Вы находитесь на странице: 1из 17

LOKASI DAN POLA RUANG

RADHIATUL MARAH
F231 15 019

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
PRODI S1 PERENCANAAN WILAYAH DAN
KOTA
UNIVERSITAS TADULAKO

PENDAHULUAN
Kawasan Industri adalah suatu tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang disediakan dan dikelola
oleh perusahaan kawasan industri. Hal ini berbeda dengan Zona Industri
yang juga merupakan pemusatan industri tetapi tanpa dilengkapi dengan
prasarana dan sarana yang memadai. Di Indonesia, pada awalnya
kawasan industri hanya dikembangkan oleh pemerintah melalui BUMN
sebagai reaksi terhadap meningkatnya jumlah industri dengan dampak
polusi lingkungan yang diakibatkannya, keterbatasan infrastruktur, dan
masalah perkembangan kawasan permukiman yang berdekatan dengan
lokasi industri. Namun seiring dengan meningkatnya investasi baik dari
dalam negeri maupun dari luar negeri, maka pemerintah melalui Keppres
No. 53 tanggal 27 Oktober tahun 1989 mengijinkan usaha kawasan
industri dikembangkan oleh pihak swasta.
Bagi pihak swasta, kebijakan baru dibidang uasaha kawasan industri ini
merupakan suatu peluang usaha baru yang cukup menguntungkan,
sehingga berkembanganlah kawasan-kawasan industri baru yang dikelola
oleh pihak swasta di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi regional,
seperti di Jabotabek dan Gerbangkertasusila. Tulisan ini mencoba untuk
memberi gambaran tentang pengembangan suatu kawasan industri pada
tahap pra konstruksi. Pada tahap pra konstruksi tahapan-tahapan yang
perlu disiapkan adalah studi kelayakan, proses perijinan, pembebasan
tanah dan perencanaan. Namun dalam tulisan ini, studi kelayakan yang
membahas antara lain tentang studi pasar, pemilihan tapak, dan
kelayakan keuangan tidak dibahas karena penulis bukan ahlinya dibidang
ini. Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya karya tulisan tentang
pengembangan kawasan industri di Indonesia yang merupakan suatu
bidang usaha yang relatif baru dalam bidang realestat

PEMBAHASAN

Kawasan

Industri

di

Indonesia

pertama

kali

dikembangkan

oleh

pemerintah melalui BUMN pada tahun 1970-an sebagai reaksi terhadap


kebutuhan lahan industri. Dengan semakin meningkatnya arus investasi di
Indonesia, baru kemudian pada tahun 1989 pihak swasta diperbolehkan
mengembangkan kawasan industri. Dalam pengembangan kawasan
industri khususnya pada tahapan pra-konstruksi, terdapat beberapa
tahapan utama yang harus dilalui yaitu antara lain tahap perijinan,
pembebasan tanah, dan tahap perencanaan. Pada tahap perencanaan
akan dibahas tentang penerapan Standar Teknis yang ada dalam
perencanaan penggunaan lahan, perencanaan tapak serta perencanaan
prasarana dan sarana pada beberapa kawasan industri di Jawa Timur.
Untuk pertama kalinya pada tahun 1876 kawasan industri dikembangkan
di Inggris yaitu Trafford Park Estates, dengan luas sekitar 500 Ha yang
merupakan kawasan industri terluas sampai pada tahun 1950-an. Pada
awal abad 20, kawasan industri di Amerika Serikat dikembangkan di kota
Chicago yaitu antara lain Central Manufacturing District dibangun pada
tahun 1902 dengan luas 105 Ha, The Clearing Industrial District yang
dibangun pada tahun 1909 seluas 215 Ha, dan The Pershing Road
District dibangun tahun 1910 dengan luas 40 Ha. Selanjutnya pada tahun
1960-an di Amerika Serikat telah berkembang kawasan industri yang
dikenal dengan Science Park atau Technology Park yaitu kawasan industri
untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Pada tahun 1970-an, konsep
Business Park dikembangkan dimana dalam suatu kawasan tertampung
berbagai kegiatan seperti perkantoran dan industri yang ditunjang oleh
kegiatan perdagangan dan rekreasi. Kemudian baru pada tahun 1980-an
kawasan perumahan juga dimasukan dalam kawasan Business Park.

