Вы находитесь на странице: 1из 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung

antaraseorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah
tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat
diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun
1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang
melakukan pernikahan.
Perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam realita kehidupan manusia.
Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat di tegakkan dan dibina sesuai dengan norma
agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang
berlainan jenis (suami-istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai
penerus generasi. Insan-insan yang berada di dalam rumah tersebut itulah yang di sebut
Keluarga.1
Untuk membentuk Keluarga yang sejahtera dan bahagia sebagai mana yang di sebutkan
di atas, maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tampa adanya perkawinan yang sah sesuai
dengan norma-norma agama dan tata aturan yang berlaku.
Perkawinan adalah sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi di masyarakat,
bangsa, dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai hidup dan nilainilai kehormatan yang tidak mengutamakan tata aturan perkawinan. Oleh karena itu, masalah
perkawinan ini dengan prolog dan epilognya, pengamanan dan pengamalan tata aturanny
adalah menjadi tugas suci bagi seluruh warga Negara Indonesia.2
Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tenpat yang sangat terhormat dan
sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Demikian juga
Negara-negara yang menjunjung tinggi tata aturan yang ditetapkan dalam kitab suci.
Demikian juga Negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, masalah perkawinan
1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group,2006), Hal. 1
2 Ibid, Hal. 2
1

merupakan suatu hal yang sangat prinsip dalam suatu kehidupan masyarakat dan sangat
dihormati aturan pelaksanaannya sehingga pelaksanaan perkawinan itu sesuai dengan prinsip
yang telah di sepakati bersama.3
Di dalam perkawinan banyak di atur menegani tata cara melakukan perkawinan yang
salah satunya adalah Khitbah atau Meminang. Peminangan merupakan langkah pendauluan
menuju ke arah perjodohan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki.
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin
disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan.
KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13. keseluruhan pasal yang
mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fiqih madzhab, terutama madzhab
Syafiie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih tentang peminangan seperti
hukum perkawinan yang di lakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut
ketentuan, tidak diatur dalam KHI. Oleh karen itu makalah ini di fokuskan untuk membahas
mengenai Khitbah atau peminangan itu sendiri.
1.2.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas adapun rumusan masalah yang di angkat dalam makalah ini

adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Khitbah dan apa dasar hukum Khitbah ?
2. Apa akibat hukum dari Khitbah dan larangan Khitbah ?
3. Apa syarat-syarat Khitbah dan bagaimana tata cara Khitbah ?
1.3.

Tujuan dan Manfaat


Dari rumusan masalah di atas adapun tujuan dan manfaat dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan Khitbah dan dasar hukum Khitbah
2. Mengetahui akibat hukum dari khitbah dan larangan-larangan dalam Khitbah
3. Mengetahui syarat-syarat Khitbah dan Tata cara Khitbah

3 Ibid, Hal.3
2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Khitbah dalam Perkawinan


Perkawinan dari bahasa kawin adalah Berkumpul. Secara bahasa kata nikah berarti

bergabung (), hubungan kelamin ( )dan juga berarti akad (). Kata nikah
berasal dari bahas arab nikaahun yang merupakan masdar atau kata asal dari kata nakaha.
sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagaimana yang
disebu perkawinan. Sedangkan secara bahasa kata nikah berarti adh-dhammu wattadakhul
(bertindih dan memasukkan) oleh karena itu menuru kebiasaan arab, pergesekan rumpun
pohon seperti pohon bambu akibat tiupan angina diistilahkan dengan tanakahatil asyjar
(rumpun pohon itu sedang kawin), karena tiupan angin itu terjadi pergesekan dan masuknya
rumpun yang satu keruang yang lain. Perkawinan menurut istilah sama dengan kata nikah
dan kata zawaj.

Ulama golongan syafiiyah memberikan definisi nikah melihat kepada hakikat dari akad
itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh
bergaul sedang sebelum akad berlangsung diantara keduanya tidak boleh bergaul.
Sebagaimana dikalangan ulama syafii merumuskan pengertian nikah adalah

Artinya : Akad/perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin


dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja atau yang semakna dengan
keduanya4
Sejalan dengan pendapat di atas, ulama Hanafiyah juga memberikan definisi sebagai
berikut :

4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan), Hal 37.

