Вы находитесь на странице: 1из 17

Dampak Konflik Politik Antara Elit Tradisional Di Desa Kiandarat Sejak

Pemilihan Kepala Daerah Langsung


Kabupaten Seram Bagian Timur Periode 2010-2015
Moksen Rumalutur
Kamaruddin
Pascasarjana Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Email: moksen.rumalutur@yahoo.co.id

Abstrak
Konflik dalam pemilukada langsung di Desa Kiandarat tidak dapat terhindarkan. bentuk
konflik yang semula adalah konflik politik yang didasari perbedaan pilihan politik berubah
menjadi konflik sosial yang lebih luas dan melibatkan lebih banyak masyarakat. Elit tradisional
desa yang diharapkan menjadi pemersatu dalam masyarakat desa kini menjadi aktor utama dalam
konflik. Masyarakat Desa Kiandarat tidak menemukan ruang rekonsiliasi untuk mengakhiri
konflik hingga saat ini. Kenyataan inilah yang melatarbelakangi studi ini dilakukan. Ada dua
pertanyaan yang ingin dijawab dalam studi ini. Pertama, mengapa elit tradisional desa kiandarat
terlibat dalam konflik politik pada pemilukada kabupaten SBT tahun 2010? Kedua, bagaimana
dampak dari konflik tersebut terhadap kehidupan sosial politik masyarakat desa kiandarat?
Kata-kata Kunci: Desa, Elit Tradisional, Konflik Politik

The Impact of Political Conflict Between the Traditional Elite in the Village
Since the Land Increasingly Direct Regional Head Elections Eastern Districts
Sinister Period 2010-2015
Conflicts in the direct election at the village kiandarat unavoidable. The original form of
conflict is a political conflict based on differences in political choice turns into a wider social
conflict and involve more people. Traditional elite villages are expected to be a unifying role in
rural communities has become a major actor in the conflict. Villagers kiandarat not find space
reconciliation to end the conflict until today. The fact is what lies behind this study is done. There
are two questions to be answered in this study. First, why the traditional elite kiandarat villages
involved in the political conflict in the district election SBT in 2010? Second, how the impact of
the conflict on the socio-political life of the villagers kiandarat?
Keywords: Village, Traditional Elites, Political Conflict

1.Latar Belakang
Dengan berakhirnya rezim orde baru telah merubah sistem pemerintahan Indonesia dari
sistem sentralistik menjadi sistem desentralisasi. Wujud konkrit dari perubahan ini ditandai
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direfisi dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dampak dari diimplementasikan Undang-Undang ini
telah membawa perubahan dalam kehidupan bernegara. Menurut Iberamsjah bahwa perubahanperubahan politik yang dimaksud adalah pertama, adanya perubahan yang mendasar pada
karakter hubungan antar lembaga tinggi dan tertinggi negara. Kedua, perubahan hubungan
kekuasaan yang mendasar antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Ketiga, perubahan
kearah revitalisasi dan demokratisasi pemerintahan desa. 1 Desa yang merupakan struktur terkecil
dari sistem pemerintahan nasional merasakan secara langsung perubahan politik yang terjadi
pasca orde baru. Dinamika politik ditingkat desa dan kelurahan bisa menjadi contoh nyata dari
proses demokrasi dan demokratisasi di Indonesia 2. Dengan dilaksanakannya pilkada secara
langsung di Indonesia turut mempengaruhi kehidupan sosial politik ditingkat desa.
Menurut Ramlan Surbakti bahwa perubahan paket Undang-Undang politik akan berpengaruh
sampai tingkat daerah. Lingkup, Volume dan intensitas politik lokal diperkirakan akan
meningkat sehingga interaksi dan proses politik diantara aktor-aktor politik lokal memang akan
sangat dinamis, penuh perdebatan dan tidak jarang akan penuh dengan konflik non-fisik 3. Sering
kali terjadi konflik politik dalam masyarakat desa pasca pemilihan kepala daerah secara langsung
yang diciptakan oleh elit desa itu sendiri. Konflik ini terjadi diakibatkan oleh belum siapnya
masyarakat desa didalam memandang sebuah perbedaan pilihan politik.
Belajar dari Pemilu dan sejumlah Pilkada, kekerasan akibat pesta demokrasi tersebut sering
tak terhindarkan. Konflik politik yang diciptakan oleh kalangan elit, kerap memunculkan konflik
1 Ibramsjah: Disertasi; Elit Desa Dalam Perubahan Politik. Pascasarjana UI, 2002. Hal 1
2 Hans Antlov, Not Enough Politics ! Power, Participation and Democratic Policy dalam
Greg Fealy and Edward Aspinall (eds), Local Power and Politics in Indonesia. Singapore: ISEA.
2000
3 Ramlan Surbakti Implikasi Undang-Undang Poitik Terhadap Politik Lokal, (Jurnal Widya
Praja Tahun XXII; 1999), Hal. 44

