Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun Oleh
INDAH DWI SETYONINGSIH
C1010016
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia,
memiliki tingkat kejahatan yang tinggi pula. Tingkat kejahatan di Indonesia
mengalami kenaikan 6% tiap tahunnya. Dapat dilihat bahwa kriminalitas
merupakan salah satu persoalan rumit yang dihadapi pemerintah dan masyarakat
di Indonesia saat ini, baik itu yang terjadi di kota-kota besar maupun kota kecil,
dari tindakan kriminal ringan sampai tindakan kriminal yang meresahkan
masyarakat. Setiap hari masyarakat juga selalu disuguhi laporan tindakan kriminal
yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia melalui berita-berita di televisi
dan koran (Patosisuru, 2010).
Menurut Humas Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Akbar Hadi, di
Jakarta, seperti dilansir suara pembaruan, (2013). Akbar mengungkapkan jumlah
penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) seluruh
Indonesia yaitu sebanyak 161.566 orang, terdiri atas 109.803 narapidana dan
51.763 tahanan. Namun jumlah Kapasitas Lapas/Rutan saat ini 102.466 orang,
sehingga mengalami kondisi over kapasitas 163 persen dari 439 Lapas/Rutan di
seluruh Indonesia.
Di Indonesia hukuman penjara saat ini menganut falsafah pembinaan
narapidana yang dikenal dengan nama Pemasyarakatan, dan istilah penjara telah
diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan berfungsi
sebagai wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat jahat melalui pendidikan
pemasyarakatan. Hal ini berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap
narapidana yang bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan
sekaligus mengayomi para narapidana dan memberi bekal hidup narapidana
setelah narapidana kembali ke masyarakat (Saheroji dalam Patosisuru, 2010).
Narapidana yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, pada
dasarnya selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan untuk bergerak,
artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam Lembaga
Pemasyarakatan saja. Kebebasan bergerak, kemerdekaan bergerak telah dirampas
untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup. Pada kenyataannya,
bukan hanya kemerdekaan bergerak saja yang hilang, tetapi juga berbagai
kemerdekaan yang lain ikut terampas (Harsono, 1995 dalam Patosisuru, 2010).
Seorang narapidana dalam jangka waktu tertentu harus berada di dalam
tempat yang dibatasi ruang lingkupnya, aktifitas yang terbatas, komunikasi
terbatas dan segala sesuatu yang terbatas. Dalam kondisi ini narapidana
mempunyai kecenderungan mengalami kecemasan. Viktoria (2007) dalam
Patosisuru (2010) menyatakan bahwa seseorang yang dipenjara berarti telah
terbukti melakukan pelanggaran, yang tentu saja tidak disukai dan ditentang oleh
masyarakat. Masyarakat pun pada akhirnya mendiskreditkan atau menurunkan
status seorang narapidana dari seseorang yang seutuhnya menjadi seseorang yang
tercemar dan diabaikan karena perbuatan yang pernah dilakukan oleh para
terpidana.
Menjadi seorang narapidana adalah sebuah kenyataan sangat pahit yang
selalu dirasakan oleh orang-orang yang harus mempertanggung jawabkan
kesalahannya. Di dalam UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan, pengertian
narapidana
adalah
terpidana
yang
hilang
kemerdekaan
di
lembaga
dari
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
cemas,
ketegangan,
kecerdasan,
ketakutan,
perasaan
depresi
gangguan
(murung),
tidur,
gejala
Selain kuesioner
>t
tabel
tabel
yaitu 10,948 > 1,980. Dan hasil value 0,000 lebih kecil dari 0,05
sehingga kedua kriteria ini menunjukan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yaitu
ada pengaruh yang signifikan antara Terapi Video Humor Terhadap Tingkat
Kecemasan Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Kelas II B Slawi Tahun
2014.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian berdasarkan umur Karaktristik responden berdasarkan
umur sebagian besar berumur 25 tahun sebesar 27,1%.
Menurut Hurlock (2004) dalam Patotisuro (2006) yang membagi masa usia
dewasa menjadi tiga bagian yaitu dewasa awal 18-40 tahun, dewasa madya 41-60
tahun dan dewasa akhir lebih dari 60 tahun. Berdasarkan pendapat yang
dikemukakan oleh Hurlock (2004) narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas
IIB Slawi berada pada kategori dewasa awal yaitu 18-40 tahun dimana pada
rentang usia ini pengalaman hidup seseorang masih sedikit sehingga ketika
masalah dalam kehidupan muncul akan menimbulkan stres yang berlebihan.