Artinya :Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati
kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja
Definisi-definisi yang diberikan beberapa pendapat imam mazhab, para mujtahid
sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurka syariat. Orang yang sudah
berkeinginan untuk menikah dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat
dianjurkan untuk melaksanakan nikah.
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
adalah: Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa: Perkawinan
menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
KHITBAH (Meminang)
Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja). Meminang
sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut Khitbah. Menurut etimologi,
meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri
sendiri atau orang lain)
Kata khitbah , dalam terminologi Arab memiliki akar kata yang sama dengan alkhithab dan alkhathab. Kata al-khathab berarti pembicaraan. Apabila dikatakan
takhathaba maksudnya dua orang yang sedang berbincang-bincang. Jika dikatakan
khathabahu fi amr artinya ia memperbincangkan sesuatu persoalan pada seseorang. Jika
khitbah (pembicaraan) ini berhubungan dengan ihwal perempuan, maka makna yang pertama
kali ditangkap adalah pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan pernikahannya.5
Kata peminangan Berasal dari kata pinang atau meminang
Meminang sinonimnya adalah

(kata Kerja).

melamar artinya (antara lain) meminta wanita utnuk

dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi peminangan adalah
kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang
wanita.6atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan utnuk menjadi istrinya.
5 Cahyadi Takariawan Izinkan Aku Meminangmu, (Solo: Era Intermedia 2004)
6 Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat, ( Surabaya: Al-Ikhlas, 1984), Hal.15
4

Dengan cara-cara umum berlkau di tengah-tengah masyarakat dalam pelaksanaan lamaran


(khitbah) biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya atau
keluarganya 7. Tujuannya tidak lain utnuk menghindari terjadinya kesalahpahaman diantara
kedua belah pihak.
Khitbah atau meminang merupakan langkah pendahuluan menuju ke arah perjodohan
antara seorang pria dan seorang wanita. Islam mensyariatkannya, agar masing-masing calon
mempelai dapat saling mengenal lebih dekat dan memahami pribadi mereka masing-masing.
Bagi calon suami, dengan melakukan Khitbah (pinangan) akan mengenal empat kriteria calon
istrinya, seperti yang di isyaratkan sabda Rasulullah SAW8 :

:




Artinya : Riwayat dari Abu Hurairah, Nabi SAW. Bersabda : Wanita dikawini karena
empat hal, karena hartanya, keturunanya, kecantikannya,dank arena agamanya.
Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tangan mu.
(Muttafaqalaih).
Pasal 1 bab 1 Kompilasi hukum islam huruf a memberi pengertian bahwa peminangan
ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita dengan cara yang baik (Maruf). Peminangan dapat langsung dilakukan oleh
orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara
yang dapat dipercaya (Ps.11 KHI) peminangan juga dapat dilakukan secara terang-terangan
(sharih) atau dengan sindiran (Kinayah). Seperti diisyaratkan dalam QS. Al-Baqarah [2] :
235, meski sesungguhnya konteks pembicaraannya tentang wanita yang ditinggal mati
suaminya.9



7 Ibid, Hal 15
8 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,2013) Hal : 79
9 Ibid, Hal.80
5


()
Artinya : Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang maruf. Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun. (QS. Al-Baqarah [2]:235)
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa khitbah (meminang) adalah
langkah awal kearah pernikahan berupa ungkapan ataupun perkataan yang berisi permintaan
seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk menjadi istrinya. Khitbah di tinjau dari segi
bahasa arab adalah lamaran atu permohonan seseorang laki-laki kepada seorang perempuan
yang di pinang untuk dinikahinya.
Khitbah Merupakan pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan, disyariatkan sebelum
ada ikatan suami istri dnegan tujuan agar memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian
dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak, adakalanya pernyataan keinginan
tersebut di sampaikan dengan bahasa yang jelas dan tegas atau dapat dilakukan dengan
sindiran (kinayah).
2.2. Dasar Hukum Khitbah
Dasar hukum Khitbah terdapat dalam Al-Quran dan Hadits yaitu :
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi :



Artinya : Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
6

kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang maruf.(sindiran).
Dasar dari Hadits, yaitu Hadits dari Jabir bin Abdullah riwayat Abu Daud :

Artinya : dari ibnu Jabir r.a berkata, rasulullah SAW bersabda apabila seseorang di antara
kamu meminang seorang perempuan, jikaia dapat melihat apa yang dapat
mendorongnya semakin semakin kuat unyuk menikahinya, maka laksanakanlah.
Melakukan Khitbah pada dasarnya adalah mubah (Boleh) selama tidak ada larangan
syara. Sementara mazhab Imam Malik bahwa hukum Khitbah adalah Sunnah.10 Namun
kadang ada pula pinangan ituyang menjadi makruh, seperti pinangan yang berlangsung pada
waktu ihram haji maupunihram umrah. Dalam sebuah hadits yang telah di riwayatkan dari
aban bin Utsman r.a :

Artinya : Bersabdahlah Rasulullah SAW, bahwa seorang yang sedang ihram tidak boleh
menikahkan, tidak boleh dinikahkan serta tidak boleh pula melakukan pinangan
(HR. Muslim).
Senada dengan Imam Gurunya al-syafii juga memberikan alasan yang sama yaitu
sunnah melakukan Khitbah tetapi makruh bagi muhrim laki-laki yang ihram atau muhrim
perempuan yang ihram dilarang melakuakan akad nikah. Dasar larangannya itu adalah hadits
Utsman bin Affan berbunyi :

10 Ahmad Sudirman Abaas, Pengantar Pernikahan Perbandingan Antara MAzhab, (Jakarta : PT.
Prima Heza Lestari, 2006). Hal 92
7

Artinya : DariUtsman bin Affan RA berkata : Rasulullah SAW bersabdah : Seorang laki-laki
yang sedang berihram (memakai pakain Ihram dan berhaji dan umrah) tidak dapat di larang
melakukan akad nikah, tidak dapat (dilarang)dinikahkan dan dilarang melakukan lamaran
atau dilamar. ( HR. Muslim)
Ulama lain berpendapat bahwa hukum pinangan itu disesuaikan dengan hukum pernikahan ,
sebab pinagan merupakan pintu gerbang merupakan pintu gerbang menuju pernikahan.
Apabila pernikahan tersebut hukumnya mubah, maka pinangan yang dilakukan juga mubah
dan jika pernikahan itu hukumnya wajib maka pinangan yang dilakukan berstatus wajib.
Sedangkan bila pernikahan itu hukumnya sunnah, maka pinangan hukumnya sunnah.
Demikian pul ajika pernikahan itu hukumnya makruh maka pinangan tersebut juga menjadi
makruh. Tetapi pendapat ulama yan mengatakan hukum pinangan disesuiakan dengan hukum
pernikahan dapat di bantah karena pinangan itu tidak mengikuti hukum pernikahan.
Islam membolehkan pembatalan pinangan, dengan syarat dalam melakuakan
pembatalan pinangan harus di dasarkan dengan alasan yang rasional, tidak boleh bila
pembatalan pinangan dilakuakan tampa alasan yang tidak sesuai dan tidak dibenarkan oleh
syara, karena akan mengecewakan salah satu pihak.
2.3.

Syarat-syarat Khitbah
Meminang dimaksudkan untuk mendapatkan atau memperoleh calon istri
yang ideal atau memenuhi syarat menurut syariat Islam. Menurut H.Mohammad