horizontal di kalangan akar rumput. Banyak fakta telah menunjukkan, bagaimana momentum
politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilu legislatif (pileg) turut mempengaruhi
konstelasi sosial politik di tingkat desa, bahkan lebih jauh lagi telah melemahkan kohesi sosial
dan mempertajam konflik di antara masyarakat.
Konflik sosial yang terjadi di Desa Kiandarat, Kabupaten Seram Bagian Timur Propinsi
Maluku, bisa menjadi pelajaran berharga sekaligus objek penelitian politik yang menarik tentang
bagaimana komunitas desa telah menjadi korban dari sistem politik yang belum mapan. Diawali
dari Pilkada Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2010 yang melibatkan dua tokoh politik
utama di SBT, yakni Bupati Incumbant Abdullah Vanat dan Wakil Ketua DPRD Mukti Keliobas.
Di desa Kiandarat, propaganda kedua tokoh tersebut berhasil memperoleh dukungan yang sama
kuat dari masyarakat setempat. Para pendukung Abdullah Vanat adalah masyarakat yang
disokong oleh Kepala Desa dan aparatur desa yang selama ini telah dikonsolidasikan oleh sang
bupati incumbant. Sedangkan pendukung Mukti Keliobas adalah masyarakat yang dipimpin oleh
para penghulu Masjid atau Hakim Sara; Imam, Mojim, Khotib dan Marbot. Kedua kelompok ini
terlibat persaingan sengit dan menjurus kasar disertai saling ejek dan kecam selama Pilkada.
Ditambah dengan balutan kampanye hitam yang dilancarkan oleh kedua calon bupati dan para
tim suksesnya, membuat para pendukung masing-masing kelompok di Desa Kiandarat semakin
militan dan emosional.
Perubahan politik secara mikro ini telah merubah pranata sosial sampai tingkat desa,
dengan hadirnya desentralisasi yang di ikuti otonomi daerah, mulai menggeser nilai-nilai lama
didalam masyarakat, terlihat dari makin mengkristalnya konflik kepentingan yang terjadi antara
elit tradisional di desa Kiandarat, sehingga berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-politik
masyarakat desa.
2. Tinjauan Teoritis
Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Elit dari Soerjono Soekanto dan
Sartono Kartodirdjo. Ditambah beberapa teori pendukung yaitu teori Konflik dan Konsensus dari
Maswadi Rauf Maurice Duverger, Teori Budaya Politk dari Albert Widjaja dan Lucian Pye.
Teori-teori tersebut diajukan sebagai krangka berpikir dalam menjelaskan dan memberi makna
terhadap temuan-temuan penelitian di lapangan.

3. Pokok Permasalahan
Konflik pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi dalam suatu proses
suksesi politik, mengingat pilkada langsung merupakan sebuah proses suksesi kepemimpinan
politik.4 .Konflik politik yang terjadi di Desa Kiandarat melibatkan kelompok-kelompok yang
sangat kuat dan memiliki pengaruh dalam masyarakat desa kiandarat, yaitu konfik antara kepala
desa, Kepala dusun dengan Imam Masjid. Pasca pemilihan kepala daerah tahun 2010 di desa
kiandrat, terjadi perubahan pola hubungan antara elit desa yang diakibatkan perbedaan dukungan
politik. Antara elit desa yang satu dengan elit desa lainnya memiliki kepentingan yang berbeda
dalam memberikan dukungan pada calon kepala daerah yang didukung.
Elit tradisional desa baik itu kepala desa, Kepala dusun maupun Imam Masjid di Desa
Kiandarat, yang secara tradisional memiliki otoritas sosial politik yang sangat kuat di desa.
Mereka saling berebut otoritas yang mengakibatkan semakin merenggang hubungan diantara
keduanya. Hal ini kemudian melahirkan perpecahan dalam masyarakat. Perpecahan yang
diakibatkan oleh perebutan otoritas dan pengaruh ini, berdampak langsung terhadap tradisi
maupun kearifan lokal yang dimiliki dan dijaga selama ini. Diantara kedua kelompok elit
tradisional ini memiliki kepentingan politik yang berbeda, kepentingan politik mereka cenderung
pragmatis dan mengabaikan kepentingan masyarakat desa kiandarat. Elit tradisional desa baik itu
raja, Kepala Dusun maupun Imam Masjid diharapkan mampu melaksanakan kewenangannya
dengan benar sesuai ketentuan atau aturan yang berlaku tanpa menimbulkan konflik, melalui
hubungan kekuasaan yang memperlihatkan hubungan kemitraan, karena elit tradisional desa
merupakan unsur penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pasca berakhirnya pilkada 2010 dan terpilihnya incumbent Abdullah Vanath untuk masa
periode kedua sebagai bupati kabupaten Seram Bagian Timur, tidak mengakhiri konflik yang
terjadi di desa kiandarat. Konflik yang terjadi pada saat pilkada telah memasuki babak baru yang
mana kedua kelompok ini tidak dapat disatukan seperti sediakala. Kedua kelompok masyarakat
yang bertikai tidak saling berinteraksi antara kelompok yang satu dengan yang lain. Perpecahan
4 Ramlan Surbakti, memahami ilmu politik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
1992),hal 1

