Вы находитесь на странице: 1из 25

KEJANG DEMAM

A. Konsep Dasar
1. Pengertian

Kota Tangerang adalah sebuah kota yang terletak di


Tatar Pasundan Provinsi Banten, Indonesia. Kota ini terletak
tepat di sebelah barat ibu kota negara Indonesia, Jakarta.
Kota

Tangerang

berbatasan

dengan Kabupaten

Tangerang di sebelah utara dan barat, Kota Tangerang


Selatan di sebelah selatan, serta Daerah Khusus Ibukota
Jakarta di sebelah timur. Tangerang merupakan kota
terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di
kawasan Jabodetabek setelah

Jakarta

dan

Bekasi

di

provinsiJawa Barat.
Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul
akibat kenaikan suhu tubuh. Kejang demam ialah bangkitan kejang yg
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium (Hasan, 1995).
Banyak pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam, salah
satu diantaranya adalah : Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi
atau anak, biasanya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan
dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur
kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dapat dibedakan

dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang berulang tanpa demam


(Mansjoer, 2000).
2. Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan
Seperti yang dikemukakan Syaifuddin (1997), bahwa system saraf terdiri
dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum,
medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum
tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system) yang terdiri
dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla
spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari
sympatis

(sistem

saraf

simpatis)

dan

parasymphatis

(sistem

saraf

parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus
oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi
struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau guncangan. Meningen
terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :
a. Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan
superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis
anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla
cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat
sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat
pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia
alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah berada di

dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah yang
disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali
impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi
thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik.
Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus
terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai
kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah
penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur
metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan
haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh,
maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang
demam, hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut karena
fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat
adanya proses-proses patologik ekstrakranium.
3) Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang
otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi
aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini
terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan
dikirim ke cortex cerebri.
b. Serebellum

Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati


fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum
yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung
keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus
cranialis ada 12 pasang :
1) N. I

: Nervus Olfaktorius

2) N. II

: Nervus Optikus

3) N. III

: Nervus Okulamotorius

4) N. IV

: Nervus Troklearis

5) N. V

: Nervus Trigeminus

6) N. VI

: Nervus Abducen

7) N. VII

: Nervus Fasialis

8) N. VIII

: Nervus Akustikus

9) N. IX

: Nervus Glossofaringeus

10) N. X

: Nervus Vagus

11) N. XI

: Nervus Accesorius

12) N. XII

: Nervus Hipoglosus.

System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat
dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan
efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya
mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan
parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus
symphatis

3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion


kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:
1.

Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak

2.

Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.

3. Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan Pasti,
demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu
tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi
dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia
(penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia,
dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang disebabkan oleh
gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus pencetusnya
dihilangkan (Corwin, 2001).
4. Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan
sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron terjadi
keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat
dirubah dengan adanya :
a.

Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler

b.

Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis,


kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya

c.

Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena


penyakit atau keturunan.
Pada

kenaikan

suhu

tubuh

tertentu

dapat

terjadi

perubahan

keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari
ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya sehingga
terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang
rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang kejang
tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada bagan di bawah ini :
Kejang demam
Inflamasi
Infeksi
Peningkatan suhu tubuh
Metabolisme basal meningkat
Kebutuhan O2 meningkat
Glukosa ke otak menurun
Perubahan konsentrasi dan jenis ion
di dalam dan di luar sel

Difusi ion Na+ dan K+

Kejang

Durasi pendek
Sembuh

Durasi lama
Apnea

O2 menurun
Kebutuhan O2 meningkat
Hipoxemia
Metabolisme otak
meningkat

Hiperkapnia

Hipotensi arterial

Aktivitas otot meningkat


Hipoxia
Permeabilitas meningkat
Edema otak
Kerusakan sel neuron otak
Epilepsi

5. Tanda dan Gejala


Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data antara
lain klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah, badan klien
panas dan berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).
6. Komplikasi

Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya


terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi.
Mula mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul
spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan
kejang demam :
a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental

7. Penatalaksanaan / Pengobatan
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a.

Memberantas kejang secepat mungkin


Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat pilihan
utama adalah diazepam secara intravena. Apabila diazepam tidak tersedia
dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus.

b.

Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring
untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas agar
oksigen terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan pengobatan
ditambah dengan pemberian oksigen. Tanda tanda vital diobservasi
secara ketat, cairan intravena diberikan dengan monitoring.

c.

Pengobatan di rumah

Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah.


Pengobatan ini dibagi atas 2 golongan yaitu :
1)

Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari diberikan
obat campuran anti konvulsan dan anti piretik yang harus diberikan
pada anak bila menderita demam lagi

2)

Profilaksis jangka panjang


Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil
dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya
kejang di kemudian hari.

d.

Mencari dan mengobati penyebab


Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy yang
diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas
dan otitis media akut.

B. Asuhan Keperawatan
1.

Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan untuk mengumpulkan data serta
menganalisa data sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan
klien (Gaffar, 1997). Dalam upaya pengumpulan data sebagai langkah awal
dari proses keperawatan penulis melakukan pengkajian, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam pengkajian adalah
pengumpulan data dan merumuskan prioritas masalah. Sedangkan tujuan dari
pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan datadata, mengelompokkan
dan menganalisa data sehingga ditemukan diagnosa keperawatan (Gaffar,
1997).
Tahapan pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian

yang akurat dan lengkap sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat
penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan sesuai dengan
respon individu sebagaimana yang ditentukan dalam standar praktek
keperawatan dari American Nursing Association.
Pengkajian keperawatan data dasar yang komprehensif adalah kumpulan
data yang berisikan mengenai status kesehatan klien untuk mengelola
kesehatan terhadap dirinya sendiri dan hasil konsultasi dari medis (terapis)
atau profesi kesehatan lainnya (Taylor, Lilis Le Mone, 1997).
Berdasarkan sumber data, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung
dari klien, yaitu data tersebut diperoleh dari klien yang sadar maupun klien
tidak sadar sehingga tidak dapat berkomunikasi misalnya data tentang
kebersihan diri atau data tentang kesadaran. Data sekunder adalah data yang
diperoleh selain dari klien, seperti dari perawat, dokter, catatan perawat, serta
dari pemeriksaan seperti pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan
diagnostik lainnya, dari keluarga atau dari kerabat dekat.
Secara umum ada beberapa cara pengumpulan data dengan observasi,
konsultasi, validasi data, anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi adalah
pengumpulan data melalui hasil pengamatan (melihat, meraba atau
mendengarkan) tentang kondisi klien dalam kerangka asuhan keperawatan.
Konsultasi adalah seorang spesialis diminta untuk mengidentifikasikan
caracara untuk pengobatan dan penanganan penyakit klien.
Anamnesa atau wawancara adalah cara pengumpulan data melalui
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan
klien, seperti inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan otot
bantu pernafasan, inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya.

10

Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetukkan jari tengah


kejari tengah yang lainnya untuk normal atau tidaknya suatu organ tubuh.
Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan cara meraba klien seperti
lokasi pada rongga abdomen untuk mengetahui lokasi nyeri atau untuk
mengetahui adanya massa.
Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan
stetoskop, misalnya auskultasi dinding abdomen untuk mengetahui bising
usus, mendengarkan suara paru paru, bunyi jantung.
Adapun pengkajian untuk mengumpulkan datadata yang akurat terhadap
Kejang Demam yaitu dimulai dengan anamnesa kepada klien dan
keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.

Hal hal yang perlu dikaji antara lain :


a. Identitas pasien dan keluarga
1)

Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa


dan alamat

2)

Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku


dan bangsa

3)

Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan


bangsa.

b. Kesehatan fisik
1) Pola nutrisi
Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat
disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi makan

11

sehari hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa, frekuensi


makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.
2) Pola eliminasi
3) Pola tidur
Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan lamanya
tidur serta kebiasaan sebelum tidur
4) Pola hygiene tubuh
Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong kuku
dan rambut
5) Pola aktifitas
Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.
c. Riwayat kesehatan yang lalu
1) Riwayat prenatal
Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan
kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan obat
obatan yang diminum saat hamil.