Anwar untuk memiliki calon istri harus memenuhi 4 syarat, ialah:


a. Kosong dari perkawinan atau iddah laki-laki lain.
b. Ditentukan wanitanya.
c. Tidak ada hubungan mahram antara calon suami dengan calon istrinya, baik mahram
senasab (keturunan) maupun mahram sesusuan dan tidak ada hubungan kemertuaan
atau bekasnya sebagaimana yang akan diterangkan nanti.
d. Wanitanya beragama Islam atau kafir kitabi yang asli, bukan kafir watsani
(penyembah berhala atau atheis atau tidak beragama sama sekali. Kecuali kalau
wanita kafir itu diislamkan dahulu baru boleh dikawin)11
Pasal 12 KHI menjelaskan, pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan terhadap seorang
wanita yang masih perawan atau janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat dipahami
sebagai syarat peminangan. Selain itu syarat-syarat lainnya, wanita yang dipinang tidak dapat
halangan seperti berikut, Pasal 12 ayat (2), (3), (4).
11 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta), Hal.216
8

a. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah rajiah, dilarang
untuk dipinang.
b. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan secara jelas dari pihak
wanita.
c. Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan
pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang di pinang.12
Ada dua syarat meminang yaitu :
a. Syarat Muhtasinah yang dimaksud dengan syarat muhtasinah adalah syarat yang
berupa anjuran kepada seorang laki-laki yangakan meminang seornag wanita agar ia
meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut, sehingga dapat
menjamin kelangsungan hidup rumah tangga kelak. Yang dimaksud dengan syarta
muhtasinah adalah :
1.) Wanita yang akan di pinang itu hendaklah sejodoh (sekufu) dengan laki-laki yang
meminangnya.
2.) Wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan wanita yang peranakan
3.) Wanita yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan meminangnya
4.) Hendaklah mengetahui keadaan-keadaan jasmaninya, budi pekertinya dan
sebagainya dari wanita yang akan dipinang.
5.) Misi advokasi,jika dalam poin satu disebutkan syarat setara (sekufu) yang menitik
beratkanpada kesamaan seperti strata, pendidikan, agama, dan tidak menutup
kemungkinan pada masalah-masalah fisik, maka dalam misi advokasi berlaku
kebalikan
b. Syarat Lazimah yang dimaksud dnegan syarat lazimah adalah syarat yang harus
dipenuhi sebelum peminangan dilakuakn. Yang termasuk kedalam syarat ini adalah :
1.) Wanita yang akan di nikahi tidak sedang ada dalam pinangan orang lain.

Artinya : Dari Umar r.a Berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Jangan lah
seorang seorang laki-laki meminang pinangan saudaranya hingga peminang
meninggalkanny atau menizinkannya (melakukan pinangan). (HR. Bukhari)
12 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,2013) Hal : 81
9

2.) Wanita yang tidak dalam masa Iddah. Haram hukumnya meminang seorang
wanita yang dalam masa talak raji. apabila wanita yang dalam masa iddah raji
yang lebih berhak mengawininya kembali adalah bekas suaminya.
Kutipam diatas dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa syarat peminangan terletak
pada wanita, yaitu :
a. Wanita yang dipinang tidak istri seseorang
b. Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan orang lain
c. Wanita yang di pinang tidak dalam masa iddah raji. Perempuan yang menjalani
masa tunggu raji, bekas suaminyalah yang berhak merujukinya. Firman Allah
dalam Surat Al-Baqarah [2]:228 :

















Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang maruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana
d. Wanita dalam masa iddah wafat, tetapi hanya boleh dipinang dengan sindiran
(kinayah). Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah :235
e. Wanita dalam masa iddah bain shughra oleh bekas suaminya.
f. Wanita dalam massa iddah bain kubra boleh dipinang bekas suaminya setelah
kawin dengan laki-laki lain, di-dukhul (berhubungan suami istri ) dan di
ceraikan.13

13 Ibid, Hal. 82
10

Selain itu untuk syarat-syarat wanita yang boleh dipinang terdapat


pada pasal 12 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:
a. peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
b. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah rajiyyah, haram dan
c.

dilarang untuk dipinang.


Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain selama

pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
d. Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan
pinangan atau secara diam-diam. Pria yang telah meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang.
2.4.