dalam masyarakat ini menjadi semakin besar, diakibatkan oleh terlibatnya elit tradisional desa
dalam konflik, sehingga masyarakat desa kehilangan tokoh panutan yang dapat mempersatukan
mereka.
Awal tahun 2012, persaingan kedua kelompok tersebut semakin menkristal menjadi
konflik sosial terbuka yang ditandai dengan upaya kelompok Kepala Dusun merebut
kepemimpinan di Masjid Kiandarat. Kelompok Kepala Dusun yang dipimpin oleh Haji Najam
(Mantan Pejabat Kepala Desa Kiandarat) berusaha mengganti para Hakim Sara (Imam, Mojim,
Hatib dan Marbot ) yang dianggap tidak becus dalam melayani kebutuhan spiritual masyarakat
desa, karena cenderung partisan dan lebih memihak kelompok lawan mereka.
Puncaknya dari persaingan tersebut adalah tragedi Jumat Kelabu, ketika kelompok
pendukung kepal dusun mencoba menyingkirkan Imam Masjid Kiandarat yang sedang
memimpin sholat Jumat. Berkali-kali sang imam ditarik dari posisinya di depan mimbar, oleh
sekelompok orang yang tidak menghendaki dia menjadi imam. Konflik berlanjut di luar masjid
dan terjadi pengrusakan terhadap rumah-rumah penduduk dari kelompok pendukung imam
masjid. Peristiwa tersebut kemudian dilaporkan kepada pihak berwajib dan selanjutnya diproses
secara hukum. Beberapa orang diantaranya diadili dan menjalani hukuman penjara di Masohi
Maluku tengah.
Proses hukum kepada pihak-pihak yang melakukan aksi-aksi kekerasan dalam tragedi
Jumat Kelabu di Kiandarat ternyata tidak menuntaskan masalah, tetapi secara faktual semakin
mempertajam polarisasi dalam masyarakat Kiandarat. Pada pertengahan tahun 2013, kelompok
pendukung Kepala dusun berinisiatif membangun Masjid sendiri terpisah dari Masjid Kiandarat
lama yang dikuasai kelompok pendukung imam masjid. Desa Kiandarat pun terpecah menjadi
satu desa yang memiliki dua masjid dan dua kelompok masyarakat yang tidak lagi bertegur sapa.
Potensi konflik pun masih tetap ada dan terpelihara, menunggu waktu yang tepat untuk kembali
meledak dalam eskalasi yang membahayakan.
Fenomena konflik sosial di desa Kiandarat yang bemula dari perbedaan kepentingan
politik, kemudian berkembang menjadi konflik sosial yang meluas, merupakan gambaran yang
terang tetang kontestasi politik di tingkat desa yang tidak menemukan ruang rekonsiliasi politik
yang semestinya.

Peristiwa tersebut memiliki daya tarik sebagai objek penelitian, karena

pertama, konflik politik di desa menunjukkan bahwa komunitas masyarakat desa bukan lagi

merupakan entitas dengan satu kepentingan, tetapi beragam kepentingan. Masyarakat desa yang
dulunya komunal dan hidup dalam hubungan sosial yang harmonis ternyata mulai
memperlihatkan hasrat kuasa yang semakin plural. Bila konfigurasi kepentingan di desa tidak
dikelola dengan tepat, maka di masa depan akan menghancurkan tatanan sosial masyarakat desa
yang selama ini telah dijaga dengan baik. Kedua, fakta ini membuktikan kegagalan pelembagaan
sistem politik kita yang hanya merumuskan medan kompetisi politik seperti pemilu dan pilkada,
namun lalai merumuskan model rekonsilasi politik pada level grass root. Para aktor politik, partai
politik dan pemimpin daerah yang semestinya mendorong rekonsiliasi pasca pilkada justru
terjebak dalam kepentingan politik mereka sendiri dan abai pada kohesifitas masyarakat desa
yang semestinya harus dijaga. Masyarakat dibiarkan menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa
solusi sosial politik yang memuaskan semua pihak.
Dengan terjadinya konflik ini menunjukan bahwa pasca desentralisasi, kepentingan
politik masyarakat desa Kiandarat tidak lagi homogen, tetapi beragam kepentingan. Masyarakat
desa Kiandarat yang dulunya komunal dan hidup dalam hubungan sosial yang harmonis ternyata
mulai memperlihatkan hasrat kuasa yang semakin plural.
4. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif. Bodgan dan Taylor mendefenisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur Penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan

dari

barang barang dan perilaku yang dapat diamati. 5 Sedangkan

Neuman mengatakan bahwa penelitian Kualitatif berbicara dengan bahasa kasus dan Konteks
mereka menekankan arah dengan pengujian yang detail pada kasus yang timbul dari pergerakan
alami dari kehidupan sosial.6 Untuk menjelaskan data-data yang dikumpulkan, maka peneliti
akan menjelaskan dalam bentuk deskriptif berupa kata-kata baik berupa lisan maupun tertulis dari
perilaku orang atau obyek yang diamati. Penelitian deskriptif dipilih untuk membuat gambaran

