Вы находитесь на странице: 1из 8

A.

Pertumbuhan Konsep Negara Hukum


Dilihat dari sejarah, perkembangan dan dinamika konsep negara hukum dari
waktu ke waktu, dapat dilihat dengan jelas bahwa konsep negara hukum
senantiasa berubah seiring dengan perkembangan masyarakat dan zamannya. Oleh
karena itu, dekonstruksi mengenai konsep dan fungsi negara hukum (dengan
segala istilah yang digunakan) tersebut juga perlu ditinjau dan dirumuskan
kembali agar tercipta sebuah negara hukum yang mempunyai legitimasi sebagai
penjamin ketertiban dan kepastian dalam suatu negara hukum, hukum yang
terdapat dalam sebuah negara hukum mengalami pergeseran menjadi penjamin
kedaulatan, menjamin kesejahteraan umum dan semakin sesuai dengan tuntutan
perkembangan masyarakat, hukum yang berkeadilan dan menjadi sebuah konsep
negara hukum yang sesuai dengan abad modern.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat
hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan,
dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan
politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan
membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu
perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana
mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi
kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar
yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah
Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai the guardian dan sekaligus the
ultimate interpreter of the constitution.
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep
rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy
yang berasal dari perkataan nomos dan cratos. Perkataan nomokrasi itu dapat
dibandingkan dengan demos dan cratos atau kratien dalam demokrasi.
Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Yang dibayangkan

sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau


hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan
hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris
yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip rule
of law yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon the Rule of Law,
and not of Man. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum
itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul Nomoi yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul The Laws2, jelas
tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama
dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,
dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan
dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas
kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut Julius Stahl,
konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup
empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di
atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule of Law yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern

dizaman sekarang. Bahkan, oleh The International Commission of Jurist,


prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The
International Commission of Jurists itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan ntara Negara Hukum Formil atau Negara
Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern3.
Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang
kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya
Law in a Changing Society membedakan antara rule of law dalam arti formil
yaitu dalam arti organized public power, dan rule of law dalam arti materiel
yaitu the rule of just law. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara
substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat
dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh
aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit
dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara
hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu
menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah the rule of law
oleh Friedman juga dikembangikan istilah the rule of just law untuk memastikan
bahwa dalam pengertian kita tentang the rule of law tercakup pengertian
keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap
the rule of law, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup

dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang
Negara Hukum di zaman sekarang.
Namun demikian, terlepas dari perkembangan pengertian tersebut di atas,
konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum masih
sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada
abad ke-19 dan abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur
pengertian Negara Hukum (Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan
empat unsur rechtsstaat, dimana unsurnya yang keempat adalah adanya
administratieve rechtspraak atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri pokok
Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur pengertian Negara Hukum
Modern itu dengan keharusan adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara. Jawabannya ialah
karena konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat) sebagaimana banyak dibahas oleh
para ahli sampai sekarang adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad ke 19
ketika Pengadilan Administrasi Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan;
sedangkan Mahkamah Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri
di samping Mahkamah Agung atas jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919,
dan baru dibentuk pertama kali di Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika
pengadilan tata usaha Negara merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan
tata negara adalah fenomena abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi
salah satu ciri utama Negara Hukum kontemporer. Oleh karena itu, patut kiranya
dipertimbangkan kembali untuk merumuskan secara baru konsepsi Negara
Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan praktek ketatanegaraan pada abad ke21 sekarang ini.
Menurut Arief Sidharta4, Scheltema, merumuskan pandangannya tentang
unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima)
hal sebagai berikut:
1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar
dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin
bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk

mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika


kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat predictable. Asas-asas yang
terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang
cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undangundang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil
dan manusiawi;
e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan
undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam
undang-undang atau UUD.
3. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law).
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau
kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang
tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi
semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme
untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakantindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui
beberapa prinsip, yaitu:
a. Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang
bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang
diselenggarakan secara berkala;
b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban
oleh badan perwakilan rakyat;

c. Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama


untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan
mengontrol pemerintah;
d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh
semua pihak;
e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan
partisipasi rakyat secara efektif.
5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara
yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:
a. Asas-asas umum peerintahan yang layak;
b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi;
c. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki
tujuan yangn jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan
itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Muhammad Tahir Azhary5, dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum
Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum
yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2. Prinsip musyawarah;
3. Prinsip keadilan;
4. Prinsip persamaan;
5. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
6. Prinsip peradilan yang bebas;
7. Prinsip perdamaian;
8. Prinsip kesejahteraan;
9. Prinsip ketaatan rakyat.

Brian Tamanaha (2004), seperti dikutip oleh Marjanne Termoshuizen-Artz


dalam Jurnal Hukum Jentera6, membagi konsep rule of law dalam dua kategori,
formal and substantive. Setiap kategori, yaitu rule of law dalam arti formal
dan rule of law dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk,
sehingga konsep Negara Hukum atau Rule of Law itu sendiri menurutnya
mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
1. Rule by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya difungsikan
sebagai instrument of government action. Hukum hanya dipahami dan
difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan
prediktabilitasnya sangat tinggi, serta sangat disukai oleh para penguasa
sendiri, baik yang menguasai modal maupun yang menguasai prosesproses pengambilan keputusan politik.
2. Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip
prospektivitas (rule written in advance) dan tidak boleh bersifat
retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, (iii)
jelas (clear), (iv) public, dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk
yang formal legality itu, diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat
diutamakan.
3. Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum
yang menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai a
procedural mode of legitimation demokrasi juga mengandung
keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan formal legality7. Seperti
dalam formal legality, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan
hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem
demokrasi yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law
dalam arti formal sekali pun, tetap dapat juga timbul ketidakpastian
hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas itulah yang diutamakan,
maka praktek demokrasi itu dapat saja dianggap menjadi lebih buruk
daripada rezmi otoriter yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian.
4. Substantive Views yang menjamin Individual Rights.
5. Rights of Dignity and/or Justice

6. Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community.

Вам также может понравиться