Tujuan Meminang
setiap orang yang melakuakan peminangan sebelu akad pernikahan, adalah untuk

merealisasikan tujuan yang sangat banyak diantaranya :


a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dengan yang dipinang yang dipinang
serta keluarga kedua belah pihak. Untuk menumbuhkan rasa kasih sayang selama
masa peminangan, setiap salah satu dari kedua belah pihak akan memanfaatkan
momen ini secara maksimal dan penuh kehati-hatian dalam mengenal pihak lain,
berusaha untuk menghargai dan berinteraksi dengannya.
b. Ketentraman jiwa, karena sudah merasa cocok dengan masing-masing calon
pasangannya, maka memungkinkan bagi keduanya merasa tentram dan yakin dengan
calon pasangannya.

2.5.

Tata Cara Peminangan (Khitbah)


Tata cara peminangan atau Khitbah yaitu :
1. Syarat-syarat wanita yang boleh dipinang :
a. Syarat Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran
kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita agar meneliti lebih
duhulu wanita yang akan dipinangnya itu, sehingga dapat menjamin
kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah
syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan, tetapi hanya berupa

11

anjuran dan kebiasaan yang baik saja. Tanpa syarat-syarat ini dipenuhi,
peminangan tetap sah.
b. Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi
sebelum peminangan dilakukan. Shahnya peminangan tergantung kepada adanya
syarat-syrat lazimah.
2. Melihat Wanita yang Dipinang
Melihat wanita yang dipinang itu dianjurkan oleh agama.
Tujuannya adalah supaya laki-laki itu dapat mengetahui keadaan
wanita itu sebetulnya, tidak hanya mendengar dari orang lain.
Mengenai bagian tubuh mana saja yang boleh dilihat oleh peminang pada saat
peminangan tidak diterangkan secara jelas, baik dalam Al-Quran maupun dalam
hadits, oleh karma itu ada beberapa pendapat yang berbeda dikalangan para ulama
fiqh :
a. Sebagian besar ulama fuqoha berpendapat bahwa laki-laki yang meminang
seorang wanita hanya boleh melihat muka dan telapak tangannya saja. Karma
dengan melihat muka dapat dilihat cantik tidaknya orang itu, sedang dari telapak
tangannya dapat diketahui subur atau tidaknya wanita itu.
b. Imam Dawud dan para ulama dari mazhab dhahiri berpendapat bahwa laki-laki
yang meminang seorang wanita boleh melihat seluruh bagian tubuhnya.14Namun
dalam melihat seluruh tubuhnya mazhab dhahiri berpendapat dengan melihat
seluruh tubuhnya harus satu muhrim atau melalui perantara.
Pendapat diatas berdasarkan riwayat dari Abdur-Razaq dan Said bin Mansur,
bahwa Umar pernah meminang puteri Ali yang bernama Ummu Kaltsum, ketika itu
Ali menjawab bahwa puterinya itu masih kecil. Kemudian Ali berkata lagi: nanti
akan saya suruh datang Ummu Kaltsum itu kepada Anda, bilamana Anda suka, dapat
dijadikan calon istri Anda. Setelah puterinya itu datang kepada Umar, lalu ia
membuka pahanya, serentak waktu itu Ummu Kaltsum berkata: seandainya tuan
bukan seorang khalifah, tentu sudah saya colok kedua matanya.
Sedangkan cara melihat yang dianjurkan oleh agama apabila peminang kesulitan
untuk melihat calon pendampingnya, maka ia boleh mengutus seseorang yang ia
percayai untuk melihat calon pendampingnya dengan cara melihat urat besar dibahu
dan mencium bau mulutnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

14 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992) hlm 27
12

Artinya : Lihatlah urat dibahunya dan bau di mulutnya (H.R. Ahmad)


Dengan melihat dua bagian tersebut dapat diketahui tingkat kemampuan kerjanya,
apakah termasuk orang yang rajin atau tidak, dan juga dapat diketahui
kedisiplinannya dalam menjaga kebersihan tubuh. Hak untuk memandang ini tidak
terbatas

untuk

dilakukan

oleh

pihak

laki-laki

saja.

Wanita

pun

perlu

memperhatikanya. Sepatutnya ia melihat pelamarnya. Apakah ia simpati pada lakilaki itu, seperti halnya laki-laki itu tertarik kepadanya, atau tidak? Umar bin
Khatthab r.a. mengatakan: jangan kau nikahkan anak wanitamu dengan laki-laki
yang cacat tubuhnya. Sebab ketertarikan wanita kepada laki-laki seperti itu kadang
mambuat ketidaktertarikan laki-laki kepada wanita itu.
2.6.