2) Riwayat kelahiran
Kelahiran spontan atau dengan bantuan bantuan, aterm atau
premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir, panjang badan,
ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.
3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi
Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa,
pernahkah menderita penyakit yang gawat.
Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada
keluarga yang pernah menderita kejang.
4) Tumbuh kembang

12

Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak


sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial.
5) Imunisasi
Yang

perlu

dikaji

adalah

jenis

imunisasi

dan

umur

pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa alasannya.


d. Riwayat penyakit sekarang
1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul setelah
24 jam pertama setelah demam
2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu
badan meningkat
3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan dan
apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan untuk
mengatasi kejang.
4) Riwayat sosial ekonomi keluarga
Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota
keluarga dan masyarakat sekitarnya.

5) Riwayat psikologis
Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua
sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.
e. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar kepala
2) Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat,
pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)
3) Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise
4) Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit

13

5) Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut serta


kebersihannya
6) Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra
7) Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media
Akut / Kronis
8) Hidung umumnya tidak ada kelainan
9) Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis
10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada
11) Paru paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan
12) Jantung : Umumnya normal
13) Abdomen : Mual mual dan muntah
14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.
Setelah selesai mengumpulkan data maka selanjutnya data tersebut
dikelompokkan. Pengelompokan data dapat dibagi atas data dasar dan data
khusus (Carpenito, 1997). Data dasar terdiri dari data fisiologis, data
psikologis, data sosial dan spiritual. Sedangkan data khusus adalah data yang
bersifat khusus, misalnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen
dan sebagainya.
2.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau
masalah kesehatan aktual atau rester / resti (Gaffar, 1997). Pada tahap
diagnosa keperawatan penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari
hasil pengkajian dan mengidentifikasi masalah keperawatan, baik yang dapat
dicegah, dapat dikurangi maupun yang dapat ditanggulangi dengan tindakan
keperawatan.

14

Diagnosa keperawatan dibagi sesuai dengan masalah kesehatan klien


yaitu :
a. Aktual, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan masalah yang
nyata saat ini dengan data klinis yang ditemukan.
b. Rester, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah
kesehatan yang nyata yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi
keperawatan, saat ini masalah belum ada tetapi etiologi sudah ada.
c. Possible, yaitu diagnosa keperawatan yang timbul akibat adanya
tambahan masalah
Komponen komponen berikut ini menandai tiga bagian pernyataan
perubahan keperawatan
a. Diagnosa keperawatan, merupakan pernyataan yang menggambarkan
perubahan status kesehatan klien. Perubahanperubahan menyebabkan
masalah dan perubahan yang tidak menguntungkan pada kemampuan
klien untuk berfungsi. Diagnosa keperawatan adalah frase atau pernyataan
yang ringkas, diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk membuat
kriteria hasil asuhan keperawatan dan menentukan intervensi intervensi
yang diperlukan untuk mencapai kriteria hasil.
b. Etiologi, pernyataan etiologi mencerminkan penyebab masalah klien yang
menimbulkan

perubahanperubahan

pada

status

kesehatan

klien.

Penyebab tersebut dapat berhubungan dengan tingkah laku klien,


patofisiologi, psikososial, perubahanperubahan situasional pada gaya
hidup, usia perkembangan, faktor budaya dan lingkungan. Diagnosa
keperawatan dapat diterapkan untuk semua area keperawatan, seperti
medikal bedah, kesehatan ibu dan anak, pediatrik, kesehatan komunitas.
Batasan karakteristik, merupakan kelompok petunjuk klinis yang
menggambarkan tingkah laku, tanda dan gejala yang menggambarkan

15

diagnosa keperawatan. Batasan karakteristik diperoleh selama tahap


pengkajian, memberikan bukti bahwa ada masalah kesehatan gejala (data
subjektif) adalah perubahan yang dirasakan oleh klien dan diekspresikan
secara verbal kepada perawat. Tanda (data objektif) adalah perubahan yang
diamati pada status kesehatan klien. Identifikasi minimal tiga tanda dan gejala
sebagai

bukti

yang

cukup

untuk

mendukung

pemilihan

diagnosa

keperawatan .
Adapun masalah keperawatan pada klien dengan kasus Febrile
Convulsion menurut Ngastiyah (19997) adalah :
a. Resiko tinggi terhadap kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang
b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata,
proses infeksi
c. Resiko terjadi bahaya / komplikasi berhubungan dengan aktifitas kejang
d. Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan tindakan invasif,
prosedur tindakan
e. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.
Menurut

Doenges

(2000), diagnosa

keperawatan

pada

Febrile

Convulsion adalah :
a. Resiko terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
b. Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan
dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal ratarata, proses infeksi
d. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, dan aturan pengobatan
berhubungan dengan kurang informasi.