Sedangkan di Indonesia, kawasan industri baru dikembangkan pada awal


tahun

1970-an

sebagai

suatu

usaha

untuk

memenuhi

kegiatan

penanaman modal baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pada awalnya
Pemerintah mengembangkan kawasan industri melalui Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).1 Pada tahun 1973 pemerintah memulai pembangunan
kawasan industri yang pertama yaitu Jakarta Industrial Estate Pulo
Gadung (JIEP) dan kemudian disusul oleh Surabaya Industrial Estate
Rungkut (SIER) pada tahun 1974. Kawasan industri (KI) lainnya yang
dikembangkan oleh pemerintah adalah KI Cilacap (1974), KI Medan
(1975), KI Makasar (1978), KI Cirebon (1984) dan KI Lampung (1986).
Selain itu pada tahun 1986, pemerintah melalui PT. Kawasan Berikat
Nusantara mengembangkan Kawasan Berikat atau Bonded Zone dengan
tujuan

untuk

meningkatkan

ekspor

non

migas.

Kawasan

Berikat

merupakan suatu kawasan industri khusus dimana untuk melancarkan


arus barang ekspor semua kegiatan kepabean untuk barang ekspor
dilakukan pada kawasan tersebut dan bahan baku untuk ekspor mendapat
fasilitas bebas Bea Masuk. Seiring dengan perkembangan investasi yang
terus meningkat, kemudian pihak swasta baru dilibatkan dalam usaha
kawasan industri melalui Keppres No. 53 tahun 1989 dimana diatur bahwa
usaha kawasan industri dapat dilaksanakan oleh pihak swasta domestik
maupun asing dengan atau tanpa partisipasi BUMN. Sejak pihak swasta
diperbolehkan mengembangkan kawasan industri, maka pertumbuhan
kawasan industri bertumbuh dengan pesat sekali. Sampai pada tahun
1994 misalnya, jumlah kawasan industri yang tercatat di Himpunan
Kawasan Industri (HKI) adalah sebanyak 146 lokasi dengan total luas
lahan sebesar 42.019 Ha yang sebagian besar tersebar di propinsi Jawa
Barat (21.289 Ha) dan kota Jakarta (3.064 Ha).2

Proses perijinan kawasan industri


Proses perijinan untuk kawasan industri sama seperti bidang usaha
realestat lainnya masih rumit dan memakan waktu yang lama. Menyadari
hal ini akan menghambat investasi di Indonesia, maka pemerintah melalui
Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/BKPM mengeluarkan deregulari
dibidang perijinan melalui paket kebijakan Nomor: 15/SK/1993 tanggal 23
Oktober 1993 atau yang lebih dikenal dengan PAKTO 1993. Dalam
ketentuan ini proses perijinan, yang berlaku untuk semua kegiatan
investasi seperti perhotelan, perkantoran, perumahan dan kawasan
industri, dibuat lebih sederhana dimana proses perijinan tanpa melalui
instansi Tingkat I lagi tetapi langsung melalui instansi Tingkat II. Setelah
mendapatkan Surat Persetujuan Penanaman Modal PMDN/PMA yang juga
berlaku sebagai Ijin Prinsip, maka investor dapat langsung mengajukan
Ijin Lokasi kepada Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya
dilengkapi dengan laporan tentang Penyajian Informasi Lingkungan (PIL).
Sedangkan sebelumnya untuk mendapatkan Ijin Lokasi yang diterbitkan
oleh Gubernur melalui Kakanwil BPN Tingkat I, investor harus memiliki
Surat Konfirmasi Pencadangan Tanah dari Gubernur dan Persetujuan
Prinsip dari menteri Perindustrian atau Ketua BKPM. Selanjutnya, bagi
suatu perusahaan industri untuk melaksanakan kegiatan produkssi di
dalam kawasan industri diperlukan Ijin Usaha Tetap (IUT). IUT diajukan
kepada BKPM dengan dilengkapi Ijin Lokasi, IMB, Hak atas tanah, Laporan
Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) dan persetujuan Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) bagi
perusahaan wajib Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL).Secara sederhana
berikut ini adalah alur proses perijinan untuk kawasan industri, namun
dalam pelaksanaannya proses ini masih relatif rumit dan memakan waktu
yang lama, karena masih banyaknya persyaratanpersyaratan pelengkap
untuk setiap tahap permohonan dan banyaknya instansi berbeda yang