5 Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi. (Bandung: PT remaja rosdakarya,
2004), hal.4.
6 W. Lawrence Neuman. Sosial Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches.
(Needham Heights, 2000), hal.122

atau lukisan sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara
fenomena yang diselidiki.7

5. Hasil Penelitian
Politisasi Birokrasi
Dalam usahanya memperoleh dukungan masyarakat pada Pilkada 2010, Abdullah Vanat
sebagai bupati incumbant memanfaatkan berbagai kekuatan struktural yang berada di bawah
kuasa dan pengaruhnya. Vanat melakukan berbagai cara, termasuk memanfaatkan kekuatan
birokasi daerah. Hampir semua pimpinan SKPD (Satuan Kerja Pimpinan Daerah) dikerahkan
untuk menekan bawahan dan stafnya untuk memberikan dukungan kepada Vanath. Bahkan
sebagian pimpinan SKPD secara terang-terangan turun ke masyarakat melakukan pertemuanpertemuan untuk menggalang dukungan bagi Vanath. Pegawai Negeri yang tidak berpihak pada
Vanath diberhentikan dari jabatannya atau dipindahkan ke daerah-daerah terpencil di SBT, seperti
daerah-daerah di Kecamatan Wakatei yang terletak di ujung paling Timur Gugusan Pulau-Pulau
di Seram Timur dan berbatasan dengan kabupaten Maluku Tenggara. Ketua Bappeda SBT yang
dikemudian hari diketahui kurang mendukung Vanath, akhirnya dibebastugaskan dari jabatan
strukturalnya8.
Fenomena politisasi birokrasi di SBT sebetulanya mengkonfirmasi hal serupa yang sering
terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Birokrasi telah menjadi element pemerintahan yang
paling rentan terhadap tarikan politik praktis. Baik proses politisasi yang dilakukan oleh bupati
incumbant untuk memperkuat posisi politiknya, maupun inisiatif pribadi para birokrat daerah
sebagai upaya memburu rente politik, menarik perhatian calon bupati dengan harapan diangkat
pada jabatan-jabatan yang diinginkannya. Santoso (2008) menyatakan bahwa secara umum
7 M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hal 67.
8 Wawancara dengan Musyafi Rumadan, (Direktur LSM Olasaka Institute dan Fungsionaris
Partai Golkar SBT), di Ambon 9 April 2016.

penyalagunaan fungsi birokrasi oleh bupati incumbant, terjadi dalam beberapa bentuk, pertama,
pengangkatan pejabat eselon II, III, dan IV khususnya Camat dan Lurah di lingkungan
pemerintah daerah untuk memperkuat kepentingan politik Bupati. Kedua, terjadi eksploitasi
sumber daya birokrasi, dimana birokrasi daerah bertransformasi menjadi tim pemenangan
incumbent, bukan menjadi pelayan publik seperti yang seharusnya. Ketiga, pemanfaatan agenda
kerja birokrasi melalui kunjungan-kunjungan ke wilayah tertentu, namun dibalik itu semua
tersembunyi agenda populis dalam rangka penciptaan image positive untuk incumbent.9
Selain birokrat dan PNS, element pemerintahan lain yang paling sering memperoleh
tekanan dari Bupati yang sedang berkuasa adalah kepala desa dan kepala-kepala kampung yang
secara hirarkis berada di bawah camat dan Bupati. Banyak kepala desa yang diberhentikan karena
dianggap tidak memberi dukungan pada rezim yang sedang berkuasa, atau diganti dengan orang
lain (caretaker) yang pro pada Bupati incumbant. Hampir sebagian besar desa di SBT dipimpin
oleh kepala desa sementara atau caretaker, karena kepala desa yang sebelumnya dianggap kurang
bisa bekerjasama. 10
Para Raja, Kepala Desa, atau Kepala Dusun sering dikumpulkan dalam rapat-rapat di
kecamatan untuk memperoleh arahan dari Pimpinan Kecamatan. Momen-momen ketika
pembagian insentif keuangan bagi aparat desa dan dusun serta komunitas Hakim Sara,
merupakan saat yang tepat untuk melakukan mobilisasi politik. Mereka yang dianggap tidak
loyal, insentifnya ditahan dan diancam untuk diberhentikan melalui mekanisme cariteker.
Tekanan seperti ini biasanya ampuh untuk meluluhkan mentalitas kebanyakan aparat desa dan
Hakim Sara untuk kembali memberi dukungan pada penguasa.
Penguasaan politik di desa merupakan strategi politik yang praktis dan efisien. Desa menjadi
lumbung suara bagi banyak penguasa untuk memenangkan Pilkada, sebab sebagian besar
penduduk di daerah-daerah justru tinggal di desa. Dalam kasus SBT, lebih dari 60 % penduduk
9 Rachmad Santoso, 2008. Mobilisasi Birokrasi: Studi tentang Bentuk-bentuk Mobilisasi Birokrasi di Lingkungan
Pemerintah Kota Singkawang oleh Incumbent Menjelang Pilkada Langsung tahun 2007. Tesis Ilmu Politik, Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