16

Sedangkan menurut Carpenito (1990), diagnosa keperawatan yang


terdapat pada kasus Febrile Convulsion adalah :
a. Resiko tinggi tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan
relaksasi lidah, sekunder terhadap gangguan inversi otot
b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata,
proses infeksi.
3.

Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap yang paling penting yang dibuat setelah
merumuskan diagnosa keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk
mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien,
sehingga tercapai kondisi kesehatan klien yang optimal (Gaffar, 1997).
Pada tahap perencanaan setelah memprioritaskan masalah keperawatn,
penulis menetapkan tujuan dan kriteria tindakan yang dapat mencegah,
mengurangi dan menanggulangi masalah kesehatan yang disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan klien saat ini serta menuliskan tujuan yang ditetapkan
harus nyata, dapat diukur dan mempunyai batasan waktu pencapaian.
Adapun komponen tahap perencanaan adalah :
Membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan diurutkan dengan prioritas tinggi, sedang, ringan
masalah dengan prioritas tinggi mencerminkan situasi yang mengancam
hidup (misalnya bersihan jalan nafas). Masalah dengan prioritas rendah tidak
berhubungan secara langsung dengan keadaan sakit atau prognosis yang
spesifik (misalnya masalah keuangan). Masalah dengan prioritas tingi
membutuhkan perhatian yang cepat dibandingkan dengan prioritas rendah.
Hirarki

kebutuhan

Maslow

(1968)

membantu

perawat

untuk

memprioritaskan urutan diagnosa keperawatan, kerangka hirarki ini termasuk


kebutuhan fisiologis dan psikologis. Lima tingkatan hirarki ini adalah

17

fisikologis, keselamatan dan keamanan, mencintai dan memiliki, harga diri


dan aktualisasi diri.
Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile Convulsion menurut
Doenges (2002), yaitu :
1. Diagnosa keperawatan I
Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
Tujuan dan kriteria hasil :
Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :

Menunjukkan

efektifitas

pernafasan

selama

kejang

dan

sesudahnya

Tidak terdapat tanda injuri, perlukaan di seluruh organ tubuh

Rencana Tindakan :
1.1

Gali bersama-sama keluarga berbagai stimulasi yang


dapat menjadi pencetus kejang
Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini mungkin
komplikasi yang dapat terjadi

1.2 Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang


terpasang dengan posisi tempat tidur rendah
Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada di tempat
tidur
1.3 Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu melalui
lubang telinga jika perlu
Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut
1.4 Tinggallah bersama klien dan keluarga dalam waktu beberapa lama /
setelah kejang

18

Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga, mengobservasi gejala


lanjut
1.5 Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik. Miringkan
kepala ke salah satu sisi dan lakukan suction pada jalan nafas sesuia
indikasi
Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal, drainage sekret, dan
memfasilitasi saat melakukan suction
1.6 Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau bantu
meletakkan pada lantai jika keluar dari tempat tidur
Rasional : Menurunkan resiko cedera
2. Diagnosa keperawatan II
Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan
dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
Tujuan dan kriteria hasil :
Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi nafas dalam batas
normal, jalan nafas bersih
Rencana Tindakan :
2.1 Kosongkan mulut klien dari benda / zat makanan
Rasional : menurunkan resiko aspirasi
2.2 Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan
kepala, selama serangan kejang
Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret, mencegah lidah
jatuh, dan menyumbat jalan nafas
2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen
Rasional : Memfasilitasi usaha bernafas dan ekspansi dada
2.4 Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau golongan benda lunak
sesuai dengan indikasi

19

Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat


melakukan suction
2.5 Melakukan pengisapan (suction) sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia
3. Diagnosa keperawatan III
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal ratarata, proses infeksi
Tujuan dan kriteria hasil :
Suhu

tubuh

dalam

batas

normal,

yang

ditunjukkan

dengan

mendemontrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan, tidak


mengalami komplikasi yang berhubungan
Rencana Tindakan :
3.1 Pantau suhu tubuh
Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius akut.
Pola demam dapat membantu dalam diagnosis
3.2 Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di
tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
3.3 Berikan kompres hangat
Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek vasodilatasi
air hangat melalui proses evaporase
3.4 Kolaborasi : Berikan antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi
sentranya pada hipotalamus meskipun demam mungkin dapat berguna
dalam membatasi

pertumbuhan

organisme

dan meningkatkan

autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi.