terlibat.

PEMBEBASAN TANAH KAWASAN INDUSTRI


Keberhasilan

pembebasan

tanah

merupakan

tahap

yang

sangat

menentukan berhasil tidaknya suatu investasi. Sering terjadi begitu


banyaknya dana yang telah dikeluarkan untuk biaya pra proyek seperti
studi kelayakan, pembuatan proposal proyek dan proses perijinan, namun
proyek terpasak ditunda atau bahkan dihentikan karena kegagalan
pembebasan tanah. Secara formal setelah ijin lokasi dimiliki maka
pengembang berhak untuk melakukan pembebasan tanah. Namun
umumnya, pembebasan tanah sudah mulai dilaksanakan sebelum ijin
lokasi diterbitkan, bahkan sebelum persetujuan prinsip diterbitkan,
tentunya pembebasan tanah dilakukan atas nama pribadi bukan atas
nama perusahaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari melonjaknya
harga tanah apabila lokasi yang diinginkan untuk kawasan industri telah
diketahui oleh masyarakat umum terutama para spekulan tanah.
Selain alasan harga, luasnya kawasan industri yang direncanakan,
umumnya diatas 100 ha, membutuhkan waktu yang panjang bahkan
bertahun-tahun untuk membebaskannya, belum lagi masalah kerumitan
status

kepemilikan

tanah

yang

akan

dibebaskan.

Pada

awal

pengembangan kawasan industri oleh BUMN, salah satu kendala yang


menghambat percepatan pengembangan adalah masalah pembebasan
tanah, seperti yang dikemukakan oleh Ketua BKPM berikut ini:
Berbagai faktor yang menjadi hambatan berkembangnya kawasan industri
antara lain adalah:

1. Pembebasan tanah memakan waktu yang lama oleh karena berbagai


macam status kepemilikan serta adanya tuntutan harga pembebasan
tanah yang tinggi dari pemilik
Sebagai

contoh

lagi,

dari

tujuh

(7)

kawasan

industri

yang

dikembangkan oleh pmerintah hanya 2 (dua) kawasan industri yang


dapat meyelesaikan pembebasan tanahnya itupun dengan jangka waktu
10 tahun keatas yaitu seperti SIER di Surabaya dan KIM di Medan.
Sedangkan

lima

(5)

kawasan

industri

lainnya

hanya

dapat

mengembangkan atau membebaskan tanah dibawah 60% dari total luas


yang direncanakan. Kawasan JIEP dengan luas 568 Ha yang mulai
dikembangkan pada tahun 1973, sampai pada tahun 1989 baru dapat
membebaskan tanah seluas 326,2 Ha atau 57,43% dari luas total
Perencanaan kawasan industri
Standar teknis kawasan industri
Dalam merencanakan suatu kawasan industri, pemerintah melalui Menteri
Perindustrian telah menentukan Standar Teknis Kawasan Industri
yaitu

melalui

Surat

Keputusan

Menteri

Perindustrian

Nomor:

291/M/SK/10/1989 tanggal 28 Oktober 1989. Secara garis besar standar


teknis mencakup beberapa hal yaitu:
1. Komposisi penggunaan lahan
a. Kapling industri : Maximum 70%
b. Ruang terbuka hijau termasuk daerah penyangga : Minimum 10%
c. Prasarana dan sarana: Luas tanah sisa (20%)
2. Prasarana yang wajib disediakan antara lain,
a. Jaringan jalan lingkungan: satu jalur dengan dua arah, lebar perkerasan
minimum 8 meter atau dua jalur dengan dua arah, lebar perkerasan
minimal 2 x 7 meter.

b. Saluran pembuangan air hujan (drainase)


c. Instalasi penyediaan air bersih bersumber dari PAM dan/atau
diusahakan sendiri.
d. Instalasi penyediaan dan jaringan distribusi tenaga listrik dengan
sumber PLN dan/atau diusahakan sendiri
e. Jaringan telekomunikasi
f. Instalasi pengelolaan air limbah industri
g. Penerangan jalan
h. Unit perkantoran perusahaan kawasan industri
i. Unit pemadam kebakaran Diluar prasarana yang diwajibkan, dapat pula
menyediakan prasarana seperti TPS limbah padat dan pagar kawasan
industri.
3. Sarana
Sarana yang dapat disediakan yaitu: kantin, poliklinik, tempat ibadah,
rumah penginapan sementara, fitness center, halte, pos keamanan,
perkantoran untuk bank, pos dan wartel.
Study kasus kawasan industri SIER dan NGORO
Untuk mengetahui lebih jauh penerapan standar teknis ini dalam
perencanaan

kawasan

industri,

berikut

ini

adalah

contoh

kasus

perencanaan pada beberapa kawasan industri seperti SIER di Surabaya


dan Ngoro di Mojokerto
1. Rencana penggunaan lahan
Dalam merencanakan komposisi penggunaan lahan, nampaknya
para pengembang berusaha memanfaatkannya secara maksimal dan
bahkan

melebihi

ketentuan

standar

teknis

yang

ada.

Sebagai contoh adalah kawasan industri SIER, Surabaya dimana 70%


luas lahan kawasan adalah untuk kapling industri, hanya 2% untuk ruang
terbuka

hijau

dan

28%

adalah

untuk

prasarana

dan sarana. Sedangkan pada kawasan industri Ngoro, 76% luas lahan
dipergunakan untuk kapling industri termasuk didalamnya 17,5% (35 ha)
untuk kawasan berikat (Bonded Zone), hanya 3,25% untuk ruang
terbuka hijau, dan sisanya 20,75% untuk prasarana dan sarana
berdasarkan pertimbangan efisien, maka penggunaan lahan untuk
kapling industri dimanfaatkan secara maksimal dan bahkan melebihi
ketentuan teknis yang ada yaitu maximal 70% untuk kapling industri.
Yang menyedihkan adalah bahwa luas lahan untuk ruang terbuka hijau
disediakan jauh dibawah ketentuan luas minimal yaitu 10%
2. Prasarana dan sarana
Secara umum semua prasarana dan sarana yang disediakan, kecuali
rumah penginapan sementara, sudah memenuhi ketentuan teknis
yang ada (tabel 2). Beberapa prasarana dan sarana utama yang sangat
penting dalam pengembangan kawasan industri adalah:
a. Waste water treatment plant
Salah satu prasarana yang sangat penting untuk suatu kawasan
industri adalah instalasi pengelolaan limbah industri (waste water

treatment plant) dimana semua limbah cair dari industri ditampung


atau dapat ditampung sesuai dengan standar influent yang diijinkan
pengelola dan diolah sehingga sesuai dengan standar kualitas effluent
yang ditentukan pemerintah, sebelum akhirnya dibuang ke saluran
kota.
b. Tenaga listrik
Selain itu, prasarana penting lainnya adalah penyediaan tenaga listrik
sebagai sumber tenaga untuk menjalankan industri. Selama ini,
tenaga listrik disediakan oleh PLN, namun dengan keterbatasan
penyediaan dari PLN dan perencanaan listrik yang tidak terpadu
dengan arah pengembangan kawasan industri, maka pada beberapa