Ini diperkuat dengan adanya data statistik di banyak negara, termasuk pula di
Indonesia menunjukkan bahwa kejahatan itu paling banyak dilakukan oleh orangorang muda pada usia 18-40 tahun, khususnya kejahatan yang menggunakan
kekerasan. Pernyataan tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kartono (2007) yang berjudul pengaruh pemberian masa kebebasan dengan
tingkat kecemasan di lembaga permasyarkatan II B Surabaya. Hal ini diperkuat
oleh Shinkfield (2004) dikutip dari Kartono (2007), yang menyatakan bahwa usia
merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada narapidana. Usia
yang lebih tua kemungkinan lebih rendah untuk menjadi cemas atau tertekan
sebelum masa pembebasan dari pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan
oleh pengalaman yang terjadi sebelumnya pada usia yang lebih tua.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mukhlis (2011) tentang
pengaruh terapi membatik terhadap depresi pada narapidana Rumah Tahanan
Kelas II B Rembang Jawa Tengah yang menyebutkan bahwa sebagian besar
narapaidana berumur antara 18-40 tahun sebanyak 56,7% yang merupakan
klasifikasi dari dewasa awal.
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Slawi memiliki tingkat
kecemasan sedang, dimungkinkan karena pengalaman hidup warga binaan jika
dilihat pada usia ini tergolong masih sedikit sehingga dalam menyikapi setiap
permasalahan yang ada akan menjadi besar. Berbeda ketika usia seseorang
tersebut berada pada usia yang jauh lebih tua dimana pengalaman hidupnya sudah
sangat banyak sehingga dalam menyikapi permasalahan yang ada akan menjadi
semakin bijak. Oleh karena itu usia yang lebih muda akan lebih mudah
mengalami kecemasan.
Hasil
penelitian
berdasarkan
pendidikan
Karakteristik
responden
merasakan perasaan yang ditekan ke dalam alam bawah sadar kita bila terjadi
peningkatan akan adanya bahaya dari dalam. Kecemasan dalam kategori
kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian
yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah (Ibrahim, 2012).
Berdasarkan penelitian oleh Harson (2005) yang berjudul Pengaruh
Pemberian Terapi Rohani Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan pada
Narapidana Menjelang Masa Pembebasan di Lapas Semarang, menyebutkan
bahwa kecemasan narapidana menjelang kebebasan di Lembaga Pemasyarakatan
Semarang, pada dasarnya selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan
untuk bergerak, artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di
dalam Lembaga Pemasyarakatan saja. Kebebasan bergerak, kemerdekaan
bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup.
Pada kenyataannya, bukan hanya kemerdekaan bergerak saja yang hilang, tetapi
juga berbagai kemerdekaan yang lain ikut terampas.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tim
Pengabdian Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
pada tahun 2006 yang berjudul study kasus faktor-faktor kecemasan narapidana di
lapas Surakarta. Didapatkan data sebagai berikut dibandingkan dengan narapidana
yang menjalani pidana lebih dari 5 tahun dan sudah menjalani pidana kurang dari
setengah dari vonis, narapidana yang mendapat putusan baru dengan pidana lebih
dari 1 tahun, narapidana yang mendapat putusan baru dengan pidana kurang dari 1
tahun, dan tahanan, bahwa narapidana yang menjelang bebas memiliki
kecenderungan mengalami kecemasan dalam kategori kecemasan sedang.
Masuknya seseorang dalam penjara dapat menyebabkan munculnya
dampak dari stres yang dirasakan oleh narapidana. Kecemasan dalam kategori
sedang yang dialami oleh narapidana yang dapat mengganggu fisik dan psikis
namun kecemasan tersebut masih bisa mereka atasi.
Tingkat kecemasaan sesudah dilakukan terapi video humor di Lembaga
Permasyarakatan Kelas II B Slawi Tahun 2014 mempunyai rata-rata tingkat
kecemasan ringan 44,3%. Hal ini terlihat ada peningkatan jumlah kecemasan
Hal ini dimungkinkan karena peneliti tidak menetahui latarbelakang stressor tiap
responden dan peneliti tidak dapat mengawasi 24 jam penuh sehingga apa yang
dilakukan responden dan segala bentuk tindakan atau yang dapat mempengaruhi
emosi responden tidak diketahui pasti oleh peneliti dimana semua itu dapat
berpengaruh pada peningkatan maupun penurunan tingkat kecemasan.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengaruh yang signifikan antara
Terapi Video Humor Terhadap Tingkat Kecemasan Narapidana di Lembaga
Permasyarakatan Kelas II B Slawi Tahun 2014. Hal ini diperkuat dengan hasil
rata-rata skor tingkat kecemasan yang di uji menggunakan alat kuesioner HRSA
bahawa terdapat penurunan jumlah rata-rata antara pre test dan post test.