20

4 Diagnosa keperawatan IV
Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi, dan aturan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan persepsi
Tujuan dan kriteria hasil :
Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai rangsang yang
dapat menyebabkan aktifitas kejang, dengan kriteria :
Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan secara sederhana.
Rencana Tindakan :
4.1 Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit
Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi kesalahan
persepsi dan keadaan penyakit yang ada sesuai dengan yang ditangani
4.2 Tinjau kembali obat-obat yang didapat
Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang dapat
merupakan penyebab kecemasan keluarga
4.

Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana
setelah dilakukan validasi, penugasan ketrampilan interpersonal, intelektual
dan teknikal (Gaffar, 1997, 49).
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien vulnus scissum untuk
memenuhi antara lain : mencegah infeksi, meningkatkan penyembuhan luka,
meningkatkan kondisi kesehatan dan koping individu dan keluarga serta
mencegah komplikasi cedera selanjutnya.
Tahap pelaksanaan merupakan bentuk tindakan untuk direncanakan
sebelumnya dan disesuaikan dengan situasi secara cermat dan efisien. Dalam
melaksanakan tindakan keperawatan penulis menyesuaikan dengan kondisi
yang sesuai dengan kebutuhan klien saat itu, tidak semata mata berdasarkan

21

prioritas masalah yang direncanakan sebelumnya serta disesuaikan dengan


waktu pelaksanaan tindakan. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan
penulis juga melaksanakan tindakan observasi dan pengumpulan data untuk
melihat perkembangan klien selanjutnya.
Komponen tahapan dalam menyusun implementasi :
a.

Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa


perintah dokter, tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan
standar praktik American Nursing Association (1973), undangundang
praktik perawat negara bagian dan kebijakan institusi perawat kesehatan.

b.

Tindakan

keperawatan

kolaboratif,

diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawatan


kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan
untuk mengatasi masalah masalah klien.
c.

Dokumentasi

tindakan

keperawatan

dan

respons klien terhadap tindakan keperawatan, dokumentasi merupakan


pernyataan

dari

mempertahankan

kejadian

atau

aktifitas

yang

otentik

dengan

catatan catatan yang tertulis. Dokumentasi

merupakan wahana untuk komunikasi dari salah satu profesional ke


profesional lainnya tentang status klien. Dokumentasi klien memberikan
bukti

tindakan

keperawatan

mandiri

dan

kolaboratif

yang

diimplementasikan oleh perawat.


5.

Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap
asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan
keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk
menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan.

22

Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam


meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak
menunjukkan rasa nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan
cairan terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan
pengatahuan orang tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus
menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi
tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang
dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan
jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
a.

Pencapaian kriteria hasil


Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk
pengukuran. Bila kriteria hasil telah dicapai, kata Sudah Teratasi dan
datanya ditulis di rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil belum
tercapai, perawat mengkaji kembali klien dan merevisi rencana asuhan
keperawatan.

b.

Keefektifan tahap tahap proses keperawatan


Faktor faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat
terjadi di seluruh proses keperawatan.
1) Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.
2) Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua
3) Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga
4) Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan tahap
empat.
5) Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.

23

DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius,
Jakarta
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta

24

Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,


Jakarta
Gaffar, La Ode Jumadi (1997), Pengantar Keperawatan Profesional, EGC, Jakarta
Hasan, Dr. Rusepno (1995), Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Pusponegoro, Titut S., dkk (2000) Perinatologi, EGC, Jakarta
Saifuddin (1997), Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, EGC, Jakarta
Susan Martin, dkk (1998), Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan,
Diagnosa dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC,
Jakarta

25

Вам также может понравиться