kawasan industri penyediaan listrik dikembangkan sendiri oleh


pengembang

seperti

pada

Cikarang

Industrial

Estate

(CIE).4

Terbatasnya tenaga listrik sebagai salah satu prasarana utama untuk


kawasan

industri

akan

menghambat

pengembangan

kawasan

industri, misalnya seperti yang terjadi di Kerawang: Tiga prasarana


utama yang diperlukan dalam suatu kawasan industri adalah listrik,
jaringan telepon dan akses jalan. Kawasan industri di daerah
Kerawang, diungkapkan Bupati Kerawang Sumarno Suradi, terhambat
pembangunannya akibat masih ada kendala dalam pembangunan
ketiga hal tersebut.
Perumahan tenaga kerja
Selanjutnya, salah satu sarana yang belum ada dan sangat dibutuhkan
oleh para karyawan pabrik adalah perumahan. Pengalaman di SIER
menunjukkan bahwa akibat tidak tersedianya perumahan di kawasan
industri sehingga para pekerja pabrik harus bermukim di perumahan
sekitarnya dengan kondisi perumahan dan prasarana yang sangat
menyedihkan.

Menyadari hal ini, maka pada tahun 1985 dalam rencana

perluasan kawasan industri Berbek di Sidoarjo PT. SIER menyediakan


17,6% (13 Ha) dari total luas lahan (73 Ha) untuk perumahan para
pekerja. Pada tahun 1994 pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama
(SKB) antara Menteri Negara Perumahan Rakyat, Menteri Tenaga Kerja
dengan Menteri Perindustrian memperbolehkan pemanfaatan sebesar
10% tanah kawasan industri untuk perumahan para pekerja. Sebagai pilot

project pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta sebagai penyedia


lahan akan membangun 2.500 unit rumah susun sederhana tipe 21 di
Kawasan Industri Cileungsi. Dengan kebijakan ini beberapa kawasan
industri Selanjutnya, salah satu sarana yang belum ada dan sangat
dibutuhkan oleh para karyawan pabrik adalah perumahan. Pengalaman di
SIER menunjukkan bahwa akibat tidak tersedianya perumahan di kawasan

industri sehingga para pekerja pabrik harus bermukim di perumahan


sekitarnya dengan kondisi perumahan dan prasarana yang sangat
menyedihkan. Menyadari hal ini, maka pada tahun 1985 dalam rencana
perluasan kawasan industri Berbek di Sidoarjo PT. SIER menyediakan
17,6% (13 Ha) dari total luas lahan (73 Ha) untuk perumahan para
pekerja. Pada tahun 1994 pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama
(SKB) antara Menteri Negara Perumahan Rakyat, Menteri Tenaga Kerja
dengan Menteri Perindustrian memperbolehkan pemanfaatan sebesar
10% tanah kawasan industri untuk perumahan para pekerja. Sebagai pilot

project pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta sebagai penyedia


lahan akan membangun 2.500 unit rumah susun sederhana tipe 21 di
Kawasan Industri Cileungsi. Dengan kebijakan ini beberapa kawasan
industri mulai membangun perumahan, seperti pada tahun 1996 dalam
pengembangan Kawasan Industri Padang (KIP) dimana 10% dari total
luas lahan (23 Ha) dimanfaatkan untuk perumahan pekerja.
3. Rencana tapak kawasan industri
a Akses jalan utama
Idealnya, akses ke suatu kawasan industri harus lebih dari satu untuk
melancarkan arus lalu lintas. Pada kasus SIER, akses jalan utama dapat
dicapai dari dua arah sehingga lebih mudah untuk dicapai. Namun karena
akses jalan utama juga merupakan jalan umum yang terletak dalam
kawasan industri sehingga lalu lintas industri yang umumnya truk berbaur
dengan lalu lintas umum. Berbaurnya kedua jenis moda transportasi ini
menyebabkan beban lalu lintas (kepadatan) yang sangat tinggi dan
mengganggu kelancaran baik bagi lalu lintas kendaraan perusahaan
industri maupun masyarakat umum. Pada kasus Ngoro, jalan akses utama
ke kawasan industri hanya satu sehingga mengakibatkan beban lalu lintas
terkonsentrasi pada satu akses jalan dan rawan terhadap kecelakan lalu