Larangan Meminang atau Khitbah


Larangan Meminang atau Khitbah adalah :
1. Wanita yang akan dinikahi tidak sedang ada dalam pinangan orang lain. Namun lakilai yang meminangnya telah melepaskan hak pinangannya.
Larangan untuk meminnag wanita yang

berada

dalam

pinangan orang lain adalah larang yang menitik beratkan pada


adab-adab islam dan tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa meminang wanita yang
telah dipinang oleh ornag lain hukumnya dalah haram, berkata AlKhatibi, bahwa larangan disini adalah adab sopan santun bukan
larangan haram. Menurut Imam Syafii dan Imam Hambali, bahwa
meminang itu haram jika telah diterima pinangan yang pertama
oelh pihak wanita. Tetapi apabila pinangan di tolak maka tidak lah
haram meminangnya.
Menurut Jumhur Ulama, bahwa meminang wanita yang di
pinang oleh laki-laki yang meminang pertama itu bukan orang
islam, maka haram juga orang islam meminangnya, karena menjaga
pergaulan dan hubungan baik sesama warga Negara meskipun
berlainan agama.
2. Wanita yang tidak dalam masa iddah. Haram hukumnya meminang
seorang wanita yang dalam masa talak Raji. Apabila wanita dalam
masa Iddah Raji yang lebih berhak mengawininya kembali adalah

13

bekas suaminya. Kaitanya dengan hukum haram lamaran atau


pinangan, dibagi menjadi 3 :
a. Boleh dilamar atau dipinang wanita yang dicerai dan wanita
belum disetubuhi, sebab wanita tersebut sama sekali tidak
termasuk dalam hitungan iddah menurut kesepakatan para ulam
yang didasarkan pasa firman Allah SWT dalam Q.S Al-Ahzab
(33) : 49.
















Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mutah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya
b. Wanita yang tidak boleh dilamar atau dipinang baik secara terang-terangan, yaitu
wanita yang di talak raji karena masih dalam hukum wanita yang di peristri
c. Wanita yang boleh di lamar atau di pinang dengan isyarat, tapi tidak boleh terangterangan, yaitu wanita pad masa iddah karena suaminya meninggal dunia.
d. Wanita yang dilamar atau di pinang itu berada dalam ikatan pernikahan dengan
laki-laki lain.
Akibat Hukum dari Khitbah

2.7.

Pada prinsipnya apabila peminangan telah dilakuakan oleh seorang


laki-laki terhadap seorang wanita, belum menimbulkan akibat hukum.
Kompilasi Hukum Islam menegaskan : (1) Pinangan belum menimbulkan
akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan,
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakuakan dengan
tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan
setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. (Ps.
13 KHI )
Karena peminangan prinsipnya belum berakibat hukum, maka diantara
mereka yang telah bertunangan, tetap di larang untuk berkhalwat
(

berdua-duaan),

sampai

dengan

mereka

melangsungkan

akad

perkawinan. Kecuali apabila diserta mahram, maka bersepi-sepi tadi di


bolehkan. Adanya mahram dapat menghindarkan mereka terjadinya
14

maksiat. Riwayat Sabir menyatakan Nabi SAW bersabda, barangsiapa


beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan lah mereka bersepisepi dengan perempuan yang tidak di sertai mahramnya, karena pihak
ketiganya adalah setan.
Tentang peminangan ini, dalam masyarakat terdapat kebiasaan pada
waktu

upacara

tunangan,

calon

mempelai

laki-laki

memberikan

memberikan sesuatu pemberian seperti perhiasan atau cendramata lainya


sebagai kesungguhan niatya untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan.
Apabila peminangan tersebut berlanjut ke jenjang perkawinan memang
tidak

menimbulkan

masalah.