10 Caritaker adalah pejabat sementara yang diangkat dan di SK-kan oleh Bupati sebelum
dilakukan pemilihan raja atau kepala desa baru. Menurut catatn yang ada, 80 % negeri adat dan
desa di SBT yang dipimpin oleh caritaker atau pejabat kepala desa.

atau pemilih merupakan penduduk desa yang tersebar di berbagai pulau, sehingga menguasai
aparat-aparat desa merupakan jalan utama untuk menguasai pemilih di desa. Hal ini pula yang
mendorong para bupati di berbagai tempat menciptakan berbagai kebijakan populis untuk
menaklukkan para penguasa desa, biasanya kebijakan populis tersebut dibalut dalam bentuk
bantuan sosial maupun insentif keuangan yang diterima secara reguler oleh para kepala desa dan
hakim-hakim sara.
Bantuan Sosial Bermotif Politik
Selain melakukan politisasi birokrasi, bupati Abdullah Vanat juga mengkapitalisasi dukungan
politik dengan memanfaatkan bantuan sosial (Bansos). Sebagian bantuan sosial memanfaatkan
dana-dana bansos yang telah dianggarkan oleh pemerintah SBT, dan sebagian lagi menggunakan
dana pribadi. Bantuan sosial tersebut umumnya untuk kegiatan ekonomi kenelayanan, pertanian
atau untuk membantu perkebunan rakyat. Ada lagi bantuan untuk pembangunan rumah-rumah
ibadah, seperti masjid dan gereja.
Formalitas bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang atau barang dari
pemerintah pusat dan daerah kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang sifatnya
tidak secara terus menerus dan bersifat selektif, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
kemungkinan terjadinya resiko sosial.11 Pemberian bansos dari keuangan daerah (APBD) pada
dasarnya diperbolehkan berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, yang telah diubah beberapa kali, termasuk dengan Permendagri 21 Tahun 2011. Kedua
peraturan tersebut tidak mensyaratkan calon penerima bansos sudah tercantum dalam APBD yang
telah dibahas dan ditetapkan tahun sebelumnya, sehingga kepala daerah diberi wewenang untuk
menetapkan penerima dan besaran bansos pada tahun berjalan sesuai dengan proposal yang
masuk dan kebijakan kepala daerah. Disinilah celah yang sering dimanfaatkan kepala daerah
untuk kepentingan politiknya.

11 Lihat aturan perundang-undangan yang terkait dengan bantuan sosial.


http://id.scribd.com/doc/97386467/Pengertian-Belanja-Bantuan-Sosial-Dan-Risiko-Sosial.
Diakses 14 April 2016.

Fenomena bansos yang diselewengkan belakangan ini, menjadi salah satu jenis belanja
daerah yang menyedot perhatian banyak pihak. Bukan saja masyarakat atau kelompok
masyarakat, Gubernur/Bupati/Walikota, dan anggota DPRD yang berkepentingan dengan bansos,
akan tetapi BPK, Kejaksaan, dan KPK jug menaruh perhatian yang cukup intens terhadap
pemberian, pengelolaan dan pertanggungjawaban bansos tersebut. Tidak ketinggalan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa juga ikut menyoroti dan mengawasi
permasalahan-permasalahan di sekitar bansos.
Dalam banyak kasus, bantuan-bantuan sosial yang diberikan pemerintah daerah, apalagi
menjelang atau dalam suasana pilkada didesain untuk mengamankan kepentingan politiknya.
Para anggota Tim Sukses yang biasanya berperan dalam membantu mengidentifikasi kelompokkelompok masyarakat yang pantas memperoleh bantuan sosial. Masyarakat yang dimaksud
adalah para pendukung, atau orang-orang yang diharapkan dukungannya. Bansos menjadi
sogokan politik yang efektif yang mampu menarik perhatian masyarakat pemilih. Mekanisme
pemberian bantuan yang kurang jelas, telah dimanfaatkan para kepala daerah untuk kepentingan
politik praktis.
Tampaknya bansos menjadi model kampanye yang efektif. Beberapa desa di SBT yang
memperoleh bantuan untuk pembangunan masjid, menyatakan secara terang-terangan
memberikan dukungannya pada Bupati Abdullah Vanat dan berjanji untuk memenangkan sang
bupati di desanya. Hal ini terjadi dalam kasus di Desa Kian, dimana janji bantuan Masjid telah
menjadi alat bagi aparat desa untuk meminta masyarakat Kiandarat mendukung sang Bupati. Hal
ini secara nyata dibuktikan pada momentum Pilkada 2010, dimana masyarakat Kiandarat lebih
memilih pasangan Abdullah Vanat dan Siti Umuriah Suruwaky12.
Aktor dan Kepentingan Dalam Konflik Politik
Pilkada SBT tahun 2010 secara langsung telah membelah masyarakat Kiandarat pada dua
kutub yang saling berhadap-hadapan, kelompok pendukung Bupati incumbant Abdullah Vanat
dan kelompok pendukung Wakil ketua DPRD Mukti keliobas. Pengelompokan politik
berlangsung pada ruang-ruang sosial, budaya dan agama yang selama ini menjadi simbol harmoni
sosial di desa.
12 Wawancara dengan Jafar Keliandan Op, Cit