Penurunan tingkat kecemasan ini karena humor pada penelitian ini
disajikan dalam bentuk tayangan visual. Menurut Ross (1999) dalam Paskah
(2012)
dengan
Peningkatan
judul
Pengaruh
Memori
Pada
Tayangan
Mahasiswa
Humor
Terhadap
Fakultas
Psikologi
sesuatu hal yang dapat mengganggu penayangan video humor. Hal ini bertujuan
agar tidak mengganggu keadaaan emosi responden.
Narapidana yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, pada
dasarnya selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan untuk bergerak,
artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam Lembaga
Pemasyarakatan saja. Kebebasan bergerak, kemerdekaan bergerak telah dirampas
untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup. Pada kenyataannya,
bukan hanya kemerdekaan bergerak saja yang hilang, tetapi juga berbagai
kemerdekaan yang lain ikut terampas (Harsono, 1995 dalam Patosisuru, 2010).
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber stres
(stressor). Misalnya, tuntutan hukum, pengadilan, penjara dan lain sebagainya.
Selain dari pada itu tidak ditegakkannya sepremasi hukum yang berdampak pada
ketidakadilan dapat pula merupakan sumber stres (Hawari, 2008).
Gangguan emosional yang dialami narapidana ini jika tidak ditangani
dengan baik akan beresiko pada gangguan kejiwaan seperti bunuh diri. Penerapan
berupa terapi video humor dalam Lapas dapat memberikan alternative penurunan
kecemasan selama masa tahanan berlangsung.
Emosi yang keluar saat penanyangan video humor berupa emosi positif.
Proses tawa dalam terapi video humor akan menghasilkan perasaan lega pada
individu. Ini disebabkan tawa secara alami menghasilkan pereda stres dan rasa
sakit (Ariana, 2006 dalam Agustina, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh
Agustina (2009) dengan judul pengaruh terapi tertawa dengan media video
terhadap tingkat kecemasan pengguna NAPZA di Pondok Pesantren Al Bukharah
Jakarta memberikan keterangan bahwa pemberian stimulasi humor berupa video
dalam pelaksanaan terapi diperlukan karena beberapa orang mengalami kesulitan
untuk memulai tertawa tanpa adanya alasan yang jelas. Stimulasi humor yang
dimaksud dapat diberikan dalam bentuk berbagai media, seperti VCD, notes,
badut, dan komik. Apabila humor diberikan sebagai satu-satunya stimulus untuk
menghasilkan tawa dalam setting terapi akan disebut sebagai terapi humor, namun
jika dikombinasikan dengan hal-hal lain dalam rangka untuk menciptakan tawa
alami (misalnya dengan yoga atau meditasi) akan disebut sebagai terapi tawa
(Agustina, 2009).
Ketika terapi video humor dilakukan setidaknya seseorang akan
melakukan gerakan senyuman. Menurut Estefan Zlatandove (dalam Agustina,
2009) tersenyum dan bergembira selama beberapa menit dalam setiap hari dapat
banyak membantu menjaga kestabilan kondisi kejiwaan seseorang.
Para pakar ilmu jiwa menyatakan bahwa mengulang-ulang senyuman akan
melapangkan manusia dan menjadikannya merasa emosinya lebih stabil. Lebih
dari itu, mereka mendapati bahwa senyuman ini dapat meminimalisir depresi yang
kadang-kadang mendera manusia. Ada cukup banyak data dari penelitian medis
yang menunjukkan bahwa kendati seseorang hanya berpura-pura tertawa atau
bersikap gembira, tubuh telah menghasilkan zat-zat kebahagiaan. Menurut prinsip
Neurolinguistic Programming apapun yang terkait dengan usaha memunculkan
tawa tetap merupakan suatu bentuk latihan. Tubuh tidak mengetahui perbedaan
antara berpikir mengenai sesuatu dengan benar-benar melakukannya. Maka
apapun sumbernya, tawa menimbulkan serangkaian perubahan fisiologis yang
sama di dalam tubuh kita (Kataria, 2004, dalam Agustina, 2009).