Akan

tetapi

jika

pemberian

dalam

peminangan tersebut tidak berlanjut ke jenjang perkawinan, diperlukan


penjelasan tentang status pemberian itu, agar tidak menimbulkan
dampak negatif dalam hubungan persaudaraan.15
Apabila pemberian tersebut sebagai hadiah atau hibah, dan peminangan tidak dilanjutkan ke
jenjang perkawinan, maka si pemberi tidak dapat menuntut pengembalian hadiah atau hibah
itu. Rasulullah SAW. mengaskan : tidaka halal bagi seorang memberi suatu pemberian, atau
menghibahkan sesuatu, kemudian menarik kembali, kecuali orang tua yang memberi sesuatu
kepada anaknya. (Riwayat Ashab al-sunan).
Apabila keinginan untuk menghentikan peminangan dan tidak berlanjut ke jenjang
perkawinan adalah dari pihak laki-laki, maka dia tidak berhak menarik kembali hadiah atau
hibah yang telah diberikannya.
Namun sebaliknya apabila yang berkeinginan untuk menghentikan peminangan tersebut
adalah pihak perempuan, maka konsekuensinya pihak perempuan wajib mengembalikan
hadiah atau hibah tersebut kepada pihak laki-laki.
Persoalannya sekarang, apabila hal tersebut terjadi dan menimbulkan persengketaan.
Rasulullah SAW memberikan petunjuk utnuk dapat dipedomani, akan tetapi apabila ternyata
timbul masalah, maka musyawarah untuk mencari perdamaian adalah alternatif yang harus di
tempuh.16
15 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,2013) Hal : 83
16 Ibid, Hal 84
15

2.8.

Hikmah Peminangan (Khitbah)

Sebagaimana sebuah tuntutan, peminangan memiliki banyak hikmah dan keutamaan.


Peminangan bukan sekedar pertistriwa sosial, juga bukan semata-mata peristiwa ritual. Ia
memiliki sejumlah keutamaan yang membuat pernikahan yang akan dilakukan menjadi lebih
barakah. Diantara hikmah yang terkandung dalam peminangan atau khitbah adalah :
a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dan yang dipinang beserta kedua
belah pihak. Dengan pinangan, maka kedua belah pihak akan saling menjajaki
kepribadian masingmasing dengan mencoba melakukan pengenalan secara mendalam.
Tentu saja pengenalan ini tetap berada dalam koridor syariat, yaitu memperhatikan
batasan-batasan interaksi dengan lawan jenis yang belum terikat oleh pernikahan.
Demikian pula dapat bisa saling mengenal keluarga dari kedua belah pihak agar bisa
menjadi awal yang baik dalam mengikat hubungan persaudaraan dengan pernikahan
yang akan mereka lakukan.
b. Menguatkan tekad untuk melaksanakan pernikahan. Pada awalnya laki-laki atau
perempuan berada dalam keadaan bimbang untuk memutuskan melaksanakan
pernikahan Mereka masih memikirkan dan mempertimbangkan banyak hal sebelum
melaksanakan keputusan besar untuk menikah. Dengan khitbah, artinya proses
menuju jenjang pernikahan telah dimulai. Mereka sudah berada pada suatu jalan yang
akan menghantarkan mereka menuju gerbang kehidupan berumah tangga.
c. Menumbuhkan ketentraman jiwa. Dengan peminangan, apalagi telah ada jawaban
penerimaan, akan menimbulkan perasaan kepastian pada kedua belah pihak.
Perempuan merasa tentram karena telah terkirim padanya calon pasangan hidup yang
sesuai harapan. Kehawatiran bahwa dirinya tidak mendapat jodoh terjawab sudah.
Sedang bagi laki-laki yang meminang, ia merasa tentram karena perempuan ideal
yang diinginkan telah bersedia menerima pinangannya.
d. Menjaga kesucian diri menjelang pernikahan. Dengan adanya pinangan, masingamsing pihak akan lebih menjaga kesucian diri. Mereka merasa tengah mulai
menapaki perjalanan menuju kehidupan rumah tangga, oleh karena itu mencoba
senantiasa menjaga diri agar terjauhkan dari hal-hal yang merusakkan kebahagiaan
pernikahan nantinya. Kedua belah pihak dari yang meminang maupun yang dipinang
harus berusaha menjaga kepercayaan pihak lainnya. Allah telah memerintahkan agar
lelaki beriman bisa menjaga kesucian dir mereka.
e. Melengkapi persiapan diri Pinangan. Juga mengandung hikmah bahwa kedua belah
pihak dituntut untuk melengkapi persiapan diri guna menuju pernikahan. Masih ada
16