lintas. Tetapi dengan fungsi akses jalan utama hanya untuk lalu lintas
kawasan, maka beban lalu lintas dalam awasan relatif rendah yang dapat
memperlancar lalu lintas dalam kawasan. Kendala dalam pembebasan
tanah yang berhubungan dengan harga tanah yang umumnya sangat
mahal pada lokasi di pinggir jalan utama menyebabkan pilihan akses jalan
utama hanya satu pada kasus Ngoro.

b. pola sirkulasi jalan


Pada umumnya, pola sirkulasi yang dipergunakan adalah pola Grid Iron
dimana dengan pola ini akan diperoleh alignment jalan yang lurus
sehingga lebih memudahkan sirkulasi kendaraan berat seperti truk. Selain
itu, pola ini akan bentuk kapling empat persegi yang sederhana sehingga
akan didapatkan luas kapling yang efektif untuk bangunan
c. Ukuran kapling industri
Tentunya karena tuntutan fungsinya, ukuran kapling industri harus lebih
luas dibandingkan dengan ukuran kapling perumahan. Contoh ukuran
kapling ini seperti terlihat pada ukuran kapling di SIER yaitu dengan luas
antara 3.000 m2 sampai dengan 30.000 m2 dan pada kawasan industri
Ngoro dengan ukuran luas 3.500 m2 sampai dengan 21.000 m2.
Untuk mendapatkan kapling yang fleksibel luasnya, maka secara teknis
panjang kapling dibuat dengan ukuran yang tetap, namun untuk lebar
kapling dibuat dapat berubah-ubah sehingga luas kapling dapat fleksibel
sesuai dengan permintaan konsumen. Idealnya, panjang kapling berkisar
antara 60 meter sampai dengan 100 meter. Berdasarkan pengalaman ini,
maka PT. SIER dalam pengembangan kawasan industri selanjutnya yaitu
di Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER), lebar kapling tidak
ditentukan tetapi tergantung kepada permintaan konsumen

d. Standard factory building


Selain kapling, untuk menyediakan industri siap pakai umumnya setiap
kawasan industri menawarkan secara sewa Bangunan Pabrik Siap Pakai
(Standard Factory Building) seperti pada SIER dan Ngoro dimana
disediakan Standard Factory Building dengan luas antara 700 m2 - 1.080
m2 dan antara 908.5 m2 1.052 m2. Selain berfungsi sebagai pabrik,
pada bangunan ini juga disediakan ruang untuk perkantoran, bahkan
beberapa kawasan industri menyediakan konsep Three In One untuk
Bangunan Pabrik Siap Pakai yaitu memiliki tiga fungsi untuk pabrik di
lantai satu, kantor pada sebagian lantai dua dan untuk rumah tinggal pada
sebagian lantai tiga.

PENUTUP
KESIMPULAN
Di Indonesia, pengembangan kawasan industri diawali pada awal tahun
1970-an

oleh

pemerintah

terhadap

meningkatnya

melalui

BUMN

penanaman

modal

yaitu

sebagai

dibidang

reaksi

perindustrian.