Bila diamati secara seksama dinamika politik di desa Kiandarat, maka kelompok yang
mendukung Bupati Abdullah Vanath pada umumnya adalah mereka yang secara langsung
maupun tidak langsung memiliki hubungan dengan struktur birokrasi atau berada dibawa kuasa
pemerintah daerah, seperti kepala desa, kepala dusun, pegawai negeri sipil (PNS) yang tinggal di
Kiandarat atau masyarakat yang memiliki keluarga yang bekerja sebagai PNS di Bula. Selain
mereka juga ada kelompok pedagang lokal yang membuka kios dan tokoh kelontong serba ada
di kampung-kampung di Kiandarat. Kapitalis kecil ini menjadi aktor politik baru karena
mampu mengkapitaisasi modal ekonomi menjadi modal politik dalam proses politik di desa 13.
Orang-orang yang berhutang pada para pedagang, sering ditekan untuk segera membayar
utangnya bila tidak memilih sesuai anjuran para pedagang.
Adapun pendukung Mukti Keliobas di Desa Kiandarat adalah para Hakim Sara; Imam,
Mojim, Khatib dan Marbot. Para penguasa otoritas keagamaan ini didukung oleh mantan kepala
dusun Jafar Keliandan, yang sebelumnya telah diberhentikan secara sepihak oleh Raja Abdul
Razak Weulartafela. Para Hakim Sara mendukung pencalonan Mukti dengan motif yang belum
bisa diketahui secara pasti. Akan tetapi pengaruh dari sejumlah Tim Sukses Mukti yang
umumnya merupakan keluarga dekat para Hakim Sara merupakan salah satu alasan mengapa
mereka mendukung Mukti. Selain itu persaingan diam-diam para Hakim Sara dengan Kepala
Dusun yang mendukung Bupati Vanat juga menjadi alasan mengapa para Hakim Sara lebih
senang mendukung Mukti.
Adapun pendukung Mukti Keliobas di Desa Kiandarat adalah para Hakim Sara; Imam,
Mojim, Khatib dan Marbot. Para penguasa otoritas keagamaan ini didukung oleh mantan kepala
dusun Jafar Keliandan, yang sebelumnya telah diberhentikan secara sepihak oleh Raja Abdul
Razak Weulartafela. Para Hakim Sara mendukung pencalonan Mukti dengan motif yang belum
bisa diketahui secara pasti. Akan tetapi pengaruh dari sejumlah Tim Sukses Mukti yang
umumnya merupakan keluarga dekat para Hakim Sara merupakan salah satu alasan mengapa
mereka mendukung Mukti. Selain itu persaingan diam-diam para Hakim Sara dengan Kepala
Dusun yang mendukung Bupati Vanat juga menjadi alasan mengapa para Hakim Sara lebih
senang mendukung Mukti.
13 Lihat pembahaasan Pieere Bourdeu tentang upaya aktor politik baru untuk melakukan transformasi modal
budaya dan ekonomi menjadi modal politik dalam kontestasi politik. Pierre Bourdieou, Language and Symbolic
Power. Massachusetts: Harvard University Press, 1991.

Aktor Politik dan Dukungan Politik


Di Desa Kiandarat
Pendukung Bupati Incumbant

Pendukun Mukti Keliobas

1. Kepala Dusun dan kelompok 1. Hakim Sara; Imam, Mojim, khatib


pendukungnya
dan Marbot
2. Politisi Lokal yang berafiliasi 2. Mantan Kepala
dengan Bupati
3. Pegawai negeri
4. Pedagang
Lokal

dilengserkan
yang

mengincar proyek PEMDA

dusun
oleh

yang
Kepala

Desa/Raja
3. Para kader Partai yang mendukung
Mukti

Fenomena persaingan politik di Kiandarat menunjukkan bahwa dukungan politik yang


barasal dari relasi-relasi politik dengan motif status sosial kelompok, kekerabatan (identitas) dan
kepentingan ekonomi merupakan varibael penting yang menjelaskan keberpihakan-keberpihakan
politik dalam mementum politik seperti Pilkada. Pertama, Kelompok politik di desa cenderung
memberikan dukungan politik kepada calon bupati, setelah melihat bahwa rival politik
tradisionalnya di desa telah mendukung calon lainnya. Kedua, ada kelompok masyarakat yang
memberi dukungan hanya karena keluarga dan kerabat mereka menjadi bagian dari Tim Sukses
atau koordinator lapangan (Korlap) dari Calon yang sedang berkompetisi. Ketiga, ada
kepentingan paragmatis ekonomi dari masyarakat untuk memperoleh keuntungan materi dari
proses politik yang sedang berlangsung, baik berupa uang atau janji-janji pekerjaan yang
menguntungkan.
6. Pembahasan
Pada dasarnya konflik adalah sesuatu yang absah dalam proses berdemokrasi, sebagai
konsekwensi dari perbedaan-perbedaan kepentingan yang selalu ada dalam masyarakat.
Masyarakat adalah entitas yang dinamis yang terus mengalami perubahan, dan salah satu gejala
empiris yang sering muncul adalah ketegangan dan konflik. Konflik biasanya merujuk kepada
keadaan dimana seseorang, atau suatu kelompok dengan identitas yang jelas, terlibat