waktu yang bisa digunakan seoptimal mungkin oleh kedua belah pihak untuk
menyempurnakan persiapan dalam berbagai sisinya. Seorang laki-laki bisa
mengevaluasi kekurangan dirinya dalam proses pernikahan, mungkin ia belum
menguasai beberapa hukum yang berkaitan dengan keluarga, untuk itu bisa
mempelajari terlebih dahulu sebelum terjadinya akad nikah.

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Kata khitbah , dalam terminologi Arab memiliki akar kata yang sama dengan al-

khithab dan alkhathab. Kata al-khathab berarti pembicaraan. Apabila dikatakan


takhathaba maksudnya dua orang yang sedang berbincang-bincang. Jika dikatakan

17

khathabahu fi amr artinya ia memperbincangkan sesuatu persoalan pada seseorang. Jika


khitbah (pembicaraan) ini berhubungan dengan ihwal perempuan, maka makna yang pertama
kali ditangkap adalah pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan pernikahannya.
Pasal 1 bab 1 Kompilasi hukum islam huruf a memberi pengertian bahwa peminangan
ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita dengan cara yang baik (Maruf). Peminangan dapat langsung dilakukan oleh
orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara
yang dapat dipercaya (Ps.11 KHI) peminangan juga dapat dilakukan secara terang-terangan
(sharih) atau dengan sindiran (Kinayah). Seperti diisyaratkan dalam QS. Al-Baqarah [2] : 235.
Dasar hukum Khitbah terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Firman Allah dalam QS AlBaqarah ayat 235. Dasar dari Hadits, yaitu Hadits dari Jabir bin Abdullah riwayat Abu Daud.
Pasal 12 KHI menjelaskan, pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan terhadap
seorang wanita yang masih perawan atau janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat
dipahami sebagai syarat peminangan. Selain itu syarat-syarat lainnya, wanita yang dipinang
tidak dapat halangan seperti berikut, Pasal 12 ayat (2), (3), (4).
a. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah rajiah, dilarang
untuk dipinang.
b. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan secara jelas dari pihak
wanita.
c. Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan
pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang di pinang.
setiap orang yang melakuakan peminangan sebelu akad pernikahan, adalah untuk
merealisasikan tujuan yang sangat banyak diantaranya :
a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dengan yang dipinang yang dipinang
serta keluarga kedua belah pihak. Untuk menumbuhkan rasa kasih sayang selama
masa peminangan, setiap salah satu dari kedua belah pihak akan memanfaatkan
momen ini secara maksimal dan penuh kehati-hatian dalam mengenal pihak lain,
berusaha untuk menghargai dan berinteraksi dengannya.

18

b. Ketentraman jiwa, karena sudah merasa cocok dengan masing-masing calon


pasangannya, maka memungkinkan bagi keduanya merasa tentram dan yakin dengan
calon pasangannya.
Saran

3.2.

Saran dari makalah ini adalah begitu banyak permasalahan mengenai khitbah yang
belum banyak di ketahui oleh masyarakat di Indonesia khususnya yang beragama islam, oleh
sebab itu harus lah lebih di sosoialisasi lagi mengeai khitbah dan tatacata perkawinan yang
benar menurut agama.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group,2006
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia , Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan.
Cahyadi Takariawan Izinkan Aku Meminangmu, Solo: Era Intermedia 2004.
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat, Surabaya: Al-Ikhlas, 1984.
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,2013.
19

Ahmad Sudirman Abaas, Pengantar Pernikahan Perbandingan Antara MAzhab, Jakarta : PT.
Prima Heza Lestari, 2006.
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1992

20

Вам также может понравиться