Fisiologis terapi humor audiovisual atau terapi video humor dengan cara
memberikan input sensori berupa audio maupun visual yang nantinya akan masuk
ke otak dan diproses di amygdala sehingga menimbulkan muatan emosi yang
positif. Amygdala yaitu bagian sistem limbic yang menangani emosi. Terapi video
humor secara emosi akan menghasilkan tawa yang dapat merangsang pengeluaran
endophine, serotonin dan metanonin, yaitu sejenis morfin alami tubuh. Secara
fisik seseorang tidak dapat tertawa dan merasa cemas secara bersamaan. Dalam
otak manusia sudah terprogram bahwa jika seseorang tertawa secara otomatis
mengurangi rasa cemas, hal ini dikarenakan ketiga zat inilah yang dapat membuat
seseorang merasa tenang dan dapat menurunkan produksi CRV yaitu sejenis
senyawa yang dapat meningkatkan produksi hormon aderenal dan kortisol yang
sering disebut-sebut sebagai hormon pemicu rasa takut, kecemasan dan stres
(Gunawan, 2004).
humor
terhadap
tingkat
kecemasan
narapidana
di
Lembaga
melanjutkan dalam dimensi yang berbeda dan lebih luas sehingga dapat
membantu kesehatan jiwa para narapidana.
DAFTAR PUSTAKA
Adisty. (2012). CEO Multi Health System. Diakses pada tanggal 16 Maret 2014
melalui http://detik.com
Agustina, E. (2009). Pengaruh Terapi Tertawa Dengan Media Video Terhadap
Tingkat Kecemasan Pengguna NAPZA di Pondok Pesantren Al Bukharah
Jakarta. Diakses pada tanggal 13 Maret 2014 melaui http://lib.ui.ac.id
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta
Asadi, M. (2011). Tertawalah biar Sehat. Yogyakarta: Diva Press
Fahruliana, R. (2008). Pengaruh Pemberian Terapi Humor Terhadap Penurunan
Tingkat Kecemasan pada Narapidana Menjelang Masa Pembebasan.
Diakses pada tanggal 14 Maret 2014 melaui http://lib.uin-malang.ac.id
Gunawan, AW. (2004). Genius Learning Strategy. Edisi 2. Jakarta: Ikrar
Mandiriabadi
Hawari, D. (2008). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: FKHarson.
(2005). Pengaruh Pemberian Terapi Rohani Terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan pada Narapidana Menjelang Masa Pembebasan di Lapas
Semarang. Diakses pada tanggal 14 Juni 2014 melaui http://undip.ac.id
Herdiana, I. (2009). Profil Kecemasan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
di Kota Bandung. SKRIPSI Fakultas Psikologi Tahun 2009. Diakses
pada tanggal 30 Juli 2014 melaui http://unpad.ac.id
Marmiyati. (2013). Jumlah Narpidana Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Maret
2014 melalui http://suarapembaruan.com
Ibrahim, AS. (2012). Panik Nekrosis dan Gangguan Cemas. Jakarta: Jelajah Nusa
Lyndon, S. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Binarupa
Aksara
Nanda. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Nasir, dkk. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nita, dkk. (2013). Laporan Pendahuluan tentang Masalah Psikososial. Jakarta:
Salemba Medika
Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Paskah, AS. (2009). Pengeruh Tayangan Humor Terhadap Peningkatan Memori
Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatra Utara. Skripsi
Fakultas Psikologi Universitas Sumatra Utara. Diakses pada tanggal 13
Maret 2014 melalui http//www.usu.ac.id
Patosisuru, LB. (2010). Hubungan Berfikir Positif Dengan Kecemasan
Menghadapi Masa Bebas Pada Narapidana. Skripsi Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana. Diakses pada tanggal 13 Maret 2014 melalui
http//www.bmj.com
Purwanto, B. (2013). Herbal dan keperawatan kompelementer: Teori, Praktik,
Hukum dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Rahmanadji, D. (2007). Sejarah, Teori, Jenis dan Fungsi Humor. Artikel Bahasa
dan
Seni.
Diakses
pada
tanggal
14
Maret
2014
melalui
http://sastra.um.ac.id
Rani, F. (2011). Pengaruh Pemberian Terapi Humor Terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan Pada Narapidana Menjelang Kebebasan di Lapas Malang.