pertentangan secara sadar dengan satu atau lebih kelompok lain karena kelompok-kelompok itu
mengejar atau berusaha mencapai tujuan.14
Masyarakat pedesaan yang sedang mengalami masa transisi memperlihatkan adanya
perubahan dari sistem masyarakat tertutup kepada sistem masyarakat yang terbuka. Peranan
kelompok agama dalam masyarakat dewasa ini ini bukanlah hal yang baru, tetapi merupakan
bagian dari proses masa lampau yang ditempa lama. Menurut pemeluknya islam terbagi dalam
tiga bidang kegiatan, yaitu ibadah, kemasyarakatan, dan kenegaraan. Berpolitik pada asasnya
adalah memajukan dan membangun umat islam bukanlah hal yang asing dalam kehidupan
keagamaan. Dengan demikian menjauhkan peranan tokoh agama dari arena politik pedesaan pada
saat ini merupakan masalah yang pelik15
Konflik Kiandarat menunjukkan bahwa bukan faktor pluralisme identitas dan bukan pula
karena faktor kultur, adat istiadat atau agama, tetapi lebih karena faktor maturitas
(ketidakdewasaan) elit politik lokal yang rendah yang hanya berorientasi pada kepentingan
politik dan ekonomi atau sekedar perebutan sumber kekuasaan. Dampaknya adalah konflik
politik pun bereproduksi dengan motif-motif sosial keagamaan yang melahirkan kekerasan, yang
pada akhirnya merusak tatanan sosial di desa. Masyarakat terbelah menjadi dua kelompok dengan
dua kepemimpinan dan dua rumah ibadah, meskipun mereka masih tinggal di satu lingkungan
desa yang sama.
Konflik yang bersifat elitis telah menandai pola konflik secara umum pada desa-desa
yang terlibat konflik, yaitu konflik yang mengusung kepentingan-kepentingan para elit politik
desa, khususnya kepentingan pihak-pihak elit yang bertikai. Para elit yang berkonflik di desa
berupaya menggalang masa sebagai basis dukungan yang efektif bagi kepentingan elit atau
kelompok tertentu. Biasanya konflik ini tidak akan berhasil pada masyarakat yang tidak memiliki
fanatik yang berlebihan terhadap elit tertentu. 16 Dalam kasus yang terjadi di desa kiandarat,
masyarakat memiliki fanatisme yang berlebihan terhadap elit desa.

14 Lewis A. Coser, The Functions of Social Conflict, Newyork; Free Press, 1996. hal. 3
15 Abd Kappi, Kelompok Elit di Pedesaan. Ed Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di
Pedesaan. (Jakarta; PT Pustaka Grafika ita, 1988). Hal 100-101

7. Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di desa Kiandarat merupakan
problem struktural sekaligus kultural. Kontestasi politik dalam pemilihan kepala daerah ternyata
tidak berakhir ketika pilkada usai. Tetapi konflik politik yang tidak dimediasi dan diselesaikan
akan berpotensi untuk bereproduksi menjadi konflik sosial dengan beragam motif dan latar
belakang dalam arena sosial di desa. Situasi politik ditingkat desa sangat dipengaruhi oleh
perilaku elit desa.
Salah satu penyebab konflik politik di desa kiandarat akibat dari terbukanya sistem politik
lokal yang mengharuskan masyarakat lokal memilih pemimpinnya sendiri, dengan mekanisme
pemilihan langsung kepala daerah, sudah barang tentu akan banyak melibatkan elit politik lokal
tidak terkecuali elit politik desa.
Berkaitan dengan dinamika tersebut maka penelitian ini berhasil merumuskan beberapa poin
penting sebagai kesimpulan. Pertama, Politik praktis (pilkada) telah mendorong masyarakat pada
persaingan politik yang tidak biasa mereka alami sebelumnya. Pendidikan dan kesadaran politik
yang belum terbentuk dengan baik di desa, telah merubah kontestasi politik menjadi konflik yang
destruktif. Ironisnya dalam proses ini, elit politik yang terlibat dalam mobilisasi politik di desa
Kiandarat tidak memiliki perhatian untuk membantu masyarakat mengakhiri kompetisi politik
secara elegan, sehingga perbedaan pilihan politik terus direproduksi menjadi perebutan otoritas
keagamaan. Imam Masjid yang menjadi penguasa sipiritual di desa dipaksa mundur dengan
alasan-alasan yang sebetulnya bersifat politik, sehingga melahirkan konflik.
Kedua, dinamika politik di desa Kiandarat ternyata telah melahirkan beragam aktor politik
dengan beragam kepentingan. Elit politik bukan hanya kepala desa dan kepala dusun tetapi juga
imam masjid, bourjuis lokal serta pegawai negeri sipil. Transformasi politik seperti ini bila tidak
dikelola dengan hati-hati maka kemungkinan akan merusak harmoni di desa. Ketiga, langkah
yang perlu dilakukan untuk memperkuat ruang rekonsiliasi di desa adalah dengan menyediakan
media rekonsiliasi yang memungkinkan semua aktor politik di desa bisa saling berhubungan,
16 Heru cahyono, Konflik Elit Politik Pedesaan. (Yogyakarta; pustaka pelajar, 2005), hal 349 Lewis A. Coser, The
Functions of Social Conflict, Newyork; Free Press, 1996. hal. 3 Abd Kappi, Kelompok Elit di Pedesaan. Ed
Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan. (Jakarta; PT Pustaka Grafika ita, 1988). Hal 100-101