Selanjutnya sejak tahun 1990-an perkembangan kawasan industri


berkembang dengan cepat setelah pihak swasta dilibatkan dengan
diterbitkannya Keppres No. 53 tahun 1989. Namun dalam pengembangan
kawasan industri oleh pihak swasta masih terdapat beberapa kendala
antara lain masalah proses perijinan, pembebasan tanah dan prasarana.
Dalam praktek proses perijinan masih relatif lama dan berbelit,
pembebasan tanah yang kompleks dan memakan waktu yang lama, serta
prasarana yang tidak memadai seperti jalan utama dan tenaga listrik pada
kawasan tertentu. Dibandingkan dengan negara-negara industri baru
lainnya seperti Korea Selatan dan Thailand, pengembangan kawsan
industri di Indonesia memang masih tertinggal. Di Thailand misalnya,
pengembangan industri diserahkan kepada suatu badan otoritas, sehingga
semua masalah perijinan, pembebasan tanah dan prasana sudah
disiapkan sejak awal dan investor tinggal langsung masuk ke kawasan
industri. Pada tahun 1972 dibentuk suatu Badan Otorita yaitu Industrial
Estate Authority of Thailand (IEAT) yang bertugas untuk mengembangkan
kawasan Industri dan memberi pelayanan yang mudah dan cepat untuk
semua kegiatan industri yaitu seperti semua proses perijinan, pelayanan
informasi-informasi seperti investasi, pendirian perusahaan, sumber
pendanaan, perancangan dan konstruksi pabrik, serta studi kelayakan.
Selanjutnya, dalam perencanaan kawasan industri, standar teknis yang
ditentukan oleh pemerintah terlalu mengekang para pengembang
dalam perencanaan penggunaan lahan yang harus selalu beradaptasi

dengan kemauan pasar. Perumahan dalam kawasan industri misalnya,


merupakan pilihan yang lebih menguntungkan karena harga jual kapling
rumah yang lebih

mahal daripada harga jual kapling industri. Pada

tahun 1994, pemerintah baru memperbolehkan perumahan dalam


kawasan

industri

melalui

SKB

tiga

menteri.

Sedangkan,

dalam

perencanaan kawasan industri di negara Korea Selatan dan Thailand


sudah berkembang konsep Technology Park dan Business Park. Dimana
dalam suatu Business Park selain kawasan industri terdapat pula
kawasan perdagangan, perumahan dan rekreasi yang dapat berupa
kawasan hijau lapangan golf, seperti pada Eastern Industrial Estate di
Thailand.

DAFTAR PUSTAKA

Industrial Estate Authority of Thailand


Kawasan Industri: Harga, Sarana, Manajemen,

Properti, Januari 1994, hal. 30-32.


Kawasan Industri: Kawasan Mengcengangkan
dari Sumatera Barat, Properti, April 1996,
hal. 64-66.
Kawasan Industri Surabaya: Mengintip Investor
di Kota Buaya, Properti, No. 20, September 1995, hal. 54-55.
Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana
Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 15/SK/1993
Tentang
Tata Cara Permohonan Modal Dalam
Negeri dan Penanaman Modal Asing.
Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/
Ketua BKPM, 23 Oktober 1993.
Peiser, Richard B with Dean Schwanke. Professional Real Estate

Development.
Washington D.C.: the Urban Land Institute,
1992, hal. 265-307.
Shahab, Halim. Perkembangan dan Prospektif
Bisnis Kawasan Industri di Indonesia.

Infopapan, April 1992, hal. 17-20.


-------------, Pengembangan Kawasan Industri
Sebagai Sarana Percepatan Pertumbuhan
Ekonomi. Disampaikan pada Rapat Kerja

Himpunan Kawasan Industri, Surabaya, 7


Oktober 1989.
SKB Tiga Menteri: Perumahan Pekerja di
Kawasan Industri. Properti, No. 04, Mei
1994, hal. 42-43.
Sastrowardoyo, Sanyoto. Pengembangan Kawasan Industri Dalam Rangka

Menarik
Penanam Modal. Makalah disampaikan
pada Rapat Kerja Himpunan Kawasan
Industri, Surabaya, 7 Oktober 1989.

Вам также может понравиться