dalam suatu
bulan tertentu saja seperti misalnya minggu ke 2 bulan Maret tahun
2011.
f. Tempat pelaksanaan
Mencantumkan tempat di mana kegiatan yang direncanakanakan
dilakukan. Sebaiknya penentuan tempat pelaksanaan kegiatan bersifat
tidak terlalu umumseperti misalnya mencantumkan provinsi atau
kota.
g. Pelaksana kegiatan
Mencantumkan pihak yang bertanggung jawabakan melakukan
kegiatan

tersebut.

Pelaksana

kegiatan

bisa

individual

atau

kelompok/instansi
h. Biaya yang akan dibutuhkan
Mencantumkan sumber dan perkiraan biaya yang dibutuhkan

untuk

melakukan kegiatan.Rincian biaya untuk setiap unit kegiatan biasa


yang dicantumkan dalam bagan Gantt

3.

FormulirIsian RTL

429

Uraian tentang setiap butir di dalam suatu rencana tindak lanjut


akanlebihmudah dipahami daripada harus membaca suatu rencana tindak
lanjut yang panjang. Oleh karena itu bagan biasanya dimuat pada bagian
akhir suatu RTL.

430

Вам также может понравиться