meskipun mereka terlibat dalam persaingan-persaingan politik. Dalam hal ini perlu dilakukan
rekonstruksi terhadap nilai-nilai dan budaya lokal yang menjadi konsensus bersama dalam
masyarakat desa. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan adalah mendorong pelembagaan
pemerintahan desa, meningkatkan kapasitas aparatur desa, perubahan pola kepemimpinan dan
mendemokratiskan desa dengan tetap memperhatian nilai-nilai budaya dan moralitas masyarakat
yang selama ini telah berkembang di desa.
8. Saran
Menyimak berbagai penjelasan dan analisis yang telah dikemukan dalam penelitian ini, maka
peneliti memberikan beberapa saran dan masukan baik yang bersifat praksis dalam penyelesaian
konflik di Desa Kiandarat, maupun yang bersifat subtantif konseptual terkait dengan penguatan
kelembagaan desa di masa depan. Pertama, dalam konteks penyelesaian konflik di Kiandarat,
tampak bahwa selama ini pemerintah daerah belum memberi perhatian dalam penyelesaian
konflik masyarakat setempat. Masyarakat dibiarkan sendirian menyelesaiakan konflik tanpa
proses mediasi yang efektif dan berkualitas. Bahkan ada kecenderungan pemerintah supradesa,
mengambil keuntungan politik dan kekuasaan dari konflik yang terjadi. Oleh sebab itu, Peneliti
menyarankan agar pemerintah secara partisipatif memberikan perhatian dalam menyelesaikan
konflik secara subtantif dan komprehensif.
Kedua, Proses penyelesaian konflik harus memperhatikan berbagai nilai dan budaya lokal
yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal dalam penyelesaian konflik. Mekanisme
hukum formal melalui kepolisian dan pengadilan terbukti tidak bisa menyelesaian konflik, namun
hanya menambah energi konflik. Termasuk dalam mekanisme kultural itu adalah mendorong
kelompok marga yang memiliki kuasa terhadap jabatan imam dan kepala dusun untuk mencari
pemimpin baru yang bisa diterima kedua belah pihak yang terlibat dalam berkonflik
Ketiga, perlu ada usaha yang serius untuk memberdayakan masyarakat desa, melalui
peningkatan kapasitas kelembagaan desa; baik dari segi manejerial kepemimpinan, kebijakan dan
program-program pembangunan. Pada saat yang sama proses demokrasi di desa perlu semakin
diperkuat bukan saja pada level prosedural, namun harus menyentuh pada subtansi demokrasi itu
sendiri. Hal ini hanya bisa dicapai melalui pendidikan politik yang pasrtisipatif yang mejadi

media yang menghubungkan arena-arena politik praktis dengan kehidupan keseharian masyarakat
desa. Semoga..

9. Daftar Pustaka
A. Coser, 1996. The Functions of Social Conflict, Newyork; Free Press
Antlov Hans,2000 Not Enough Politics ! Power, Participation and Democratic Policy dalam
Greg Fealy and Edward Aspinall (eds), Local Power and Politics in Indonesia. 2000. Singapore:
ISEA.
Bourdieou Pierre,1991. Language and Symbolic Power. Massachusetts: Harvard University Press
cahyono Heru, 2005. Konflik Elit Politik Pedesaan. Yogyakarta; pustaka pelajar
Moleong Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung: PT remaja rosdakarya
Nazir M., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia)
Neuman W. Lawrence, 2000. Sosial Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches.
Needham Heights

Kappi Abd, 1998. Kelompok Elit di Pedesaan. Ed Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di
Pedesaan. Jakarta; PT Pustaka Grafika ita
Surbakti,Ramlan, 1992. memahami ilmu politik, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
JURNAL:
Surbakti Ramlan, 1999. Implikasi Undang-Undang Poitik Terhadap Politik Lokal, (Jurnal Widya
Praja Tahun XXII

Tesis dan Disertasi:


Rachmad Santoso. Tesis, 2008. Mobilisasi Birokrasi: Studi tentang Bentuk-bentuk Mobilisasi
Birokrasi di Lingkungan Pemerintah Kota Singkawang oleh Incumbent Menjelang Pilkada
Langsung tahun 2007. Tesis Ilmu Politik, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Iberamsjah: 2002, Disertasi; Elit Desa dalam perubahan Politik, Pascasarjana Ilmu Politik UI

Вам также может понравиться